Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 12 Desember 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

GAMBARAN AUTHENTIC HAPPINESS PADA REMAJA YANG MEMILIKI KELUARGA BROKEN HOME

 

Gabriella Theri Christina Saliha, Afif Kurniawan

Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 November 2021

Direvisi

05 Desember 2021

Disetujui

15 Desember 2021

Fase remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa yang mana dipenuhi dengan berbagai tantangan perubahannya sendiri. Salah satu sosok yang penting dalam proses perkembangan individu adalah keluarga. Apabila tugas dan peran masing-masing anggota keluarga tidak dijalankan dengan baik maka akan timbul suatu permasalahan yang bahkan bisa berujung menjadi kondisi broken home. Anak cenderung mengalami ketidakbahagiaan ketika dirinya memiliki keluarga broken home. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran authentic happiness pada remaja yang memiliki keluarga broken home. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus intrinsik. Subjek penelitian ini berjumlah 3 orang yang terdiri dari seorang remaja laki-laki (20 tahun) dan dua orang remaja perempuan (17 & 15 tahun). Alat penggalian data yang digunakan adalah pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori authentic happiness milik Seligman. Hasil analisis dari data penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek menunjukkan hasil yang mirip antara satu sama lainnya dimana mereka masing-masing mengungkapkan baik aspek maupun faktor yang mempengaruhi kebahagiaan sejati dengan serupa. Subjek 1 menunjukkan bahwa dirinya memenuhi kelima aspek sumber kebahagiaan sejati tersebut beserta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Begitu pula dengan subjek 2 dan 3. Mereka masing-masing sudah memiliki hal-hal baik yang membantunya mencapai kebahagiaan sejati. Dalam faktor-faktor yang mempengaruhi mereka juga menunjukkan hal-hal positif yang mana seharusnya dapat meningkatkan kebahagiaan yang dirasakan. Hal-hal positif yang ditunjukkan baik itu dalam faktor lingkungan maupun dalam faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu.

 

ABSTRACT�������������������������

The adolescent phase is a period of transition from childhood to adulthood which is filled with its own challenges of change. One of the important figures in the process of individual development is the family. If the duties and roles of each family member are not carried out properly, a problem will arise which can even lead to a broken home condition. Children tend to experience unhappiness when they have a broken home family. This study aims to see the description of authentic happiness in adolescents who have broken homes. This research is a qualitative research using the intrinsic case study method. The subjects of this study were 3 people consisting of a boy (20 years old) and two girls (17 & 15 years old). The data mining tool used is an interview guide which is based on Seligman's theory of authentic happiness. The results of the analysis of the research data showed that the three subjects showed similar results with each other where they each expressed both aspects and factors that affect authentic happiness in a similar way. Subject 1 shows that he fulfills the five aspects of the source of authentic happiness along with the factors that influence it. Likewise with subjects 2 and 3. Each of them already has good things that help him to achieve authentic happiness. In the factors that influence them also show positive things which should increase the perceived happiness. Positive things are shown both in environmental factors and in factors that are under individual self-control.

Kata Kunci:

authentic happiness; remaja; keluarga broken home

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: authentic happiness; teenager, broken home family



 

Pendahuluan

Sejatinya, kebahagiaan merupakan tujuan yang ingin dicapai setiap individu dalam hidupnya. Meski demikian, hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita inginkan karena masalah demi masalah akan senantiasa datang selama kita masih hidup di dunia ini. Setiap permasalahan yang dialami akan berbeda-beda sesuai dengan fase perkembangan manusia yang dilewati individu. Salah satu fase perkembangan yang unik serta menarik untuk menjadi pusat perhatian dan dikaji lebih lanjut adalah fase remaja. Disebut sebagai fase yang unik dan menarik karena fase remaja merupakan fase peralihan atau masa transisi individu dari kanak-kanak menjadi dewasa. Selama masa transisi ini, individu akan mengalami berbagai macam tantangan dan juga krisis diri akibat proses penyesuaian serta pencarian akan jati dirinya. Jumlah remaja di Indonesia berdasarkan data sensus penduduk tahun 2020 adalah kurang lebih sekitar 44,51 juta jiwa (Statistik, 2021).

Terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada diri individu ketika dirinya berada di fase remaja yang mana perubahan tersebut meliputi perubahan hormonal, fisik, sosial, maupun psikologisnya. Banyaknya aspek yang mengalami perubahan membuat individu pada fase ini harus mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan tepat, jika tidak maka hal tersebut akan mempengaruhi karakter dan juga kehidupan individu ke depannya. Selain itu, gambaran diri yang dimiliki individu pada fase ini menyebabkan berbagai macam kerumitannya sendiri hingga akan cenderung mengalami suatu konflik, baik itu konflik yang berasal dari dalam dirinya maupun yang berasal dari lingkungan di sekitarnya. Keunikan dari fase ini adalah masa dimana individu mengalami tantangan dan juga krisis yang disebabkan karena terjadinya proses penyesuaian serta pencarian jati diri. Anna Freud mengungkapkan bahwa di fase remaja ini terjadi berbagai proses perkembangan yang mana mencakup perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual dan juga dalam hubungan individu dengan orang tua serta cita-citanya. Perubahan cita-cita tersebut merupakan suatu proses pembentukan orientasi individu terhadap masa depan (Putro, 2017).

Salah satu hal yang memiliki pengaruh dalam proses perkembangan individu adalah keluarga. Peran serta sosok keluarga merupakan salah satu hal yang penting dalam tumbuh kembang individu. Apabila peran dan sosok keluarga tersebut tidak dapat terpenuhi maka akan cenderung menghasilkan hal-hal yang negatif. Salah satu situasi atau kondisi dimana peran dan atau sosok keluarga tidak terpenuhi adalah broken home. Menurut Willis, keluarga broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : (1) Keluarga yang strukturnya tidak utuh karena orang tuanya bercerai atau salah satunya meninggal, (2) Keluarga yang strukturnya tidak utuh karena salah satu orang tuanya sering tidak di rumah atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi dan sering bertengkar. (Willis, 2013) Keadaan yang demikian membuat kebutuhan anak terkait dengan rasa kasih sayang dari orang tuanya cenderung tidak terpenuhi. Dalam kebanyakan kasus keluarga broken home anak akan selalu menjadi ataupun dijadikan korban (Astuti, Y., & Anganthi, 2016).

Remaja yang memiliki keluarga broken home cenderung menunjukkan hal-hal yang negatif dan mengalami ketidakbahagiaan dalam hidupnya. Pernyataan ini didukung oleh penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Keluarga broken home cenderung menimbulkan dampak negatif bagi individu, baik itu terkait moral, psikologis, perilaku sosial, dan lain sebagainya. Salah satu penelitian yang dilakukan di salah satu sekolah di Banyuwangi menunjukkan bahwa siswa yang memiliki keluarga broken home memiliki perilaku moral yang buruk dan perkembangan psikososialnya terhambat. Perilaku moral yang buruk tersebut seperti membuat kesalahan tetapi tidak mau meminta maaf atas hal itu, cenderung tidak menaati tata tertib sekolah yang berlaku, serta mencari perhatian dengan cara membuat kegaduhan ketika jam pelajaran berlangsung. Sedangkan perkembangan psikososial yang terhambat seperti tidak bersemangat dalam mempelajari pengalaman baru, individu tidak merasa percaya diri, serta sering membandingkan dirinya dengan teman (Trianingsih, R., Inayati, I. N., & Faishol, 2019).

Kemudian penelitian lain juga mengungkapkan bahwa keluarga broken home menimbulkan dampak yang negatif terhadap perilaku sosial anak, seperti rentan mengalami gangguan psikis, perasaan benci terhadap kedua orang tuanya, mudah mendapat pengaruh buruk dari lingkungannya, memandang bahwa hidup adalah hal yang sia-sia, tidak mudah bergaul dan juga terdapat beberapa permasalahan moral. Dari dampak yang disebutkan tadi, perilaku yang paling menonjol adalah anak mudah mendapat pengaruh yang buruk dari lingkungannya dan terjadinya permasalahan-permasalahan moral (Massa, N., Rahman, M., & Napu, 2020). Remaja yang memiliki keluarga broken home juga cenderung mengalami tekanan bahkan gangguan mental seperti depresi. Ketidakstabilan psikologis tersebut menyebabkan individu memiliki perilaku sosial yang buruk (Aziz, 2015). Dikatakan pula bahwa ketika anak tidak mendapatkan pengasuhan yang baik dalam keluarganya maka perkembangannya akan terhambat serta anak akan cenderung berperilaku kurang baik (Hasanah, 2019). Dengan demikian maka diketahui bahwa anak yang memiliki keluarga broken home cenderung memiliki permasalahan dalam hidupnya.

