Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 6 Oktober 2020

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

REKONSTRUKSI FORMULASI METODOLOGI STUDI ISLAM

 

Hoerul Umam

UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

24 Juli 2020

Diterima dalam bentuk revisi

14 Oktober 2020

Diterima dalam bentuk revisi

16 Oktober 2020

Dua aspek dalam ajaran Islam adalah aspek normatif dan aspek historis. Kedua aspek ini selalu terjalin sepanjang sejarah. Namun, ada sebagian umat Islam yang kurang memperhatikan salah satu aspek itu, yaitu aspek historis. Akibatnya, mereka bersikap romantisme dan apatis dalam menghadapi perubahan jaman yang selalu berubah. Sayangnya, metode studi Islam saat ini menurut penulis masih didominasi oleh kelompok ini. Ilmu sosial dan humaniora belum mendapat perhatian serius dalam kajian Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan meneliti tentang perlunya naqdiyah (kritik) dalam kajian Islam selama ini yang diawali dengan pencarian nilai-nilai fundamental Islam melalui pendalaman ilmu filsafat dan epistemologi Islam. Metode dalam penelitian ini adalah mempergunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Jenis data pada penelitian ini mempergunakan data �kualitatif�, maka secara otomatis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan data secara kuantitatif. Hasil penelitian ini arah baru Metodologi Studi Islam (MSI) ini berawal dari kelemahan metodologi studi Islam sebelumnya. MSI yang baru ini diarahkan pada sebuah rekonstruksi lengkap, dimulai dari perubahan paradigmatik dengan memperkenalkan filsafat ilmu hingga perubahan tindakan. adalah Multi pendekatan dan metodologi yang tidak monolitik akan menjadikan kajian Islam selalu menjawab kebutuhan kehidupan kontemporer seperti HAM, gender, lingkungan, demokrasi dan lain-lain.

Kata kunci:

Nilai-Nilai Fundamental; Studi Islam; Metode Dikotomi dan Integratif



Pendahuluan

Islam adalah agama dengan multi segmen. Ia hadir membawa berbagai perangkat-perangkat pendukungnya seperti bahasa dan sebab spesifik atau sebab umum yang melitarinya. Karena itu, Islam selalu bersejarah. Dalam pengertian ini, islam selalu dimaknai secara dinamis sesuai locus dan tempus di tempat Islam dijalankan oleh pemeluknya. Diakui, Islam mengandung dua sisi; normatif dan historis. Sisi yang pertama, Islam mengandung doktrin-doktrin yang mengandung ajaran, perintah, larangan dan etika. Sementara itu, sisi berikutnya, historis, memberi pengawalan pada doktrin-doktrin tersebut agar selalu aplicable dan relevant bagi perkembangan peradaban dan sejarah kemanusiaan. Pandangan historis ini, dalam argumen Rahman, disebabkan karena al-Qur'an sesungguhnya adalah respon ilahi atas situasi moral masyarakat dagang Mekkah saat itu baik dari sisi kepercayaan maupun kehidupan sosial (Rahman, 2012).

Namun demikian, dua sisi Islam tersebut acapkali dalam praktek keberagamaan direduksi oleh pemeluknya. Islam dilepaskan dari ruang historisitasnya. Pelepasan ruang historis Islam memiliki bentuk dua hal; pertama, bersikap romantisme masa lalu pada jaman Rasul. Idealitasnya adalah mengamalkan ajaran sebagaimana bunyi teks normatif tersebut. Kelompok Wahabi dan kelompok-kelompok yang menginginkan negara Islam termasuk dalam barisan romantisme ini (El Fadl, 2015). Kedua, bersikap apatisme abad tengah (1250-1800 M). Kelompok ini menganggap bahwa jaman kemajuan Islam pada periode madzhab telah menyelesaikan semua masalah. Karena itu, merujuk dan menutup panggung ijtihad adalah motivasi kelompok ini (Nasution, 2007).

Pemikiran keagamaan selama ini, menurut (Abdullah, 2006), belum bisa membedakan antara aspek doktrinal-teologis ajaran agama-agama dengan aspek kultural sosiologis sebagai hasil penafsiran dan interpretasi atas ajaran agama. Hal ini telah mempersulit masalah keagamaan pada wilayah historisitas kemanusiaan (Abdullah, 2006). Tokoh yang selalu menyuarakan pembedaan aspek normatifitas dan historisitas agama ini (Abdullah, 2016), menawarkan solusi untuk memecah "kebekuan" doktrinal dan sosiologis tersebut dengan pendekatan post-positivist yaitu gaya analisa yang bercorak interpretatif; masyarakat diperlakukan tidak seperti "mesin", tetapi sebagai sistem pemahaman makna (system of meaning); atau bentuk-bentuk pemahaman yang senantiasa mempertimbangkan lokasi dan basis sosial (Abdullah, 2016). Implikasinya adalah diperlukannya pendekatan ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti antropologi, budaya, bahasa, sosiologi, sejarah dan hermeneutika dalam memahami ajaran agama yang bersifat doktrinal tersebut.

