1183
Jurnal Syntax Admiration
Vol. 1 No. 8 Desember 2020
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356
Sosial Teknik
PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN
OLEH ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DIHUBUNGKAN
DENGAN TUJUAN NEGARA HUKUM DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI
INDONESIA
Yusup Anchori
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Jawa Barat, Indonesia
Email: yusupanchori @gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
27 November 2020
Diterima dalam bentuk revisi
10 Desember 2020
Diterima dalam bentuk revisi
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis penerarapan konsep perlindungan hukum
terhadap korban pelaku kejahatan yang dilakukan oleh
Orang Dengan Gangguan Jiwa. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
Pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum
utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep,
asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan dan
mempelajari buku-buku, serta dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana kejahatan oleh orang dengan
gangguan jiwa (ODGJ), harus memperoleh keadilan dan
perlakuan yang adil dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, Pemerintah dan penegak hukum mempunyai
kewajiban yang besar terhadap perlindungan dan
pemulihan hukum korban tindak pidana kejahatan dalam
sistem peradilan karena pemerintah turut
bertanggungjawab atas kriminalisasi yang dirumuskannya
dalam perundang-undangan pidana.
Kata kunci:
perlindungan hukum;
korban tindak pidana;
orang dengan gangguan
jiwa (odgj); pemidanaan
Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dimana hukum pada
dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan
keserasian antara ketertiban dan ketentraman (Soekanto, 2007). Hal ini tersirat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV dimana disebutkan bahwa tujuan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Dalam hal Indonesia sebagai negara hukum tercermin
dalam pasal 1 ayat 3 Undang- Undang Dasar Negara RI. Tahun 1945, bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum” serta dalam Pasal 28 G Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan mengenai perlindungan hak asasi manusia (Jurdi, 2019).
Yusup Anchori
1184 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Kata Negara hukum terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan
kata ini menunjukan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara negara di satu pihak
dan hukum pada pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban
hukum (rechtsorde). Negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum
dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas Negara (El-Muhtaj, 2017).
Indonesia sebagai negara hukum memberikan perlindungan bagi warga negaranya
dengan menyediakan lembaga yang mampu memberikan keadilan dalam bentuk
peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hal ini didasari pandangan bahwa setiap
manusia sejak kelahirannya menyandang hak- hak dan kewajiban yang bersifat bebas
dan asasi, negara serta penyelenggaraan kekuasan suatu negara tidak boleh mengurangi
arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusian itu.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap masyarakat yang harus dilakukan oleh
negara adalah memberikan perlindungan hukum melalui proses peradilan apabila terjadi
tindak pidana atau disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice sistem).
Salah satu pihak yang sangat membutuhkan perlindungan dalam suatu tindak pidana
adalah korban tindak pidana. Peran penting korban untuk diberikan perhatian dan
perlindungan berangkat dari pemikiran bahwa korban merupakan pihak yang dirugikan
dalam terjadinya suatu kejahatan sehingga harus mendapat perhatian dan pelayanan
dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya.
Perlindungan korban tindak pidana tecermin dalam beberapa ketentuan dasar yang
bersifat konstitusional yakni pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen dikatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya” (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1)), secara tegas menjamin
kedudukan masyarakat di depan hukum/equality before the law. Jaminan tersebut
menunjukan tanggung jawab Negara di tengah-tengah masyarakat. Tanggung jawab
negara tidak membeda-bedakan Suku, Agama, Golongan, dan Adat Istiadat.
Korban tindak pidana lemah dalam perlindungan hukum, sejak korban melaporkan
terjadi tindak pidana dan menunjukkan siapa pelaku tindak pidana dan atau dengan
menyerahkan barang bukti dan ditemukan ditempat kejadian perkara termasuk
penderitaan baik fisik maupun non fisik serta kerugian materil dan kerugian non materil
kepada aparat penegak hukum (POLRI). Dengan korban telah melaporkan hal tersebut
diatas, maka korban tidak memiliki akses untuk mendapatkan foto copy arsip laporan
polisi. Berita acara pemeriksaan korban/pelapor dan saksi, surat perintah penyidikan,
surat perintah penuntutan, berkas perkara yang diserahkan kepada jaksa penuntut
umum, pelimpahan tersangka dan barang bukti kepada jaksa penuntut umum,
pelimpahan surat dakwaan kepada pengadilan negeri, dakwaan dan tuntutan pidana
serta putusan pengadilan negeri apalagi untuk mendapatkan kompensasi atas
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1185
penderitaan dan kerugian yang diderita oleh pihak korban sampai mempunyai kekuatan
hukum tetap (AbdusSalam, Allanach, Quevedo, Feroz, & Hobson, 2010).
Orang Dengan Gangguan Jiwa melakukan pembunuhan atau penganiayaan pada
orang lain merupakan fenomena sangat memprihatinkan, sehingga pemerintah dan
masyarakat harus mencari solusi untuk memperbaiki perilaku pelaku yang sifatnya tidak
biasa. Pelaku memiliki kelainan kejiwaan, termasuk persoalan hukumnya ketika pelaku
ODGJ melakukan tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa kasus
penganiayaan yang terjadi di Kabupaten Bandung. Yaitu penganiayaan terhadap KH.
Emon Umar Basri selaku Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hiadayah Santiong.
Beliau dianiaya di dalam Masjid Al-Hidayah Santiong, tepatnya di Kampung Santiong
Desa Cicalengka Kulon Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung pada Sabtu
(27/1/2018) dan kasus-kasus lainnya yang pelakunya Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ).
Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban
tindak pidana kejahatan yang selama ini ada masih bersifat parsial dan keberadaannya
tersebar dalam berbagai peraturan perundang- undangan sehingga hanya berlaku bagi
kejahatan-kejahatan tertentu. Sebagai contoh adalah Pasal 35 Undang-undang No. 26
Tahun 2000, tentang pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pasal 36 sampai dengan Pasal
42 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang
memberikan hak kepada korban atau ahli warisnya untuk memperoleh kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi, berkaitan dengan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat
terjadinya tindak pidana terorisme.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris. Penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan
adalah: “Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka” (Kepailitan, 2004). Pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan
hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum,
peraturan perundang-undangan dan mempelajari buku-buku, serta dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Penelitian hukum empiris atau sosiologis adalah: “Penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti data primer” (Soerjono & Prof, 2007). Pendekatan
penelitian hokum empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam
praktik di lapangan, sumber data yang digunakan untuk mengkaji penelitian hukum
empiris yaitu data primer, data primer merupakan data yang berasal dari sumber utama,
yaitu masyarakat atau orang-orang yang terkait secara langsung terhadap objek
penelitian (Salim & Nurbani, 2017).
Hasil dan Pembahasan
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban penganiayaan
kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang
Yusup Anchori
1186 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
sifatnya immaterial maupun material, korban adalah pihak yang sangat dirugikan dalam
suatu tindak pidana yang seharusnya mendapat perlindungan, korban ditempatkan
sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu hanya sebagai saksi, sehingga
kemungkinan bagi korban penganiayaan untuk memperoleh keleluasaan dalam
memperjuangkan haknya adalah kecil dan seharusnya mendapatkan perlindungan yang
sama.
Hal ini sejalan dengan kenyataan yang diperoleh dari pengaturan perlindungan
terhadap korban penganiayaan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
di mana Undang-Undang ini pun lebih dominan menempatkan korban dalam
kedudukannya sebagai saksi sehingga perlindungannya pun sebatas pada
perlindungannya sebagai saksi korban bukan sebagai korban penganiayaan yang telah
mendapat kerugian baik materi maupun immateri. Dalam hal pengertian tentang
penganiayaan tidak ditegaskan dalam Undang-Undang, namun menurut yurisprudenci
penganiayaan ialah perbuatan dengan sengaja yang menibulkan rasa tidak enak, rasa
sakit atau luka, dan menurut Pasal 531 ayat (4) KUHP, penganiayaan disamakan
perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan orang. Berikut ini adalah penggolongan
tindak pidana penganiayaan.
Penganiayaan dapat di kategorikan dalam 3 gologan yaitu penganiayaan biasa,
penganiayaan ringan, dan penganiayaan berat. Hal ini di tentukan dari akibat yang
ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan
yang disebutkan di atas idealnya diatur secara lebih detail dan tegas dalam peraturan
perundang-undangan untuk memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam
melaksanakan penegakan hukum dan menjadi dasar bagi keikutsertaan masyarakat
dalam mendukung adanya perlindungan hukum terhadap korban penganiayaan. Hal ini
antara lain dapat dilakukan dengan menempatkan korban sebagai pihak yang harus
diberikan tempat yang istimewa dalam proses penegakan hukum.
Minimnya pemberian perlindungan dan bantuan terhadap korban tindak pidana,
justru memberi sumbangsih besar bagi merosotnya kualitas penegakan hukum dalam
suatu negara. Dalam proses persidangan terhadap suatu perkara pidana, korban
menempati posisi yang penting untuk dapat terungkapnya suatu peristiwa pidana, salah
satu korban yang dimaksud adalah korban penganiayaan. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya beberapa kasus penganiayaan yang terjadi di Kabupaten Bandung. Yaitu
penganiayaan terhadap KH. Emon Umar Basri selaku Pengasuh Pondok Pesantren
(Ponpes) Al-Hiadayah Santiong. Beliau dianiaya di dalam Masjid Al-Hidayah Santiong,
tepatnya di Kampung Santiong Desa Cicalengka Kulon Kecamatan Cicalengka
Kabupaten Bandung pada Sabtu (27/1/2018), dan kembali terjadi penganiyaan terhadap
seorang Ustadz Prawoto, Komandan Brigade Persatuan Islam (Persis) Pusat. Peristiwa
terjadi di kediaman Ustadz Prawoto di Blok Sawah, Cigondewah Kidul, Kecamatan
Bandung Kidul, Bandung. Korban dianiaya di rumahnya pada Kamis subuh (1/2/2018).
Dan meninggal dunia sore harinya di Rumah Sakit Santosa di daerah Kopo, Bandung.
Dalam penegakannya hukum pidana sangat erat dikaitkan dengan hukum acara
pidana, dimana hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1187
pada mencari kebenaran, penyelidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana
(eksekusi) oleh jaksa (Hamzah, 2019). Hukum acara pidana itu merupakan suatu sarana
untuk menegakkan hukum pidana, selain itu hukum acara pidana mengatur tentang
bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana (Hamzah, 2019). Secara singkat dapat diterangkan bahwa arti dari
pada hukum acara pidana merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang acara
peradilan (Atang Ranoemihardja, 2000).
Pada saat ini tindak pidana merupakan suatu problema yang senantiasa muncul
ditengah-tengah masyarakat. Masalah tersebut muncul dan berkembang dan membawa
akibat tersendiri sepanjang masa. Perilaku tindak pidana semakin hari semakin nampak,
dan sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak
ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan
menderita rugi oleh karena tindakan tersebut. Kita akan menuai akibat buruk dari
maraknya perilaku tindak pidana baik oleh orang normal atau oleh orang dengan
gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat, baik dilihat dari kacamata nasional maupun
internasional.
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum
memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban
kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya
ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan,
pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul
pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan
dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah
diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.
Perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi
Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan
yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada dan saksi, dari ancaman,
gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam proses penegakan hukum tidak akan terlaksana apabila tidak ada subjek
yang menjalankan. Dalam Pasal 1 Bab 1 KUHP menjelaskan mengenai aparatur
penegak hukum yang bekerja di Indonesia. Mereka inilah yang menjadi pioneer
tegaknya hukum di negeri ini. Aparat penegak hukum juga menjadi tolak ukur dalam
menegakkan keadilan di negeri ini karena segala bentuk keberhasilan dan proses yang
yang dilakukan tergantung kepada rajin dan tidaknya aparat dalam eksekusi di lapangan.
Bagaimana menilai keberhasilan aparat jika bukan masyarakat yang melihat sejauh
mana eksistensi aparatur penegak hukum dalam menegakan hukum. Oknum-oknum
tidak baik terkadang menjadi problem terbesar yang muncul di internal institusi-institusi
Yusup Anchori
1188 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
penegak hukum yang kemudian memunculkan pandangan bahwa semua yang berada di
dalam institusi tersebut tidaklah baik atau bobrok. Namun dalam hal ini bukan menjadi
kendala besar bagi para penegak hukum untuk melaksanakan kewajibannya dan
menyelesaikan perkara-perkara yang ada. Mereka memiliki koridor-koridor batas
kewenangan dalam menjalankan tugasnya. Adapun yang menyalahi aturan akan sangat
ditindak tegas bagi pelakunya. Sejauh ini aparat penegak hukum di Indonesia memiliki
cerita tersendiri dalam menangani suatu perkara. Satu kasus tentang adanya bentrok
antar lembaga penegak hukum yang berimbas kepada eksistensi dan profesionalitas
penegak hukum di Indonesia menjadi dipertanyakan. Namun seiring berjalannya waktu,
institusi-institusi penegak hukum di Indonesia mulai menempatkan diri pada tugasnya
dan memperbaharui segala kekurangan dan kesalahan yang ada.
Berbicara perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kejahatan kedepan
tentunya tidak terlepas dari nilai keseimbangan hukum pidana itu sendiri dalam
terciptanya sisi perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara utuh dan
dinamis. Perkembangan hukum pidana di Indonesia dimana secara filosfis didasari atas
pemikiran aliran klasik (classic school) atau aliran Daad- Strafrech yang memusatkan
perhatian pada aspek perbuatan pidana dan berkembang pada abad ke-18 (Muhammad
Sholehidin, 2004). Jika dilihat dari keseimbangan antara pelaku dan korban sangatlah
dibutuhkan untuk menyeimbangkan atau pengembalian penderitaan korban baik secara
fisik maupun non fisik.
Menurut (Arief, 2011), dasar pemikiran dari aliran klasik ialah berdasarkan asas-
asas berikut: Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa
undnag-undang, tiada pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa adanya
undang-undang. Kedua, asas kesalahan, yang menyatakan bahwa orang dipidana
berdasarkan tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau kealpaan. Ketiga,
asas pengimbalan (pembasalan) sekuler yang bermakna bahwa secara kongkret tidak
dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat melainkan
setimpal dengan berat-ringannya perbuatan yang dilakukan (Muladi & Arief, 2002).
Dalam konteks teori pemidanaan menurut bambang purnomo pemikiran aliran klasik
secara teoritis seakan sejalan dengan teori absolut atau retributive, dimana dalam teori
pemidanaan absolut penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana merupakan akibat
mutlak yang harus diterima sebagai suatu bentuk pembalasan atas perbutannya kepada
korban (vergelding). Sehingga dasar pembenar dari sanksi pidana ialah kejahatan itu
sendiri. apabila dihubungkan dengan tujuan dari hukum pidana maka aliran klasik
merupakan cerminan dari perlindungan bagi korban, suatu perbuatan pidana harus
segera untuk dijatuhi pidana tanpa mempertimbangkan factor subjek (pelaku) (Kholiq,
2012).
Berbeda dengan aliran klasik, aliran modern dalam alur pemikirannya dipengaruhi
oleh paham determinisme yaitu paham yang megajarkan bahwa secara internal manusia
didapandang tidak memiliki kehendak dengan bebas, melainkan dipengaruhi oleh
berbagai kondisi ekternal yang memperngaruhi dalam berbuat. Dengan demikian titik
sentral atau orientasi pemidanaan dari aliran modern ialah terletak pada diri pelaku
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1189
kejahatan (daader straferech), diamana apabila terjadi suatu tindak pidana dijatuhkan
semata-mata karena adanya objek perbuatan tanpa melihat faktor subjektif dan factor
eksternal yang mempengaruhi pelaku. Maka dalam aliran modern pelaku kajahatan
tidak beda dipermasalahkan dan dipidana secara konstan, sehingga dalam aliran modern
sistem peringanan atau pemberatan pidana dipertimbangkan dalam menjatuhkan sanksi
pidana kepada pelaku. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan tujuan dari hukum
pidana maka aliran modern merupakan cerminan dari perlindungan (kepentingan)
individu yaitu pelaku (daader).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, menanggapi dua aliran sebelumnya
telah memunculkan suatu aliran baru yang disebut dengan “Neo-kasik”. Sebagai
alternatif dari dua aliran sebelumnya, aliran neo-klasik merupakan modifikasi dari aliran
klasik dalam merespon mempengaruhi aliran modern mengenai pertimbangan
individual pelaku tindak pidana. Sehingga ciri dari aliran ialah diterimanya keadaan
yang meringankan dan memberatkan serta diperkenankannya sanksi dalam menentukan
derajat pertanggungjawaban pelaku pidana.
Sehingga karena merupakan perkembangan dari aliran klasik yang mendapat
pengaruh dari aliran modern maka orientasi ganti rugi yang dilakukan pelaku
merupakan cerminan dari perlindungan bagi korban. Hal ini dikarenakan tema sentral
dari aliran neo-klasik ialah keseimbangan antara perbuatan pidana (daad) dan pelaku
pidana (daader) (Arief, 2011). Dalam artian menyelesaikan perkara pidana selain
melihat faktor objektif yang berupa perbuatan pidana, ikut diperhatikan pula faktor
subjektif dari korban tidak pidana. Dan hal tersebut dimaksudkan untuk memastikan
perlindungan kepentingan korban dari kewenangan-wenangan negara yang diwakili
oleh jaksa.
