1048
Jurnal Syntax Admiration
Vol. 1 No. 8 Desember 2020
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356
Sosial Teknik
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN (PERSERO) YANG
MELAKUKAN PERJANJIAN KERJASAMA TANPA PERSETUJUAN RUPS
YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Ahmad Mawardi Nur
Universitas Padjadjaran Bandung Jawa Barat, Indonesia
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
24 Agustus 2020
Diterima dalam bentuk revisi
10 Desember 2020
Diterima dalam bentuk revisi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
merumuskan akibat hukum perjanjian kerjasama
korporasi yang dilakukan direksi tanpa melalui
persetujuan dari RUPS ditinjau berdasarkan UU BUMN
dan hukum perjanjian serta untuk mengetahui dan
merumuskan pertanggungjawaban hukum Direksi
BUMN (Persero) yang melakukan perjanjian kerjasama
tanpa melalui persetujuan dari RUPS yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara berdasarkan
UU BUMN, UUPT dan UU Keuangan Negara.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif dengan meneliti data sekunder, bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
serta data primer yang diperoleh dari hasil wawancara.
Spesifikasi penulisan ini adalah deskriptif analitis yaitu
menggambarkan, menelaah dan menganalisis secara
sistematis, secara faktual serta secara akurat dari objek
penulisan itu sendiri. Tahap penulisan melalui studi
kepustakaan dan studi lapangan. Metode analisis data
penelitian ini normatif kualitatif. Berdasarkan hasil
analisa diperoleh kesimpulan pertama, akibat hukum
terhadap perjanjian kerja sama yang dilakukan direksi
tanpa melalui persetujuan dari RUPS adalah perjanjian
tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian pada Pasal
1320 KUHPerdata yaitu terkait syarat cakap untuk
mengadakan suatu perjanjian sehingga perjanjian tersebut
dapat dibatalkan. Kedua, pertanggungjawaban hukum
Direksi BUMN (Persero) yang melakukan perjanjian
kerja sama tanpa melalui persetujuan dari RUPS
sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara
adalah direksi bertanggung jawab atas kerugian tersebut
secara pribadi selama terbukti melakukan perbuatan yang
melampaui kewenangannya (ultra vires) dan melanggar
Pasal 97 ayat (2) UU PT dengan tidak melaksanakan
tugas dan wewenangnya dengan penuh tanggung jawab
dan iktikad baik.
Kata kunci:
direksi; RUPS;
pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan Perjanjian Kerjasama
Tanpa Persetujuan RUPS yang Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020 1049
Pendahuluan
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
yang memiliki pengertian bahwa seluruh kegiatan ekonomi dikerjakan oleh semua
kalangan, baik masyarakat maupun pemerintah. Pada umumnya negara-negara
mempunyai badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha yang dikategorikan masuk
kedalam bidang penyelenggaraan pelayanan dan kepentingan umum (public service and
public utilities). Hal itu didasarkan pada alasan adanya suatu cabang produksi atau
bidang usaha yang dianggap penting dan vital atau strategis bagi negara dan menguasai
hajat hidup banyak orang, sehingga tidak dapat begitu saja diserahkan kepada swasta
untuk menguasai dan menyelenggarakan (Aminudin Ilmar, 2018). Salah satu upaya
pemerintah untuk menguasai cabang-cabang penting, serta mencari pendapatan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat adalah dengan membentuk suatu badan usaha yang
disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
BUMN terdiri atas Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum
(Perum). Dalam penafsiran Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (yang selanjutnya disebut UU Keuangan Negara), kekayaan
BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya, kekayaan BUMN itu adalah
keuangan negara. Mahkamah Agung Repubik Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan mengeluarkan Fatwa Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16
Agustus 2006 menyatakan salah satu diantaranya, yaitu Pasal 2 huruf g UU Keuangan
Negara yang dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (yang selanjutnya disebut UU BUMN), maka ketentuan dalam
Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/
perusahaan daerah” tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hokum (Ridwan
Khairandy, 2018).
Perdebatan berlanjut di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pasal 2 huruf g
dan i UU Keuangan Negara telah dua kali diuji oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu
putusan Nomor 488/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013. Kedua permohonan
uji materi tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, secara
normatif ketentuan Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Keuangan Negara tetap
berlaku dengan makna bahwa kekayaan Persero merupakan kekayaan negara tetapi
secara teoritik masih tetap dapat diperdebatkan.
