Jurnal Syntax Admiration

Vol. 3 No. 2 Februari 2022

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI TERHADAP PEKERJA DI INDONESIA

 

Chamdani

Universitas Wijaya Putra Surabaya, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 Januari 2022

Direvisi

05 Februari 2022

Disetujui

15 Februari 2022

Kejahatan atau tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja dimungkinkan terjadi mengingat semakin meningkatnya persaingan usaha ditengah menyempitnya lapangan kerja. oleh karenanya penelitian ini� dibuat bertujuan untuk mengetahui bentuk tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja dan cara penyelesaiannya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan hukum positif terkait ketenagakerjaan melalui logika berpikir deduktif-induktif dan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk tindak pidana oleh korporasi dikategorikan berupa tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sedangkan penyelesaiannya belum dapat menjerat korporasi secara langsung karena tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja merupakan delik aduan yang berpotensi mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi korban tindak pidana, selain itu profesionalitas dan kompetensi penegak hukum dibidang ketenagakerjaan tidak berimbang dengan tingkat kompleksitas tindak pidana serta inkonsistensi peraturan perundang-undangang mengakibatkan sulit terwujudnya penegakan hukum tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja sehingga dibutuhkan terobosan hukum atau cara yang dapat memulihkan hubungan diantara keduanya baik pelaku maupun korban.

 

ABSTRACT�������������������������

crime or criminal acts by corporations against jobs that may be carried out to facilitate such business competition. Therefore, this study aims to determine the form of criminal acts by violations against workers and how to solve them. To answer this question, this research was conducted by means of a positive law literature study related to employment through deductive-inductive logic and observations made by researchers. The results of the study indicate that criminal acts by corporations are categorized as criminal offenses and violations of their settlement cannot be directly ensnared because criminal acts by corporations against workers are complaint offenses that have the potential to result in greater losses for victims of criminal acts, in addition to professionalism and competence of enforcement. The law in the field of manpower is not balanced with the severity of the crime and the inconsistency of laws and regulations will result in the realization of criminal law enforcement by corporations against workers, thus requiring a breakthrough or a way that can be done between the two perpetrators and victims.

Kata Kunci: ketenagakerjaan; korporasitindak pidana

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: employment; corporation; criminal act



 

Pendahuluan

Tidak bisa dipungkiri peran korporasi didalam perekonomian Indonesia sangatlah besar dalam hal penurunan angka pengangguran dan pertumbuhan ekonomi sehingga antara korporasi dengan negara serta masyarakat mmempunyai hubungan erat yang saling membutuhkan. Bagi negara peran korporasi didalam menggerakkan dan merealisasikan pembangunan nasional tidak bisa diabaikan, mengingat salah satu sumber dana dalam pembangunan suatu negara didapatkan dari korporasi.� Begitu erat dan pentingya keberadaan korporasi bagi sebuah negara dan masyarakat, menjadikan kesulitan tersendiri dalam hal terjadi tindak pidana yang dilakukan korporasi hingga menimbulkan dilema antara penegakan hukum dan kepentingan ekonomi. Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian untuk melakukan pendekatan penyelesaian tindak pidana oleh korporasi yang tidak menimbulkan efek domino sehingga antara penegakan hukum dan kepentingan ekonomi berjalan sebagaimana mestinya serta tujuan hukum untuk memberikan keadilan bagi semua masyarakat Indonesia tercapai sesuai cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945.

Perkembangan industrialisasi pada akhir-akhir ini mengalami kamajuan yang sangat pesat ditandai dengan menjamurnya korporasi yang bergerak diberbagai bidang menguasai perekonomian Indonesia, seiring dengan pola pikir dan gaya hidup seseorang yang serba instan dan praktis seakan berlomba-lomba menumpuk keuntungan demi memenuhi target yang dituntut oleh korporasi dan memenangkan pertarungan ditengah ketatnya persaingan antar korporasi.

Memenangkan persaingan dan keinginan meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan tujuan utama dari pendirian sebuah korporasi. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan tindak pidana oleh korporasi sehingga dapat merugikan negara dan siapapun terkait dengan korporasi tersebut termasuk didalamnya tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja. Tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja lebih dikenal sebagai tindak pidana ketenagakerjaan. Oleh sebab itulah tulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan sistematis bentuk tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja dan pendekatan penyelesaian yang dapat dilakukan apabila terjadi tindak pidana terhadap pekerja dalam hubungan kerja sehingga terwujud keadilan bagi korban tindak pidana dengan cara yang sesuai dengan� ketentuan hukum yang berlaku.

 

 

 

Metode Penelitian

Untuk mengetahui kejahatan korporasi, maka perlu diketahui terlebih dahulu menjawab apa saja bentuk tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja dan Bagaimana penyelesaiannya apabila� tindak pidana dilakukan oleh korporasi terhadap pekerja di Indonesia, maka penulis menggunakan studi kepustakaan dengan membaca dan menelaah. hukum positif yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan tindak pidana korporasi termasuk didalamnya tindak pidana ketenagakerjaan.

Penulis berusaha menjawab seobyektif mungkin dengan metode penalaran hukum secara interpretasi gramatikal, sistematis melalui penelitian normative dengan bahan hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku dan buku-buku hukum, jurnal� serta tindak pidana ketenagakerjaan yang telah ada sebelumnya melalui internet.

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Pengertian Korporasi

Kata �korporasi� dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai �badan usaha yang sah, badan hukum dan perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola atau dijalankan sebagai suatu perusahaan besar� (Daring, 2020). Menurut (Muladi, & Priyanto, 2010), secara etimologis kata korporasi berasal dari bahasa Belanda corporatie, bahasa Inggris dan Jerman disebut sebagai corporation dengan arti badan atau badan yang dijadikan orang atau membadankan atau badan hasil perbuatan manusia sebagai lawan dari manusia yang bersifat alami. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sebelumnya� pengertian tentang korporasi maupun hal lainnya terkait dengan korporasi di kenal di Indonesia sejak tahun 1951 yang termuat didalam Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang, pada pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi, pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika,� pasal 1 angka 13 dan pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, pasal 1 angka� 1 dan pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 1 angka 10 dan angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sehingga dari uraian tersebut diatas pengertian� dan hal terkait dengan korporasi sudah dikenal sejak tahun 1951 atau beberapa tahun setelah Indonesia Merdeka. Namun didalam penegakan hukumnya masih terkesan masih baru dikenal sejak Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 13 Tahun 206 diterbitkan. Maka berdasarkan pengertian dan rangkuman tentang definisi korporasi didalam peraturan perundang-undangan dapat dijelaskan bahwa Korporasi merupakan suatu badan diluar manusia namun diserupakan atau dianggap sebagai orang yang dijadikan subyek hukum.

2.   Pengertian Tindak Pidana Korporasi

Oleh karena korporasi merupakan subyek hukum yang apabila melakukan tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana oleh korporasi. Menurut Ron Kramer kejahatan� oleh korporasi didefinisikan sebagai �tindakan illegal dan/atau perbuatan yang menimbulkan kerugian sosial yang dilakukan secara sengaja oleh pimpinan yang berwenang atau bertanggungjawab dalam suatu perusahaan dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan� (Kristian, 2016). Kejahatan secara spesifik tidak dirumuskan didalam didalam undang-undang menjadi tindak pidana akan tetapi setiap orang mengakui kejahatan merupakan perbuatan yang patut dipidana yang diistilahkan sebagai rechtdelict atau delik hukum (Wikipedia, 2020). Jadi kejahatan bisa juga disebut sebagai tindak pidana. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang� Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sehingga berdasarkan uraian tersebut diatas kejahatan korporasi dapat diartikan suatu perilaku atau perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang beritndak untuk dan atas nama badan usaha atau perusahaan baik badan hukum atau bukan badan hukum yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

3.   Pengertian Pekerja dan Perusahaan

Menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain disebut pekerja/buruh. Sedangkan menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain atau usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain disebut sebagai perusahaan. Sebagaimana terurai sebelumnya didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perusahaan diartikan pula sebagai korporasi atau dengan kata lain perusahaan merupakan sinonim dari korporasi. Sehingga dalam konteks pada penelitian ini yang dimaksud dengan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan mendapat upah atau imbalan dalam bentuk lain yang mempunyai hubungan kerja atau keterikatan dengan perusahaan/korporasi.

4.   Bentuk Tindakan Atau Perbuatan Yang Termasuk Kejahatan Korporasi

Dalam pasal 3 Perma No.13 Tahun 2016 dijelaskan, bahwa �tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak dan untuk atas nama korporasi didalam maupun diluar korporasi� dengan kategori :� pertama : suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara illegal atau tidak sesuai hukum dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atau manfaat bagi korporasi; kedua : melakukan pembiaran terjadinya suatu tindak pidana atau tidak melakukan upaya pencegahan dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Dengan kedua kategori tersebut diatas, apabila ditinjau dari sisi korban tindak pidana korporasi maka yang terdampak antara lain: Pekerja, Pelanggan, Pesaing/Kompetitor, kesejahteraan masyarakat atau kerugian negara serta lingkungan.

5.   Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi

Menurut Michalowski dan Kramer� sebagaimana dikutip (Kristian, 2016) ruang lingkup tindak pidana atau kejahatan korporasi meliputi� �kondisi kerja yang kurang aman, pencemaran lingkungan, dumping produk yang tidak aman, korupsi politik, destabilisasi gerakan buruh untuk keadilan sosial, penghancuran industry local dan bisnis, penghindaran pajak. Sementara menurut Grabosky dan Braithwaite kejahatan korporasi mencakup pelanggaran sekuritas, penggelapan pajak, pelanggaran perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, perusakan lingkungan, penipuan konsumen, pelanggaran atas hak-hak pekerja serta praktek-praktek diskriminatif dan monopolistis�.

6.   Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Oleh Korporasi

Steven Box menyatakan setidaknya ada 5 (lima) faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya kejahatan korporasi (Kristian, 2016) antara lain :

a)   Persaingan Usaha

Pada era globalisasi dan pesatnya teknologi informasi saat ini menyebabkan bermunculan temuan-temuan baru baik bentuk barang yang akan di produksi, teknik pemasaran, pengaturan harga dan lain sebagainya dapat memicu persaingan antar korporasi dengan melakukan segala cara untuk memenangkan persaingan dengan kompetitor yang bertujuan pada penguasaan pasar. Bentuk kejahatan korporasi yang dilakukan korporasi dalam meraih tujuannya menguasai pasar antara lain dengan persekongkolan dalam harga, meniru produk, memalsukan produk, mencuri hak intelektual dan hak cipta dll. Sehingga bentuk kejahatan tersebut dilakukan karena didorong dalam rangka persaingan usaha.

b)   Pemerintah

Sebagai pemegang otoritas perekonomian negara, pemerintah melalui kewenangan-kewenangan yang dimandatkan oleh hukum tentunya memiliki kebijakan tertentu dalam hal pengamanan dan stabilisasi perekonomian demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah inilah yang kemudian dapat mendorong korporasi melakukan kejahatan atau tindak pidana karena kebijakan dianggap mengganggu atau setidaknya memperlambat laju keuntungan korporasi. Adapun bentuk kejahatan yang sering ditemui adalah penyuapan kepada oknum pemerintah atau penyelengga negara, korupsi proyek pemerintah dan lain-lain.

c)    Pekerja

Dalam mempertahankan eksistensi dan meningkatkan produktivitasnya, suatu korporasi tidak terlepas dengan peran serta para pekerja yang bekerja untuk korporasi. Keberadaan pekerja dalam suatu korporasi merupakan salah satu asset sekaligus beban bagi korporasi dalam bentuk upah, jaminan sosial dan fasilitas lainnya. Kepentingan pekerja sangatlah bertolak belakang dengan kepentingan korporasi, dimana pekerja menginginkan upah dan fasilitas lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sedangkan disisi korporasi upah pekerja serta fasilitas lainnya merupakan beban yang dapat mengurangi keuntungan bagi korporasi. Sehingga dari kepentingan yang berbeda dan betolak belakang tersebut dapat mendorong korporasi untuk melakukan segala cara dalam memperkecil atau mengurangi bentuk-bentuk hak yang seharusnya diberikan kepada pekerja dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d)   Konsumen (Pelanggan)

Konsumen merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong terjadinya kejahatan oleh korporasi, mengingat konsumen memiliki daya tawar yang tinggi terhadap korporasi diantara banyaknya korporasi yang menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen. Oleh sebab konsumen memiliki banyak pilihan sedangkan tujuan korporasi adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan hal ini didapat dari tingkat kuantitas konsumen yang diraih oleh korporasi. Untuk meyakinkan dan mendapatkan tempat dihati konsumen korporasi melakukan hal-hal berbagai cara seperti : iklan produk atau jasa yang tidak sesuai, penipuan harga, memalsukan label yang tidak sesuai dengan kriterian produk atau jasa dan lain sebagainya.

e)    Publik (Masyarakat)

Pesatnya kemajuan teknologi informasi pada akhir-akhir ini, membuat masyarakat menjadi lebih paham, mengerti dan semakin sadar akan pentingnya pemeliharaan lingkungan dampak lainnya ditengah menjamurnya industrialisasi. Korporasi kerap kali didalam melakukan aktivitasnya dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan lingkungan dengan pembuangan limbah dan aktivitas lainnya yang dapat mengganggu masyarakat baik dari sisi kesehatan maupun gangguan fisik atau psikis lainnya.

7.   Karakteristik Tindak Pidana Korporasi Terhadap Pekerja

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama ini semakin berkembang dan beragam, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi mempunyai karakteristik tersendiri� dibandingkan dengan tindak pidana konvensional atau pidana pada umumnya, antara lain :

a)   Tindak pidana dilakukan dengan cara yang sulit terdeteksi (low visibility) karena tertutupnya akses manajemen atau sistem korporasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya.

b)   Tindak pidana bersifat kompleks (complexity) karena terorganisir dan melibatkan banyak pihak serta biasanya berlangsung lama.

c)   Sistem pendelegasian atau penyebaran tanggungjawab (diffusion responsibility) didalam melakukan tindak pidana.

d)   Kejadian tindak pidana berdampak pada banyaknya korban (diffusion victimization) dan penerimaan korban yang menyebabkan kejahatan sulit terungkap.

e)   Dalam penegakan hukumnya sangat lemah yang disebabkan profesionalitas antara penegak hukum dengan pelaku tindak pidana tidak seimbang serta ringannya ancaman sanksinya.

f)    Dasar hukum sebagai landasan penegak hukum mengandung ketidakjelasan (ambiguitas law), sehingga sering kasus tidak dapat berproses lebih lanjut

8.   Bentuk Tindak Pidana Oleh Korporasi Terhadap Pekerja

Hubungan antara korporasi dengan pekerja sangatlah erat kaitannya dalam hal eksistensi dan peningkatan produktivitas korporasi itu sendiri.Namun demikian perbedaan kepentingan diantara keduanya dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja. Hal ini disebabkan karena posisi pekerja lebih lemah dibandikan dengan korporasi baik secara ekonomi, sosial maupun politik.

Adapun bentuk tindak pidana yang dapat menimpa pekerja yang dilakukan oleh korporasi dapat berupa kekerasan fisik, perlakuan diskriminasi dalam pekerjaan ataupun berupa tindakan lainnya seperti pengurangan atau penghapusan hak-hak dasar pekerja yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pemutusan hubungan kerja secara tidak sah (illegal).

Tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja tersebut digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu:

1.   Tindak Pidana Kejahatan

a.    Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana kejahatan bila menghalangi atau memaksa pekerja/buruh dalam hak berserikat sebagaimana diatur dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

b.   Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana kejahatan dengan ancaman sanksi yang diatur dalam pasal 183 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan� yaitu pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam hal mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk sebagaimana diatur dalam pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

c.    Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana kejahatan ancaman sanksi yang diatur dalam pasal 185 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah), dalam hal korporasi :

1)   Mempekerjakan anak sebagaimana diatur dalam pasal 68 dan pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2)   Tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya sebagaimana diatur dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3)   Tidak memberikan istirahat (cuti) bagi pekerja perempuan yang melahirkan atau keguguran sebagaimana diatur dalam pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4)   Tidak membayar upah pekerja sesuai kesepakatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 88A ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

5)   Menghalang-halangi pekerja/buruh yang melakukan aksi mogok kerja secara sah, tertib dan damai sebagaimana diatur dalam pasal 143 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

6)   Tidak membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

7)   Tidak mempekerjakan kembali pekerja yang tidak bersalah dalam perkara pidana baik atas pengaduan pengusaha atau bukan dan diputus sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 160 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

2.   Tindak Pidana Pelanggaran

a. Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda yang diatur dalam pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dalam hal :

1)   Tidak memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja terhadap pekerja/buruh sejak mulai rekrutmen maupun pada saat penempatan dalam pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2)   Tidak membayar upah pekerja/buruh yang berhalangan masuk bekerja dengan alasan atau kepentingan sebagaimana diatur dalam pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b.   Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda yang diatur dalam pasal 187 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dalam hal :

1)   Tidak menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing, tidak melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing dan tidak memulangkan tenaga kerja asing ke Negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir, sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

2)   Tidak memberikan perlindungan sesuai jenis dan derajat cacatnya terhadap pekerja/buruh penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3)   Mempekerjakan anak dengan tidak mentaati persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4)   Mempekerjakan pekerja/buruh perempuan dengan melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan ancaman sanksi yang diatur dalam pasal 187 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

5)   Tidak membayar upah lembur pekerja/buruh yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

6)   Tidak memberikan waktu istirahat atau cuti kepada pekerja sebagaimana diatur dalam pasal 79 ayat (1), ayat (2) atau ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

7)   Tidak membayar upah lembur pekerja/buruh yang bekerja pada hari libur resmi sebagaimana diatur dalam pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

8)   Melakukan penggantian pekerja/buruh atau memberikan sanksi / tindakan balasan terhadap pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja yang dilakukan secara sah sebagaimana diatur dalam pasal 144 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

c. Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana pelanggaran terhadap ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan ancaman sanksi pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan penjara dan denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

d.   Korporasi tidak membayar dan menyetorkan iuran jaminan sosial yang menjadi tanggungjawab korporasi terhadap BPJS sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Sosial, maka sesuai dengan pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Sosial diancam pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

e. Korporasi dikategorikan melakukan tindak pidana pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana denda yang diatur dalam pasal 188 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yaitu pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam hal :

1)   Tidak membuat surat pengangkatan terhadap pekerja/buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang dibuat secara lisan sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2)   Mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja dan tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

3)   Mempekerjakan 10 orang atau lebih pekerja/buruh, namun tidak membuat peraturan perusahaan� sebagaimana diatur dalam pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4)   Tidak memperbarui� peraturan perusahaan� yang telah habis masa berlakunya sebagaimana diatur dalam pasal 111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

5)   Tidak menjelaskan isi serta tidak memberikan naskah peraturan perusahaan berikut perubahannya terhadap pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam pasal 114 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

6)   Tidak memberitahukan pelaksanaan lock out kepada pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam pasal 148 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

9.   Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Korporasi Terhadap Pekerja/Buruh Di Indonesia

Dalam hal terjadi adanya dugaan tindak pidana dibidang ketenagakerjaan, pemerintah telah menetapkan prosedur penyelesaian melalui pengawas ketenagakerjaan yang telah dibentuk ditingkat daerah sampai dengan di tingkat pusat sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal pasal 176 sampai dengan pasal 180 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan sejak tahun 2014 pada lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur bahwa pembagian urusan pemerintahan dibidang ketenagakerjaan dalam sub bidang Pengawasan Ketenagakerjaan merupakan kewenangan Pemerintah� Provinsi.

Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan dengan tahapan yang diatur dalam pasal 9 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan yaitu :

1.   Tahapan Preventif Edukatif

Merupakan pelaksanaan pengawasan dalam bentuk kegiatan pembinaan sebagai upaya pencegahan, penasihatan teknis dan pendampingan.

2.   Represif Non Yustisial

Merupakan upaya paksa penegakan hukum ketenagakerjaan diluar pengadilan melalui nota pemeriksaan atau pernyataan kesanggupan pelaksanaan Norma Ketenagakerjaan berdasarkan hasil pemeriksaan.

3.   Represif Yustisial

Merupakan upaya paksa penegakan hukum ketenagakerjaan didalam pengadilan melalui proses penyidikan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan selaku PPNS Ketenagakerjaan. Pemeriksaan oleh pengawasan ketenagakerjaan dilakukan berdasarkan pengaduan pekerja/buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha/Asosiasi Pengusaha atau berdasarkan pengaduan masyarakat. Didalam melakukan kegiatan pemeriksaan, pengawas ketanagakerjaan melibatkan pengusaha dan/atau pengurus yang berwenang mewakili korporasi, Pekerja/Buruh yang bersangkutan, Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang anggotanya merupakan pekerja/buruh pada korporasi tersebut, Ahli K3 bila pelanggaran atau dugaan tindak pidana terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja serta pihak-pihak lain yang terkait dan dibutuhkan.

Sedangkan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dengan prinsip-prinsip : layanan public, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas, universalitas, transparansi, konsistensi dan koheren, proposionalitas, kesetaraan, Kerjasama dan kolaborasi (pasal 2 ayat 2 Permenaker No.33 Tahun 2016).

Adapun produk hukum daripada hasil pemeriksaan yang dilakukan pengawasan ketenagakerjaan adalah Nota Pemeriksaan I dan Nota Pemeriksaan II yang harus sudah disampaikan kepada pengurus korporasi dalam jangka waktu setelah 3 (tiga) hari sejak ditandatanganinya Nota Pemeriksaan tersebut. Jika kemudian sejak diterbitkannya Nota Pemeriksaan II tetap korporasi tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, maka dilakukan penyidikan oleh PPNS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Didalam perkembangannya penyelesaian tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan oleh korporasi terhadap pekerja/buruh, masih terfokus kepada pengurus korporasi dan belum menyentuh korporasi sebagai subyek hukum. Selanjutnya pekerja/buruh sebagai korban tindak pidana oleh korporasi seringkali terabaikan dan tidak mendapat perhatian untuk memperoleh keadilan, karena sistem peradilan di Indonesia masih menganut peradilan yang atributif atau hanya untuk menimbulkan efek jera berupa ancaman pidana penjara dan/atau denda bagi pelaku, sementara pekerja/buruh selaku korban tindak pidana hampir pasti akan kehilangan pekerjaan apabila kemudian korporasi terbukti melakukan tindak pidana. Hal inilah yang kemudian menjadi hambatan didalam penegakan hukum tindak pidana ketenagakerjaan oleh korporasi terhadap pekerja/buruh.

Dalam konteks kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tentu akan menjadi semakin kompleks dan sulit terwujud keadilan apabila menjadikan hukum pidana sebagai alat untuk memberikan efek jera pada korporasi, sementara negara sangat tergantung kepada korporasi sebagai penggerak roda perekonomian. Selain daripada itu terdapat korban tindak pidana oleh korporasi yang harus juga dilindungi hak-hak hukumnya. Mahkamah Agung sebagai pintu terakhir keadilan di Indonesia setidaknya sudah memulai memberikan alternative penyelesaian tindak pidana oleh korporasi dengan terbitnya Perma no 13 tahun 2016 yang menandakan sudah mulai terjadi pergeseran dan perkembangan penanganan dan penyelesaian suatu tindak pidana.