Lebih lanjut RUU KUHP 2016 didasarkan atas pemikiran neo-klasik (neo-
classical school) atau aliran daad-daader strafrecht, masih terbatas penjelasan atau
peraturan perlindungan terhadap korban di dalam RUU KUHP. Oleh sebab itu sangatlah
dibutuhkan peraturan yang mengatur perlindungan terhadap korban secara jelas kepada
korban. Seperti perlindungan yang berupa restitusi, kompensasi yang diberikan pelaku
terhadap korban, mulai dari kerugian harta benda dan kerugian yang bersifat spikis
(batin) untuk mengembalikan kerugian batin bisa dilakulan oleh pelaku melalui biaya
hidup selama proses persidangan hingga putusan dari majelis hakim.
Sebagai dasar filosofis RUU KUHP 2016, daad-daader-victim strafrecht
(keseimbangan) tercermin dalam berbagai ketentuan Pasal mengenai tindak pidana
penganiayaan RUU KUHP 2016 berikut, antara lain, dalam berbagai Pasal delik aduan
tindak pidana kekerasan fisik berakibat luka ringan Pasal 598 ayat (4), tindak pidana
kekerasan psikis berakibat luka ringan Pasal 599 ayat (2) dan tindak pidana kekerasan
seksual Pasal 600 ayat (2). RUU KUHP 2015, dijadikannya berbagai ketentuan khusus
Pasal 598 ayat (5), Pasal 599 ayat (3) dan Pasal 600 ayat (2) sebagai delik aduan.
Berdasarkan Pasal 31 RUU KUHP 2015 pengaduan dapat ditarik kembali dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengaduan diajukan, dan apabila pengaduan ditarik
maka pengaduan tidak dapat diajukan kembali. lebih lanjut, berbagai Pasal tersebut
Yusup Anchori
1190 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
merupakan penerapan dari prinsip keseimbangan antara daad-daader strsfrecht dan
pengaruh dari ilmu viktimologi yang diadopsi dalam sistem hukum pidana mendatang.
Selanjutnya terkait dengan perkara penganiayaan pasal 593 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3)
juga diharapkan menjadi delik aduan, Dengan adanya delik aduan keseimbangan antara
pelaku dan korban mereka dapat berperan langsung atas perkara yang ia alami,
mengenai penjabutan aduan bisa dijadikan tolak ukur korban untuk mendapatkan
restitusi, apabila restitusi atau ganti rugi disepakati oleh pelaku dan korban maka aduan
dapat dijabut oleh korban. Dengan demikian negara tidak dapat berperan dalam
mewakili korban, sebab korban berperan sendiri atas perkara yang ia alami. Karena
selama ini terkait dengan perkara penganiayaan dan pengeroyokan serta pembunuhan
merupakan delik biasa, yang artinya apabila perkara telah dijabut oleh korban negara
masih bisa memonopoli (melanjutkan) atas perkara tersebut.
Dengan hadirnya RUU KUHP 2016, diharapkan dapat memberikan keseimbangan
perlindungan antara pelaku dan korban. Perlindungan restitusi, kompensasi terhadap
korban sangatlah penting untuk hukum ke depan, korban merupakan orang yang perlu
diperjuangkan atas kerugian dari tindak pidana, dan selama ini kepentingan atau hak-
hak korban tidak dihiraukan baik dalam peratuan maupun dalam putusan pengadilan.
Bahwa dari teori keseimbangan di atas bisa dijadikan bahan pertimbahan atau rujukan
dalam perindungan korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi di masa yang
akan datang.
Lebih lanjut kedepan Para hakim dan jaksa perlu dapat pembelajaran kembali agar
berani membaca teks dengan bebas yang mengutamakan perlindungan terhadap korban,
yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial masa kini. Tidak sedikit teks
undang- undang yang bisa merusak korban apabila tidak dibaca dan dimaknai secara
progresif dalam perlindungan korban. Hakim dan jaksa tidak usah ragu-ragu dalam
memutuskan perkara dalam mempertimbangkan hak-hak dan kerugian korban asal bisa
memberi argumentasi. Argumentasi penting yang bisa diajukan hendaknya berani keluar
dari setelan pikiran leberal dan menempatkan fungsi hukum untuk melayani, menjamin,
dan menjaga keutuhan indonesia (Rahardjo, 2009). Argumentasi yang di gunanan tidak
lain Untuk menjaga keutuhan Indonesia dalam konteks ini tidak lepas dari kepentingan-
kepentingan korban diperjuangkan agar tercapainya perlindungan yang berupa restitusi
dari pelaku yang diberikan terhadap korban.
Perlindungan kepentingan korban dan ide individualisasi pidana tercermin di
dalam pengaturan tentang pidana dan pemidanaan. Pada saat sekarang, ganti kerugian
seperti restitusi kompensasi untuk korban tindak pidana sering diabaikan oleh sistem
peradilan pidana, khususnya pengaturan di dalam hukum pidana materiil. Untuk
memenuhi aspek ini, RUU KUHP telah menyediakan jenis sanksi berupa “pembayaran
ganti kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Kedua jenis sanksi ini dimasukkan
sebagai jenis pidana tambahan, karena dalam kenyataan sering terungkap, bahwa
penyelesaian masalah secara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok
saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh korban sebagai suatu penyelesaian masalah
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1191
secara tuntas. Selain “pembayaran ganti kerugian kepada korban” dan “pemenuhan
biaya hidup selama proses persidangan berlangsung”.
Sehubungan pengaturan tentang perlindungan terhadap korban, didalam konsep
RUU KUHP juga dianut tentang ide individualisasi pidana. Yang dimaksudkan dengan
individualisasi pidana ialah bahwa pemidanaan harus juga berorientasi pada faktor
“orang” (pelaku tindak pidana). Individualisasi pidana tidak diatur didalam KUHP lama.
Pokok pemikiran “individualisasi pidana” ini antara lain terlihat dalam aturan umum
RUU KUHP tentang :
a. Dirumuskannya asas yang sangat funda-mental “tiada pidana tanpa kesalahan”
b. Dirumuskannya “pedoman pemidanaan” yang didalamnya hakim wajib
mempertimbangkan beberapa faktor antara lain: motif, sikap batin dan kesalahan si
pembuat, era si pembuat melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial
ekonominya serta bagaimana pengaruh pidana terhadap masa depan si pembuat.
c. Didalam pedoman “pemberian maaf/pengampunan” oleh hakim antara lain juga
dipertimbangkan faktor keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan.
d. Didalam ketentuan mengenai “peringanan dan pemberatan pidana” dipertimbangkan
beberapa faktor, antara lain:
a) apakah ada kesukarelaan terdakwa menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib;
b) apakah ada kesukarelaan terdakwa memberi ganti rugi atau memperbaiki kerusakan
yang timbul;
c) apakah ada kegoncangan jiwa yang sangat hebat;
d) apakah si pelaku adalah wanita hamil muda;
e) apakah ada kekurangmampuan bertanggung jawab;
f) apakah si pelaku adalah pegawai negeri yang melanggar kewajiban
jabatannya/menyalahgunakan kekuasaannya;
g) apakah ia menyalahgunakan keahlian/profesinya;
h) apakah ia seorang residivis. Sisi lain dari ide “individualisasi pidana” yang
dituangkan di dalam RUU KUHP ialah adanya ketentuan mengenai
“modifikasi/perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali putusan pemidanaan yang
telah berkekuatan tetap” yang didasarkan pertimbangan karena adanya
“perubahan/perkembangan/perbaikan pada diri si terpidana itu sendiri” (Gunarto,
2012).
Dengan adanya hal demikian memberikan ruang lingkup yang luas untuk para
hakim dalam memberikan putusan pidana, majelis hakim bisa memutuskan bahwa
terdakwa harus memberikan ganti rugi yang bersifat materiil sesuai dengan huruf d
angka 2, dan apabila pelaku belum bemberikan ganti kerugian terhadap korban atas
perkara yang ia lakukan serta ganti kerugian inmateriil yang berupa biaya hidup selama
perkara perkara dinyatakan inkracht. Maka majelis hakim memutuskan untuk memenuhi
ganti-rugi yang akan diberikan korban. Menggabungkan ganti kerugian pokok dan ganti
kerugian biaya hidup selama perkara dinyatakan inkracht.
Perlindungan hukum terhadap korban selama ini masih didasarkan pada KUHP
sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum
Yusup Anchori
1192 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
acaranya. Bila diperhatikan, di dalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka
dari pada mengenai korban. Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum
maksimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam
penjelasan sebagai berikut :
Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit
atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya hal
penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang
sebenarnya manfaat bagi korban atau keluarga korban. Rumusan Pasal-Pasal dalam
KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan
ancaman pidana.
Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya
keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik,
lingkungan mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringankan
pidana bagi pelaku dengan pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang
khusus, misalnya jiwanya cacat (gila) di bawah umur dan sebagainya. Melihat
penjelasan tersebut, maka dapat diketahui KUHP beroreantasi terhadap pelaku, bahkan
korban cenderung dilupakan. Padahal korban merupakan salah satu aspek yang bener-
bener mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku.
Keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban sebagai lembaga yang
menangani perlindungan korban, setidaknya memberi angin segar bagi korban
pelanggaran HAM atau korban tindak pidana kejahatan. Sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-undang No. 31 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 13 Tahun
2006 tentang LPSK. Keberadaan LPSK tentu menjadi ujung tombak pelaksanaan
perlindungan saksi dan korban yang adil dan sesuai dengan ketentuan hukum serta
memenuhi hak-hak korban. Tetapi selama ini korban tidak mendapatkan perlindungan
apabila tidak mengajukan permohonan perlindungan, hal demikian lembaga
perlindungan saksi dan korban dibuat untuk dirinya sendiri bukan untuk kepentingan
korban. LPSK dituntut melakukan banyak hal untuk memaksimalkan pemberian
perlindungan korban. Seperti lebih aktif dalam mengupayakan perlindungan bagi
korban, mengingat keberadaan korban selama ini, belum mendapatkan perhatian. dan
peraturannya pun sangat terbatas. Maka dengan demikian sudah waktunya lembaga
perlindungan saksi dan korban bekerja untuk korban tanpa menunggu permohonan
perlindungan.
Selanjutnya apabila LPSK berkerja untuk mengidialkan perlindungan korban,
Lembaga Perlindungan saksi dan korban seharusnya lebih aktif menanyakan kepada
instansi kepolisian terkait perkara perkara yang telah masuk dalam kepolisian. Oleh
karena itu lembaga perlindungan saksi dan korban tidak perlu menunggu permohonan
perlindungan dari korban baru memberikan atau tidak memberikan perlindungan kepada
korban kejahatan. Lembaga perlindungan hukum tidak memilih korban kejahatan yang
mana yang harus diberikan perlindungan, LPSK memberikan semua perlindungan
kepada korban tindak pidana tanpa menunggu permohonan perlindungan dari korban.
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1193
Atau apabila lembaga perlindungan saksi dan korban tidak sanggup dalam
mengupayakan perlindungan hukum seperti restitusi maupun kompensasi kepada
korban sudah saatnya semua tanggung jawabnya diserahkan kepada kepolisian maupun
kejaksaan, sebab mengingat keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban berdiri
diluar penegak hukum seperti kepolisian maupun kejaksaan. Agar nanti dari penyidik
maupun kejaksaan bertanggungjawab dalam mengupayakan perlindungan hukum
seperti restitusi maupun kompensasi kepada korban (Yulia, Herli, & Prakarsa, 2019).
