Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 1 Mei 2020

p-ISSN : ��� e-ISSN : ����

Sosial Teknik

 

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BIBIT IKAN LELE DI DESA KANCI KEC. ASTANAJAPURA KAB. CIREBON

Agam Prasnuary

Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon (IAI BBC)

Email:� [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

12 Mei 2020

Diterima dalam bentuk revisi

15 Mei 2020

Diterima dalam bentuk revisi

20 Mei 2020

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis adat kebiasaan dari proses perhitungan bibit ikan lele di Desa Kanci Kec. Astanajapura Kab. Cirebon, dalam hukum islam serta untuk menganalisis proses penetapan dalam jual beli bibit ikan lele di desa Kanci Kanci Kec.Astanajapura Kab.Cirebon,dalam hukum islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan kualitatif sehingga hasil yang di dapat menunjukan tidak adanya kejelasan dari takaran bibit lele yang dijual dan dibeli. Walaupun demikian telah adanya kerelaan antara penjual dan pembeli, baik dari takaran itu sendiri maupun dari harga bibit lele tersebut.

Kata kunci: Hukum Islam, Jual beli, bibit lele

 



Pendahuluan

Orang yang turun ke dunia usaha (Budidaya) wajib mengetahui semua hal yang dapat mengakibatkan berniaga (Jual Beli) itu sah atau tidak. Hal ini bertujuan agar muamalat berjalan sesuai ajaran yang telah ditetapkan dan segala sikap maupun tindakannya jauh dari penyimpangan yang tidak dianjurkan.

Hukum Islam (syariah) mempunyai kemampuan untuk berevolusi

dan berkembang dalam menghadapi soal-soal dunia Islam masa kini.Semangat dan prinsip umum hukum Islam berlaku pada masa lampau,masa kini, dana akan berlaku di masyarakat.(Muhammad Abdul Manan, 1995, p. 27) Allah telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya

Kemaslahatan manusia di dunia.

Untuk menwujudkan kemaslahatantersebut, Allah Swt. Telah mensyariatkan cara perdagangan tertentu. Sebab apa saja yang di butuhkan oleh setiap orang tidak dapat diwujudkan setiap saat. karena mendapatkanya dengan cara kekerasan serta penindasan.Penindasan dan kekerasan tersebut, merupakan tindakan yang merusak,maka harus ada sistem yang yang memungkinakan setiap orang untukmendapatkan apa saja yang di butuhkan, tanpa harus menggunakankekerasan dan penindasan. Itulah perdagangan dan hukum-hukum jual beli (Taqyudin An-Nahani, 1996, p. 149).

Semua manusia membutuhkan harta, hal ini bertujuan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya maupun keluarganya. Salah satunya yaitu dengan bekerja, sedangkan selain bekerja adalah berbisnis. Dengan landasan iman, bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup baik sendiri maupun keluarga dalam pandangan islam dapat dinilai sebagai ibadah yang memberi perolehan hasil, dan akan mendapatkan pahala.

 

Jual beli yang didalamnya terdapat unsur penipuan dilarang oleh hukum perdata Islam. Dengan demikian penjual tidak boleh menjual ikan yang masih didalam air, daging yang masih ada didalam perut domba, janin binatang yang masih ada di dalam perut, air susu yang masih ada dalam susubinatang, buah-buahan yang masih kecil (belum matang), barang yang tidak dapat dilihat atau diterima atau diraba ketika sebenarnya barang dagang tersebut ada,dan bila barang dagang itu tidak ada maka tidak boleh memperjual belikanya tanpa mengetahui sifat atau jenis dan keberadaanya (kualitas) (Yusanto Dan Widjayakusuma, 2002, p. 148).

Hukum adat sudah ada sejak dulu di Indonesia, bila awalnya tidak dapat dilakukan dengan pasti, tetapi bias kita bandingkan kedua system hokum yang lainnya maka hokum adatlah yang paling tua pada umumnya. Jika berbicara hukum adat maka secara tidak langsung kita telah membahas budaya dan tradisi di tanah air kita. Indonesia adalah Negara yang spektakuler keunikannya yang dapat menarik perhatian warganya. Diantaranya tradisi jual beli bibit ikan lele yang menggunakan takaran dan harga yang ditetapkan.

