Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 6 Oktober 2020

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

RELASI AGAMA TERHADAP KONSEP GENDER

 

Nana Sumarna

Pogram Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

24 Agustus 2020

Diterima dalam bentuk revisi

14 Oktober 2020

Diterima dalam bentuk revisi

16 Oktober 2020

Gender menjadi isu penting dari semua pihak. Sebab pada kenyataaannya atas perbedaan gender tersebut yang berimplikasi terhadap perbedaan status dan peran serta �tanggungjawab sesama manusia, baik laki-laki ataupun perempuan terkadang menimbulkan ketidakadilan gender, ataupun diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik di wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis permasalahan relasi agama terhadap konsep gender serta pemahaman agama yang bias gender. Metode penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif, dengan tehnik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi data. Analisis datanya menggunakan reduksi, display dan kongklusi data. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemahaman agama yang androcentris muncul disebabkan oleh adanya keterbatasan bahasa sebagai media dalam penyampaian wahyu ilahi yang tendensi politik. Kebudayaan bangsa Arab yang patrarkhal dan pemikiran keagamaannya. Pemikiran keagamaan yang berhubungan dengan persoalan pendekatan atau metode yang mereka gunakan dalam membaca teks Al-Qur�an. Kenyataannya dapat dibaca dalam berbagai model mulai dari tradisional, reaktif, holistik, patriarkhi dan liberal. Model pembacaan teks dapat melahirkan pemahaman agama yang lebih adil, gender dan tidak patriarkhal, yaitu model hermenutis holistic dengan mengiklusikan setara pengalaman dan suara perempuan. Pada saat yang sama juga mempertimbangkan aspek tekstualitas, konstruksi gramatikal teks dan konteksnya.

Kata kunci:

Gender; Ilmu Pengetahuan dan Keluarga

 

 

Pendahuluan

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dengan pesat, telah membawa dunia pada sebuah sebuah era yang disebut dengan globalisasi. Era ini ditandai dengan munculnya perubahanperubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Menurut Sastrohadiwiryo pendidikan merupakan tugas untuk meningkatkan pengetahuan, pengertian atau sikap tenaga kerja sehingga mereka dapat lebimenyesuaikan diri dengan lingkungan kerja mereka (Afandi, 2016). Lahirnya knowledge society yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia dan munculnya global village yang semakin memperkecil makna perbedaan jarak, ruang dan waktu, memberikan dampak yang signifihn terhadap kehidupan baik positif maupun negatif. Di Sisi lain, hegemoni ilmu pengetahuan modern memunculkan kritik feminis yang mengoreksi dan menolak kebenaran universal epistemologi positivistik yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial dan dengan demikian bersifat partikular, sarat dengan bias kultur dan gender.

Indonesia sebagai bagian dari dunia global juga menghadapi tantangan perubahan yang signifikan. Setiap manusia di dunia ini selalu mempunyai tujuan hidup, dalam mencapai tujuan hidup tersebut, maka  manusia diproteksi atau  dilindungi oleh suatu ilmu yang disebut sebagai hokum (Gunawan, 2018). Salah satu tantangan berat yang harus disadari dan dicarikan solusinya ialah berkembangnya wacana dan realitas pluralisme dan demokrasi. Plularisme dan demokrasi telah membangkitkan kesadaran baru tentang adanya perbedaan budaya atau multikultural, termasuk adanya perbedaan gender. Kekuatan negara dan struktur masyarakat juga akan mempengaruhi corak paham sebuah pers (Noupel, 2018). Isu gender bagi masyarakat Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal baru, meskipun masih banyak kalangan masyarakat awam maupun akademisi yang memahami kata gender tersebut dengan pemaknaan yang kurang tepat, atau bahkan menggunakan kata tersebut dalam konteks yang keliru. Sejak periode tahun 1985-1995 banyak sarjana, aktifis perempuan dan organisasi-organisasi non goverment mulai mendiskusikan teori feminis dan analisis gender serta relevansinya dengan proses perkembangan sosial dan politik di Indonesia.

