Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 7 November 2020

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

PENGAWASANKLIEN PEMASYARAKATANPADA PROGRAM PEMBEBASAN BERSYARAT OLEH PEMBIMBING KEMASYARAKATAN

 

Adrian Sofyan

Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

01 November 2020

Diterima dalam bentuk revisi

17 November 2020

Diterima dalam bentuk revisi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebagai Klien BAPAS yang sedang menjalani masa reintegrasi baik Assimilasi, Cuti Bersyarat maupun Pembebasan Bersyarat oleh Pembimbing Kemayarakatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan di dukung oleh studi literatur. Klien Bapas yang menjalani pembebasan bersyarat perlu diawasi untuk memastikan bahwa tidak terjadi pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam kontrak bimbingan yang telah disepakati oleh klien dan pembimbing kemasyarakatan di awal masa pembimbingan. Pembimbing Kemayarakatan sebagai pejabat penegak hukum bertugas untuk melakukan pengawasan tersebut. Dalam pelaksanaanya terdapat beberapa kendala yang dialami oleh pembimbing kemasyarakatan terkait latar belakang dan kompetensi petugas,yaitu luasnya wilayah kerja, tingginya beban kerja, serta koordinasi antara pembimbing kemasyarakatan dengan aparat penegak hukum. Keterlibatan masyarakat pun sangat mendukung kerberhasilan pencapaian tujuan program karena pembebasan bersyarat dilaksanakan di dalam masyarakat. Analisis kebutuhan pembimbing kemasyarakatan juga diperlukan guna meningkatkan efektivitas dan profesionalisme petugas.

Kata kunci:

Pengawasan; Pembimbing Kemasyarakatan; Pembebasan Bersyarat


 

Pendahuluan

Pembimbing kemasyarakatan memiliki salah satu perannya yaitu Pengawasan, yang merupakan suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap klien Bapas berdasarkan sistem tertentu dan menjadi bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (Firdaus, 2019). Terdapat 3 pokok tujuan dari sistem pemasyarakatan di Indonesia yaitu : 1) Klien menyadari kesalahan ; 2) Mampu memperbaiki diri dengan menunjukkan perubahan-perubahan sikap yang bernilai positif; 3) Tidak mengulangi tindak kejahatan, sehingga narapidana tersebut bisa diterima di masyarakat, hidup dengan wajar dan mampu ikut serta dalam pembangunan (Hernawanti, 2020).

Salah satu upaya untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan itu adalah adanya program reintegrasi sosial berupa pembebasan bersyarat (PB) (Choirudin, 2018). Pembebasan bersyarat merupakan bentuk pemenuhan hak klien dimana serorang warga binaan pemasyarakatan berhak untuk bebas dari Lembaga Pemasyarakatan dan menjalankan sisa masa pidananya diluar lembaga setelah menjalanisekurang-kurang nya 2 per tiga masa pidana, dalam rangka berbaur kembali dengan masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat kembali (Bulo, 2007).

Hak-hak tersebut diberikan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan untuk pengajuan PB, CB maupun CMB dimana diatur dalam Permenkumham Nomor 21 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, selama pelaksanaan program re-integrasi tersebut, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berubah statusnya menjadi Klien Pemasyarakatan yang berada dibawah pengawasan dari Balai Pemasyarakatan, yang selanjutnya disebut (Bapas) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang berfungsi untuk melakukan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan (Fauzan, 2020).

Pada saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Klien Pemasyarakatan mempunyai kewajiban untuk lapor kepada Pembimbing Kemasyarakatan, diharapkan dengan demikian Klien akan terus dapat menjaga ke stabilan hidupnya dalam menjaga sikap dan perilaku serta tidak mengulangi kembali kesalahan nya namun pada kenyataannya banyak Klien Pemasyarakatan yang kembali melakukan tindak kejahatan dikarenakan kurangnya komunikasi dan kurang nya pemantauan dari Pembimbing kemasyarakatan serta hilangnya kontak antara Pembimbing kemasyarakatan dengan Klien nya (Busra, 2020).

