Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 6 Oktober 2020

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

IMPLEMENTASI PENERAPAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM GADAI SYARIAH DAN GADAI KONVENSIONAL

 

Sholihin Shobroni

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Jawa Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

24 Agustus 2020

Diterima dalam bentuk revisi

14 Oktober 2020

Diterima dalam bentuk revisi

16 Oktober 2020

Hadirnya pegadaian di Indonesia sebagai lembaga keuangan formal yang bergerak menyalurkan pembiayaan dalam bentuk meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan sesuai hukum yang ada. Program ini membantu masyarakat untuk tidak terjebak dalam praktek riba dan lain-lain. Di samping itu, munculnya pegadaian syari'ah menjamin dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat ketika menghadapi kebutuhan mendadak yang telah enggan menggunakan pegadaian konvensional. Maka dari itu, keberadaan pegadaian syar�'ah dapat digunakan sebagai alternatif oleh masyarakat yang ingin berinteraksi dalam gadai yang bebas riba dan sah menurut hukum Islam. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi penerapan perlindungan konsumen gadai syari�ah dan gadai konvensional? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum (legal research) bertujuan menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma hukum yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum. Hasil penelitian ini yaitu penerapan hukum perlindungan konsumen yang ada di Indonesia dalam melindungi konsumen gadai syariah dan gadai konvensional sudah sesuai dengan hukum perlindungan konsumen yaitu menurut Undang- undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Komsumen yang selanjutanya ditulis UUPK pasal 1 ayat (1), dan Pasal 2 UUPK dan penjelasannya mengamanatkan harus berpijak pada beberapa asas.

Kata kunci:

Pegadaian; hukum dan adil

 

 

 

Pendahuluan

Pada perkembangannya saat ini, PT. Pegadaian mengalami perkembangan yang sangat pesat, tidak hanya layanan gadai syariah ataupun gadai konvensional, seperti� layanan jual beli logam mulia, layanan fidusia (kreasi, krasida) serta layanan jasa lainnya berupa jasa titipan, jasa taksiran, multi pembayaran online, kucica, langen palikarma, kagum, dan G lab (jasa pengujian logam mulia), akan tetapi� praktik gadai saat ini tidak diikuti oleh landasan hukum yang kokoh untuk mengantisipasi perkembangan gadai di Indonesia. Selama ini, aktivitas pegadaian lebih banyak pada perjanjian para pihak yang sangat sederhana dan baku. Selain itu, praktik� gadai pada ketentuan dalam pasal 1150 sampai 1160 KUH perdata yang belum mampu mengakomodasi dan menjangkau perkembangan gadai saat ini. Ketiadaan landasan hukum yang kokoh inilah yang menjadi celah bagi ketidak adilan antara para pihak dan banyak munculnya praktik gadai yang illegal dan membuka peluang bagi orang yang beritikad buruk serta untuk mencari keuntungan.

Pada satu sisi, industri pegadaian dianggap sebagai alternatif penyediaan dana bagi masyarakat umum yang tidak mampu mengakses kredit atau pembiayaan di perbankan (non bankable). Di sisi lain, ada pendapat menyatakan bahwa gadai bukan merupakan kredit yang nyata tetapi merupakan suatu transaksi penjualan dengan harga dibawah standar. Pegadaian memiliki hak untuk menjual kembali barang gadai jika nasabah tidak mampu melunasi utangnya. Hal ini terjadi karena nasabah yang meminjam dana dengan memberikan barang jaminan dengan kontrak gadai telah menyerahkan barang miliknya untuk dijual dengan harga di bawah rata-rata jika tidak mampu membayar pinjaman.

Aktulisasi nilai-nilai ekonomi syariah dimaksudkan sebagai upaya dan proses untuk memahami, mengonseptualisasikan dan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dimaksud adalah kumpulan dari asas-asas, prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam sebagai pedoman bagaimana manusia menjalankan kehidupan yang saling terkait membentuk satu kesatuan yang utuh, termasuk di dalamnya nilai-nilai ekonomi syariah sebagai suatu sistem (Arfin, 2007).

Harapan masyarakat akan manfaat produk gadai syariah yang cukup tinggi belum lepas dari kekurangan dan hambatan. Adrian Sutedi mengemukakan beberapa masalah operasional pegadaian syariah yang perlu dikritisi (Sutedi, 2011). Pertama, jumlah jaringan kantor pegadaian syariah masih sangat sedikit dibandingkan pegadaian konvensional, Kedua, proses lelang barang gadai milik nasabah yang tidak mampu membayar pinjamannya dilakukan tidak secara terbuka, tetapi hanya memilih beberapa orang untuk mengikuti pelelangan, Ketiga, akad yang digunakan dalam transaksi gadai syariah masih terbatas kepada qardul hasan dan ijarah. Keempat, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang lembaga gadai syariah.