Pemahaman demikian, kelihatannya mudah untuk tahapan praksisnya, tetapi karena ruang historisitas telah lama hilang dalam kesadaran keberagamaan, maka kita membutuhkan "istiqamah" tingkat tinggi untuk memunculkan kembali ke dalam kesadaran umat beragama, lebih-lebih kesadaran itu tidak hanya berkutat pada wilayah ijtihadiyah, tetapi lebih dari itu masuk pada wilayah naqdiyah (kritik). Kenapa kesadaran naqdiyah penting? Jawabnya adalah karena naqdiyah mendorong percepatan setiap pemikiran tentang agama untuk berubah, siap mendengar berbagai pendapat dan terhindar dari kepemilikian "kaca mata kuda".

Istiqamah tersebut dilakukan dalam wilayah gerakan rekonstruksi Metodologi Studi Islam (MSI), suatu gerakan untuk merubah cara baca dan cara melihat Islam. Metodologi Studi Islam (MSI) pertama-tama harus diorientasikan pada upaya membedah epistemologi Islam, sebagai kajian filsafat ilmu dan dilanjutkan pada kesadaran dialektik Islam dengan masalah-masalah kemanusiaan universal dan diakhiri dengan kesadaran praksis kosmopolitan baik dalam praksis pembebasan maupun kerja-kerja kultural seperti pendidikan.

Dalam sebuah penelitian, kita harus berhadapan dengan berbagai� permasalahan yang harus dipergunakan untuk memperjelas dasar, kerangka pikir dan methodilogiyang�� sesuai dengan penelitian itu sendiri, yakni pendekatan (approaach). Pendekatan ini� untuk kajian dalam sebuah penelitian menjadi penting kerena penelitian apa yang� dilakukan oleh seorang peneliti perlu memeliki kejelasan wilayah dan disiplin� ilmunya.� Kendatipun� menggunakan� bertbagai� pendekantan,penelitian� itu� harus� jelas� disiplin� apa� yang� dipakai, mengingat� diera� mederen sekarang� ini� disiplin� ilmu� telah� jenjadi sepesialisasi sehingga kita mau tidak mauharus melakukan identifikasi. Kajian� keislaman (Islamic Studies) yang dilakukan oleh kaum orientalis tidak terlepas pula� pada pendekatan disiplin ilmu yang dipergunakan. Dikenal dalam kajian orientalis�� dimana para orientalis mulai sengat dalam kajian mengujudkan keristen sebagai� agama� orisinal dari Tuhan (sebagai� agama wahyu) dengan pendekatan teoligis hingga mereka memiliki objek tivitas ilmiah. Salah satuupaya menuju objektivitas ini dengan� menentukan� pendekatan� kajian� tertentu,seperti� pendekatan� sosiologis,� antropologis,� Fenomenologis, historis dan� politis.Kemunculan ragam pendekatan kajian ini dalam hal keislaman ini tampaknya lebih dikernakan kondisi atau perubahan zaman yang� meliputi� setiap ruang dan waktu. Medel kajian keislaman dengan berbagai pendekatan ini� dimanakan� dengan� studi pendekatan multidisipliner (multisiplinier studies).

Sering diklaim, bahwa metodologi penelitian dalam kajian Islam, kurang menyentuh kajian-kajian tentang perilaku sosial yang tidak terkait langsung dengan norma-norma wahyu. Klaim semacam ini, apabila yang dimaksudkan Metodologi Penelitian adalah metode bayani atau normatif maka benar adanya, tetapi manakala dikembalikan lagi eksistensi metodologi penelitian Islam maka masih perlu dipertanyakan. Sebab, dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, paling tidak ada empat macam metodologi penelitian dalam kajian Islam yang pernah dikembangkan oleh para pemikir Islam, yang cenderung dilupakan dikarenakan berbagai sebab menyangkut kompetensi, yaitu: metode bayani, metode burhani, metode tajribi dan metode �irfani. Melalui metode-metode ini, baik dilakukan secara alternern maupun secara terpadu, bukan hanya dapat menyentuh persoalan hablm min Allah dan habl min al-�alam, tetapi juga akan metambah kepada hablmminannas atau persoalan-persoalan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk me-recovery metode-metode penelitian yang digunakan para pemikir muslim dalam kajian Islam dari perspektif worldview Islam. Hal ini dimaksudkan, selain untuk memelihara peradaban Islam yang cenderung terlupakan, adalah dalam rangka mengatasi problem metode yang muncul dari peradaban yang tidak mengakui otoritas wahyu. Metodologi yang akan digali ini tentu saja tetap dalam koridor atau kerangka bangunan ilmu dalam Islam yang merupakan produk dari suatu peradaban atau khazanah pengetahuan Islam. Selanjutnya dibahas mengenai bangunan ilmu dalam kajian Islam.

Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Jenis data pada penelitian ini mempergunakan data �kualitatif�, maka secara otomatis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan data secara kuantitatif (Moleong, 2013).

Robert J Bogdan dan Steven J Taylor menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian-penelitian yang menghasilkan data deskripif, berupa kata-kata/lisan dari orang-orang dan perilaku yang teramati. Pendekatan ini melihat keseluruhan latar belakang subjek penelitian holistik (menyeluruh) (Bogdan & Taylor, 1992).

