Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 1 No. 7 November 2020 |
p-ISSN :
2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
HUKUM
PERKAWINAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS MENTAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN
1974 DAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 2016
Yayuk Afiyanah
Universitas Sunan
Gunung Djati Bandung,
Indonesia
Email: [email protected]m
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima
20 Oktober 2020 Diterima
dalam bentuk revisi 17
November 2020 Diterima
dalam bentuk revisi |
Perkawinan merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling utama dalam upaya merealisasikan
dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dari apa yang diharamkan Allah. Para penyandang
disabilitas sebagai manusia normal yang juga dikaruniai
hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat wajar. Namun, dengan kekurangan mereka dikhawatirkan mereka akan sulit menjalankan
kehidupan bahtera kehidupan rumah tangganya. Oleh karena itu bagaimana status hukum perkawinan bagi penyandang disabilitas mental dapat diakui sah secara
hokum atau tidak?. Inilah permsalahan
yang perlu ada kepastian hukumnya. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis :
Hukum Perkawinan Bagi penyandang Disabilitas mental menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang
No. 8 Tahun 2016. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu
penelitian yang mengumpulkan
data dan informasi dengan
bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Hasil penelitian ini bahwa secara hukum perkawinan bagi penyandang difabel mental tetap sah dalam segi
rukun dan tidak ada kerusakan atau harus adanya
pembatalan dalam segi syarat perkawinan.
Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai
pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mentamenjawab
kebutuhan kehidupan kontemporer seperti HAM,
gender, lingkungan, demokrasi
dan lain-lain. |
Kata kunci: Hukum
Perkawinan; Penyandang
Disabilitas dan Disabilitas
Mental |
Pendahuluan
Pasal
1 Undang-undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) tercantum rumusan pengertian tentang perkawinan yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor I). Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tujuan perkawinan tersebut maka kematangan fisik dan mental calon mempelai menjadi faktor yang penting. Tanpa adanya kematangan
fisik dan mental hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan
akan sulit dipenuhi.
Sejalan
dengan hal itu, UUP menganut prinsip bahwa calon
suami dituntut memiliki kedewasaan/kematangan jiwa dan raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Tujuannya adalah agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir dengan perceraian.
Pada kenyataannya,
antara tuntutan idealitas dan realitas seringkali tidak berjalan beriringan. Para penyandang cacat mental sebagai manusia normal yang juga dikaruniai hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan
perkawinan. Hal ini menjadi sesuatu yang alamiah. Namun, dengan tingkat kecerdasan mereka yang kurang atau di bawah normal para penyandang cacat dikhawatirkan tidak dapat mengendalikan
emosi atau tidak dapat bersikap
dewasa dalam menghadapi suatu masalah. Di samping itu juga dikhawatirkan mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan nafkah keluarga. Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam keluarga
dan beban bagi orangtuanya.
Agama Islam tidak
menyatakan kematangan
mental sebagai salah satu syarat ataupun rukun nikah. Islam hanya mengemukakan bahwa lembaga perkawinan merupakan suatu institusi suci yang memiliki hikmah menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Meskipun demikian lembaga perkawinan dalam membina generasi yang akan datang dari
setiap keluarga, terkandung suatu anjuran supaya siapa saja yang memasuki kehidupan rumah tangga hendaknya
telah memiliki kematangan, baik fisik maupun mental (Kamal Mukhtar, 2004).
Undang-undang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI)
juga tidak disebutkan akil (berakal) sebagai syarat sahnya perkawinan. Namun secara implisit
adanya batas usia minimal bagi kedua calon mempelai
merupakan jawaban tentang pentingnya akil sebagai syarat
calon mempelai (Kamal Mukhtar, 2004).
Para penyandang
cacat mental, baik yang ada di kelembagaan maupun di luar, memiliki hak-hak mendasar yang harus diawasi dan dilindungi. Hak-hak dasar itu
meliputi hak kriminal dan sipil. Pada hak sipil meliputi
kemampuan untuk membuat kontrak kerja dan menikah. Kemungkinan para penyandang cacat mental untuk menikah tetap ada.
Pernikahan sebagai hubungan yang stabil antara dua individu
jelas menguntungkan bagi orang-orang dewasa yang cacat. Pada kebanyakan kasus, pernikahan berlangsung antar penyandang cacat intelektual. Pasangan seperti ini seringkali
berbagi pandangan yang sama mengenai kehidupan.
Pernikahan antara individu penyandang cacat intelektual dengan orang normal juga dapat terjadi. Seandainya saja hal ini
merupakan hubungan yang penuh kasih dan bukan didasarkan pada rasa kasihan atau eksploitasi,
ada peluang yang baik bahwa perkawinan
tersebut dapat berhasil.
Dalam
perkawinan penyandang cacat mental, perkawinan bukan semata-mata guna pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan yang utama adalah pemenuhan manusia akan kebutuhan
afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai, diperhatikan dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan kebutuhan materi, tidak menjadi
landasan utama untuk mencapai kebahagiaan.
Ditinjau
dari segi kesehatan jiwa, suami/istri yang terikat dalam suatu
perkawinan tidak akan mendapat kebahagiaan,
manakala perkawinan itu hanya berdasarkan
pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata tanpa terpenuhinya
kebutuhan afeksional (kasih sayang). Faktor afeksional yang merupakan pilar utama bagi stabilitas suatu perkawinan/rumah tangga (Hawari, 2004).
Perkawinan
sebagai suatu akad yang menghalalkan hubungan intim antara seorang laki-laki dengan perempuan, menunjukan fungsi perkawinan yang paling mendasar yaitu sebagai lembaga preventif bagi terjadinya hal-hal yang dilarang agama, yaitu perbuatan zina dan kefasikan. Melalui perkawinan inilah diharapkan fitrah manusia bisa terpelihara dengan baik, sebab
perkawinan mengatur hubungan seks antara
perempuan dan laki-laki dengan ikatan yang sah.
Disabilitas merupakan
salah satu isu kemanusiaan di Indonesia. Stigma negatif
terhadap penyandang disabilitas yang masih melekat di masyarakat Indonesia menjadi suatu permasalahan
tersendiri. Diantara jenis disabilitas yang beragam, orang dengan hambatan mental dianggap sebagai kelompok yang kurang diterima di masyarakat. Hal itu disebabkan asumsi yang terlanjur melekat bahwa mereka tidak
mampu mengendalikan hasrat, emosi, dan minimnya kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain (Selway
& Ashman, 1998). Shelway
dan Ashman mencatat bahwa mayoritas di dalam komunitas, orang dengan HIV/AIDS,
disabilitas mental, sakit jiwa, dan cerebal palsy
adalah kelompok yang jarang diterima di masyarakat.
Data menunjukkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini menacapai
angka 12 persen sebagaimana survey yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (Republika,
2019). Jumlah
penyandang disabilitas yang
cukup besar itu tentunya memerlukan
perlakuan dan kebijakan khusus dari pemerintah
untuk memenuhi hak mereka sebagai
warga negara dan melindungi
mereka dari segala bentuk diskriminasi.
Sekalipun
jumlah penyandang disabilitas demikian besar, perhatian publik Indonesia terhadap mereka masih tergolong
rendah. Tak sedikit para penyandang disabilitas yang mengalami perlakuan dikriminatif, mulai dari lingkungan
keluarga hingga masyarakat. Keterbatasan fisik dan mental mereka kerap dianggap sebagai �kutukan�. Jika
pun mulai muncul kesadaran dari sebagian orang tentang pentingnya memperhatikan penyandang disabilitas, maka itu tak
lebih dari sekadar wacana. Dimana-mana penyandang disabilitas masih dianggap sebagai subyek yang merepotkan.
Terlepas
dari bagaimana kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang mengalami keterbelakangan mental.
Dalam Deklarasi Hak Penyandang Cacat yang dicetuskan oleh Majelis Umum PBB disebutkan bahwa berperan aktif dalam sebuah keluarga
merupakan salah satu dari hak mereka (Majelis Umum PBB, 2017).
Di Indonesia hak-hak mereka
dilindungi dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Manusia
dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat tidak dapat terlepas
dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan
manusia lainnya. Hidup bersama merupakan
salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan
yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki
ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu
maka ia tidak
akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin
memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati penyejuk
jiwa, tempat berbagi suka dan duka. Hidup bersama
antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya inilah yang lazim disebut sebagai sebuah perkawinan.
Perkawinan
merupakan jalan yang paling
bermanfaat dan paling utama
dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dari apa
yang diharamkan Allah. Itulah
sebabnya Rasulullah Saw mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Di dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) tercantum rumusan pengertian tentang perkawinan yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma�il al-Bukhari, 1994).
Begitupun halnya pada Undang-undang no.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitaspada pasal 8 bagian keempat disebutkan bahwa: hak priviasi untuk
penyandang disabilitas diantaranya memiliki hak untuk membentuk
sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.��������
Untuk
dapat mewujudkan fungsi dan tujuan perkawinan tersebut maka kematangan fisik dan mental calon mempelai menjadi satu faktor yang penting. Tanpa adanya kematangan fisik dan mental hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan
akan sulit dipenuhi.
Sejalan
dengan hal itu, UUP menganut prinsip bahwa calon
suami itu harus telah masak
jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan. Tujuannya adalah agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
dengan perceraian.
Dalam
kenyataannya, antara tuntutan idealitas dan realitas seringkali tidak berjalan beriringan. Para penyandang disabilitas sebagai manusia normal yang juga dikaruniai
hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan.
Hal ini menjadi sesuatu yang sangat wajar. Namun, dengan
kekurangan mereka dikhawatirkan mereka akan sulit menjalankan
kehidupan bahtera kehidupan rumah tangganya. Di samping itu juga mereka dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah keluarga nanti. Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam keluarga
dan dapat menimbulkan beban bagi orangtuanya.
Melihat
adanya keinginan dalam diri penyandang
cacat mental untuk menikah yang didorong oleh perkembangan seksual yang telah matang, juga permasalahan-permasalahan yang mungkin
timbul dalam perkawinan penyandang cacat mental, maka penyusun tertarik untuk membahasnya lebih lanjut dengan
melihat pada maslahat dan madaratnya bagi mempelai maupun masyarakat sekitarnya, juga dengan melihat dari segi hukum
Islam dan hukum positif. Dengan melihat bahwa penderita cacat mental sendiri tidak dapat mengurus
kepentingan dan kebutuhan mereka, dan dengan alasan-alasan di atas, tentunya perlu dikaji kembali bagaimana fenomena pernikahan orang yang menderita keterbelakangan mental.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
mempergunakan metode penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan
bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan.
Jenis data pada
penelitian ini mempergunakan data �kualitatif�, maka secara otomatis penelitian
ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan
perhitungan data secara kuantitatif (Moleong, 2013).
Robert J Bogdan dan
Steven J Taylor menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian-penelitian yang menghasilkan data deskripif, berupa kata-kata/lisan
dari orang-orang dan perilaku yang teramati. Pendekatan ini melihat keseluruhan
latar belakang subjek penelitian holistik (menyeluruh) (Bogdan & Taylor, 1992).
Hasil Penelitian
dan Pembahasan
A.
Hukum Perkawinan bagi
Penyandang Disabilitas
Mental menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang
No. 8 Tahun 2016
Untuk menjawab permasalahan diatas perlu ditinjau
landasan historis pembentukan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan relevansinya dengan kondisi masyarakat setelah diberlakukannya undang-undang ini.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan lahir, umat Islam di Indonesia menggunakan
hukum Islam sebagai pedoman hukum perkawinannya.
Hukum Islam yang telah diresepsi
ke dalam hukum adat mendapatkan
pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR), khususnya pasal 163, yang membedakan tiga golongan penduduk,
yaitu :
a) Golongan Eropa (termasuk Jepang); b) Golongan pribumi (orang Indonesia
asli) dan; c) Golongan
Timur Asing. Menurut ISR, bagi golongan pribumi
yang beragama Islam berlaku
hukum adatnya (SH, 2010).
Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau
konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum dalam ISR, kaum perempuan merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981)
sejak Kongres Perempuan
Indonesia pada tahun 1928, diadakan
forum yang membahas permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam, seperti perkawinan paksa, perkawinan anak di bawah umur, poligami
dan talak yang sewenang-wenang. Berdasarkan
hal-hal tersebut, kaum perempuan mendesak untuk dibentuknya suatu perundang- undangan yang dapat melindungi kaum perempuan dalam perkawinan, yang hak-hak dan kewajibannya tidak diatur dalam
hukum tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli
yang beragama Islam tercantum
dalam kitab-kitab fikih, sementara menurut sistem hukum yang berlaku, hal tersebut
tidak dapat digolongkan kedalam kategori �hukum tertulis� karena tidak tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (Muhammad Daud Ali, 2017).
Hukum
tertulis yang dimaksud jelas hukum positif
yang dapat diberlakukan dan
diterapkan secara pasti, terutama bagi hakim yang menyelesaikan perkara, juga sebagai pedoman masyarakat luas dalam melakukan
tindakan hukum, sehingga jika terjadi
pelanggaran hak orang lain dapat dilakukan tindakan hukum yang sifatnya mengikat secara pasti.
Setelah
Indonesia merdeka, langkah perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain mengeluarkan Undang-undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
(NTR) pada tahun 1946. Disusul
dengan Peraturan Mentri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, tuntutan untuk perbaikan belumlah terpenuhi, karena undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut hanya terkait dengan
masalah formal belaka.
Hukum materilnya, yaitu undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri belum ada.
Pada
akhir tahun 1950, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu, berbagai organisasi terus menerus mendesak
Pemerintah dan DPR agar secepat
mungkin merampungkan penggarapan Rancangan Undang-undang (RUU) hukum perkawinan untuk segera diundangkan. Usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, dan DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.
Segala upaya telah dikerahkan
untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat
Islam. Menurut (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981),
pada rentang waktu tahun 1972-1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut. Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI)
pada tanggal 1972 menyarankan
agar PP ISWI memperjuangkan Undang-Undang
Perkawinan.
Selain itu, Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya, organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam
perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.
Akhirnya setelah bekerja keras, tanggal 31 Juli 1973 pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. RUU ini mempunyai tiga tujuan, yaitu (a) memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah
perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang maka perkawinan hanya bersifat judge made law, (b) untuk
melindungi hak-hak kaum perempuan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum perempuan serta (c) menciptakan undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Setelah
melalui proses yang cukup panjang, setelah mendapat persetujuan dari DPR, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 10974 dalam Lembaran Negara Nomor 1 tahun 1974. Pada tanggal 1April
1975, dikeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975
yang memuat peraturan pelaksanaan UU Perkawinan tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 1975, UU No.1 tahun 1974 sudah dapat berjalan
dengan efektif (Undang-undang No. 1 tahun 1974 ).
Disahkannya
UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memang menjadi angin segar dan oase di tengah gurun protes beberapa
organisasi besar terhadap pemerintah, khususnya aktivis perempuan Indonesia dari kalangan muslim, yang merasa hak-haknya terkebiri oleh pemahaman konvensional tentang peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta pemahaman fikih klasik yang cenderung patriarkhis. Reaksi atas keburukan-keburukan
yang terjadi dalam perkawinan (Nasution, 2004)
di kalangan umat muslim seperti perkawinan di bawah umur, kawin paksa,
talak serampangan (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981)
dan sebagainya, mendapatkan
tanggapan positif dari pemegang kebijakan
pada waktu itu dengan lahirnya undang- undang tersebut.
Sudah hampir setengah abad UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh warga
negara Indonesia. Hanya ada
beberapa perundang-undangan
dan peraturan yang dikeluarkan
setelah itu, seperti UU No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan
dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
yang keduanya hanya merupakan catatan kaki dan pelengkap dari UU No. 1 Tahun 1974.
Jika
ditelaah pasal demi pasal, di dalam UU No. 1 tahun 1974 tersebut ditemukan beberapa pasal yang perlu mendapat perhatian dan dikritisi, kaitannya dengan jaminan terhadap semua unsur yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga, terutama kaum perempuan dan kam disabilitas mental, sejauh ini undang-undang
tentang perkawinan tidak mengatur secara jelas terkait
prosedur pernikahan bagi penyandang disabilitas khususnya disailitas mental. Jika dikontekstualisasikan
dan dilihat relevansinya dengan isu-isu gobal yang beredar dan kebutuhan umat muslim akan peraturan
yang mengakomodasi dan tidak
mengekang kebutuhan umat. Demikian juga jika ditinjau dari
aspek historis dibuatnya undang-undang ini.
Bahkan Mengenai sektor kesejahteraan sosial, perhatian khusus diberikan dalam hal perkawinan dimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa perceraian dapat dilakukan dalam hal pasangan
menyandang cacat sehingga tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam perkawinan. Oleh karena itu UU dan PP ini dapat dikatakan
diskriminatif terhadap penyandang disabilitas
Setelah
melihat fenomena diatas, betapa tingginya angka penyandang difabel sehingga fokus katagori difabel mental menjadi perhatian khususnya bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Penyandang difabel mental harus disamaratakan mengenai hak-haknya sebagai warga negara yang sah. Persamaan hak dalam
kesehatan, sipil, politik, dan persamaan hak dalam hukum.
Karena
perbedaan sebuah anugrah sang pencipta alam, Allah menilai mahluknya semuanya sama rata. Tak ada perbedaan dan tak dibedakan. Hanya ketakwaannya yang dapat membedakan manusia dalam pandangan
Allah.
Tuhan menciptakan manusia dalam sebuah lingkaran
besar yang memiliki bagian-bagian kecil yang menyusunya yang berwarna-warni. Menyuruh untuk saling mengenal dan saling memahami. Dalam hal ini
manusia diciptakan dalam bentuk rupa
yang berbeda-beda, seperti firman Allah dalam al-Qur�an surat al-Hujurat ayat 13:
يَا
أَيُّهَا
النَّاسُ
إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا
ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
ۚ إِنَّ
اللَّهَ
عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujurat ayat 14).
Pada
ayat tersebut dijelaskan bahwa nilai seorang manusia
di �mata� Allah tergantung dengan ketakwaan yang ada di dalam dirinya.
Artinya, manusia tidak dipandang secara fisik, namun
apa yang telah mereka lakukan dalam menggapai ridha Allah SWT. Ketakwaan menurut para ulama adalah seberapa besar ia menyerahkan dirinya untuk mengikuti
perintah dan larangan-larangan
Allah karena takut kepada zat-Nya, mencintai segenap apa yang ada pada diri-Nya (Umar Sulaiman �Abd Allah al-Asyqar, 2012).
Dimana negara sebagai wakil Tuhan
harus bisa bebrbuat bijak dan adil. Ini yang harus terus diupayakan.
Parameter
keadilan Tuhan adalah: al-Mauzun, at-Tasawa wa �adam
at-Tarjih, dan Ri�ayat al-Huquq. Yang pertama dapat diartikan sebagai keseimbangan antar komponen makhluk, kemudian yang kedua adalah persamaan
kedudukan tanpa melihat keunggulan fisik yang dimiliki, kemudian yang ketiga adalah saling menjaga
hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang, dan memberikannya sesuai proporsi yang dia miliki.
Dalam kenyataannya bagi penyandang difabel masih terjadi diskriminasi,
perbedaan, dan terlantarkan.
Bagi penyandang difabel mental dalam perkawinan yang hubungannya dengan keluarga menjadi beberapa problem tersendiri dalam menentukan sebuah hukum. Seperti alasan halnya difabel
(cacat) menjadi alasan perceraian dan poligami, dengan anggapan penyandang difabel tidak bisa
memenuhi kewajibannya ketika status perkawinan. Alasan ini tidak
lepas dari adanya perlindungan hukum. Mengenai hukum perkawinan yang berkaitan dengan penyandang difabel seperti yang sudah tercatat di Bab II. Padahal kalau kita melihat
dari arti difabel itu sendiri ialah
differently abled yaitu
memiliki kemampuan yang berbeda.
Sebelum melihat kewajiban bagi penyandang difabel dikenai hukum taklifi atau
tidak, penulis harus melihat status hukum perkawinan penyandang difabel mental tersebut sah dan tidak atau batalnya.
Seperti yang sudah dibahas dalam pembahasan
Bab II, bahwa syarat dan rukun perkawinan baik dalam perkawinan
maupun dalam undang-undang tidak menyebutkan baik syarat atau rukun
harus berakal atau sehat mentalnya.
Syekh Syamsudin Muhammad dalam Kitab Iqna�ada lima rukun perkawinan pertama (Syekh Syamsudin Muhammad, 2003),
(shigot) Ijab Qobul kedua, Calon istri menenai syarat
menjadi calon istri adalah calaon
yang halal dinikahi oleh calon
mempelai pria, sepi dari nikah (artinya tidak sedang
menjadi istri orang lain), tidak sedang masa idah. Baik haram sepersusuan, atau persaudaraan.
Tidak sedang melaksanakan ihrom haji, ketiga, Calon suami mengenai syarat menjadi calon pengantin
pria adalah syartnya halal menikahi calon istri, mengetahui
akan halalnya calon istiri baginya,
tertentu, tidak diperbolehkan menikahi wanita semahram (mahram sesusuan atau sepersaudaraan.
Serta tidak sedang melaksanakan ihrom haji, keempat. Wali. Kelima, Dua orang saksi.
Adapun
dalam undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa syarat pasal 6 mempelai wanita adalah Pertama, Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Kedua, Untuk melangsungkan pernikahan seseorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat
izin orang tua.
Bagi penyandang difabel mental secara hukum perkawinan
tetap sah dalam segi rukun
dan tidak ada kerusakan atau harus adanya pembatalan
dalam segi syarat perkawinan. Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai
pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mental.
B.
Evaluasi Dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
No. |
Peraturan
Perundang- Undangan |
Pengaturan
terkait Penyandang Disabilitas |
1 |
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia |
Pasal 27, Pasal 28, Bab XA, Bab XI, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34 |
2 |
UU��������� No.�������� 1������� Tahun����������� 1974 tentang Perkawinan |
-
perceraian
dapat dilakukan dalam hal pasangan menyandang cacat ; -
hak����������������������� yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan,
dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. |
3 |
Undang-Undang Nomor��������
4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat |
�
terminologi
penyandang cacat dan perlakuan
berdasarkan belas kasihan; �
pelaksanaan
aksesabilitas dan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang cacat;
implementasi perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak penyandang
cacat dalam seluruh bidang kehidupan; ketentuan larangan dan pengenaan sanksi
administratif serta pidana yang tidak maksimal. |
4 |
UU������ No.������� 39������� Tahun���������� 1999 tentang Hak Asasi Manusia |
pengakuan kesetaraan hak asasi manusia bagi
penyandang disabilitas |
5 |
UU������ No.������� 28������� Tahun���������� 2002 tentang Bangunan Gedung |
wajib aksesibilitas kecuali perumahan |
6 |
UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan |
perlindungan sesuai kecacatan, persamaan hak, dan
pelatihan kerja |
7 |
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum |
hak untuk berpartisipasi dalam politik dan pembuatan
hukum |
8 |
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden |
hak untuk berpartisipasi dalam politik dan pembuatan
hukum |
9 |
UU������ No.������� 11������� Tahun���������� 2009 tentang Kesejahteraan Sosial |
rehabilitasi, bantuan������� sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan |
10 |
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan |
SIM D dan penyediaan aksesibilitas dalam
transportasi umum; perlakuan����� yang sama untuk������ berperan dalam
pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; |
11 |
UU������ No.������� 36������� Tahun���������� 2009 tentang Kesehatan |
hak atas penyediaan fasilitas kesehatan dan kewajiban pemerintah |
12 |
Undang-Undang Nomor� �19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi International Convention On the Rights
Of Persons���� with��� �Disabilities (CRPD) |
bentuk pengakuan����������� negara��� atas������������ hak penyandang disabilitas |
13 |
Undang�Undang
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan����������������������� Perwakilan Rakyat Daerah |
hak untuk berpartisipasi dalam politik dan pembuatan
hukum |
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang� Penyandang� Cacat� disusun dan diterbitkan pada saat minimnya referensi tentang perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, baik secara nasional, regional, maupun global, sehingga secara substantif materi muatan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 cenderung memiliki pemahaman tentang penyandang disabilitas yang terbatas. Akibatnya, dengan perkembangan waktu, undang-undang ini tidak mampu lagi
untuk memberikan perlindungan secara maksimal hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dari
beberapa kenyataan, di antaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 sangat minim memuat pengarusutamaan dan penghargaan� terhadap� hak� asasi� para penyandang disabilitas sebagai bagian� dari� warga� negara� pada umumnya. Materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 juga sebagian besar tidak sesuai lagi
dengan semakin kompleksnya kebutuhan perlindungan hak penyandang disabilitas.
Masalah
lain yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 bahwa penyusun Undang�undang tersebut memandang para penyandang disabilitas bukanlah sebagai subjek manusia yang utuh namun justru memposisikan
mereka sebagai sebuah objek yang memiliki kekurangan atau kelainan secara
fisik dan mental, yang menyebabkan
penyandang disabilitas tidak dapat melakukan
aktivitas atau kegiatan secara layak. Disabilitas yang disandang seseorang dipandang akan menjadi penghambat sehingga penyandang disabilitas dinilai tidak dapat melakukan
aktivitas atau kegiatan secara layaknya sehingga membutuhkan proses rehabilitasi.
Pandangan terhadap penyandang disabilitas yang bersifat charity
based ini terlihat dari materi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 yang lebih menitikberatkan kepada upaya-upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hak penyandang disabilitas pada upaya rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Setelah
16 tahun penerbitan undang-undang tentang penyandang disabilitas tersebut, Indonesia telah pula menetapkan berbagai regulasi yang berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas yang pengaturannya dapat melengkapi dan menyempurnakan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997, �diantaranya Perubahan UUD 1945, pengesahan berbagai konvensi internasional, kesepakatan
negara�Negara di tingkat regional, dan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan pemenuhan hak- hak penyandang disabilitas. Beberapa pasal dalam perubahan
UUD 45, yakni Pasal 28H ayat (2) menyatakan : �Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan�, sedangkan Pasal 28I ayat 2 menyatakan: �Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu�. Di samping itu, beberapa
undang-undang sektoral telah pula memuat pengaturan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang� Hak� Asasi Manusia, dan beberapa konvensi yang telah disahkan dan memuat pengaturan yang berlaku untuk penyandang
disabilitas, misalnya Konvenan Internasional tentang hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005), dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005).
Alasan lain pentingnya
penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 adalah bahwa Indonesia telah mengesahkan Convention on
the Rights of Person with Disabilities (CRPD) dan diterbitkannya
Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Konvensi ini berisi pengaturan
perlindungan hak- hak penyandang disabilitas yang lebih luas, lengkap, dan rinci yang dapat dijadikan referensi�referensi bagi penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Pada akhirnya penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 diharapkan akan menghasilkan undang-undang yang menjadi landasan hukum yang kuat bagi upaya
perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di segala bidang secara menyeluruh
dan terintegrasi.
Kesimpulan
Bagi penyandang difabel mental secara hukum perkawinan tetap sah dalam segi rukun dan tidak ada kerusakan atau harus adanya pembatalan dalam segi syarat perkawinan. Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mental. UU Perkawinan di Indonesia tidak mengatur masalah perkawinan penyandang cacat mental secara khusus. Dalam salah satu pasalnya hanya disebutkan sebagai �di bawah pengampuan yang dapat mengakibatkan kesengsaraan�. Perkawinan yang seperti ini dapat dilakukan pencegahan oleh calon mempelai, keluarga atau orang yang berkepentingan lainnya. Dengan demikian, dengan adanya kesukarelaan dari kedua belah pihak yang berkepentingan, perkawinan penyandang cacat mental ini dapat dilakukan. Dalam salah satu prinsipnya, diharapkan adanya kematangan mental dari kedua calon mempelai. Namun karena adanya hambatan intelegensi pada penyandang cacat mental sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencapai kematangan mental sebagaimana orang normal lainnya maka diberikan dispensasi bagi mereka. Meski demikian, melihat karakter dari tipe-tipe cacat mental maka perkawinan hanya diperbolehkan bagi mereka yang berada pada tipe ringan atau mamapu didik.
BIBLIOGRAPI
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma�il al-Bukhari.
(1994). Sahih al-Bukhari, an-Nikah. Beirut: Dar al-Fikr.
Bogdan, Robert, & Taylor, Steven. (1992). Pengantar Metode Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Hawari, Dadang. (2004). Al-Qur�an
Ilmu kedokteran dan kesehatan jiwa. Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa.
Kamal Mukhtar. (2004). Asas-asas Hukum Islam Tentang
Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.
Majelis Umum PBB. (2017). Deklarasi Hak Penyandang Cacat
tertanggal 9 Desember 1975. New York: resolusi 3447 (XXX).
Moleong, Lexy J. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mosal.
Muhammad Daud Ali. (2017). Hukum Islam dan Peradilan Agama.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Khoiruddin. (2004). Islam tentang relasi suami
dan isteri (hukum perkawinan I): dilengkapi perbandingan UU negara Muslim.
ACAdeMIA.
Republika. (2019). Penyandang Disabilitas. Retrieved
from
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ruf384-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas.
Retrieved from http://www.republika.co.id
Selway, Deborah, & Ashman, Adrian F. (1998). Disability,
religion and health: A literature review in search of the spiritual dimensions
of disability. Disability & Society, 13(3), 429�439.
SH, H. A. Basiq Djalil. (2010). Peradilan Agama di
Indonesia. Prenada Media.
Sosroatmodjo, H. Arso, & Aulawi, A. Wasit. (1981). Hukum
Perkawinan di Indonesia. Bulan Bintang.
Syekh Syamsudin Muhammad. (2003). Iqna�. Beurt: Dar
Al- kotob.
Umar Sulaiman �Abd Allah al-Asyqar. (2012). At-Taqwa: Ta�rifuha
wa Fadhluha wa Makhdzuratuha wa Qasas min Ahwaliha. Pakistan:: Dar
an-Nafa�is, Cet I.