Direksi merupakan organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, baik di dalam maupun
di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Tri Budiono, 2011).
Direksi dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola perusahaan bertanggung
jawab terhadap perusahaan baik tanggung jawab internal maupun eksternal, tanggung
jawab Direksi termasuk mengenai kerugian atau kebangkrutan yang terjadi pada
perusahaan yang dipimpinnya (Binoto Nadapdap, 2018). Anggota Direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi (persoonlijk aansprakelijk, personally liable) atas kerugian
yang dialami Perseroan, apabila anggota Direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau
melanggar apa yang dilarang atas pengurusan itu (Yahya Harahap, 2019).
Ahmad Mawardi Nur
1050 Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020
BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas sering mengalami kerugian dalam
jumlah sangat besar akibat pengurusan yang dilakukan oleh Direksi BUMN.
Pengelolaan BUMN (Persero) tidak dapat dilepaskan dari peranan Direksi. Anggota
Direksi BUMN dapat dituntut pertanggungjawabannya karena melakukan tindakan yang
merugikan keuangan negara akibat perbuatannya dalam mengelola/mengurus BUMN
yang ia pimpin.
Kasus terakhir terkait kerugian keuangan negara pada BUMN Persero adalah
kasus perpanjangan kerjasama pengelolaan PT JICT antara PT Pelindo II (Persero)
dengan Hutchison Port Holding (HPH). Berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif
Badan Pemeriksa Keuangan atas perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan dan
pengoperasian PT JICT antara PT Pelindo II (Persero) dengan HPH, BPK
menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perjanjian
kerjasama pengelolaan dan pengoperasian PT JICT yang ditandatangani tanggal 5
Agustus 2014.
Badan Pemeriksa Keuangan Negara RI (BPK) menyimpulkan adanya indikasi
kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal USD 306 juta ekuivalen Rp4,08
triliun (kurs tengah BI per Juli sebesar Rp13.337,00/USD).
Hasil pemeriksaan tersebut menemukan terdapat beberapa temuan, diantaranya
adalah penunjukan Hutchinson Port Holding (HPH) oleh pihak PT Pelindo II sebagai
mitra kerja dalam perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian
PT JICT dilakukan tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang seharusnya.
Perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT JICT
ditandatangani oleh pihak Pelindo II dan pihak HPH meskipun belum ada persetujuan
dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan persetujuan Menteri Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) (Warta BPK, 2017).
Kasus lain terkait dengan kerugian keuangan negara pada BUMN Persero terdapat
pada perjanjian kerja sama pengelolaan investasi antara PT Kereta Api Indonesia
(Persero) (yang selanjutnya disebut PT KAI) dengan PT Optima Karya Capital
Management (PT OKCM). Mantan Direktur Utama PT KAI Ronny Wahyudi ketika
masih menjabat sebagai Direktur Utama telah menandatangani perjanjian kerja sama
dengan PT OKCM untuk menginvestasikan dana PT KAI sebesar Rp 100 Miliar
melalui program reksadana.
Pengelolaan dana melalui program reksadana yang telah disetujui Ronny itu
bertentangan dengan Anggaran Dasar PT KAI karena metode yang biasa digunakan
adalah deposito. Investasi gagal dengan PT OKCM tersebut tidak dicantumkan dalam
penyusunan rencana kerja dan anggaran PT KAI pada tahun berikutnya. Selain itu tidak
ada izin dari pemegang saham komisaris dan RUPS PT KAI melanggar AD pendirian
PT KAI (Persero) Nomor 2 Tahun 1999.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk membahas mengenai akibat hukum dan
pertanggungjawaban dari Direksi BUMN (Persero) yang melakukan pengurusan
Perseroan yang mengakibatkan Perseroan tersebut mengalami kerugian. Penelitian ini
dilaksanakan untuk mencapai beberapa tujuan, pertama yaitu untuk mengetahui dan
Pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan Perjanjian Kerjasama
Tanpa Persetujuan RUPS yang Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020 1051
merumuskan akibat hukum perjanjian kerjasama yang dilakukan Direksi tanpa melalui
persetujuan RUPS yang melanggar AD, kedua untuk mengetahui dan merumuskan
pertanggungjawaban hukum Direksi BUMN (Persero) yang melakukan perjanjian
kerjasama tanpa persetujuan dari RUPS yang mengakibatkan kerugian keuangan negara
ditinjau dari hukum positif Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat baik sebagai
sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi Ilmu Hukum, serta memberikan kegunaan
peraktis bagi Kementerian BUMN, BUMN, dan aparat penegak hukum.
Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan yuridis
normatif, adapun yang dimaksud dengan penelitian yuridis normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian dititikberatkan pada studi kepustakaan yang mengkaji
data-data sekunder, sedangkan data primer hanya berperan sebagai bahan pendukung
penelitian saja. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menghubungkan teori-teori hukum dan praktik
pelaksanaannya menyangkut permasalahan yang akan dibahas. Metode ini memiliki
tujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis, faktual serta akurat dari objek
penelitian itu sendiri (Hanitijo, 1990).
Pendekatan ini dilakukan bertujuan untuk meneliti secara sistematis, factual dan
akurat mengenai pertanggungjawaban Direksi BUMN yang melakukan perjanjian
kerjasama tanpa persetujuan RUPS yang mengakibatkan kerugian keuangan negara
yang kemudian dikaji berdasarkan UU BUMN dan Peraturan Perundang-Undangan
lainnya dan teori hukum serta praktik pelaksanaan hukum positif Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
A. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kerja Sama yang Dilakukan Direksi
Tanpa Melalui Persetujuan dari RUPS ditinjau Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Hukum
Perjanjian
Segala tindakan organ Perseroan Terbatas termasuk Direksi tidak boleh
menyimpang dari aturan hukum yang berlaku, aturan yang digunakan sebagai
acuan Direksi dalam melakukan tindakan antara lain adalah UU PT yang
berdasarkan pada Anggaran Dasar Perseroan Terbatas tersebut, dan juga peraturan
perundang-undangan yang lain terhadap tindakan-tindakan yang dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU PT, maka dapat kita ketahui bahwa
dalam hal pengurusan Perseroan Direksi bertindak selaku pimpinan dalam
pengurusan Perseroan Terbatas. Pengurusan sebuah Perseroan Terbatas dapat
dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu pengertian secara luas dan sempit. Dalam
arti sempit, pengurusan Perseroan Terbatas adalah perbuatan menjalankan
pengurusan dalam arti terbatas atau hanya tindakan keseharian yang berhubungan
dengan tujuan persekutuan yang bersangkutan atau biasa disebut daden van
Ahmad Mawardi Nur
1052 Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020
beheeren (Sulistiowati, 2010). Pengertian secara luas mencakup dua tindakan,
antara lain menjalankan pekerjaan pengurusan (daden van beheeren) dan
menjalankan pekerjaan kepemilikan atau dengan kata lain menjalankan pekerjaan
penguasaan (daden van eigondom atau daden van beschikking) (Rudhi Prasetya,
2011).
Berdasarkan kasus yang diangkat oleh peneliti, maka akan diuraikan masing-
masing kasusnya diawali dengan kasus PT Pelindo II terlebih dahulu. Kerjasama
pengelolaan dan pengoperasian PT. JICT yang dijalin antara PT. Pelindo II dengan
Hutchison Port Holding, dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan
Pengoperasian PT. JICT. Adapun diketahui Perpanjangan perjanjian kerjasama PT.
Pelindo II dengan PT. JICT tidak pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana
Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan
(RKAP) PT. Pelindo II serta tidak diinformasikan secara terbuka kepada pihak
pemangku kepentingan dalam Laporan Tahunan 2014. Perpanjangan perjanjian
kerjasama pengelolaan dan pengoperasian PT. JICT dalam RJPP dan RKAP PT.
Pelindo II tidak transparan sehingga patut diduga sebagai upaya untuk menutup-
nutupi adanya rencana Perpanjangan Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan
Pengoperasian PT. JICT dengan mitra terdahulu, yaitu HPH.