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang berfungsi untuk melakukan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan. Selain menjalankan fungsi pembimbingan, Bapas memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana (Nugroho & Kavling, 2019), (Sari, 2019). Terdapat 4 fungsi utama dari Balai Pemasyarakatan yaitu ; 1) Pembimbingan; 2) Pendampingan 3) Pengawasan, dan 4) Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK).

Secara umum, Pembimbing Kemasyarakatan memiliki peran sebagai agen rehabilitasi. Ia secara konsisten memusatkan prakteknya pada pembimbingan perorangan (casework), perawatan, dan reintegrasi masyarakat termasuk juga kegiatan pengawasan dan kontrol terhadap Klien Bapas (Rahmasari, 2020). Perlu diketahui bersama bahwa klien pembebasan bersyarat tidak semata- mata bebas dari Lembaga Pemasyarakatan. Ketika klien diberikan pembebasan bersyarat, ditentukan pula jangka waktunya (masa percobaan) serta ditetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan selama masa percobaan tersebut. Pembebasan bersyarat diberikan dengan syarat umum klien tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan lain yang tidak baik. Selain itu diperkenankan pula pemberian syarat khusus terkait dengan perilaku klien tanpa mengurangi hak beragama dan berpolitik.

Untuk memastikan bahwa klien pemasyarakatan mematuhi syarat-syarat yang ditentukan, Balai Pemasyarakatan bertugas untuk memberikan supervisi atau pengawasan terhadap klien tersebut. Pengawasan merupakan salah satu fungsi Balai Pemasyarakatan yang sangat penting dalam proses penegakan hukum. Pengawasan adalah langkah atau kegiatan yang berfungsi untuk mencegah penyimpangan pelaksanaan reintegrasi sosial. Pengawasan menjadi hal yangpenting karena apabila klien melakukan penyimpangan atau tidak menjalankan syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akan berpotensi untuk dirinya melakukan tindak kejahatan kembali (residivis).

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dimana peneliti menggambarkan fenomena yang ada secara lengkap dan mendalam (Sugiyono, 2011). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan observasi. Dalam observasi ini peneliti menggunakan jenis observasi non-partisipan dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung tanpa menjadi bagian dari subyek yang diteliti. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi melalui dokumen pendukung yaitu buku dan penelitian terdahulu yang masih relevan.

Dalam Pelaksanaan Pendampingan, Pembimbing Kemasyarakatan untukmembangun kepercayaan kliendan mendapatkan data yang akurat dari klien dapat menggunakanbeberapa tekhnik Pendekatan danbeberapa metodediantaranya adalah :

1.      Metode case work/individu dimana data dan pendekatan difokuskan pada klien

2.      Metode Group work data bisa di peroleh dari keluarga atau lingkungan sekitar.

Adapun teknik-teknik untuk mendapatkan data yang akurat agar pembiumbing kemasyarakatan mampu membantu dalam memberikan solusi kepada klien diantara nya menggunakan Tekhnik :

a.       Tekhnik Wawancara diantaranya Observasi, mencatat, mendengar, mengamati, mengajukan.

b.      Tekhnik Memberi Informasi dan nasihat meliputi pemilihan kata yang tepat, ketrampilan berbahasa, ketrampilan observasi, ketrampilan mendengar, ketrampilan menyampaikan informasi secara ringkas dan tepat.

Dan beberapa tekhnik yang lain nya yang bisa Pembimbiung Kemasyarakatan pergunakan. Sedangkan langkah langkah pelayanan bimbingan adalah dimulai dari : Intake/pendekatan awal, assessment, rencana intervensi, intervensi dan terminasi.

 

Hasil dan Pembahasan

Meskipun Balai Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan telah melakukan pengawasan berdasarkan prosedur yang ada, namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang mengakibatkan pengawasan pada klien tidak berjalan optimal,diakibatkan karena :

1.      Pertama, adanya gap yang besar pada latar belakang pendidikan, keterampilan,dan pengalaman kerja petugas Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam satu Unit Pelaksana Tugas (UPT) Bapas terdapat beberapa petugas dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang sesuai serta mendukung pekerjannya sebagai Pembimbing Kemasyarakatan. Namun, sebagian memiliki riwayat pendidikan yang tidak sesuai dengan profesinya sehingga mengakibatkan rendahnya dedikasi petugas dan ketertarikan dalam bekerja. kondisi ini berdampak pada munculnya sikap apatis petugas terhadap klien serta kelalaian dalam bekerja.