Tujuan mulia ketika hukum untuk korban dari gagasan hukum progresif
memberikan tempat pada korban menggenggam kebebasannya, maka Satjipto sejatinya
ingin merawat korban sebagai subyek menuju ruang diaklektis. Subjek progresif
meninggalkan rutinitas logika untuk melakukan lompatan paradikma dalam menafsirkan
hokum (Faisal, 2014). Cara berfikir melompat harus meningggalkan sejenak yang
positif demi tujuan perlindungan korban sendiri. Paradikma pembebasan memandu
subyek progresif agar dialektis, kreatif, dan tidak kontroversial.
Memasukkan hukum dalam ilmu-ilmu sosial adalah langkah yang progresif,
karena dengan demikian memungkinkan hukum itu dianalisis dan dipahami secara lebih
luas dan akan meningkatkan kualitas keilmuan dari ilmu hukum. Kemajuan ilmu-ilmu
alam, ekanomi, sosial, politik (Suteki & Sosial, 2015). seharusnya mendorong para
penegak hukum untuk melihat apa yang bisa dimanfaatkan dari temuan-temuan disiplin-
disiplin ilmu tersebut bagi praktek hukum. Kemajuan dalam bidanng-bidang ilmu di
luar hukum seyogyanya menantang para penegak hukum yang baik untuk memberikan
reaksi yang memadai dan bisa memilah-milah dengan bantuan disiplin ilmu lain seperti
ilmu viktimologi, mana persoalan hukum yang bisa diselesaikan dengan baik. Dari
temuan disiplin ilmu di atas nantinya mampu memberikan perlindungan terhadap
korban yang berupa ganti kerugian. Apabila pemberian Restitusi dilakukan secara
bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan
Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan
permohonan Restitusi. Namun dalam praktiknya ditemukan berbagai problem dalam
menggunakan mekanisme tersebut, Pertama mandat pengaturan restitusi yang lemah
karena muatan UU No. 13 Tahun 2006 beserta Peraturan Pemerintah restitusi dalam
beberapa hal bertentangan dengan Pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan perkara
khususnya terkait dengan hukum acara yang akan digunakan. Hakim dan Jaksa
Penuntut Umum memiliki kecenderungan untuk lebih memilih menggunakan
mekanisme penggabungan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 98 KUHAP karena
hukum acaranya dianggap lebih pasti, kuat dan fleksibel. Sedangkan hukum acara
mekanisme restitusi dalam UU No. 13 Tahun 2006 justru dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008. Dalam konteks ini banyak aparat penegak hukum
menganggap pengaturan hukum acara atau mekanisme restitusi di dalam Pemerintah
Pemerintah dimaksud, tidak sejajar pengaturan dalam KUHAP, tidak memiliki kekuatan
sebagaimana berada di bawah KUHAP. Oleh karena itu mekanisme yang seharusnya
digunakan adalah mekanisme yang diatur oleh Pasal 98 KUHAP.
Yusup Anchori
1194 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Kedua, karena mekanisme Pasal 98 KUHAP yang digunakan maka terkait dengan
ruang lingkup restitusi dalam UU No 13 tahun 2006 menjadi tidak aplikatif, meskipun
dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 memiliki jangkauan restitusi yang lebih
dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan
atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu, sedangkan dalam
KUHAP tentang ganti kerugian hanya terfokus pada kerugian yang nyata akibat tidak
pidana. Sehingga dalam praktiknya maka hanya kerugian-kerugian materiil saja yang
dapat periksa oleh Hakim yang bersangkutan, tuntutan ganti rugi atas kehilangan bagi
korban dianggap sebagai bersifat inmateril, yang perolehannya sehingga harus
menggunakan mekanisme hukum perdata.
Ketiga, mengenai kemampuan daya eksekusi putusan dan upaya paksa, UU No 13
tahun 2006 tidak mengatur mengenai daya paksa untuk melakukan pembayaran. Jika
tidak ada keinginan pelaku untuk membayar restitusi kepada korban maka tidak akan
memiliki implikasi apapun bagi pelaku. Hal ini merupakan tantangan terberat dari
pelaksanaan restitusi bagi korban. Sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan
mekanisme restitusi. Basic principles and guidelines on the right to a remedy and
reparation for victimsof gross violations of international human rights law and serious
violations of international humanitarian law, memberikan cakupan tentang Restitusi
yakni sesuatu yang seharusnya diberikan untuk menegakkan kembali, sejauh mungkin,
situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
Restitusi mengharuskan, antara lain, pemulihan yang mencakup kebebasan,
kewarganegaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atau hal milik. Restitusi sesuai
dengan Prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum) adalah suatu
upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum
kejahatan terjadi, meski didasari bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada
kondisi semula. Prinsip ini menegaskan bahwa bentuk pemulihan kepada korban
haruslah selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan dari
akibat kejahatan. Dengan restitusi, maka korban dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak
hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, kembali ke tempat
tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta dipulihkan asetnya.