Perbuatan Direksi ini bertentangan dengan beberapa aturan yang berlaku,
yaitu meliputi:
1. Perubahan Anggaran Dasar Pelindo II sebagaimana ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. AHU.AH.01.10-04026 pada 16
Februari 2010 Pasal 11 ayat (8) butir (b) dan ayat (10) butir (g) mengenai tugas,
wewenang dan kewajiban Direksi dinyatakan perbuatan-perbuatan Direksi yang
hanya dapat dilakukan setelah mendapat penjelasan tertulis dari Dewan
Komisaris dan Persetujuan RUPS diantaranya "Mengadakan kerja sama dengan
badan usaha atau pihak lain berupa kerja sama lisensi, kontrak manajemen,
menyewakan aset, Kerja Sama Operasi (KSO), Bangun Guna Serah (Build
Operate Transfer/BOT), Bangun Milik Serah (Build Own Transfer/BOW),
Bangun Serah Guna (Build Transfer Operate) dan kerja sama lainnya dengan
nilai atau jangka waktu yang melebihi penetapan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat 8 huruf (b) Pasal ini
2. Keputusan Direksi Pelindo II Nomor HK.56/2/23/PI.1I-04 tanggal 8 Maret 2004
Pasal 12 ayat (2) "Untuk KSU yang mempunyai jangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun harus melalui persetujuan RUPS.
Perbuatan yang dilakukan Direksi PT Pelindo II adalah tidak hanya sebatas
daden van beheeren, melainkan dapat dikategorikan merupakan perbuatan
pengurusan yang dapat digolongkan sebagai daden van eigendom atau daden van
beschikking. Hal tersebut disebabkan karena direksi telah menjalankan pekerjaan
kepemilikan atau dengan kata lain menjalankan pekerjaan penguasaan, sehingga hal
tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan oleh Direksi tanpa persetujuan dari organ
Pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan Perjanjian Kerjasama
Tanpa Persetujuan RUPS yang Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020 1053
lainnya. Melihat hal tersebut, maka perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh
Direksi PT Pelindo II telah melampaui wewenangnya dalam Anggaran Dasar.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya; cakap untuk membuat suatu perjanjian; mengenai suatu
hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. Terkait dengan syarat Cakap, Orang yang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pasal 1329 KUHPerdata
menyatakan bahwa setiap orang berwenang untuk melakukan perjanjian, kecuali
orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Mengenai
ketidakcakapan subjek hukum dalam mengadakan perjanjian dibedakan menjadi:
(R. Subekti, 2010).
1. Ketidakcakapan untuk bertindak (handeling onbekwaamheid), yaitu orangporang
yang sama sekali tidak dapat membuat suatu perjanjian hukum yang sah. Orang-
orang ini disebutkan dalam Pasal 1330 KUHPerdata;
2. Ketidakberwenangan untuk bertindak (handeling onbevoeghid), yaitu orang
yang tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum tertentu dengan sah.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus dimaknai juga sebagai
kewenangan untuk membuat perjanjian. Seseorang dikatakan memiliki kewenangan
apabila ia mendapatkan kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan
apabila ia tidak mendapat kuasa untuk itu. Akibat hukum
ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang
telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable).
(Abdulkadir Muhammad, 1982) melihat dari syarat sahnya perjanjian kerja sama
yang dilakukan oleh pihak PT Pelindo II dengan pihak HPH, maka ada satu syarat
personalia yang tidak terpenuhi, yaitu “cakap untuk mengadakan suatu perjanjian.”
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian juga harus dimaknai sebagai
kewenangan untuk membuat perjanjian.
Direksi dalam kepengurusan perseroan terbatas mewakili perseroan di dalam
dan di luar pengadilan dan bertindak atas nama perseroan. UU PT melalui Pasal 97
ayat (1) dan (2) menekankan tanggung jawab direksi dalam pengurusan perseroan
itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Pengurusan
perseroan dengan iktikad baik (good faith) meliputi salah satunya yaitu wajib
menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty or duty obedience).
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait, serta peraturan yang terdapat dalam anggaran dasar
serta aturan internal perseroan.
Direksi PT Pelindo II maupun PT KAI yang pada saat itu membuat suatu
perjanjian memang memiliki kapasitas sebagai organ perseroan yang bertindak
untuk mewakili perusahaan untuk membuat hukum dengan pihak di luar perseroan,
namun terdapat ketidakcakapan terkait dengan tindakannya yang dapat digolongkan
sebagai daden van eigendom atau daden van beschikking karena telah menjalankan
pekerjaan kepemilikan atau dengan kata lain menjalankan pekerjaan penguasaan.