2.      Kedua, wilayah kerja Balai Pemasyarakatan yang sangat luas menjadi faktor meningkatnya beba kerja petugas. Menurut Munandar dalam beban kerja adalah tugas yang diberikan kepada pegawai untuk diselesaikan dalam kurun waktu tertentu dengan memanfaatkan keahlian dan potensi dari pegawai tersebut. Idealnya, Balai Pemasyarakatan didirikan di setiap ibu kota kabupaten atau kotamadya, sehingga jangkauan wilayah kerja Bapas lebih terfokus. Namun pada tahap pelaksanaanya, belum semua ibukota kabupaten atau kotamadya terdapat Balai Pemasyarakatan sehingga 1 UPT Bapas harus meng-cover sejumlah wilayah.

3.      Dari penelitian yang dilakukan oleh Balitbang HAM, Balai Pemasyarakatan di seluruh Indonesia berjumlah 71 UPT dengan klasifikasi 17 UPT Klas I dan 54 UPT Klas II. Sedangkan jumlah provinsi di Indonesia adalah 34 provinsi yang terdiri dari 412 wilayah Kabupaten dan 93 wilayah kota. Banyaknya jumlah klien juga mendukung permasalahan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari situs http://smslap.ditjenpas.go.id jumlah klien yang ditangani oleh Bapas per Desember 2019 mencapai 65.359 orang. Angka tersebut tergolong besar jika dibandingkan dengan jumlah petugas PK yang ada. Hal berdampak kurang maksimalnya kegiatan pengawasan klien Pembebasan Bersyarat. Pengawasan dianggap cukup berat untuk dilaksanakan secara rutin. . Bahkan sejumlah petugas hanya melakukan pengawasan melalui panggilan telepon untuk memastikan bahwa klien masih berada di wilayah tempat tinggal mereka.

4.      Ketiga, petugas Pembimbing Kemasyarakatan masih kesulitan menentukan prioritas antara melakukan pembimbingan dan pengawasan. Seringkali PK lebih fokus terhadap penyusunan penelitian kemasyarakatan dibandingkan dengan pelaksanaan fungsi Bapas yang lain. Di Amerika Serikat, sebuah penelitian menemukan fakta bahwa parole and probation officer merasa kesulitan dalam mencapai 2 tujuan mereka yaitu untuk membantu keberhasilan klien berintegrasi ke masyarakat serta melindungi masyarakat dari individu yang beresiko melalui pengawasan.

5.      Keempat, PK menyadari bahwa sulit untuk membangun partisipasi klien dalam program pembimbingan. PK kesulitan untuk mendesain program pembimbingan dan rencana pengawasan. mereka harus memastikan pemenuhan tanggungjawab klien dan fokus pada perubahan mereka karena PK perlu mengatasi faktor kriminogenik spesifik klien. Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak mudah bagi seorang petugas untuk membuat program berdasarkan prinsip intervensi yang efektif atau menjadi perantara dimana mereka menempatkan narapaidana pada program-program pembimbingan sebagi bagian inti dari persyaratan pengawasan mereka (Culle et al., 2002). Sejak menjadi klien, narapidana tidak diberi pilihan pada jenis-jenis bimbingan yang diprogramkan kepadanya dan harus menjalankan program tersebut sehingga mereka cenderung pasif selama kegiatan pembimbingan berlangsung. Sementara itu, karakteristik dan keinginan klien untuk berpartisipasi pada kegiatan pembimbingan dan pengawasan menjadi salah satu aspek terpenting dalam keberhasilan program.

Apabila seorang klien tidak melakukan wajib lapor selama 3x berturut- turut,misalnya kembali menggunakan narkoba, berhubungan dengan pelaku kriminal, menolak untuk bekerja, atau gagal untuk memenuhi syarat dan ketentuan pembebasan bersyarat, maka petugas memiliki 2 pilihan. Pembimbing Kemasyarakatanbisa memberikan teguran berupa surat pemanggilan bagi si pelanggar yang kemudian merencanakan program konseling dan pengawasan yang lebih intensif.

Program tersebut harus menargetkan pelaku berisiko tinggi, mengharuskan mereka berada di program lebih lama, dan memiliki lebih banyak rujukan, terutama rujukan untuk pemrograman pengobatan. Untuk memaksimakan program ini, dilakukan upaya untuk memastikan dan mendokumentasikan fakta bahwa klien residivis menerima lebih banyak layanan daripada kelompok klien Pembebasan Bersayarat yang lain/bukan residivis), atau dengan kata lain mencari alternatif program pembimbingan agar klien tersebut dapat kembali ke masyarakat.

Pilihan kedua yaitu jaksa melaporkan hal tersebut kepada hakim untuk mencabut pembebasan bersyarat klien yag bersangkutan. Pencabutan Pembebasan Bersayarat juga dapat dilakukan melalui aduan dari masyarakat. Masyarakat yang mengetahui bahwa telah terjadi pelanggaran, dapat mengajukan permohonan pencabutan Pembebasan Bersyarat secara tertulis kepada Kepala Bapas.

Petugas Bapas membantu pembuatan permohonan pada form permohonan pencabutan Pembebasan Bersayarat. Selajutnya masyarakat dimintakan keterangannya terkait dengan permohonnya yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Berita Acara Pemeriksaan dilaporkan oleh Kepala Bapas kepada Kepala Kantor Wilayah sebagai usulan/rekomendasi mencabutan Pembebasan Bersyarat kepada Menteri Hukum dan HAM secara berjenjang melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan18 Klien yang dicabut hak Pembebasan Bersyarat nya, kemudian menjalani hukuman penjara sesuai dengan hukuman yang ditetapkan semula, dan pada saat itu proses pembimbingan klien dihentikan.

Mekanisme pencabutan Pembebasan Bersyarat pada klien yang melakukan pelanggaran terkendala pada tindak lanjut pasca keluarnya surat putusan pencabutan. Klien yang dicabut hak Pembebasan Bersyarat nya seharusnya dilakukan penangkapan kembali oleh pihak kepolisian dan selanjutnya menjalani masa pidananya sesuai dengan putusan pengadilan sebelumnya. Namun terdapat beberapa temuan bahwa klien yang bersangkutan masih berkeliaran bebas di masyarakat walaupun hak Pembebasan Bersyarat nya telah dicabut. Bahkan lebih parahnya ia melakukan tindakan pelanggaran yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Karena pelaksanaan pembebasan bersyarat adalah di masyarakat, tentu peran serta masyarakat sangat diperlukan guna mengontrol keterlaksanaan program tersebut. Tanpa adanya dukungan dari masyarakat, tidak mudah bagi petugas Pembimbing Kemasyarakatan untuk memberikan intervensi psikologis berupa peningkatan motivasi dan kepercayaan diri klien untuk menghadapi sikap masyarakat terhadap hukuman. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat telah berjuang melalui upayanya dengan itikad baik untuk membantu klien berintegrasi dalam masyakarat.

Maka dari itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : PAS-06.OT.02.02 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan.

Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakat (POKMAS LIMAS) adalah sekumpulan mitra kerja yang memiliki perhatian yang tinggi dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemasyarakatan guna mendukung Warga Binaan Pemasyarakatan dalam proses reintegrasi sosial. Elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam POKMAS harus aktif dan kreatif dalam menciptakan berbagai kegiatan serta mampu memberikan manfaat bagi pihak-pihak tekait dengan meningkatkan peran pemerintah dan organisasi, merubah pelanggar hukum menjadi pribadi yang lebih mandiri secara sosial dan ekonomi serta menjadi anggota masyara

kat yang berguna.

Elemen masyarakat yang berpotensi menjadi anggota POKMAS LIPAS adalah individu, pemerhati pemasyarakatan, akademisi, organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan organisasi bisnis. POKMAS LIPAS berontribusi dibidang pendidikan, pemenuhan kebutuhan pekerjaan, kebutuhan kesehatan, mental spiritual, serta pengawasan program bimbingan. Kontribusi masyarakatan dalam mendukung tugas dan fungsi Bapas dengan menjadi mitra kerja sangat penting guna mewujudkan tujuan dari sistem pemasyarakatan.

Analisis kebutuhan petugas Pemimbing Kemasyarakatan juga perlu dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas kerja petugas. Analisis kebutuhan yang dimaksud adalah terkait dengan pendistribusian pegawai yang sesuai dengan kompetensinya, analisis beban kerja, serta perencanaan program peningkatan kapasitas petugas melalui diklat teknis Pe mbimbing Kemasyarakatan, sehingga diharapkan petugas mampu menjalankan tugas secara lebih professional, efektif, serta efisien.

Demikianlah pembahasan mengenai Pengawasan pada program Pembebasan bersyarat oleh Pembimbing kemasyarakatan,semoga dapat menjawab maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dalam judul diatas.

 

Kesimpulan

Proses pengawasan klien Pembebasan Bersyarat dilakukan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan untuk mencegah terjadinya pelanggaran selama klien menjalani masa pembebasan bersyarat serta memastikan bahwa kegiatan pembimbingan dilaksanakan sesuai dengan kontrak pembimbingan yang telah disepakati. Terdapat beberapa hambatan pada Pembimbing Kemasyarakatan dalam pelaksanaan fungsi Pengawasan. Kendala tersebut terkait dengan kesesuasian latar belakang pendidikan dengan kompetensi yang harus dimiliki petugas, tingginya beban kerja, luas nya wilayah yang harus ditangani,rendahnya kesadaran dan partisipasi klien dalam proses pembimbingan, serta rendanhnyakoordinasi Pembimbing Kemasyarakatandengan aparat penegak hukum yang lain dalam menangani klien yang melanggar hukum.

Oleh karena itu perlu adanya analisis kebutuhan bagi petugas pembimbing kemasyarakatan untuk mengetahui hal-hal yang diperlukan bagi Pembimbing Kemasyarakatan guna menunjang kinerja mereka. Pemberdayaan masyarakat dalam program Pengawasan klien pembebasan bersyarat melalui kemitraan (kerja sama)juga perlu dilakukan karena tidak bisa dipungkiri bahwa reintegrasi sosial narapidana (PB) dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat.

Partisipasi masyarakat yang tinggi terhadap Pengawasan klien menjadi salah satu faktor kontributif yang besar terhadap keberhasilan program reintegrasi sosial klien pembebasan bersyarat.


Bibliografi

 

Bulo, N. G. (2007). Pemenuhan Hak Cuti Menjelang Bebas (CMB) Terhadap Narapidana Di Rumah Tahanan Negara Kelas Ii B Kab. Tanah Toraja.

 

Busra, D. (2020). Pelaksanaan Bebas Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(10), 1075�1094.

 

Choirudin, J. S. (2018). Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Terhadap Klien Pembebasan Bersyarat Dalam Mewujudkan Reintegritas Sosial. Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Dan Konseling Islam, 1(1), 128�151.

 

Culle, F. T., Eck, J. E., & Lowenkamp, C. T. (2002). Environmental corrections-A new paradigm for effective probation and parole supervision. Fed. Probation, 66, 28.

 

Fauzan, F. (2020). Pelaksanaan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana Sebagai Penerapan Undang-Undang Pemasyarakatan. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(9), 846�860.

 

Firdaus, I. (2019). Peranan pembimbing kemasyarakatan dalam upaya penanganan overcrowded pada lembaga pemasyarakatan. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(3), 339�358.

 

Hernawanti, N. (2020). Pengawasan Pembimbing Kemasyarakatan Terhadap Klien Pemasyarakatan. Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan Pembelajaran, 2(2), 16�23.

 

Nugroho, T. A., & Kavling, J. H. R. R. S. (2019). Analisa Kebutuhan Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Bandung. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(1), 69�84.

 

Rahmasari, F. S. (2020). Pengawasan Narapidana Pembebasan Bersyarat oleh Pembimbing Kemasyarakatan-Tantangan dan Alternatif Penyelesaiannya. Fed. Probat, 70(3), 34�40.

 

Sari, S. (2019). Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Fungsi Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Universitas Islam Negeri Raden Fatah.

 

Sugiyono, P. (2011). Metodologi penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Alpabeta, Bandung.