�

Hasil dan Pembahasan

A.    Rekonstruksi Paradigmatik

Paradigma dimaknai sebagai cara pandang atau kaca mata nalar terhadap sesuatu (Ritzer, 2010). Berbeda paradigma yang digunakan seseorang, berbeda pula kesimpulan yang diperoleh. Praktek keberagamaan umat Islam yang beragam disebabkan oleh perbedaan paradigmatik ini. Demikian pula untuk membentuk watak Islam yang inklusif, toleran dan bertindak global diperlukan paradigma yang inklusif, toleran dan bertindak global pula. Salah satu upaya untuk ini, pertama-tama dalam Metode Studi Islam (MSI) mestilah diawali dari pencarian fundamental values melalui pendalaman filsafat ilmu dan epistemologi Islam. Dua hal ini akan menghindarkan setiap upaya, dalam bahasa Arkoun, taqdisu afkari al-dini (pensakralan pemikiran keagamaan) dari pengikutnya (Arkoun, 2016).

Pentingnya Filsafat Ilmu Ilmu perlu mendapatkan kontrol tanpa henti dari filsafat agar ilmu tersebut tidak menjadi dogmatis dan kaku. Karena itu filsafat ilmu menjadi niscaya bagi bangunan keilmuan, termasuk ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fiqh dan tasawuf. Filsafat ilmu membahas struktur fundamental yang mendasari, melatarbelakangi dan mendorong kegiatan praksis keilmuan. Di dalam filsafat ilmu diurai asumsi dasar keilmuan, metode, hubungan subjek dan objek dan juga tolak ukur validitas keilmuan (Brown, 2007). Karena itulah, pertanyaan-pertanyaan kritis selalu hadir dalam filsafat ilmu. Ilmu apapun termasuk ilmu keislaman perlu mendapat sentuhan dari filsafat ilmu apakah ilmu keislaman tersebut setelah diverifikasi dan difalsifikasi masih layak dipertahankan atau tidak. Filsafat ilmu karena itu, mendekatkan ilmu-ilmu keislaman dengan dunia ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang saling dialogis. Ilmu-ilmu keislaman mau tidak mau harus mendengarkan� ilmu� sosiologi,� ilmu sejarah,� antropologi� dan� ilmu-ilmu lain. Karena ilmu apa pun, tidak bisa merasa "cukup" dengan dirinya sendiri.

Salah satu perbincangan filsafat ilmu yang menarik untuk disimak adalah gagasan Charles S. Pierce tentang keyakinan dan pencarian keyakinan yang benar. Pierce melihat kebanyakan orang punya kecenderungan untuk melakukan fixation of belief yaitu berusaha meneguhkan keyakinan yang telah dimiliki dan tidak mau mencari dan meneliti apakah yang ia yakini itu benar dan telah usang atau tidak. Keyakinan seperti inilah pada gilirannya akan menghasilkan kebiasaan dalam pikiran (habit of mind) (Munitz, 2011). Harus diakui, umat Islam kebanyakan masih menggunakan tiga cara (apriori, trial and error dan otoritas) dibanding cara yang keempat (metode ilmiah dan investigasi). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal.

Lemahnya kajian filsafat ilmu di lembaga pendidikan Islam, termasuk perguruan tinggi. Di samping tenaga pengajar atau dosen kurang memahami secara mendalam tentang filsafat ilmu, kajian filsafat untuk sebagian orang menjadi sesuatu yang menakutkan.

Ilmu-ilmu sosial dan humaniora adalah ilmu-ilmu yang masih dianggap sebagai ilmu terpisah dengan ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu tersebut dianggap sebagai ilmu non agama, karena itu dianggap tidak memiliki kaitan dengan ilmu-ilmu keislaman.

Masih adanya pandangan dikotomik dari epistemologi Islam. Berbagai epistemologi Islam dihadapkan secara diametral dan tidak saling sapa. Epistemologi bayani dianggap sebagai musuh dari epistemologi irfani, dan epistemologi burhani sebagai lawan dari epistemologi bayani dan 'irfani. Di sinilah saatnya, para intelektual yang "tercerahkan" untuk terus menyuarakan dan berusaha tanpa lelah untuk berusaha menutupi berbagai kekurangan tersebut. Perguruan Tinggi seharusnya menjadi pioner atas usaha ini.

Charles J. Adam, Profesor Islamic Studies dari McGill University, melihat adanya dua hal dalam diri agama; yaitu tradisi (tradition) dan keyakinan (faith). Dialektika dua hal inilah yang kurang disentuh oleh para peminat studi Islam. Akibatnya, pendekatan normatif menjadi dominan dalam setiap perbincangan tentang agama dan juga tentang Islam. Oleh karena itu, mempelajari sejarah agama sebagai kajian historis harus dilakukan (Charles J. Adam, 2015). Di sisi lain analisa terhadap agama yang mencakup pemikiran (thought), tindakan (action), institusi (institution) dan lain-lain belum memadai untuk melihat aspek holistikasi agama. Untuk memperoleh gambaran ini, maka pengalaman dalam (inward experience) dan perilaku luar manusia (outward behaviour) dalam beragama harus pula ditelusuri (Charles J. Adam, 2015).

Charles J. Adam memilah dua pendekatan dalam studi Islam, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif biasanya dilakukan bukan karena ingin mencari substansi ajaran agama, tetapi lebih karena motivasi lain. Hal ini, menurut Adam, tampak dalam tiga corak. Pertama, pendekatan misionaris tradisional, yaitu pendekatan yang digunakan untuk motivasi agar penganut agama lain berpindah mengikuti agamanya. Pendekatan ini difungsikan untuk menyalahkan agama lain, serta membuat justifikasi tentang agamanya sendiri. Kedua, pendekatan apologetik, yaitu pendekatan dalam mengkaji agama dengan motivasi untuk menangkal serangan dari sesuatu yang dianggap unsur luar dari agama seperti modernitas dan budaya Barat. Pendekatan ini mengandaikan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, karena itu harus dibela dan dimurnikan dari segala kesalahan. Ketiga, pendekatan irenic, yaitu pendekatan dalam memahami agama secara simpatik. Pendekatan ini berusaha meluruskan asumsi-asumsi negatif tentang Islam dari kelompok luar. Namun, pendekatan ini karena diorientasikan untuk membangun jembatan Islam dengan agama lain, aspek-aspek lain dari agama kurang mendapat sentuhan. Akibatnya, pendekatan ini tampak parsial, tidak lengkap dalam memahami agama.

Untuk menutupi kekurangan pendekatan normatif, Adam, menawarkan pendekatan deskriptif. Pendekatan ini menurutnya mampu mendialektikakan antara tradisi dan keyakinan agama; antara historisitas dan normativitas. Pendekatan ini berkisar pada tiga hal, yaitu; pertama, pendekatan filologi dan sejarah. Pendekatan filologi memfokuskan kajian pada penelusuran teks sebagai bahasa. Al-Qur'an dan hadis sebagai teks memungkinkan untuk didekati dengan filologi. Di sisi lain, teks-teks keagamaan seperti teologi, fiqh dan tasawuf yang ditulis oleh para intelektual masa lalu bisa dimaknai dan diinterpretasi sesuai spirit jamannya. Di samping itu, pendekatan sejarah bisa digunakan untuk penelusuran konteks sosio-politik yang melingkupi teks dan pemikiran. Sejarah memberi andil signifikan bagi munculnya teks dan pemikiran keagamaan. Kedua, pendekatan ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial memberi perspektif tentang; bagaimana agama memberi efek sosial dalam sebuah komunitas; bagaimana konvensi masyarakat membentuk suatu keputusan hukum agama; bagaimana living Qur'an dan living sunnah dipraktekkan secara berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lain; serta bagaimana sebuah fatwa hukum agama bisa berubah karena perubahan kondisi dan situasi sosial ahli fatwa atau ahli fiqh, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Ketiga, pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah bidang kajian yang meneliti "dibalik" sesuatu. Ciri dari kerja fenomenologi adalah "mengurungkan" motivasi dan keinginan diri dalam melihat praktek atau tindakan beragama orang lain. Fenomenologi berarti berusaha memahami orang lain dari perspektif orang lain tersebut (Tholhatul Choir. Ahwan Fanani (ed.), 2009). Pendekatan ini, oleh karena itu, menghindari penganut agama dari merasa "paling" benar sendiri. Fenomenologi menyadari bahwa keberagamaan disamping melibatkan ritual-ritual tertentu, juga berkaitan dengan pengalaman-pengalaman individual yang spesifik.

Senada dengan Charles J.Adam, Abu Rabi', Guru Besar Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim Hartford Seminary merekomendasikan perlunya pendekatan interkonektif dalam kajian agama, seperti sejarah, teologi, antropologi, fenomenologi dan juga sosiologi agama (Rabi, 2012). Untuk keberlanjutan pendekatan interkonektif ini, Abu Rabi' menaruh perhatian pada dunia pendidikan Islam. Menurutnya, pendidikan di dunia Muslim kurang diajarkan interkonektif pendekatan tersebut secara baik. Hal ini diantaranya disebabkan karena pertama, tidak adanya perspektif ilmu sosial dan filsafat kritik. Kedua, studi Islam pada pendidikan Islam hanya berputar-putar pada kajian shari'ah dan fiqh yang kosong dari muatan kritik politik dan hampa dari relevansi dengan situasi kekinian. Menurutnya, silabi dan metode pengajaran di lembaga pendidikan seperti membuang-buat waktu. Prinsip-prinsip yang diajarkan sama sejak abad pertengahan umat Kristen . Ketiga, ada pembedaan yang sangat jelas antara teologi dan sosial. Akibatnya timbul "ketegangan" antara pemikiran dan realitas, antara Islam dan realitas (Rabi, 2012).

Akibat model pendidikan seperti ini, menurut Abi Rabi' menghasilkan intelektual buta dan tidak peka terhadap permasalahan di sekitarnya. Mereka lebih tertarik kepada otontisitas ajaran daripada problem nyata masyarakat. Peradaban yang dihasilkan dari pendidikan seperti ini adalah peradaban teks . Untuk menghasilkan intelektual yang mengerti akan "kekinian", "kedisinian", pluralitas dan kehidupan global, ia menawarkan pendekatan interkonektif seperti sejarah, filsafat, sosiologi, fenomenologi dan antropologi dalam memahami agama.

Di atas pemikiran kedua tokoh tersebut, penting pula memperhatikan gagasan Kim Knott, Guru Besar Studi Agama di University of Leeds, Inggris, tentang pentingnya pendekatan emik dan etik dalam studi agama, termasuk Islam. Pendekatan emik adalah pendekatan insider, yaitu telaah agama dari penganut agama itu sendiri dan pendekatan etik sebagai pendekatan outsider, yaitu telaah agama dari orang luar atau bukan penganut agama. Pendekatan insider seharusnya menghindari rasa apologisme pemikiran dan mau melakukan kritik internal terhadap apa yang dianutnya sendiri. Studi Islam insider harus bersikap objektif terhadap apa yang ditemukannya. Di satu sisi untuk bersikap netral, seseorang bisa bersikap outsider within insider. Agar ia bisa objektif dan kritis, tentu berbagai pendekatan harus dimiliki oleh seseorang. Sementara itu, apa yang ditemukan oleh outsider harus disikapi dengan objektif dan kejujuran. Diakui, kritik outsider seringkali menyadarkan seseorang dan membuat sesuatu lebih baik bila disikapi dengan kedewasaan.

