Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 1 No. 6 Oktober 2020 |
p-ISSN :
2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
IMPLEMENTASI
PENERAPAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM GADAI
SYARIAH DAN GADAI KONVENSIONAL
Sholihin Shobroni
Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Jawa Barat,
Indonesia
Email:
[email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 24 Agustus 2020 Diterima dalam bentuk revisi 14 Oktober 2020 Diterima dalam bentuk revisi 16 Oktober 2020 |
Hadirnya pegadaian
di Indonesia sebagai lembaga
keuangan formal yang bergerak
menyalurkan pembiayaan dalam bentuk meminjamkan uang kepada orang
yang membutuhkan sesuai hukum yang ada. Program ini membantu masyarakat untuk tidak terjebak dalam praktek riba dan lain-lain. Di samping itu, munculnya pegadaian syari'ah menjamin dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat ketika menghadapi kebutuhan mendadak yang telah enggan menggunakan pegadaian konvensional. Maka dari itu, keberadaan
pegadaian syar�'ah dapat digunakan sebagai alternatif oleh masyarakat yang ingin berinteraksi dalam gadai yang bebas riba dan sah menurut hukum Islam. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi penerapan perlindungan konsumen gadai syari�ah dan gadai konvensional? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum (legal research) bertujuan
menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma hukum yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum. Hasil penelitian
ini yaitu penerapan hukum perlindungan konsumen yang ada di Indonesia dalam melindungi konsumen gadai syariah dan gadai konvensional sudah sesuai dengan hukum perlindungan konsumen yaitu menurut Undang- undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Komsumen yang selanjutanya ditulis UUPK pasal 1 ayat (1), dan Pasal 2 UUPK dan penjelasannya mengamanatkan harus berpijak pada beberapa asas. |
Kata kunci: Pegadaian; hukum dan adil |
Pendahuluan
Pada perkembangannya saat ini, PT. Pegadaian
mengalami perkembangan yang
sangat pesat, tidak hanya layanan
gadai syariah ataupun gadai konvensional,
seperti� layanan jual beli
logam mulia, layanan fidusia (kreasi, krasida) serta layanan jasa
lainnya berupa jasa titipan, jasa
taksiran, multi pembayaran
online, kucica, langen palikarma, kagum, dan G lab (jasa pengujian logam mulia), akan
tetapi� praktik gadai saat
ini tidak diikuti oleh landasan hukum yang kokoh untuk mengantisipasi perkembangan gadai di Indonesia. Selama ini, aktivitas
pegadaian lebih banyak pada perjanjian para pihak yang sangat sederhana dan baku. Selain itu, praktik� gadai pada ketentuan dalam pasal 1150 sampai 1160 KUH perdata yang belum mampu mengakomodasi dan menjangkau perkembangan gadai saat ini.
Ketiadaan landasan hukum yang kokoh inilah yang menjadi celah bagi ketidak
adilan antara para pihak dan banyak munculnya praktik gadai yang illegal dan membuka peluang bagi orang yang beritikad buruk serta untuk mencari
keuntungan.
Pada satu sisi, industri pegadaian dianggap sebagai alternatif penyediaan dana bagi masyarakat umum yang tidak mampu mengakses
kredit atau pembiayaan di perbankan (non bankable).
Di sisi lain, ada pendapat menyatakan bahwa gadai bukan
merupakan kredit yang nyata tetapi merupakan
suatu transaksi penjualan dengan harga dibawah standar.
Pegadaian memiliki hak untuk menjual
kembali barang gadai jika nasabah
tidak mampu melunasi utangnya. Hal ini terjadi karena
nasabah yang meminjam dana dengan memberikan barang jaminan dengan kontrak gadai telah menyerahkan
barang miliknya untuk dijual dengan
harga di bawah rata-rata jika tidak mampu
membayar pinjaman.
Aktulisasi
nilai-nilai ekonomi syariah dimaksudkan sebagai upaya dan proses untuk memahami, mengonseptualisasikan dan mewujudkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dimaksud adalah kumpulan dari asas-asas,
prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran
Islam sebagai pedoman bagaimana manusia menjalankan kehidupan yang saling terkait membentuk satu kesatuan yang utuh, termasuk di dalamnya nilai-nilai ekonomi syariah sebagai suatu sistem (Arfin, 2007).
Harapan masyarakat akan manfaat produk
gadai syariah yang cukup tinggi belum
lepas dari kekurangan dan hambatan. Adrian Sutedi mengemukakan beberapa masalah operasional pegadaian syariah yang perlu dikritisi (Sutedi, 2011).
Pertama, jumlah jaringan kantor pegadaian syariah masih sangat sedikit
dibandingkan pegadaian konvensional, Kedua, proses lelang barang gadai
milik nasabah yang tidak mampu membayar
pinjamannya dilakukan tidak secara terbuka,
tetapi hanya memilih beberapa orang untuk mengikuti pelelangan, Ketiga, akad yang digunakan dalam transaksi gadai syariah masih
terbatas kepada qardul hasan dan ijarah. Keempat, belum ada peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur tentang lembaga gadai syariah.
Berdasarkan
kondisi tersebut, upaya melindungi konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi konsumen secara integratif dan komprehensif yang dapat diterapkan di masyarakat. Peranti hukum tidak dimaksudkan
untuk mematikan usaha pelaku usaha,
tetapi justru mendorong iklim usaha yang sehat dan akan melahirkan pengusaha dan perusahaan yang tangguh dalam menghadapai
persaingan melalui pelayanan dan penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. Sikap keberpihakan terhadap konsumen ini adalah
wujud kepedulian yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism) (Awan, 2004).
Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka �(Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, 2012). Penelitian hukum (legal
research) bertujuan menemukan
kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan
hukum sesuai norma hukum dan adakah norma hukum
yang berupa perintah atau larangan itu
sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan
(act) seseorang sesuai dengan norma hukum
(bukan hanya sesuai aturan hukum)
atau prinsip hokum (Mahmud Marzuki, 2005).
Sumber datanya ada dua yaitu,
primer dan sekunder. Data primer dalam
penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan tentang gadai syari�ah dan gadai konvensional. Data Skundernya yaitu berupa jurnal, artikel, makalah dan buku-buku yang menunjang dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan datanya yaitu dengan
mengadakan Observasi, dokumentasi dan wawancara dengan informan yang mendukung dalam hala perlindungan gadai syari�ah dan gadai konvensional.
Hasil dan Pembahasan
A. Penerapan Hukum Perlindungan
Konsumen dalam
Melindungi Konsumen Gadai
Syariah dan Gadai Konvensional
Seiring dengan perkembangan zaman dan maraknya lembaga keuangan praktik gadai yang sesuai dengan syariah
mulai dilakukan. Praktik gadai syariah
atau yang disebut rahn ini sangat
menekankan tidak adanya pengenaan riba atau pungutan
bunga atas pinjaman yang diberikan. Praktik ini dimulai
pertama kali berdasarkan atas perjanjian musyarakah dengan sistem bagi hasil
antara Perum Pegadaian dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan tujuan untuk melayani
nasabah BMI maupun nasabah Perum Pegadaian
yang sesuai dengan prinsip syariah (Manahaar, 2019). Kerjasama ini tertuang dalam perjanjian musyarakah antara BMI dengan Perum Pegadaian Nomor 446 /SP 300. 233 / 2002 dan Nomor
015 / BMI /PKS /XII /2002 pada tanggal 20 Desember 2002. Dalam hal ini BMI sebagai
pihak yang memberikan modal
(pembiayaan) bagi pendirian pegadaian syariah di seluruh Indonesia sedangkan Perum Pegadaian sebagai pihak yang menjalankan secara operasional kegiatan usaha pegadaian.
Pengertian Gadai Syariah (ar-Rahn) Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-Rahn dalam
istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan,
agunan dan rungguhan. Dalam Islam ar-Rahn merupakan sarana saling tolong menolong
(ta�awun) bagi umat Islam dengan tanpa adanya imbalan
jasa (Haroen &
Muamalah, 2007). Sedangkan secara terminologi, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya, dan barang
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya
(Antonio, 2001).
Jadi, ar-Rahn adalah semacam jaminan utang atau lebih dikenal dengan
istilah gadai. Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan atas utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan semua barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan. Barang jaminan itu baru boleh
dijual/dihargai apabila dalam waktu
yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat dilunasi
oleh pihak yang berutang.
Oleh sebab itu, hak pemberi piutang
hanya terkait dengan barang jaminan,
apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya (Antonio, 2001). Maka orang yang pegang gadai didahulukan
dari kreditor-kreditor lain.
Dengan seiring perkembangan dan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat komsumtif maupun sebagai penunjang perekonemian masyarakat. Masyarakat banyak membutuhkan pembiayaan baik secara Konvensional
maupun secara Syariah. Disini penulis akan menganalisis keuntungan Gadai Syariah (Rahn) dibandingkan Lembaga Pembiayaan Lain.
Menurut Akram Khan (Sutedi, 2011), menyatakan bahwa gadai syariah
sebagai konsep utang piutang yang sesuai dengan syariah, karena bentuknya yang lebih tepat adalah
skim qardhul hasan disebabkan kegunaannya untuk keperluan yang sifatnya sosial. Dijabarkan bahwa pinjaman tersebut diberikan gadai syariah untuk tujuan
kesejatraan, seperti pendidikan, kesehatan dan kebutuhan darurat lainnya, terutama diberikan untuk kepentingan membantu meringankan beban ekonomi para orang yang berhak menerima zakat (Mustahiq) (Sutedi, 2011). Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam bentuk Skim quarhul hasan ini.
Utang yang yang telah disepakati diwajibkan dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa adanya tambahan bunga. Peminjam hanya membayarkan atau menaggung biaya yang secara nyata merupakan kewajiban yaitu biaya administrasi, biaya penyimpanan yang semuanya itu dibayaran
dalam bentuk uang, bukan presentase atau bunga.
Keuntungan gadai syariah
apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya:
1. Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh
uang pinjaman, yaitu pada hari itu peminjam
datang ke pengadaian pada hari itu juga uang yang dibutuhkan cair, ini karena
pengadaian prosedurnya yang
sederhana
2.
