Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 1 No. 6 Oktober 2020 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
PENGELOLAAN PEMBELAJARAN LITERASI TEKNOLOGI
DI PESANTREN
�
Ida Rosyida
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 24 Agustus 2020 Diterima dalam bentuk revisi 14 Oktober 2020 Diterima dalam bentuk revisi 16 Oktober 2020 |
Literasi tidak hanya
sekedar pada tataran pembiasaan membaca dan menulis saja, tetapi program literasi perlu juga menitikberatkan pada
literasi yang berbasis teknologi informasi. Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital,
dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai
literasi informasi. Dapat disimpulkan bahwa literasi yang dimaksud tidak sebatas melek membaca dan menulis tetapi juga melek IT, IT sebagai motor jaman yang semakin lama semakin canggih. Jadi Literasi teknologi informasi sangat penting sebagai bagian dari kegiatan literasi pesantren. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi gambaran empirik mengenai pengelolaan Pembelajaran
literasi teknologi informasi di Pesantren Alkasyaf Bandung dan
Pesantren Alam Pangrango Bogor.Secara khusus tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi
Perencanaan, pengorganisasian, Pelaksanaan,
valuasi, pencapaian, Faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran literasi teknologi informasi
di Pesantren Alkasyaf dan Pesantren Alam Pangrango Bogor. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif dimana penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan keadaan pengelolaan pembelajaran literasi teknologi informasi di Pesantren Alkasyaf Bandung dan Pesantren Alam Pangrango Bogor dengan pengumpulan data melalui
observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah Perencanaan
pengelolaan pembelajaran literasi teknologi informasi dipesantren alkasyaf dan Alam pangrango Bogor semuanya termuat dalam Renstra Pesantren. |
Kata kunci: Pembelajaran; Literasi
Teknologi dan Pesantren |
Pendahuluan
Pembelajaran literasi memerlukan manajemen yang baik agar tujuan manajemen pendidikan erat sekali dengan tujuan pendidikan secara umum, karen manajemen pendidikan pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Apabila dikaitkan dengan pengertian manajemen pendidikan pada hakikatnya merupakan alat mencapai tujuan (Muhlisin, 2017).
Literasi menjadi modal penting dalam menghadapi persaingan secara global. Namun Pembelajaran literasi di Pesantren Alkasyaf dan Pesantren Alam Pangrango Bogor memiliki beberapa problematika yaitu pada tahap pembiasaan dibagi menjadi empat hal yaitu sumber buku, ragam buku, kegiatan membaca dan lingkungan literasi. Problematika sumber buku berupa kurangnya pemerolehan bahan bacaan bersumber dari luar perpustakaan Pesantren. Selain itu, pengadaan lingkungan literasi dalam rangka pengadaan dan pengembangan lingkungan fisik yakni buku-buku nonpelajaran yang masih kurang. Selanjutnya, pengawasan dan penerapan kegiatan literasi membaca di awal pembelajaran masih dikesampingkan demi pembelajaran. Permasalahan fasilitas literasi berupa area baca, sudut baca, poster literasi dan perpustakaan Pesantren. Area baca dan sudut baca yang belum tersedia, poster gerakan membaca masih kurang di lingkungan Pesantren dan permasalahan perpustakaan yaitu penataan ruang, sistem aplikasi dan sumber daya manusia.
Adapun tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pokok mempelajari manajemen pembelajaran adalah untuk memperoleh cara, teknik dan metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material maupun spiritual guna mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Hadirnya lompatan teknologi digital telah membawa perubahan yang signifikan pada kehidupan perpolitikan, pendidikan hingga sosial keagamaan di Indonesia (Tapsell & Jurriens, 2017). Pada masyarakat religious, teknologi digital memberikan berbagai macam informasi keagamaan yang bisa dengan leluasa diakses oleh masyarakat umum. Sebuah studi yang dikembangkan oleh (Ja�far, 2019) misalnya, dia menyebutkan bahwa kebutuhan akan petunjuk-petunjuk keagamaan (fatwa) di tengah masyarakat modern banyak dilakukan secara virtual dimana interaksi ini mereduksi relasi inter- personal keagamaan. Pada wilayah pendidikan, perkembangan teknologi yang semakin pesat turut pula merubah pola dan model pendidikan dimana pengetahuan dan informasi selain ditransmisiskan secara konvensional, juga melalui transmisi digital seperti email, blog, word press, video tutorial dan lain sebagainya (Suharto, 2014).
Pesantren pun tidak terkecuali, hadirnya teknologi digital juga membawa dampak pada pola pendidikan pesantren dan pola relasi antara pesantren dan masyarakat (Zulhimma, 2013). Selain alasan efisiensi dalam belajar, akses informasi yang lebih luas, dunia digital memang menjadi sarana baru dalam memperoleh dan menyampaikan� ide gagasan dan pendapat keagamaan. Akan tetapi banyak yang mengantisipasi hadirnya media di pesantren karena media digital juga memiliki dampak negatif. Di antaranya adalah mempengaruhi pola interaksi dan belajar para santri di mana tradisi muwajjahah (face to face/tatap muka) dalam belajar, tradisi istimbat (mencari referensi) lewat kitab-kitab turast akan digantikan dengan tradisi googling dan face to screen atau tradisi tatap layar. Dampak negatif ini bisa diminimalisir dengan adanya kemampuan literasi digital.
Konsep literasi digital muncul seiring perkembangan teknologi. Paul Gilster, 1998 seorang kolumnis menulis buku berjudul Digital Literacy untuk mendefinisikannya secara sederhana bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi melalui beragam sumber digital (practices of communicating, relating, thinking and �being� associated with digital media�). Konsep literasi digital di pesantren muncul seiring dengan perkembangan media pada dunia pendidikan dimana media menjadi prasarana yang memberikan informasi yang cepat serta luas mengenahi subjek kajian tertentu serta diskursus keagamaan. Dalam pandangan para ahli, literasi digital ini muncul sebagai kebutuhan akan akses dan pengelolaan informasi di mana pengguna memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan konten dalam berbagai (Nurjanah et al., 2018). Dalam konteks pendidikan pesantren modern literasi digital ini dimanfaatkan sebagai pendukung pembelajaran, akses data dan infromasi, kemampuan evaluasi informasi serta sebagai media dukung kurikulum untuk mendorong terciptanya sumberdaya manusia yang sadar media dan mampu menganalisa konten.
Penelitian ini kemudian mengembangkan paradigm literasi digital ala Gilster dalam bukunya �Digital Literacy� dan kontestasi dunia digital yang dikembangkan oleh (Boellstorff, 2012) dalam bukunya �Rethinking Digital Anthropology� (Boellstorff, 2012). menyebutkan bahwa dunia digital hanyalah perpanjangan dari dunia offline, dan keduanya adalah dunia yang nyata di mana kontestasi terjadi. Ada pertarungan ide, dominasi, budaya dan pengaruh yang terjadi di dunia offline dan online. Dalam konteks literasi digital di pesantren, dibutuhkan pemahaman dan kesadaran oleh agensi penggunanya (santri). Lebih lanjut kontestasi ini harus diimbangi dengan sikap analisis kristis terhadap wacana-wacana yang berkembang (Critical Analytical). Paradigma ini ini berupaya melihat bahwasanya pengguna teknologi digital tidaklah masyarakat passive, mereka adalah masyarakat aktif yang terbiasa mengkritisi dan memberikan wacana terhadap literasi yang ada.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk untuk meneliti bagaimana guru di dua Pesantren dalam merencanakan, melaksanakan, mengorganisir model pembelajaran, dan penilaian. Hal tersebut dilakukan untuk mengkaji secara mendalam agar diperoleh pemahaman dan kejelasan secara faktual. Harapannya dengan penelitian ini dapat memberikan informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan terkait dengan Pembelajaran literasi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif dimana penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan keadaan pengelolaan pembelajaran literasi teknologi informasi di Pesantren Alkasyaf Bandung dan Pesantren Alam Pangrango Bogor dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.
Kompetensi
manusia menjadi yang signify- kan dalam meningkatkan taraf kehidupan bangsa.
Tujuan untuk memanifestasikan masyarakat Indonesia yang unggul sangat berkaitan
erat dengan pendidikan. Untuk itu, pemerintah secara sadar berusaha memper-
tinggi kualitas pendidikan di Indonesia dengan cara menerbitkan Undang-Undang
No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam Pasal 1 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa:
Pendidikan
adalah usaha sadar dan teren- cana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Blasius Sudarsono, 2009).
Untuk
mewujudkan sistem yang baik daripada pembelajaran, peserta didik harus didorong
dan diarahkan untuk mengembangkan serta memperluas materi pembelajaran- nya
secara mandiri. Hal ini dapat menum- buhkan motivasi internal peserta didik
untuk belajar lebih giat. Dengan kata lain, proses pembelajaran mesti dapat
memberikan peng- ajaran kepada siswa/santri tata cara belajar (learning how to learn). Kemampuan
literasi informasi, dengan demikian amat diperlukan di zaman booming informasi
seperti saat ini (Khadijah et al., 2016).
Sementara
itu, pesantren, sebagai institusi pendidikan yang mampu mencetak
manusia-manusia unggulan, sehingga mampu berkontribusi dalam membawa masyarakat
pada tahapan kehidupan yang berkualitas. Oleh karenanya, pesantren itu
mempunyai peranan yang begitu penting, sehingga mesti dibarengi dengan tenaga pengajar (guru) yang berkualitas, yaitu ustadz-ustadz yang
mampu bersama- sama dengan santri, supaya dapat mengan- tisipasi perkembangan
pengetahuan yang ada, berkeahlian dan berkemampuan dalam mengakses ilmu dan
melakukan riset, bahkan kerjasama di bidang ilmu.
Seminar American Library Association (ALA) 1989
melaporkan bahwa untuk mendorong masyarakat yang terpelajar untuk mendapatkan
informasi, perlu untuk mengin- tegrasikan konsep literasi informasi sebagai
program dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi. Untuk dapat mewujudkan integrasi literasi informasi dan kegiatan
belajar mengajar perlu dilakukan upaya dari guru dan pustakawan. Guru dan
pustakawan diharuskan untuk bisa berkola- borasi sehingga bisa mewujudkan
tujuan literasi informasi menjadi pelajar seumur hidup. Peran guru dalam
mewujudkan literasi informasi sangat penting karena harus mampu mentransfer
konsep literasi informasi kepada peserta didik. Guru juga harus siap untuk
mengajar siswa bagaimana menjadi individu yang kritis, individu yang penasaran,
pencipta dan pengguna informasi yang baik. Oleh karena itu, guru harus bisa
membimbing santrinya cara belajar mencari informasi dengan sumber yang ada dan
menentukan keabsahan begitu banyak informasi dalam proses pemecahan masalah.
