Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1106 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali dalam melakukan
proses peradilan terhadap pelaku maupun korban dalam penegakan hukum baik
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahanan,
penyelidikan, penyidikan merupakan kewenangan kepolisian dalam pelaksanaan
sistem peradilan pidana anak (Ariani, 2014). penyidik diberikan kewenangan dalam
menjalankan diversi. Kewenangan ini disebut dengan diskresi. Berdasarkan
kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu
perkara pidana yang dilakuka oleh anak sehingga anak tidak perlu berhadapan
dengan penyelesaian peradilan pidana secara formal (Riadi, 2016).
Diversi adalah suatu pengalihan penyeselesaian kasus-kasus anak yang diduga
melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penelesaian damai
antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh
keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan, Anak, Polisi, Jaksa
atau Hakim. Maka dari itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum
harus diselesaikan melalui jalur pengadilan (Ariani, 2014).
Upaya diversi dalam peradilan anak menawarkan solusi yang tepat dan efektif.
Sehingga apa yang dinamakan dengan keadilan tidak hanya berdasarkan balasan
setimpal atas perbuatan yang dilakukan terhadap korban, melainkan melihat pada
tindakan pelaku yang membantu untuk memberikan dukungan kepada korban dan
masyarakat agar anak yang melakukan tindak pidana mau bertanggungjawab.
C. Bimbingan Pasca Diversi
Pada dasarnya konseling merupakan hubungan antara konselor
(Bhabinkamtibmas) dan klien yang sifatnya terapeutis. Proses terapeutis
menekankan pada pengembangan hubungan terapeutis dengan klien dan
mengembangkan tindakan strategis yang efektif untuk memfasilitasi terjadinya
perubahan. Untuk memfasilitasi terjadinya perubahan maka proses konseling
memiliki tahap-tahap yang sistematis. Penyelesaian konflik yang didasarkan atas
partisipasi masyarakat juga membantu untuk kasus yang menimpa anak.
Banyak pengalaman anak yang sudah berhadapan dengan hukum membawa
pengaruh yang kurang baik terhadap psikologi anak tersebut, bahkan terkadang
akibat yang ditimbulkan bukan membuat sang anak jera, melainkan memperburuk
keadaan anak tersebut. Sehingga, untuk kasus seperti ini dapat dilakukan
musyawarah dan mufakat dengan warga, lingkungan, RT, RW Ketua Adat, Tokoh
Agama, Guru sekolah dan keluarga pelaku serta keluarga korban. Untuk mencairkan
sifat formalistik penegak hukum yang ada di Indonesia dan unrtuk melawan
kekakuan hukum formal yang terjadi di Indonesia, terutama masalah hukum yang
menyangkut tindak pidana anak dan terjadi di satu lingkungan masyarakat yang
sama, Bhabinkamtibmas harus bertindak sebagai, konselor dalam merestorasi
perilaku mereka.
Kedekatan Bhabinkamtibmas dengan masyarakat dan tokoh masyarakat
yang ada di desa juga sangat penting dalam menciptakan perdamaian yang restorasif