Pentingnya berbagai pendekatan dan metodologi dalam studi Islam, baik dari Charles J. Adam, Abi Rabi' dan Kim Knott, memberi implikasi beberapa hal berikut. Pertama, berbagai pendekatan dan metodologi dalam studi Islam memberi perspektif tentang pentingnya aspek-aspek di luar normativitas yang ikut memengaruhi pemahaman terhadap agama. Hal ini menandakan adanya keterlibatan dialektik antara teks dengan kreatifitas dan pengalaman kemanusiaan. Kreatifitas dan pengalaman manusia tersebut bisa berupa sejarah, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Oleh karena itu ketika membicarakan tentang agama, mau tidak mau hal-hal yang berkaitan dengan kreatifitas dan pengalaman kemanusiaan harus ikut dilibatkan. Implikasi dari pemahaman ini adalah sikap terbuka dan tidak terjebak kepada "fideist subjectivisme" (merasa dipayungi oleh Tuhan sendiri).

Kedua, berbagai pendekatan dan metodologi dalam studi Islam akan menggiring pada kesadaran hubungan antar umat beragama yang berbeda Hal ini didasarkan adanya prinsip bahwa setiap kelompok dan golongan selalu memiliki sisi "subjektif" dan sisi "objektif". Setiap kelompok dan golongan memiliki "unique pattern" dan "general pattern". Sisi subjektif (unique pattern) seperti cara beribadah, suku, budaya, pendidikan dan lain-lain tidak ditonjolkan, sementara sisi objektif (general pattern) seperti kesadaran bahwa masing-masing memiliki sistem ritual, kepercayaan, teks, sejarah dan lain-lain seperti keadilan, membela kelompok miskin dan pendidikan lebih diutamakan. General pattern inilah yang akan menjadi ajang dialog dan ajang "mendekatkan diri" bagi pengikut agama atau kelompok yang berbeda. Dialog seperti inilah yang disebut dengan "dialog intersubjektif".

Pengembangan studi Islam sebenarnya merupakan sebuah proses kontinuitas sejarah. Islam masa lalu adalah fundamen penting yang mewariskan dan mengembangkan kekayaan intelektual umat Islam. Lebih dari itu umat Islam adalah masyarakat yang menginternasionalkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam adalah ilmu yang dilandaskan kepada iman, kepada ajaran-ajaran Allah Swt, dan dikembangkan dengan mengambil keseluruhan warisan setelah dipisahkan mana yang benar dan mana yang salah atau yang haqq dan yang batil.

Perubahan paradigma (shifting paradigm) dari dikotomis-atomistik menuju tawaran paradigma integratif-interkonektif, interkoneksitas dan sensitifitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun serta dikembangkan (Abdullah, 2016). Dengan ungkapan lain perlunya menumbuhkan etos keilmuan yang menekankan interdisiplinary, sensitivitas dan interkoneksitas antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama. Seperti di atas dari berbagai pendekatan keilmuan yakni ilmu psikologi, filsafat, sosiologi, antropologi, dan fenomenologi digunakan untuk mendekati agama secara terpisah, maka sudah waktunya ada pendekatan interdisiplinary, interkoneksitas, dan sensitifitas antar disiplin ilmu.

Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun di atas fundamental doctrine dan fundamental value yang terkandung dalam al-Qur�an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan didudukkan sebagai nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal linier dengan nilai agama. Dengan ini ilmu-ilmu keIslaman yang dikembangkan tidak sekedar common sense.

Melalui uapaya semacam itu, maka pengembangan Studi Islam diharapkan mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keislaman, serta mampu pengetahuan, teknologi, seni serta memiliki kematangan profesional, sekaligus hidup di dalam nilai-nilai keislaman secara kaffah.

B.     Metode Pendekatan Studi Islam: Antara Kritik dan Tawaran

Studi Islam secara etimologis� merupakan� terjemahan� dari� Bahasa Arab: Dirasah Islamiyah. Sedangkan studi Islam di Barat dikenal dengan istilah� Islamic Studies.� Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang� berkaitan� dengan� Islam. Makna ini sangat umum sehingga� perlu� ada� spesifikasi� pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis� dan� terpadu.� Dengan� perkataan� lain,� studi Islam adalah usaha sadar� dan sistematis untuk� mengetahui� dan� memahami� serta� membahas secara mendalam tentang hal-hal yang berhubungan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah� maupun� praktik-praktik� pelaksanaannya� secara� nyata� dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya (Rosihon Anwar. et.al, 2009).

Ditinjau� dari� sisi� pengertian, studi Islam secara� sederhana dimaknai sebagai� �Kajian Islam�. Pengertian� studi� Islam� sebagai� kajian� Islam� sesungguhnya� memiliki� cakupan� makna� dan� pengertian yang luas. Hal ini wajar adanya sebab� sebuah� istilah� akan memiliki makna tergantung kepada mereka yang menafsirkannya. Karena� penafsir� memiliki latar belakang� yang� berbeda� satu� sama� lainnya,� baik� latar� belakang� studi,� bidang� keilmuan, pengalaman, maupun berbagai perbedaan lainnya, maka rumusan dan pemaknaan yang dihasilkannya pun juga akan berbeda.