4.   Restoratif Justice

Pada saat ini Indonesia mulai melakukan konsep restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Dalam konsep ini mengedepankan perlakuan adil dan penghargaan harkat martabat korban dan pelaku tindak pidana dengan menghindari tuntutan pemenjaraan atau denda yang juga dapat mengakibatkan kerugian bagi korban tindak pidana oleh korporasi dengan cara pelibatan dan keaktifan pelaku dan korban dalam proses penyelesaiannya.

Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi terhadap pekerja/buruh, keadilan restoratif atau istilah lain sering di sebut keadilan pemulihan (restorative justice) merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) lebih menitikberatkan pada adanya partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana terurai diatas, dapat disimpulkan� bahwa bentuk Tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja/buruh meliputi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran yang didalam penegakannya masih belum dapat menyentuh korporasi karena bentuk penyebaran pendelegasian pertanggungjawaban didalam korporasi dan profesionalitas penegak hukum tidaklah berimbang kompetensinya dengan pelaku tindak pidana serta sifat tindak pidana oleh korporasi merupakan delik aduan, sehingga korban tindak pidana yaitu pekerja/buruh cenderung meenghindari pelaporan atas terjadinya tindak pidana oleh korporasi guna menghindari terjadinya kerugian yang lebih besar bagi korban tindak pidana. Selain dari pada kepentingan perekonomian dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan atau tidak jelasnya ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan hal yang menjadi pertimbangan bagi penegak hukum dan/atau pemerintah dalam menjerat korporasi sebagai pelaku kejahatan atau subyek hukum Bentuk Penyelesaian tindak pidana oleh korporasi diatur dengan tahapan :Preventif Edukatif, Represif Non Yustisial, Represif Yustisial, Restoratif Justice.

Yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan selaku PPNS Ketenagakerjaan yang memiliki kewenangan didalam melakukan pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja/buruh.

Mengingat penegakan hukum tindak pidana ketenagakerjaan dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan bagian dari Pegawai Negeri Sipil dibawah dibawah pemerintahan daerah, maka perlu harmonisasi hukum antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pembagian urusan pemerintahan dengan tujuan memberikan kepastian hukum dalam hal pengaduan dan penanganannya. Sistem penyelesaian restotif justice dalam tindak pidana oleh korporasi terhadap pekerja/buruh lebih baik, demi menyelamatkan kepentingan korban dan rehabilitasi pelaku serta perbaikan hubungan antara korporasi dengan pekerja/buruh selaku korban dalam jangka panjang, sehingga diperlukan terobosan hukum� berupa penggantian Undang-Undang terkait dengan ketenagakerjaan yang bertujuan penegakan hukum dan mencapai ketertiban, kedamaian dan ketentraman dalam tatanan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Daring, K. (2020). Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kemdikbud, Google Scholar

 

Indonesia, R., & Indonesia, P. R. (1970). Undang Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang: Keselamatan Kerja. Sekretariat Negara: Jakarta. Google Scholar

 

Kristian. (2016). Kejahatan Korporasi (di Era Modern dan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi). Bandung: Refika Aditama. Google Scholar

 

Kristiantoro, A. S. (2018). Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja/Buruh Yang Akan Membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Perusahaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Kasus Pada PT. Sinar Amaril Factory Semarang Dan PT. Sinar Puspita Abadi Batang). Unika Soegijapranata Semarang. Google Scholar

 

Mahkamah Agung, R. I. (2016). Perma No.13 Tahun 2016.� Bawas.Mahkamahagung.Go.Id. https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/perma_13_2016_web_fix.pdf Google Scholar

 

Maringan, N. (2015). Tinjauan Yuridis pelaksanaan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara Sepihak oleh perusahaan menurut undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Tadulako University. Google Scholar

 

Muladi, & Priyanto, D. (2010). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana. Google Scholar

 

Nomor, P. M. K. R. I. (33 C.E.). Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan. Jakarta. Google Scholar

 

Wikipedia. (2020). Ensiklopedia Bebas. Wikipedia. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pidana&oldid=16812410. Google Scholar

 

Copyright holder:

Chamdani (2022)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: