1099
Jurnal Syntax Admiration
Vol. 1 No. 8 Desember 2020
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356
Sosial Teknik
PERAN BHABINKAMTIBMAS DALAM MELAKUKAN BIMBINGAN PASCA
DIVERSI
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
27 November 2020
Diterima dalam bentuk revisi
10 Desember 2020
Diterima dalam bentuk revisi
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui peran
Bhabinkamtibmas dalam melakukan bimbingan pasca
diversi, dan beserta kendala yang dihadapi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan-pendekatan perundang-
undangan (statue approach), serta pendekatan kasus
(case Aproach) yang berkenaan dengan implementasi
peran kepolisian dalam melakukan bimbingan pasca
diversi. Hasil penelitian menunjukkan peran
Bhabinkamtibmas dalam melakukan bimbingan pasca
diversi telah dijalankan sesuai yang diamanatkan oleh
undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian,
namun implementasinya masih ada masyarakat yang
tidak puas dengan kinerja kepolisian, terutama pihak
korban. Adapun kendala yang dihadapi
Bhabinkamtibmas dalam melakukan bimbingan pasca
diversi yaitu stigma masyarakat terhadap kinerja
kepolisian dalam penanganan perkara anak yang
berkonflik dengan hukum, kurangnya sosialisasi terhadap
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian, kuatnya keinginan korban untuk memberikan
sanksi hukum terhadap pelaku.
Kata kunci:
bhabinkamtibmas;
bimbingan; diversi
Pendahuluan
Anak adalah termasuk bagian dari masyarakat, oleh karena itu hak-hak anak perlu
dilindungi. Seringkali anak dalam masa pertumbuhannya dihadapkan dalam suatu
keadaan dimana sering dijumpai tindakan melanggar ketentuan yang berlaku di
masyarakat, yang sering kita sebut dengan kenakalan anak. Hal ini seringkali menjurus
kepada tindakan pidana yang dilakukan oleh anak yang pada umumnya dilakukan oleh
anak yang di bawah umur.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dibutuhkan tindakan kepolisian, yang
sering kita sebut dengan diversi. Pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan
menghindari efek negative terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya
dengan sistem peradilan pidana (Astari, 2016).
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1100 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan
anak, yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah
tersebut berubah menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), dan saat ini
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun
menggunakan istilah anak yang berhadapan dengan hokum (M. Nasir Djamil, 2013).
Pasal 1 angka 5 Rancangan Perubahan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak
secara jelas mengatur soal keadilan restoratif yaitu suatu bentuk penyelesaian secara
adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam
suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana
tersebut dan implikasi, dengan menekankan pada aspek pemulihan kembali pada
keadaan semula dan bukan pembalasan.
Tidak semua perkara yang dilakukan oleh anak diselesaikan melalui peradilan
formal, akan tetapi masih ada alternatif penyelesaiannya yakni dengan keadilan
restoratif (Restorative Justice), dimana perkara anak yang berkonflik dengan hukum
dapat dilakukan diversi dengan tujuan untuk kebaikan anak tersebut dan untuk keadilan
korban.
Dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak menyebutkan bahwa diversi diberikan pada anak yang berhadapan
dengan hukum (ABH) dikarenakan di dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak mengatur tentang kewajiban pengupayaan diversi
pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pada pemeriksaan perkara anak di Pengadilan
Negeri (Nugroho, 2017).
Pada pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak menyebutkan bahwa diversi diberikan dalam hal tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara di bawah dari 7 tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana.
Menurut (Riadi, 2016) Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila
dicermati dalam perkembangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak selama ini, baik
dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, terkadang tindakan pelanggaran
yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang
tua. Meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak
berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan
penanggulangan kenakalan anak perlu segera dilakukan.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli Tahun 2012, maka Indonesia sudah secara
sah memiliki suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum salah satu metodenya adalah diversi (Pramukti & SH &
Fuady Primaharsya, 2018).
Polri sesuai dengan ketentuan pasal 13 Undang-Undang no 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengemban tugas untuk (1) memelihara
Peran Bhabinkamtibmas dalam Melakukan Bimbingan Pasca Diversi
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1101
keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakan hukum; dan (3) memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan
tugasnya Polri mengedepankan pendekatan pencegahan (Anshar & Setiyono, 2020).
Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara
yang dibentuk oleh negara dididik dan dibiayai oleh negara untuk menjaga dan
memelihara keamanan demi tercapainya tujuan Negara (Putra, 2020). Peran Polri dalam
masyarakat tentunya sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi masyarakat. Dengan
adanya peran Polri dalam masyarakat, diharapkan dapat terciptanya rasa aman, tentram
dan nyaman untuk melakukan kegiatan rutin sehari-harinya. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 5
ayat (1), Polri memiliki peran sebagai berikut :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Tasaripa, 2013)“.
Salah satu tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, dan hal ini ada yang dinamakan bhabinkamtibmas. Salah satu tugas pokok
Bhabinkamtibmas adalah membina warga masyarakat atau kelompok komunitas dengan
cara memberikan penyuluhan dan pembimbingan dalam rangka menumbuhkan
perubahan sikap, perilaku, dan terbentuknya kesadaran/ketaatan hukum guna
menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif (Buku Pintar Bhabinkamtibmas).
Dengan demikian peran kepolisian dalam hal ini bhabinkamtibmas dalam
melakukan bimbingan pasca diversi sangatlah dibutuhkan dengan tujuan agar anak
dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat secara wajar serta mengetahui kendala-
kendala yang dihadapi oleh kepolisian (bhabinkamtibmas) dalam melakukan bimbingan
pasca diversi.
Kepolisian sebagai penegak hukum yang pertama dalam penanganan terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum sehingga salah satu cara yang dapat ditempuh
dalam penanganan perkara pidana anak adalah melalui pendekatan restorative justice,
yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi) (Ratomi, 2013).
Metode Penelitian
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dua yaitu
pendekatan perundang-undangan (statue approach) adalah pendekatan penelitian
dengan menggunakan legislasi dan regulasi, dan pendekatan kasus (case approach)
yaitu pendekatan penelitian yang didasarkan pada ratio decidendi, yakni sebab-sebab
hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai kepada keputusannya (Marzuki, 2017).
Teknik pengumpulan data menggunakan metode penelitian lapangan (field
research) yaitu melakukan pengumpulan data langsung melalui wawancara dengan
penyidik kepolisian pada Polres Gorontalo Kota terkait dengan bimbingan pasca diversi,
dan penelitian kepustakaan (library research), yakni penelitian yang dilaksanakan agar
memperoleh data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini (Moleong, 2013).
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1102 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu analisis
yang bersifat menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku, kemudian dinarasikan
yang dihubungkan dengan fakta atau keadaan atas suatu objek dan statistik untuk
memberikan deskripsi lebih jelas pada permasalahan yang ada agar memudahkan
mengambil suatu kesimpulan (Sugiyono, 2014).
Hasil dan Pembahasan
A. Peran Bhabinkamtibmas Dalam Melakukan Bimbingan Pasca Diversi
1. Pengertian Bhabinkamtibmas
Pada tahun 2015 Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan
Kapala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian
Masyarakat. Pada peraturan tersebut diatur tentang polisi masyarakat yang
bertujuan langsung untuk mendampingi secara langsung pemerintah desa/
Kelurahan. Polisi masyarakat yang terjun langsung dalam masyarakat Desa
disebut Bhabinkabtimas yaitu bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban
masyarakat. Jauh sebelum itu tahun 2008 kepolisian telah mengeluarkan
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Dasar Strategi Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri yang bertujuan untuk membuat dasar polisi yang
berada di masyarakat.
