Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 7 November 2020

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

HUKUM PERKAWINAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS MENTAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 2016

 

Yayuk Afiyanah

Universitas Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: [email protected]m

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

20 Oktober 2020

Diterima dalam bentuk revisi

17 November 2020

Diterima dalam bentuk revisi

Perkawinan merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling utama dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dari apa yang diharamkan Allah. Para penyandang disabilitas sebagai manusia normal yang juga dikaruniai hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat wajar. Namun, dengan kekurangan mereka dikhawatirkan mereka akan sulit menjalankan kehidupan bahtera kehidupan rumah tangganya. Oleh karena itu bagaimana status hukum perkawinan bagi penyandang disabilitas mental dapat diakui sah secara hokum atau tidak?. Inilah permsalahan yang perlu ada kepastian hukumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : Hukum Perkawinan Bagi penyandang Disabilitas mental menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Hasil penelitian ini bahwa secara hukum perkawinan bagi penyandang difabel mental tetap sah dalam segi rukun dan tidak ada kerusakan atau harus adanya pembatalan dalam segi syarat perkawinan. Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mentamenjawab kebutuhan kehidupan kontemporer seperti HAM, gender, lingkungan, demokrasi dan lain-lain.

Kata kunci:

Hukum Perkawinan; Penyandang Disabilitas dan Disabilitas Mental

 

 

 

Pendahuluan

Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) tercantum rumusan pengertian tentang perkawinan yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor I). Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tujuan perkawinan tersebut maka kematangan fisik dan mental calon mempelai menjadi faktor yang penting. Tanpa adanya kematangan fisik dan mental hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan akan sulit dipenuhi.

Sejalan dengan hal itu, UUP menganut prinsip bahwa calon suami dituntut memiliki kedewasaan/kematangan jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Tujuannya adalah agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.

Pada kenyataannya, antara tuntutan idealitas dan realitas seringkali tidak berjalan beriringan. Para penyandang cacat mental sebagai manusia normal yang juga dikaruniai hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Hal ini menjadi sesuatu yang alamiah. Namun, dengan tingkat kecerdasan mereka yang kurang atau di bawah normal para penyandang cacat dikhawatirkan tidak dapat mengendalikan emosi atau tidak dapat bersikap dewasa dalam menghadapi suatu masalah. Di samping itu juga dikhawatirkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah keluarga. Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam keluarga dan beban bagi orangtuanya.

Agama Islam tidak menyatakan kematangan mental sebagai salah satu syarat ataupun rukun nikah. Islam hanya mengemukakan bahwa lembaga perkawinan merupakan suatu institusi suci yang memiliki hikmah menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Meskipun demikian lembaga perkawinan dalam membina generasi yang akan datang dari setiap keluarga, terkandung suatu anjuran supaya siapa saja yang memasuki kehidupan rumah tangga hendaknya telah memiliki kematangan, baik fisik maupun mental (Kamal Mukhtar, 2004). Undang-undang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan akil (berakal) sebagai syarat sahnya perkawinan. Namun secara implisit adanya batas usia minimal bagi kedua calon mempelai merupakan jawaban tentang pentingnya akil sebagai syarat calon mempelai (Kamal Mukhtar, 2004).

Para penyandang cacat mental, baik yang ada di kelembagaan maupun di luar, memiliki hak-hak mendasar yang harus diawasi dan dilindungi. Hak-hak dasar itu meliputi hak kriminal dan sipil. Pada hak sipil meliputi kemampuan untuk membuat kontrak kerja dan menikah. Kemungkinan para penyandang cacat mental untuk menikah tetap ada. Pernikahan sebagai hubungan yang stabil antara dua individu jelas menguntungkan bagi orang-orang dewasa yang cacat. Pada kebanyakan kasus, pernikahan berlangsung antar penyandang cacat intelektual. Pasangan seperti ini seringkali berbagi pandangan yang sama mengenai kehidupan. Pernikahan antara individu penyandang cacat intelektual dengan orang normal juga dapat terjadi. Seandainya saja hal ini merupakan hubungan yang penuh kasih dan bukan didasarkan pada rasa kasihan atau eksploitasi, ada peluang yang baik bahwa perkawinan tersebut dapat berhasil.

Dalam perkawinan penyandang cacat mental, perkawinan bukan semata-mata guna pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan yang utama adalah pemenuhan manusia akan kebutuhan afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai, diperhatikan dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan kebutuhan materi, tidak menjadi landasan utama untuk mencapai kebahagiaan.

Ditinjau dari segi kesehatan jiwa, suami/istri yang terikat dalam suatu perkawinan tidak akan mendapat kebahagiaan, manakala perkawinan itu hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata tanpa terpenuhinya kebutuhan afeksional (kasih sayang). Faktor afeksional yang merupakan pilar utama bagi stabilitas suatu perkawinan/rumah tangga (Hawari, 2004).

Perkawinan sebagai suatu akad yang menghalalkan hubungan intim antara seorang laki-laki dengan perempuan, menunjukan fungsi perkawinan yang paling mendasar yaitu sebagai lembaga preventif bagi terjadinya hal-hal yang dilarang agama, yaitu perbuatan zina dan kefasikan. Melalui perkawinan inilah diharapkan fitrah manusia bisa terpelihara dengan baik, sebab perkawinan mengatur hubungan seks antara perempuan dan laki-laki dengan ikatan yang sah.

Disabilitas merupakan salah satu isu kemanusiaan di Indonesia. Stigma negatif terhadap penyandang disabilitas yang masih melekat di masyarakat Indonesia menjadi suatu permasalahan tersendiri. Diantara jenis disabilitas yang beragam, orang dengan hambatan mental dianggap sebagai kelompok yang kurang diterima di masyarakat. Hal itu disebabkan asumsi yang terlanjur melekat bahwa mereka tidak mampu mengendalikan hasrat, emosi, dan minimnya kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain (Selway & Ashman, 1998). Shelway dan Ashman mencatat bahwa mayoritas di dalam komunitas, orang dengan HIV/AIDS, disabilitas mental, sakit jiwa, dan cerebal palsy adalah kelompok yang jarang diterima di masyarakat.

Data menunjukkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini menacapai angka 12 persen sebagaimana survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (Republika, 2019). Jumlah penyandang disabilitas yang cukup besar itu tentunya memerlukan perlakuan dan kebijakan khusus dari pemerintah untuk memenuhi hak mereka sebagai warga negara dan melindungi mereka dari segala bentuk diskriminasi.

Sekalipun jumlah penyandang disabilitas demikian besar, perhatian publik Indonesia terhadap mereka masih tergolong rendah. Tak sedikit para penyandang disabilitas yang mengalami perlakuan dikriminatif, mulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat. Keterbatasan fisik dan mental mereka kerap dianggap sebagai �kutukan�. Jika pun mulai muncul kesadaran dari sebagian orang tentang pentingnya memperhatikan penyandang disabilitas, maka itu tak lebih dari sekadar wacana. Dimana-mana penyandang disabilitas masih dianggap sebagai subyek yang merepotkan.

Terlepas dari bagaimana kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Dalam Deklarasi Hak Penyandang Cacat yang dicetuskan oleh Majelis Umum PBB disebutkan bahwa berperan aktif dalam sebuah keluarga merupakan salah satu dari hak mereka (Majelis Umum PBB, 2017). Di Indonesia hak-hak mereka dilindungi dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya inilah yang lazim disebut sebagai sebuah perkawinan.

Perkawinan merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling utama dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dari apa yang diharamkan Allah. Itulah sebabnya Rasulullah Saw mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.

Di dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) tercantum rumusan pengertian tentang perkawinan yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma�il al-Bukhari, 1994). Begitupun halnya pada Undang-undang no.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitaspada pasal 8 bagian keempat disebutkan bahwa: hak priviasi untuk penyandang disabilitas diantaranya memiliki hak untuk membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.��������

Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tujuan perkawinan tersebut maka kematangan fisik dan mental calon mempelai menjadi satu faktor yang penting. Tanpa adanya kematangan fisik dan mental hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan akan sulit dipenuhi.

Sejalan dengan hal itu, UUP menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Tujuannya adalah agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.

Dalam kenyataannya, antara tuntutan idealitas dan realitas seringkali tidak berjalan beriringan. Para penyandang disabilitas sebagai manusia normal yang juga dikaruniai hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat wajar. Namun, dengan kekurangan mereka dikhawatirkan mereka akan sulit menjalankan kehidupan bahtera kehidupan rumah tangganya. Di samping itu juga mereka dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah keluarga nanti. Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam keluarga dan dapat menimbulkan beban bagi orangtuanya.

Melihat adanya keinginan dalam diri penyandang cacat mental untuk menikah yang didorong oleh perkembangan seksual yang telah matang, juga permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam perkawinan penyandang cacat mental, maka penyusun tertarik untuk membahasnya lebih lanjut dengan melihat pada maslahat dan madaratnya bagi mempelai maupun masyarakat sekitarnya, juga dengan melihat dari segi hukum Islam dan hukum positif. Dengan melihat bahwa penderita cacat mental sendiri tidak dapat mengurus kepentingan dan kebutuhan mereka, dan dengan alasan-alasan di atas, tentunya perlu dikaji kembali bagaimana fenomena pernikahan orang yang menderita keterbelakangan mental.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan.

Jenis data pada penelitian ini mempergunakan data �kualitatif�, maka secara otomatis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan data secara kuantitatif (Moleong, 2013).

Robert J Bogdan dan Steven J Taylor menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian-penelitian yang menghasilkan data deskripif, berupa kata-kata/lisan dari orang-orang dan perilaku yang teramati. Pendekatan ini melihat keseluruhan latar belakang subjek penelitian holistik (menyeluruh) (Bogdan & Taylor, 1992).

 

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A.  Hukum Perkawinan bagi Penyandang Disabilitas Mental menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016

Untuk menjawab permasalahan diatas perlu ditinjau landasan historis pembentukan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan relevansinya dengan kondisi masyarakat setelah diberlakukannya undang-undang ini.

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan lahir, umat Islam di Indonesia menggunakan hukum Islam sebagai pedoman hukum perkawinannya. Hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat mendapatkan pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR), khususnya pasal 163, yang membedakan tiga golongan penduduk, yaitu : a) Golongan Eropa (termasuk Jepang); b) Golongan pribumi (orang Indonesia asli) dan; c) Golongan Timur Asing. Menurut ISR, bagi golongan pribumi yang beragama Islam berlaku hukum adatnya (SH, 2010).

Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum dalam ISR, kaum perempuan merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981) sejak Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928, diadakan forum yang membahas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam, seperti perkawinan paksa, perkawinan anak di bawah umur, poligami dan talak yang sewenang-wenang. Berdasarkan hal-hal tersebut, kaum perempuan mendesak untuk dibentuknya suatu perundang- undangan yang dapat melindungi kaum perempuan dalam perkawinan, yang hak-hak dan kewajibannya tidak diatur dalam hukum tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam tercantum dalam kitab-kitab fikih, sementara menurut sistem hukum yang berlaku, hal tersebut tidak dapat digolongkan kedalam kategori �hukum tertulis� karena tidak tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (Muhammad Daud Ali, 2017).

Hukum tertulis yang dimaksud jelas hukum positif yang dapat diberlakukan dan diterapkan secara pasti, terutama bagi hakim yang menyelesaikan perkara, juga sebagai pedoman masyarakat luas dalam melakukan tindakan hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran hak orang lain dapat dilakukan tindakan hukum yang sifatnya mengikat secara pasti.

Setelah Indonesia merdeka, langkah perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain mengeluarkan Undang-undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (NTR) pada tahun 1946. Disusul dengan Peraturan Mentri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, tuntutan untuk perbaikan belumlah terpenuhi, karena undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut hanya terkait dengan masalah formal belaka. Hukum materilnya, yaitu undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri belum ada.

Pada akhir tahun 1950, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu, berbagai organisasi terus menerus mendesak Pemerintah dan DPR agar secepat mungkin merampungkan penggarapan Rancangan Undang-undang (RUU) hukum perkawinan untuk segera diundangkan. Usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, dan DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.

Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Menurut (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981), pada rentang waktu tahun 1972-1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut. Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar PP ISWI memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan.

Selain itu, Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya, organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.

Akhirnya setelah bekerja keras, tanggal 31 Juli 1973 pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. RUU ini mempunyai tiga tujuan, yaitu (a) memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang maka perkawinan hanya bersifat judge made law, (b) untuk melindungi hak-hak kaum perempuan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum perempuan serta (c) menciptakan undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, setelah mendapat persetujuan dari DPR, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 10974 dalam Lembaran Negara Nomor 1 tahun 1974. Pada tanggal 1April 1975, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang memuat peraturan pelaksanaan UU Perkawinan tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 1975, UU No.1 tahun 1974 sudah dapat berjalan dengan efektif (Undang-undang No. 1 tahun 1974 ).

Disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memang menjadi angin segar dan oase di tengah gurun protes beberapa organisasi besar terhadap pemerintah, khususnya aktivis perempuan Indonesia dari kalangan muslim, yang merasa hak-haknya terkebiri oleh pemahaman konvensional tentang peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta pemahaman fikih klasik yang cenderung patriarkhis. Reaksi atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan (Nasution, 2004) di kalangan umat muslim seperti perkawinan di bawah umur, kawin paksa, talak serampangan (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981) dan sebagainya, mendapatkan tanggapan positif dari pemegang kebijakan pada waktu itu dengan lahirnya undang- undang tersebut.

Sudah hampir setengah abad UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hanya ada beberapa perundang-undangan dan peraturan yang dikeluarkan setelah itu, seperti UU No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang keduanya hanya merupakan catatan kaki dan pelengkap dari UU No. 1 Tahun 1974.

Jika ditelaah pasal demi pasal, di dalam UU No. 1 tahun 1974 tersebut ditemukan beberapa pasal yang perlu mendapat perhatian dan dikritisi, kaitannya dengan jaminan terhadap semua unsur yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga, terutama kaum perempuan dan kam disabilitas mental, sejauh ini undang-undang tentang perkawinan tidak mengatur secara jelas terkait prosedur pernikahan bagi penyandang disabilitas khususnya disailitas mental. Jika dikontekstualisasikan dan dilihat relevansinya dengan isu-isu gobal yang beredar dan kebutuhan umat muslim akan peraturan yang mengakomodasi dan tidak mengekang kebutuhan umat. Demikian juga jika ditinjau dari aspek historis dibuatnya undang-undang ini.

Bahkan Mengenai sektor kesejahteraan sosial, perhatian khusus diberikan dalam hal perkawinan dimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan dalam hal pasangan menyandang cacat sehingga tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam perkawinan. Oleh karena itu UU dan PP ini dapat dikatakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas

Setelah melihat fenomena diatas, betapa tingginya angka penyandang difabel sehingga fokus katagori difabel mental menjadi perhatian khususnya bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Penyandang difabel mental harus disamaratakan mengenai hak-haknya sebagai warga negara yang sah. Persamaan hak dalam kesehatan, sipil, politik, dan persamaan hak dalam hukum.

Karena perbedaan sebuah anugrah sang pencipta alam, Allah menilai mahluknya semuanya sama rata. Tak ada perbedaan dan tak dibedakan. Hanya ketakwaannya yang dapat membedakan manusia dalam pandangan Allah.

Tuhan menciptakan manusia dalam sebuah lingkaran besar yang memiliki bagian-bagian kecil yang menyusunya yang berwarna-warni. Menyuruh untuk saling mengenal dan saling memahami. Dalam hal ini manusia diciptakan dalam bentuk rupa yang berbeda-beda, seperti firman Allah dalam al-Qur�an surat al-Hujurat ayat 13:

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujurat ayat 14).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa nilai seorang manusia di �mata� Allah tergantung dengan ketakwaan yang ada di dalam dirinya. Artinya, manusia tidak dipandang secara fisik, namun apa yang telah mereka lakukan dalam menggapai ridha Allah SWT. Ketakwaan menurut para ulama adalah seberapa besar ia menyerahkan dirinya untuk mengikuti perintah dan larangan-larangan Allah karena takut kepada zat-Nya, mencintai segenap apa yang ada pada diri-Nya (Umar Sulaiman �Abd Allah al-Asyqar, 2012). Dimana negara sebagai wakil Tuhan harus bisa bebrbuat bijak dan adil. Ini yang harus terus diupayakan.

Parameter keadilan Tuhan adalah: al-Mauzun, at-Tasawa wa �adam at-Tarjih, dan Ri�ayat al-Huquq. Yang pertama dapat diartikan sebagai keseimbangan antar komponen makhluk, kemudian yang kedua adalah persamaan kedudukan tanpa melihat keunggulan fisik yang dimiliki, kemudian yang ketiga adalah saling menjaga hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang, dan memberikannya sesuai proporsi yang dia miliki.

Dalam kenyataannya bagi penyandang difabel masih terjadi diskriminasi, perbedaan, dan terlantarkan. Bagi penyandang difabel mental dalam perkawinan yang hubungannya dengan keluarga menjadi beberapa problem tersendiri dalam menentukan sebuah hukum. Seperti alasan halnya difabel (cacat) menjadi alasan perceraian dan poligami, dengan anggapan penyandang difabel tidak bisa memenuhi kewajibannya ketika status perkawinan. Alasan ini tidak lepas dari adanya perlindungan hukum. Mengenai hukum perkawinan yang berkaitan dengan penyandang difabel seperti yang sudah tercatat di Bab II. Padahal kalau kita melihat dari arti difabel itu sendiri ialah differently abled yaitu memiliki kemampuan yang berbeda.

Sebelum melihat kewajiban bagi penyandang difabel dikenai hukum taklifi atau tidak, penulis harus melihat status hukum perkawinan penyandang difabel mental tersebut sah dan tidak atau batalnya. Seperti yang sudah dibahas dalam pembahasan Bab II, bahwa syarat dan rukun perkawinan baik dalam perkawinan maupun dalam undang-undang tidak menyebutkan baik syarat atau rukun harus berakal atau sehat mentalnya.

Syekh Syamsudin Muhammad dalam Kitab Iqna�ada lima rukun perkawinan pertama (Syekh Syamsudin Muhammad, 2003), (shigot) Ijab Qobul kedua, Calon istri menenai syarat menjadi calon istri adalah calaon yang halal dinikahi oleh calon mempelai pria, sepi dari nikah (artinya tidak sedang menjadi istri orang lain), tidak sedang masa idah. Baik haram sepersusuan, atau persaudaraan.

Tidak sedang melaksanakan ihrom haji, ketiga, Calon suami mengenai syarat menjadi calon pengantin pria adalah syartnya halal menikahi calon istri, mengetahui akan halalnya calon istiri baginya, tertentu, tidak diperbolehkan menikahi wanita semahram (mahram sesusuan atau sepersaudaraan. Serta tidak sedang melaksanakan ihrom haji, keempat. Wali. Kelima, Dua orang saksi.

Adapun dalam undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa syarat pasal 6 mempelai wanita adalah Pertama, Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Kedua, Untuk melangsungkan pernikahan seseorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.

Bagi penyandang difabel mental secara hukum perkawinan tetap sah dalam segi rukun dan tidak ada kerusakan atau harus adanya pembatalan dalam segi syarat perkawinan. Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mental.

 

 

B.  Evaluasi Dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait

No.

Peraturan Perundang-

Undangan

Pengaturan terkait Penyandang Disabilitas

1

Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia

Pasal 27, Pasal 28, Bab XA, Bab XI, Pasal 30

ayat (1), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34

2

UU��������� No.�������� 1������� Tahun����������� 1974 tentang Perkawinan

-        perceraian dapat dilakukan dalam hal pasangan menyandang cacat ;

-        hak����������������������� yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat.

3

Undang-Undang Nomor�������� 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

�                      terminologi penyandang cacat dan perlakuan berdasarkan belas kasihan;

�               pelaksanaan aksesabilitas dan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang cacat; implementasi perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak penyandang cacat dalam seluruh bidang kehidupan; ketentuan larangan dan pengenaan sanksi administratif serta pidana yang tidak

maksimal.

4

UU������ No.������� 39������� Tahun���������� 1999

tentang Hak Asasi Manusia

pengakuan kesetaraan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas

5

UU������ No.������� 28������� Tahun���������� 2002

tentang Bangunan Gedung

wajib aksesibilitas kecuali perumahan

6

UU 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

perlindungan sesuai kecacatan, persamaan hak, dan pelatihan kerja

7

Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

hak untuk berpartisipasi dalam politik dan pembuatan hukum

8

Undang-Undang Nomor 42

tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

hak untuk berpartisipasi dalam politik dan pembuatan hukum

9

UU������ No.������� 11������� Tahun���������� 2009

tentang Kesejahteraan Sosial

rehabilitasi, bantuan������� sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan

10

UU No. 28 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

SIM D dan penyediaan aksesibilitas dalam transportasi umum; perlakuan����� yang sama untuk������ berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;

11

UU������ No.������� 36������� Tahun���������� 2009

tentang Kesehatan

hak atas penyediaan fasilitas kesehatan dan

kewajiban pemerintah

12

Undang-Undang Nomor� �19

Tahun 2011 tentang Ratifikasi International Convention On the Rights Of Persons���� with��� �Disabilities

(CRPD)

bentuk pengakuan����������� negara��� atas������������ hak penyandang disabilitas

13

Undang�Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan����������������������� Perwakilan

Rakyat Daerah

hak untuk berpartisipasi dalam politik dan pembuatan hukum

 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang� Penyandang� Cacat� disusun dan diterbitkan pada saat minimnya referensi tentang perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, baik secara nasional, regional, maupun global, sehingga secara substantif materi muatan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 cenderung memiliki pemahaman tentang penyandang disabilitas yang terbatas. Akibatnya, dengan perkembangan waktu, undang-undang ini tidak mampu lagi untuk memberikan perlindungan secara maksimal hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dari beberapa kenyataan, di antaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 sangat minim memuat pengarusutamaan dan penghargaan� terhadap� hak� asasi� para penyandang disabilitas sebagai bagian� dari� warga� negara� pada umumnya. Materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 juga sebagian besar tidak sesuai lagi dengan semakin kompleksnya kebutuhan perlindungan hak penyandang disabilitas.

Masalah lain yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 bahwa penyusun Undang�undang tersebut memandang para penyandang disabilitas bukanlah sebagai subjek manusia yang utuh namun justru memposisikan mereka sebagai sebuah objek yang memiliki kekurangan atau kelainan secara fisik dan mental, yang menyebabkan penyandang disabilitas tidak dapat melakukan aktivitas atau kegiatan secara layak. Disabilitas yang disandang seseorang dipandang akan menjadi penghambat sehingga penyandang disabilitas dinilai tidak dapat melakukan aktivitas atau kegiatan secara layaknya sehingga membutuhkan proses rehabilitasi.

Pandangan terhadap penyandang disabilitas yang bersifat charity based ini terlihat dari materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang lebih menitikberatkan kepada upaya-upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hak penyandang disabilitas pada upaya rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Setelah 16 tahun penerbitan undang-undang tentang penyandang disabilitas tersebut, Indonesia telah pula menetapkan berbagai regulasi yang berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas yang pengaturannya dapat melengkapi dan menyempurnakan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997, �diantaranya Perubahan UUD 1945, pengesahan berbagai konvensi internasional, kesepakatan negara�Negara di tingkat regional, dan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan pemenuhan hak- hak penyandang disabilitas. Beberapa pasal dalam perubahan UUD 45, yakni Pasal 28H ayat (2) menyatakan : �Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan�, sedangkan Pasal 28I ayat 2 menyatakan: �Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu�. Di samping itu, beberapa undang-undang sektoral telah pula memuat pengaturan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang� Hak� Asasi Manusia, dan beberapa konvensi yang telah disahkan dan memuat pengaturan yang berlaku untuk penyandang disabilitas, misalnya Konvenan Internasional tentang hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005), dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005).

Alasan lain pentingnya penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 adalah bahwa Indonesia telah mengesahkan Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD) dan diterbitkannya Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Konvensi ini berisi pengaturan perlindungan hak- hak penyandang disabilitas yang lebih luas, lengkap, dan rinci yang dapat dijadikan referensi�referensi bagi penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Pada akhirnya penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 diharapkan akan menghasilkan undang-undang yang menjadi landasan hukum yang kuat bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di segala bidang secara menyeluruh dan terintegrasi.

 

Kesimpulan

Bagi penyandang difabel mental secara hukum perkawinan tetap sah dalam segi rukun dan tidak ada kerusakan atau harus adanya pembatalan dalam segi syarat perkawinan. Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mental. UU Perkawinan di Indonesia tidak mengatur masalah perkawinan penyandang cacat mental secara khusus. Dalam salah satu pasalnya hanya disebutkan sebagai �di bawah pengampuan yang dapat mengakibatkan kesengsaraan�. Perkawinan yang seperti ini dapat dilakukan pencegahan oleh calon mempelai, keluarga atau orang yang berkepentingan lainnya. Dengan demikian, dengan adanya kesukarelaan dari kedua belah pihak yang berkepentingan, perkawinan penyandang cacat mental ini dapat dilakukan. Dalam salah satu prinsipnya, diharapkan adanya kematangan mental dari kedua calon mempelai. Namun karena adanya hambatan intelegensi pada penyandang cacat mental sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencapai kematangan mental sebagaimana orang normal lainnya maka diberikan dispensasi bagi mereka. Meski demikian, melihat karakter dari tipe-tipe cacat mental maka perkawinan hanya diperbolehkan bagi mereka yang berada pada tipe ringan atau mamapu didik.

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAPI

 

Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma�il al-Bukhari. (1994). Sahih al-Bukhari, an-Nikah. Beirut: Dar al-Fikr.

 

Bogdan, Robert, & Taylor, Steven. (1992). Pengantar Metode Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

 

Hawari, Dadang. (2004). Al-Qur�an Ilmu kedokteran dan kesehatan jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

 

Kamal Mukhtar. (2004). Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Majelis Umum PBB. (2017). Deklarasi Hak Penyandang Cacat tertanggal 9 Desember 1975. New York: resolusi 3447 (XXX).

 

Moleong, Lexy J. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mosal.

 

Muhammad Daud Ali. (2017). Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Nasution, Khoiruddin. (2004). Islam tentang relasi suami dan isteri (hukum perkawinan I): dilengkapi perbandingan UU negara Muslim. ACAdeMIA.

 

Republika. (2019). Penyandang Disabilitas. Retrieved from http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ruf384-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas. Retrieved from http://www.republika.co.id

 

Selway, Deborah, & Ashman, Adrian F. (1998). Disability, religion and health: A literature review in search of the spiritual dimensions of disability. Disability & Society, 13(3), 429�439.

 

SH, H. A. Basiq Djalil. (2010). Peradilan Agama di Indonesia. Prenada Media.

 

Sosroatmodjo, H. Arso, & Aulawi, A. Wasit. (1981). Hukum Perkawinan di Indonesia. Bulan Bintang.

 

Syekh Syamsudin Muhammad. (2003). Iqna�. Beurt: Dar Al- kotob.

 

Umar Sulaiman �Abd Allah al-Asyqar. (2012). At-Taqwa: Ta�rifuha wa Fadhluha wa Makhdzuratuha wa Qasas min Ahwaliha. Pakistan:: Dar an-Nafa�is, Cet I.