Oleh sebagian ulama ushul fiqh, �urf di sebut adat (adat kebiasaan).(Muhammad Abu Zahrab, 1994, p. 45). Berarti �urf dalah sesuatu yang telah di kenal oleh masyarakat pada suatu tempat tertentu, dan mereka menjadikannya sebagai tradisi. Misalnya akad jual beli dalam fiqh Islam, akan sah jual beli tersebut bila ada kalimat IjabQabul(serah dan terima). Namun karena menurut kebiasaan, tanpa adanya serah terima, penjualan dianggap telah terjadi transaksi, maka jual beli tanpa kalimat Ijab Qabul� jual beli sudah dianggap sah (Ahmad Hanafi, 1991, p. 193).

Setiap transaksi yang memberikan peluang terjadinya persengketaan, karena barang yang dijual tidak transparan, atau ada unsur penipuan yang dapat membangkitkan permusuhan antara dua pihak yang bertransaksi, atau salah satu pihak menipu pihak yang lain, dilarang oleh Nabi Saw. Sebagai antisipasi terhadap munculnya kerusakan yang lebih besar (Yusuf Qardadhawi, 2007, p. 356).

Setelah kita bahas banyak diatas yang perlu kita bahas selanjutnya adalah penetapan harga, Islam sejak dahulu kala telah memberikan keabsahan pada pasar. Ia telah memberikannya kepada hokum pasar tujuannya adalah untuk memainkan perannya secara wajar dan sesuai penawaran maupun permintaan yang ada. Oleh sebab itu,,bila penetapan harga ada unsur yang tidak baik (kezaliman) bahkan adanya paksaan kepada masyarakat, dan terjadinya mereka membeli karena terpaksa dengan harga yang dianggap tidak sesuai atau menghalangi mereka dari semua hal yang diperbolehkan oleh Allah SWT maka penetapan tersebut dianggap haram.

Islam hanya menghalalkan jual beli karena kebutuhan kepada masyarakat. Tetapi dalam actionnnya sangat dibutuhkan aturan-aturan yang sangat kuat,hal ini bertujuan untuk menjamin muamalah yang telah dianjurkan. Jual beli merupakan suatu hal yang tidak asing kita jumpai di keseharian kita, karena semua itu merupakan salah satu dari dinamika perekonomian yang selalu dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, Seperti tradisi yang ada di Desa Kanci Kec.Astanajapura Kab.Cirebon. Adapun pihak yang ikut terlibat dalam jual beli ini yaitu pengusaha pembenihan bibit ikan lele dan dengan peternak (yaitu peternak yang membesarkan bibit ikan lele sampai ukuran konsumsi).

Mekanisme transaksi ini yaitu dengan cara perhitungan menggunakan takaran,artinya dimana konsumen membeli dengan hitungan per ekor, namun hal yang terjadi di lapangan adalah di hitung dengan menggunakan takaran (baskom). Hal ini mengakibatkan hasil perhitungannya tidak jelas dan pasti, Apakah jumlahnya sesuai yang diinginkan pembeli atau tidak, karena adanya salah satu faktor yaitu ukuran bibit ikan lele yang tidak sama sehingga apabila di hitung dengan rata-rata mengunakan takaran (baskom) mendapatkan hasil yang berbeda pastinya.

Hal ini dilakukan karena alasan untuk mempermudah dan cepat disaat perhitungan bibit ikan lele yang akan dibeli oleh konsumen, karena biasanya jumlah yang akan dibeli jumlahnya berkisar ribuan ekor bibit ikan lele, mekanisme ini dilakukan bertujuan dimana bibit ikan lele harus segera di tempatkan di kolam untuk mengurangi angka kematian bibit yang mengakibatkan kerugian oleh pihak penjual,karena selagi bibit ikan lele masih di dalam kantong namun sudah ada yang mati maka hal ini menjadi tanggungan dari pihak penjual (Garansi).

Mekanisme seperti ini merupakan kebiasaan yang dilakukan penjual bibit ikan lele di Desa Kanci Kec.Astanjapura Kab.Cirebon.