Berdasarkan kondisi tersebut, upaya melindungi konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi konsumen secara integratif dan komprehensif yang dapat diterapkan di masyarakat. Peranti hukum tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru mendorong iklim usaha yang sehat dan akan melahirkan pengusaha dan perusahaan yang tangguh dalam menghadapai persaingan melalui pelayanan dan penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. Sikap keberpihakan terhadap konsumen ini adalah wujud kepedulian yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism) (Awan, 2004).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka �(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012). Penelitian hukum (legal research) bertujuan menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma hukum yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hokum (Mahmud Marzuki, 2005). Sumber datanya ada dua yaitu, primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan tentang gadai syari�ah dan gadai konvensional. Data Skundernya yaitu berupa jurnal, artikel, makalah dan buku-buku yang menunjang dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan datanya yaitu dengan mengadakan Observasi, dokumentasi dan wawancara dengan informan yang mendukung dalam hala perlindungan gadai syari�ah dan gadai konvensional.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Penerapan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Melindungi Konsumen Gadai Syariah dan Gadai Konvensional

Seiring dengan perkembangan zaman dan maraknya lembaga keuangan praktik gadai yang sesuai dengan syariah mulai dilakukan. Praktik gadai syariah atau yang disebut rahn ini sangat menekankan tidak adanya pengenaan riba atau pungutan bunga atas pinjaman yang diberikan. Praktik ini dimulai pertama kali berdasarkan atas perjanjian musyarakah dengan sistem bagi hasil antara Perum Pegadaian dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan tujuan untuk melayani nasabah BMI maupun nasabah Perum Pegadaian yang sesuai dengan prinsip syariah (Manahaar, 2019). Kerjasama ini tertuang dalam perjanjian musyarakah antara BMI dengan Perum Pegadaian Nomor 446 /SP 300. 233 / 2002 dan Nomor 015 / BMI /PKS /XII /2002 pada tanggal 20 Desember 2002. Dalam hal ini BMI sebagai pihak yang memberikan modal (pembiayaan) bagi pendirian pegadaian syariah di seluruh Indonesia sedangkan Perum Pegadaian sebagai pihak yang menjalankan secara operasional kegiatan usaha pegadaian.

Pengertian Gadai Syariah (ar-Rahn) Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-Rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan rungguhan. Dalam Islam ar-Rahn merupakan sarana saling tolong menolong (ta�awun) bagi umat Islam dengan tanpa adanya imbalan jasa (Haroen & Muamalah, 2007). Sedangkan secara terminologi, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya (Antonio, 2001).

Jadi, ar-Rahn adalah semacam jaminan utang atau lebih dikenal dengan istilah gadai. Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan atas utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan semua barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan. Barang jaminan itu baru boleh dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat dilunasi oleh pihak yang berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya (Antonio, 2001). Maka orang yang pegang gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lain.

Dengan seiring perkembangan dan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat komsumtif maupun sebagai penunjang perekonemian masyarakat. Masyarakat banyak membutuhkan pembiayaan baik secara Konvensional maupun secara Syariah. Disini penulis akan menganalisis keuntungan Gadai Syariah (Rahn) dibandingkan Lembaga Pembiayaan Lain.

Menurut Akram Khan (Sutedi, 2011), menyatakan bahwa gadai syariah sebagai konsep utang piutang yang sesuai dengan syariah, karena bentuknya yang lebih tepat adalah skim qardhul hasan disebabkan kegunaannya untuk keperluan yang sifatnya sosial. Dijabarkan bahwa pinjaman tersebut diberikan gadai syariah untuk tujuan kesejatraan, seperti pendidikan, kesehatan dan kebutuhan darurat lainnya, terutama diberikan untuk kepentingan membantu meringankan beban ekonomi para orang yang berhak menerima zakat (Mustahiq) (Sutedi, 2011). Maka dapat disimpulkan bahwa dalam bentuk Skim quarhul hasan ini. Utang yang yang telah disepakati diwajibkan dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa adanya tambahan bunga. Peminjam hanya membayarkan atau menaggung biaya yang secara nyata merupakan kewajiban yaitu biaya administrasi, biaya penyimpanan yang semuanya itu dibayaran dalam bentuk uang, bukan presentase atau bunga.

Keuntungan gadai syariah apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya:

1.      Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang pinjaman, yaitu pada hari itu peminjam datang ke pengadaian pada hari itu juga uang yang dibutuhkan cair, ini karena pengadaian prosedurnya yang sederhana

2.      Bila dilihat dari persyaratanya pun sangat sederhana, sehingga masyarakat untuk menunjang perekonomian.

3.      Apabila dilihat dari pengadaian konvesional tidak ada kewajiban masyarakat memberi tahu kepada pihak pengadaiannya uang yang diberian untuk keperluan apa, tetapi dalam pengadaian syariah pengunaan dana yang akan digunakan lebih baik di beritahukan agar pihak pengadaian mengetahui jenis akad apa yang lebih tepat untuk masyarakat tesebut.

