Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 1 No. 6 Oktober 2020 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
STUDI KRITIS TERJEMAH AL-QUR�AN DEPAG RI (TELA�AH TERHADAP AYAT-AYAT MUTASAYABIHAT DAN AQIDAH
DALAM PERSPEKTIF �NU)
UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, Indonesia
Email : [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 30 September 2020 Diterima dalam bentuk revisi 14 Oktober 2020 Diterima dalam bentuk revisi 16 Oktober 2020 |
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin luasnya wilayah geo-politik umat Islam, pemahaman umat Islam terhadap Al-qur�an mengalami penyusutan, karena kemampuan memahami pesan Al-qur�an yang sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan alasan berikut. Pertama, banyaknya umat islam yang bukan penutur bahasa Arab (�ajam). Kedua, para sahabat dan tabi�in yang mampu berbahasa Arab fusha (tinggi) semakin sedikit, terutama diluar haramayn (mekah dan madinah). Ketiga, persoalan umat islam semakin kompleks akibat akultural dan asimilasi masyarakat dan budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Tujuaan penelitian ini adalah untuk menganalisis terhadap terjemah al-qur�an Depag RI (Tela�ah terhadap ayat-ayat mutasayabihat dan aqidah dalam perspektif� NU). Metode Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian ini adalah Sebagai kitab suci umat Islam yang diterjemaahkan kedalam bahasa resmi dan diterbitkan oleh pemerintah RI, sudah seharusnya al Qur�an dan terjemahnya dalam bahasa Indonesia mengakomodasi pemahaman mainstream umat Islam Indonesia. Jikapun penerjemahan itu menggunakan penafsiran yang berbeda, bisa dilakukan dengan penjelasan catatan kaki yang dapat menjelaskan perbedaan itu sehingga kelak akan muncul penerjemahan al Qur�an dengan bahasa Indonesia dengan penafsiran dan penjelasan yang mudah dipahami oleh masyarakat muslim Indonesia dan menjadikan tafsir resmi bagi mazhab mayoritas di nusantara. |
Kata kunci: Studi kritis; terjemah dan Al-qur�an |
Pendahuluan
Penerjemahan al-qur�an
dianggap sebagai solusi, agar masyarakat dunia dari berbagai lapisan dengan mudah
dapat memahami dan menggali informasi yang terkandung di dalam al-qur�an
melalui terjemahannya tanpa mengesampingkan teks Arab itu sendiri. Walaupun
adakalanya pemahaman itu masih bersifat sementara, karena semakin meningkat
level seseorang, maka akan merubah pemahaman orang tersebut terhadap
pesan-pesan al-qur�an.
Akan tetapi, di dalam
prosesnya tidak semulus yang dibayangkan. Perselisihan dan perdebatan para
ulamapun terjadi sepanjang sejarah. Bahkan, beberapa fenomena yang berkaitan
dengan penerjemahan al-qur�an menjadi pembahasan yang panjang dalam kajian Ulum
al-qur�an. Keterlibatan para Orientalis dalam menerjemahkan al-qur�an juga pada
akhirnya menjadi sebuah diskursus penting untuk dibahas dan dikaji karena tidak
dipungkiri ada unsur kepentingan mereka sendiri dalam menerjemahkan al-qur�an tersebut.
Indonesia sebagai bagian dari
wilayah yang menjadi tempat suburnya bagi perkembangan kajian ke-Islaman tidak
bisa lepas dari proses penerjemahan al-qur�an. Untuk itu penting kiranya
mengetahui bagaimana seluk beluk penerjemahan al-qur�an di Indonesia dengan
berbagai bentuknya yang ada.
Al-qur�an merupakan
representasi (perwujudan) dari ��gagasan�� atau �kehendak� (iradah) dan
�kekuasaan� (qudrah) Allah sebagai Dzat yang tidak berbatas ruang dan
waktu (absolute). Oleh karena itu, upaya manusia memahami
kehendak kekuasaan Allah, yang terbingkai dalam bahasa dan teks Al-qur�an,
terkerangkeng oleh kemampuan dan pengetahuan manusia yang terbatas. Bukanlah
hal yang mudah (tetapi bukan hal mustahil) untuk menjelaskan cara �gagasan�
Allah yang �tidak terbatas� menjadi teks Al-qur�an yang �berbatas� yaitu bahasa
manusia, kemudian cara manusia memahami gagasan Allah dari teks berbatas
tersebut. Oleh karena itu, Al-qur�an tidak cukup hanya dibaca, tetapi harus
dikaji, dipahami, ditafsirkan, dijiwai, diamalkan, dan disosialisasikan
(didakwahkan) (Muhammad al Ghozali, 1996).
Pada masa risalah pewahyuan,
kebenaran teks Al-qur�an secara historis teologis diterima apa adanya (taken
for granted) dan dianggap tidak mengandung prolematika didalamnya. Hal ini karena
alasan berikut. Pertama, karena secara historis, teks Al-qur�an merupakan wahyu
in verbatim persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali. Al-qur�an
tidak melewati masa peralihan secara lisan,seperti injil ataupun hadis,tetapi
ditulis persis sebagaimana ucapan pertamanya (Nabi Muhammad SAW). kedua, Al-qur�an
turun dengan menggunakan struktur, style, cita rasa (dzauq) bahasa Arab
yang berkembang pada masyarakat Arab,terutama kamu Quraisy saat itu. Oleh
karena itu, masyarakat Arab pada saat itu tidak menemui kendala untuk memahami Al-qur�an.
Ketiga, pada Islam awal, persoalan yang muncul terkait dengan pemahaman
terhadap kitab suci dapat dikembalikan pada Rasulullah atau para sahabatnya.
Akan tetapi, seiring dengan
perkembangan zaman dan semakin luasnya wilayah geo-politik umat Islam,
pemahaman umat islam terhadap Al-qur�an mengalami penyusutan, karena kemampuan
memahami pesan al-qur�an yang sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan alasan berikut.
Pertama, banyaknya umat islam yang bukan penutur bahasa Arab (�ajam). Kedua,
para sahabat dan tabi�in yang mampu berbahasa Arab fusha (tinggi)
semakin sedikit, terutama diluar haramayn (mekah dan madinah). Ketiga,
persoalan umat islam semakin kompleks akibat akultural dan asimilasi masyarakat
dan budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka peneliti sangat tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang studi kritis terjemah al-qur�an depag ri (tela�ah terhadap ayat-ayat mutasayabihat dan aqidah dalam perspektif NU).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian� kualitatif. Karena�� dilihat� dari� tujuan� utama� dari� yang� akan� diteliti ini adalah untuk melihat studi kritis terjemah Al-qur�an Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI).
Hasil dan Pembahasan
Sebagai agama yang tak hanya dianut bangsa-bangsa di Semenanjung Arab, tentu akan sulit bagi umat Islam dari non-Arab untuk bisa memahami isi dan makna ajaran yang terkandung dalam kitab suci Al-qur�an. Atas dasar pertimbangan itulah, Al-qur�an kemudian diterjemahkan kedalam berbagai bahasa di dunia. Upaya-upaya penerjemahan Al-qur�an ke dalam bahasa lain sebelumnya telah dirintis sejak abad ke-12 M oleh orang-orang Eropa. Karenanya, tak mengherankan jika sebagian besar dari terjemahannya Al-qur�an ini ditemukan dalam berbagai bahasa Eropa. El-Hurr dalam tulisannya yang berjudul �Barat dan Al-qur�an: Antara Ilmu dan Tendensi� mengungkapkan, mayoritas penerjemahan Al-qur�an oleh orang-orang Eropa tersebut dilakukan berdasarkan pesanan gereja ataupun penguasa-penguasa Barat. Namun, tujuan penerjemahan Al-qur�an yang dilakukan oleh orang-orang barat non muslim itu dalam kenyataan di lapangan berbeda dengan tujuan penerjemahan Al-qur�an yang dilakukan oleh umat islam sendiri.
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke ahasa laina (singkatnya mengalihbahasakan, to translate) (Izzan, 2011).
Penerjemahan adalah memindahkan suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ada banyak pengertian tentang penerjemahan antara lain : menafsirkan pembicaraan dengan bahasa yang sama dengan bahasa pembicaraan itu. Menafsirkan pembicaraan dengan bahasa yang bukan bahasa pembicaraan itu. Proses pengalihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Perlu dibedakan pula antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu terjemah (Mustaqim, 2015).
Terjemah al-qur�an artinya memindahkan al-qur�an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah Swt dengan perantaraan terjemahan (Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 2001).
Sejarah penerjemahan al-qur�an memang tidak dapat dipungkiri diprakarsai oleh para Orientalis yang menerjemahkan al-qur�an ke dalam bahasa-bahasa mereka. Karena ketika itu umat Islam masih disibukkan dengan perdebatan hukum menerjemahkan al-qur�an ke dalam bahasa lain. Dalam kondisi umat Islam yang seperti itu, dijadikan sebagai kesempatan oleh para Orientalis untuk menerjemahkan al-qur�an. Pada mulanya, Orientalis menerjemahkan al- qur�an ke dalam bahasa Latin (Faizin, 2011).
Akan tetapi, terjemahan-terjemahan yang lahir setelahnya tidak menerjemahkan al-qur�an langsung dari bahasa Arab, tapi justru menjadikan terjemahan Latin itu sebagai rujukan utama. Mereka menerjemahkan dari terjemah versi Latin ke bahasa mereka dan diklaim sebagai terjemahan al-qur�an. Padahal, terjemah-terjemah itu merupakan terjemahan dari terjemah al-qur�an.
Berangkat dari rasa keprihatinan atas beredarnya terjemahan-terjemahan al-qur�an yang dilakukan oleh para Orientalis yang justru berisikan cacian dan bantahan terhadap isi al- Qur�an itu sendiri, akhirnya beberapa tokoh Muslim pun terpanggil untuk menerjemahkan al-qur�an, meskipun sebelumnya para Ulama melarang usaha tersebut.
Pada masa Muwahidin di Spanyol (1142- 1289 M) memerintahkan untuk menghancurkan al-qur�an yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Barbar. Tetapi sesudah itu kebanyakan para ulama mulai membolehkannya, dan terjemah yang pertama kali dalam bahasa Parsi dilakukan oleh Syeikh Sa�adi Asy-Syirazi (1313 M), setelah itu lahir terjemahan dalam bahasa Turki, orang yang kedua menerjemahkan al-qur�an di India adalah Syekh Waliyullah Dahlawi dan setelah itu semakin banyak terjemah yang muncul (Abu Bakar Aceh, 2016).
Hingga pada perkembangan selanjutnya, dilakukan penerjemahan al-qur�an besar-besaran ke dalam berbagai bahasa dunia oleh Mujamma` Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd Li Thiba�at al-Mushaf asy-Syarif (King Fahd Complex for Printing the Holy Qur`an) yang dibagikan kepada para jamaah haji ketika melakukan haji ke tanah suci.
Di Indonesia sendiri yang pertama kali dianggap sebagai penggagas proyek penerjemahan al-qur�an ke dalam bahasa Indonesia (Melayu) adalah Syekh �Abd al-Rauf Ibn �Ali al-Fanshuri (1035-1105 H/1615-1693 M). Penobatan dirinya sebagai Mutarjim al-qur�an pertama ke bahasa Melayu-Indonesia berdasarkan kepada karyanya yang menggunakan huruf Arab-Melayu (Izzan, 2011).
Fenomena perdebatan apakah terjemah sama dengan tafsir atau berbeda menjadi momok yang mengawali perdebatan umat Islam setelah persoalan boleh atau tidaknya menerjemahkan al-qur�an. Perbedaan pendapat tersebut berasal dari perbedaan sudut pandang mengenai definisi terjemah dan tafsir. Lahirnya produk tafsir yang mewarnai khazanah Islam tidak dapat serta-merta memuaskan dahaga umat Islam khususnya mereka yang berada jauh di luar Arab dan menggunakan bahasa mereka masing- masing sebagai bahasa komunikasi dan sumber pengetahuan. Keterbatasan itu membuat proses pemahaman terhadap kandungan isi al-qur�an dapat terhalangi.
Oleh karena itu, terjadi berbagai penerjemahan al-qur�an di berbagai negara non-Arab. Apalagi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa bangsa Eropa atau non-Muslimlah yang mengawali penerjemahan al-qur�an ke berbagai bahasa mereka. Kesalahan terjemah yang dilakukan oleh mereka tersebar ke berbagai Negara dan memunculkan kesalahan persepsi terhadap Islam maupun al-qur�an itu sendiri.
Sebab itu sebagai klarifikasi umat Islam perlu menunjukkan terjemahan al-qur�an yang benar dalam arti berusaha mendekati sebagaimana maksud yang diinginkan oleh Tuhan bukan berisikan informasi yang tidak sesuai sehingga pesan-pesan al-qur�an dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik oleh umat manusia.
Tafsir secara bahasa adalah al-Bayan (penjelas), al-Kasyf (penyingkap). Ibn Mandzur mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkap maksud ayat dari lafadz yang musykil. Secara istilah tafsir adalah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya (asbab al-Nuzul) dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya secara terang (gamblang) (Al-Zurqani, 1918).
Terjemah al-qur�an pada dasarnya juga melibatkan unsur tafsir, yaitu pemahaman dan interpretasi terhadap ayat-ayat al-qur�an meskipun dalam bentuk yang sederhana, terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat. Terjemah juga memainkan peran strategis dalam pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap al-qur�an, karena bahasa Arab bukan bahasa ibu bagi masyarakat Indonesia, sehingga proses pemahaman mayoritas umat Islam di Indonesia, terlebih dahulu berangkat dari karya-karya terjemah al-qur�an dalam bahasa Indonesia (Taufikurrahman, 2012).
Mungkin lebih tepat jika dihubungkan antara terjemah tafsiriyah dengan tafsir. Karena jika terjemah secara umum jelas berbeda dengan tafsir. Tapi jika dilihat secara singkat, terjemah merupakan uraian singkat, sedangkan tafsir adalah uraian secara luas. Fenomena perdebatan dalam menentukan apakah terjemah termasuk tafsir pada akhirnya melahirkan dua bentuk terjemahan, yaitu terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyyah.
Al-Zarqani memaparkan lima perbedaan antara terjemah dan tafsir; 1) Terjemah bersifat independent dari kaidah asal kalimat (hanya cukup menguraikan asal kata dan lain sebagainya), sedangkan tafsir terikat kepada kaidah bahasa dan� dalam� menjelaskan lebih bersifat luas, 2) Terjemah tidak boleh terjadi pembuangan kalimat, berbeda dengan tafsir mungkin terjadi pembuangan kalimat bahkan terkadang memang harus terjadi, 3) Terjemah harus memenuhi makna yang dimaksud oleh kalimat, sedangkan tafsir hanya mengacu pada usaha untuk menjelaskan maksud kalimat dari sudut pandang penafsir, 4) Terjemah mengandung makna asli (apa adanya sesuai dengan makna teks), sedangkan tafsir memberikan penjelasan baik itu umum maupun menyeluruh, dan 5) Makna yang dimaksud penerjemah adalah makna yang asli, tafsir tidak cukup berhenti pada satu makna akan tetapi kemudian dicarikan penjelasannya (Al-Zurqani, 1918).
Al-qur�an merupakan kalam Allah yang menjadi mukjizat Rasulullah Saw yang berisikan pedoman untuk kehidupan umat manusia agar selamat dunia dan akhirat. Berbeda dengan kitab- kitab suci sebelumnya yang diperuntukkan hanya kepada umat Nabi tertentu dan setelahnya akan datang Nabi dan Rasul yang diberikan kitab suci oleh Allah. Walaupun Rasulullah telah wafat, al-qur�an tetap diamalkan dan sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir.
Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan oleh al-qur�an memang mendapat legitimasi langsung dari Allah. Jika kepentingan bahasa Arab yang diunggulkan dan mengesampingkan tujuan utama al-qur�an, yaitu sebagai petunjuk, pemberi peringatan dan kabar bagi manusia, maka akan sulit rasanya manusia menjadikan al-qur�an sebagai pedoman hidup sepenuhnya, karena tidak semua umat Islam menguasai bahasa Arab. Oleh karena itu, polemik yang muncul di awal sejarah penerjemahan al-qur�an adalah mengenai hukum menerjemahkan al-qur�an ke dalam bahasa lain.
Al-qur�an turun bukan hanya untuk kalangan bangsa Arab, akan tetapi untuk seluruh umat manusia di penjuru dunia. Untuk memahami dan menggali kandungan serta maksud dari al-qur�an maka dibutuhkan terjemahan ke berbagai macam bahasa. Kebutuhan akan penerjemahan al-quran memang dirasakan sebagai upaya agar umat muslim di manapun mereka berada dapat memahami dan mengamalkan ajaran al-qur�an. Sebagaimana lazimnya kitab-kitab suci sebelumnya yang diturunkan sesuai dengan bahasa masyarakat kala itu, al-qur�an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai medianya. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya, al-qur�an berlaku bukan hanya untuk masyarakat Arab ketika zaman Rasulullah Saw hidup saja, tetapi al-qur�an juga berlaku sebagai pedoman universal bagi umat manusia hingga akhir zaman. Timbullah kesakralan bahasa yaitu terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-qur�an. Sehingga kesakralan itu berdampak pada dilarangnya penerjemahan al-qur�an dan memaksakan pembaca untuk memahami bahasa Arab.
Sebagai kitab suci dan pedoman hidup bagi setiap umat Islam, al-qur�an perlu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, kendatipun bahasa terjemahan itu tidak semua umat� Islam dapat menguasai bahasa al-qur�an, padahal mereka harus membaca, mempelajari, memahami, serta mengamalkan semua isinya. Oleh sebab itu, masyarakat yang awam mengenai bahasa al-qur�an perlu dibantu melalui terjemahan. Jadi, terjemahan merupakan sarana penyampaian isi kandungan al-qur�an kepada umat manusia, baik muslim maupun non-muslim (Yusuf et al., 2020).
Al-qur�an menjelaskan adanya tuduhan orang Arab yang menyangkal bahwa al-qur�an bukan wahyu ilahi, melainkan diambil Nabi Muhammad SAW. dari orang Yahudi dan Kristen. Al-qur�an membantah tuduhan ini dengan menegaskan bahwa al-qur�an turun dalam bahasa Arab murni (fusha), Arab yang jelas (lisanun �arabiyyun mubinun) dan siapapun tidak berbahasa Arab (a�jamiy) tidak akan mampu mengajar Muhammad dengan bahasa Arab murni yang jelas (Rusmana & Rahtikawati, 2014).
Di satu pihak, para ulama melarang penerjemahan al-qur�an karena menganggap bahwa dengan menerjemahkan al-qur�an ke bahasa lain akan mengurangi kemukjizatan al-qur�an. Sementara di pihak yang lain, membolehkannya dengan alasan agar pesan al-qur�an dapat tersampaikan ke seluruh umat manusia dari tiap lapisan masyarakatnya. Pihak yang membolehkan penerjemahan al-qur�an ke dalam bahasa lain juga memberikan kriteria- kriteria dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses penerjemahan al-qur�an itu.
Di antara ulama yang membolehkan terjemah al-qur�an adalah Kasyfu Ghitha, Ayatullah Khu�i, dan Syekh Mushthafa Maraghi. Sedangkan yang menentang penerjemahan al-qur�an yang dilakukan di Mesir adalah Syekh Muhammad Sulaiman (Wakil Ketua Mahkamah Agung), Syekh Muhammad Ahmadi Zhawahiri (Mantan Rektor al-Azhar) yang mengirimkan surat ketidaksetujuannya kepada Ali Mahir Pasya (Mantan Perdana Menteri), dan Syekh Abbas Jamal (Wakil Pembela Syariat). Terlepas dari itu Hadi Makrifat menyuguhkan beberapa dalil untuk mendukung pentingnya penerjemahan al-qur�an ke dalam bahasa dunia, yaitu QS. Ali Imran : 138; QS. al-Furqan: 1; QS. an-Nahl: 44; QS. al-An�am: 19; dan QS. al-Baqarah: 159 (M. Hadi Makrifat, 2007).
Di era modern, perdebatan muncul kembali di Mesir pada awal abad kedua puluh dan memuncak pada tahun 1936 antara pemikir liberal dan politisi dengan ulama Al-Azhar. Perdebatan juga diramaikan oleh keinginan penguasa Turki modern di bawah pimpinan Mustafa Kamal Attaturk untuk menerjemahkan beberapa ritual agama, seperti azan ke dalam bahasa Turki. Polemik kembali terjadi pada tahun 1955 ketika Majelis Tertinggi Urusan Agama Islam Mesir bermaksud menerjemahkan al-qur�an setelah melihat banyaknya kesalahan yang terdapat dalam beberapa terjemahan dalam bahasa asing. Sampai akhirnya para ulama Al-Azhar membuat kesepakatan, dan mewujudkannya dalam bentuk tafsir al-Muntakhab (Hanafi, 2011).
Abu Hanifah mulanya membolehkan penerjemahan al-qur�an karena ia tidak menganggap bahwa terjemahan al-quran adalah al-qur�an, Imam Malik menentang dengan keras penerjemahan al-qur�an. Asy-Syafi�i mengatakan bahwa menyalin al-qur�an ke dalam suatu bahasa dengan arti bahwa bahasa yang dipakai itu dapat memenuhi apa yang dimaksud oleh bahasa Arab hingga ia dianggap sebagai al-qur�an itu tidaklah mungkin. Pandangan ini juga ditegaskan oleh Ibnu Qutaibah. Akan tetapi menerangkan al-qur�an kepada mereka yang tidak mengetahui bahasa Arab dengan suatu bahasa supaya mereka dapat mengetahui apa yang dimaksud al-qur�an, maka itu dibolehkan dan mungkin untuk dilakukan. Hasbi Asshiddieqy berkata bahwa menyalin al-qur�an ke dalam bahasa Indonesia dengan maksud supaya bangsa ini mengerti isi al-qur�an yang berbahasa Arab atas dorongan nasionalisme tidak dapat dibenarkan, karena menghilangkan alat pemersatu antara umat muslimin. Karena itulah ulama Al-Azhar mengeluarkan fatwa pada tahun 1936, yaitu hanya membolehkan untuk menerjemahkan makna-makna al-qur�an bukan lafalnya (Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2012).
Pengharaman penerjemahan al-qur�an juga pernah terjadi di Indonesia yaitu pada masa Kyai Sanusi dan Mahmud Yunus (Baihaki, 2017), tulisan Sayyid Usman seorang ulama Betawi berketurunan Hadramaut melarang adanya penerjemahan al- Qur�an dalam bentuk apapun dalam kitabnya Hukm al-Rahman bi al-Nahyan Tarjamah Al- Qur�an (1909), dan kritikan Rasyid Ridha dan organisasi Islam seperti Muhammadiyah terhadap upaya penerjemahan yang dilakukan oleh H.O.S Cokroaminoto yang berusaha menerjemahkan teks terjemahan al-qur�an berbahasa Inggris The Holy Qur�an karya Muhammad Ali (Ichwan, 2013).
Jika berangkat dari paradigma bahwa al- Qur�an memang mutlak dengan bahasa Arab dan tidak boleh diterjemahkan, maka hanya orang- orang Arab yang akan memahami kandungan al-qur�an. Bahkan bisa jadi keunggulan bahasa akan dijadikan dalil keunggulan sebuah kaum. Kita memang dituntut untuk mempelajari bahasa Arab dengan alasan bahwa ia adalah bahasa al-qur�an.
Akan tetapi pada kenyataannya mempelajari bahasa Arab bukanlah perkara mudah. Banyak sekali cabang-cabang ilmu lain yang dijadikan pendukung ketika mempelajari bahasa Arab, dan membutuh waktu yang lama. Apalagi jika Islam menyebar ke daerah pinggiran dengan kondisi masyarakat yang terpinggirkan apakah harus memaksa mereka untuk belajar bahasa Arab dahulu baru kemudian mengamalkan isinya? kita mengamalkan nilai-nilai al-qur�an itu karena mengetahui makna dari sebuah ayat paling tidak melalui terjemahan.
Manna al-Qaththan beranggapan bahwa persoalan terjemah al-qur�an pada dasarnya merupakan bentuk dari kelemahan umat Islam. Jika Islam diperuntukkan sebagai agama untuk seluruh manusia, maka bahasanya (bahasa Arab) juga harus seperti itu (Manna al-Qaththan, 2015).
Bahasa Arab memang memiliki keunikan tersendiri dari bahasa-bahasa lain karena kaya dengan kosa kata dan pendalaman makna yang beragam. Meskipun pada akhirnya para ulama membolehkan penerjemahan al-qur�an, mereka tetap mensyaratkan pemahaman dan penguasaan bahasa Arab yang baik pada diri seorang penerjemah agar memudahkan mereka sendiri dalam menangkap pesan-pesan al-qur�an (Quraish, 2015).
Penerjemahan al-qur�an pada akhirnya dianggap sebagai jalan keluar agar masyarakat dunia dari berbagai lapisan dengan mudah dapat memahami dan menggali informasi yang terkandung al-qur�an melalui terjemahannya, walaupun adakalanya pemahaman itu masih bersifat sementara karena semakin meningkat level seseorang itu maka akan merubah pemahaman orang tersebut tentang pesan-pesan al-qur�an. Yang terpenting terjemah al-qur�an itu bertujuan untuk mengenalkan kandungan al-qur�an agar dipahami oleh manusia dari berbagai Negara.
Terjemah hanyalah untuk menjelaskan maksud ayat-ayat itu ke dalam bahasa orang yang belum menguasai bahasa Arab, karena petunjuk al-qur�an harus dijadikan pedoman hidup. Terjemah bisa berbeda-beda bunyi perkataan dan kalimatnya. Setiap penterjemah mempunyai gaya bahasa tersendiri, yang perlu dijaga ialah maksud ayat. Maksud ayat harus dapat diungkapkan dengan terang dalam terjemahan (Oemar Bakry, 2004).
Pada dasarnya penerjemahan al-qur�an dibagi menjadi dua kategori, yaitu harfiyah (leterlek) dan tafsiriyyah (Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 2001). Akan tetapi pada tahapan berikutnya terjadi pemecahan terhadap dua jenis penerjemahan itu. Ali Shabuni tetap membaginya pada dua kategori tersebut, Hadi Makrifat membaginya menjadi tiga yaitu penerjemahan tekstual, bebas, dan penerjemahan dengan metode penafsiran (M. Hadi Makrifat, 2007), Manna al-Qaththan membaginya menjadi tiga penjelasan yaitu harfiyah, maknawi, dan tafsiriyah (meskipun di awal dia menggabungkan antara maknawi dan tafsiriyah, tapi dalam pembahasan dipisahkan) (Manna al-Qaththan, 2015), al-Zahabi memang membagi terjemah ke dalam dua kategori yaitu tarjamah harfiyah dan tarjamah ma�nawiyyah atau tafsiriyah, ia juga membagi terjemah harfiyah ke dalam dua kategori yaitu harfiyah bi al-Misl dan Bighair al-Misl (Muhammad Husein al-Dzahabi, 2015), dan Muhammad Mushtofa al-Syathir membaginya menjadi empat jenis yaitu tarjamah lafdziyah� bi al-misl, tarjamah lafdziyah Biduni al-Misl, tarjamah tafsiriyah, dan tarjamah al-Ma�ani. ����������
�Teori tentang terjemah al-qur�an dalam Ulum al-qur�an ternyata memiliki beberapa masalah, pertama, kategorisasi tarjamah harfiyah dan ma�nawiyah bukan kategori yang operatif sebagai alat analisis sebuah karya terjemahan; kedua, terminologi terjemah menjadi meaningless karena merujuk kepada entitas yang tidak ada; dan ketiga, bukan terbatas sebagai pengalihbahasaan tetapi juga penjelas. Permasalahan itu berakar dari keketatan para ulama Ulum al-qur�an pada makna sempit dari terjemah dan beban teologis terhadap kemukjizatan al-qur�an. Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah dengan memperluas makna terjemah bukan hanya sekedar alih bahasa tapi juga penjelasan (Fadhli Lukman, 2016).
Secara global bentuk penerjemahan al-qur�an menurut penulis terbagi ke dalam tiga kategori: 1) Hanya menerjemahkan, 2) Terjemah sekaligus memberikan keterangan penting pada kata-kata dalam terjemah itu, dan 3) Terjemah sekaligus memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat tertentu. Untuk kategori yang ketiga banyak diaplikasikan di Indonesia, yaitu menghubungkan antara terjemah dan tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Sehingga, mufassir menyuguhkan dalam kitabnya selain teks ayat al-qur�annya, kemudian terjemah lengkap, dan tafsiran atas ayat-ayat al-qur�an.
Pembagian ini penulis dasarkan pada uraian dari para tokoh seperti Adam (Muchtar Adam, 2013), Ahmad Izan (Izzan, 2011), dan Amin Suma (Muhammad Amin Suma, 2013) yang memasukkan beberapa kitab berlabel �Tafsir� di Nusantara termasuk ke dalam terjemah seperti �Tafsir Al-qur�an al-Karim� (Mahmud Yunus), �An-Nur� dan �al-Bayan� (Hasbi Asshiddieqy), dan lain-lain di samping memang ada terbitan yang secara judulnya adalah �Terjemahan�. Hal ini dikarenakan tafsir di Indonesia termasuk di dalamnya terdapat terjemah sehingga ketika para peneliti menyuguhkan kelompok tafsir di Indonesia, maka kitab-kitab tersebut juga bagian dari proses terjemah.
Terjemahan al-qur�an di Indonesia ada yang bersumber langsung kepada teks al-qur�an yang berbahasa Arab seperti yang banyak dilakukan, ada juga yang menggunakan teks terjemah al-qur�an dalam bahasa asing dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti penerjemahan �The Holy Qur�an� karya Muhammad Ali yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun Jawa. Secara teknis, terjemahan al-qur�an di Indonesia tetap mencantumkan teks asli atau teks al-qur�an yang berbahasa Arab, sesuai dengan syarat terjemahan al-qur�an.
Fenomena penerjemahan al-qur�an memang menjadi pembahasan yang begitu panjang dalam kajian-kajian �Ulum al-qur�an. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada umumnya terjemahan al-qur�an terbagi menjadi dua jenis yaitu harfiyah dan tasfsiriyah. Terkait terjemah harfiyah, banyaknya fatwa dari berbagai pihak yang melarang penggunaan metode ini. Akan tetapi ada juga pihak yang tidak mempermasalahkan metode tersebut. Fenomena ini tercermin dari banyaknya ulama yang berusaha menentang penggunaan metode terjemah secara harfiyah ini.
Fatwa haram tarjamah harfiyah al-qur�an ke dalam bahasa �Ajam (non Arab), juga dikeluarkan oleh Dewan 7 negara di Timur Tengah, yaitu Jami�ah Al-Azhar, Kairo, Dewan Fatwa Ulama Saudi Arabia, Universitas Rabat Maroko, Jami�ah Jordania, Jami�ah Palestina, Muhammad Adz-Dzahabi dan Syekh Ali Ash- Shabuni. Kesemuanya sepakat menyatakan �bahwa terjemah al-qur�an yang dibenarkan adalah tarjamah tafsiriyah sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah (Thalib, 2011).�
Pelarangan terjemah harfiyah berdasarkan kepada kekhawatiran bahwa umat akan menganggap bahwa al-qur�an itu sendiri dan terjemah itu juga suci dan kemudian akan terjadi banyaknya perbedaan terjemahan terhadap al- Qur�an yang membuat umat Islam saling berselisih seperti halnya kaum Yahudi dan Nasrani soal Taurat dan Injil. Kehawatiran ini juga menjadi alasan beberapa ulama seperti Rasyid Ridha, Abu Zahrah, dan al-Zarqani melarang terjemah harfiyah. Meskipun demikian, menurut Muchlis M. Hanafi kehawatiran al-Zarqani ini tidak terbukti (Hanafi, 2011). Fenomena perdebatan terkait penggunaan tarjamah harfiyah juga terjadi di Indonesia, dan terangkat ketika Muhammad Thalib mengkritisi kesalahan terjemah yang dilakukan oleh Kemenag yang menggunakan metode harfiyah, melalui bukunya yang berjudul Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-qur�an Kemenag RI.
Keindahan bahasa al-qur�an memang diakui banyak kalangan. Bahkan, ketika waktu diturunkannya, kaum musyrik pun mengakui keindahan bahasa al-qur�an yang begitu indah dan tinggi. Karena nilai sastra yang begitu tinggi, membuat para penerjemah di Indonesia memilih bahasa Melayu yang sangat sarat akan muatan sastra. Berdasarkan hal ini kemudian H.B Jassin melakukan penerjemahan al-qur�an dengan pola sastra (puisi) yang terasa asing di mata masyarakat Indonesia pada umumnya saat itu.
Bukan hanya berhenti di situ, banyak orang akhirnya mengikuti jejak H.B Jassin yaitu menerjemahkan al-qur�an dengan pola puisi walaupun tidak 30 juz dan hanya Juz �amma seperti karya Mohammad� Diponegoro.40� Karya
H.B Jassin menjadi perbincangan hangat kala itu sehingga banyak kritikan yang menerpa dirinya, berbagai buku hadir untuk mengkritisi karyanya tersebut seperti yang dilakukan oleh Oemar Bakry, 41 Nazwar Syamsu42 dan Sirajuddin Abbas.43 Berbagai reaksi timbul setelah terbitnya bacaan tersebut, baik yang disampaikan melalui media masa maupun buku-buku ilmiah, karena terjemahan karya Jassin ini dianggap banyak yang tidak mencapai maksud ayat yang diterjemahkan (Ushama, 2000).
Begitu juga di Indonesia, perkembangan penerjemahan al-qur�an terasa begitu kental. Dalam praktiknya, bukan hanya al-qur�an diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, akan tetapi banyak juga yang menerjemahkan al-qur�an ke dalam bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia seperti bahasa Jawa, Sunda, Mandar, dan lain sebagainya. Karena, selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, masyarakat Indonesia juga pada umumnya masih sering menggunakan bahasa ibu (daerah) mereka. Sehingga dengan adanya terjemahan al-qur�an dalam berbagai bahasa daerah, selain untuk menambah khazanah ke-Islaman, juga semata- mata bertujuan agar banyak masyarakat yang dapat dengan mudah mengakses informasi dari al-qur�an (Indrati, 2016).
�Terjemah secara khusus adalah mengungkapkan perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain. Sedangkan menurut terminologi seperti yang dikemukakan oleh Ash- Shabuni: �Memindahkan bahasa Al-qur�an ke bahasa lain yang bukan bahasa �Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa �Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan� (Al-Zurqani, 1918).
Definisi terjemah dalam pengertian yang lebih sempit Terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat didalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (source language) dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (target languge). Penerjemahan merupakan suatu tindakan komunikasi. Sebagai tindakan komunikasi kegiatan tersebut tidak terlepas dari bahasa. Dengan demikian, penerjemahan merupakan kegiatan yang melibatkan bahasa, dan dalam pembahasannya tidak dapat mengabaikan pemahaman tentang konsep-konsep kebahasaan itu sendiri. Mengalihkan bahasa atau menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, dilakukan untuk mengetahui makna yang digunakan oleh bahasa sumber secara tepat agar isinya mendekati asli dan ketika membaca seperti bukan hasil penerjemahan dan dapat dipahami oleh pembaca. Jadi terjemahan al-qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks al-qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari al-qur'an. Sebab al-qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Tujuan Penerjemahan Al-qur�an
1. Memberi pengetahuan kepada manusia tentang ayat-ayat al-qur�an. 2. Membantu manusia dalam memahami
makna Al-qur�an. 3. Menyelamatkan hati manusia. 4. Menegakkan logika akal sehat,
pencerahan berpikir. 5. Menghilangkan sekat jarak yang menjauhkan antara Allah Swt dan makhluknya, serta meratakan persamaan secara umum antara
manusia seluruhnya. 6. Mempersatukan semua golongan manusia dengan berpegang teguh terhadap Kalimatullah al�Ulya (Kalimat Alloh yang tinggi). 7. Masuknya semua umat manusia ke
dalam ajaran Islam
dan perdamaian. 8. Membantu mewujudkan kegiatan keagamaan dengan menyebarluaskan
ajaran Al-qur�an.
Macam-macam Penerjemahan
Al-qur�an: 1. Terjemah Harfiyah (حَرْفيَة: Memindah
perkataan atau ungkapan dari satu
bahasa ke bahasa yang lain,dengan
menjaga tatanan dan susunan kosa kata Al-Quran. Terjemah Harfiyah memiliki dua bagian:
a) Terjemah Harfiyah bil-misli )
حَرْفِيَة
بِالمِثلِْ (: Menerjemah
susunan Al-Quran dengan bahasa lain, susunan dan kosa katanya menempati
pada susunan dan kosa kata
Al-Quran. Dan terjemahan tersebut
masih menyimpan nilai-nalai yang dimiliki
Al-Quran. Terjemahan model seperti
ini mustahil untuk dilakukan karena tidak mungkin
aturan bahasa yang lain mengikuti aturan bahasa Al-Quran.
Untuk penerjemahan al-qur�an
ke dalam bahasa Melayu, sebelumnya telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-17
M. Adalah Abdul Ra�uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk
wilayah Aceh) yang pertama kali menerjemahkan Al-qur�an secara lengkap di bumi
Nusantara. Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari tinjauan ilmu
bahasa Indonesia modern, Abdul Ra�uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh
perintis penerjemahan Al-qur�an bahasa Indonesia. Setelah
munculnya terjemahan Al-qur�an dalam bahasa
Indonesia hingga abad ke-19
M.
Abdul Ra�uf menimba ilmu
di Arab Saudi sejak 1640 dan kembali
ke tanah air pada 1661.
Ulama terkemuka itu lalu menerjemahkan Al-qur�an ke dalam
bahasa Melayu dalam tafsir �Tarjuman Al-Mustafid�. Tafsir Al-qur�an pertama di nusantara itu disambut umat
Islam yang bersemangat mempelajari dan memahami isi ajaran
Al-qur�an. Selain di
Indonesia, tafsir tersebut juga digunakan
oleh umat Islam di Singapura dan Malaysia. Tafsir itu
pernah diterbitkan di
Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba�ah al-usmaniah, 1302 H/1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta Makkah (al-Amiriah).
Penerjemahan generasi kedua
di Indonesia muncul pada pertengahan
tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Al-qur�an lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah �Al-Furqan� oleh
A Hassan dari Bandung (1028), �Tafsir Hidayatur Rahman� oleh KH Munawar Chalil,
�Tafsir Quran Indonesia� oleh (Atabik, 2014), �Tafsir Al-Quran� oleh (Bazith, 2020), �Tafsir Al-qur�anil Hakim� oleh (Oemar Bakry, 2004). Munculnya terjemah atau
tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi ketiga pada tahun 70-an. Tafsir generasi ini biasanya
memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing.
Diterbitkannya Al-qur�an dan terjemahnya,
dengan membentuk lembaga Penyelenggara Penerjemah Al-qur�an yang diketuai oleh Prof. RHA. Soenarjo,
SH; berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 91 Th. 1962
dan No. 53 h. 1963, merupakan kebutuhan
mendasar bagi kaum Muslim Indonesia. Dasar konstitusional
diterbitkannya terjemah Al-qur�an adalah TAP MPRS No.
II/MPRS/1960.
Dalam perkembangannya, Al-qur�an dan Terjemahnya versi Depag (kini
Kemenag) ini, diakui telah mengalami beberapa kali revisi yang dimaksudkan
untuk penyempurnaan terjemah, baik dari aspek bahasa, konsistensi, substansi
maupu transliterasi; sekalipun dalam kenyataannya hasil revisi tidak lebih baik
dari terjemahan sebelumnya. Tidak setiap penerbitan dilakukan revisi. Edisi revisi
dilakukan 24 tahun setelah terbit pertama kali (1965-1989), dibawah pimpinan
Lajnah Pentashih Al-qur�an Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA berupa penyempurnaan
redaksional yang dianggap tidak sesuai dengan perkembanga bahasa Indonesia saat
itu. Revisi berikutnya dilakukan pada tahun 1998 ketika ketua Lajnah Pentashih Al-qur�an
masih Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA. Tim revisionisnya antara lain Prof.
M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. A. Baiquni, Prof. Dr.
H. Said Aqil Husin Al-Munawar, MA. Kemudian penyempurnaannya terus berlanjut pada kepemimpinan Drs. H. Muh. Kailani ER dan Drs. H. Abdullah Sukarta. Sedangkan penyelesaiannya dilakukan
ketika Lajnah dipimpin oleh Drs. H. Fadhal AR. Bafadal, M.Sc
bersama tim ahli Dr. Ahsin Sakho Muhammad,
MA, Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya�qub,
Dr. H. Ali Audah, Prof. Dr. H. Rif�at
Syauqi Nawawi, MA, Drs. H. Mazmur
Sya�roni, Drs. H. M. Syatibi
AH, H. Ahmad Fathoni, Lc, M.Ag dan Drs. H. M. Bunyamin
Yusuf, M.Ag. Revisi ini diterbitkan pada 2002.
Penerjemahan Al-qur�an kedalam Bahasa Indonesia sejak terbit pada cetakan
pertama dianggap sebagai terjemahan resmi Pemerintah Indonesia yang sampai
tahun 2016 belum pernah dilakukan revisi menyeluruh. Kalau pun dilakukan revisi
dianggap bukanlah revisi yang substansial. Al-qur�an dan terjemahnya versi
depag ini diakui telah mengalami beberapa revisi yang dimaksudkan untuk
penyempurnaan terjemah, baik dari aspek bahasa, konsistensi, substansi maupun
transliterasi, sekalipun dalam kenyataannya hasil revisi tidak lebih baik dari
terjemahan sebelumnya. Tidak setiap penerbitan dilakukan revisi. Edisi revisi
dilakukan 24 tahun setelah terbit pertama kali (1965-1989) dibawah pimpinan
Lajnah Pentashih ak-Qur�an Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA berupa penyempurnaan
redaksional yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia
saat itu. Revisi berikutnya pada tahun 1998 yang diterbitkan pada tahun 2002
dan pada tahun 2010 terbit edisi revisi yang masih mengacu pada revisi 2002
dengan menghilangkan sejumlah footnote, dengan pilihan kata terjemah revisi
yang lebih vulgar.
Dr. Ismail Lubis, MA mencontohkan beberapa kesalahan-kesalahan depag RI
edisi tahun 70 diantaranya
1.
Surat
at-Taubah ayat 81, Hal. 293
......
وقالوا لاتنفروا
فى الحر قل
نارجهنم اشد
حرا لوكانوا
يفقهون
....
dan mereka berkata : �janganlah kamu
berangkat (bergi berperang) dalam panas terik ini�. Apa neraka jahanam itu
lebih sangat panas (nya)� jikalau mereka mengetahui. �
2.
Surat
at-Taubah ayat 10, hlm, 297
والسابقون
الاولون من
المهاجرين
والانصار والدين
اتبعهم
باحسان رضي
الله عنهم ورضواعنه......
Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepeda mereka dan
mereka pun rida kepada Allah ........
3.
Surat
an-Nur ayat 45 hlm. 552
والله
خلق كل دابه
من ماء فمنهم
من يمشي علي بطنه
ومنهم من يمشي
علي اربع
Dan Allah telah menciptakan
semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan
diatas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang
lain) berjalan dengan empat kaki.......
Terjemahan no. 1 benar tapi salah, alasannya
karena bentuk tersebut adalah superatif. Bentuk superlatif adalah suatu bentuk
yang mengandung arti �paling� itu dapat dihasilkan dengan suatu kata sifat
dtiambah dengan kata-kata amat, sangat, paling sekali, atau imbuhan ter, yang
mengandung arti �paling� apabila dua kata digunakan sekaligus dalam suatu
kalimat, maka terjadilah bentuk superatif yang berlebihan. In juga termasuk
bentuk superlatif yang berlebihan karena sudah menggunakan kata sangat masih
ditambah lagi dengan kata lebih. Bentuk seperti ini tidak dikenal dalam bahasa
indonesia. Inilah kelemahan bentuk terjemah harfiyah.
Terjemah no. 2, juga benar tapi salah, alasannya
karena kata muhajirin dan anshar sudah menunjukan makna �banyak� kata
orang-orang juga sudah menunjukan akna �banyak� ini juga merupakan kelemahan
bentuk terjemahan harfiyah.
Terjemah no. 3, juga benar tapi aneh, alasannya
karena frasa berjalan diatas perut tidak baku. Ni merupakan kelemahan terjemah
harfiyah.
Kesalahan terjemah al-qur�an versi kemenag RI menurut Muhammad Thalib dari
Majlis Mujahidin Indonesia ini disebabkan oleh kesalahan memilih metde
terjemah. Metode terjemah yang dikenal selama ini ada dua macam, yaitu terjemah
harfiyah dan terjemah tafsiriyah.
Dalam pengantar cetakan pertama al-qur�an dan terjemahannya, 17 Agustus
1965 dewan Penerjemah Depag RI meyatakan bahwa terjemahan dilakukan secara
harfiyah. Terjemahan dilakuakan seleterliyk (seharfiyah) mungkin apabila dengan
cara demikian terjemahan tidak dimengerti, maka baru dicari jalan lain untuk
dapat dipahami dengan dengan menambahkan kata-kata dalam kurung atau dalam not.
Merujuk fatwa ulama jam�iyah Al-Azhar Mesir, yang dikeluarkan 1936 dan
dipernaharui lagi tahun 1960. Terjemahan al-qur�an secara harfiyah, hukumnya
haram demikian pula fatwa al-Lajnah Daimah lil Buhuts al-�illmiyah wal ifta�
(komite tap riset ilmiah dan fatwa) Arab Saudi no. 24 Senin, 07 Ramadhan 1423
H/ 11 November 2002 M termasuk fatwa kerajaan Qatar no. 63947, tanggal 19
Jumadil �ula 1426 H bertepatan dengan 26 Juni 2005 M.
Dalam fatwa tersebut juga ditegaskan bahwa terjemahan al-qur�an yang
dibenarkan adalah terjemahan tafsiriyah. Dinyatakan haram karena bobot
kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara syari�aha ataupun
ilmiah, sehingga dikhawatirkan menyesatkan serta mengembangkan aqidah kaum
Muslim.
Fatwa haram tarjamah harfiyah al-qur�an kedalam bahasa �ajam (non arab)
juga dikeluarkan oleh Dewan Ulama 7 Negara di timur tengah yaitu, Jami�ah
Al-Azhar Kairo, Dewan fatwa ulama Saudi Arabia, Universitas Rabat Maroko,
Jami�ah Jordania, Jami�ah Palestina, Dr. Muhammad husein adz-Dzahabi dan Syekh
Ali Ash-Shabuni, kesemuanya bersepakat menyatakan �bahwa terjemahan al-qur�an
yang dibenarkan adalah terjemahan tafsiriyah sedangkan terjemahan harfiyah
terlarang atau tidak sah�.
Kesalahan penerjemahan tentu bukanlah hal yang sederhana. Akibat terjemahan
yang salah atau bahkan multi interpretasi bagi pembacana maka akan
mengakibatkan pemahaman yang salah pula dalam memahami dan mengamalkannya.
Akibat kesalahan-kesalahan itu pula akan mengakibatkan pesan yang terdapat
dalam bahasa sumber tidak dapat dipahami sesuai dengan aqidah al shahihah.
NU Salah satu ormas Islam Indonesia yang berhaluan aqidah As�ariyah al
maturidiyah lebih khusus mencermati penerjemahan ayat-ayat mutsyabihat.
Mutsyabihat artinya adalah nash-nash al-qur�an dan Hadits nabi Muhammad SAW
yang dalam bahasa arab nya mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh
diambil secara dzahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih
(menyerupakan allah dengan makhluknya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya
sebagaimana perintah Allah dalam Al-qur�an kepada ayat-ayat yang mukhkamat,
yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa
Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluknya.
Diantara ayat-ayat Mutasyabihat yag tidak boleh diambil secara zhahirnya
adalah firman Allah ta�ala (surat Thaha : 5)
الرحمن
على العرش� استوى
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bahwa allah duduk (jalasa) atau
bersemayam atau berada diatas �arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya,
juga tidak boleh dikatakan bahwa allah duduk tidak seperti duduk kita atau
bersemayam termasuk sifat khusus benda. Kemudian kata istiwa� sendiri
dalam bahasa arab memiliki 15 Makna. Karena itu kata istiwa tersebut harus
ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat
mukhkamat.
Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istiwa secara leterlek
(harfiah) ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istiwa
mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim) yang mewakili 15
kata tersebut, yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya. Makna kata istawa
dalam ayat tersebut adalah qahara (menundukan atau menguasai).
Maka ayat tersebut diatas (surat thaha :5) boleh ditafsirkan dengan qahara
(menundukan dan menguasai) yakni Allah mengusai arsy sebagaimana dia menguasai
semua makhluknya. Karena al-qahr adalah sifat pujian bagi Allah, bahkan allah
menanamkan dzatnya al-Qahir dan al-Qahhar.
Penerjemahan al-qur�an ke dalam bahasa Indonesia versi Depag RI (sekarang
Kemenag) utamanya ayat-ayat mutasyabihat paling tidak berpengaruh pada
pemahaman Teologi masyarakat muslim di Indonesia. Karenanya, penerjemahan itu
layak dibandingkan dengan pemahaman teologi As�ariyah yang identik dengan NU
sebagai ormas terbesar Islam di Indonesia. Penelitian ini akan membuktikan
pentingnya revormulasi terjemahan versi Kemenag dari terjemah harfiyah menuju
terjemah tafsiriyah dan menyesuaikan terjemahan ayat-ayat mutasyabihat
dengan aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah versi NU.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Sebagai
kitab suci umat Islam yang diterjemahkan kedalam bahasa resmi dan diterbitkan
oleh pemerintah RI, sudah seharusnya al Qur�an dan terjemahnya dalam bahasa
Indonesia mengakomodasi pemahaman mainstream umat Islam Indonesia. Jikapun
penerjemahan itu menggunakan penafsiran yang berbeda, bisa dilakukan dengan
penjelasan catatan kaki yang dapat menjelaskan perbedaan itu sehingga kelak
akan muncul penerjemahan al Qur�an dengan bahasa Indonesia dengan penafsiran
dan penjelasan yang mudah dipahami oleh masyarakat muslim Indonesia dan
menjadikan tafsir resmi bagi mazhab mayoritas di nusantara.
�
�BIBLIOGRAFI
Abu Bakar Aceh. (2016). Sejarah Al-qur�an.
Solo: Ramadhani.
Al-Zurqani, M. A. al-A. (1918). Manahil Al-Irfan
Fi Ulum Al-Qur�an. Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Atabik, A. (2014). Perkembangan Tafsir
Modern di Indonesia. Perkembangan Tafsir Modern Di Indonesia, 8,
318�322.
Baihaki, E. S. (2017). Penerjemahan
Al-Qur�an: Proses Penerjemahan al-Qur�an di Indonesia. Jurnal Ushuluddin,
25(1), 44�55.
Bazith, A. (2020). Metodologi Tafsir
�Al-Furqan Tafsir Qur�an�(Membaca Karya A. Hassan 1887-1958). Education and
Learning Journal, 1(1), 19�33.
Fadhli Lukman. (2016). Studi Kritis atas
Teori Tarjamah Al- Qur�an dalam �Ulum al-qur�an. Jurnal Al-A�raf, 14(2),
188.
Faizin, H. (2011). Pencetakan Al-Qur�an
dari Venesia Hingga Indonesia. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 12(1),
133�158.
Hanafi, M. M. (2011). Problematika
Terjemahan Al-Qur�an. Jurnal Suhuf, 4.
Ichwan, M. N. (2013). Towards A Puritanical
Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia And The Politics of Religious
Orthodoxy. Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the
�conservative Turn, 60�104.
Indrati, A. (2016). Kajian Terjemahan
Al-Qur�an (Studi Tarjamah al-Qur�an Basa Jawi �Assalam� Karya Abu Taufiq S.). Maghza:
Jurnal Ilmu Al-Qur�an Dan Tafsir, 1(1), 1�18.
Izzan, A. (2011). Ulumul Qur�an: Telaah
Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur�an. Bandung: Tafakur.
M. Hadi Makrifat. (2007). Sejarah
Al-qur�an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa. Jakarta: Al-Huda.
Manna al-Qaththan. (2015). Mabahits fi
�Ulum al-qur�an. Kairo: Maktabah Wahbah.
Muchtar Adam. (2013). Ulum Al-qur�an:
Studi Perkembangan Pesantren Al-qur�an (Sebuah Pengantar Ulum Al-qur�an).
Bandung: Makrifat Media Utama.
Muhammad al Ghozali. (1996). Al-Qur�an
Kitab Zaman Kita, Terjemah oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah. hal.234. Bandung: Mizan.
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy. (2001). Studi
Ilmu Al-qur�an, terj. dari bahasa Arab oleh Aminuddin. Bandung: Pustaka
Setia.
Muhammad Amin Suma. (2013). Ulumul
Qur�an. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad Husein al-Dzahabi. (2015). Al-Tafsir
wa al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah.
Mustaqim, A. (2015). Abdul. Metodologi
Penelitian al-Qur‟ an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta.
Oemar Bakry. (2004). Tafsir Rahmat.
Jakarta: Mutiara.
Quraish, S. M. (2015). Kaidah Tafsir. Tangerang:
Lentera Hati.
Rusmana, D., & Rahtikawati, Y. (2014). Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya. Bandung: CV Pustaka Setia.
Taufikurrahman. (2012). Kajian Tafsir di
Indonesia. Jurnal Mutaw�tir, 2(1), 4�5.
Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy. (2012). Tafsir
Al-Bayan: Tafsir Penjelas Al-qur�anul Karim. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Thalib, M. (2011). Koreksi tarjamah
harfiyah al-Qur�an Kemenag RI: tinjauan aqidah, syari�ah, mu�amalah,
iqtishadiyah. Mesir: Ma�had An-Nabawy.
Ushama, T. (2000). Metodologi tafsir
al-qur�an (Kajian kritis, objektif & komprehensif). Jakarta: Riora
Cipta.
Yusuf, K. M., Alwizar, A., & Irawati,
I. (2020). Model Kurikulum Terintegrasi Ilmu Ekonomi Dan Islam Serta
Implementasinya Dalam Proses Pembelajaran. Ris�lah, Jurnal Pendidikan Dan
Studi Islam, 6(1, March), 32�53.