Begitu juga dengan harga yang ditetapkan. Besar kecilnya ukuran bibit ikan lele sangat menentukan perbedaan harga, jarak maupun lokasi konsumen juga sangat mempengaruhi harga bibit ikan lele. Hal yang sudah menjadi kebiasaan disini adalah dimana penjual akan mengantarkan bibit ikan lele yang sudah di pesan oleh pembeli, disini pembeli tidak dikenakan jasa tambahan pengantaran bibit ikan lele,tetapi penjual menaikkan harga bibit ikan lele sesuai dengan jarak maupun lokasi si pembeli.

Melihat realitas dilapangan dari jual beli bibit ikan lele yang diterapkan terdapat persoalan yang menarik menurut penulis,yaitu : Disaat perhitungan yang dilakukan oleh sang penjual yang tidak memiliki kejelasan yang tepat dalam jumlah bibit ikan lele yang dijual dan penetapan harga yang dihitung dari jarak maupun lokasi si pembeli.

 

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research). Menurut Bogdan dan Taylor dalam jurnal ilmiah penelitian (Lestari & Sukmawan, 2018) menjelaskan bahwa metode kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Menurut Sugiyono dalam penelitian (NURGIANTI, 2017) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus. Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba dalam jurnal Socius (Hasanah & Ratumbuysang, 2017) yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga disebut dengan case study ataupun qualitative, yaitu penelitian yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

A.      Penetapan Harga Dalam Islam

Harga adalah suatu nilai yang harus dikeluarkan oleh pembeli untuk mendapatkan barang atau jasa yang memiliki nilai guna beserta pelayanannya.Sedangkan ta‟sir adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah harga tertentu.

Al-Quran sangat menekankan perlunya keadilan.Sangatlah natural untuk mempergunakan gagasan ini berhubungan dengan pasar, khususnya dengan harga.Karena itu Rasulullah SAW menyatakan sifatnya sebagai riba seorang yang menjual terlalu mahal diatas kepercayaan pelanggan. Secara umum para hakim berpendapat bahwa harga sesuatu yang adil adalah harga yang dibayar untuk obyek yangsama diberikan pada waktu dan tempat diserahkan. Karena itu, mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah harga ekuivalen (setara).(A. A.Islahi, 1997, pp. 92�93)

Kepentingan yang berbeda antara pelaku usaha dan konsumen menuntut adanya harga yang adil.Harga yang terjadi akibat kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.Dalam Undang-Undang No.05 tahun 1999 dijelaskan, bahwa harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli.Dengan harga yang adil, kedua pihak akan memperoleh kepuasan masing� serta tidak ada pihak yang dirugikan.(Abdul Azis, 2008, p. 106)

Berlaku adil akan dekat dengan takwa sehingga dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu walaupun hanya sekedar membawa pada kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini dapat terjadi seperti adanya gangguan mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting mengenai transaksi yang tidak dketahui oleh salah satu pihak.Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran dan gangguan dalam permintaan. Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu (kualitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap takaran maupun timbangan.(Faisal Badroen, 2006, pp. 91�92)

Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dan harga yang setara, ia menguraikan: �jumlah kuanitas yang tercatat dalam kontrak ada dua macam, pertama: jumlah kuantitas yang sangat akrab di masa masyarakat, yang mereka gunakan. Kedua; jenis yang tidak lazim, sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemauan atau faktor lainnya.Ini menyatakan tentang harga yang setara�.Agaknya ini menjadi jelas, bagi Ibnu Taimiyah kompensasi yang setara itu relative merupakan fenomena yang lebih bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan.Sedang harga yang setara itu bervariasi, dipengaruhi juga dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Menurut Ibnu Taimiyah definisi harga yang setara itu adalah harga baku (si‟r), dimana penduduk menjual barang-barang mereka secara umum diterima sebagai suatu yang setara dengan itu dan untuk barangyang sama pada waktu dan tempat yang khusus. Di pasal lain dalam al Hisbah dijelaskan bahwa harga yang setara itu sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan sescara bebas antara penawaran dan permintaan.(Ibid., n.d.)

 

B.       Proses Penetapan Harga Jual Beli Bibit Lele menurut Hukum Islam di Desa Kanci Kabupaten Cirebon

 

Kaitannya dengan penetapan� harga jual beli bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon mengenai persoalan penetapan harga, menurut keterangan dari bapak Duman selaku penjual :

 

�Mun masalah rega dideleng sing alit apa sing gede,lan lokasi uma sing tuku,mengko bibit siap diater tapi regae beda maning�

 

Dalam proses penetapan harganya penjual menentukan harga melihat dari besar kecilnya bibit yang dibeli oleh pembeli, selain diliat dari besa� kecilnya bibit yang dibeli jarak dan lokasi pembeli juga mempengaruhi harga bibit lele.