Bhabinkamtibmas merupakan singkatan dari Bhayangkara Pembina
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat adalah anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri) yang bertugas membina keamanan dan ketertiban
masyarakat (kamtibmas) dan juga merupakan pengemban Pemolisian
Masyarakat (Polmas) di desa/kelurahan (Buku Pintar Bhabinkamtibmas,
2014:3). Sedangkan menurut pasal 1 angka 4 Peraturan Kapolri Nomor Tahun
2015 tentang Pemolisian Masyarakat bahwa yang dimaksud dengan
Bhabinkamtibmas adalah pengemban Polisi Masyarakat di desa/kelurahan.
Pada pasal 26 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian
Masyarakat menyebutkan Fungsi Bhabinkamtibmas sebagai berikut :
a. Melakukan kunjungan/ sambang kepada masyarakat untuk mendengarkan
keluhan warga masyarakat tentang permasalahan kamtibmas dan
memberikan penjelasan serta penyelesaiannya, memelihara hubungan
silaturahmi/ pesaudaraan.
b. Membimbing dan menyuluh di bidang hukum dan Kamtibmas untuk
meningkatkan kesadaran hukum dan Kamtibmas dengan menjungjung
tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
c. Menyebarluaskan informasi tentang kebijakan pimpinan Polri berkaitan
dengan Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Harkamtibmas).
d. Mendorong pelaksanaan siskamling dalam pengamanan lingkungan dan
kegiatan masyarakat.
Peran Bhabinkamtibmas dalam Melakukan Bimbingan Pasca Diversi
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1103
e. Memberikan pelayanan kepolisian kepada masyarakat yang memerlukan.
f. Menggerakkan kegiatan masyarakat yang bersifat positif.
g. Mengkoordinasikan upaya pembinaan Kamtibmas dengan perangkat
desa/kelurahan dan pihak-pihak terkait lainnya.
h. Melaksanakan konsultasi, mediasi, negosiasi, fasilitasi, motivasi, kepada
masyarakat dalam Harkamtibmas dan pemecahan masalah kejahatan dan
sosial.
Adapun peran Bhabinkamtibmas itu sendiri adalah :
a. Pembimbing masyarakat bagi terwujudnya kesadaran hukum, dan
Kamtibmas serta meningkatkan partisipasi masyarakat di desa/kelurahan;
b. Pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat bagi terwujudnya rasa aman
dan tentram di masyarakat desa/kelurahan;
c. Mediator, negosiator, dan fasilitator dalam penyelesaian permasalahan-
permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat desa/kelurahan;
d. Dinamisator dan motivator aktivitas masyarakat yang bersifat positif dalam
rangka menciptakan dan memelihara kamtibmas (Buku Pintar
Bhabinkamtibmas, 2014:5).
Adapun menurut Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Pemolisian Masyarakat, wewenang Babinkamtibmas dalam melaksanakan
kegiatan polmas (polisi masyarakat), untuk :
a. Menyelesaikan perselisihan warga masyarakat atau komunitas;
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebaga tindak lanjut
kesepakatan FKPM dalam memelihara keamanan lingkungan;
c. Mendatangi tempat kejadian perkara(TKP) dan melakukan tindakan pertama
ditempat kejadian perkara (TPTKP);
d. Mengawasi aliran kepercayaan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan
perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
Bhabinkamtibmas adalah garda terdepan yang bertujuan membuat
masyarakat lebih baik, aman, dan tertib. Untuk itu bhabinkamtibmas harus
memiliki kompetensi di bidang ketertiban dan keamanan. Bhabinkamtibmas
harus memiliki pengetahuan sebagai berikut (Tim Penyusun, 2015) :
a) Karakteristik wilayah penugasan
b) Budaya masyarakat setempat
c) Peraturan perundang-undangan
d) Sosiologi masyarakat Desa/kelurahan
e) Polmas
f) Komunikasi sosial
g) Teknik serta materi bimbingan dan penyuluhan
h) Kepemimpinan
i) Hak asasi manusia
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1104 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Dalam Pasal 29 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Pemolisian Masyarakat menyebutkan bahwa untuk menjalankan tugasnya
Bhabinkamtibmas juga harus memiliki keterampilan sebagai berikut :
a. Deteksi dini
b. Komunikasi sosial
c. Negosiasi dan mediasi
d. Kepemimpinan: dan Pemecahan masalah sosial.
Bhabinkamtibmas adalah satuan kepolisian yang ditugaskan di
desa/kelurahan, dimana satuan kepolisian ini bersentuhan langsung dengan
masyarakat. Peran Bhabinkamtibmas sebagai petugas kepolisian di desa/
Kelurahan, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Hal ini berarti setiap permasalahan yang dilakukan oleh masyarakat,
baik itu anak-anak ataupun orang dewasa, ditangani lebih dulu oleh
Bhabinkamtibmas. Apalagi perkara anak yang berkonflik dengan hukum, perlu
adanya bimbingan dari kepolisian dalam hal ini bhabinkamtibmas guna
melindungi hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Pada prinsipnya tugas Bhabinkamtibmas itu sendiri adalah menjaga
ketertiban dan keamanan masyarakat desa/kelurahan. Adapun makna kata tertib
dan ketertiban di sini adalah suatu kondisi di mana unit sosial termasuk di
dalamnya adalah warga masyarakat dengan segala fungsi dan posisinya dapat
berpeeran sesuai dengan ketentuan yang ada. Sedangkan pengerrtian ketertiban
adalah suaatu keadaan di mana segala kegiatan dapat berfungsi dan berperan
sesuai ketentuan yang ada (Evi Rinawati, 2018).
Kamtibmas merupakan tanggungjawab seluruh masyarakat dan
pemerintah, dalam hal ini kepolisiaan sebagai penegak hukum. Kepolisian
melakukan upaya-upaya pencegahan dan perlindungan bagi keamanan dan
ketertiban masyarakat.jika terjadi perkara di masyarakat seperti kenakalan
anak atau anak yang berkonflik dengan hukum, maka bhabinkamtibmas yang
lebih dulu menangani perkara tersebut sebelum ke tingkat peradilan umum.
B. Pengertian Diversi
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan
keberlangsungan hidup bangsa. Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembangnya anak serta perlindungan dari kekerasan. Saat ini
kemajuan ilmu pengetahuan mendorong perubahan sosial di masyarakat yang sangat
berpengaruh terhadap prilaku anak. Perubahan ini berdampak pada penyimpangan
tingkah laku dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak.
Meningkatnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, membuat keresahan di
masyarakat khususnya orang tua. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan
penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan (Sambas, 2010).
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan
untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak
Peran Bhabinkamtibmas dalam Melakukan Bimbingan Pasca Diversi
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1105
dapat menyongsong masa depannya yang lebih baik serta memberi kesempatan
pada anak untuk menjadi manusia yang mandiri, dan bertanggungjawab dan berguna
bagi bangsa, negara, dan masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, anak
diposisikan sebagai obyek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum cenderung merugikan anak.
Maka lahirlah Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak, yang memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan
hukum. Dalam undang-undang ini diterapkannya proses diversi dalam penyelesaian
perkara anak, dengan pendekatan keadilan restoratif dalam membantu proses
pemulihan keadaan menjadi lebih baik.
Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,
menyatakan bahwa sistem peradilan anak merupakan seluruh proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu mulai dari tahap penyelidikan
sampai pada tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Anak yang berhadapan
dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Adapun anak
yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun dan
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Jika anak yang berusia di bawah 12 (dua belas) tahunmelakukan tindak pidana,
maka ada dua pilihan yang akan diambil yaitu menyerahkan kembali kepada
orangtua/walinya atau mengikutsertakan anak tersebut dalam program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga
penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) baik di pusat maupun daerah paling
lama 6 (enam) bulan.
Dengan adanya undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
anak maka peran penegak hukum dalam hal ini penyidik kepolisian untuk dapat
mengimplementasikan undang-undang tersebut khususnya dalam perkara anak yang
berkonflik dengan hukum.
Sebelum melakukan diversi, penyidik terlebih dahulu melakukan wawancara
dengan pelaku (anak) untuk mengetahui motif dilakukannya tindak pidana tersebut.