Beberapa teori mengenai kesetaraan peran laki-laki dan perempuan yang umumnya dikemukakan oleh para feminis kontemporer didasarkan pada pertanyaan mendasar �apa peran perempuan?� Secara esensial ada empat jawaban untuk pertanyaan tersebut. Pertama, bahwa posisi dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami laki-laki dalam situasi itu. Kedua, posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, bahwa situasi perempuan harus pula dipahami dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan perempuan. Perempuan �ditindas�, dalam arti dikekang, disubordinasikan, dibentuk, dan digunakan, serta disalahgunakan oleh laki-laki. Keempat perempuan mengalami perbedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau faktor penindasan dan hak istimewa berdasar kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global. Lingkungan selalu mengitari manusia dari waktu dilahirkan sampai meninggalnya, sehingga antara lingkungan dan manusia terdapat hubungan timbal balik dalam artian lingkungan mempengaruhi manusia dan manusia mempengaruhi lingkungan (Muslih, 2016). Masing-masing berbagai tipe teori feminis itu dapat digolongkan sebagai teori perbedaan gender, atau teori ketimpangan gender, atau teori penindasan gender, atau teori penindasan sruktural (George Ritzer and Douglas J. Goodman, 2003)

Menurut Ritzer dan Goodman di sebuah masyarakat akan terdapat dua bentuk lembaga perkawinan, yaitu: Pertama, perkawinan yang di dalamnya laki-laki berpegang pada keyakinan tentang adanya ketidakleluasaan dan beban tanggung jawab meski memperoleh apa-apa yang ditetapkan norma seperti wewenang, kebebasan, dan hak untuk mendapatkan pemeliharaan, pelayanan kasih sayang dan seksual dari isteri. Kedua, perkawinan di mana perempuan menguatkan keyakinan tentang pemenuhan meski secara normatif mengalami ketidakberdayaan dan ketergantungan, suatu kewajiban untuk memberikan pelayanan urusan rumah tangga, kasih sayang, dan seksual, dan secara bertahap mengurangi kebebasan di masa remaja sebelum kawin. Rata-rata lama sekolah baik untuk perempuan maupun laki-laki usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan setelah usia 18 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum usia 18 tahun (Shufiyah, 2018).

Analisis gender adalah bertujuan untuk memilah-milah kekuatan yang menciptakan atau melanggengkan ketidakadilan dengan mempertanyakan siapa berbuat apa, siapa memiliki apa, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, siapa yang memutuskan; laki-laki atau perempuan?

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan berarti memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam semua keadaan justru menimbulkan bias jender. Memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan, misalnya, suami juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri mempunyai kewajiban mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi kewajiban istri semata, tetapi merupakan kewajiban bersama.

Gender menjadi isu penting dari semua pihak, karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung-jawab antara manusia laki-laki dan perempuan seringkali menimbulkan apa yang disebut dengan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, atau bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis. Tulisan ini mencoba menelusuri pengertian dan asal usul gender dan menjawab mengapa konstruksi gender dipermasalahkan. Bahasan selanjutnya akan mengeksplorasi sekilas persoalan gender dalam wacana agama dan menganalisis sekilas akar penyebab pemnahaman agama yang bias gender.

Penelitian tentang permasalahan gender, tentunya sudah banyak yang meneliti, diantaranya : penelitian yang dilakukan oleh Yuberti. Dengan judul Relasi Gender Dan Kekuasaan Dalam Islam Indonesia. Dosen IAIN Raden Intan Lampung. Hasil penelitiannya kajian keislaman yang berkutat seputar perempuan dalam buku ini masih terasa monoparadigma meski ditulis oleh pihak Timur (Indonesia) dan Barat. Sebab, paradigma gender yang digunakan untuk menampilkan kesan keberpihakan Islam terhadap perempuan sekaligus praktik keterlibatan perempuan di ranah politik kepemimpinan dan sufisme di Lombok dan Aceh masih berangkat dari paradigm gender ala Barat. Padahal, dengan versi pendekatan gender khas dalam negeri, gender versi tanah air lebih mendemonstrasikan kemampuan seorang perempuan untuk setara daripada upaya melakukan perlawanan terhadap dominasi laki-laki sebagaimanayang digaungkan oleh wacana gender versi Barat.

Penelitian ini berbeda dengan peneliti sebelumnya. Penelitian ini memfokuskan terhadap bagaimana peran agama terhadap konsep gender? Sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender atau bias gender.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan tehnik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi data. Analisis datanya menggunakan reduksi, display dan kongklusi data.

 

Hasil dan Pembahasan

1.      Konsep Kesetaraan Gender

Konsep merupakan hal yang penting untuk dipahami dalam rangka membahas hubungan kaum perempuan dan laki-laki adalah membedakan antara konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pebedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis gender (Fakih, 1997).

Istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya (Umar, 1999).

Perbedaan tersebut melahirkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mengurusi urusan luar rumah dan perempuan bertugas mengurusi urusan dalam rumah yang dikenal sebagai masyarakat pemburu (hunter) dan peramu (gatherer) dalam masyarakat tradisional dan sektor publik dan sektor domestik dalam masyarakat modern.

Perbedaan gender (gender differences) pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tak pernah digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender (Nur Ahmad Fadhil Lubis, 2003).

Permasalahan kaum perempuan yang diungkapkan dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan (resistance), baik dari kalangan kaum laki-laki ataupun kaum perempuan sendiri. Hal ini bisa jadi disebabkan: pertama, mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, kedua, mendiskusikan soal gender berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing.

Pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah kesetaraan hubungan, kedudukan, peran dan tanggung jawab antara kaum perempuan dan laki-laki

2.      Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.�

Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan gender, ada nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Setiap orang seolah-olah dituntut mempunyai perasaan gender (gender feeling) dalam pergaulan, sehingga jika seseorang menyalahi nilai, norma dan perasaan tersebut maka yang bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.

Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kejantanan (masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kewanitaan (femininity). Perempuan dipersepsikan sebagai wanita cantik, langsing, dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan agresif.�

Dominasi laki-laki dalam masyarakat bukan hanya karena mereka jantan, lebih dari itu karena mereka mempunyai banyak akses kepada kekuasaan untuk memperoleh status. Mereka misalnya mengontrol lembaga-lembaga legislatif, dominan di lembaga-lembaga hukum dan peradilan, pemilik sumber-sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi profesi dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi.

Sementara perempuan ditempatkan pada posisi inferior. Peran mereka terbatas sehingga akses untuk memperoleh kekuasaan juga terbatas, akibatnya perempuan mendapatkan status lebih rendah dari laki-laki. Sebagai ibu atau sebagai istri mereka memperoleh kesempatan yang terbatas untuk berkarya di luar rumah. Penghasilan mereka sangat tergantung pada kerelaan laki-laki, meskipun bersama dengan anggota keluarganya merasakan perlindungan yang diperoleh dari suaminya, hak-hak yang diperolehnya jauh lebih terbatas daripada hak-hak yang dimiliki suaminya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya peran gender tidak datang dan berdiri dengan sendirinya, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Sebab terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat turut memberikan andil.

3.      Bias Kesetaraan Hubungan Perempuan dan Laki-laki

Menurut Budhy Munawar Rachman, terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan salah satunya disebabkan tema patriarkhi (kekuasaan kaum laki-laki), yang hal ini menjadi agenda yang paling besar digugat oleh kaum feminisme Islam. Karena patriarhki dari sudut feminisme dianggap sebagai asal usul dari seluruh kecenderungan misoginis (kebencian terhadap kaum perempuan) yang mendasari penulisan-penulisan teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.

Kekerasan terhadap perempuan selalu terjadi di antaranya disebabkan beberapa faktor yaitu:

a.    Ideologi patriarkhi dan budaya patriarkhi. Di mana laki-laki superior (penguasa perempuan) dan perempuan inferior,�

b.    Faktor struktur hukum yang meliputi substansi hukum (berisi semua peraturan perundang-undangan) baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku bagi lembaga tinggi negara maupun warga negara, struktur hukum (penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan prosedur penegakannya), budaya hukum,�

c.    Faktor interpretasi agama dan budaya (Muawanah, 2006)

Konsep patriarki berbeda dengan patrilinial. Patrilinial diartikan sebagai budaya di mana masyarakatnya mengikuti garis laki-laki seperti anak bergaris keturunan ayah, contohnya Habsah Khalik; Khalik adalah nama ayah dari Habsah. Sementara patriarki memiliki makna lain yang secara harfiah berarti �kekuasaan bapak� (role of the father) atau �partiakh� yang ditujukan untuk pelabelan sebuah �keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki�. Secara terminologi kata patriarki digunakan untuk pemahaman kekuasaan laki-laki, hubungan kekuasaan dengan apa laki-laki menguasai perempuan, serta sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (Bashin, 1996).

Lebih lanjut menurut Budhy secara etimologis konsep tersebut berkaitan dengan sistem sosial, dimana sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, harta miliknya serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting keluarga. Sistem berdasarkan patriarkhi ini biasanya mengasingkan perempuan di rumah, dengan demikian laki-laki lebih bisa menguasai kaum perempuan. Sementara itu pengasingan perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak tidak mandiri secara ekonomis, dan selanjutnya tergantung secara psikologis.� Norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak memberi hak kepada kaum laki-laki daripada kaum perempuan, justru karena alasan bahwa kaum laki-laki memang lebih bernilai secara publik daripada perempuan. Dalam perkembangannya patriarkhi ini sekarang telah menjadi istilah terhadap semua sistem kekeluargaan maupun sosial, politik dan keagamaan yang merendahkan, bahkan menindas kaum perempuan mulai dari lingkungan rumah tangga hingga masyarakat.

Sementara itu menurut Ritzer dan Goodman, ada empat tema yang menandai teori ketimpangan gender. Pertama, laki-laki dan perempuan diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga timpang. Secara spesifik, perempun memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada yang diperoleh laki-laki yang membagi-bagi posisi sosial mereka berdasarkan kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan atau berdasarkan faktor sosial penting lainnya. Kedua, ketimpangan gender berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian penting antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, meski manusia secara individual memiliki perbedaan ciri dan karakter satu sama lain, namun tidak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Pengakuan akan ketimpangan gender berarti secara langsung menyatakan bahwa perempuan secara situasional kurang berkuasa dibanding lakilaki untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama laki-laki dalam rangka pengaktualisasian diri. Keempat, semua teori ketimpangan gender� menganggap lakilaki maupun perempuan akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang semakin mengarah ke persamaan derajat (egalitarian) dengan mudah dan secara ilmiah. Dengan kata lain, mereka berkeyakinan akan adanya peluang untuk mengubah situasi.

4.      Gender dan Agama

Konstruksi gender yang melahirkan bipolaritas sifat, peran dan posisi laki-laki dan perempuan yang berbeda dan bermuara pada munculnya ketidakadilan sosial menjadi langgeng salah satunya karena mendapatkan legitimasi teologis dari paham agama yang bias gender. Salah satu kritik feminis terhadap agama terkait dengan peran agama dalam memperkuat dan melanggengkan budaya yang patriarkhal. Kritik dan tantangan dari feminis terhadap fenomena agama pada dasarnya berakar pada tiga hal, yaitu persoalan patriakhi, androsentrisme dan sexisme. Androsentrisme memiliki pengertian bahwa tradisi-tradisi agama dikonstruksi, dikembangkan oleh laki-laki dari perspektif laki-laki, dan oleh karenanya yang menjadi fokus utamanya adalah pengalaman laki-laki (Peach, 2002). Sementara itu, patriarkhi menunjukkan adanya dominasi dan superioritas laki-laki dalam wacana dan sejarah agama. Agama atau pemahaman agama, pada akhhimya menjadi sexis, artinya pernaharna agama yang dominan memberikan keistimewaan kepada laki-laki dan pengalaman laki-laki serta menempatkan laki-laki sebagai superior, dan pada saat yang sama menempatkan perempuan lebih rendah dan menganggapnya sebagai pihak yang inferior.

Paham hegemoni dan kultur agama yang androsentris, sexis dan patrarkhi. Pengalaman dan konstribusi perempuan terhadap agama tidak mendapatkan tempat dalam sejarah dan wacana agama. Perempuan şeakan tidak berşuara dan terpingirkan dari proses formulasi doktrin-doktrin dan kepercayaan agama, dan dengan demikian lenyap dari sejarah agama. Paham agama yang patriarkhal, androsentris dan sexis pada gilirannya melahirkan perbedaan gender (gender differentiation), segregasi gender (gendey sewegation), dan ketidakadilan gender (gendey injustice), dimana perempuan pada umumnya didiskriminasikan dan mendapatkan ketidakadilan. Androsentris, sex�s dan patrarkhi menjadi fenomena mendasar dari tata realitaş dan semangat aganta yang tidak şeharuşnya. Dengan kesadaran baru feminis, kesalahan tatanan realitas yang penuh dengan ketidakadilan ini secara radikal dipertanyakan dan sebuah tata baru yang tebih adil dan egalİter diupayakan (King, 1993).

Upaya membangun ratanan baru dunia pejuang feminis Yahudi dan Kristen, misalnya berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi yang dişebut dengan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad 17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektifperempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkar dan martabat perempuan.

Agama Yahudi dan Kristen mendaparkan kritik fundamental, karena dalam sejarahnya diwarnai dengan endosentrisme, sexisme dan patriarkhi. Sementara İtu, İslam şebagaİmana dikarakan oleh Lucinda Joy peach, menentang penggambaran atau penggunaan Image Tuhan yang berbasis gender. Tuhan dalam pandangan Islam tidak diasosiasikan dengan laki-laki maupun perempuan, karena Tuhan tidak bias diasosiasikan sebagaimana manusia. Namun demikian, penggunaan kata ganti Tuhan dalam al-Qur�an menggunakan terminologi "huwa" yang secara literal berarti dia laki-laki. Banyak pemikir Islam yang menjelaskan bahwa penggunaan kata ganti "huwa" untuk Allah sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi semata karena keterbatasan bahasa manusia (bahasa Arab) untuk dapat merepresentasikan sebuah gagasan ideal tentang netralitas gender dari keberadaan Tuhan.

Keterbatasan dalam konteks bahasa ini, sebagaimana komentar Peach bahwa text al-Quran secara explisit ditulis dari perspektif laki-laki dapat dipahami. Fakta sejarah membuktikan bahwa penulisan al-Quran dilakukan Oleh para sahabat Nabi melalui beberapa tahapan atau perkembangan tertentu. Lebih dari itu bahasa Arab menerapkan sektarianisme-rasialistik tidak hanya terhadap orang lain tetapi juga terhadap perempuan dalam kelompoknya sendiri. Perempuan diperlakukan layaknya kelompok minoritas yang selalu ditekan kepentingannya agar mereka berada dibawah proteksi dan otoritas laki-laki. Mas. kulinitas dalam bahasa arab menjadi subyek pokok sedangkan feminitas menjadi cabang yang tidak mempunyai kemampuan sebagai subyek. Dalam kerangka seperti ini, bahasa Arab sering menggunakan bentuk plural maskulin walaupun secara formal adalah kelompok perempuan.

Melihat dari argumentasi kebahasaan, dapat ditarik benang merah bahwa meskipun Tuhan dalam ajaran dasar Islam netral gender, namun simbolisasi Tuhan menjadi maskulin dan dalam batas tertentu berpengaruh terhadap konstruksi teologis kebanyakan kaum Muslim tentang Tuhan dan superioritas laki-laki di atas perempuan. Simbol-simbol maskulinitas semakin tegas dengan pemahaman bahwa Nabi-Nabi dan Rasul Allah seluruhnya adalah laki-laki. Dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad, nama-nama Nabi dan Rasul yang dikenal dalam sejarah Islam adalah laki-laki. Dalam persoalan ini, beberapa pemikir Islam progressif mengemukakan argumentasinya bahwa beberapa figur perempuan seperti tercatat dalam alQuran, misalnya Maryam dan Siti Hajar, juga dapat dikategorisasikan sebagai Nabi. Namun demikian, pendapat ini belum diterima secara umum dan belum menjadi arus utama (mainstream) dalam wacana Islam.

Superioritas laki-laki semakin jelas tergambarkan dalam wacana tafsir yang terkait dengan statusontologis dan peranperempuan. Manusia pertama dalam kebanyakan tafsir dipahami sebagai Adam, yang lebih sering dipahami sebagai laki-laki" bapak dari seluruh manusia, sementara Hawa adalah perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan tulang rusuk yang paling bengkok. �Meskipun banyak pernikir Islam kontemporer yang lebih memilih mengartikan Adam sebagai jenis manusia dan bukan jenis kelamin laki-laki dari manusia, namun pendapat ini tidak atau belum populer dibandingkan dengan pendapat pertama yang sudah menjadi mainstream (arus utama) dalam masyarakat. Sebagai manusia kedua perempuan juga memiliki kemampuan akal atau intelektualitas dan pengetahuan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam tafsir al-Qurtubi misalnya, dikatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan akal, managerial, kejiwaan dan naluri, yang tidak dimiliki oleh perempuan. Naluri laki-laki diyakini didominasi oleh unsur panas dan kering yang merupakan sumber kekuatan sementara naluri perempuan didominasi unsur basah dan dingin yang merupakan sumber kelembutan dan kelemahan.

Senada dengan pendapat al-Qurtubi, Zamakhsari yang berasal dari kalangan mu�tazilah dan dikenal dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa laki-laki memiliki berbagai kelebihan diantaranya dalam hal akal, ketegasan, kekuatan tekad, kekuatan fisik, dan karena itulah, menurut beliau, lakilaki menjadi para Nabi, ulama, kepala negara, dan Imam. Masih banyak ahli tafsir lain seperti Ibn Kasir, Fakhruddin al-Razi atau Sayyid Qutb yang mengukuhkan superioritas laki-laki dengan legitimasi tektual dalildalil dari al-Quran maupun Hadis. Konstruksi status perempuan yang lebih rendah ini berimplikasi pada pembagian peran yang hirarkhis. Lakilaki dengan berbagai kelebihan yang dipandang kodrati dengan demikian dianggap lebih tepat sebagai pemimpin atau Imam sementara perempuan dengan berbagai kekurangan dan kelemahannya menjadi pihak yang dipimpin dan menjadi makmum yang harus mengikuti dan taat pada sang Imam.

Peranan perempuan sebagaimana didesksipsikan di atas menggambarkan adanya fenomena androsentrisme, sexisme dan patrarkhi dalam masyarakat atau pemahaman Islam. Berbagai masalah yang sering mendapatkan kritik dari kalangan ferninis atau diperdebatkan dalam pandangan umat Islam sendiri terkait dengan Status dan peran perempuan dalam Islam, antara lain:

a)   Konsep Penciptaan Perempuan;

b)   Status Ontologis dan Otonomi Perempuan;

c)   Ketaatan Isteri pada Suami;

d)   Poligami;

e)   Konsep Wali;

f)    Konsep Mahram;

g)   Kepemimpinan perempuan dalam wilayah domestik, publik (termasuk politik) ����maupun dalam Ibadah (termasuk Imam Salat);

h)   Saksi perempuan;

i)    Warisan;

j)    Perempuan Bekerja;

k)   Perceraian; dan

l)    Akikah.

Diantara kritik ferninis terhadap problem perempuan dalam Islam yang menarik untuk diperdebatkan adalah konsep mentruasi yang melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Mentruasi digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan segregasi terhadap perempuan, memperlakukan mereka sebagai pihak yang inferior, dan menyisihkan mereka dari masjid. Menstruasi juga menyebabkan perempuan tidak diperbolehkan melakukan berbagai ibadah seperti shalat, puasa, atau bahkan membaca al-Quran. Terkait dengan persoalan ini, pendapat mairistrearn dari kaum Muslim bahwa ibadah tidak hanya terbatas shalat atau puasa. Banyak bentuk ibadah lain yang dapat dilakukan perempuan yang ketika sedang mengalami menstruasi.

Hasil Penelitian ini adalah bahwa agama tidak mempersoalkan peran dan kiprahnya perempuan. Justru dalam agama Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagaimana apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Memahami al-qur�an bukan saja teksnya saja akan tetapi ayat yang tersirat dari yang tersurat. Sehingga dapat melahirkan pemahaman agama yang lebih adil, gender dan tidak patriarkhal, yaitu model hermenutis holistic dengan mengiklusikan setara pengalaman dan suara perempuan. Pada saat yang sama juga mempertimbangkan aspek tekstualitas, konstruksi gramatikal teks dan kontek.

 

Kesimpulan

Berbicara tentang gender, penting dipertanyakan kembali karena perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan sosial dalam masyarakat dan merugikan salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan. Perbedaan gender Yang telah melalui sejarah panjang, dibentuk, dilanggengkan dan mendapatkan legitimasi kultural, politis maupun teologis seringkali diterima begitu saja dan bahkan diyakini sebagai bagian dari ketentuan alamiyah, atau takdir, sebagaimana jenis kelamin Yang bersifat kodrati, Perbedaan gender menciptakan ideologi gender Yang menempatkan kedudukan lakilaki lebih tinggi di atas perempuan dan diperkukuh melalui pemahaman agama dan tradisi. Ideologi gender dan paham agama pada akhirnya Saling berkelindan: ideologi gender berdampak secara signifikan terhadap perkernbangan pernahaman agama tetapi juga dipengaruhi atau mendapatkan legitimasi dari tafsir agama.

Sejarah dan wacana agama, diwarnai dengan androsentrisme, patriarkhi dan sexisme. Potret perempuan dalam hegemoni paham dan kultur agama Yang androsentris, sexis dan patrarkhi, termasuk dalam agama Islam, menjadi muram dan bahkan tidak terwakili. Suara, pengalaman, dan kepentingan perempuan terpinggirkan dari proses formulasi doktrin-doktrin dan kepercayaan agama, dan dengan demikian lenyap dari sejarah agama. Agama seolah-olah menjadi wilayah Otoritatif laki-laki sebagai subyek Yang otonom, sementara perempuan sebagai obyek Yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar menawar. Paham agama Yang patriarkhal, androsentris dan sexis pada gilirannya melahirkan perbedaan gender Yang berujung pada segregasi gender dan ketidakadilan gender.

Paham agama Yang androcentris dan diskriminatif muncul dikarenakan adanya keterbatasan bahasa sebagai media penyampaian.wahyu Ilahiyah, tendensi politik, kebudayaan arab Yang patrarkhal, dan pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan terkait erat dengan persoalan pendekatan atau metodologi Yang digunakan dalam membaca teks agama, atau Al-Qur an, Yang pada kenyataannya dapat dibaca dengan berbagai model, dari yang tradisional, reaktif, holistik, patriarkhi maupun liberal. Model pembacaan teks yang dapat melahirkan pemahaman agama Yang lebih adil gender dan tidak patriarkhal adalah model hermenutis Yang holistik dengan mengiklusikan secara setara pengalaman dan suara perempuan, dan pada Saat yang sama mempertimbangkan aspek tekstualitas, konstruksi gramatikal teks, dan konteks.

 

 

 

 

 

 

 

BIBILIOGRAFI

 

Afandi, Pandi. (2016). Concept & Indicator Human Resources Management for Management Research. Yogyakarta: Deepublish.

 

Bashin, Kamala. (1996). �Menggugat Patriarki� oleh Nursyahbani Katjasungkana. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. h. 29.

 

Fakih, Mansour. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory. (2003). 6 Edition, diterjemahkan, Teori Sosiologi Modern, oleh Alimandan h: 414-416. Jakarta: Prenada Media.

 

Gunawan, Mohammad Sigit. (2018). Rekonstruksi Negara Hukum Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan Uud 1945rekonstruksi Negara Hukum Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan UUD 1945. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2), 58�69.

 

King, Ursula. (1993). Women and Spirituality: Vioces of Protest. Pennsylvania: The Pennssylvanİa State Universİty Press. h20.

 

Muawanah, Elfi. (2006). Menuju Kesetaraan Gender, h. 144. Malang: Kutub Minar.

 

Muslih, Muhammad. (2016). Pengaruh Lingkungan Keluarga Dan Lingkungan Sekolah Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas 6 SDN Limbangan. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(4), 41�50.

 

Noupel, Muhamad. (2018). Prospek Dan Pemberdayaan Mediasi Sebagai Cara Penyelesaian Alternatif Perselisihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(1), 87�98.

 

Nur Ahmad Fadhil Lubis. (2003) Yurisprudensi Emansipatif. Bandung: Citapustaka Media. 47.

 

Peach, Lucinda Joy. (2002). �Women and World Religions�. Upper Saddle River New Jersey: Pearson Education. 1-2.

 

Shufiyah, Fauziatu. (2018). Pernikahan Dini Menurut Hadis dan Dampaknya. Jurnal Living Hadis, 3(1), 47�70.

 

Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur�an, h. 35. Jakarta: Paramadina.