 

�Regane pun di deleng sing bibit alit apa sing gede,terus jarak lokasi tiyang tumbas kudu di hitung.�

 

Menurut keterangan dari Pak Busro selaku pembeli di sentral penjualan bibit lele di Desa Kanci : untuk penetapan harganya dilihat dari besar kecilnya bibit yang akan dibeli. Kemudian jarak dan lokasi pembeli juga mempengaruhi harga bibit. Dengan alasan tidak bisa membawa pulang sendiri� bibit yang dibeli, maka pembeli menerima harga yang di tawarkan pembeli.

 

�Lamon harga di pengaruhi teng jarak kula gen abot,soale lamon griyae adoh regane pun luwih larang�

 

Menurut keterangan dari bapak Suhanto selaku pembeli di sentral penjualan bibit lele di Desa Jogorogo: kalo cara memberikan harga dilihat dari jarak dan lokasi pembeli, pembeli merasa sedikit keberatan. Dengan alasan karena jika semakin jauh rumahnya maka akan semakin mahal harganya.

�������� Sedangkan mengenai penetapan harga untuk pembeli yang mengambil sendiri bibitnya menurut bapak Duman yaitu :

 

�Kenen mas,teng mriki kuh regane beda-beda, mun ukur 1 regane Rp.60/ekor, ukur 2 regane Rp.70/ekor,� ukur 3 regane Rp.80/ekor, ukur 4 regane Rp.90/ekor, ukur 5 regane mungga Rp.125/ekor�

 

�Jadi mengenai harga yang ditentukan oleh pihak penjual setiap ukuran memiliki harga harga yang berbeda-beda, untuk ukuran 1-2 cm seharga Rp.60 setiap ekornya, untuk ukuran 2-3 cm seharga RP.70 setiap ekornya, untuk ukuran 3-4 cm seharga Rp.80 setiap ekornya, untuk ukuran 4-5 cm seharga Rp.90 setiap ekornya, sedangkan ukuran 5-7 cm atau 5 ke atas seharga Rp.125 setiap ekornya�.

 

�Kangge tiyang tumbas sing bibite ngongkon dianter umahe ngko regane menyesuaikan jarak,misale sing tuku umahe kira-kira 10km ngko regane mundak di tambahi Rp.5 kaya bibit ukur 2 regane Rp.60/ekor ngko regane jadi Rp.65/ekor.pokoke regane nanjak /10km jarake�

 

Sedangkan penetapan harga untuk pembeli yang diantarkan bibitnyamenurut keterangan dari� pihak penjual menyesuaikan harga dilihat dari jarak dan lokasi pembeli. Misalnya apabila ada pembeli berjarak kurang lebih 10 KM dari sentral penjualan bibit lele maka harga akan dinaikan Rp.5. apabila harga bibit ukuran 2 seharga Rp.60 per ekor, maka akan berubah menjadi Rp. 65 per ekor, dan kenaikan harganya berlaku dalam kelipatan 10 KM.�

C.      Analisis� Hukum Islam Terhadap Proses Penghitungan Bibit Lele di Desa Kanci� Kabupaten Cirebon

Setelah penulis memaparkan mengenai teori tentang konsep jual beli dalam ketentuan-ketentuan rukun dan syarat jual beli pada bab II dan data tentang gambaran umum mengenai praktik jual beli bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon pada bab III, maka pada bab IV ini penulis akan menguraikan analisis praktik jual beli bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon. Untuk mengetahui sah atau tidaknya praktik jual beli bibit lele di Kanci Kabupaten Cirebon, maka dalam hal ini penulis akan menganalisis akad jual beli yang digunakan dalam praktik jual beli bibit lele tersebut, apakah sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam� Hukum Islam serta sudah memenuhi rukun dan syarat dalam hukum Islam.