Sehingga penyidik dengan mudah untuk mengupayakan diversi berhasil mencapai
kesepakatan. Selama anak diwawancarai oleh penyidik, harus didampingi orangtua/
walinya.
Pelaksanaan diversi dalam tahap penyidikan dapat dilakukan dengan cara
musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua, korban dan orangtua/walinya,
pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial dengan berdasarkan pendekatan
keadilan restoratif. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, pihak
penyidik melaporkan berita acara diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
dibuat surat penetapan diversi. Dan sebaliknya apabila diversi gagal, maka pihak
penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut
umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian
kemasyarakatan.
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1106 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali dalam melakukan
proses peradilan terhadap pelaku maupun korban dalam penegakan hukum baik
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahanan,
penyelidikan, penyidikan merupakan kewenangan kepolisian dalam pelaksanaan
sistem peradilan pidana anak (Ariani, 2014). penyidik diberikan kewenangan dalam
menjalankan diversi. Kewenangan ini disebut dengan diskresi. Berdasarkan
kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu
perkara pidana yang dilakuka oleh anak sehingga anak tidak perlu berhadapan
dengan penyelesaian peradilan pidana secara formal (Riadi, 2016).
Diversi adalah suatu pengalihan penyeselesaian kasus-kasus anak yang diduga
melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penelesaian damai
antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh
keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan, Anak, Polisi, Jaksa
atau Hakim. Maka dari itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum
harus diselesaikan melalui jalur pengadilan (Ariani, 2014).
Upaya diversi dalam peradilan anak menawarkan solusi yang tepat dan efektif.
Sehingga apa yang dinamakan dengan keadilan tidak hanya berdasarkan balasan
setimpal atas perbuatan yang dilakukan terhadap korban, melainkan melihat pada
tindakan pelaku yang membantu untuk memberikan dukungan kepada korban dan
masyarakat agar anak yang melakukan tindak pidana mau bertanggungjawab.
C. Bimbingan Pasca Diversi
Pada dasarnya konseling merupakan hubungan antara konselor
(Bhabinkamtibmas) dan klien yang sifatnya terapeutis. Proses terapeutis
menekankan pada pengembangan hubungan terapeutis dengan klien dan
mengembangkan tindakan strategis yang efektif untuk memfasilitasi terjadinya
perubahan. Untuk memfasilitasi terjadinya perubahan maka proses konseling
memiliki tahap-tahap yang sistematis. Penyelesaian konflik yang didasarkan atas
partisipasi masyarakat juga membantu untuk kasus yang menimpa anak.
Banyak pengalaman anak yang sudah berhadapan dengan hukum membawa
pengaruh yang kurang baik terhadap psikologi anak tersebut, bahkan terkadang
akibat yang ditimbulkan bukan membuat sang anak jera, melainkan memperburuk
keadaan anak tersebut. Sehingga, untuk kasus seperti ini dapat dilakukan
musyawarah dan mufakat dengan warga, lingkungan, RT, RW Ketua Adat, Tokoh
Agama, Guru sekolah dan keluarga pelaku serta keluarga korban. Untuk mencairkan
sifat formalistik penegak hukum yang ada di Indonesia dan unrtuk melawan
kekakuan hukum formal yang terjadi di Indonesia, terutama masalah hukum yang
menyangkut tindak pidana anak dan terjadi di satu lingkungan masyarakat yang
sama, Bhabinkamtibmas harus bertindak sebagai, konselor dalam merestorasi
perilaku mereka.
Kedekatan Bhabinkamtibmas dengan masyarakat dan tokoh masyarakat
yang ada di desa juga sangat penting dalam menciptakan perdamaian yang restorasif
Peran Bhabinkamtibmas dalam Melakukan Bimbingan Pasca Diversi
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1107
karena dalam pendekatan ini dibutuhkan kesadaran dari kedua belah pihak untuk
sama-sama setuju tidak menempuh jalur formal. Secara umum proses
bimbingan/konseling oleh Bhabinkamtibmas dibagi atas tiga tahapan :
1. Tahap Awal Bimbingan/Konseling
Tahap ini terjadi sejak Bhabinkamtibmas menemui anak yang berkonflik
dengan hukum atau setelah pasca restoratif justice. Bhabinkamtibmas membuat
need assement terhadap anak dimaksud berdasarkan isu, kepedulian, untuk
menentukan langkah langkah melakukan bimbingan.
2. Tahap Pertengahan (Tahap Kerja)
Bhabinkamtibmas melakukan transfer of learning pada diri anak untuk
belajar dari proses konseling mengenai perilakunya dan hal-hal yang
membuatnya terbuka untuk mengubah perilakunya diluar proses konseling.
Artinya, anak mengambil makna dari hubungan bimbingan/konseling untuk
kebutuhan akan suatu perubahan perilaku.
3. Tahap Akhir
Pada akhir bimbingan/konseling, Bhabinkamtibmas mengharapkan anak
sadar akan perubahan sikap dan perilakunya. Sebab ia (anak) sadar akan
perlunya perubahan pada dirinya. Demikian anak mulai menerima kondisi sosial
masyarakat lingkungan dan psikologi anak mulai membaik tidak terjadi lagi
trauma serta mulai membiasakan adaptasi baru.
D. Kendala Yang dihadapi Oleh Bhabinkamtibmas Dalam Melakukan Bimbingan
Pasca Diversi
Setiap kita melakukan sesuatu, pasti akan menemukan kendala-kendala yang
menghambat tujuan. Seperti halnya kendala-kendala yang dihadapi dalam
pelaksaanaannya. Disini ada beberapa kendala yang dihadapi oleh bhabinkamtibmas
dalam melakukan bimbingan , antara lain :
1. Pengetahuan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia khususnya pasal 18 masih minim
dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Kepolisian khususnya
pasal 18 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia.
2. Stigma negatif masyarakat terhadap penanganan anak yang berkonflik dengan
hukum yang dilakukan oleh bhabinkamtibmas. Dikarenakan kurangnya
kemampuan petugas itu sendiri dalam memberikan pengertian kepada
masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi terutama anak yang
berkonflik dengan hukum. Sebagian orang berpandangan bahwa petugas yang
melakukan bimbingan dan konseling belum maksimal dalam menjalankan
tugasnya. Anak yang berkonflik dengan hukum setelah kembali ke masyarakat
merasa tidak percaya diri karena merasa masyarakat akan menjauh dari dirinya,
sehingga proses reintegrasi sosial yang dilalui oleh anak menjadi lebih berat.
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1108 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
3. Kuatnya keinginan korban untuk memberikan sanksi hukum kepada pelaku
dikarenakan adanya pihak-pihak tertentu yang turut memanas-manasi kepada
korban untuk tetap dilakukannya tindakan hukum bagi pelaku Tindak Pidana.
Kesimpulan
Pengaturan mengenai fungsi Bhabinkamtibmas telah diatur dalam Peraturan
Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat. Dalam pasal 26
Peraturan Kapolri tersebut disebutkan fungsi Bhabinkamtibmas antara lain adalah
membimbing danb menyuluh di bidang hukum dan keamanan, ketertiban masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran hukum dan keamanan, ketertiban masyarakat dengan
menjungjung tinggi Hak Asasi Manusiaa (HAM), memberikan pelayanan kepolisian
kepada masyarakat yang memerlukan. Ini membuktikan bahwa peran kepolisian dalam
hal ini Bhabinkamtibmas pada prinsipnya adalah untuk melindungi dan memberikan
bimbingan terhadap masyarakat yang melakukan tindak pidana, dan terutama kenakalan
anak/remaja.
Anak yang melakukan tindak pidana selain orangtua, anak juga membutuhkan
pendampingan, pembimbngan dan penegak hukum yaitu bhabinkamtibmas yang ada di
desa/kelurahan. Apabila penyelesaian secara diversi berhasil mencapai kesepakatan
antara pihak-pihak yang berperkara, maka peran bhabinkamtibmas untuk melakukan
bimbingan pasca diversi dengan tujuan melindungi hak-hak anak agar mental anak tidak
tertekan karena telah melakukan perbuatan yang melawan hukum yang nantinya akan
berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak.
Dalam melakukan pembimbingan, bhabinkamtibmas sangat membutuhkan dan
harus menguasai prinsip-prinsip/metode pembimbingan, teknik pembimbingan,
sehingga dapat membantu dalam memenuhi tugas dan fungsi bhabinkamtibmas sesuai
dengan amanat perundang-undangan, dan dapat menjadi seorang konselor dalam
membimbing secara utuh.
Kendala-kendala yang dihadapi bhabinkamtibmas dalam melakukan bimbingan
pasca diversi antara lain sumber daya manusia yakni kurangnya personil
bhabinkamtibmas dalam melakukan bimbingan (konselor) yang ada di desa/kelurahan,
kurangnya kerjasama antara pihak konselor dan orangtua dari anak yang berkonflik
dengan hukum, stigma negatif masyarakat terhadap penanganan anak yang dilakukan
oleh bhabinkamtibmas pasca diversi.
Peran Bhabinkamtibmas dalam Melakukan Bimbingan Pasca Diversi
Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020 1109
BIBLIOGRAFY
Anshar, Ryanto Ulil, & Setiyono, Joko. (2020). Tugas dan Fungsi Polisi Sebagai
Penegak Hukum dalam Perspektif Pancasila. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 2(3), 359372.
Ariani, Nevey Varida. (2014). Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Upaya Melindungi Kepentingan
Anak. Media Hukum, 21(1), 16.
Astari, Prima. (2016). Landasan Filosofis Tindakan Diskresi Kepolisian Terhadap Anak
yang Berhadapan dengan Hukum. Arena Hukum, 8(1), 118.
Evi Rinawati, Maryani. (2018). Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Kamtibmas) di Kelurahan Pangkalan Kerinci Barat”. JOM FISIP, 5.
M. Nasir Djamil. (2013). Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika, Jakarta Timur.
Marzuki, Mahmud. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.
Moleong, Lexy J. (2013). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mosal.
Nugroho, Okky Chahyo. (2017). Peran Balai Pemasyarakatan pada Sistem Peradilan
Pidana Anak ditinjau Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal HAM, 8(2),
161174.
Pramukti, Angger Sigit, & SH & Fuady Primaharsya, S. H. (2018). Sistem Peradilan
Pidana Anak. Media Pressindo: Yogyakarta.
Putra, Chandra Aulia. (2020). Peran Bhabinkamtibmas dalam Mendukung Keberhasilan
Operasi Mantap Brata Candi di Wilayah Hukum Polsek Tingkir Polres Salatiga.
Indonesian Journal of Police Studies, 4(1), 166.
Ratomi, Achmad. (2013). Konsep Prosedur Pelaksanaan Diversi pada Tahap Penyidikan
dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak. Arena Hukum,
6(3), 394407.
Riadi, Selamet. (2016). Peran Penyidik Polri dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak
yang Berkonflik dengan Hukum (Studi di PPA Polres Lobar). Jurnal IUS Kajian
Hukum Dan Keadilan, 4(2).
Sambas, Nandang. (2010). Pembaruan sistem pemidanaan anak di Indonesia. Graha
Ilmu: Bandung.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Heny Moedji Rahayu, Fenty U Puluhulawa dan Lusi Margareth Tijow
1110 Syntax Admiration, Vol. 1 No. 8 Desember 2020
Tasaripa, Kasman. (2013). Tugas dan Fungsi Kepolisian dalam Perannya Sebagai
Penegak Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian. Tadulako University.
Tim Penyusun. (2015). Buku Pedoman Kerja Bhabinkamtibmaa Polda Jawa Tengah.
Semarang : Polda Jateng.