Bila dilihat dari persyaratanya pun sangat sederhana, sehingga masyarakat untuk menunjang perekonomian.
3. Apabila dilihat dari pengadaian konvesional tidak ada kewajiban masyarakat
memberi tahu kepada pihak pengadaiannya
uang yang diberian untuk keperluan apa, tetapi dalam pengadaian
syariah pengunaan dana yang
akan digunakan lebih baik di beritahukan
agar pihak pengadaian mengetahui jenis akad apa yang lebih
tepat untuk masyarakat tesebut.
Selain itu Apabila
ditinjau dari sifat akadnya gadai
syariah (rahn) memiliki 2 bagian yaitu untuk keperluan
konsumtif (akad qardhul hasan dan ijarah) dan
keperluan modal usaha yang sifatnya produktif yang dari usaha itu
nasabah dapat menghasilkan keuntungan maupun menghasilkan kerugian (akad mudharabah, musyarakah, ba�i mquyyadah dan rahn). Dalam akad untuk keperluan
modal usaha ada ketentuan bahwa selama rahim memberi
izin kepada murtahin bahwa dia boleh memanfaatkan
barang yang digadakan tesebut maka barang
tersebut dapat digunakan dan keuntungannya wajib di bagikan kepada rahin sesuai
dengan bagian kesepakatan yang telah dibuat, selain itu juga rahin dapat memanfaatkan mahrum untuk kepentingan
usaha dengan syarat telah mendapatkan
izin dari murtahin, apabila dalam pemanfaat mahrum itu menghasilkan
keuntungan wajib dibagikan kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan bagi hasil yang telah dipersyaratkan karena mahrum berada
di bawah penguasaan murtahin.
Ketentuan tentang operasional gadai syariah di Indonesia merujuk kepada Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia Nomor 25 Tahun
2002 tentang Rahn. Fatwa dimaksud menetapkan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn diperbolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik
Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh
dimanfaatkan oleh Murtahin kecuai seizin Rahin, dengan tidak mengurangi
nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh Murtahin,
sedangkan biaya pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban
Rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan
dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman (Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
25/dSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.).
e. Penjualan Marhun.
a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
utangnya.
b) Apabila Rahin tetap
tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
dipaksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c) Hasilpenjualan Marhundigunakanuntukmelunasiutang,
biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d) Kelebihan hasil penjualan
menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa nasabah meminjamkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan
pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan
pembiayaan berdasarkan akad dan kesepakatan atas jumlah pinjaman,
pembebanan biaya jasa simpan dan biaya administrasi serta jatuh tempo pengembaliannya (Ahmad, 2015).
Kemudian, pihak pegadaian syariah menerima biaya dari nasabah dan nasabah harus menebus
barang gadaian setelah jatuh tempo. Jika pada saat jatuh tempo nasabah tidak dapat
mengembalikan uang pinjaman
dan tidak memperpanjang akad gadai, maka
pegadaian akan melakukan pelelangan untuk menjual barang
gadai nasabah dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan
barang gadai (Ahmad, 2015).
Modus operandi pegadaian syariah masih dianggap
sama dengan pegadaian konvensional karena menggunakan sistem pinjaman dana. Namun perlu dipahami
bahwa pegadaian syariah menghindari sistem bunga dalam
pembiayaan bagi nasabah. Maka digunakan
akad al-qardh al-hasan yang berasal dari bahasa Arab; qardh (memotong) dan hasan (kebaikan). Menurut Muhammad Ayub, qardh hasan adalah
suatu pinjaman dengan syarat untuk
mengembalikan pinjaman pokok di masa yang akan datang tanpa ada
tambahan (bunga) (Ayub, 2013). Prinsip Islam melarang mengambil keuntungan/laba dari utang piutang karena merupakan akad tabarru atau
kebaikan dan masuk kategori riba yang terlarang secara tegas dalam al-Quran.
Izzatul Mardhiah mengemukakan bahwa penggunaan istilah pembiayaan di lembaga keuangan syariah bertujuan untuk membedakan esensi kontrak dan harga pembiayaan syariah dengan kredit konvensional
yang menggunakan sistem bunga (Izzatul Mardhiah, 2013). Pembiayaan dapat didefiniskan sebagai aktifitas pendanaan yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah kepada nasabah, atau dengan
pengertian lain berarti pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain
(Nasution, 2018).
Pada prinsipnya, produk pembiayaan di pegadaian syariah dianggap sebagai kredit karena sifat
penyaluran dana cenderung konsumtif dan menggunakan skema utang piutang seperti kredit di lembaga keuangan konvensional. Namun pendapat yang menyamakan pembiayaan dengan kredit di pegadaian syariah adalah tidak tepat. Meskipun
produk pembiayaan bersifat konsumtif, tetapi secara hakiki,
produk pembiayaan di pegadaian syariah menggunakan akad-akad antara lain rahn (gadai), ijarah (sewa) dan murabahah (jual beli) yang tidak menggunakan prinsip utang piutang seperti kredit. Dalam Islam ada larangan meraih
keuntungan dari utang piutang, sehingga kredit tidak boleh
digunakan sebagai sistem penyaluran dana di lembaga keuangan syariah.