Ahmad Mawardi Nur
1054 Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020
Ketidakcakapan tersebut adalah terkait dengan ketidakberwenangan untuk
bertindak (handeling onbevoeghid), yaitu orang yang tidak dapat membuat suatu
perbuatan hukum tertentu dengan sah. Direksi PT Pelindo II dan PT KAI sebagai
orang yang bertindak mewakili Perseroan. Menurut ketentuan dalam anggaran
dasar PT tersebut harus mendapatkan persetujuan dari RUPS terlebih dahulu,
barulah hal tersebut melengkapi kewenangan direksi PT Pelindo II maupun PT KAI
yang pada saat itu membuat perjanjian kerja sama dengan pihak di luar Perseroan.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian merupakan salah satu syarat subjektif
sahnya suatu perjanjian. Dalam hal suatu syarat subjektif, jika syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum, akan tetapi salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Perjanjian tersebut tetap
mengikat para pihak selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
Akibat hukum ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah
bahwa perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim
(voidable). Perjanjian yang telah dibuat antara pihak PT Pelindo II dan pihak HPH
maupun antara PTKAI dengan PT. OKCM adalah tetap mengikat para pihak,
selama perjanjian tersebut tidak diminta untuk dibatalkan. PT Pelindo II maupun
PT KAI merupakan pihak yang dapat meminta pembatalan karena pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Akibat hukum terhadap perjanjian kerja sama yang dilakukan direksi tanpa
melalui persetujuan dari RUPS adalah perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat
sah perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu terkait syarat cakap untuk
mengadakan suatu perjanjian. Direksi memiliki wewenang untuk mewakili
perseroan untuk membuat hubungan hukum dengan pihak di luar perseroan selama
hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan anggaran dasar perseroan. Terdapat ketidakcakapan terkait dengan
ketidakberwenangan untuk bertindak (handeling onbevoeghid). Direksi sebagai
orang yang bertindak mewakili PT dalam pengurusan kepemilikan (daden van
beschikking) harus mendapatkan persetujuan RUPS terlebih dahulu berdasarkan
AD, barulah hal tersebut melengkapi kewenangan direksi yang pada saat itu
melakukan perjanjian kerja sama. Perjanjian kerja sama yang dilakukan Direksi
BUMN tanpa melalui persetujuan dari RUPS tetap mengikat para pihak selama
perjanjian tersebut tidak dimintakan pembatalan oleh pihak yang tidak cakap.
B. Pertanggungjawaban Hukum Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan
Tindakan Korporasi tanpa Melalui Persetujuan dari RUPS yang
Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
Pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan Perjanjian Kerjasama
Tanpa Persetujuan RUPS yang Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020 1055
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. ketika direksi diangkat sebagai pengurus
perseroan dan mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan dan bertindak
atas nama perseroan, maka direksi merupakan orang yang dipercaya melaksanakan
apa yang menjadi maksud dan tujuan perseroan (Nyulistiowati Suryanti, 2018). UU
PT melalui Pasal 97 ayat (1) jo. (2) jo. (3) menekankan tanggung jawab direksi
dalam pengurusan perseroan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab. Pengurusan Perseroan dengan itikad baik.
Pengurusan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan oleh Direksi
berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU BUMN dan Pasal 92 UU PT. Direksi
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan sesuai dengan kebijakan
yang dipandang tepat, dengan batas yang ditentukan dalam UU PT dan anggaran
dasar. Pasal 5 ayat (3) UU BUMN menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas
pengurusan Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan
perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip prinsip profesionalisme,
efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta
kewajaran.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 UU BUMN menyatakan bahwa,
RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dan memegang
segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris. Dalam hal
Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, maka menteri bertindak
sebagai RUPS, kemudian apabila perseroan dan perseroan terbatas yang tidak
seluruh sahamnya dimiliki oleh negara maka menteri bertindak selaku pemegang
saham. Pasal 15 ayat (1) UU BUMN menentukan bahwa pengangkatan dan
pemberhentian direksi ditetapkan oleh menteri. Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU
BUMN, dalam kedudukannya selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian
direksi cukup dengan keputusan menteri.
Sebagai pengurus perseroan, direksi dapat mewakilkan perseroan di dalam
dan di luar pengadilan, hal tersebut merupakan kewenangan dari direksi secara
tidak terbatas dan tidak bersyarat, selama kewenangannya tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar serta
keputusan RUPS.
Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang
dialami perseroan apabila bersalah (schuld) atau lalai (culpoos) menjalankan
tugasnya melaksanakan perseroan. Dalam hal anggota direksi terdiri atas dua orang
atau lebih, Pasal 97 ayat (4) UU PT menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab
secara tanggung renteng. Dengan demikian apabila salah anggota direksi lalai atau
melanggar kewajiban pengurusan secara iktikad baik dan penuh tanggung jawab
sesuai dengan lingkup aspek-aspek iktikad baik dan pertanggungjawaban
pengurusan yang disebut di atas, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut
memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami
perseroan.
Ahmad Mawardi Nur
1056 Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020
Tanggung jawab yang dapat dimintakan kepada direksi adalah tanggung
jawab perdata maupun pidana. Dalam hal PT yang merupakan BUMN karena
kekayaannya masuk ke dalam ruang lingkup keuangan negara, maka prosedur
prosedur tanggung jawab dapat dilakukan melalui hukum administrasi negara.
Direktur PT memiliki kewenangan dalam mengelola perusahaannya sepanjang
kewenangan tersebut dilakukan sebagaimana yang ditentukan dalam UU PT dan
AD Perseroan tersebut, sehingga tidak dapat dituntut di depan pengadilan sebagi
orang yang merugikan perseroan tersebut kecuali apabila direktur melanggar
kewenangan yang ditentukan dalam UU PT dan AD perseroan atau menjalankan
pengurusan dan pemilikan perusahaan dengan tidak dilandasi iktikad baik (good
faith).
Perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh Direksi PT Pelindo II dan PT KAI
tanpa melalui persetujuan terlebih RUPS terlebih dahulu telah melanggar ketentuan
Pasal 5 ayat (3) UU BUMN, dimana anggota Direksi dalam melaksanakan tugasnya
harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta
wajib melaksanakan prinsip prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Perjanjian yang
telah dilakukan dengan melanggar anggaran dasar oleh direksi tersebut tidak
mematuhi kewajiban anggota Direksi untuk menjalankan pengurusan Perseroan
dengan iktikad baik (good faith). Aspek iktikad baik dalam konteks pengurusan
perseroan adalah patuh dan taat terhadap peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar perseroan. Perbuatan direksi yang melanggar peraturan perundang-
undangan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau bisa juga
dikualifikasikan sebagai perbuatan ultra vires yakni perbuatan yang melampaui
batas kewenangan dan kapasitasnya.
Perbuatan direksi PT Pelindo II dan PT KAI dengan tidak mengindahkan
kewajibannya untuk menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty or duty
obedience) telah membuat perbuatan tersebut dikategorikan perbuatan yang
melampaui kapasitas dan batas kewenangannya sebagai direksi (ultra vires).
Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang
dialami perseroan apabila anggota direksi tersebut lalai atau bersalah dan
melanggar kewajiban pengurusan secara iktikad baik dan penuh tanggung jawab
sesuai dengan aspek-aspek iktikad baik dan pertanggungjawaban pengurusan.
Dengan dilakukannya proses perjanjian secara melawan hukum atau melampaui
kewenangannya (ultra vires) (Tri Widiono, 2015), maka baik direksi pelindo II dan
KAI dapat dikatakan telah lalai dan melanggar kewajiban pengurusan dengan
iktikad baik dalam menjalankan kewajibannya sebagai direksi. Perbuatan tersebut
menyebabkan direksi PT Pelindo II dan PT KAI bertanggung jawab secara pribadi
atas kerugian yang dialami Perseroan.
Pemegang saham dapat mengajukan gugatan perdata terhadap anggota
Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 97 ayat (6) UU PT memberikan hak kepada pemegang saham untuk
Pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan Perjanjian Kerjasama
Tanpa Persetujuan RUPS yang Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020 1057
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri atas nama perseroan atas kesalahan
atau kelalaian yang menimbulkan kerugian pada perseroan. Terdapat syarat
kuantitatif yang harus dipenuhi oleh pemegang saham untuk memiliki legal
standing atas nama perseroan dalam hal menggugat anggota direksi, yaitu minimal
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara (Yahya
Harahap, 2019).