Selain itu Apabila ditinjau dari sifat akadnya gadai syariah (rahn) memiliki 2 bagian yaitu untuk keperluan konsumtif (akad qardhul hasan dan ijarah) dan keperluan modal usaha yang sifatnya produktif yang dari usaha itu nasabah dapat menghasilkan keuntungan maupun menghasilkan kerugian (akad mudharabah, musyarakah, ba�i mquyyadah dan rahn). Dalam akad untuk keperluan modal usaha ada ketentuan bahwa selama rahim memberi izin kepada murtahin bahwa dia boleh memanfaatkan barang yang digadakan tesebut maka barang tersebut dapat digunakan dan keuntungannya wajib di bagikan kepada rahin sesuai dengan bagian kesepakatan yang telah dibuat, selain itu juga rahin dapat memanfaatkan mahrum untuk kepentingan usaha dengan syarat telah mendapatkan izin dari murtahin, apabila dalam pemanfaat mahrum itu menghasilkan keuntungan wajib dibagikan kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan bagi hasil yang telah dipersyaratkan karena mahrum berada di bawah penguasaan murtahin.

Ketentuan tentang operasional gadai syariah di Indonesia merujuk kepada Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 25 Tahun 2002 tentang Rahn. Fatwa dimaksud menetapkan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.  Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuai seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

c.  Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman (Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 25/dSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.).

e.  Penjualan Marhun.

a)      Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya.

b)      Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual dipaksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c)      Hasilpenjualan Marhundigunakanuntukmelunasiutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d)      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

Penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa nasabah meminjamkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan berdasarkan akad dan kesepakatan atas jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa simpan dan biaya administrasi serta jatuh tempo pengembaliannya (Ahmad, 2015).

Kemudian, pihak pegadaian syariah menerima biaya dari nasabah dan nasabah harus menebus barang gadaian setelah jatuh tempo. Jika pada saat jatuh tempo nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, maka pegadaian akan melakukan pelelangan untuk menjual barang gadai nasabah dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai (Ahmad, 2015).

Modus operandi pegadaian syariah masih dianggap sama dengan pegadaian konvensional karena menggunakan sistem pinjaman dana. Namun perlu dipahami bahwa pegadaian syariah menghindari sistem bunga dalam pembiayaan bagi nasabah. Maka digunakan akad al-qardh al-hasan yang berasal dari bahasa Arab; qardh (memotong) dan hasan (kebaikan). Menurut Muhammad Ayub, qardh hasan adalah suatu pinjaman dengan syarat untuk mengembalikan pinjaman pokok di masa yang akan datang tanpa ada tambahan (bunga) (Ayub, 2013). Prinsip Islam melarang mengambil keuntungan/laba dari utang piutang karena merupakan akad tabarru atau kebaikan dan masuk kategori riba yang terlarang secara tegas dalam al-Quran.

Izzatul Mardhiah mengemukakan bahwa penggunaan istilah pembiayaan di lembaga keuangan syariah bertujuan untuk membedakan esensi kontrak dan harga pembiayaan syariah dengan kredit konvensional yang menggunakan sistem bunga (Izzatul Mardhiah, 2013). Pembiayaan dapat didefiniskan sebagai aktifitas pendanaan yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah kepada nasabah, atau dengan pengertian lain berarti pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain (Nasution, 2018).

Pada prinsipnya, produk pembiayaan di pegadaian syariah dianggap sebagai kredit karena sifat penyaluran dana cenderung konsumtif dan menggunakan skema utang piutang seperti kredit di lembaga keuangan konvensional. Namun pendapat yang menyamakan pembiayaan dengan kredit di pegadaian syariah adalah tidak tepat. Meskipun produk pembiayaan bersifat konsumtif, tetapi secara hakiki, produk pembiayaan di pegadaian syariah menggunakan akad-akad antara lain rahn (gadai), ijarah (sewa) dan murabahah (jual beli) yang tidak menggunakan prinsip utang piutang seperti kredit. Dalam Islam ada larangan meraih keuntungan dari utang piutang, sehingga kredit tidak boleh digunakan sebagai sistem penyaluran dana di lembaga keuangan syariah.

Hubungan hukum antara nasabah dan pegadaian syariah adalah hubungan perjanjian (kontraktual). Asas-asas khusus yang terdapat dalam perjanjian antara nasabah dengan lembaga keuangan termasuk pegadaian syariah adalah hubungan kepercayaan, hubungan kerahasiaan, dan hubungan kehati- hatian (Sjahdeni, 1993).

Hubungan kepercayaan antara nasabah dan pegadaian syariah muncul ketika nasabah memberikan kepercayaan untuk menyimpan barang gadai sebagai jaminan pinjaman uang yang didapatkan. Jika tidak ada kepercayaan, nasabah tidak akan menjaminkan barang miliknya sebagai barang gadai. Sebaliknya pegadaian syariah memberikan pinjaman dengan kepercayaan bahwa nasabah akan membayar pinjamannya dan menyerahkan barang gadainya untuk dieksekusi jika terjadi gagal bayar.

Hubungan kerahasiaan muncul dalam kajian hubungan nasabah dan bank. Namun pegadaian syariah, secara prinsip, merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang berhubungan dengan masyarakat luas, sehingga hubungan kerahasiaan dapat terjadi. Pegadaian syariah berkewajiban menjaga kerahasiaaan transaksi keuangan dan data pribadi nasabah yang merupakan perlindungan terhadap hak privasi nasabah. Jika pegadaian syariah melanggar rahasia nasabah dimaksud, tentu akan merugikan nasabah.

Hubungan kehati-hatian adalah merupakan prinsip bagi pegadaian syariah dalam memberikan pinjaman dana kepada nasabah. Pegadaian syariah menjalankan prinsip ini dengan cara penilaian watak/keperibadian, penilaian kemampuan, penilaian modal, penilaian agunan dan penilaian prospek usaha.

Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon, sebagaimana dikutip oleh Arifudin, dapat dibedakan atas dua macam, yaitu: 24

1.   Perlindungan hukumpreventif, dimanarakyatdiberikesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

2.   Perlindungan hukum represif, di mana lebih ditujukan dalam menyelesaikan sengketa (Arifudin, 2014).

Secara garis besar hak-hak konsumen dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar yaitu:

a)   Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.

b)   Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar.

c)   Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi (Miru & Yodo, 2008).

Marulak Pardede mengemukakan dalam sistem perbankan Indonesia perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:

1.   Perlindungan secara Implisit (implicit deposit protection) yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank seperti melalui Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan, perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif bank Indonesia.

2.   Perlindungan Secara Eksplisit (explicit deposit protection) yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank gagal tersebut (Hermansyah & Hermansyah, 2020).

Kegiatan usaha pegadaian syariah, perlindungan hukum terhadap nasabah terjadi secara implisit yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap lembaga keuangan bank dan non bank (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan).

Bila dihubungkan dengan kegiatan usaha pegadaian syariah, terdapat beberapa hak nasabah sebagai konsumen pengguna jasa pegadaian syariah yang perlu mendapatkan perlindungan hukum untuk menjaga kredibilitas pegadaian syariah, yaitu:

a.       Hak Transparansi Informasi Produk Secara Benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Tujuannya agar konsumen tidak mendapatkan informasi atau gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pegadaian syariah.

Ketentuan� hak� konsumen� atas� informasi� benar� termaktub� dalam� Pasal� 4 huruf� c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang� menyatakan� bahwa� hak� konsumen� adalah� hak� atas� informasi� yang� benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa kepada konsumen atas produknya. Hak informasi ini adalah sangat penting karena informasi kepada konsumen yang tidak memadai dan tidak benar dapat menjadi salah satu bentuk cacat produk yaitu cacat instruksi. Hak atas informasi yang jelas dan benar bertujuan untuk melindungi konsumen agar memperoleh gambaran tentang produk. Infomasi yang benar akan melindungi kepentingan konsumen untuk dapat memilih produk dan/atau jasa yang diinginkan sesuai kebutuhan serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk (Miru & Yodo, 2008).

Bagi konsumen pegadaian syariah, pengetahuan dan pemahaman atas produk dan/atau jasa sangat berpengaruh kepada perlindungan diri mereka dari kesalahan memilih produk dan/atau jasa. Oleh sebab itu, pegadaian syariah wajib menyajikan dan menyampaikan informasi atas produk yang disediakan secara baik dan benar.

b.      Hak Kesetaraan dan Keseimbangan dalam Perjanjian

Dalam hubungan hukum antara nasabah dan lembaga keuangan termasuk pegadaian syariah adalah perjanjian yang dibuat oleh satu pihak saja, yaitu lembaga keuangan. Perjanjian sepihak oleh lembaga keuangan disebut dengan istilah perjanjian atau klausula baku. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, hal-hal spesifik dari obyek yang diperjanjikan (Sjahdeni, 1993).

Keuntungan yang didapatkan dari penggunaan perjanjian baku adalah efisiensi waktu, biaya dan tenaga. Namun di sisi lain, perjanjian baku menempatkan pihak yang tidak ikut serta membuat isi perjanjian baik secara langsung atau tidak langsung sebagai pihak yang dirugikan. Nasabah memiliki hak kedudukan seimbang dalam perjanjian tetapi harus mengikuti isi perjanjian yang disodorkan oleh lembaga keuangan (Usman, 2011).

Undang-Undang� Nomor� 8� Tahun� 1999� tentang� Perlindungan� Konsumen melarang pelaku usaha membuat dan mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dengan ancaman perjanjian batal demi hukum.

Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a) menyatakan pengalihan� tanggung� jawab� pelaku� usaha;� b)� menyatakan� bahwa� pelaku� usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f ) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baku, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; dan h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara berangsuran.

c.       Hak Mendapatkan Kompensasi dan Ganti Kerugian

Pasal 4 huruf� h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen�� menentukan�� bahwa�� hak�� konsumen�� adalah�� untuk�� mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Hak atas ganti kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik kerugian materi maupun yang menyangkut diri konsumen seperti sakit, cacat atau kematian. Untuk merealisasikan hak ini adalah mengajukan gugatan ke pengadilan dan di luar pengadilan (Miru & Yodo, 2008).

Secara khusus, Otoritas Jasa Keuangan memberikan perhatian yang sangat besar terhadap perlindungan hukum bagi konsumen jasa keuangan dengan mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Perlindungan konsumen yang diatur oleh POJK dimaksud menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau (Lihat POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 Pasal 2.).

Ketentuan-ketentuan perlindungan konsumen yang diatur antara lain: Pertama, pelaku usaha jasa keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik konsumen dan mendapat informasi dan/atau dokumen mengenai konsumen yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan. Kedua, pelaku jasa keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses kepada konsumen tentang produk atau layanan. Ketiga, pelaku jasa keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh konsumen dalam setiap dokumen. Keempat, pelaku jasa keuangan wajib memberikan pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen. Kelima, pelaku jasa keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Keenam, pelaku jasa keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen (lihat POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan).

Bahasan menyangkut perlindungan hukum bagi Nasabah Pegadaian Konvensional maupun Pegadaian Syariah dalam perjanjian gadai, dengan demikian seluruh info berkaitan dengan perlindungan hukum didalam suatu perjanjian ataupun akad baik gadai konvensional maupun gadai syariah dapat dibaca pada surat perjanjian gadai yang telah dilakukan.

Akad ataupun perjanjian gadai secara seluruhnya dituliskan didalam lembar kertas, yang dijadikan satu bersama Surat Tanda Bukti Gadai yang dalam Pegadaian Konvensional disebut Surat Bukti Kredit sementara dalam Pegadaian Syariah disebut Surat Bukti Rahn, didalam surat bukti gadai tersebut termuat hal-hal sebagai berikut :

a)      Identitas pegadaian, baik pegadaian konvensional ataupun pegadaian syariah.

b)      Identitas serta alamat nasabah atau rahin, umumnya dituliskan menurut apa yang tertera di dalam kartu identitas atau KTP.

c)      Profesi nasabah atau rahin serta nomor telepon yang bisa dihubungi.

d)      Identitas barang gadai (marhun) nasabah atau rahin: merupakan jenis ataupun identitas barang gadai yang digadai nasabah atau rahin, identitas barang gadai nasabah atau rahin umumnya berisikan berupa sesuatu yang menerangkan tentang benda gadai tersebut, yang menjurus pada wujud, kelengkapan tambahan, takaran emas (pada benda gadai emas, sedangkan benda elektronik berisikan besaran barang serta merek) juga berat seperti �Satu gelang mata gelas DTM 24 Karat berat 6.0 gram�.

e)      Kategori pinjaman adalah pengkatagorian pada benda gadai, pengkatagorian besaran uang pinjam mempunyai pengaruh pada dikenakannya bunga/sewa modal atas uang pinjam bagi Pegadaian Konvensional, sedangkan terhadap pengenaan biaya pemeliharaan bagi Pegadaian Syariah didasarkan pada taksiran marhun.

f)       Tanggal gadai, baik gadai konvensional maupun gadai syariah.

g)      Tanggal batas waktu gadai, merupakan tanggal batas waktu ditebusnya suatu gadai atau batas waktu melunasi uang pinjam gadai, akan tetapi pada tanggal batas waktu tersebut nasabah atau rahin bisa melakukan perpanjangan waktunya, yang harus memenuhi persyaratan melakukan pembayaran bunga/sewa� modal batas waktu, lalu keterangan bahwasanya tetap terusnya gadai ini bagi pegadaian konvensional. Sedangkan untuk pegadaian syariah dengan melakukan pembayaran biaya pemeliharaan dari barang gadai tersebut kemudian memberitahu bahwa berlanjutnya gadai syariah.

h)      Besaran uang penaksiran pinjam itu dilandaskan pada penaksiran benda gadai ketika dilakukannya permintaan gadai di pegadaian konvensional sama halnya di pegadaian syariah besaran marhun bih penaksiran pinjam itu dilandaskan pada penaksiran marhun ketika dilakukannya permintaan gadai.

i)       Peringatan (semacam hal yang harus diperhatikan):

1)      Perhitungan tarif sewa modal atau biaya pemeliharaan penghitungannya seberapa prosen menurut penggolongan, yang di kenakan tiap 15hari untuk Pegadaian Konvensional, Perhitungan tarif biaya pemeliharaan berdasarkan golongan, ysng dikenakan per 10 hari untuk Pegadaian Syariah.