Hubungan hukum antara
nasabah dan pegadaian syariah adalah hubungan perjanjian (kontraktual). Asas-asas khusus yang terdapat dalam perjanjian antara nasabah dengan lembaga keuangan termasuk pegadaian syariah adalah hubungan kepercayaan, hubungan kerahasiaan, dan hubungan kehati- hatian (Sjahdeni, 1993).
Hubungan kepercayaan antara nasabah dan pegadaian syariah muncul ketika nasabah
memberikan kepercayaan untuk menyimpan barang gadai sebagai
jaminan pinjaman uang yang didapatkan. Jika tidak ada kepercayaan, nasabah tidak akan
menjaminkan barang miliknya sebagai barang gadai. Sebaliknya
pegadaian syariah memberikan pinjaman dengan kepercayaan bahwa nasabah akan
membayar pinjamannya dan menyerahkan barang gadainya untuk dieksekusi jika terjadi gagal bayar.
Hubungan kerahasiaan muncul dalam kajian
hubungan nasabah dan bank. Namun pegadaian syariah, secara prinsip, merupakan salah satu lembaga keuangan
non bank yang berhubungan dengan masyarakat luas, sehingga hubungan kerahasiaan dapat terjadi. Pegadaian syariah berkewajiban menjaga kerahasiaaan transaksi keuangan dan data pribadi nasabah yang merupakan perlindungan terhadap hak privasi nasabah.
Jika pegadaian syariah melanggar rahasia nasabah dimaksud, tentu akan merugikan
nasabah.
Hubungan kehati-hatian adalah merupakan prinsip bagi pegadaian
syariah dalam memberikan pinjaman dana kepada nasabah. Pegadaian syariah menjalankan prinsip ini dengan cara
penilaian watak/keperibadian, penilaian kemampuan, penilaian modal, penilaian agunan dan penilaian prospek usaha.
Perlindungan hukum menurut
Philipus M. Hadjon, sebagaimana dikutip oleh Arifudin, dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
24
1. Perlindungan hukumpreventif, dimanarakyatdiberikesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
2. Perlindungan hukum represif,
di mana lebih ditujukan dalam menyelesaikan sengketa (Arifudin, 2014).
Secara garis besar hak-hak konsumen dibagi dalam tiga
hak yang menjadi prinsip dasar yaitu:
a) Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian,
baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.
b) Hak untuk memperoleh
barang dan/atau jasa dengan harga
yang wajar.
c) Hak untuk memperoleh
penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi (Miru & Yodo,
2008).
Marulak Pardede mengemukakan dalam sistem perbankan Indonesia perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
1. Perlindungan secara Implisit (implicit
deposit protection) yaitu perlindungan
yang dihasilkan oleh pengawasan
dan pembinaan bank yang efektif
yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank seperti melalui Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan, perlindungan yang dihasilkan oleh
pengawasan dan pembinaan
yang efektif bank Indonesia.
2. Perlindungan Secara Eksplisit (explicit
deposit protection) yaitu perlindungan
melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut akan mengganti
dana masyarakat yang disimpan
pada bank gagal tersebut (Hermansyah &
Hermansyah, 2020).
Kegiatan usaha pegadaian
syariah, perlindungan hukum terhadap nasabah terjadi secara implisit yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap lembaga keuangan bank dan non bank (Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan).
Bila dihubungkan dengan kegiatan usaha pegadaian syariah, terdapat beberapa hak nasabah
sebagai konsumen pengguna jasa pegadaian
syariah yang perlu mendapatkan perlindungan hukum untuk menjaga
kredibilitas pegadaian syariah, yaitu:
a.
Hak Transparansi Informasi
Produk Secara Benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Tujuannya agar konsumen tidak mendapatkan informasi atau gambaran yang keliru atas produk
barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pegadaian syariah.
Ketentuan� hak� konsumen� atas� informasi� benar� termaktub� dalam� Pasal� 4 huruf� c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang� menyatakan� bahwa� hak� konsumen� adalah� hak� atas� informasi� yang� benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa kepada konsumen
atas produknya. Hak informasi ini
adalah sangat penting karena informasi kepada konsumen yang tidak memadai dan tidak benar dapat menjadi
salah satu bentuk cacat produk yaitu
cacat instruksi. Hak atas informasi
yang jelas dan benar bertujuan untuk melindungi konsumen agar memperoleh gambaran tentang produk. Infomasi yang benar akan melindungi kepentingan konsumen untuk dapat memilih
produk dan/atau jasa yang diinginkan sesuai kebutuhan serta terhindar dari kerugian akibat
kesalahan dalam penggunaan produk (Miru & Yodo,
2008).
Bagi konsumen pegadaian syariah, pengetahuan dan pemahaman atas produk dan/atau jasa sangat
berpengaruh kepada perlindungan diri mereka dari kesalahan
memilih produk dan/atau jasa. Oleh sebab itu, pegadaian
syariah wajib menyajikan dan menyampaikan informasi atas produk yang disediakan secara baik dan benar.
b.