Seperti yang diketahui PT Pelindo II dan PT KAI merupakan BUMN yang
berbentuk Persero, selanjutnya peneliti akan membahas terkait kaitan kerugian
Persero dengan kerugian keuangan negara. Pengertian keuangan negara dalam arti
luas meliputi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD), keuangan negara pada perjan, perum, perseroan,
sedangkan dalam arti sempit keuangan negara hanya meliputi setiap badan hukum
yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.
Pengertian keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Keuangan Negara memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun
dalam arti sempit. Keuangan Negara dalam arti luas meliputi APBN, Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), keuangan negara pada Perusahaan Jawatan,
Perum, Perseroan, sedangkan dalam arti sempit keuangan negara hanya terbatas
pada hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan yang, termasuk uang dan
barang milik negara yang tercantum dalam anggaran negara untuk tahun yang
bersangkutan (W. Riawan Tjandra, 2014). Tujuan diadakannya pemisahan secara
tegas substansi keuangan negara dalam arti luas dengan substansi keuangan negara
dalam arti sempit agar ada keseragaman pemahaman. Hal ini mengandung manfaat
terhadap pihak-pihak yang berwenang melakukan pengelolaan keuangan negara
sehingga tidak melakukan perbuatan yang tidak bersesuaian dalam hukum
keuangan negara.
BUMN menurut UU badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara kekayaan
negara yang dipisahkan BUMN termasuk dalam lingkup keuangan negara. Pasal
tersebut telah dua kali diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan permohonan tersebut
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian diatas kekayaan BUMN
merupakan kekayaan negara, dengan melekatnya kekayaan negara maka erat
hubungan antara kerugian yang dialami Perseroan dengan kerugian keuangan
negara.
Dikaitkan dengan penjelasan yang demikian, maka peneliti menganalisa
bahwa timbulnya kerugian yang dialami oleh PT Pelindo II dan PT KAI akibat
perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi, maka kerugian tersebut dapat
menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara.
Berdasarkan paparan sebelumnya, telah dijelaskan dalam UU PT bahwa
kerugian yang terkait dengan kekayaan perseroan dapat diselesaikan dengan
mekanisme hukum privat. Pasal 97 ayat (6) pemegang saham dapat mengajukan
Ahmad Mawardi Nur
1058 Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020
gugatan secara perdata kepada Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang
melakukan kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian pada Perseroan
setelah memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan. Hak untuk mengajukan
gugatan atas nama perseroan terhadap anggota direksi yang melakukan kesalahan
atau kelalaian dalam pengurusan perseroan, juga diberikan oleh Pasal 97 ayat (7)
UU PT kepada anggota direksi lain dan/atau anggota dewan komisaris. kerugian
yang terkait dengan kekayaan murni persero dibatasi dengan ketentuan hukum
privat dimana prosedur penyelesaiannya mengikuti mekanisme keperdataan yang
diatur dalam UU PT.
Kerugian Perseroan yang dipandang sebagai ‘kerugian negara’, maka hal
tersebut akan tunduk pada hukum publik. UU BUMN tidak mengatur mengenai
mekanisme penyelesaian kerugian keuangan Perseroan BUMN. UU BUMN
mengacu pada ketentuan UU PT dalam pertanggungjawaban Direksi yang
mengakibatkan kerugian Persero dan Hukum Administrasi Negara terkait dengan
‘keuangan negara’ pada BUMN. Penjelasan umum UU Tipikor Pasal 2 huruf g UU
Keuangan Negara mengatakan bahwa kekayaan BUMN adalah termasuk kedalam
keuangan negara, sehingga apabila timbul kerugian yang dipandang sebagai
‘kerugian negara’ pada BUMN, maka penyelesaiannya tunduk juga pada
mekanisme yang diatur dalam hukum administrasi negara. Pasal 67 ayat (2) UU
Perbendaharaan Negara secara tegas menyatakan bahwa: “ketentuan penyelesaian
kerugian negara/daerah dalam Undang-Undang ini berlaku pula untuk pengelola
perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggaran pengelolaan
keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang tersendiri”.