2)      Hari sewa modal atau Hari Biaya Pemeliharaan, di hitung mulai tanggal hingga tanggal melunasi dalam kelipatan 15 hari ke atas untuk Pegadaian Konvensional, dalam 10 hari ke atas untuk Pegadaian Syariah.

3)      Batas waktu maksimal kredit, yakni 4 bulan (120 hari) serta bisa dilakukan perpanjangan melalui proses angsuran atau membayarkan bunga/sewa modal atau biaya pemeliharaan.

4)      Ketetapan tentang biaya administrasi pada permintaan atau perpanjangan kredit atau perpanjangan rahn.

5)      Ketetapan lelang atau jual terhadap barang gadai/marhun yang tidak dilunasi sampai pada tanggal yang dicantumkan pada bagian point ini.

6)      Peringatan guna meminta bukti tiap melakukan transaksi pembayaran. Surat tanda bukti gadai penandatangannya dilakukan pegawai pegadaian dan nasabah atau rahin.

Pada akad atau perjanjian gadai dengan menjaminkan Barang bergerak, berisikan perjanjiannya ialah :

a)      Pegadaian memperoleh barang gadaian dari nasabah/rahin atau yang dikuasakan sesuai dengan rincian yang tertera dihalaman depan, nasabah/rahin dan atau yang dikuasakan menjamin bahwa barang yang dijaminkan merupakan milik sah dari nasabah/rahin, yang dikusai secara sah menurut hukum oleh nasabah/rahin, dan karenanya nasabah/rahin mempunyai wewenang yang sah untuk menjadikannya jaminan utang di pegadaian, nasabah/rahin juga menjamin bahwa tak terdapatnya seorangpun dan ataupun pihak lainnya yang ikut memiliki hak dari barang yang dijaminkan, baik hak memiliki maupun hak untuk menguasai.

b)      Nasabah atau rahin memberikan jaminan bahwasanya barang gadainya yang diserahkan pada pegadaian tidaklah sedang berada sebagai suatu jaminan hutang, bukan didalam sitaan, tidak didalam persengketaan, ataupun bukan berasal dari sesuatu yang tidsk dibenarkan ataupun didapatkan dari sebuah pelanggaran hukum.

c)      Pegadaian memberi gadai pada nasabah atau rahin ataupun yang dikuasakan dengan menjaminkan benda bergeraknya yang memiliki nilai taksiran yang telah disetujui besarnya sehubungan tertera pada bagian depan.

d)      Barang gadai/marhun sebagaimana yang diuraikan di halaman depan, apabila dikemudian hari mengalami cacat, rusak ataupun hilang akan dilakukan penggantian barang secara utuh ataupun dengan penggantian yang besarnya 125% dari besaran taksiran dengan prioritas yang berbeda antara pegadaian konvensional dengan pegadaian syariah, pegadaian konvensional mendahulukan penggantian dengan besaran uang 125% dari besaran taksiran barang gadai sedangkan pegadaian syariah mendahulukan penggantian barang secara utuh, yang tercantum dihalaman depan setelah dikurangi biaya-biaya tertentu. Pegadaian tidak bertanggungjawab apabila barang jaminan cacat, rusak atau hilang yang diakibatkan terjadi force maejeure, antara lain: bencana alam, huru hara dan perang.

e)      Nasabah/Rahin atau yang dikuasakan mengakui uang pinjaman yang diterima dari tarif sewa modal bagi pegadaian konvensional atau dari tarif biaya pemeliharaan bagi pegadaian syariah dari kredit atau rahn sebesar yang tertera di halaman depan.

f)       Nasabah atau rahin ataupun bisa juga diberi kuasa bertanggung jawab melakukan pembayaran uang pinjam dengan tambahan bunga/sewa modal untuk gadai konvvensional atau tambahan biaya pemeliharaan untuk gadai syariah sejumlah yang tercantum di halaman depan, jika hingga dengan batas waktu tidak dilunasi atau diperpanjang gadainya, dengan demikian barang gadai/marhun tersebut akan dilakukan pelelangan/penjualan pada tanggal yang telah ditetapkan melafui lelang eksekusi atau lelang sukarela.