Penggunaan istilah studi Islam bertujuan untuk mengung- kapkan beberapa maksud. Pertama, studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program-program pengkajian dan penelitian terhadap agama sebagai objeknya, seperti pengkajian tentang konsep zakat profesi. Kedua, studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang, dan kurikulum suatu kajian atas Islam, seperti ilmu-ilmu agama Islam (fikih atau kalam). Ketiga, studi Islam yang dikonotasikan dengan institusi-institusi pengkajian Islam, baik dilakukan secara formal di perguruan tinggi, maupun yang dilakukan secara non formal, seperti pada forum-forum kajian dan halaqah-halaqah. Dengan demikian, istilah studi Islam bisa dipergunakan di kalangan akademis secara bebas.

Studi Islam meliputi kajian agama Islam dan tentang aspek- aspek keislaman masyarakat dan budaya Muslim. Atas dasar pembedaan ini, diidentifikasi tiga pola kerja berbeda yang masuk dalam ruang studi Islam. Pertama, pada umumnya kajian normarif agama Islam dikembangkan oleh sarjana Muslim untuk memperoleh ilmu pengetahuan atas kebenaran keagamaan Islam. kajian ini banyak berkembang di masjid, madrasah, dan berbagai lembaga pendidikan lainnya. Kedua, kajian non-normatif agama Islam, biasanya kajian dalam jenis ini dilakukan berbagai universitas dalam bentuk penggalian secara lebih mendalam dari suatu ajaran Islam. Ketiga, kajian non-normatif atas berbagai aspek keislaman yang berkaitan dengan kultur dan masyarakat Muslim. Dalam lingkup yang lebih luas, kajian ini tidak secara langsung terkait dengan Islam sebagai sebuah norma.

Dapat dipahami bahwa studi Islam memiliki cakupan makna, pembagian, dan juga bidang garap yang berbeda. Namun demikian, titik tekan utamanya terletak pada ajaran Islam2� yang sepenuhnya diambil dari Al-Qur�an dan Hadis secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, dan akhlak (Ngainun Naim, 2009).

Studi Islam memiliki tujuan untuk menunjukkan relasi Islam dengan berbagai aspek kehidupan manusia, menjelaskan spirit (jiwa) berupa pesan moral dan value yang terkandung di dalam berbagai cabang studi Islam, respon Islam terhadap berbagai paradigma baru dalam kehidupan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya filsafat dan ideologi baru serta hubungan Islam dengan visi, misi dan tujuan ajaran Islam (Nata, 2015).

Pengembangan studi Islam sebenarnya merupakan sebuah proses kontinuitas sejarah. Islam masa lalu adalah fundamen penting yang mewariskan dan mengembangkan kekayaan intelektual umat Islam. Lebih dari itu umat Islam adalah masyarakat yang menginternasionalkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam adalah ilmu yang dilandaskan kepada iman, kepada ajaran-ajaran Allah Swt, dan dikembangkan dengan mengambil keseluruhan warisan setelah dipisahkan mana yang benar dan mana yang salah atau yang haqq dan yang batil.

Perubahan paradigma (shifting paradigm) dari dikotomis-atomistik menuju tawaran paradigma integratif-interkonektif,36 interkoneksitas dan sensitifitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun serta dikembangkan (Abdullah, 2016). Dengan ungkapan lain perlunya menumbuhkan etos keilmuan yang menekankan interdisiplinary, sensitivitas dan interkoneksitas antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama. Seperti di atas dari berbagai pendekatan keilmuan yakni ilmu psikologi, filsafat, sosiologi, antropologi, dan fenomenologi digunakan untuk mendekati agama secara terpisah, maka sudah waktunya ada pendekatan interdisiplinary, interkoneksitas, dan sensitifitas antar disiplin ilmu.

Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun di atas fundamental doctrine dan fundamental value yang terkandung dalam al-Qur�an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan didudukkan sebagai nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal linier dengan nilai agama. Dengan ini ilmu-ilmu keislaman yang dikembangkan tidak sekedar common sense (Agus Maimun, 2010).

Arah dan tujuan studi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, untuk mempelajari secara mendalam apa sebenarnya (hakikat) agama Islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia. Sehubungan dengan hal ini, studi Islam dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa sebenarnya agama diturunkan Allah Swt, adalah untuk membimbing dan mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dan budaya umat manusia di muka bumi. Agama-agama yang pada mulanya tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman dan penggunaan akal serta budi daya manusia, diarahkan oleh Islam menjadi agama monoteisme yang benar. Sementara itu, Allah telah menurunkan ajaran Islam sejak fase awal dari pertumbuhan dan perkembangan akal dan budi daya manusia tersebut. Kemudian silih berganti Rasul-Rasul telah diutus Allah, untuk menyampaikan ajaran agama Islam, guna meluruskan dan menyempurnakan perkembangan akal dan budi daya manusia serta agama mereka menjadi agama tauhid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ajaran agama Islam telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan akal dan pikiran dan budi daya manusia serta agama mereka menjadi agama tauhid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ajaran agama Islam telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan akal pikiran dan budi daya manusia tersebut untuk mewujudkan suatu kehidupan budaya dan peradaban yang Islami. Sepanjang sejarah perkembangannya, tidak ada pertentangan antara alam pikiran dan budi daya manusia dengan agama Islam. Kalau pada suatu masa tampak adanya pertentangan antara ajaran Islam dengan alam pikiran dan budi daya manusia, dapat diduga bahwa telah terjadi kemacetan atau penyimpangan dalam perkembangannya. Dengan menggali kembali hakikat agama Islam, akan dapat digunakan sebagai alat analisis terhadap kemacetan atau penyimpangan akal pikiran dan budaya manusiawi serta ajaran agama Islam sekaligus.