Hak Kesetaraan dan Keseimbangan
dalam Perjanjian
Dalam hubungan hukum antara nasabah
dan lembaga keuangan termasuk pegadaian syariah adalah perjanjian yang dibuat oleh satu pihak saja,
yaitu lembaga keuangan. Perjanjian sepihak oleh lembaga keuangan disebut dengan istilah perjanjian atau klausula baku. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, perjanjian baku adalah perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan. yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya
yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, hal-hal spesifik dari obyek
yang diperjanjikan (Sjahdeni, 1993).
Keuntungan yang didapatkan dari penggunaan perjanjian baku adalah efisiensi waktu, biaya dan tenaga. Namun di sisi lain, perjanjian baku menempatkan pihak yang tidak ikut serta membuat
isi perjanjian baik secara langsung
atau tidak langsung sebagai pihak yang dirugikan. Nasabah memiliki hak kedudukan seimbang
dalam perjanjian tetapi harus mengikuti
isi perjanjian yang disodorkan oleh lembaga keuangan (Usman, 2011).
Undang-Undang� Nomor� 8� Tahun� 1999� tentang� Perlindungan� Konsumen melarang pelaku usaha membuat
dan mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dengan ancaman perjanjian batal demi hukum.
Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a) menyatakan pengalihan� tanggung� jawab� pelaku� usaha;� b)� menyatakan� bahwa� pelaku� usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c) menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f ) memberi hak kepada pelaku
usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli
jasa; g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baku,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; dan h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara berangsuran.
c.
Hak Mendapatkan Kompensasi
dan Ganti Kerugian
Pasal 4 huruf� h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen�� menentukan�� bahwa�� hak�� konsumen�� adalah�� untuk�� mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak atas ganti
kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat
adanya penggunaan barang atau jasa
yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat
terkait penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik kerugian materi
maupun yang menyangkut diri konsumen seperti
sakit, cacat atau kematian. Untuk merealisasikan hak ini adalah
mengajukan gugatan ke pengadilan dan di luar pengadilan (Miru & Yodo,
2008).
Secara khusus, Otoritas Jasa Keuangan memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
perlindungan hukum bagi konsumen jasa
keuangan dengan mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Perlindungan konsumen yang diatur oleh POJK dimaksud menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau (Lihat POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 Pasal 2.).
Ketentuan-ketentuan perlindungan konsumen yang diatur antara lain: Pertama, pelaku usaha jasa
keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik
konsumen dan mendapat informasi dan/atau dokumen mengenai konsumen yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan. Kedua, pelaku jasa
keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses kepada konsumen tentang produk atau layanan.
Ketiga, pelaku jasa keuangan wajib
menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah
dimengerti oleh konsumen dalam setiap dokumen.
Keempat, pelaku jasa keuangan wajib
memberikan pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen. Kelima, pelaku jasa keuangan dilarang
menggunakan strategi pemasaran
produk dan/atau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Keenam, pelaku jasa keuangan
wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen (lihat
POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan).
Bahasan menyangkut perlindungan hukum bagi Nasabah
Pegadaian Konvensional maupun Pegadaian Syariah dalam perjanjian gadai, dengan demikian
seluruh info berkaitan dengan perlindungan hukum didalam suatu
perjanjian ataupun akad baik gadai
konvensional maupun gadai syariah dapat
dibaca pada surat perjanjian gadai yang telah dilakukan.
Akad ataupun
perjanjian gadai secara seluruhnya dituliskan didalam lembar kertas, yang dijadikan satu bersama Surat Tanda Bukti Gadai
yang dalam Pegadaian Konvensional disebut Surat Bukti Kredit sementara dalam Pegadaian Syariah disebut Surat Bukti Rahn, didalam surat bukti
gadai tersebut termuat hal-hal sebagai berikut :
a) Identitas pegadaian, baik pegadaian konvensional ataupun pegadaian syariah.
b) Identitas serta alamat
nasabah atau rahin, umumnya dituliskan menurut apa yang tertera di dalam kartu identitas
atau KTP.
c) Profesi nasabah atau rahin serta
nomor telepon yang bisa dihubungi.
d) Identitas barang gadai (marhun) nasabah atau rahin:
merupakan jenis ataupun identitas barang gadai yang digadai nasabah atau rahin, identitas
barang gadai nasabah atau rahin
umumnya berisikan berupa sesuatu yang menerangkan tentang benda gadai tersebut,
yang menjurus pada wujud, kelengkapan tambahan, takaran emas (pada benda gadai emas,
sedangkan benda elektronik berisikan besaran barang serta merek) juga berat seperti �Satu gelang mata gelas
DTM 24 Karat berat 6.0 gram�.
e) Kategori pinjaman adalah pengkatagorian pada benda gadai, pengkatagorian
besaran uang pinjam mempunyai pengaruh pada dikenakannya bunga/sewa modal atas uang pinjam bagi Pegadaian
Konvensional, sedangkan terhadap pengenaan biaya pemeliharaan bagi Pegadaian Syariah didasarkan pada taksiran marhun.
f) Tanggal gadai, baik gadai konvensional
maupun gadai syariah.
g) Tanggal batas waktu
gadai, merupakan tanggal batas waktu
ditebusnya suatu gadai atau batas
waktu melunasi uang pinjam gadai, akan
tetapi pada tanggal batas waktu tersebut
nasabah atau rahin bisa melakukan
perpanjangan waktunya, yang
harus memenuhi persyaratan melakukan pembayaran bunga/sewa� modal batas waktu, lalu
keterangan bahwasanya tetap terusnya gadai ini bagi
pegadaian konvensional. Sedangkan untuk pegadaian syariah dengan melakukan pembayaran biaya pemeliharaan dari barang gadai tersebut
kemudian memberitahu bahwa berlanjutnya gadai syariah.
h) Besaran uang penaksiran pinjam itu dilandaskan
pada penaksiran benda gadai ketika dilakukannya
permintaan gadai di pegadaian konvensional sama halnya di pegadaian syariah besaran marhun bih penaksiran pinjam itu dilandaskan
pada penaksiran marhun ketika dilakukannya permintaan gadai.
i) Peringatan (semacam hal yang harus diperhatikan):
1) Perhitungan tarif sewa
modal atau biaya pemeliharaan penghitungannya seberapa prosen menurut penggolongan, yang di kenakan tiap 15hari untuk Pegadaian Konvensional, Perhitungan tarif biaya pemeliharaan
berdasarkan golongan, ysng dikenakan per 10 hari untuk Pegadaian
Syariah.
2) Hari sewa modal atau Hari Biaya Pemeliharaan, di hitung mulai tanggal hingga
tanggal melunasi dalam kelipatan 15 hari ke atas
untuk Pegadaian Konvensional, dalam 10 hari ke atas
untuk Pegadaian Syariah.
3) Batas waktu maksimal kredit, yakni 4 bulan (120 hari) serta bisa
dilakukan perpanjangan melalui proses angsuran atau membayarkan bunga/sewa modal atau biaya pemeliharaan.
4) Ketetapan tentang biaya administrasi pada permintaan atau perpanjangan kredit atau perpanjangan rahn.
5) Ketetapan lelang atau jual terhadap
barang gadai/marhun yang tidak dilunasi sampai pada tanggal yang dicantumkan pada bagian point ini.
6) Peringatan guna meminta
bukti tiap melakukan transaksi pembayaran. Surat tanda bukti gadai penandatangannya
dilakukan pegawai pegadaian dan nasabah atau rahin.
Pada akad atau perjanjian gadai dengan menjaminkan
Barang bergerak, berisikan perjanjiannya ialah :
a) Pegadaian memperoleh barang gadaian dari nasabah/rahin
atau yang dikuasakan sesuai dengan rincian
yang tertera dihalaman depan, nasabah/rahin dan atau yang dikuasakan menjamin bahwa barang yang dijaminkan merupakan milik sah dari
nasabah/rahin, yang dikusai secara sah menurut hukum
oleh nasabah/rahin, dan karenanya nasabah/rahin mempunyai wewenang yang sah untuk menjadikannya jaminan utang di pegadaian, nasabah/rahin juga menjamin bahwa tak terdapatnya seorangpun dan ataupun pihak lainnya yang ikut memiliki hak
dari barang yang dijaminkan, baik hak memiliki maupun
hak untuk menguasai.
b) Nasabah atau rahin
memberikan jaminan bahwasanya barang gadainya yang diserahkan pada pegadaian tidaklah sedang berada sebagai
suatu jaminan hutang, bukan didalam
sitaan, tidak didalam persengketaan, ataupun bukan berasal
dari sesuatu yang tidsk dibenarkan ataupun didapatkan dari sebuah pelanggaran
hukum.
c) Pegadaian memberi gadai pada nasabah atau rahin ataupun
yang dikuasakan dengan menjaminkan benda bergeraknya yang memiliki nilai taksiran yang telah disetujui besarnya sehubungan tertera pada bagian depan.
d) Barang gadai/marhun
sebagaimana yang diuraikan
di halaman depan, apabila dikemudian hari mengalami cacat, rusak ataupun
hilang akan dilakukan penggantian barang secara utuh
ataupun dengan penggantian yang besarnya 125% dari besaran taksiran
dengan prioritas yang berbeda antara pegadaian konvensional dengan pegadaian syariah, pegadaian konvensional mendahulukan penggantian dengan besaran uang 125% dari besaran taksiran barang gadai sedangkan
pegadaian syariah mendahulukan penggantian barang secara utuh,
yang tercantum dihalaman depan setelah dikurangi
biaya-biaya tertentu. Pegadaian tidak bertanggungjawab apabila barang jaminan cacat, rusak atau
hilang yang diakibatkan terjadi force maejeure, antara lain: bencana alam, huru hara dan perang.
e) Nasabah/Rahin atau
yang dikuasakan mengakui
uang pinjaman yang diterima
dari tarif sewa modal bagi pegadaian konvensional atau dari tarif
biaya pemeliharaan bagi pegadaian syariah dari kredit
atau rahn sebesar yang tertera di halaman depan.