Perkembangan
informasi seperti saat ini menyebabkan keriuhan informasi yang tak terelakkan.
Hal ini sangat wajar mengingat banyaknya informasi yang tersedia baik tertulis,
terekam maupun digital setiap saat meningkat yang beredar di kalangan
masyarakat luas.
Karena
itu, masyarakat berpotensi terjebak dalam jutaan informasi yang tumbuh dan
semakin kompleks. Untuk mencegahnya, setiap orang harus memiliki kemampuan
untuk mencari, menggunakan, dan mengevaluasi informasi yang dibutuhkan secara
efektif dan efisien dan dapat mengembangkannya menja- di pengetahuan baru.
Kemampuan ini lebih dikenal dengan literasi informasi yang
dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan literasi informasi atau melek
informasi. The Southern Association of
Colleges and Schools mendefinisikan literasi informasi sebagai kemampuan
untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi untuk menjadi pelajar
seumur hidup dan berdikari (Farida & Purnomo, 2009).
Siswa,
dalam hal ini santri, diharapkan bisa memperoleh keterampilan melek informasi,
sehingga bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah,
dan pada gilirannya meningkatkan motivasi belajar.
Keterampilan
menelisik informasi dapat menjadi daya dukung dan menjadi semacam fasilitas
untuk belajar secara lebih gigih dan efisien. Seseorang yang sudah literat
(melek informasi) dianggap akan mampu menjelajahi luasnya samudera informasi
yang semakin lama semakin luas dan rumit, baik yang menggunakan sumber tercetak
(printed) maupun yang elektronik (electronics). Selain itu, seseorang
yang mempunyai kemampuan menelisik informasi akan meringankan dirinya untuk
belajar secara mandiri serta berinteraksi dengan berbagai informasi di mana pun
berada. Karena pada saat ini semua orang dihadapkan dengan berbagai jenis
sumber informasi yang berkembang sangat pesat, namun belum tentu semua
informasi yang ada dan diciptakan tersebut dapat dipercaya dan sesuai dengan
kebutuhan informasi para pencari informasi.
Melek
informasi sangat berguna di dunia pendidikan untuk mendukung dalam
mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi yang menekankan kepada
peserta didik dapat memanfaatkan informasi dari berbagai sumber informasi bagi
dirinya sendiri. Selain itu dengan kemampuan literasinya maka para peserta
didik mampu berpikir kritis, logis serta tidak mudah percaya terhadap informasi
yang diperolehnya sampai dia sendiri
mengevaluasi serta memverfikasi informasi tersebut sebelum digunakannya.
Program
penguasaan literasi informasi dianggap dapat menciptakan kemelekkan
(keberaksaraan) yang berbasis keterampilan (skills-based
literacy). Termasuk dalam hal ini ini adalah keterampilan mencari
informasi, menyeleksi sumber informasi secara cerdas, memilah-milih serta
menilai sumber informasi, dapat menggunakan serta menyuguhkan informasi secara
bertanggung jawab.
Dalam
pembelajaran, siswa mengaplikasi- kan prinsip-prinsip teori pendidikan dan pem-
belajaran menjadi faktor determinan dalam meraih kesuksesan pendidikan. Belajar
adalah proses komunikasi yang dilakukan secara dua arah, pengajaran dilakukan
oleh guru atau pendidik, sedangkan pembelajaran dilakukan oleh siswa atau
santri.
Begitu
juga dengan adanya pendidikan agama Islam, upaya sadar dan terencana dalam
mengantarkan siswa untuk saling mengenal, memahami, meresapi, mengimani, dan
saling memuliakan. Serta usaha untuk membina, mengasuh peserta didik agar
senantiasa memahami ajaran Islam secara komprehensif, yang pada akhirnya dapat
mengaplikasikan serta menjadikan Islam sebagai norma hidup dan kehidupan (way of life).
Pada
dasarnya Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk membantu melatih pola pikir
santri agar dalam menghadapi permasalahan dapat dilakukan dengan kritis, logis,
cermat dan tepat. Pada dasarnya anak mulai belajar yang konkrit, untuk memahami
konsep abs- trak, anak memerlukan informasi sebagai mediator atas visualisasinya.
Konsep abstrak ini dicapai melalui tingkatan belajar yang berbeda. Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan konsep abstrak akan menimbulkan
kesulitan bagi santri sehingga santri sulit membayangkan bentuk konkrit di
dalam pembelajaran. Hal ini banyak dialami peserta didik di sekolah. Oleh sebab
itu, perlu adanya sebuah kemampuan mencari informasi dan memilah� milih informasi tersebut agar santri tidak salah persepsi.
Secara
spesifik, literasi digital sebagai bagian dari transformasi pesantren adalah
terma baru yang mucul setelah kehadiran internet, akan tetapi penyelidikan
cikal bakal dari tranformasi literasi ini telah banyak dikembangkan oleh para
ahli. Karel Steenbrik misalnya yang meneliti pesantren lebih dari tiga dekade
yang lalu, dimana literasi digital belum popular, dia berpendapat bahwa
transformasi pesantren pada akhir abad 20 sangat signifikan, hal ini
ditenggarai dengan pola pendidikan yang awalnya adalah sorogan dan bandongan
kemudian mengadopsi sistem kelas dan madrasah, transformasi ini dilakukan terus
menerus sebagai proses adaptasi pesantren terhadap perkembangan pendidikan.