Jual beli dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sah jual beli.Salah satu syarat sahnya jual beli yang harus dipenuhi adalah terkait objek jual beli (ma‟qud alayh).Syarat objek jual beli (ma‟qud alayh) salah satunya adalah ma‟qud alayh harus jelas dan bebas dari unsur penipuan.Dalam jual beli bibit lele di Desa Kanci tersebut mengandung unsur ketidak jelasan, yaitu terkait takaran penghitungan bibit lele.

Proses takaran dalam proses penghitungan bibit lele tersebut mengakibatkan adanya unsur gharar. Para ulama dalam mendefinisikan gharar dalam tiga makna, yaitu sebagai berikut : (Enang Hidayat, 2015, p. 102)

a)    Gharar berhubungan dengan ketitak jelasan (jahalah) barang yang diperjual belikan.

b)   Gharar berhubungan adanya keragu-raguan.

c)    Gharar berhubungan dengan sesuatu yang tersembunyi akibatnya

 

�Para ulama kebanyakan mendefinisikan gharar hubungannya dengan yang terakhir ini.(Enang Hidayat, n.d., p. 102). Gharar merupakan sesuatu yang mengandung ketidak jelasan, tidak diketahui karena tesembunyi, dan rahasia.Setiap jual beli yang tujuanya samar, tidak dikethui, tidak bisa diukur, disertai unsur penipuan, maka jual beli tersebut disebut bai‟ al-gharar.Bai‟ al-gharar dilarang Islam. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :

:� mewartakan kepada kami abu kuraib dan Al-Abbas bin �Abdul�Azim Al-Anbariy. Keduanya berkata: mewartakan kepada kami Al-Aswad bin �Amir; mewartakan kepada kami Ayyub bin �Urbah, dari Yahya bin Kathir, ari �Atha, dari Ibnu �Abbas, dia berkata: �Rasulullah saw. Melarang jual beli gharar�.(Abdullah Shonanhaji, 1993, p. 47)

Dalam praktek jual beli kita harus memenuhi aturan terkait� syarat dan rukun yang sesuai islam. Maka dari itu pada bagian pertama bab ini, terlebih dahulu penulis akan menganalisa terkait proses penghitungan bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon.

Dalam proses takaran penghitungan bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon, pihak penjual menghitung bibit lele menggunakan takaran dengan alat takar gelas, sehingga tidak ada kejelasan yang pasti mengenai jumlah bibit lele yang ada dalam takaran. Terkait takaran tersebut, dalam proses penghitungan bibit lele menurut bapak Suwandri selaku penjual, cara penghitungannya menggunakan alat bantu agar mempermudah dalam proses penghitungan bibit lele.

Karena jumlah bibit lele yang biasa dibeli oleh pembeli berjumlah ribuan ekor, sehingga pihak penjual menggunkana alat bantu untuk proses penghitungannya. Dan pihak penjual sendiri sudah memiliki patokan yang dibuat untuk menakar proses penghitungan bibit lele tersebut, dimana hitungan tersebut setiap takar yang berukuran120ml memiliki ukuran masingmasing . yaitu ukuran lele 1-2 cm berjumlah 570 ekor setiap takarnya, ukuran 2-3 cm berjumlah 500 ekor, ukuran 3-4 cm berjumlah 450 ekor, ukuran 4-5cm berjumlah 370 ekor, sedangkan ukuran 5-6 cm berjumlah 300 ekor setiap takarnya.

���� Proses takaran tersebut sudah menjadi kebiasaan penjual bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon, dianggap bisa merugikan salah satu pihak, karena belum tentu setiap takar hitungan bibit lele memiliki jumlah yang semstinya. Walaupun hal tersebut sudah menjadi kebiasaan.

Menurut keterangan dari bapak Suhanto selaku pembeli di sentral penjualan bibit lele di Desa Jogorogo: kalo cara memberikan harga dilihat dari jarak dan lokasi pembeli, pembeli merasa sedikit keberatan. Dengan alasan karena jika semakin jauh rumahnya maka akan semakin mahal harganya.

Menurut keterangan dari Pak Busro selaku pembeli di sentral penjualan bibit lele di Desa Kanci : untuk penetapan harganya dilihat dari besar kecilnya bibit yang akan dibeli. Kemudian jarak dan lokasi pembeli juga mempengaruhi harga bibit. Dengan alasan tidak bisa membawa pulang sendiri� bibit yang dibeli, maka pembeli menerima harga yang di tawarkan pembeli.

Dalam jual beli penjual dan pembeli haruslah berlaku adil, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Semua hubungan termasuk jual beli, keadilan merupakan kunci utama keberhasilan dalam hubungan tersebut. Penjual dan pembeli dilarang untuk meraih keuntungan dengan cara yang tidak adil, dalam prinsip interaksi yang member untung sedikit tapi berkali-kali lebih baik dari pada untung yang banyak tetapi sekali atau dua kali. Dalam jual beli ataupun bisnis bukanlah sekedar memperoleh keuntungan materi semata, tetapi juga menjalin hubungan harmonis yang pada gilirannya menguntungkan kedua belah pihak, karena kedua pihak harus mengedepankan toleransi, keluwesan dan keramahtamahan yang seimbang.(Qardhawi, n.d., p. 78)

Dengan demikian menurut analisa peneliti, bahwa proses takaran bibit lele tersebut mengandung unsur ketidakjelasan akan tetapi antara penjual dan pembeli sudah saling merelakan akan hal tersebut, karena kedua belah pihak menyadari bahwa untuk menghitung bibit lele yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan sangat sulit jika dihitung satu persatu, sehingga kedua belah pihak sudah saling merelakan dengan adanya proses takaran yang sudah menjadi kebiasaan. Hal tersebut sudah memenuhi syarat dari jual beli yaitu adanya ijab qabul, yakni kerelaaan kedua belah pihak antara pihak penjual dan pembeli untuk melakukan jual beli, kerelaan tersebut diwujudkan dengan cara penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab qabul ini dapat dilakukan dengan tulisan, lisan ataupun utusan.

 

 

D.      Analisis� Hukum Islam Terhadap Penetapan Harga Dalam Praktik Jual Beli Bibit Lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon

Pada dasarnya manusia melakukan perdagangan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba.Apabila salah satu pihak merasa dirugikan maka ada suatu hal yang belum sempurna di dalam transaksi tersebut. Dan keuntungan yang di dapatkan salah satu pihak tersebut tidak sesuai dengan syaramaka dia mencari keuntungan dengan cara yang dilarang. Ekonomi Islam bersifat dinamis dan selalu mengikuti perkembangan zaman.Inti dari ekonomi Islam adalah aktifitas perekonomian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang dilakukan atas dasar suka rela tanpa adanya unsur paksaan dan disertai tolong-menolomg.

Seperti halnya yang dijelaskan dalam bab III penetapan harga dalam praktik jual beli bibit lele� penetapan harganya penjual menentukan harga dilihat� dari besar kecilnya bibit yang dibeli oleh pembeli, selain diliat dari besar kecilnya bibit yang dibeli jarak dan lokasi pembeli juga mempengaruhi harga bibit lele. Jadi disini bibit lele yang sudah dibeli oleh pihak pembeli menjadi tangung jawab pihak penjual untuk diantar sampai kerumah pembeli.

Semisal, apabila jarak lokasi pembeli berjarak sekitar 10 Km, maka harganya untuk ukuran bibit lele ukuran 2� cm seharga Rp.60 maka akan di naikan menjadi Rp. 65 dan kenaikan Rp. 5 berlaku setiap kelipatan 10 Km.

Hal tersebut jika ditinjau dari segi keadilan, konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktifitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen (Adi Marwan Anwar Karim, 2010, p. 333).

Menurut Ibnu Taymiyah ketika menjelaskan barang yang adil selalu menghubungkan dengan dua hal, yaitu: pertama, kompensasi yang setara, dan kedua harga setara. Kompensasi yang setara menurut Ibnu Taymiyah akan diukur sesuai kualitas dari objek khusus yang digunakan secara umum. Sedangkan harga setara adalah harga yang sesuai dengan keinginan. Dengan kata lain, harga yang diperoleh dari kekuatan pasar yang berjalan dengan bebas antara permintaan dan penawaran.(Abdul Aziz, 2008, p. 106)

Tentang perbedaan anatara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, menjelaskan: �jumlah yang tertera dalam suatu akad ada dua macam. Pertama jumlah yang telah dikenal baik di kalangan masyarakat. Jenis ini telah diterima secara umum. Kedua, jenis yang tidal lazim sebagai sebagai akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan atau faktor lainya.hal ini dinyatakan sebagai hal yang setara�.

Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang setara itu relative sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangakan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi kebutuhan dan keinginan masyarakat.(Adi Marwan, n.d., p. 357)

Dalam praktik jual beli bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon bahwasanya kedua belah pihak sudah memaklumi dengan penetapan harga tersebut, karena pihak pembeli� meskipun memperhitungkan� penetapan harga berdasarkan jarak, pihak pembeli tetap memaklumi hal tersebut, karena memang penetapan harga bedasarkan jarak tersebut untuk mengganti jasa pihak penjual untuk mengantarkan bibit lele sampai kerumah pihak pembeli.

Ditinjau dari segi keadilan antar kedua belah pihak maka dapat disimpulkan bahwa penetapan harga dalam praktik jual beli bibit lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon untuk penetapan harga bagi pembeli yang mengambil sendiri bibit lele yang dibeli di� sentral jual beli bibit lele tersebut maupun yang diantar ke lokasi pembeli� sudah sesuai dengan prinsip keadilan karena telah disebutkan bahwa harga yang disepakati kedua belah pihak sudah jelas jumlahnya, sehingga keduanya sudah saling rela. Hal tersebut sudah memenuhi syarat penepatan harga yaitu :

a)    Harga yang disepakati antara kedua belah pihak harus jelas jumlahnya

b)   Dapat diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit dan apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayaranya harus jelas

Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara‟.

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli BIbit Lele di Desa Kanci Kabupaten Cirebon, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan :

1.      Proses� takaran bibit lele tersebut mengandung unsur ketidak jelasan akan tetapi antara penjual dan pembeli sudah saling merelakan akan hal tersebut,� karena kedua belah pihak menyadari bahwa untuk menghitung bibit lele yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan sangat sulit jika dihitung satu persatu, sehingga kedua belah pihak sudah saling merelakan dengan adanya proses takaran yang sudah menjadi kebiasaan. Hal� tersebut sudah memenuhi syarat dari jual beli yaitu adanya ijab qabul,� yakni kerelaaan kedua belah pihak antara pihak penjual dan pembeli untuk melakukan jual beli,� kerelaan tersebut diwujudkan dengan cara penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab qabul ini dapat dilakukan dengan tulisan, lisan ataupun utusan.

2.      Penetapan harga dalam praktik jual beli bibit lele di� Desa Jogorogo Kabupaten Ngawi untuk penetapan harga bagi pembeli yang� mengambil sendiri bibit lele yang dibeli di� sentral jual beli bibit lele tersebut maupun yang diantar kelokasi pembeli� sudah sesuai dengan prinsip keadilan karena telah disebutkan bahwa harga yang disepakati kedua belah pihak sudah jelas jumlahnya, sehingga keduanya sudah saling rela. Hal� tersebut sudah memenuhi syarat penepatan harga yaitu :

a.    Harga yang disepakati antara kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.�

b.    Dapat diserahkan pada waktu akad,� sekalipun secara hukumseperti

pembayaran dengan cek atau kartu kredit dan apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayaranya harus jelas.

c.    Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang,makabarang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang

Diharamkan syara‟.

 


Bibliografi

 

A. A.Islahi. (1997). Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

 

Abdul Azis. (2008). Ekonomi Islam Analisis ,Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

Abdul Aziz. (2008). Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

Abdullah Shonanhaji. (1993). Terjemah Sunan Ibnu Majah, vol II. Semarang: Asy-Syifa.

 

Adi Marwan. (n.d.). Ekonomi Islam

.

Adi Marwan Anwar Karim. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

 

Ahmad Hanafi. (1991). Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Enang Hidayat. (n.d.). Fiqhjualbeli.

 

Enang Hidayat. (2015). Fiqhjualbeli. Bandung: PT. Remaja Roskarya.

 

Faisal Badroen. (2006). Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media Group.

 

Ibid.,. (n.d.).

 

Muhammad Abdul Manan. (1995). Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.

 

Muhammad Abu Zahrab. (1994). Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

 

Qardhawi. (n.d.). Norma Dan Etika Hukum ISlam.

 

Taqyudin An-Nahani. (1996). Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

 

Yusanto Dan Widjayakusuma. (2002). Menggagas Bisnis Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

 

Yusuf Qardadhawi. (2007). Halal Dan Hraam Dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia.