Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 2 Juni 2020

p-ISSN : ��� e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

GAYA KEPEMIMPINAN KIAI DALAM PENDIDIKAN (STUDI PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN DI PONDOK PESANTREN AT-TAUHIDIYAH GIREN TALANG TEGAL)

 

Ahmad Taufik

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama Kabupaten Tegal

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

22 Mei 2020

Diterima dalam bentuk revisi

12 Juni 2020

Diterima dalam bentuk revisi

 

Kepemimpinan berhasil membangun suatu kerangka konseptual pada ungkapan kullukum rain yang dipertajamnya dengan mengintegrasikan serangkaian teori dalam disiplin sosiologi Kepemimpinan yang efektif harus menghadapi tujuan individu, kelompok, dan organisasi, yang diukur dengan pencapaian tujuan dan berusaha menggunakan suatu gaya dalam mempengaruhi bawahanya. Penelitian ini bersifat mendeskripsikan situasi dan mengunakan jenis kualitatif dengan metode grounded research, yaitu mendasarkan diri pada fakta dengan tujuan melakukan generalisasi dan menetapkan konsep-konsep serta membuktikan teori.Penerapan Kurikulum Pondok Pesantren at-Tauhidiyah. �Secara kurikulum nasional (umum) tidak memakai, namun yang di terapkan adlah salafiyah murni dari pondok, jadi pelajaran dari pondok pesantren ini berdiri sampai sekarang masih tetap sama�

Kata kunci:

Kepemimpinan, sistem pendidikan dan at-tauhidiyah



 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu proses yang dapat merubah kehidupan manusia dengan berbagai usaha untuk mencapai tugas-tugas tentu dalam membentuk suatu kegiatan yang menjadikan seorang individu sesuai dengan kehidupan sosialnya (Abdurahman Abror, 1989). Pendidikan adalah sebuah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia karena pendidikan bermakna mengalihkan pengalihkan pengalaman dari generasi ke generasi berikutnya yang mencakup semua dimensi kehidupan (M. Amin Rais, 1992). Pendidikan juga suatu proses untuk membawa� sebuah kekuatan pada diri manusia, dalam hal ini pendidikan pesantren yang merupakan aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia, dan pendidikan pesantren tidak mengenal usia, long life education yang membuktikan bahwa manusia ingin menarik dan meraih sebuah impian yang diharapkan maka harus belajar dengan melalui pemahaman sikap dan ketrampilan.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada pendidikan pesantren baik secara struktural kepemimpinan kiai maupun perkembangannya, Adapun kelebihan yang dimaksud disini ialah kelebihan dalam hal kepemimpinan (Susnita, 2017)Terutama masuknya teknologi informasi dan sains. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi yang sangat pesat sehingga dapat mempengaruhi perubahan (globalisasi) pada pendidikan di Pesantren antara lain prilaku dan pola pikir serta tradisi (budaya) juga sistem pendidikan di pesantren. Sebagaimana Azzumardi Azra mengungkapkan bahwa globalisasi sebagai seperangkat proses perubahan struktural dan perkembangan yang mendorong momentum� yang bermula dalam lapangan ekonomi dan teknologi, yang berimbas� ke bidang sosial, budaya dan gaya hidup pada seluruh kehidupan negara dan bangsa (Azra, 2009). Perubahan struktural merupakan respon oleh banyak pihak yang menghadapi tekanan yang luar biasa dan kesempatan yang fantastis yang disajikan oleh peningkatan aplikasi dan integrasi informasi dan komunikasi canggih teknologi ke dalam proses bisnis (�elik & G�mleksiz, 2000).

Kepemimpinan berarti: (1) kepemimpinan adalah proses bersama dimana beberapa individu berperan, dan (2) kepemimpinan muncul dari interaksi individu yang berbeda dalam suatu kelompok dimana keterampilan dan pengetahuan penting dan dibutuhkan (Johnston, 2015) kepemimpinan adalah sebuah proses karena kata benda �keadaan atau kondisi� dan �kualitas, karakter, atau keterampilan, orang yang dilambangkan dengan kata benda.� Oleh karena itu, karena kepemimpinan adalah kualitas yang melibatkan �keterampilan,� di definisikan di sini sebagai �kualitas individu yang diakui untuk secara terampil mengarahkan aktifitas, kinerja atau operasi orang lain ke arah tujuan bersama.� Perhatikan bahwa definisi ini berlaku untuk para pemimpin di tingkat sosial maupun, karena mereka adalah individu, kelompok, organisasi, masyarakat atau negara (Robert J Taormina, n.d.).