Peraturan pemerintah terkait dengan pemberian kompensasi, restitusi. korban
diwajibkan membuat permohonan yang diajukan kepada lembaga perlindungan saksi
dan korban, apabila korban tidak mengajukan permohonannya. Maka korban tidak akan
mendapatkan perlindungan yang berupa restitusi maupun kompensasi. Dalam hal ini
peraturan pemerintah masih mementingkan dirinya tidak mementingkan korban. Sebab
dalam hukum progresif mengenal hukum harus bisa mengabdi pada manusia yaitu
korban. Oleh karena itu selayaknya peraturan pemerintah menambahkan peraturan yang
terkai dengan lembaga perlindungan saksi dan korban untuk pemberikan
perlindungannya kepada korban semenjak pelaku ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam praktek banyak negara menggunakan “konsep restitusi” konsep tersebut
dikembangkan dan diberikan pula kepada korban kejahatan atas penderitaan mereka
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1195
sebagai korban tindak pidana. Dalam konsep ini maka Korban dan keluarganya harus
mendapatkan ganti kerugian yang adil dan tepat dari orang bersalah atau pihak ketiga
yang bertanggung jawab. Ganti kerugian ini akan mencakup pengembalian harta milik
atau pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya
yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban, penyediaan jasa dan hak-hak pemulihan
Perubahan dalam revisi kemudian, menambahkan pengaturan tata cara pemberian
restitusi yang semula diatur dalam Peraturan Pemerintah dan memasukkan dalam RUU
(Pasal 7A); dan menambahkan bahwa, korban tindak pidana berhak memperoleh
Restitusi berupa: a) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b) ganti
kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat
tindak pidana; dan atau c) penggantian biaya perawatan medis dan atau psikologis.
Permohonan diajukan oleh Korban, Keluarganya, atau kuasanya dengan surat kuasa
khusus kepada pengadilan melalui LPSK. Pengajuan dapat dilakukan sebelum atau
setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan halam hal Korban tindak pidana meninggal
dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.
Kemudian, dalam hal LPSK menyetujui permohonan Restitusi dan permohonan
diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
LPSK mengajukan Restitusi kepada Penuntut Umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
Dalam hal LPSK menyetujui permohonan Restitusi dan permohonan diajukan setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK mengajukan
Restitusi kepada Pengadilan.
Mekanisme untuk mendapatkan perlindungan dan membatalkan perlindungan
Dalam Pasal 7 ayat (1) Menjelaskan perlindungan fisik dan psikis bagi pelapor atau
saksi pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) Diajukan oleh pelapor atau
saksi pelapor kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum sesuai tahap
penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) untuk diteruskan kepada LPSK,
atau dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal (2)
dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud Ayat (1) Diterima oleh
lpsk, maka LPSK wajib memberikan perlindungan yang pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum. (3) Dalam hal permohonan
perlindungan sebagaimana dimaksud ayat (1) diterima oleh aparat penegak hukum,
maka aparat penegak hukum wajib berkoordinasi dengan LPSK (Peraturan Bersama
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jaksa Agung Republik
Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik
Indone).
Pasal 28 undang-undang perlindungan saksi dan korban Nomor 31 tahun 2014
bahwa perlindungan disebutkan dalam ayat (1) sampai huruf d menyatakan; (1)
Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan atau Korban diberikan dengan syarat sebagai
berikut: a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan atau Korban; b. tingkat Ancaman yang
membahayakan Saksi dan atau Korban; c. hasil analisis tim medis atau psikolog
Yusup Anchori
1196 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
terhadap Saksi dan atau Korban; dan d. rekam jejak tindak pidana yang pernah
dilakukan oleh Saksi dan atau Korban (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban.).
Perlindungan hak-hak korban tindak pidana kejahatan kedepannya perlu adanya
pasal yang pasti mengatur hak-hak korban. dalam hukum acara pidana mengatur
ketentuan terkait dengan perlindungan hukum seperti restitusi, kompensasi yang jelas
terhadap korban kejahatan, selanjutnya juga di dalam undang-undang lembaga
perlindungan saksi dan korban memuat ketentuan peratuaran pasal yang jelas, tegas
mengenai perlindungan hukum restitusi, kompensasi terhadap korban tindak pidana
seperti lembaga perlindungan saksi dan korban memberikan perlindungan yang berupa
restitusi maupun perlindungan kompensasi serta lembaga bantuan hukum sejak adanya
korban. dan menambahkan pasal yang mengatur secara tegas terhadap lembaga
perlindungan saksi dan korban unuk lebih aktif dalam memberikan perlindungannya
kepada korban tindak pidana, perlindungan diberikan sejak pelaku ditetapkan sebagai
tersangka oleh penyidik (kepolisian).
Kedepan berdasarkan Peraturan MA (Perma) No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan secara
Prodeo (Cuma-Cuma). MA yang berdasarkan PP NO 42 TAHUN 2013 tentang Syarat
dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Bantuan Hukum dan SK
Menkumham No. M.HH-03.HN.03.03 Tahun 2013 tentang Besaran Biaya Bantuan
Hukum Litigasi dan Non-Litigasi. Hal ini mengatur serta melindungi terhadap pelaku
tindak pidana yang tidak mampu mendapatkan perlindungan bantuan hukum yang
berupa materi diberikan kepada pendamping pelaku (Advokat). Dan juga korban
mendapatkan bantuan hukum yang berupa Materi (Restitusi, maupun Konpensasi) baik
dari pelaku maupun dari Negara yang diwakili Lembaga perlindungan saksi dan korban.
Dalam tingkat penyidikan korban sudah mendapatkan perlindungan hukum yang berupa
materi sebesar Rp.2.000.000,- untuk menggantikan kerugian yang ia rasakan, tanpa
menunggu permohonan perlindungan dari korban, setelah ada Laporan peran Penyidik
lebih aktif memberikan informasi kepda LPSK, agar LPSK segera menyiapkan materi
berupa uang yang nantinya diberikan terhadap korban.
Negara seyogyanya menyediakan uang dititipkan kepada LPSK yang nantinya
diberikan kepada para korban tanpa menunggu permohonan dari korban. sebagaimana
Negara menitipkan uang kepada Mahkamah Agung yang dibeikan kepada pelaku yang
tidak mampu. Hal ini merupakan progresifitas perlindungan hukum kepada korban yang
akan datang. Mahkamah Agung sendiri menyediakan uang Rp.4.000.000.000,- (empat
milyar) setiap tahunya untuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku yang
tidak mampu.
Reformasi hukum di Indonesia saat ini belum berhasil antara lain disebabkan
masih banyaknya peraturan dan putusan hakim tidak memperhatikan perlindungan yang
berupa restitusi maupun kompensasi terhadap korban tindak pidana kejahatan, untuk
mengatasi hal tersebut penulis menawarkan suatu konsep pemikiran yang disebut
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1197
hukum progresif, hukum progresif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum untuk
manusia bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi
yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi kepada manusia, yang mana di dalam konteks ini hukum juga melindungi
hak-hak korban sesuai pada sesuatu yang dirugikan oleh korban. Seharusnya korban
mendapatkan perlindungan yang cukup dan diberikan ganti rugi kepada korban atas
perbutan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (tersangka).
Perlindungan terhadap korban, saat pelaku ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa,
perlindungan tersebut belum bisa dirasakan jikalau mengacu pada undang- undang
LPSK, sebab dalam proses korban untuk mendapatkan perlindungan menunggu putusan
pengadilan yang sudah menetapkan terdakwa sebagai terpidana yang sudah berkekuatan
hukum. Disini penulis memandang bahwa perlindungan yang deberikan kepada korban
sangat terbatas, padahal hukum seharusnya untuk korban dan mengapdi kepada
(korban) karena korbanlah orang yang menderita atas tindak pidana tersebut.
Selama ini perlindungan hukum terhadap korban belum bisa dikatakan progresif,
karena hukum progresif lebih peka terhadap pihak yang dirugikan, sebab hukum
progresf memandang hukum harus bisa mengabdi pada manusia khususnya terhadap
korban kejahatan dan memberikan yang terbaik kepada pihak yang dirugikan yaitu
korban. Di dalam undang-undang masih mengatur tentang sistem agar mendapatkan
perlindungan, korban harus aktif agar mendapatkan perlindungan, jika korban tidak
aktif seperti membuat permohonan agar mendapatkan perlindungan restitusi yang
diserahkan kepada lembaga perlindungan saksi dan korban, maka korban kejahatan
tidak mendapatkan perlindungan yang diwakili lembaga perlindungan saksi dan korban.
Hukum progresif tidak memandang seperti itu, karena hukum itu untuk manusia, jadi
lebih menekankan lembaga perlindungan saksi dan korbanlah yang aktif untuk
memberikan perlindungan baik secara materi maupun non materi kepada korban tindak
pidana kejahatan, meski belum adanya permohonan perlindungan dari korban, lembaga
perlindungan saksi dan korban wajib memberikan perlindungan kepada korban
kejahatan minimal setelah pelaku tindak pidana ditetapkan sebagai tersangka. Dalam hal
LPSK lebih aktif tanpa menunggu permohonan perlindungan dari korban merupakan
progresifitas perlindungan hukum yang akan datang terhadap korban.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan uraian di atas, penelitian tentang Perlindungan Hukum
Korban Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
dihubungkan dengan Tujuan Negara Hukum, maka Perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana kejahatan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), harus
memperoleh keadilan dan perlakuan yang adil dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, Pemerintah dan penegak hukum mempunyai kewajiban yang besar terhadap
perlindungan dan pemulihan hukum korban tindak pidana kejahatan dalam sistem
peradilan karena pemerintah turut bertanggungjawab atas kriminalisasi yang
Yusup Anchori
1198 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
dirumuskannya dalam perundang-undangan pidana. Upaya perlindungan dan pemulihan
tersebut harus dilakukan oleh pemerintah.
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1199
BIBLIOGRAFI
AbdusSalam, Shehu S., Allanach, Benjamin C., Quevedo, Fernando, Feroz, Farhan, &
Hobson, Mike. (2010). Fitting the phenomenological MSSM. Physical Review D,
81(9), 95012.
Arief, Barda Nawawi. (2011). Pembaharuan hukum pidana dalam perspektif kajian
perbandingan. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Atang Ranoemihardja. (2000). Hukum Acara Pidana. Bandung: Tarsito.
El-Muhtaj, Majda. (2017). Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Prenada
Media: Jakarta.
Faisal. (2014). Memahami Hukum Progresif. Yogyakarta: Thofa Media.
Gunarto, Marcus Priyo. (2012). Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mimbar Hukum-Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, 24(1), 8397.
Hamzah, Andi. (2019). Hukum Acara Pidana Indonesia Ed 2. Sinar Grafika: Jakarta.
Jurdi, Fajlurrahman. (2019). Hukum tata negara Indonesia. Kencana: Bogor.
Kepailitan, Tentang. (2004). Penelitian Hukum Normatif Suatu. Cetakan Ke-4, Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta, 2010. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji.
Kholiq, M. Abdul. (2012). Buku Pedoman kuliah hukum pidana. Yogyakata: Fakultas
Hukum UII. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk.
Muhammad Sholehidin. (2004). Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar
Double Track Sistem Dan Implenetasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muladi, & Arief, Barda Nawawi. (2002). Teori-teori dan kebijakan pidana. Alumni.
Rahardjo, Satjipto. (2009). Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing.
Salim, H. S., & Nurbani, Erlies Septiana. (2017). Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi Buku Kedua. PT Raja Grafindo Persada: Depok.
Soekanto, Soejono. (2007). Pengantar Penelitian Hukum dan Survei. Universitas
IndonesiaPress, Jakarta.
Soerjono, Soekanto, & Prof, Dr. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta PT. Raja
Grafindo Persada.
Suteki, S., & Sosial, Sebagai Sarana Rekayasa. (2015). Masa Depan Hukum Progresif.
Yusup Anchori
1200 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Yogyakarta: Thafa Media.
Yulia, Rena, Herli, Dadang, & Prakarsa, Aliyth. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap
Korban Kejahatan Pada Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Dalam Sistem
Peradilan Pidana. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(3), 661670.