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Perbendaharaan Negara, menegaskan
bahwa bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian
tersebut. Ganti kerugian menurut Pasal 1 angka 6 UU BPK adalah sejumlah uang
yang harus atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang harus dikembalikan
kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah melakukan perbuatan,
baik sengaja maupun lalai. Pengembalian kerugian negara dapat dilakukan melalui
prosedur di luar dan di dalam peradilan. Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan
Pasal 71 ayat (2) UU BUMN berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap
BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila tuntutan ganti kerugian keuangan negara melalui prosedur di luar
pengadilan tidak berhasil, maka prosedur melalui peradilan harus digunakan agar
keuangan negara berada pada posisi yang sama sebelum dikelola. Prosedur melalui
peradilan didasarkan pada instrumen hukum pidana, hukum administrasi negara,
dan hukum perdata. Ketiga instrumen tersebut mengandung prosedur berbeda
berdasarkan substansi yang dikandungnya (Djafar Saidi, 2017).
Berdasarkan kepada pembahasan di atas, pertanggungjawaban hukum direksi
BUMN (Persero) yang melakukan perjanjian kerja sama tanpa melalui persetujuan
Pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) yang Melakukan Perjanjian Kerjasama
Tanpa Persetujuan RUPS yang Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara
Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020 1059
dari RUPS yang mengakibatkan kerugian keuangan negara adalah direksi
bertanggung jawab atas kerugian tersebut secara pribadi apabila terbukti melakukan
perbuatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan melanggar Pasal 97
ayat (2) UU PT dengan tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan penuh
tanggung jawab dan iktikad baik. Status kekayaan BUMN yang masuk ke dalam
ruang lingkup kekayaan negara mengakibatkan kerugian yang diderita BUMN
merupakan kerugian keuangan negara. Direksi atas perbuatannya secara melawan
hukum atau melalaikan kewajiban diwajibkan untuk mengganti kerugian keuangan
negara yang timbul akibat perbuatan hukum yang dilakukan.
Kesimpulan
Akibat hukum terhadap perjanjian kerja sama yang dilakukan direksi tanpa
melalui persetujuan dari RUPS adalah perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah
perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu terkait syarat cakap untuk mengadakan
suatu perjanjian, hal tersebut dikarenakan direksi telah melampaui kewenangannya
dalam AD, sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang tidak cakap.
Pertanggungjawaban hukum Direksi BUMN (Persero) yang melakukan perjanjian
kerja sama tanpa melalui persetujuan dari RUPS yang mengakibatkan kerugian
keuangan negara adalah direksi bertanggung jawab atas kerugian tersebut secara pribadi
apabila terbukti melakukan perbuatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan
melanggar Pasal 97 ayat (2) UU PT dengan tidak melaksanakan tugas dan
wewenangnya dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik. Prosedur penggantian
kerugian Persero BUMN dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
Pemerintah sebagai pemilik modal dari BUMN harus melakukan perampingan
atau penyederhanaan jumlah BUMN maupun anak usaha atau cucu BUMN.
Penyederhanaan tersebut diperlukan agar dapat memudahkan pengawasan yang
dilakukan oleh kementerian BUMN selaku wakil dari Pemerintah, serta dapat
mengoptimalkan fungsi BUMN tersebut dalam hal mengejar keuntungan.
Ahmad Mawardi Nur
1060 Syntax Admiration, Vol. 1, No. 8, Desember 2020
BIBLIOGRAFI
Abdulkadir Muhammad. (1982). Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hlm. 93.
Aminudin Ilmar. (2018). Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN. Jakarta:
Kharisma Putra Utama.
Binoto Nadapdap. (2018). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Jala Permata Aksara.
Hanitijo, R. (1990). Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Nyulistiowati Suryanti. (2018). Rai Mantili, Anita Afriana, Hukum Perusahaan, Jakarta:
Universitas Terbuka.
R. Subekti. (2010). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.
Ridwan Khairandy. (2018). Korupsi Kerugian Negara di BUMN. Yogyakarta: FH UII
Press.
Rudhi Prasetya. (2011). Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Saidi, M. D., & Djafar, E. M. (2017). Hukum Keuangan NegaraTeori dan Praktik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sulistiowati. (2010). Aspek hukum dan realitas bisnis perusahaan grup di Indonesia.
Erlangga: Jakarta.
Tri Budiono. (2011). Hukum Perusahaan. Salatiga: Griya Media.
Tri Widiono. (2015). Direksi Perseroan Terbatas: Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan
Tanggung Jawab. Bogor: Ghalia Indonesia.
W. Riawan Tjandra. (2014). Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT Grasindo.
Yahya Harahap. (2019). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.