Selain system kelas, pesantren juga mengalami perubahan yang signifikan pada
kurikulum. Perkembangan pesantren yang lebih progresif ini digambarkan oleh (Dhofier,
2011) dimana dia berpendapat bahwa pesantren
mengalami transformasi yang massif puncaknya pada masa pasca-reformasi dimana
banyak sekali pesantren salaf yang mencangkokkan keilmuan pesantren berbasis kitab salaf dengan kurikulum nasional berbasis pengetahuan modern (Dhofier, 2011). Sebagai imbasnya adalah adanya diversifikasi literasi dimana pesantren
tidak hanya terfokus mempelajari al-kutub al-sofro �kitab kuning� sebagai kitab
induk pesantren (turast), tetapi juga
al-kutub al-baidho� �buku putih�, majalah, dan koran. Hal ini menunjukan adanya
keterbukaan pesantren terhadap keilmuan kontemporer yang progresif dan
perangkat pembelajarannya yang modern (Van Bruinessen, 2015).
Literasi
digital sebagai perubahan dan transformasi pada model pendidikan pesantren
membawa arah baru literasi di mana para santri bisa secara bebas mengakses
informasi, baik berupa berita, e-book,
jurnal ataupun video tutorial yang beredar luas di luar dinding pesantren.
Perlu dijelaskan bahwa hadirnya literasi digital di pesantren masih menjadi hal
yang baru dimana tidak semua pesantren memiliki kebijakan yang sama. Beberapa
pesantren salaf yang masih bertumpu pada tradisi klasik kepesantren masih
membatasi akses informasi umum secara bebas. Pelarangan ini dengan cara tidak
memperbolehkan santri membawa alat komunikasi portable (baik handphone ataupun
laptop) sebagai piranti utama dalam literasi digital. Akan tetapi di beberapa
pesantren modern, alat komunikasi portable diperbolehkan untuk mengakses
informasi secara lebih luas. Perubahan kebijakan ini menjadi tonggak penting
dalam kajian kepesantrenan (pesantren
studies) yang oleh Yazid disebutkan bahwa pesatren berusaha membuka diri
kearah yang lebih tranformatif dan progessif, serta terbuka dengan dunia luar (Yasid, 2018). Keterbukaan ini dihadirkan untuk
mengembangkan tradisi salaf akademik pesantren dan keilmuan modern.
Literasi
digital di pesantren memiliki titik pijak sebagai jembatan perjumpaan akademik
antara santri dengan dunia luar pesantren serta memberikan kesempatan kepada
santri untuk mengelola informasi sebanyak dan sebaik mungkin. Di sini,� santri diberi kebebasan untuk memilih dan
memilah literature apa saja yang akan mereka baca sebagai referensi pemahaman
mereka terhadap kajian keislaman dan kepesantrenan. Akan tetapi literasi
digital juga memiliki titik kritis, yaitu massifnya
Islamisme, Hoax dan konservatifisme
agama yang dibungkus dalam kajian popular keagamaan. Lebih lanjut, titik
matinya literasi digital di pesantren adalah ketika santri tidak mampu mengelola
dan memfilter diskursus keislaman yang ada, maka pada titik tertentu literasi digital akan lebih dominan dari pada literasi turast yang
dikembangkan oleh pesantren.
Pendidikan Pesantren terjadi proses
belajar mengajar yang sistematis, yang terdiri dari banyak komponen.
Masing-masing komponen pengajaran tidak bersifat terpisah atau berjalan
sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung dan
berkesinambungan. Dalam system
pengajaran terjadi proses belajar mengajar secara sistematis yang terdiri dari
banyak komponen. Masing-masing komponen pengajaran tidak bersifat terpisah atau
berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan secara teratur, saling
bergantung dan berkesinambungan untuk mencapai suatu tujuan. Sebuah system tidak bisa berjalan secara
sendiri-sendiri demi untuk mencapai suatu tujuan, karena system adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling
berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan
secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Pengambilan keputusan proses
pembelajaran, evaluasi sangat penting karena telah memberikan informasi
mengenai keterlaksanaan proses belajar mengajar, sehingga dapat berfungsi
sebagai pembantu dan pengontrol pelaksanaan proses belajar mengajar. Di samping
itu, fungsi evaluasi proses adalah memberikan informasi tentang hasil yang
dicapai, maupun kelemahan-kelemahan dan kebutuhan tehadap perbaikan program
lebih lanjut yang selanjutnya informasi ini sebagai umpan balik (feedback) bagi guru dalam mengarahkan
kembali penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan rencana dari rencana semula
menuju tujuan yang akan dicapai. Dengan demikian, betapa penting fungsi
evaluasi itu dalam proses belajar mengajar.
Keseluruhan proses belajar mengajar,
secara garis besar evaluasi mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu:
a. Sebagai alat guna
mengetahui apakah santri telah menguasai
pengetahuan atau ketrampilan yang telah diberikan oleh seorang guru.
b. Untuk mengetahui kelemahan
santri dalam melakukan kegiatan beajar.
c. Mengetahui tingkat ketercapaian
santridalam kegiatan belajar.
d. Sebagai sarana umpan
balik bagi guru, yang bersumber dari santri.
e. Sebagai alat untuk
mengetahui perkembangan belajar santri.
f. Sebagai laporan hasil
belajar kepada para orang tua wali santri.
Fungsi
evaluasi di dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan evaluasi itu
sendiri. Di dalam batasan tentang evaluasi pendidikan yang telah dikemukakan
dimuka, tersirat bahwa tujuan evaluasi pendidikan adalah untuk mendapat data
pembuktian yang akan menunjukan sampai dimana tingkat kemampuan dan
keberhasilan santridalam tujuan-tujuan kurikuler. Secara lebih rinci, fungsi
evaluasi dalam pendidikan dan pengajaran dapat dikelompokan menjadi empat
fungsi, yaitu:
a.
Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan santrisetelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu.
b.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pembelajaran.
c.
Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum Pesantren
Menurut Sukardi, dilihat
dari segi aspeknya, fungsi evaluasi pendidikan yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar pada prinsipnya dapat dikelompokan menjadi dua macam, yaitu
(Sukardi, 2008) :
a. �Membantu guru dalam menentukan derajat tujuan pengajaran agar dapat
dicapai.
b. �Membantu guru untuk mengetahui keadaan yang benar pada santri nya.
Bagi
guru fungsi evaluasi perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar evaluasi
yang diberikan benar-benar mengenai sasaran. Hal ini didasarkan karena hampir
setiap saat guru melaksanakan kegiatan evaluasi untuk menilai keberhasilan
belajar santriserta program pengajaran. Prinsip diperlukan sebagai pemandu
dalam kegiatan evaluasi. Oleh karena itu evaluasi dapat dikatakan terlaksana
dengan baik apabila dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada
prinsip-prinsip berikut ini.
Menurut Zakiyah Daradjat, pendidikan agama Islam adalah suatu usaha
untuk mengasuh santri agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Pendidikan agama Islam merupakan
usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan
santri untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Darajat, 1996). Untuk penilaian kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia, kompetensi yang dikembangkan terfokus pada aspek kognitif dan pengetahuan dan aspek afektif atau
perilaku. Penilaian hasil belajar untuk
kelompok mata pelajaran Agama dilakukan melalui:
1. Pengamatan terhadap perubahan perilaku
dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian santri.
2. �Ujian, ulangan dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif santri.
Melakukan
evaluasi kepada murid-murid dapat berlangsung secara terulis atau lisan, pada
periode waktu-waktu tertentu dan yang bersifat rutin sehari-hari
pula.Sekurang-kurangnya ada 4 yangdievaluasi pada diri santri:
a)
Pengetahuan para santritentang agama
Islam.
b)
Pelaksanaan praktik ibadah dan
amaliyahnya.
c)
Penghayatan jiwa agama atau akhlak yang
baik sehari-hari atau kepribadian mereka.
d)
Kecakapan dalam menulis dan public
speaking.
Dalam mengevaluasi pengelolaan
Pengelolaan Pembelajaran literasi Teknologi Informasi�� di Pesantren Al-kasyaf dan Pesantren Alam Pangrango Bogor. Terdapat 4 kategori yaitu :
a. �Harian
1) Absensi menulis 30 menit dan membaca 30 menit
2) Perkembangan bimbingan harian
b. �Mingguan
Melihat
perkembangan harian santri
c. �Bulanan
1) Mengecek nilai karya santri
2) Revisi buku
3) Bedah buku
d. �Tahunan
Dilakukan
dengan mereview dan mengecek serta membuat catalog karya santri.
Untuk
dapat menentukan tercapainya suatu tujuan pendidikan Pesantren dan maka
dilakukan evaluasi. Evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau
harga tertentu. Hasil yang diperoleh dari evaluasi dinyatakan dalam bentuk
hasil belajar. Oleh sebab itu kegiatan tersebut disebut evaluasi hasil belajar.
Utuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran dalam hal ini adalah tujuan
intruksional khususnya. Dengan fungsi ini dapat diketahui tikat pengetahuan
bahan ajar oleh santri. Untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar
yang telah dilakuakn guru. Dengan fungsi ini guru dapat mengetahui berhasil
atau tidaknya ia mengajar.Evaluasi di Pesantren dilaksanakan dalam dua tahap
yaitu:
Evaluasi
jangka Pendek yang dilaksanakan guru pada pada akhir proses belajar-mengajar,
evaluasi ini disebut evaluasi formatif. Tujuanya ditekankan pada perbaikan
proses belajar-mengajar. Contoh: bila hasil evaluasi hasil belajar santripada
akhir proses belajar-menjajar masih rendah mka kuru memiliki kewajiban untuk
mengulangi kembali proses belajar-mengajar sampai tujuan tadi dapat dikuasai
santri.
Evaluasi
jangka panjang, yaitu evaluasi yang dilaksanakan setelah proses
belajar-mengajar berlangsung beberapa kali, misalnya evaluasi tengah
semesterar. Evaluasi ini disebut evaluasi sumatif. Evaluasi ini lebih lebih
banyak ditujukan kepada santri. Yang dimaksud yaitu evaluasi digunakan untuk
menetapkan keberhasilan santridalam menguasai tujuan intruksioanal. Contoh:
bila hasil belajar yang divapai santripada akhir semester banyak menglami
kegagalan, tidak mungkin guru mengulang kembali proses belajar-mengjar.
Kalauipun memperbaiki, terbatas pada bahan yang akan diberikan pada semester
berikutnya.
Ada tiga hal yang saling berkaitan dalam kegiatan evaluasi pembelajaran di Pesantren yaitu evaluasi, pengukuran dan tes. Ketiga istilah itu sering disalah
artikan sehingga tidak jelas makna
dan kedudukannya. Gronlund mengemukakan
evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dari pengumpulan, analisis dan intrepretasi informasi/data untuk menentukan sejauh mana santri telah mencapai
tujuan pembelajaran di Pesantren. Pengukuran adalah suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka mengenai tingkatan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh individu (santri). Tes adalah
suatu alat atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel prilaku (Norman E, 1985). Sejalan dengan pendapat di atas, Hopkins dan
Antes mengemukakan evaluasi
adalah pemeriksaan secara terus menerus
untuk mendapatkan informasi yang meliputi santri, guru, program pendidikan
dan proses belajar mengajar
untuk mengetahui tingkat perubahan santri dan ketepatan keputusan tentang gambaran santri dan efektivitas program (Charles D. Hopkins & RichardL, 1990). Pengukuran adalah suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka berdasarkan hasil pengamatan mengenai beberapa ciri (atribute) tentang suatu objek, orang atau peristiwa.
Berdasarkan
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat
komprehensif yang meliputi pengukuran, dan tes merupakan salah satu alat atau bentuk dari pengukuran. Pengukuran lebih
membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (berupa angka-angka)
tentang kemajuan belajar santri (learning
progress) sedangkan evaluasi atau penilaian bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu
objek. Keputusan penilaian (value
judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), dapat pula
didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description). Yang didasarkan
kepada hasil pengukuran (measurement)
dan bukan di dasarkan kepada hasil pengukuran (non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai
tentang suatu objek yang dinilai.
(James Mursell, 2013) mengatakan ada tiga hal pokok
yang dapat di evaluasi dalam pembelajaran di Pesantren, yaitu (a) hasil langsung dari usaha belajar,
(b) transfer sebagai akibat
dari belajar, dan (c)
proses belajar itu sendiri (James Mursell, 2013).
Hasil
dari usaha belajar nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku, baik secara
subtantif maupun secara komprehensif. Perubahan itu ada yang dapat diamanati
secara langsung ada pula yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan
itu juga ada yang terjadi dalam jangka pendek ada pula yang terjadi dalam
jangka panjang. Namun demikian, bagaimana pun baiknya alat evaluasi yang
digunakan hanya mungkin dapat mengungkap sebagiantingkah laku dari keseluruhan hasil belajar yang sebenarnya. Evaluasi yang baik harus menilai hasil-hasil
yang autentik dan hal ini dilakukan dengan mengetes hingga manakah hal itu
dapat ditransferkan. Evaluasi harus dilakukan dengan tepat, teliti dan objektif
terhadap hasil belajar sehingga dapat menjadi alat untuk mengecek kemampuan
santri dalam belajarnya dan mempertinggi prestasi belajarnya. Di samping itu
evaluasi dapat menjadi alat pengontrol bagi cara mengajar guru, serta dapat
membimbing murid untuk memahami dirinya (keunggulan dan kelemahannya).
(James Mursell, 2013) mengemukakan bahwa evaluasi menurut syarat-syarat psikologis bertujuan agar guru mengenal santri selengkap mungkin dan agar santri mengenal dirinya sesempurna-sempurnanya. Di samping
itu, evaluasi juga berguna untuk meningkatkanhasil
pengajaran, karena itu evaluasi tidak
dapat dipisahkan dari belajar dan mengajar, dan intinya adalah penilaian belajar dengan tujuan untuk memperbaikinya.
Penilaian harus dilakukan olehsemua yang bersangkutan, bukan hanya guru tapi juga santri sendiri, dan harus ditinjau dari keseluruhan. Selanjutnya Gronlund mengemukakan
bahwa evaluasi dalam pembelajaran di Pesantren dapat membantu santri (a) memperkuat motivasi belajarnya, (b) memperbesar daya ingat dan transfer belajarnya, (c) memperbesar pemahaman santri terhadap keberadaan dirinya, dan (d) memberikan bahan unpan baliktentang
keefektifan pembelajaran di
Pesantren.
Prinsip-prinsip evaluasi dalam
pembelajaran di Pesantren sangat diperlukan sebagai panduan dalam prosedur pengembangan evaluasi, karena jangkauan sumbangan penilaian dalam usaha perbaikan
pembelajaran di Pesantren sebagian ditentukan oleh prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan pemakaiannya. Berkaitan dengan prinsip-prinsip penilaiai tersebut, Gronlund mengemukakan enam prinsip penialaian,
yaitu tes hasil belajar hendaknya
(1) mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan sesuai dengantujuan pembelajaran di Pesantren, (2) mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar
dan bahan-bahan yang tercakup
dalam pengajaran, (3) mencakup jenis-jenis pertanyaan/soal yang paling sesuai untuk mengukur
hasil belajar yang diinginkan, (4) direncanakan sedemikian rupa agar hasilnya sesuai dengan yang akan digunakan secara khusus, (5) dibuat dengan reliabilitas yang sebesar-besarnya dan harus ditafsirkan secara hati-hati, dan (6) dipakai untuk memperbaiki hasil belajar. Sejalan dengan pendapat di atas, Nana Sujana mengemukakan bahwa penilaian hasil belajar hendaknya
(a) dirancang sedemikian rupa sehingga jelas
kemampuan yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian dan iterpretasi hasil penilaian, (b)menjadi bagian yang integral dari proses belajar mengajar, (c) agar hasilnya obyektif, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian
dan sifatnya komprehensif,
(d) diikuti dengan tindak lanjutnya (Nana Sujana, 1990).
Tujuan
pokok evaluasi pembelajaran di Pesantren adalah untuk mengetahui keefektifan
proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Indikator keefektifan itu
dapat dilihat dari perubahan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik.
Perubahan tingkah laku yang terjadi itu dibandingkan dengan perubahanan tingkah
laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan isi program pembelajaran di
Pesantren. Oleh karena itu, instrumen evaluasi harus dikembangkan
bertitik tolak kepada tujuan dan isi program, sehingga bentuk dan format tes
yang dikembangkan sesuai dengan tujuan dan karakteristik bahan ajar serta
proporsinya sesuaidengan keluasan dan kedalamanmateri pelajaran yang diberikan.
Hasil evaluasi harus dianalisis dan ditafsirkan secara hati-hati sehingga
informasi yang diperolehbetul-betul akurat mencerminkan keadaan santri secara
objektif. Informasi yang objektif dapat dijadikan bahan masukan untuk perbaikan
proses dan program selanjutnya. Evaluasi dalam pembelajaran di
Pesantren tidak semata-mata untuk menentukan ratting santri melainkan juga
harus dijadikan sebagai teknik atau cara pendidikan. Sebagai teknik atau alat
pendidikanevaluasi pembelajaran di Pesantren harus dikembangakan secara
terencana dan terintegratif dalam program pembelajaran di Pesantren, dilakukan
secara kontinue, mengandung unsur paedagogis, dan dapat lebih mendorong santri
aktif belajar.
Hasil
belajar santri, bila diklasifikasikan berdasarkan taxonomy Bloom meliputi;
aspek kognitif, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, penilaian hasil
belajar juga harus bersifat komprehensif (menyeluruh) meliputi ketiga aspek di
atas. Disamping itu, proses belajar mengajar (pembelajaran di Pesantren ) yang
ditempuh oleh guru dan santri juga harus mendapat perhatian dalam penilaian
ini. Sebagai bahan masukan untuk perbaikan proses pembelajaran di Pesantren.
Sikap
merupakan bagian dari hasil belajar, dengan demikian sikap dapat dibentuk,
diarahkan, dipengaruhi dan dikembangkan. Sikap seorang santri menentukan bagaimana
ia bereaksi terhadap situasi yang dihadapi dan menentukan apa yang dicari dan
diperjuangkan dalam kehidupannya. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek,
dan sikap terhadap objek tersebut muncul setelah ia mempelajari, mengamati dan
mengenali objek itu. Ada dua kemungkinnan sikap individu terhadap suatu objek
yang dipelajarinya, sikap positif atau sikap negatif. Sikap positif muncul
apabila individu itu memandang objek tersebut bernilai dan akan muncul sikap
negatif apabila individu memandang objek tersebut bukan saja tidak bernilai,
juga mmerugikan. Sikap santri dapat dibentuk melalui pengalaman yang
berulang-ulang, imitasi (peniruan), identifikasi (mengenalisecara mendalam) dan
sugesti.
Mutu
hasil penilaian penampilan akan sangat tinggi apabila menempuh prosedur yang
benar dan sistematis. Adapun prosedur penilaian penampilan secara umum meliputi
: (l) memilih topik/pokok bahasan, (2) merumuskan tujuan pembelajaran di
Pesantren, (3) mengidentifikasi penampilan yang hendak diukur, (4) memilih
jenis tes yang digunakan, (5) merumuskan instruksi (suruhan) kegiatan yang
harus dilakukan oleh peserta didik, dan (6) membuat format penilaian.
Penilaian
terhadap proses seringkali diabaikan, setidaknya tidak mendapat porsi yang seimbang dengan penilaian terhadap hasil.
Padahal pendidikan tidak berorientasi kepada hasil semata, tetapi juga kepada
proses. Terlebih-lebih saat ini sedang digalakan sistem pembelajaran di
Pesantren yang menekankan kepada keterampilan proses, dimana kegiatan santri di
dalam mencari dan mengolah informasi materi pelajaran mendapat porsi yang
sangat tinggi (student centre). Penilaian terhadp hasil belajar semata tanpa
menilai proses, cenderung santri menjadi kambing hitam kegagalan pendidikan.
Padahal tidak menutup kemungkinan penyebab kegagalan itu adalah lemahnya proses
pengajaran, dimana guru sebagai penanggung jawabnya.
Hasil penelitian ini adalah Perencanaan
pengelolaan pembelajaran literasi teknologi informasi dipesantren alkasyaf dan
Alam pangrango Bogor semuanya termuat dalam Renstra Pesantren. Fokus rencana
meliputi Pembiasaan, Pengembangan dan Pembelajaran literasi teknologi
informasi. Struktur organisai umum terdiri atas Penanggung Jawab (pimpinan
madrasah) Ketua Tim Literasi (kepala perpustakaan, Anggota (pengurus pustaka/taman
baca dan guru lainnya). Pelaksanaan pembelajaran literasi teknologi informasi
di dilakukan dengan 3 tahap yaitu Pembiasaan, Pengembangan dan Pembelajaran,
dimana dalam pelaksanaanya selain memanfaatkan alam dan teknologi sebagai
sumber belajar, literasi teknologi informasi juga dilakukan melalui program
menulis dan public speaking (Sabu-sabu atau satu bulan satu buku dan Saha sace
atau satu hari satuceramah). Selanjutnya eksplorasi adalah� dengan menelaah materi dalam buku pelajaran
dengan cara membaca pemahaman membuat praktikum/ peragaan/melakukan ujicoba di
lapangan. Pencapaian yang diperoleh baik oleh Pesantren Alkasyaf dan Pesantren
Alam Pangrango Bogor selain buku-buku santri dan kumpulan ceramah-ceramah
singkat santri juga terdapat beberapa penghargaan. Dalam mengevaluasi
pembelajaran Literasi teknologi informasi dilakukan secara terulis atau lisan,
pada periode waktu-waktu tertentu bulanan, tahunan dan yang bersifat rutin
sehari-hari pula. Sekurang-kurangnya ada 4 yang dievaluasi pada diri santri
yaitu Pengetahuan para santri tentang agama Islam, Pelaksanaan praktik ibadah
dan amaliyahnya, Penghayatan jiwa agama atau akhlak yang baik sehari-hari atau
kepribadian mereka, kecakapan dalam menulis dan public speaking. Evaluasi
dilakukan bertujuan selain memantau perkembangan para santri juga sebagai bahan
pembuatan Renstra pesantren agar lebih efektif, khususnya dalam pembelajaran
literasi teknologi informasi. Faktor penghambat pelaksanaan pembelajaran adalah
ketersediaan dana operasional. Faktor eksternal yang menjadi faktor penghambat
pelaksanaan pembelajaran literasi teknologi informasi pesantren adalah daya
dukung pemerintah sangat kurang dalam pelaksanaan pembelajaran literasi
teknologi informasi di Pesantren. Meski ada berbagai penghambat namun dukungan
dari SDM dan masyarakat cukup mampu menghantarkan santri di pesantren
berprestasi.
Blasius Sudarsono. (2009). Literasi
Informasi: Pengantar Untuk Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Boellstorff, T. (2012). Rethinking Digital Anthropology.
Digital Anthropology, 39�60.
Charles D. Hopkins & RichardL. (1990). Antes,
Clasroom Measurement and Evaluation, Third Edition. Indiana : F.E Peacok Publisher, Inc. p.29.
Darajat, Z. (dkk). (1996). Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren:
Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia.
LP3ES.
Farida, I., & Purnomo, P. (2009). Information
literacy Skilss: Dasar Pembelajaran Seumur Hidup. UIN Jakarta Press.
Ja�far, A. (2019). Literasi Digital
Pesantren: Perubahan Dan Kontestasi. Islamic Review: Jurnal Riset Dan Kajian
Keislaman, 8(1), 17�35.
James Mursell. (2013). Mengajar dengan
Sukses, Terjemahan S. Nasution. Bandung :
C.V Jemars. p.128.
Khadijah, U. L. S., Rejeki, D. S.,
Sukaesih, S., & Anwar, R. K. (2016). Literasi informasi motivasi
berwirausaha ibu rumah tangga Kelurahan Nagasari Kabupaten Karawang Barat. Jurnal
Kajian Informasi & Perpustakaan, 4(2), 149�160.
Muhlisin, M. (2017). Manajemen Pembelajaran
Fiqih dengan Menggunakan Metode Audio Visual di MA Al Muwazanah Gondang
Plosoklaten Kediri. Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan Dan Studi
Keislaman, 7(1).
Nana Sujana. (1990). Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar. Bandung :
P.T Remaja Rosdakarya. h.8-9.
Norman E. (1985). Gronlund, Measurement
and Evaluation in Teaching, Fifth Edition. New York : McMillan Publising. p.5.
Nurjanah, E., Rusmana, A., & Yanto, A.
(2018). Hubungan Literasi Digital dengan Kualitas Penggunaan e-resources. Lentera
Pustaka: Jurnal Kajian Ilmu Perpustakaan, Informasi Dan Kearsipan, 3(2),
117�140.
Suharto, B. (2014). Managing
Transitions: Tantangan dan Peluang PTAI di Abad Informasi. Jember: STAIN
Jember Press.
Sukardi. (2008). Metodologi Penelitian
Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : PT. Bumi Aksara. H. 26.
Tapsell, R., & Jurriens, E. (2017). The
political Economy Of Digital Media. Digital Indonesia. Singapore: ISEAS�Yusof Ishak Institute
Singapore, 56�72.
Van Bruinessen, M. (2015). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat [Yellow
Book, Pesantren (Islamic Boarding Schools) and Sufi Order]. Yogyakarta: Gading Publishing.
Yasid, A. (2018). Paradigma Baru Pesantren: Menuju Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zulhimma, Z. (2013). Dinamika Perkembangan Pondok
Pesantren di Indonesia. Darul Ilmi, 1(02).