Menurut konsep Islam, semua orang adalah pemimpin (kullukum rain ). Karena itulah, setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatanya kepada sesamanya semasa hidup di dunia dan kepada Tuhanya kelak di akhirat. Noeng Muhadjir mendeskripsikan dengan sangat menarik mengenai hal ini, di mana ia berhasil membangun suatu kerangka konseptual yang berangkat dari ungkapan kullukum rain itu sendiri, yang berarti dipertajamnya dengan mengintegrasikan serangkaian teori � teori yang lain, seperti teori dalam disiplin sosiologi tentang fungsionalisme sosial dan teori kepemimpinan situasional (Soebahar, 2013). Kepemimpinan yang efektif harus menghadapi tujuan individu, kelompok, dan organisasi, yang diukur dengan pencapaian dari satu atau beberapa kombinasi tujuan dan berusaha menggunakan suatu gaya dalam mempengaruhi bawahanya.

Setiap lembaga termasuk pondok pesantren mempunyai struktur organisasi, begitupun juga pondok pesantren At-Tauhidiyah Talang� Tegal yang mempunyai struktur organisasi yang berpengaruh pada prilaku individu dan kelompok yang mencakup organisasi, tujuan struktur organisasi untuk memberikan pengendalian atau membeakan bagian-bagiannya, organisasi terdiri dari departemen, divisi, unit, atau kelompok pekerjaan (Gibson, Invancevich & Donnelly, Organisastion, 1997), struktur organisasi ini harus diperkenalkan guna memberikan suatu pemahaman konsep yang lengkap dengan persfektif yang memfokuskan pada aktifitas yang dilakukan sebagai konsekuensi terhadap struktur

Pondok pesantren jenis ini mempunyai ciri-ciri khusus yang menonjol, yaitu cara memberi dan menyajikan pelajaran agama dengan versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, memiliki teknik pengajaran yang unik yang biasanya dikenal dengan metode sorogan, bandongan dan atau wetonan, mengedepankan hafalan, atau menggunakan sistem halaqah. Hingga kini, metode pembelajaran ini masih tetap bertahan, terkhusus di pesantren-pesantren tradisional, sebagai ciri khas bentuk pesantren yang tetap memegang erat tradisi-tradisi.Ada pepatah yang mengatakan bahwa �mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik�.

Penyampaian kurikulum tidak memakai alat bantu, tetapi dalam penyampaian materi menggunakan bahasa Indonesia karena asal santri tidak terfokus dari wilayah Jawa Tengah, ada dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat tentunya mereka tidak paham bahasa jawa. Dalam hal ini pondok pesantren at-Tauhidiyah tidak menggunakan alat bantu dalam proses belajar mengajar seperti yang di sampaikan oleh pengurus pondok at-Tauhidiyah. Perubahan-perubahan yang menjadi keniscayaan zaman memaksa atau menyadarkan komunitas pesantren untuk melakukan penyesuaian- penyesuaian agar tetap selaras dengan evolusi masyarakat: (1) perubahan secara institusional, misalnya pesantren dengan merubah sistem klasikal kemudian merubah lagi sistem madrasah; (2) perubahan orientasi masyarakat juga membawa perubahan terhadap dominasi kitab-kitab yang digunakan di pesantren. Misalnya kitab-kitab tauhid yang ternyata isinya memaparkan ajaran asy�ari dan sifat-sifat Tuhan dan para Nabi (Balitbang Kementrian Agama, 2015).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan cara mendeskripsikan situasi atau sebuah wilayah atau populasi tertentu yang bersifat faktual dengan sistematis dan akurat. Peneliti kemudian mencoba untuk mendapatkan data-data valid di lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.Deskripsi tentang gaya kepemimpinan kiai dalam membuat perubahan pada pendidikan pesantren at-Tauhidiyah dengan mengumpulkan dokumen (sejarah singkat, akte pendidirian yayasan, data santri dan lain-lain yang berhubungan dengan dokumen) dan melakukan wawancara (Interview) dengan informan, yaitu: kiai, santri, ustadz, dan pimpinan pondok pesantren serta masyarakat lingkungan pesantren.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode grounded research, yaitu mendasarkan diri pada fakta dengan tujuan melakukan generalisasi dan menetapkan konsep-konsep serta membuktikan teori.Pendekatan ini bisa difungsikan untuk memberi informasi tentang awal munculnya kebijakan kiai dalam sistem pengelolaan pendidikan yang lebih manfaat (Mastuhu, 1994).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Pendidikan Pesantren

1.    Tipologi pendidikan Pesantren

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Secara deskripsi pesantren dalam perkembanganya mengalami perubahan secara dinamis, Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan.

Pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu pesantren salafiyah dan kholafiyah, salafiyah bisa terbagi menjadi dua yaitu salafiyah tahfidzul Qur�an dan salafiyah kitab kalsik, umumnya pesantren ini sama tapi mempunyai sistem dan kurikulum yang berbeda, tahfidzul-Qur�an dengan menggunakan sistem simakan dan setoran hafalan, kurikulumnya dengan ulumul-Qur�an: jazariyah dan fiqih: biasanya fathul qoriib mujiib dan tidak diajarkan ilmu� nahwu dan shorof. Bebeda dengan salfiyah kitab kalsik, memang kedua pesantren ini sama, dan masih tetap mempertahankan sistem ciri khas pondok pesantren, bahan ajar pondok pesantren salafiyah kitab klasik ini umumnya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab dan kitab-kitab klasik dan telah disesuaikan menurut jenjang tingkatanya.

Pembelajaran pondok pesantren dapat diselenggarakan dengan non-klasikal atau dengan klasikan, jenis pondok pesantren ini juga dapan meningkatat dengan membuat kurikulum sendiri, artinya model kurikulum disusun berdasarkan referensi atau mempunyai bahan rujukan dari pesantren yang lebih besar seperti pesantren at-Tauhidiyah rujukan kurikulumnya ke Lirboyo walaupun ada kombinasi dari pesantren Al-Munawar Sarang Lasem sebab mereka umumnya mengikuti pembelajaran yang pernah di pelajari sebab pengasuhnya ada yang lulusan dari pesantrenSarang Lasem.

Metode yang digunakan pesantren Salafiyah adalah sorogan, wetonan, musyawaroh/diskusi, lalaran, muadaah, khitobah, ceramah, mayoran adan syukuran dan sistem pendidikanya adalah klasikal dan non klasikal, kurikulum dan referensi, unsur-unsur pesantren, pembiayaan. Pendidikan pesantren (Daulay, 2014) tumbuh dan berkembang dimana implikasi politik dan kultural yang menggambarkan sikap para ulama Islam pada saat dijajah oleh orang-orang Barat.Para ulama Islam berusaha menghindarkan tradisi serta ajaran-ajaran agama Islam dari pengaruh kebudayaan Barat (Muzayin Arifin, 1991). Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menginternalisasi, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari (Al Hana, 2012).

Pesatren pada dasarnya sebuah asrama pendidikan Islam yang siswanya belajar atau tinggal dibawah bimbingan ustad atau kyai, pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas trasisi pesantren, yang membedakan dengan sistem pendidikan lainnya, pondok merupakan tempat tinggal santri yang mukim selama studi itu berlangsung dan tidak ada targer waktu menempat di pondok pesantren guna menuntut ilmu, pondok atau boarding school yang berupa bilik-bilik kamar yang disebut dengan hujrah, yang dibangun di samping masjid atau di samping madrasah tempat proses belajar mengajar, sehingga menjadi tempat tinggal santri, ada tiga alasan menurut Zamakhsyari Dhofier

 

2.    Sistem Pendidian Pesantren

Pendidikan pesantren selalu diselenggarakan dalam bentuk asrama atau kompleks asrama santri yang mendapatkan pendidikan dalam situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat dan selalu dilengkapai dengan pengetahuan agama. M. Arifin memetakan pendidikan pesantren dari sudut administrasi pendidikan, (Muzayin Arifin, 1991) bahwa; Pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan yang lama yang pada umumnya terdapat jauh di luar kota yaitu hanya memberikan pengajian; Pendidian� pesantren modern dengan sistem pendidikan klasikal berdasarkan atas kurikulum yang tersusun dengan baik, termasuk pendidikan skill atau vocational (keterampilan) : Pendidikan kombinasi yang di samping memberikan pelajaran dengan sistem pengajian, juga madrasah yang diperlengkapi dengan pengetahuan umum menurut tingkat atau jenjangnya; Pendidikan pesantren yang tidak lebih dari asrama pelajar dari pesantren yang semestinya.

Pada dasarnya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tidak memiliki tujuan yang formal tertuang dalam teks tertulis. Namun hal itu bukan berarti pesantren tidak memiliki tujuan, setiap lembaga pendidikan yang melakukan suatu proses pendidikan, sudah pasti memiliki tujuan-tujuan yang diharapkan dapat dicapai, yang membedakan hanya apakah tujuan-tujuan tersebut tertuang secara formal dalam teks atau hanya berupa konsep-konsep yang tersimpan dalam fikiran pendidik. Hal itu tergantung dari kebijakan lembaga yang bersangkutan.

Sistem pendidikan tersebut harus mampu mempersiapkan umat Islam menjadi komunitas yang benar-benar terperdayakan dalam menghadapi kehidupan global, yang semakin lama semakin menggantungkan diri kepada teknologi informasi, salah satu ciri informasi masyarakat yang terperdaya oleh sistem pendidikan ialah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif (Wayong, 2017).

Sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistic, artinya para pengasuh pesantren memandang bahwa kegiatan belajar-mengajar merupakan kesatupaduan atau lebur dalam totalitas hidup sehari-hari, kemudian, di era reformasi di mana secara transparan, keunggulan pesantren sebagai sistem pendidikan ini mencuat kembali.Sejalan dengan meningkatnya jumlah alumnus pesantren yang telah bergelar Master, Doktor, dan Profesor, semangat mencari format baru sistem pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif cukup tinggi (Miftah Arifin, 2014). Pendidikan pesantren kian hari semakin kompleks, ada yang mengikuti arus globalisasi dengan menerapkan sistem pendidikan umum ada pula yang tetap hanya menerapkana sistem salaf dalam kurikulumnya. Namun apa pun yang terjadi setiap Kiai pengasuh pondok pesantren punya pola pikir dan alasan yang kuat terhadap penerapan kurikulum pondok pesantrennya. Menurut bentuknya dalam penelitian ini, penulis membagi pondok pesantren menjadi 3 (tiga) bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama,Pendidikan Pesantren Salafiyah, sejarah pendidikan pesantren secara universal meskipun pendidikan ini telah merakyat bagi masyarakat Muslim Indonesia, namun masih keterpinggirkan dan marjinalisasi. Pendidikan pesantren pada masa penjajahan Belanda hanya terpusat pada surau dan masjid bahkan sengaja menghindarkan diri dari kekuasaan kolonial Belanda.Secara umum, dari segi kepemimpinan, pesantren masih terpola secara sentralistik dan hierarkis, terpusat pada kepemimpinan seorang kiai. Kiai sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren. Ia mengatur irama perkembangan dan keberlangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karisma, dan keterampilannya (Us, 2010). Maka pendidikan pesantren dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; pendidikan salafiyah, pendidikan campuran (kombinasi), dan pendidikan kholafiyah.

Ciri-ciri pendidikan salafiyah menurut Wiryosukarto yang dikutip oleh Muhaimin adalah : (1) menyiapkan calon kiyai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata, kurikulum ditentukan oleh kiyai dengan merujuk kitab-kitab kuning kalsik dan tingkat kealiman santri bukan dari banyaknya ktab yang dipelajari tetapi diukur dengan praktik mengajar dan memahami kitab-kitab yang sulit; (2) kurang diberi pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan; (3) sikap isolasi yang disebabkan karena sikap nonkooperasi secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau barat (Muhaimin, 2003). Pendidikan� pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berkonsentrasi terhadap pendidikan agama dengan pembelajaran kitab kuning dengan tujuan penguatan pengetahuan agama dan pembinaan moral umat. Kitab kuning adalah buku bacaan dengan berbagai macam bidang seperti hukum, moral, pendidikan, pemerintahan dan lain-lain.Kertas kitab ini berwarna kuning dan tanpa harakat (Jamaluddin, 2012). Rudy Al Hana menjelaskan bahwa pesantren tradisional (salafi) memiliki ciri-ciri utama, yaitu (Al Hana, 2012): 1) Kitab Kuning yang berisi mengajarkan murni agama Islam dengan referensi kitab-kitab klasik (kitab kuning) ini ulama abad pertengahan dengan sistem bandongan/sorogan (Soebahar, 2013) dan wetonan. Para santri yang bercita-cita menjadi ulama, mengembangkan keahliannya mulai upaya menguasai bahasa-Arab terlebih dahulu yang dibimbing oleh seorang guru ngaji yang mengajarnya, dengan mempelajari ilmu nahwu dan shoraf yang digambar ibarat nahwu sebagai ayah dan shorof sebagai ibu kalau keduanya kumpul akan menghasilkan buat hati demikian juga kalau paham nahwu dan shorof akan bisa menghasilkan membaca kitab-kitab yang tanpa harokat.

Menurut zamahsari dhofir dengan bekal bahasa Arab secukupnya calon santri diberi arahan guru pembimbingnya memilih pesan�tren terdekat. Pilihan pesantren berikutnya akan bergantung kualitas masing-masing santri, terutama kualitas intelektual. Dan amibisinya.Kebanyakan sarjana keliru menyamakan lembaga-lembaga pesantren sebagai sekolah pengajaran pembacaan Al-Qur'an. Dalam struktur pendidikan Islam tradisional di Jawa, sebagai�mana telah digambarkan dalam bab sebelumnya, pengajaran pembacaan, Qur'an diberikan dalam pengajaran dasar di kampungnya. Walaupun memang benar bahwa pesantren-pesantren kecil mengajari pembacaan Al-Qur'an, namun pengajaran ini bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren.Kebanyakan pe�santren sekarang ini secara formal menentukan syarat bahwa para.calon santri harus menguasai pembacaan Al-Qur'an.Jika ada sistem klasikal sebagai perwujudan madrasah diniyah dengan inti pengajaran agama Islam dan kurikulumn dibuat dan disetandarkan dengan pesantren-pesantren pada umumnya dikalangan pesantren itu sendiri, dan diawal tahun ajaran pesantren biasanya dimulai semester gasal bulan syawal sampai bulan rabiual wawal, untuk semester genap dimulai rabiutsani sampai dengan sya�ban. 2) Pesantren Tidak dibatasi waktu, kemampuan para santri menguasai ilmu agama didasarkan oleh pada penguasaan kitab tertentu dengan tingkat kesukaran yang berbeda, sehingga lama waktu mondok tidak bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui tingkat keilmuan santri; 3) Peran sentral kiai, hubungan emosional antara kiai dan santri lebih dekat karena kiai memiliki peran �sentral� dalam semua proses pendidikan di pesantren salaf; 4) Tidak mngejar ijazah formal, pengakuan/keperyaan kiai pada santri� atas kemampuan ilmu agama Islam tertentu atau amalan dzikir tertentu masih sangat dominan dan ijazah formal bukan merupakan prioritas santri; dan 5) Teosentris, kultur dan paradigma berpikirnya didominasi oleh term-term klasik, seperti taw�dlu� yang berlebihan, zuhud, qan�ah, barakah atau akhirat oriented. 6) Pengelolaan pada aturan kiai, tidak memiliki manajemen dan administrasi modern, sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan yang dibuat oleh kiai dan diterjemahkan oleh pengurus pondok pesantren.

Berbicara pendidikan pesantren berarti berbicara tentang agama Islam sebab yang diajarkan dalam pendidikan pesantren adalah tafaqquh fil al-diin, pendidikan yang memberikan bimbingan, arahan, keteladanan, dan pembinaan terhadapan kepribadianya untuk menjadi manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia (Saridjo, 2009). Pada era globalisasi pondok pesantren menurut Husni Rahim dapat dikelompokan menjadi dua katagori utama; (1) Pondok Pesantren yang menyelenggarakan kajian agama Islam dengan sumber karya-karya ulama klasik dan selalu mempertahankan keaslinya serta tidak melakukan adaptasi dengan perkembangan yang muncul.(2) Pondok Pesantreen menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan sistem persekolahan atau dikenal dengan pondok pesantren kholafiyah atau lebih dikenal dengan pondok pesantren modern (Rahim, 2005).

Disamping itu pesantren mempunyai implikasi dari pembentukan santri yang mempunyai kualifikasi unggul dalam mencetak orang yang �alim, sholeh dan kafi di bidang agama, seperti� pengetahuan yang diperoleh santri tidak sekedar terwujud dalam ranah kognitif saja, melainkan juga terbentuk dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Berangkat dari pemikiran seperti ini, pondok yang memiliki otoritas sendiri dalam hal pembentukan budayanya sendiri, melaksanakan proses belajar dan pengajaran secara integratif-komprehensif (Zuhriy, 2011). Peran penting pesantren, termasuk pesantren salaf adalah penerjemah dan penyebar ajaran-ajaran Islam di masyarakat. Di sisi lain, untuk mempertahankan jati dirinya sebagai instituti pendidikan tradisional, pesantren harus melakukan seleksi ketat dalam pergaulan dengan dunia luar atau masyarakat yang tidak jarang malah menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang digariskan pesantren (Al Hana, 2012).

Pada perkembangan, beberapa pondok pesantren mulai berinovasi dengan menciptakan sistem kelas dan pembakuan kurikulum.Biasanya, sistem kelas di pesantren dilakukan dengan penjenjangan madrasah diniyah, �l� dan wusth�, dan masing-masing jenjang ini dibagi ke dalam beberapa kelas (Jamaluddin, 2012). Konsekuensi dan pelembagaan pesantren sedang melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen.Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua kiai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren bersangkutan.Perubahan otoritas kiai yang semula bersifat mutlak menjadi tidak mutlak lagi, melainkan bersifat kolektif ditangani bersama menurut pembagian tugas masing-masing individu, kendati peran kiai masih dominan (Us, 2010).

Tujuan belajar di pesantern adalah tafaqquh fii al-dīn.Yaitu mempelajari ilmu agama secara mendalam. Meski demikian, aspek ajaran yang memuat moral sufistik juga menjadi hal yang terpadu, integrated, dengan membedakan terhadap ilmu yang baru bermuncul dan berkembang pada masa ulama sekarang (Zuhriy, 2011).

Kedua, pendidikan pesantren khalafiayah.Secara tradisional, pendidikan Islam telah disediakan� oleh sistem Islam. Pada akhir era modern sekolah yang menggabungkan model Barat diperkenalkan Materi pelajaran dan metode pendidikan melahirkan tidak ada hubungannya apapun Islam, tetapi terkait untuk perkembangan terutama teknologi dan ekonomi yang Barat telah memberi contoh (M. M. Said, Muhammad, & Elangkovan, 2014).

Hakikat tujuan pendidikan nasional adalah upaya untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya. Istilah �seutuhnya� diidealisasikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan sejati yang masih terus menjadi dambaan sebagian besar masyarakat. Ketika� diapresiasikan dengan berbagai sudut pandang maupun kearifan keilmuan (wisdom of knowledge) maka arus globalisasi dan era pasar bebas terus menerpa sedemikian cepat dan keras, tak hanya merambah wilayah sosial budaya dalam arti yang sempit, melainkan telah merasuk dalam nadi pendidikan kita, baik melalui potensinya yang positif maupun dampaknya yang kadang negatif.

Tujuan pendidikan Islam adalah membimbing siswa untuk mencapai tujuan dan potensi secara otomatis sehingga merumuskan konsep pendidikan Islam yang akan mengatasi ketidak adilan dan kebodohan. Melalui pendidikan bisa mengembangkan kebijaksanaan danimanyang akan membantu untuk mencintai dan melakukan kebaikan dan tidak pernah melupakan hubungan mereka dengan Tuhan (M. M. Said et al., 2014).

Dalam perkembangan modern, pesantren, madrasah dan sekolah Islam menghadapi tantangan baru, di mana melakukan proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama�, dan mempertahankan tardisi lembaga Islam tidak bisa mengelak dari proses modernisasi itu. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren, madrasah dan sekolah Islam tersebut dari berbagai aspeknya, di antaranya adalah sistem kelembagaan,orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam.Orientasi peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren (Haningsih, 2008).

Pondidikan Islam dalam pelaksanaanya membutuhkan motode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakan.Menurut Samsul Nizar ciri khas kurikulum pendidikan Islam melihat peserta didik sebagai makhluk potensial untuk mengembangkan dirinya melalui berbagai aktivitas kependidikan. Pendidikan perlu secara aktif berperan mempersiapkan calon tenaga kerja agar mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain, para pakar berusaha memikirkan dan mencarikan berbagai alternatif pemecahanya.

Fokus sifat pengisian kurikulum abad ke 21, selain dari pada penguasaan pengetahuan dan kemahiran asas, adalah penguasaan sekurang-kurangnya tujuh kemahiran lain, yaitu: berfikir secara kritis dan kreatif; berkomunikasi secara berkesan; membuat pilihan dan membuat keputusan; mencari, mengintegrasi dan mengaplikasikan maklumat; bergaul dan bekerjasama dengan orang lain; menikmati keindahan ciptaan dan seni; kepimpinan dan pengurusan (H. Said, Talib, & Kelantan, n.d.).

Pendidikan dengan konsep kurikulum berbasisi kompetensi (KBK) telah diujicobakan di sekolah mulai jenjang dasar hingga menengah, hal ini untuk merespon SK Mendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyussunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.Kurikulum globalisasi pendidikan membentuk sebuah masyarakat yang bersifat sains serta progresif, berdaya cipta danberpandangan jauh ke hari depan, yakni sebuah masyarakat yang bukan sahaja dapatmemanfaatkan teknologi kini tetapi turut menjadi penyumbang terhadap pembentukanperadaban sains dan teknologi pada masa hadapan (H. Said et al., n.d.).

Pendidikan Islam dalam hal ini pesantren tentunya dalam proses pembelajaran diladaskan pada Al-Qur�an, As-Sunah Rasul, dan Akal yang digunakan sebagai proses ijtihad, landasan ini merupakan keunikan untuk membedakan dengan proses pendidikan yang diadopsi dari sistem pendidikan barat yang mendasari pada logika dan netral agama. Untuk dapat menjalankan tugas dan pengabdian manusia memerlukan potensi dan bekal pengetahuan yang cukup yang didapatkannya melalui pendidikan.pendidikan menjadi prioritas dalam merealisasikan misi Al-Qur�an.Sumber utama ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Allah Yang Maha Berilmu.

Ilmu pengetahuan disampaikan kepada manusia baik melalui wahyu, maupun kekuatan pemikiran (akal) yang berpotensi dengan daya akal dan indera untuk melahirkan cabang ilmu pengetahuan.Pendidikan pesantren memfokuskan materi pendidikannya pada penjelaqsan wahyu yang mengajarkan tuntunan akidah Islam, pelaksanaan ajaran Al-Qur�an dalam kehidupan sehari-hari dan pembentukan sikap perilaku sesuai tuntunan Al-Qur�an (Saridjo, 2009).

 

3.    Pengembangan Masa Mendatang Pendidikan Pesantren

Pengembangan masa mendatang pesantren mengikuti kebijakan Politik Pemerintahan Terhadap Keberadaan Pendidikan Pesantren. Secara de Jure pada hakikatnya madrasah baru di akui setelah munculnya amandeman Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 jo (H. M. Arifin, 1996). No. 12 Tahun 1954, dengan Undang � Undang No.2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, walaupun secarade facto Madrasah hakikatnya sudah hidup di tengah-tengah masyarakat sebelum di berlakukan undang-undang tersebut. Walaupun demikian, terobosan pertama ini memang tidaklah sempurna, namun hal itu bias menjadi peletak pertama pondasi yuridis Madrasah.

Secara yuridis, politik pendidikan di Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan. Sampai kini telah diterbitkan 3 (tiga) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran nomor 04 tahun 1950 jo Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 yang diterbitkan pada masa orde lama, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 1989 pada masa orde baru, dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pada masa reformasi. Pesantren sebagai cikal bakal lembaga pendidikan yang asli Indonesia, baru mendapatkan pengakuan secara yuridis pada tahun 2003 melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Sementara madrasah akhirnya diakui menjadi sub sistem dari sistem pendidikan nasional setelah secara perlahan dan pasti mengurangi memarjinalkan pelajaran ilmu-ilmu agama.

Dalam sejarah panjangnya, pesantren harus selalu dalam posisi yang kurang menguntungkan terutama di kancah politik pendidikan di Indonesia.Hal itu terjadi karena pemerintah belum berpihak kepada pondok pesantren regulasi kebijakan pemerintah terkait dengan sistem pendidikan di pondok pesantren selalu dikonstruksi dengan nalar pendidikan modern. Tentu tidak akan bisa dilaksanakan secara maksimal oleh pondok pesantren lantaran ia memiliki jati dirinya sendiri.

Pada masa pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, pesantren telah mendapatkan beberapa kemudahan. Melalui SKB dua Menteri nomor 1/U/KB/2000 dan nomor MA/86/2000 para santri di pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama), yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SMP/MTs atau bukan pula tamatan keduanya dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan syarat pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. STTB atau Ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah setara dengan STTB SD/MI atau SMP/MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang akan diatur oleh departemen terkait.

Namun tidak semua pesantren salafiyah mengikuti ketentuan dua Menteri diatas, sebagian mereka memilih tetap mempertahankan tradisinya. Sikap tidak mengikuti ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pihak pesantren itu sendiri, atau bisa juga karena kekhawatiran mereka akan hilangnya identitas salaf yang telah dipertahankan selama ini karena masuknya intervensi pemerintah terhadap kurikulum pesantren.

Pengakuan pendidikan pesantren seperti yang sudah tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan di samping pendidikan lainnya.

Dari setiap pasal UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 yang penulis ulas tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam pendidikan nasional.Pendidikan agama lebih memfokuskan diri dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada masa reformasi ini telah terjadi perubahan dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik menuju pemerintahan desentralistik. Hal ini ditandai dengan UU RI No. 22 Tahun 1999 yang digantikan UU No. 32 Tahun 2004, dan kemudian digantikan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pada Tanggal 30 September 2014, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kebijakan pendidikan pesantren di daerah khususnya Kabupaten Brebes, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Seperti yang sudah dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah mengenai perihal pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan antara pemerintahan pusat, pemerintah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota tentu sudah sangat jelas, namun untuk melihat kejelasan dan sikap dari masing-masing daerah tentu kita harus mengkajinya lebih mendalam mengenai pembagian urusan pemerintah bidang pendidikan.

 

Kesimpulan

Penyampaian kurikulumtidak memakai alat bantu, tetapi dalam penyampaian materi menggunakan bahasa Indonesia karena asal santri tidak terfokus dari wilayah Jawa Tengah, ada dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat tentunya mereka tidak paham bahasa jawa.

1.      Manajemen pendidikan pesantren�Sistem kita terorganisir pengajar dan pendidiknya.

Pendidikan fokus di Madrasah dan diluar pendidikan diambil oleh pendok seperti bandongan dan sorogan.Instruksi pengajar itu dari madrasah setiap satu� bulan ada konsolidasi.

2.      Kompetensi pengajar ponpes

Dalam pemilihan para pengajar ada sistem seleksi, kalau santri tersebut mampu untuk mengajar nanti kita usulkan ketok palunya ada di Pak Kyai.

3.      Kegiatan belajar mengajar ponpesadalah� standar yang menjadi berbeda dalam berbahasa arab, jadi dari bahasa arab kita translate ke makna jawa kemudian kita translate lagi ke bahasa Indonesia. Materi yang diajarkan ustadznya dari ustadz yang menjarnya dulu sampai pada pak kyai sehingga kita mengenalnya dengan sistem sanad.

Cara pembacaan ustadz tidak jauh beda denagn yang diajarkan oleh ustadz-ustadz pendahulunya misal memaknai makna murod kemudian dijelaskan, karena murod saja tidak cukup jika diajarkan kepada anak-anak. Penjelasan yang lebih rinci yang selanjutnya ada dialog dengan anak didiknya mana yang masih kurang, dalam penjelasan makna kami tidak memakai jawa tetapi menggunakan bahasa Indonesia.

4.      Ekstrakurikuler pondok pesantrenkami yang mengurus itu pondok pesantren yaitu ngaji Bandongan, kalau ekstrakulikuler yang lain (takutnya) bisa mempengaruhi fokus kita pada sistem salafiyah

5.      Output atau outcam akan menghadapi dunia luar kita mempersiapkan para santri yang siap terjun di masyarakat, pola yang ada di masyarakat sebenarnya sederhana namun sering dengan adanya globalisasi kita tetap siap menghadapi. Yang namanya rizki dan program pendidikan kita serahkan yang maha kuasa Alloh SWT.

6.      Serapan materi dari ustadz bagi santri. Pemahaman melihat dari IQ santri sendiri berbeda, asalnya santri ada yang dari pesantren ada yang dari umum dengan cara latihan untuk memahami. Memahami materi ada kelompok belajar (kooperatif) belajar wajib ba�da isya dan ba�ada asyar.Kalau nuruti full anak tidak ada istirahatnya. Ma�had ali materinya musyawir. Dalam penyampaiannya tergantung dari ustadznya sendiri juga terpengaruh dari watak pribadi mereka.

7.      Ciri khas At-Tauhidiyah Talang dibanding pondok salafiyah yang lain, menurut orang lain adalah kami bagus di bidang ilmu tauhid


Bibliografi

 

Abdurahman Abror. (1989). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: (Yogyakarta : Nurcahaya, 1989), h. 7.

 

Al Hana, R. (2012). Perubahan-perubahan Pendidikan di Pesantren Tradisional (Salafi). Tadris Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 198�213.

 

Arifin, H. M. (1996). Ilmu pendidikan Islam: suatu tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan interdisipliner. Bumi Aksara.

 

Arifin, Miftah. (2014). Wacana Pengembangan Pesantren di Era Globalisasi. Edu Islamika, 6(1), 132�155.

 

Arifin, Muzayin. (1991). Kapita selekta pendidikan: Islam dan umum. Bumi Aksara.

 

Azra, A. (2009). Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan. Edukasi, 6(4), 294475.

 

Balitbang Kementrian Agama. (2015). Kontektuslisai Kajian Kitab Kuning Di Pesantren (Cet. I, 20). Jakarta: (Perpus SPS UIN Jakarta : Balitbang Cet. I, 2015): 49-53.

 

�elik, V., & G�mleksiz, M. N. (2000). A critical examination of globalization and its effects on education. Fırat �niversitesi Sosyal Bilimler Dergisi, 10(2), 133�144.

 

Daulay, H. H. P. (2014). Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kencana.

 

Gibson, Invancevich & Donnelly, Organisastion, 8Ed. (1997). Alih bahasa Nunuk Adiarni 101-103. (Edisi 8, j). Jakarta: Jakarta : Binarupa Aksara.

 

Haningsih, S. (2008). Peran strategis pesantren, madrasah dan sekolah islam di Indonesia. El Tarbawi, 1(1), 27�39.

 

Jamaluddin, M. (2012). Metamorfosis Pesantren Di Era Globalisasi. KARSA: Journal of Social and Islamic Culture, 20(1), 127�139.

 

Johnston, M. P. (2015). Distributed leadership theory for investigating teacher librarian leadership. School Libraries Worldwide, 21(2), 39.

 

M. Amin Rais. (1992). Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, Cet. Ke 5, 1992), h. 158.

 

Mastuhu. (1994). Dinamika sistem pendidikan pesantren: suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren. INIS.

 

Muhaimin, H. (2003). Arah baru pengembangan pendidikan Islam. Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Yayasan Nuansa Cendekia, Bandung.

 

Rahim, H. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

 

Robert J Taormina. (n.d.). The Art of Leadership: an a evolutionary perpective,� ,. International Journal of Arts Management, 13, n.

 

Said, H., Talib, N., & Kelantan, P. S. P. N. (n.d.). Cabaran Era Globalisasi Ke Atas Warga Pendidlkan Di Malaysia.

 

Said, M. M., Muhammad, N., & Elangkovan, K. (2014). The Continuity and Change of Indonesia�s Islamic Higher Educational Institutions in the amid of Educational Policy Change. Asian Social Science, 10(6), 71.

 

Saridjo, M. (2009). Mereka bicara pendidikan islam: sebuah bunga rampai. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Soebahar, A. H. (2013). Modernisasi Pesantren: Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren. Lkis Pelangi Aksara.

 

Susnita, T. A. (2017). Pelaksanaan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Kaitannya Terhadap Kinerja Pegawai Di Smk Mec Majalengka. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(3), 144�153.

 

Us, K. A. (2010). Kepemimpinan kiai pesantren: studi terhadap pondok pesantren di kota jambi. Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 25(2), 37095.

 

Wayong, M. (2017). Sinergi Agama Dan Sains: Suatu Paradigma Menuju Era Globalisasi Pendidikan. Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 10(2), 128�137.

 

Zuhriy, M. S. (2011). Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(2), 287�310.