f) Nasabah atau rahin
ataupun bisa juga diberi kuasa bertanggung
jawab melakukan pembayaran uang pinjam dengan tambahan bunga/sewa modal untuk gadai konvvensional
atau tambahan biaya pemeliharaan untuk gadai syariah
sejumlah yang tercantum di halaman depan, jika hingga dengan
batas waktu tidak dilunasi atau diperpanjang gadainya, dengan demikian barang gadai/marhun tersebut
akan dilakukan pelelangan/penjualan pada tanggal yang telah ditetapkan melafui lelang eksekusi atau lelang sukarela.
g) Apabila hasil penjualan/lelang barang jaminan
tidak mencukupi jumlah uang pinjam + bunga/biaya pemeliharaan
+ biaya lelang/jual, dengan demikian
batas terakhir lambat 2 minggu saat dimulainya tanggal memberitahu nasabah/rahin atau
yang dikuasakan tanggungan memberikan tambahan dan tunai atau barang
jaminan untuk menutupi kekurangan tersebut.
h) Jika hasil menjual atau lelang
barang gadai/marhun memiliki kelebihan setelah dikuranginya uang pinjam + bunga/biaya pemeliharaan
+ biaya lelang/jual dengan demikian
kelebihan lelang/jual tersebut jadi
milik nasabah atau rahin dengan
batas waktu mengambil uang kelebihan adalah setahun, jika uang kelebihan belum diambil juga dalam batas waktu
setahun ketika tanggal pelelangan/penjualan uang tersebut jadilah milik pegadaian
untuk pegadaian konvensional sedangkan bagi pegadaian syariah uang tersebut akan di serahkan ke lembaga amil zakat.
j) Nasabah atau rahin
ataupun yang diberi kuasa bisa memberikan
haknya untuk melakukan menebus ataupun pengulangan gadai barang gadai
milik orang lain dengan melakukan pengisian serta pembubuhan tanda tangan dilembar
yang disediakan.
k) Jika mengalami masalah dikemudian waktu maka penyelesaiannya
dilakukan dengan musyawarah mufakat, bila pada akhirnya permasalahan tersebut tak bisa terselesaikan
dengan musyawarah mufakat, dengan demikian dilanjutkan penyelesaiannya dengan jalur peradilan terdekat.
Perlindungan
hukum yang diberikan Pegadaian Konvensional maupun Pegadaian Syariah dalam isi surat
kesepakatan gadai bisa dibaca di butir angka keempat
didalam surat tersebut, pada lembar itu adalah bentuk
perlindungan dari tindak �wanprestasi� yang dilaksanakan oleh PT Pegadaian disebabkan keteledoran pegawainya hingga mengakibatkan barang gadai mengalami kecacatan, kerusakan, ataupun bahkan sampai hilang, sehubungan ketetapan diatas bisa dibaca
juga didalam KUH Perdata Pasal 1157: �Kreditur bertanggungjawab atas kerugian atau susutnya
barang gadai itu, sejauh hal
itu terjadi akibat kelalaiannya. Dipihak lain debitur wajib mengganti kepada kreditur itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh kreditur itu untuk penyelamatan
barang gadai itu.�
Perlindungan
hukum yang diberikan oleh Pegadaian Konvensional terhadap barang gadai nasabah yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau
rusak, dalam Pegadaian Konvensional prioritas utamanya pada pemberian ganti rugi sebesar 125% dari nilai taksiran
barang gadai tersebut, terhadap berlian diperlakukan ketentuan international, yang selama
ini pernah terjadi di Jakarta, yaitu pergantian sebesar 300% dari nilai taksiran
berlian tersebut. Opsi kedua perlindungan
hukum yang diberikan Pegadaian konvensional terhadap barang gadai nasabah yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau
rusak adalah penggantian secara penuh dengan barang
gadai yang sama atau hampir sama,
dan nilainya sama dari barang gadai
milik nasabah, namun opsi kedua
dapat terjadi apabila nasabah menolak dan mengajukan klaim keberatan atas opsi pertama,
dan setelah pihak Pegadaian Konvensional menawarkan opsi perbaikan barang gadai milik nasabah
dan nasabah sepakat menyetujuinya, tetapi setelah dilakukan perbaikan ternyata hasilnya tidak sesuai maka pegadaian
konvensional mengganti secara penuh barang
gadai nasabah yang sama atau nilainya
sama. Perlidungan hukum tersebut tentu dilakukan dan dibedakan berdasarkan jenis barang gadai,
kemudian besarnya ganti rugi, tatacara
klaim atas ganti rugi, dimana
kesemua hal tersebut dimaksudkan agar tidak ada pihak
yang merasa lebih dirugikan atas adanya kejadian tersebut. Antisipasi yang dilakukan oleh pihak Pegadaian Konvensional ialah selain tempat
penyimpanan barang gadai juga adanya asuransi yang dilakukan oleh Pegadaian konvensional terhadap barang gadai, dimana asurani
ini tidak dibebankan kepada nasabah melainkan perjanjian terpisah antara pihak Pegadaian
Konvensional dan pihak Asuransi yaitu Asuransi Umum atau
Konvensional.
Dari
paparan tersebut jelas bahwa dengan
menggunakan gadai syariah masyarakat yang ingin memunjang perekonomian dengan cara melakukan usaha menguntungkan karena dalam gadai
syariah prinsip utamanya untuk sosial yaitu membantu
masyarakat untuk ketingkat yang lebih maju selain itu
juga dalam pengadaian syariah menitik beratkan pada ketentuan hukum islam berdasaran
fatwa dan atau peryataan kesesuaian syariah dengan DSN-MUI yang menyatakan bahwa harus memenuhi
prinsip keadilan (adl). Keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiah), tidak mengandung gharar (objek tidak jelas),
mysir (spekulatif), riba (penamabahan pendapatan secara tidak sah), zhulm
(ketidakadilan bagi pihak lain), risywah (tindakan suap) dan objek haram (Abubakar & Handayani, 2017).
Sedangkan
Perlindungan hukum yang diberikan oleh Pegadaian Syariah terhadap barang gadai nasabah atau
Rahin yang dikembalikan dalam keadaan cacat
atau rusak, dalam Pegadaian Syariah yang menjadi prioritas utamanya adalah penggantian barang gadai secara penuh
dengan barang yang sama atau hampir
sama dan meiliki nilai yang sama, namun opsi hanya
berlaku untuk barang gadai emas
dan perhiasaan emas, untuk barang elektronik
dan kendaraan pegadaian syariah melakukan opsi perbaikan barang gadai tersebut
ditambah 25% dari nilai taksiran barang gadai nasabah
atau rahin. Opsi kedua perlindungan
hukum yang diberikan Pegadaian Syariah terhadap barang gadai nasabah
atau rahin yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau
rusak adalah pemberian ganti rugi sebesar 125% dari nilai taksiran
barang gadai nasabah atau rahin,
terhadap berlian diperlakukan ketentuan international,
yang selama ini pernah terjadi di Jakarta, yaitu pergantian sebesar 300% dari nilai taksiran berlian tersebut, apabila menurut pihak Pegadaian Syariah kadar kecacatan atau kerusakan barang gadai cukup
ringan, maka opsi kedua yang diterapkan. Perlidungan hukum tersebut tentu dilakukan dan dibedakan berdasarkan jenis barang gadai,
kemudian besarnya ganti rugi, tatacara
klaim atas ganti rugi, dimana
kesemua hal tersebut dimaksudkan agar tidak ada pihak
yang merasa lebih dirugikan atas adanya kejadian tersebut. Antisipasi yang dilakukan oleh pihak Pegadaian Syariah ialah selain tempat penyimpanan
barang gadai juga adanya asuransi yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah terhadap barang gadai, dimana asurani
ini tidak dibebankan kepada nasabah atau rahin
melainkan perjanjian terpisah antara pihak Pegadaian Syariah dan pihak Asuransi yaitu Asuransi Syariah.
Kesimpulan
Penerapan hukum
perlindungan konsumen yang ada di Indonesia dalam melindungi konsumen
gadai syariah dan gadai konvensional sudah sesuai dengan
hukum perlindungan konsumen yaitu menurut Undang-
undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Komsumen yang selanjutanya ditulis UUPK pasal 1 ayat (1) menyebutkan �Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen� dan Pasal 2 UUPK dan penjelasannya mengamanatkan harus berpijak pada beberapa asas.
BIBILIOGRAFI
Abubakar, Lastuti, & Handayani, Tri. (2017). Telaah
Yuridis Perkembangan Regulasi Dan Usaha Pergadaian Sebagai Pranata Jaminan
Kebendaan. Jurnal Bina Mulia Hukum, 2(35), 80�92.
Ahmad, Rodoni. (2015). Asuransi
dan Pegadaian Syariah. Jakarta:
Mitra Wacana Media.
Antonio, Muhammad Syafi�i. (2001). Bank Syariah: dari Teori
ke Praktik. Gema Insani.
Arfin, Hamid. (2007). Membumikan Ekonomi Syari�ah di
Indonesia. Perspektif Sosio-Yuridis, Jakarta: ELSAS.
Awan, Yusuf Shopie dan Somi. (2004). Sosok Peradilan
Konsumen: Mengungkap Pelbagai Persoalan Mendasar BPSK. h. 14. Jakarta:
Piramedia.
Ayub, Muhammad. (2013). Understanding islamic finance.
Gramedia Pustaka Utama.
Haroen, Nasrun. (2007). Muamalah, Fiqh. Jakarta: Gaya
Media Pratama..
Hermansyah, S. H., & Hermansyah, S. H. (2020). Hukum
Perbankan Nasional Indonesia: Edisi 3. Jakarta: Prenada Media.
Mahmud Marzuki, Peter. (2005). Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana Prenada Media, 55.
Manahaar, Pamonaran. (2019). Implementasi Gadai Syariah (RAHN)
Untuk Menunjang Perekonomian Masyarakat di Indonesia. Dialogia Iuridica:
Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 10(2), 97�104.
Miru, Ahmad, & Yodo, Sutarman. (2008). Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Nasution, Muhammad Lathief Ilhamy. (2018). Manajemen Pembiayaan
Bank Syariah. Febi UIN SU.
Sjahdeni, Sutan Remy. (1993). Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia
Sutedi, Adrian. (2011). Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta.
Usman, Rachmadi. (2011). Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Dan Mediasi Perbankan: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Dalam
Perspektif Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah. Bandung: Mandar Maju.