g)      Apabila hasil penjualan/lelang barang jaminan tidak mencukupi jumlah uang pinjam + bunga/biaya pemeliharaan + biaya lelang/jual, dengan demikian batas terakhir lambat 2 minggu saat dimulainya tanggal memberitahu nasabah/rahin atau yang dikuasakan tanggungan memberikan tambahan dan tunai atau barang jaminan untuk menutupi kekurangan tersebut.

h)      Jika hasil menjual atau lelang barang gadai/marhun memiliki kelebihan setelah dikuranginya uang pinjam + bunga/biaya pemeliharaan + biaya lelang/jual dengan demikian kelebihan lelang/jual tersebut jadi milik nasabah atau rahin dengan batas waktu mengambil uang kelebihan adalah setahun, jika uang kelebihan belum diambil juga dalam batas waktu setahun ketika tanggal pelelangan/penjualan uang tersebut jadilah milik pegadaian untuk pegadaian konvensional sedangkan bagi pegadaian syariah uang tersebut akan di serahkan ke lembaga amil zakat.

j)       Nasabah atau rahin ataupun yang diberi kuasa bisa memberikan haknya untuk melakukan menebus ataupun pengulangan gadai barang gadai milik orang lain dengan melakukan pengisian serta pembubuhan tanda tangan dilembar yang disediakan.

k)      Jika mengalami masalah dikemudian waktu maka penyelesaiannya dilakukan dengan musyawarah mufakat, bila pada akhirnya permasalahan tersebut tak bisa terselesaikan dengan musyawarah mufakat, dengan demikian dilanjutkan penyelesaiannya dengan jalur peradilan terdekat.

Perlindungan hukum yang diberikan Pegadaian Konvensional maupun Pegadaian Syariah dalam isi surat kesepakatan gadai bisa dibaca di butir angka keempat didalam surat tersebut, pada lembar itu adalah bentuk perlindungan dari tindak �wanprestasi� yang dilaksanakan oleh PT Pegadaian disebabkan keteledoran pegawainya hingga mengakibatkan barang gadai mengalami kecacatan, kerusakan, ataupun bahkan sampai hilang, sehubungan ketetapan diatas bisa dibaca juga didalam KUH Perdata Pasal 1157: �Kreditur bertanggungjawab atas kerugian atau susutnya barang gadai itu, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya. Dipihak lain debitur wajib mengganti kepada kreditur itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh kreditur itu untuk penyelamatan barang gadai itu.�

Perlindungan hukum yang diberikan oleh Pegadaian Konvensional terhadap barang gadai nasabah yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau rusak, dalam Pegadaian Konvensional prioritas utamanya pada pemberian ganti rugi sebesar 125% dari nilai taksiran barang gadai tersebut, terhadap berlian diperlakukan ketentuan international, yang selama ini pernah terjadi di Jakarta, yaitu pergantian sebesar 300% dari nilai taksiran berlian tersebut. Opsi kedua perlindungan hukum yang diberikan Pegadaian konvensional terhadap barang gadai nasabah yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau rusak adalah penggantian secara penuh dengan barang gadai yang sama atau hampir sama, dan nilainya sama dari barang gadai milik nasabah, namun opsi kedua dapat terjadi apabila nasabah menolak dan mengajukan klaim keberatan atas opsi pertama, dan setelah pihak Pegadaian Konvensional menawarkan opsi perbaikan barang gadai milik nasabah dan nasabah sepakat menyetujuinya, tetapi setelah dilakukan perbaikan ternyata hasilnya tidak sesuai maka pegadaian konvensional mengganti secara penuh barang gadai nasabah yang sama atau nilainya sama. Perlidungan hukum tersebut tentu dilakukan dan dibedakan berdasarkan jenis barang gadai, kemudian besarnya ganti rugi, tatacara klaim atas ganti rugi, dimana kesemua hal tersebut dimaksudkan agar tidak ada pihak yang merasa lebih dirugikan atas adanya kejadian tersebut. Antisipasi yang dilakukan oleh pihak Pegadaian Konvensional ialah selain tempat penyimpanan barang gadai juga adanya asuransi yang dilakukan oleh Pegadaian konvensional terhadap barang gadai, dimana asurani ini tidak dibebankan kepada nasabah melainkan perjanjian terpisah antara pihak Pegadaian Konvensional dan pihak Asuransi yaitu Asuransi Umum atau Konvensional.

Dari paparan tersebut jelas bahwa dengan menggunakan gadai syariah masyarakat yang ingin memunjang perekonomian dengan cara melakukan usaha menguntungkan karena dalam gadai syariah prinsip utamanya untuk sosial yaitu membantu masyarakat untuk ketingkat yang lebih maju selain itu juga dalam pengadaian syariah menitik beratkan pada ketentuan hukum islam berdasaran fatwa dan atau peryataan kesesuaian syariah dengan DSN-MUI yang menyatakan bahwa harus memenuhi prinsip keadilan (adl). Keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiah), tidak mengandung gharar (objek tidak jelas), mysir (spekulatif), riba (penamabahan pendapatan secara tidak sah), zhulm (ketidakadilan bagi pihak lain), risywah (tindakan suap) dan objek haram (Abubakar & Handayani, 2017).

Sedangkan Perlindungan hukum yang diberikan oleh Pegadaian Syariah terhadap barang gadai nasabah atau Rahin yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau rusak, dalam Pegadaian Syariah yang menjadi prioritas utamanya adalah penggantian barang gadai secara penuh dengan barang yang sama atau hampir sama dan meiliki nilai yang sama, namun opsi hanya berlaku untuk barang gadai emas dan perhiasaan emas, untuk barang elektronik dan kendaraan pegadaian syariah melakukan opsi perbaikan barang gadai tersebut ditambah 25% dari nilai taksiran barang gadai nasabah atau rahin. Opsi kedua perlindungan hukum yang diberikan Pegadaian Syariah terhadap barang gadai nasabah atau rahin yang dikembalikan dalam keadaan cacat atau rusak adalah pemberian ganti rugi sebesar 125% dari nilai taksiran barang gadai nasabah atau rahin, terhadap berlian diperlakukan ketentuan international, yang selama ini pernah terjadi di Jakarta, yaitu pergantian sebesar 300% dari nilai taksiran berlian tersebut, apabila menurut pihak Pegadaian Syariah kadar kecacatan atau kerusakan barang gadai cukup ringan, maka opsi kedua yang diterapkan. Perlidungan hukum tersebut tentu dilakukan dan dibedakan berdasarkan jenis barang gadai, kemudian besarnya ganti rugi, tatacara klaim atas ganti rugi, dimana kesemua hal tersebut dimaksudkan agar tidak ada pihak yang merasa lebih dirugikan atas adanya kejadian tersebut. Antisipasi yang dilakukan oleh pihak Pegadaian Syariah ialah selain tempat penyimpanan barang gadai juga adanya asuransi yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah terhadap barang gadai, dimana asurani ini tidak dibebankan kepada nasabah atau rahin melainkan perjanjian terpisah antara pihak Pegadaian Syariah dan pihak Asuransi yaitu Asuransi Syariah.

 

Kesimpulan

Penerapan hukum perlindungan konsumen yang ada di Indonesia dalam melindungi konsumen gadai syariah dan gadai konvensional sudah sesuai dengan hukum perlindungan konsumen yaitu menurut Undang- undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Komsumen yang selanjutanya ditulis UUPK pasal 1 ayat (1) menyebutkan �Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen� dan Pasal 2 UUPK dan penjelasannya mengamanatkan harus berpijak pada beberapa asas.

 

 

 

BIBILIOGRAFI

 

Abubakar, Lastuti, & Handayani, Tri. (2017). Telaah Yuridis Perkembangan Regulasi Dan Usaha Pergadaian Sebagai Pranata Jaminan Kebendaan. Jurnal Bina Mulia Hukum, 2(35), 80�92.

 

Ahmad, Rodoni. (2015). Asuransi dan Pegadaian Syariah. Jakarta: Mitra Wacana Media.

 

Antonio, Muhammad Syafi�i. (2001). Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Gema Insani.

 

Arfin, Hamid. (2007). Membumikan Ekonomi Syari�ah di Indonesia. Perspektif Sosio-Yuridis, Jakarta: ELSAS.

 

Awan, Yusuf Shopie dan Somi. (2004). Sosok Peradilan Konsumen: Mengungkap Pelbagai Persoalan Mendasar BPSK. h. 14. Jakarta: Piramedia.

 

Ayub, Muhammad. (2013). Understanding islamic finance. Gramedia Pustaka Utama.

 

Haroen, Nasrun. (2007). Muamalah, Fiqh. Jakarta: Gaya Media Pratama..

 

Hermansyah, S. H., & Hermansyah, S. H. (2020). Hukum Perbankan Nasional Indonesia: Edisi 3. Jakarta: Prenada Media.

 

Mahmud Marzuki, Peter. (2005). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media, 55.

 

Manahaar, Pamonaran. (2019). Implementasi Gadai Syariah (RAHN) Untuk Menunjang Perekonomian Masyarakat di Indonesia. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 10(2), 97�104.

 

Miru, Ahmad, & Yodo, Sutarman. (2008). Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.

 

Nasution, Muhammad Lathief Ilhamy. (2018). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Febi UIN SU.

 

Sjahdeni, Sutan Remy. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia

 

Sutedi, Adrian. (2011). Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta.

 

Usman, Rachmadi. (2011). Penyelesaian Pengaduan Nasabah Dan Mediasi Perbankan: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Dalam Perspektif Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah. Bandung: Mandar Maju.