Kedua, untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan paradaban Islam sepanjang sejarahnya. Studi ini berasumsi bahwa agama Islam adalah agama fitrah sehingga pokok-pokok isi ajaran Islam tentunya sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah adalah potensi dasar, pembawaan yang ada dan tercipta dalam proses penciptaan manusia. Potensi fitrah inilah yang menyebabkan manusia hidup, tumbuh, dan berkembang, mempunyai kemampuan untuk mengatur perikehidupannya, berbudaya, dan membudidayakan lingkungan hidupnya. Dari potensi fitrah ini lah, manusia mampu mengatur dan menyusun suatu sistem kehidupan dan lingkungan budaya yang mewadahi kehidupan dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup bersama masyarakatnya. Sebagai agama fitrah, pokok-pokok isi ajaran agama Islam tersebut akan tumbuh dan berkembang secara operasional dan serasi bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia tersebut. Dengan demikian, pokok- pokok isi ajaran agama Islam yang telah berkembang tersebut akan beradaptasi dan berinteraksi dengan setiap sistem hidup dan lingkungan budaya yang dijumpainya, dan akan berkembang bersamanya. Dengan kata lain, pokok-pokok isi ajaran agama Islam tersebut mempunyai daya adaptasi dan integrasi yang kuat terhadap sistem hidup dan lingkungan budaya yang dimasuki dan dijumpainya.

Ketiga, untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarah. Studi ini berdasarkan asumsi bahwa agama Islam sebagai agama samawi terakhir membawa ajaran-ajaran yang bersifat final dan mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, menjawab tantangan dan tuntutannya sepanjang zaman. Sumber dasar ajaran agama Islam akan tetap aktual dan fungsional terhadap permasalahan hidup dan tantangan serta tuntutan perkembangan zaman tersebut. Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman yang berlangsung terus-menerus dan berkelanjutan, permasalahan dan tantangan serta tuntutan hidup manusia pun bertumbuh-kembang menjadi semakin kompleks dan menimbulkan pertumbuhan dan perkembangan sistem kehidupan budaya dan peradaban manusia yang semakin maju dan modern.

Keempat, untuk mempelajari secara mendalam prinsip- prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini. Asumsi dari studi Islam adalah bahwa agama Islam yang diyakini mempunyai misi sebagai Rahmatan lil alamin tentunya mempunyai nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang bersifat universal, yang mempunyai daya dan kemampuan untuk membimbing, mengarahkan, mengontrol dan mengendalikan faktor-faktor potensial dari pertumbuhan dan perkembangan sistem budaya dan peradaban modern. Di dalam era globlal, umat manusia semakin membutuhkan nilai-nilai dan norma- norma yang bersifat universal, yang diterima oleh seluruh umat manusia untuk mengontrol, dan mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Karena itu nilai dan prinsip dasar ajaran agama Islam tersebut diharapkan menjadi alternatif yang mampu mengarahkan, mengontrol, dan mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta fakor dinamika lainnya dari sistem budaya dan peradaban manusia modern, menuju terwujudnya kondisi kehidupan yang adil makmur, aman, dan sejahtera di antara bangsa-bangsa dan umat manusia (Rosihon Anwar. et.al, 2009).

Hubungannya dengan Studi Islam, metodologi berarti membahas kajian-kajian seputar berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam Studi Islam. Adapun metode studi Islam secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut: Menurut Syari�ati metode studi Islam dibagi menjadi empat 1. Mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembah agama-agama lain; 2. Mempelajari kitab al-Qur�an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatan samawi) lainnya; 3. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah; 4. Mempelajari tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.

Adapun metode studi islam secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut :

�      Metode Ilmu Pengetahuan

�      Metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah yaitu cara yang harus dilalui oleh proses ilmu sehingga dapat mencapai kebenaran. Oleh karenanya maka dalam sains-sains spekulatif mengindikasikan sebagai jalan menuju proposisi-proposisi mengenai yang ada atau harus ada, sementara dalam sains- sains normative mengindikasikan sebagai jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan atau pembuatan sesuatu.

a.    Metode Diakronis

Suatu metode mempelajari islam menonjolkan aspek sejarah. Metode ini memberi kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam, sehinggga umat islam memiliki pengetahuan yang relevan, hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris, yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihat suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan dimana kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul.

b.    Metode Sinkronis-Analistis

Suatu metode mempelajari islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimananan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis.

c.     Metode Problem Solving

Metode mempelajari islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari satu cabang ilmu oengetahuan dengan solusinya. Metode ini merupakan cara penguasaan keterampilan dari pada pengembangan mental- intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni perkembangan pemikiran umat islam mungkin hanya terbatas pada kerangka yang sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistis.

d.    Metode Empiris

Suatu metode mempelajari islam yang memungkinkan umat islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, dan internalisasi norma dan kaidah islam dengan satu proses aplikasi yang menimbulakan suatu interaksi sosial, kemudian secar deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu norma baru.

e.     Metode Deduktif

Suatu metode memahami islam dengan cara menyusun kaidah secar logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah itu diaplikasikan untuk menuntukan masalah yang dihadapi. Metode ini dipakai untuk sarana mengistinbatkan syariat, dan kaidah- kaidah itu benar bersifat penentu dalam masalah-masalah furu� tanpa menghiraukan sesuai tidaknya dengan paham mazhabnya.

f.      Metode Induktif

Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu� yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Metode pengkajiannya dimulai dari masalah-masalah khusus, lalu dianalisis, kemudian disusun kaidah hokum dengan catatan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya (Muhaimin & Mudzakkir, 2014).

Dengan mengemukakan tujuan-tujuan tersebut, tampaklah karakteristik dari studi Islam yang selama ini dikembangkan di perguruan tinggi tidak bersifat konvensional, tetapi lebih bersifat memadukan antara studi Islam di kalangan umat Islam sendiri (yang bersifat subjektif doktriner) dan kalangan luar Islam yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu, tampilannya lebih banyak diwarnai oleh analisis kritis terhadap hasil-hasil studi dari kedua usaha studi Islam tersebut.

Selanjutnya, dengan tujuan-tujuan tersebut, studi Islam diharapkan akan bermanfaat bagi peningkatan usaha pembaharuan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam pada umumnya, dalam usaha transformasi kehidupan sosial budaya serta agama umat Islam sekarang ini, menuju kehidupan sosial budaya modern pada generasi mendatang, sehingga misi Islam sebagai Rahmatan lil alamin dapat terwujud dalam kehidupan nyata di dunia global.

Melalui uapaya semacam itu, maka pengembangan Studi Islam diharapkan mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keislaman, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu agama Islam, ilmu pengetahuan, teknologi, seni serta memiliki kematangan profesional, sekaligus hidup di dalam nilai-nilai keislaman secara kaffah.

 

Kesimpulan

Arah baru Metodologi Studi Islam (MSI) ini berawal dari kelemahan metodologi studi Islam sebelumnya. MSI yang baru ini diarahkan pada sebuah rekonstruksi lengkap, dimulai dari perubahan paradigmatik dengan memperkenalkan filsafat ilmu hingga perubahan tindakan. Secara ontologis, MSI arah baru ini berangkat dari asumsi bahwa Islam adalah wilayah kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus (antroposentrisme transendental) yang berbeda dengan studi Islam sebelumnya yang berorientasi kepada wilayah ketuhanan ansich (teosentrik). Secara epistemologis, MSI arah baru menggunakan berbagai pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam membaca teks. Ia juga menggunakan metode ilmiah dan investigasi dalam pencarian kebenaran. Akibatnya segala pengetahuan yang diperoleh bisa diverifikasi dan difalsifikasi serta selalu siap mengalami perubahan. Hal ini tentu berbeda dengan studi Islam klasik yang seringkali difungsikan untuk memperkuat keyakinan belaka (fixation af belief). Secara aksiologis MSI arah baru digunakan untuk kehidupan dunia yang serba global yaitu menjadi manusia yang being religious (menjadi beragama) dan bukan having religion (pemilik agama). Being religious ditandai dengan usaha terus menerus untuk menjadi orang yang beragama, sikap inklusif, toleransi dan siap berdialog dengan berbagai perbedaan. Sementara having religion berwatak sebaliknya, eksklusif dan anti pluralisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAPI

 

Abdullah, M. A. (2006). Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: pendekatan integratif-interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Abdullah, M. A. (2016). Studi Agama: Normativitas Atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Agus Maimun. (2010). Studi Islam di Indonesia,� dalam Istiqra,�21. Peluang dan Tantangan Formulasi Metode Studi Islam. Jurnal Islamica, 5(1), 167.

 

Arkoun, M. (2016). Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hashim Salih. Beirut: Markaz Al-Inma�wa Al-Qawmi.

 

Bogdan, R., & Taylor, S. (1992). Pengantar Metode Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

 

Brown, H. I. (2007). Perception, theory, and commitment: The New Philosophy of Science. University of Chicago Press.

 

Charles J. Adam. (2015). Approaches to Islam in Religious Studies. USA: The Arizona Board of Regents.

 

El Fadl, K. A. (2015). Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi.

 

Moleong, L. J. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mosal.

 

Muhaimin, A. M., & Mudzakkir, J. (2014). Studi Islam: dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

 

Munitz, M. K. (2011). Contemporary analytic philosophy. London: MacMillan Publishing Company.

 

Nasution, H. (2007). Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Jakarta Bulan Bintang.

 

Nata, D. R. H. A. (2015). Studi Islam Komprehensif. Prenada Media.

 

Ngainun Naim. (2009). Pengantar Studi Islam. Jakarta: Teras.

 

Rabi, A. (2012). A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islam History", dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu Rabi� (ed.), 11 September Religious Perspective on The Causes and Consequences. Oxford: Hartford Seminary.

 

Rahman, F. (2012). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Vol. 15). University of Chicago Press.

 

Ritzer, G. (2010). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan. Jakarta: Jakarta Pers.

 

Rosihon Anwar. et.al. (2009). Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia.