Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 1 No. 6 Oktober 2020 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
RELASI AGAMA TERHADAP KONSEP GENDER
Nana Sumarna
Pogram Pascasarjana
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK
|
Diterima
24
Agustus 2020 Diterima
dalam bentuk revisi 14 Oktober 2020 Diterima
dalam bentuk revisi 16 Oktober 2020 |
Gender menjadi isu penting dari semua pihak. Sebab pada kenyataaannya atas perbedaan gender tersebut yang berimplikasi terhadap perbedaan status dan peran serta �tanggungjawab sesama manusia, baik laki-laki ataupun perempuan terkadang menimbulkan ketidakadilan gender, ataupun
diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan
ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik di wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan,
kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis
permasalahan relasi agama
terhadap konsep gender serta pemahaman agama yang bias
gender. Metode penelitian
ini yaitu deskriptif kualitatif, dengan tehnik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi data. Analisis datanya menggunakan reduksi, display dan kongklusi
data. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pemahaman agama yang androcentris
muncul disebabkan oleh adanya keterbatasan bahasa sebagai media dalam penyampaian wahyu ilahi yang tendensi politik. Kebudayaan bangsa Arab yang patrarkhal dan pemikiran keagamaannya. Pemikiran keagamaan yang berhubungan dengan persoalan pendekatan atau metode yang mereka gunakan dalam membaca teks Al-Qur�an. Kenyataannya dapat dibaca dalam berbagai model mulai dari tradisional, reaktif, holistik, patriarkhi dan liberal. Model pembacaan
teks dapat melahirkan pemahaman agama yang
lebih adil, gender dan tidak patriarkhal, yaitu model hermenutis holistic
dengan mengiklusikan setara pengalaman dan suara perempuan. Pada saat yang sama juga mempertimbangkan aspek tekstualitas, konstruksi gramatikal teks dan konteksnya. |
Kata kunci: Gender; Ilmu Pengetahuan dan Keluarga |
Pendahuluan
Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dengan pesat, telah membawa dunia pada sebuah sebuah era yang disebut dengan globalisasi.
Era ini ditandai dengan munculnya perubahanperubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Menurut Sastrohadiwiryo pendidikan merupakan tugas untuk meningkatkan pengetahuan, pengertian atau sikap tenaga kerja sehingga mereka dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja mereka (Afandi, 2016). Lahirnya knowledge society yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu pengetahuan
dalam kehidupan manusia dan munculnya global village yang semakin memperkecil
makna perbedaan jarak, ruang dan waktu, memberikan dampak yang signifihn
terhadap kehidupan baik positif maupun negatif. Di Sisi lain,
hegemoni ilmu pengetahuan modern memunculkan kritik feminis
yang mengoreksi dan menolak kebenaran universal epistemologi positivistik yang
sesungguhnya merupakan konstruksi sosial dan dengan demikian bersifat
partikular, sarat dengan bias kultur dan gender.
Indonesia sebagai bagian dari dunia global
juga menghadapi tantangan perubahan yang signifikan. Setiap
manusia di dunia ini selalu mempunyai tujuan hidup, dalam mencapai tujuan hidup
tersebut, maka manusia diproteksi atau dilindungi oleh suatu ilmu
yang disebut sebagai hokum (Gunawan,
2018). Salah
satu tantangan berat yang harus disadari dan dicarikan solusinya ialah
berkembangnya wacana dan realitas pluralisme dan demokrasi. Plularisme dan
demokrasi telah membangkitkan kesadaran baru tentang adanya perbedaan budaya
atau multikultural, termasuk adanya perbedaan gender. Kekuatan
negara dan struktur masyarakat juga akan mempengaruhi corak paham sebuah pers (Noupel, 2018). Isu gender bagi
masyarakat Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal baru, meskipun masih banyak
kalangan masyarakat awam maupun akademisi yang memahami kata gender tersebut
dengan pemaknaan yang kurang tepat, atau bahkan menggunakan kata tersebut dalam
konteks yang keliru. Sejak periode tahun 1985-1995 banyak sarjana, aktifis
perempuan dan organisasi-organisasi non goverment mulai mendiskusikan
teori feminis dan analisis gender serta relevansinya dengan proses perkembangan
sosial dan politik di Indonesia.
Beberapa teori mengenai kesetaraan peran
laki-laki dan perempuan yang umumnya dikemukakan oleh para feminis kontemporer
didasarkan pada pertanyaan mendasar �apa peran perempuan?� Secara esensial ada
empat jawaban untuk pertanyaan tersebut. Pertama,
bahwa posisi dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang
dialami laki-laki dalam situasi itu. Kedua,
posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang
menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, bahwa situasi perempuan
harus pula dipahami dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan �ditindas�, dalam arti dikekang, disubordinasikan,
dibentuk, dan digunakan, serta disalahgunakan oleh laki-laki. Keempat perempuan mengalami
perbedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka
dalam susunan stratifikasi atau faktor penindasan dan hak istimewa berdasar kelas, ras,
etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global. Lingkungan selalu
mengitari manusia dari waktu dilahirkan sampai meninggalnya, sehingga antara
lingkungan dan manusia terdapat hubungan timbal balik dalam artian lingkungan
mempengaruhi manusia dan manusia mempengaruhi lingkungan (Muslih,
2016).
Masing-masing berbagai tipe teori feminis itu dapat digolongkan sebagai teori
perbedaan gender, atau teori ketimpangan gender, atau teori penindasan gender, atau
teori penindasan sruktural (George Ritzer and Douglas J. Goodman, 2003)
Menurut
Ritzer dan Goodman di sebuah masyarakat akan terdapat dua bentuk lembaga
perkawinan, yaitu: Pertama,
perkawinan yang di dalamnya laki-laki berpegang pada keyakinan tentang adanya
ketidakleluasaan dan beban tanggung jawab meski memperoleh apa-apa yang
ditetapkan norma seperti wewenang, kebebasan, dan hak untuk mendapatkan
pemeliharaan, pelayanan kasih sayang dan seksual dari isteri. Kedua, perkawinan di mana
perempuan menguatkan keyakinan tentang pemenuhan meski secara normatif
mengalami ketidakberdayaan dan ketergantungan, suatu kewajiban untuk memberikan
pelayanan urusan rumah tangga, kasih sayang, dan seksual, dan
secara bertahap mengurangi kebebasan di masa remaja sebelum kawin. Rata-rata
lama sekolah baik untuk perempuan maupun laki-laki usia 20-24 tahun yang
melangsungkan perkawinan setelah usia 18 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum usia 18 tahun (Shufiyah,
2018).
Analisis gender adalah bertujuan untuk memilah-milah
kekuatan yang menciptakan atau melanggengkan ketidakadilan dengan
mempertanyakan siapa berbuat apa, siapa memiliki apa, siapa yang diuntungkan
dan siapa yang dirugikan, siapa yang memutuskan; laki-laki atau perempuan?
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam sebuah keluarga, bukan berarti memposisikan laki-laki dan perempuan harus
diperlakukan sama. Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam
semua keadaan justru menimbulkan bias jender. Memperlakukan sama antara
laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan, misalnya,
suami juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri mempunyai kewajiban
mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi
kewajiban istri semata, tetapi merupakan kewajiban bersama.
Gender menjadi isu penting dari semua pihak, karena
realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung-jawab
antara manusia laki-laki dan perempuan seringkali menimbulkan apa yang disebut
dengan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan
ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik
maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik,
maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam
banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah
dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, atau bahkan
seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis. Tulisan ini mencoba menelusuri pengertian
dan asal usul gender dan menjawab mengapa konstruksi gender dipermasalahkan.
Bahasan selanjutnya akan mengeksplorasi sekilas persoalan gender dalam wacana
agama dan menganalisis sekilas akar penyebab pemnahaman agama yang bias gender.
Penelitian tentang permasalahan gender, tentunya sudah banyak yang meneliti, diantaranya :
penelitian yang dilakukan
oleh Yuberti. Dengan judul Relasi Gender Dan Kekuasaan Dalam Islam Indonesia. Dosen IAIN Raden Intan Lampung. Hasil penelitiannya kajian keislaman yang berkutat seputar perempuan dalam buku ini
masih terasa monoparadigma meski ditulis oleh pihak Timur
(Indonesia) dan Barat. Sebab, paradigma
gender yang digunakan untuk
menampilkan kesan keberpihakan Islam terhadap perempuan sekaligus praktik keterlibatan perempuan di ranah politik kepemimpinan dan sufisme di Lombok dan Aceh masih berangkat dari paradigm gender
ala Barat. Padahal, dengan versi pendekatan gender khas dalam negeri, gender versi tanah air lebih mendemonstrasikan kemampuan seorang perempuan untuk setara daripada upaya melakukan perlawanan terhadap dominasi laki-laki sebagaimanayang digaungkan oleh wacana gender versi Barat.
Penelitian ini berbeda dengan
peneliti sebelumnya. Penelitian ini memfokuskan terhadap bagaimana peran agama terhadap konsep gender? Sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender atau bias gender.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan tehnik pengumpulan
data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi data. Analisis datanya menggunakan reduksi, display dan kongklusi data.
Hasil dan Pembahasan
1. Konsep
Kesetaraan Gender
Konsep merupakan hal yang penting untuk
dipahami dalam rangka membahas hubungan kaum perempuan dan laki-laki adalah
membedakan antara konsep sex
(jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pebedaan antara kedua konsep
tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan
ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada
kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender
differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities)
dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas konsep
gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis
gender (Fakih, 1997).
Istilah
gender digunakan berbeda dengan
sex. Gender digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya.
Sementara sex
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologi. Istilah sex
lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik
biologis lainnya. Sementara itu, gender
lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek
non-biologis lainnya (Umar, 1999).
Perbedaan
tersebut melahirkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki bertugas mengurusi urusan luar rumah dan perempuan
bertugas mengurusi urusan dalam rumah yang dikenal sebagai masyarakat pemburu (hunter) dan peramu (gatherer) dalam masyarakat
tradisional dan sektor publik dan sektor domestik dalam masyarakat modern.
Perbedaan
gender (gender differences)
pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role)
dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tak pernah digugat. Akan tetapi
yang menjadi masalah dan perlu digugat adalah struktur
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender (Nur Ahmad Fadhil Lubis, 2003).
Permasalahan kaum perempuan yang diungkapkan dengan
menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan (resistance), baik dari kalangan
kaum laki-laki
ataupun kaum perempuan sendiri. Hal ini bisa jadi disebabkan: pertama, mempertanyakan status
kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang
telah mapan, kedua,
mendiskusikan soal gender berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya
sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing.
Pemahaman atas konsep
gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah
kesetaraan hubungan, kedudukan, peran dan tanggung jawab antara kaum perempuan
dan laki-laki
2. Perbedaan
Gender Melahirkan Ketidakadilan
Perbedaan
gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities).
Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum
perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.�
Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni:
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Dalam
pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan gender, ada
nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran laki-laki dan perempuan.
Setiap orang seolah-olah dituntut mempunyai perasaan gender (gender feeling) dalam pergaulan,
sehingga jika seseorang menyalahi nilai, norma dan perasaan tersebut maka yang
bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.
Predikat
laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki
diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kejantanan (masculinity), sedangkan perempuan
diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kewanitaan (femininity). Perempuan dipersepsikan
sebagai wanita cantik, langsing, dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan
sebagai manusia perkasa, tegar dan agresif.�
Dominasi
laki-laki dalam masyarakat bukan hanya karena mereka jantan, lebih dari itu
karena mereka mempunyai banyak akses kepada kekuasaan untuk memperoleh status.
Mereka misalnya mengontrol lembaga-lembaga legislatif, dominan di
lembaga-lembaga hukum dan peradilan, pemilik sumber-sumber produksi, menguasai
organisasi keagamaan, organisasi profesi dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
Sementara
perempuan ditempatkan pada posisi inferior. Peran mereka terbatas sehingga
akses untuk memperoleh kekuasaan juga terbatas, akibatnya perempuan mendapatkan
status lebih rendah dari laki-laki. Sebagai ibu atau sebagai istri mereka
memperoleh kesempatan yang terbatas untuk berkarya di luar rumah. Penghasilan
mereka sangat tergantung pada kerelaan laki-laki, meskipun bersama dengan
anggota keluarganya merasakan perlindungan yang diperoleh dari suaminya,
hak-hak yang diperolehnya jauh lebih terbatas daripada hak-hak yang dimiliki
suaminya.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya peran gender tidak datang dan
berdiri dengan sendirinya, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai
karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Sebab
terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar
perbedaan fisik biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam
masyarakat turut memberikan andil.
3.
Bias
Kesetaraan Hubungan Perempuan dan Laki-laki
Menurut
Budhy Munawar Rachman, terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan salah
satunya disebabkan tema patriarkhi
(kekuasaan kaum laki-laki), yang hal ini menjadi agenda yang paling besar
digugat oleh kaum feminisme Islam. Karena patriarhki
dari sudut feminisme dianggap sebagai asal usul dari seluruh kecenderungan misoginis (kebencian terhadap kaum
perempuan) yang mendasari penulisan-penulisan teks keagamaan yang bias
kepentingan laki-laki.
Kekerasan
terhadap perempuan selalu terjadi di antaranya disebabkan beberapa faktor
yaitu:
a. Ideologi
patriarkhi dan budaya patriarkhi. Di mana laki-laki superior (penguasa
perempuan) dan perempuan inferior,�
b. Faktor
struktur hukum yang meliputi substansi hukum (berisi semua peraturan
perundang-undangan) baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku bagi
lembaga tinggi negara maupun warga negara, struktur hukum (penegak hukum,
polisi, jaksa, hakim, pengacara dan prosedur penegakannya), budaya hukum,�
c. Faktor
interpretasi agama dan budaya (Muawanah, 2006)
Konsep
patriarki berbeda dengan patrilinial. Patrilinial diartikan sebagai budaya di
mana masyarakatnya mengikuti garis laki-laki seperti anak bergaris keturunan
ayah, contohnya Habsah Khalik; Khalik adalah nama ayah dari Habsah. Sementara
patriarki memiliki makna lain yang secara harfiah berarti �kekuasaan bapak� (role of the father) atau �partiakh�
yang ditujukan untuk pelabelan sebuah �keluarga yang dikuasai oleh kaum
laki-laki�. Secara terminologi kata patriarki digunakan untuk pemahaman
kekuasaan laki-laki, hubungan kekuasaan dengan apa laki-laki menguasai
perempuan, serta sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui
bermacam-macam cara (Bashin, 1996).
Lebih
lanjut menurut Budhy secara etimologis konsep tersebut berkaitan dengan sistem
sosial, dimana sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, harta miliknya
serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting
keluarga. Sistem berdasarkan patriarkhi ini biasanya mengasingkan perempuan di
rumah, dengan demikian laki-laki lebih bisa menguasai kaum perempuan. Sementara
itu pengasingan perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak tidak mandiri
secara ekonomis, dan selanjutnya tergantung secara psikologis.� Norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih
banyak memberi hak kepada kaum laki-laki daripada kaum perempuan, justru karena
alasan bahwa kaum laki-laki memang lebih bernilai secara publik daripada
perempuan. Dalam perkembangannya patriarkhi ini sekarang telah menjadi istilah
terhadap semua sistem kekeluargaan maupun sosial, politik dan keagamaan yang
merendahkan, bahkan menindas kaum perempuan mulai dari lingkungan rumah tangga
hingga masyarakat.
Sementara
itu menurut Ritzer dan Goodman, ada empat tema yang menandai teori ketimpangan
gender. Pertama,
laki-laki dan perempuan diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda,
tetapi juga timpang. Secara spesifik, perempun memperoleh sumber daya material,
status sosial, kekuasaan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih
sedikit daripada yang diperoleh laki-laki yang membagi-bagi posisi sosial
mereka berdasarkan kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan
atau berdasarkan faktor sosial penting lainnya. Kedua,
ketimpangan gender berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan
biologis atau kepribadian penting antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, meski manusia secara
individual memiliki perbedaan ciri dan karakter satu sama lain, namun tidak ada
pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan laki-laki dan perempuan.
Pengakuan akan ketimpangan gender berarti secara langsung menyatakan bahwa
perempuan secara situasional kurang berkuasa dibanding lakilaki untuk memenuhi kebutuhan
mereka bersama laki-laki dalam rangka pengaktualisasian diri. Keempat, semua teori ketimpangan
gender� menganggap lakilaki maupun
perempuan akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang semakin mengarah ke
persamaan derajat (egalitarian)
dengan mudah dan secara ilmiah. Dengan kata lain, mereka berkeyakinan akan
adanya peluang untuk mengubah situasi.
4.
Gender
dan Agama
Konstruksi gender yang melahirkan
bipolaritas sifat, peran dan posisi laki-laki dan perempuan yang berbeda dan
bermuara pada munculnya ketidakadilan
sosial menjadi langgeng salah
satunya karena mendapatkan legitimasi teologis dari paham agama yang bias gender.
Salah satu kritik feminis terhadap agama terkait dengan peran agama dalam
memperkuat dan melanggengkan budaya yang patriarkhal. Kritik dan tantangan dari
feminis terhadap fenomena agama pada dasarnya berakar pada tiga hal, yaitu
persoalan patriakhi, androsentrisme dan sexisme. Androsentrisme memiliki
pengertian bahwa tradisi-tradisi agama dikonstruksi, dikembangkan oleh
laki-laki dari perspektif laki-laki, dan oleh karenanya yang
menjadi fokus utamanya adalah pengalaman laki-laki (Peach, 2002). Sementara itu, patriarkhi
menunjukkan adanya dominasi dan superioritas laki-laki dalam wacana dan sejarah
agama. Agama atau pemahaman agama, pada akhhimya menjadi sexis, artinya
pernaharna agama yang dominan memberikan
keistimewaan kepada laki-laki dan pengalaman laki-laki serta menempatkan
laki-laki sebagai superior, dan pada saat yang sama menempatkan perempuan lebih
rendah dan menganggapnya sebagai pihak yang inferior.
Paham hegemoni dan kultur agama yang androsentris,
sexis dan patrarkhi. Pengalaman dan konstribusi perempuan
terhadap agama tidak mendapatkan tempat dalam sejarah dan wacana agama.
Perempuan şeakan tidak berşuara dan terpingirkan dari proses
formulasi doktrin-doktrin dan kepercayaan agama, dan dengan demikian lenyap
dari sejarah agama. Paham agama yang patriarkhal, androsentris dan sexis pada
gilirannya melahirkan perbedaan gender
(gender differentiation), segregasi gender (gendey sewegation), dan
ketidakadilan gender (gendey injustice),
dimana perempuan pada umumnya didiskriminasikan dan mendapatkan ketidakadilan. Androsentris, sex�s dan patrarkhi
menjadi fenomena mendasar dari tata realitaş dan semangat aganta yang
tidak şeharuşnya. Dengan kesadaran baru feminis, kesalahan tatanan
realitas yang penuh dengan ketidakadilan ini secara radikal dipertanyakan dan
sebuah tata baru yang tebih adil dan egalİter diupayakan (King,
1993).
Upaya membangun ratanan baru dunia
pejuang feminis Yahudi dan Kristen, misalnya berusaha melakukan koreksi
terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan
dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi yang dişebut dengan teologi
feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad 17. Teologi
feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektifperempuan dan mencari
dasar teologis bagi pengakuan harkar dan martabat perempuan.
Agama Yahudi dan Kristen mendaparkan
kritik fundamental, karena dalam sejarahnya diwarnai dengan endosentrisme, sexisme dan patriarkhi. Sementara İtu, İslam şebagaİmana
dikarakan oleh Lucinda Joy peach, menentang penggambaran atau penggunaan Image
Tuhan yang berbasis gender. Tuhan dalam pandangan Islam tidak diasosiasikan
dengan laki-laki maupun perempuan, karena Tuhan tidak bias diasosiasikan sebagaimana manusia.
Namun demikian, penggunaan kata ganti Tuhan dalam al-Qur�an menggunakan terminologi
"huwa" yang secara literal berarti dia laki-laki. Banyak pemikir
Islam yang menjelaskan bahwa penggunaan kata ganti "huwa" untuk Allah
sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi semata karena
keterbatasan bahasa manusia (bahasa Arab) untuk dapat merepresentasikan sebuah
gagasan ideal tentang netralitas gender dari keberadaan Tuhan.
Keterbatasan dalam konteks bahasa ini, sebagaimana komentar Peach bahwa text al-Quran
secara explisit ditulis dari perspektif laki-laki dapat dipahami. Fakta sejarah
membuktikan bahwa penulisan al-Quran dilakukan Oleh para sahabat Nabi melalui
beberapa tahapan atau perkembangan tertentu. Lebih dari itu bahasa
Arab menerapkan sektarianisme-rasialistik tidak hanya terhadap orang lain
tetapi juga terhadap perempuan dalam kelompoknya sendiri. Perempuan
diperlakukan layaknya kelompok minoritas yang selalu ditekan kepentingannya
agar mereka berada dibawah proteksi dan otoritas laki-laki. Mas. kulinitas
dalam bahasa arab menjadi subyek pokok sedangkan feminitas menjadi cabang yang
tidak mempunyai kemampuan sebagai subyek. Dalam kerangka seperti ini, bahasa
Arab sering menggunakan bentuk plural maskulin walaupun secara formal adalah
kelompok perempuan.
Melihat dari argumentasi kebahasaan, dapat
ditarik benang merah bahwa meskipun Tuhan dalam ajaran dasar Islam netral
gender, namun simbolisasi Tuhan menjadi maskulin dan dalam batas tertentu
berpengaruh terhadap konstruksi teologis kebanyakan kaum Muslim tentang Tuhan
dan superioritas laki-laki di atas perempuan. Simbol-simbol maskulinitas
semakin tegas dengan pemahaman bahwa Nabi-Nabi dan Rasul Allah seluruhnya
adalah laki-laki. Dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad, nama-nama Nabi dan
Rasul yang dikenal dalam sejarah Islam adalah laki-laki. Dalam persoalan ini,
beberapa pemikir Islam progressif mengemukakan argumentasinya bahwa beberapa
figur perempuan seperti tercatat dalam alQuran, misalnya Maryam dan Siti Hajar,
juga dapat dikategorisasikan sebagai Nabi. Namun demikian, pendapat ini belum
diterima secara umum dan belum menjadi arus utama (mainstream) dalam wacana Islam.
Superioritas laki-laki semakin jelas
tergambarkan dalam wacana tafsir yang terkait dengan statusontologis dan
peranperempuan. Manusia pertama dalam kebanyakan tafsir dipahami sebagai Adam,
yang lebih sering dipahami sebagai laki-laki" bapak dari seluruh manusia,
sementara Hawa adalah perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan
tulang rusuk yang paling bengkok. �Meskipun banyak pernikir Islam kontemporer
yang lebih memilih mengartikan Adam sebagai jenis manusia dan bukan jenis
kelamin laki-laki dari manusia, namun pendapat ini tidak atau belum populer
dibandingkan dengan pendapat pertama yang sudah menjadi mainstream (arus utama)
dalam masyarakat. Sebagai manusia kedua perempuan juga memiliki kemampuan akal
atau intelektualitas dan pengetahuan yang lebih rendah dibanding laki-laki.
Dalam tafsir al-Qurtubi misalnya, dikatakan bahwa laki-laki memiliki
kelebihan akal, managerial, kejiwaan dan naluri, yang tidak dimiliki oleh
perempuan. Naluri laki-laki diyakini didominasi oleh unsur panas dan
kering yang merupakan sumber kekuatan sementara naluri perempuan didominasi
unsur basah dan dingin yang merupakan sumber kelembutan dan kelemahan.
Senada dengan pendapat al-Qurtubi, Zamakhsari yang berasal
dari kalangan mu�tazilah dan dikenal dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa
laki-laki memiliki berbagai kelebihan diantaranya dalam hal akal,
ketegasan, kekuatan tekad, kekuatan fisik, dan karena itulah, menurut beliau,
lakilaki menjadi para Nabi, ulama, kepala negara, dan Imam. Masih
banyak ahli tafsir lain seperti Ibn Kasir, Fakhruddin al-Razi atau Sayyid Qutb
yang mengukuhkan superioritas laki-laki dengan legitimasi tektual dalildalil
dari al-Quran maupun Hadis. Konstruksi status perempuan yang lebih rendah ini
berimplikasi pada pembagian peran yang hirarkhis. Lakilaki dengan berbagai
kelebihan yang dipandang kodrati dengan demikian dianggap lebih tepat sebagai
pemimpin atau Imam sementara perempuan dengan berbagai kekurangan dan
kelemahannya menjadi pihak yang dipimpin dan menjadi makmum yang harus
mengikuti dan taat pada sang Imam.
Peranan perempuan sebagaimana didesksipsikan di atas menggambarkan adanya fenomena androsentrisme, sexisme dan patrarkhi dalam
masyarakat atau pemahaman Islam. Berbagai masalah yang sering mendapatkan
kritik dari kalangan ferninis atau diperdebatkan dalam pandangan
umat Islam sendiri terkait dengan Status dan peran perempuan dalam Islam,
antara lain:
a) Konsep Penciptaan Perempuan;
b) Status Ontologis dan Otonomi Perempuan;
c) Ketaatan Isteri pada Suami;
d) Poligami;
e) Konsep Wali;
f) Konsep Mahram;
g) Kepemimpinan perempuan dalam wilayah
domestik, publik (termasuk politik) ����maupun dalam Ibadah (termasuk Imam Salat);
h) Saksi perempuan;
i) Warisan;
j) Perempuan Bekerja;
k) Perceraian; dan
l) Akikah.
Diantara kritik ferninis terhadap
problem perempuan dalam Islam yang menarik untuk diperdebatkan adalah konsep
mentruasi yang melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Mentruasi digunakan
sebagai justifikasi untuk melakukan segregasi terhadap perempuan, memperlakukan
mereka sebagai pihak yang inferior, dan menyisihkan mereka dari masjid. Menstruasi
juga menyebabkan perempuan tidak diperbolehkan melakukan berbagai ibadah
seperti shalat, puasa, atau bahkan membaca al-Quran. Terkait dengan persoalan
ini, pendapat mairistrearn dari kaum Muslim bahwa ibadah tidak hanya terbatas
shalat atau puasa. Banyak bentuk ibadah lain yang dapat dilakukan perempuan
yang ketika sedang mengalami menstruasi.
Hasil Penelitian ini adalah bahwa agama tidak mempersoalkan peran dan kiprahnya perempuan. Justru dalam agama Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagaimana apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Memahami al-qur�an bukan saja
teksnya saja akan tetapi ayat
yang tersirat dari yang tersurat. Sehingga dapat melahirkan pemahaman agama yang lebih adil, gender dan tidak patriarkhal, yaitu model hermenutis holistic dengan mengiklusikan setara pengalaman dan suara perempuan. Pada saat yang sama juga mempertimbangkan aspek tekstualitas, konstruksi gramatikal teks dan kontek.
Kesimpulan
Berbicara tentang gender, penting dipertanyakan kembali
karena perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk
ketidakadilan sosial dalam masyarakat dan merugikan salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan.
Perbedaan gender Yang telah melalui sejarah panjang, dibentuk, dilanggengkan
dan mendapatkan legitimasi kultural, politis maupun teologis seringkali
diterima begitu saja dan bahkan diyakini sebagai bagian dari ketentuan
alamiyah, atau takdir, sebagaimana jenis kelamin Yang bersifat kodrati,
Perbedaan gender menciptakan ideologi gender Yang menempatkan kedudukan
lakilaki lebih tinggi di atas perempuan dan diperkukuh melalui pemahaman agama
dan tradisi. Ideologi gender dan paham agama pada akhirnya Saling berkelindan:
ideologi gender berdampak secara signifikan terhadap perkernbangan pernahaman
agama tetapi juga dipengaruhi atau mendapatkan legitimasi dari tafsir agama.
Sejarah dan wacana
agama, diwarnai dengan androsentrisme, patriarkhi dan sexisme.
Potret perempuan dalam hegemoni paham dan kultur agama Yang androsentris, sexis dan patrarkhi, termasuk dalam agama Islam,
menjadi muram dan bahkan tidak terwakili. Suara, pengalaman, dan kepentingan
perempuan terpinggirkan dari proses formulasi doktrin-doktrin dan kepercayaan
agama, dan dengan demikian lenyap dari sejarah agama. Agama seolah-olah menjadi
wilayah Otoritatif laki-laki sebagai subyek Yang otonom,
sementara perempuan sebagai obyek Yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan
tawar menawar. Paham agama Yang patriarkhal,
androsentris dan sexis pada gilirannya melahirkan perbedaan gender Yang berujung
pada segregasi gender dan ketidakadilan gender.
Paham
agama Yang androcentris dan diskriminatif muncul dikarenakan adanya keterbatasan bahasa sebagai
media penyampaian.wahyu Ilahiyah, tendensi politik, kebudayaan arab Yang
patrarkhal, dan pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan terkait erat dengan
persoalan pendekatan atau metodologi Yang digunakan dalam membaca teks agama,
atau Al-Qur an, Yang pada kenyataannya dapat dibaca dengan berbagai model, dari
yang
tradisional, reaktif, holistik, patriarkhi maupun liberal. Model pembacaan teks
yang
dapat melahirkan pemahaman agama Yang lebih adil gender dan tidak patriarkhal
adalah model hermenutis Yang holistik dengan mengiklusikan secara setara
pengalaman dan suara perempuan, dan pada Saat yang sama mempertimbangkan aspek
tekstualitas, konstruksi gramatikal teks, dan konteks.
BIBILIOGRAFI
Afandi, Pandi. (2016). Concept & Indicator Human Resources
Management for Management Research. Yogyakarta: Deepublish.
Bashin, Kamala. (1996). �Menggugat Patriarki� oleh Nursyahbani
Katjasungkana. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. h. 29.
Fakih, Mansour. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 4.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory. (2003). 6
Edition, diterjemahkan, Teori Sosiologi Modern, oleh Alimandan h: 414-416.
Jakarta: Prenada Media.
Gunawan, Mohammad Sigit. (2018). Rekonstruksi Negara Hukum Pancasila Dalam
Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan Uud 1945rekonstruksi Negara
Hukum Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan UUD
1945. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2), 58�69.
King, Ursula. (1993). Women and Spirituality: Vioces of Protest. Pennsylvania: The Pennssylvanİa State
Universİty Press. h20.
Muawanah, Elfi. (2006). Menuju Kesetaraan Gender, h. 144. Malang:
Kutub Minar.
Muslih, Muhammad. (2016). Pengaruh Lingkungan Keluarga Dan Lingkungan
Sekolah Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas 6 SDN Limbangan. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(4), 41�50.
Noupel, Muhamad. (2018). Prospek Dan Pemberdayaan Mediasi Sebagai Cara
Penyelesaian Alternatif Perselisihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(1), 87�98.
Nur Ahmad Fadhil Lubis. (2003) Yurisprudensi Emansipatif. Bandung: Citapustaka
Media. 47.
Peach, Lucinda Joy. (2002). �Women and World Religions�. Upper Saddle River New Jersey: Pearson Education. 1-2.
Shufiyah, Fauziatu. (2018). Pernikahan Dini Menurut Hadis dan Dampaknya. Jurnal
Living Hadis, 3(1), 47�70.
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur�an, h. 35. Jakarta: Paramadina.