Terlepas dari dampak-dampak negatif yang cenderung terjadi, remaja yang memiliki keluarga broken home juga menginginkan kebahagiaan. Meski kebahagiaan merupakan hal yang ingin diraih dan dirasakan setiap manusia, termasuk remaja, tetapi kebahagiaan sendiri merupakan suatu hal yang sulit untuk didefinisikan. Dikatakan demikian karena setiap individu memiliki pandangan serta pemahamannya sendiri terkait apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Hingga saat ini masih banyak perbedaan pendapat diantara para ahli terkait dengan konsep kebahagiaan. Beberapa mengatakan bahwa kebahagiaan berpusat pada materi, tetapi pada kenyataannya pemenuhan materi tidak selamanya menjadi sumber kebahagiaan seseorang. Terdapat beberapa individu di dunia ini yang kebutuhan materinya sudah terpenuhi tetapi dirinya tidak merasakan kebahagiaan dari hal itu. Menurut (Seligman, 2002), kebahagiaan merupakan suatu keadaan dimana individu cenderung mengenang dan atau mengingat peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dan begitupun sebaliknya. Diantara berbagai konsep kebahagiaan yang ada, Seligman memberikan gambarannya terkait dengan suatu kebahagiaan yang autentik atau sejati pada individu. Konsep kebahagiaan yang autentik atau sejati itulah yang kemudian disebut Authentic Happiness. (Seligman, 2002) mengungkapkan bahwa terdapat lima aspek utama yang menjadi sumber kebahagiaan sejati, yaitu : (1) Adanya hubungan positif dengan orang lain, (2) Keterlibatan diri secara penuh, (3) Penemuan makna dalam hidup, (4) Sikap optimisme yang realistis, dan (5) Kemampuan resiliensi (Seligman, 2002).

Buku yang berjudul Authentic Happimess: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment, (Seligman, 2002) mengatakan bahwa kebahagiaan jangka panjang merupakan hasil penjumlahan dari rentang kebahagiaan, lingkungan, dan juga faktor-faktor yang berada di bawah pengendalian sadar individu. Masih di dalam buku yang sama, (Seligman, 2002) membedakan kebahagiaan yang sifatnya sementara dengan kebahagiaan yang sifatnya menetap. Dikatakan bahwa kebahagiaan yang menetap itu merupakan hasil penggabungan dari lingkungan dan faktor-faktor yang berada dibawah pengendalian diri individu. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kebahagiaan individu meliputi uang, pernikahan, kehidupan sosial, emosi positif, usia, agama, kesehatan, pendidikan, iklim, ras, dan gender. Sedangkan faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu, meliputi kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang (Seligman, 2002).

Berdasarkan penjabaran diatas fase remaja terkhususnya yang memiliki keluarga broken home serta konsep kebahagiaan sejati atau Authentic Happiness merupakan dua aspek yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kedua hal tersebut juga telah menarik minat serta perhatian peneliti untuk dikaji lebih lagi. Telah dikatakan sebelumnya bahwa individu cenderung merasakan ketidakbahagiaan dan sering memunculkan emosi serta perilaku yang negatif ketika dirinya memiliki keluarga broken home. Mengingat hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran Authentic Happiness pada remaja yang memiliki keluarga broken home terlebih pada keluarga yang strukturnya tidak utuh dikarenakan salah satu orang tuanya jarang berada di rumah atau tidak menunjukkan hubungan kasih sayang lagi dan sering bertengkar satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Authentic Happiness pada remaja yang memiliki keluarga broken home, dengan demikian maka terdapat beberapa pembatasan yang mana tidak semua faktor lingkungan dan faktor yang berada di bawah pengendalian individu akan dimasukkan atau dikaji lebih lanjut. Faktor lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini berupa, keuangan atau pemenuhan materi yang cukup, kehidupan sosial yang memuaskan dengan cara banyak menghabiskan waktu untuk bersosialisasi, cenderung mengalami emosi positif, menjalankan perintah agamanya, dan memiliki kesehatan yang dirasa baik. Sedangkan faktor yang berada dibawah pengendalian diri individu yang digunakan dalam penelitian ini berupa, kepuasan pada masa lalunya yang dapat digambarkan melalui rasa syukur dan memaafkan, lalu kemampuan untuk memandang secara positif segala sesuatu di masa depan, serta keadaan yang merasakan kenikmatan di masa sekarang dengan adanya pengalaman gratifikasi dalam hidupnya. Selain itu kelima aspek utama yang menjadi sumber Authentic Happiness akan digunakan semuanya dalam penelitian ini. Kelima aspek tersebut, yaitu adanya hubungan positif dengan orang lain, keterlibatan diri secara penuh, penemuan makna dalam hidup, sikap optimisme yang realistis, dan kemampuan resiliensi.

 

Metode Penelitian

Peneliti memutuskan untuk menggunakan desain penelitian kualitatif pada penelitian ini. Kemudian, tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Lebih lanjut, tipe penelitian studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus intrinsik. Metode yang digunakan dalam studi kasus intrinsik ini adalah metode yang melibatkan kegiatan wawancara. Dalam penelitian ini, kualifikasi subjek yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : (1) Berusia 12-21 tahun, (2) Berasal dari keluarga broken home dimana salah satu orang tuanya jarang berada di rumah dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang,. Lokasi penelitian disini tidak berfokus pada suatu daerah atau area tertentu. Hanya saja secara luas, lokasi yang ditetapkan adalah dalam lingkup Negara Indonesia. Penentuan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yang mana dilakukan dengan cara memilih individu-individu tertentu yang sesuai dengan kriteria berdasarkan pertimbangan yang matang untuk memberikan data yang diperlukan. Subjek dalam penelitian ini dapat diperoleh dengan cara mencari secara langsung ataupun menyebarkan poster di media sosial. Kriteria subjek penelitian sendiri didasarkan pada rentang usia ketika anak berada di fase remaja. Kemudian remaja yang akan dijadikan subjek adalah remaja yang memiliki keluarga broken home dimana salah satu orang tuanya jarang berada di rumah dan atau tidak menunjukkan hubungan kasih sayang lagi.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Aspek-Aspek Authentic Happiness

Baik subjek 1 hingga 3 menunjukkan bahwa mereka masing-masing memenuhi kelima aspek utama sumber kebahagiaan sejati. Kelima aspek tersebut adalah adanya hubungan yang positif dengan orang lain, keterlibatan diri secara penuh, penemuan makna dalam hidup, sikap optimisme yang realistis, dan kemampuan resiliensi (Seligman, 2002).

Ketiga subjek meunjukkan adanya hubungan yang positif dengan orang lain dimana mereka tidak memiliki masalah tertentu dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Bahkan mereka cenderung saling bercerita dengan teman-temannya baik itu hal yang penting hingga ke hal-hal yang umum. Selain itu, mereka bertiga juga membantu orang lain di sekitarnya yang sedang membutuhkan pertolongan. Subjek MF mengungkapkan bahwa sumber kebahagiaannya itu ketika dirinya berbagi dan menolong orang lain. Sedangkan subjek DD mengungkapkan bahwa dirinya sering membantu gurunya ketika membutuhkan pertolongan. Subjek ON juga mengungkapkan hal yang serupa.

Keterlibatan diri secara penuh juga ditunjukkan oleh ketiga subjek penelitian ini. Diketahui bahwa mereka tidak sebatas melakukan aktivitasnya saja tetapi mereka benar-benar melibatkan perasaan dan pikiran mereka disana. Baik subjek MF, DD, maupun ON mereka sama-sama aktif dalam kegiatan organisasi dan ketika melakukan hobinya mereka merasa senang. Bahkan subjek DD mengungkapkan bahwa dengan hobinya tersebut dia juga bisa melakukan refreshing dari tugas-tugas sekolahnya. Dalam menyelesaikan pendidikan mereka pun, mereka melakukannya dengan baik.

Lalu dalam penemuan makna hidup ketiga subjek juga menunjukkan bahwa mereka memenuhi aspek ini. Mereka cenderung sudah memaafkan hal-hal tidak menyenangkan yang ada pada masa lalu mereka, meski semuanya mengungkapkan bahwa mereka juga belum bisa sepenuhnya. Selain itu, mereka juga merasa bersyukur dengan kehidupan mereka saat ini. Subjek MF mengatakan bahwa sedikit banyak dirinya sudah memaafkan hal-hal tidak menyenangkan di masa lalunya dan saat ini bersyukur akan kehidupannya. Begitu pula dengan subjek DD, dirinya mengungkapkan bahwa kebanyakan dari hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalunya tersebut sudah dia maafkan meskipun masih ada beberapa yang diusahakan. Saat ini dirinya juga merasa bersyukur akan kehidupannya. Terakhir, subjek ON juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Dirinya mengatakan bahwa sekitar 80% hal-hal tidak menyenangkan di masa lalunya sudah dia maafkan, dan dirinya merasa bersyukur akan hal-hal yang ada dikehidupannya saat ini.

Ketiga subjek penelitian menunjukkan adanya sikap optimisme yang realistis, dimana mereka menjalani hidup mereka dengan penuh harapan. Subjek MF mengharapkan yang terbaik dalam pendidikannya dan dirinya menginginkan kesempatan untuk magang. Sedangkan subjek DD mengatakan bahwa dirinya juga menginginkan masa depan yang cerah dimana cita-citanya bisa tercapai. Selain itu dirinya juga mengharapkan serta mengusahakan untuk memperbaiki kerenggangan hubungan dalam keluarganya. Lalu, subjek ON juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Dirinya mengungkapkan ingin mencoba memperbaiki hubungan keluarganya saat ini dan menginginkan yang terbaik dalam pendidikannya sehingga impiannya dapat terwujud.

Kemampuan resiliensi yang dimiliki ketiga subjek penelitian juga baik dan terpenuhi yang mana ketiga subjek tidak menganggap suatu kegagalan adalah hal yang negatif. Subjek MF mengungkapkan bahwa kegagalan adalah sesuatu yang menjadi batu loncatannya agar bisa lebih baik ke depannya. Dirinya juga belum pernah menyerah ketika menghadapi suatu kegagalan. Sama halnya dengan subjek DD yang mana dirinya menganggap kegagalan adalah hal yang wajar dan bagian dari proses. Ketika gagal dirinya pun mengambil pembelajaran dari hal tersebut. Subjek ON juga mengatakan demikian, kegagalan itu tidak apa-apa apalagi ketika diri sudah berusaha. Subjek ON lebih berfokus terhadap keaadaan lain yang membuatnya gagal karena dirinya merasa bahwa dia sudah melakukan yang dia biasa.

2.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Authentic Happiness

Ketiga subjek juga mengalami faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan sejati, baik itu faktor lingkungan maupun faktor yang berada di bawah pengendalian diri seseorang. Faktor lingkungan yang digunakan disini hanya lima dari delapan faktor lingkungan yang dikemukakan oleh (Seligman, 2002), yang mana adalah uang, kehidupan sosial, emosi positif, agama, dan kesehatan. Selanjutnya, faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu terdiri dari tiga hal menurut (Seligman, 2002), yaitu kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang.

Faktor lingkungan yang pertama, yaitu uang. Hal ini dapat dilihat dari pemenuhan materi dan juga kebutuhan sehari-hari yang tercukupi. Ketiga subjek menunjukkan hal yang demikian. Subjek MF mengungkapkan bahwa kebutuhan sehari-harinya terpenuhi dan masih berada dalam kondisi aman saat ini. Begitu juga dengan subjek DD, dirinya mengungkapkan bahwa kebutuhan sehari-harinya tercukupi. Sama halnya dengan subjek ON, dirinya mengatakan bahwa kebutuhannya terpenuhi dan bahkan mendapatkan uang jajan tambahan dari ayahnya.

Selanjutnya adalah faktor lingkungan yang kedua, yaitu kehidupan sosial. Dimana tampak dari ketiga subjek yang memiliki kehidupan sosial yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan masing-masing subjek yang cenderung menghabiskan waktunya bersosialisasi dengan orang lain dan kesertaan mereka dalam aktivitas organisasi. Subjek MF mengungkapkan bahwa dirinya cukup mudah bersosialisasi dengan orang lain dan juga dirinya secara aktif mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya. Kemudian subjek DD juga mengatakan bahwa dirinya adalah individu yang mudah bersosialisasi serta menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Dirinya juga tergabung sebagai anggota OSIS di sekolahnya. Hal ini juga berlaku bagi subjek ON, dirinya adalah individu yang mudah bersosialisasi dan lumayan memiliki banyak teman. Dirinya juga tergabung dalam OSIS sekolahnya.

Faktor lingkungan berikutnya adalah emosi positif yang mana ketiga subjek juga memperlihatkan hal ini. Mereka masing-masing merasa senang dan menikmati hidupnya, mereka juga sadar bahwa hal-hal negatif bisa saja terjadi. Subjek MF mengungkapkan dirinya merasa senang ketika melakukan hobinya dan juga aktifitas organisasi yang diikutinya. Begitu pula dengan subjek DD, dirinya juga merasa senang ketika melakukan hobinya terlebih lagi jobi tersebut dapat dijadikan refreshing dari tugas sekolah dan mengikuti lomba terkait hal tersebut. Subjek ON juga mengatakan dirinya cenderung merasa senang ketika melakukan hobinya yang mana cukup sering dilakukannya.

Kemudian, faktor lingkungan yang keempat adalah agama. Ketiga subjek menunjukkan bahwa diri mereka adalah individu yang taat beragama. Subjek MF mengatakan bahwa dirinya rajin shalat lima waktu dan shalat jumat. Sedangkan subjek DD mengatakan bahwa dirinya masih sering pergi ke gereja dan mengikuti pelayanan. Tak jauh berbeda dengan subjek ON dimana dirinya sering beribadah ke gereja dan mengikuti pelayanan disana.

Yang terakhir dari faktor lingkungan adalah kesehatan, yang mana ketiga subjek penelitian merasa bahwa diri mereka sehat dan tidak mengalami masalah kesehatan lainnya. Subjek MF mengatakan bahwa dirinya merasa sehat dan tidak ada masalah kesehatan tertentu yang terjadi. Sama halnya dengan subjek DD dimana dirinya tidak merasa ada masalah terkait kesehatannya dan merasa baik-baik saja. Subjek ON juga merasakan hal serupa, dirinya merasa sehat tanpa adanya masalah kesehatan.

Berlanjut ke faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu yang pertama yaitu kepuasan terhadap masa lalu. Ketiga subjek menunjukkan hal ini melalui perilaku memaafkan dan rasa syukur akan kehidupannya saat ini. Subjek MF mengungkapkan bahwa dirinya sedikit banyak sudah memaafkan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalunya dan merasa bersyukur akan kehidupannya sekarang. Begitu pula dengan subjek DD, dirinya cenderung sudah memaafkan hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi di masa lalu meski terdapat satu dua hal yang masih diusahakan untuk dimaafkan. Dirinya juga mengungkapkan bahwa saat ini dia merasa bersyukur akan hidupnya. Subjek ON mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda, dirinya mengatakan bahwa sekitar 80% hal-hal tidak menyenangkan di masa lalunya sudah dimaafkan dan dia bersyukur akan hal-hal yang ada di hidupnya.

Faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu yang kedua adalah optimisme terhadap masa depan. Ketiga subjek juga menunjukkan hal yang positif disini, yang mana mereka masing-masing memiliki harapan yang cerah untuk masa depan mereka dan berusaha untuk mencapainya. Mereka tidak menganggap masa depan mereka suram tetapi lebih mengharapkan masa depan yang cerah. Subjek MF mengatakan bahwa dirinya menginginkan masa depan yang cerah dan dirinya dapat menyelesaikan pendidikannya serta mendapatkan kesempatan untuk magang. Lalu, subjek DD mengatakan bahwa dirinya juga menginginkan masa depan yang terbaik dimana dia dapat menjadi apa yang dicita-citakan. Subjek ON juga mengungkapkan hal seupa, dirinya menginginkan masa depan yang cerah dan impiannya dapat terwujud.

Faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu yang terakhir adalah kebahagiaan pada masa sekarang yang mana ketiga subjek menunjukkannya dengan cara melakukan kegiatan yang membuatnya merasa tertantang serta menggunakan keterampilan dan konsentrasi tertentu. Subjek MF mengungkapkan bahwa dirinya mengikuti kegiatan organisasi secara aktif dimana dia sering menyampaikan pendapatnya dalam diskusi atau rapat organisasinya. Sedangkan subjek DD mengatakan bahwa dirinya mengikuti perlombaan yang sesuai dengan hobinya yang mana adalah bermain basket. Lalu subjek ON mengatakan bahwa dirinya melakukan aransemen lagu dan membantu teman kelasnya mempersiapkan penampilan kelasnya untuk pentas seni sekolah.

3.    Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan di dalamnya yang mana salah satunya yaitu data yang dikumpulkan adalah data saat ini dan hanya sesaat. Selain itu, keterbatasan lainnya adalah waktu dan kondisi pandemi yang terjadi saat ini sehingga ketidaklengkapan data terjadi karena peneliti tidak dapat melakukan observasi lapangan untuk dijadikan data sekunder dalam penelitian ini. Selain itu, subjek penelitian yang sedikit juga membuat penelitian ini menjadi tidak dapat mewakili authentic happiness remaja dengan keluarga broken home. Dan yang terakhir, penelitian ini juga belum melibatkan variabel-variabel lainnya yang dapat mempengaruhi authentic happiness remaja yang memiliki keluarga broken home.

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Hasil penelitian ini memaparkan kelima aspek utama sumber kebahagiaan sejati pada remaja yang memiliki keluarga broken home dan juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga subjek menunjukkan hasil yang mirip antara satu sama lainnya dimana mereka masing-masing mengungkapkan baik aspek maupun faktor yang mempengaruhi kebahagiaan sejati dengan serupa. Subjek 1 menunjukkan bahwa dirinya memenuhi kelima aspek sumber kebahagiaan sejati tersebut beserta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Begitu pula dengan subjek 2 dan 3. Mereka masing-masing sudah memiliki hal-hal baik yang membantunya mencapai kebahagiaan sejati. Dalam faktor-faktor yang mempengaruhi mereka juga menunjukkan hal-hal positif yang mana seharusnya dapat meningkatkan kebahagiaan yangdirasakan. Hal-hal positif yang ditunjukkan baik itu dalam faktor lingkungan maupun dalam faktor yang berada di bawah pengendalian diri individu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Afifuddin, B. A. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia. Google Scholar

 

Astuti, Y., & Anganthi, N. R. (2016). Subjective Well-Being Pada Remaja Dari Keluarga Broken Home. Jurnal Penelitian Humaniora, 17(2), 161�175. Google Scholar

 

Aziz, M. (2015). Perilaku sosial anak remaja korban broken home dalam berbagai perspektif. Jurnal AlIjtimaiyyah, Vol. 1, No. 1. Google Scholar

 

Hamidi. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press. Google Scholar

 

Hasanah, U. (2019). Pengaruh Perceraian Orangtua Bagi Psikologis Anak. Jurnal Analisis Gender Dan Agama, 02(01). Google Scholar

 

Massa, N., Rahman, M., & Napu, Y. (2020). Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Perilaku Sosial Anak. Jambura Journal of Community Empowerment, 01(01), 1�12. Google Scholar

 

Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis data kualitatif (Qualitative data analysis), Translated by: Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Google Scholar

 

Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches 2nd Edition. Massachusetts: Pearson Education Inc. Google Scholar

 

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Google Scholar

 

Putro, K. Z. (2017). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Volume 17, Nomor 1, 25-32. Google Scholar

 

Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. Simon and Schuster. Google Scholar

 

Statistik, B. P. (2021). From Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin. https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/YW40a21pdTU1cnJxOGt6dm43ZEdoZz09/da_03/1. Google Scholar

 

Trianingsih, R., Inayati, I. N., & Faishol, R. (2019). Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Perkembangan Moral Dan Psikososial Siswa Kelas V Sdn 1 Sumberbaru Banyuwangi. Jurnal Pendidikan Anak Dan Karakter, 02(01). Google Scholar

 

Willis, S. S. (2013). Konseling keluarga (family counseling) : suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan masalh komunikasi di dalam sistem keluarga. Bandung: Alfabeta. Google Scholar

 

Yin, R. K. (2011). Studi kasus : desain dan metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Google Scholar

 

Copyright holder:

Gabriella Theri Christina Saliha (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: