Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 2 No. 2 Februari 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
�
Djone Georges Nicolas
Sekolah Tinggi Theology
(STT) IKAT Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRACT |
Diterima 18
Januari 2020 Diterima dalam bentuk revisi 12
Februari 2021 Diterima dalam bentuk revisi |
This study aims to
analyze the writings of Jeremiah 29:11 about suffering, and get its relevance
for believers in the midst of the Covid-19 pandemic crisis, where in the
midst of this crisis and tense situation, anxiety, doubt, hopelessness,
depression, and death have become realities and threats. faced by everyone
including believers in which there are a number of pastors who have become
victims and have lost their lives. This research uses descriptive qualitative
methods and literature analysis, by collecting data through biblical sources,
books, journals, digital articles, and other documents related to the issues
being studied. The results of his research provide suggestions as to what
kind of believers should interpret and respond to the phenomenon of suffering
in the midst of the ongoing Covd-19 pandemic: Believers must fully believe in
God's design and faithfulness even in conditions of suffering, because God is
sovereign over His plans and remains aware of the purpose of the plan. God is
for the salvation of His people so it is necessary and must view suffering
from God's perspective. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisa tulisan Yeremia 29:11 tentang
penderitaan, dan mendapatkan relevansinya bagi orang percaya di tengah krisis
pandemi Covid-19, dimana di tengah situasi krisis dan mencekam ini, kecemasan,
kebimbangan, keputusasaan, depresi, hingga kematian menjadi realita dan
ancaman yang dihadapi semua orang termasuk orang-orang percaya yang di
dalamnya terdapat sejumlah pendeta yang telah menjadi korban hingga
kehilangan nyawa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan
analisa literatur, dengan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku-buku,
jurnal-jurnal, artikel digital, dan dokumen lain yang berkaitan dengan
masalah yang dikaji. Hasil penelitiannya memberi saran seperti apa seharusnya
orang percaya memaknai dan menyikapi fenomena penderitaan di tengah pandemi
Covd-19 yang terus berlangsung: Orang percaya harus tetap sepenuhnya
mempercayai rancangan dan kesetiaan Allah dalam kondisi penderitaan
sekalipun, sebab Allah berdaulat atas rencanaNya dan tetap menyadari bahwa
tujuan rencana Allah adalah untuk keselamatan umat-Nya sehingga perlu
dan harus memandang penderitaan dari sudut pandang Allah. |
Keywords: suffering; jeremiah 29:11; believers; the covid-19 pandemic crisis Kata kunci: penderitaan; yeremia 29:11; krisis pandemi
covid-19 |
Pendahuluan
Bicara penderitaan adalah berbicara tentang keadaan yang tidak menyenangkan yang harus ditanggung, dan dihindari oleh manusia, walaupun penderitaan merupakan sesuatu yang wajar dan bagian kehidupan manusia. Sulit dalam konteks Kristiani menelusuri asal penderitaan di muka bumi, dikarenakan penderitaan merupakan sesuatu yang tidak baik sehingga tidak mungkin berasal dari Allah yang Maha Baik dan yang telah menciptakan segala sesuatu dengan baik adanya. Penderitaan merupakan pergumulan atau problem iman, sebab ada� orang yang bisa menerima penderitaan yang dialaminya sehingga menjadi semakin beriman dalam ujian penderitaan, di sisi lain ada orang yang sulit menerima penderitaannya sehingga menganggap Tuhan yang Maha kasih sebagai sebuah konsep tipuan maupun khayalan, dikarenakan dianggap tidak dapat menolong sehingga tidak perlu dipercayai (Hidayat, 2016). Jikapenderitaan bukan berasal dari Allah, selanjutnya muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan dialami oleh orang-orang percaya dan apakah Tuhan senang melihat umat-Nya menderita.
Bagi David Alinurdin dalam jurnal berjudul �Covid-19 dan Tumit Achilles Iman Kristen�, menyatakan problem penderitaan dapat diumpamakan sebagai titik lemah iman Kristen, dan di sisi lain pandemi Covid-19 merupakan suatu pesan kuat bagi umat manusia untuk memperingati bahwa Tuhan tidak meninggalkan, tetapi justru sebaliknya melalui penderitaan menunjukkan bahwa Allah sedang berbicara, hadir, dan bertindak di tengah keberlangsungan hidup manusia (Alinurdin, 2020). Perlu diingat bahwa, tidak semua hal yang tidak menyenangkan atau pahit adalah tidak baik. Sebagai contoh obat resep dokter maupun obat tradisional tidaklah selalu manis maupun menyenangkan bagi yang meminumnya, tetapi memberi manfaat yang sangat baik bagi pemulihan orang yang sakit. Pendapat yang serupa disampaikan oleh Sundoro bahwa, faktanya karena pengalaman yang menyakitkan, manusia justru mempertanyakan kasih, kuasa dan keberadaannya Tuhan sehingga ada yang meninggalkan iman percayanya, dan bahkan ada yang mengambil jalan pintas bunuh diri akibat kerasnya penderitaan dan kesulitan yang dirasakan, karena anggapan Tuhan tidak sanggup menolong (Tanuwidjaja, 2020).
Menurut Sudianto Manullang, ada penderitaan yang mempunyai tujuan membawa iman seseorang dimurnikan dan bertumbuh, dan ada pula penderitaan yang dapat menjadi suatu sarana mendatangkan kemuliaan bagi Allah, sehingga tidak boleh menerapkan teologi retributif yang sempit terhadap semua kasus penderitaan (Manullang, 2020). Dengan kata lain, penderitaan mempunyai manfaat dan diperlukan dalam proses pertumbuhan rohani orang percaya. Namun, bagi mereka yang justru gugur dan tidak mampu bertahan di tengah proses penderitaan Paul David mengatakan bahwa kelemahan hanya sesungguhnya menunjukkan realita yang sebenarnya: bahwa kebergantungan hidup kita sepenuhnya ada pada Tuhan dalam segala hal (David, 2020).
Pada pengunjung tahun 2019, seluruh dunia dikejutkan pada bulan Desember dengan sebuah tragedi yang mengakibatkan keresahan yang sangat fenomenal. Berawal dari Wuhan di China, dimana pasien pertama virus corona (Covid-19) ditemukan oleh komunitas medis internasional berdasarkan berita m.cnnindonesia.com pada tanggal 4 desember 2020. WHO (World Health Organization) sebagai organisasi kesehatan dunia telah menetapkan wabah penyakit covid-19 sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020 diakibatkan peningkatkan drastis kasus positif di 114 negara, yakni tiga belas kali lipat, dan pada April 2020 sudah menyebar ke 210 negara (Valerisha & Putra, 2020).
Pandemi Covid-19 yang memasuki bulan kesembilan sejak ditemukannya kasus pertama terinfeksi di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 masih juga belum usai, dan justru disinyalir Indonesia darurat Covid-19 dengan per hari jumlah rekor kematian mencapai 258 jiwa, dengan rasio kasus positif yang juga tertinggi di dunia, yakni sekitar 20,6 persen berdasarkan berita yang dilansir oleh www.kompas.id pada 25 Desember 2020. Diperkirakan dampaknya yang sangat luas bukan sekedar area kehidupan manusia seperti pekerjaan, pendidikan, ekonomi, politik dan kerohanian, tetapi lebih jauh dapat mengakibatkan peningkatan kekhawatiran, ketakutan dan kepanikan hingga depresi oleh karena pandemi covid-19 yang tidak kunjung berakhir. Hal ini disebabkan karena penyebaran virus corona yang sangat tinggi dapat berdampak buruk bagi kesehatan jiwa dan psikologis pasien serta orang di sekitarnya, termasuk keluarga, tetangga dan bahkan tenaga medis (Keliat, 2018). Dampak negatif wabah pandemi covid-19 terhadap psikologis dan mental manusia dapat terjadi karena kesepian, kesedihan, ketakutan, kekhawatiran terhadap status sosial ekonomi, keputusasaan, panik, stres, kemarahan, kecemasan, ketidakberdayaan dan stigma (Maulida et al., 2020). Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDAKJI) merilis beberapa jenis masalah psikologis yang terjadi dan dialami di masa pandemi covid-19 di antaranya: kecemasan sebesar 65%, depresi sebesar 62% dan trauma sebesar 75%.
Dampak dari pandemi covid-19 tidak dapat dianggap enteng dan harus menjadi perhatian serius dari semua pihak. Dengan wabah covid-19, orang Kristen dan seluruh penduduk di dunia ini berada di tengah suasana dimana penderitaan dan kematian begitu nyata dan dekat sekaligus menakutkan (Lukito, 2020). Menurut data survei Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di dalam situs resmi pgi.or.id bertanggal 18 Juli 2020, 19.4% responden tidak keluar rumah, 79,3% tidak lagi berkumpul dengan anggota gereja, 11,4% menyatakan tetap akan beribadah daring walaupun gereja diperbolehkan ibadah di gedung. Secara Psikologis karena dampak pandemi covid-19, survei yang sama menunjukkan bahwa 73,1% responden terdampak indikasi gejala depresi ringan, 21,9% depresi sedang, 3,5% gejala depresi cukup serius, 1,5% gejala depresi serius.
Berdasarkan penuturan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sebanyak 226 jemaat Gereja Bethel Bandung terinfeksi covid-19 sesuai pernyataan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Nicolas, 2020). Dua gereja diumumkan oleh bupati Pati bapak Harianto pada 26 September 2020 menjadi klaster baru di Pati ketika mengadakan pertemuan dengan total peserta 30 orang, dimana banyak 22 orang positif covid-19 dan dua pendeta di antaranya meninggal menurut berita okezone.com. Pada bulan November 2020 tanggal 23, pendeta gereja HKBP DS yang juga merupakakan Ketua Sekolah Tinggi Guru Huria (STGH) HKBP di Sumatera Utara meninggal dunia karena positif Covid di RSUD Tarutung (news.okezone.com). Bahkan dalam suara.com Senin 13 April 2020, heboh berita Gerald Glen seorang pendeta yang terkena virus corana dan meninggal dunia setelah sebulan sebelumnya mengucapkan dalam pidatonya di hadapan jemaah gereja �Tuhan lebih Besar dari virus yang ditakuti (Covid-19) ini� sehingga mengoncangkan banyak orang. Peristiwa tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah iman dan pengakuan iman seorang pendeta terhadap kemahakuasaan Tuhan merupakan iman yang kosong dan apakah Tuhan sudah tidak sanggup membela para hambaNya sesuai janji firman-Nya.
Isu tentang penderitaan bukan hal baru dalam kisah hidup orang-orang percaya yang tercatat di dalam Alkitab maupun dalam situasi hari ini. Di dalam Yeremia 29:11, Tuhan melalui sebuah surat nabi Yeremia kepada umat Tuhan yang sedang berada di dalam pembuangan di Babel sebagai tawanan menyampaikan bahwa, rancangan-Nya bagi umat-Nya adalah rancangan damai sejahtera dan bukan kecelakaan, dan bahkan menjanjikan masa depan yang penuh dengan harapan bagi mereka. Bagaimana memahami dan menyikapi janji rancangan Tuhan yang damai sejahtera dan bukan kecelakaan itu, sedangkan penderitaan justru yang dialami oleh umat-Nya? Kenapa Tuhan mengizinkan penderitaan atas umat-Nya? Sampai kapan Tuhan membiarkan penderitaan dialami oleh umat-Nya? Mungkinkah rancangan damai sejahtera terwujud atas umat-Nya? Apa dasar umat Tuhan harus tetap memegang janji Tuhan di tengah penderitaan? Mengapa kesejahteraan yang dijanjikan Tuhan dan bukan menghilangkan penderitaan? Begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban, sebab menjadi pokok pikiran manusia dalam keinginannya untuk mengerti misteri di balik penderitaan.
�� �����������
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan
menganalisa tulisan Yeremia 29:11 tentang penderitaan, dan mendapatkan
relevansinya bagi orang percaya di tengah krisis pandemi Covid-19, dimana di
tengah situasi krisis dan mencekam ini, kecemasan, kebimbangan, keputusasaan,
depresi, hingga kematian menjadi realita dan ancaman yang dihadapi semua orang
termasuk orang-orang percaya yang di dalamnya terdapat sejumlah pendeta yang
telah menjadi korban hingga kehilangan nyawa. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif dan analisa literatur, dengan pengumpulan data melalui
sumber Alkitab, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel digital, dan dokumen lain
yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Penelitian kualitatif menurut Bodgan
dan Biklen (Amir,
2020) adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan tipe data deskriptif berupa ucapan atau tulisan maupun perilaku
orang-orang yang diamati di dalam suatu konteks dan dikaji dari sudut pandang
yang lengkap dan komprehensif, maupun menyeluruh atau holistik.
A. Genre Yeremia 29:11
Genre Yeremia 29 merupakan suatu bentuk
prosa panjang yang isinya adalah surat nabi Yeremia kepada orang-orang buangan
yang ada di Babel dan sebagai pasal berisi narasi historis (Dachi, 2018).
Menurut Clarke, isi Yeremia 29 terdiri dari nasihat kepada orang-orang buangan
agar bersabar dan tenang di dalam menghadapi penderitaan di Babel dalam jangka
waktu (70) tahun (ayat 1-14) dan juga berita penghakiman bagi nabi-nabi palsu
(ayat 20-23) yang memberi harapan palsu kepada umat tentang kepulangan mereka
ke Yerusalem dalam waktu dekat (Taingku, 2016).
Menurut (Holladay, 1989),
Yeremia 29:1-23 mempunyai enam bentuk sastra: Bentuk salam� (ayat 1-4,7), bentuk perintah (ayat. 5-6),
bentuk larangan (ayat 8-9), bentuk nubuat keselamatan (ayat 10-11), bentuk
nubuat penghakiman (ayat 16-19, 20,15, 21-23), bentuk pengajaran (ayat 20).
Berdasarkan pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa Yeremia 29:1-23 adalah gabungan beberapa jenis yang saling
berhubungan, yakni penyampaian salam, pesan nasihat, pesan perintah, pesan
larangan, pesan nubuatan tentang keselamatan dan juga penghakiman, serta pesan
penghiburan sekaligus pengajaran.
B. Analisis Yeremia 29:11 dan relevansinya
bagi orang-orang percaya di tengah krisis pandemi covid-19
Ayat Yeremia 29:11 berbunyi: �Sebab Aku
ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu,
demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan
kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan�. Dengan
memperhatikan konteks Yeremia 29:1-23, kita mendapati bahwa genre ayat 10 dan
11 berbentuk nubuatan keselamatan. Jadi dalam membaca tulisannya, seharusnya
timbul kebahagiaan dan pengharapan yang besar di kalangan umat Allah.
Berbahagia tentunya bukan karena status tawanan maupun penderitaan yang sedang
dialami oleh umat Allah, tetapi berbahagia dikarenakan pemahaman yang benar
akan maksud rencana Allah dan kesetiaan-Nya bagi umat-Nya sehingga umat-Nya
merespon dengan benar dan akurat proses penderitaan dan dengan penuh iman
menantikan janji keselamatan dari padaNya.
Dalam bahasa Yunani, kata הַמַּחֲשָׁבֹ֗ת
merupakan kata benda konstruk jamak feminin yang dapat di artikan rancangan,
tujuan, pikiran maupun rencana, memberi gambaran bahwa Allah bukan pribadi yang
dikagetkan dengan sebuah kejadian, atau dengan kata lain bahwa yang terjadi ada
dalam pengetahuan dan rencanaNya dimana Dia mempunyai kontrol penuh atas apapun
yang terjadi. Kata שָׁלוֹם֙
(syalom) banyak ditemukan dalam Perjanjian Lama kurang lebih 230 kali (Leiter, 2007). Shalom dapat dikaitkan dengan tiga ide pokok, di
antaranya keutuhan, kesejahteraan dan juga harmoni yang dapat dipahami dalam
Perjanjian Lama seperti salam, perdamaian atau keadaan aman tanpa perang,
kesehatan, ketenangan, keberhasilan, keadaan baik, persahabatan maupun
kemakmuran (Taingku, 2016).
Di dalam Yeremia
29:11, kata Shalom yang mendahului kata לְרָעָ֔ה
(of evil) yang diterjemahkan dengan
makna �penderitaan, kejahatan, kecelakaan, kesulitan� memberi gambaran yang
jelas tentang isi hati Allah yang selalu memikirkan dan merindukan yang terbaik
bagi umat-Nya. Jadi, apakah penderitaan yang dialami oleh umat Allah di dalam
pembuangan merupakan malapetaka atau kecelakaan bagi mereka? Apakah Tuhan tidak
memperhatikan dan� tidak mengasihi mereka
karena mereka menderita? Penderitaan tentunya pasti menyakitkan siapapun yang
mengalaminya termasuk umat Allah, namun dengan memahami maksud dan tujuan
Allah, respon yang benar� dapat membawa
dalam kepastian kepada tujuan rencana Allah yang mulia dan sempurna. Bagaimana
seharusnya orang-orang percaya memaknai dan menyikapi penderitaan baik di Babel
maupun hari ini dalam penderitaan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang
masih berlangsung?
C.
Orang percaya harus tetap sepenuhnya mempercayai rancangan dan
kesetiaan Allah dalam kondisi penderitaan sekalipun
1. Allah Berdaulat atas RencanaNya
Allah berdaulat penuh atas rencanaNya,
sebab semua yang terjadi pasti atas izin-Nya dan dalam kedaulatanNya.
Oleh karena itu, walaupun proses itu kurang menyenangkan dan kadang dirasakan
sepertinya tidak adil, itu merupakan bagian rencana yang terbaik dari Allah dan
pasti mendatangkan kebaikan. Maka Allah mengingatkan di dalam Yeremia 29:11
bahwa Dia sangat mengetahui apa yang dirancang-Nya bagi kekasih-kekasih-Nya,
namun juga menegaskan perbedaan rancangan-Nya dengan rancangan mereka seperti
tingginya langit dari bumi, dengan menegaskan bahwa rencana-Nya tidak mungkin
gagal (Yes. 55:8-11).
(Swindoll,
2004) benar ketika menyampaikan bahwa kita perlu memahami bahwa
rencana indah Allah adalah indah dari sudut pandang-Nya dan bukan dari sudut
pandang manusia. Sebab, indah bagi manusia adalah ketika nyaman, sehat, semua
tagihan terlunasi, tidak utang, tidak pernah sakit, memiliki pernikahan yang
bahagia dengan dua orang anak yang sikapnya manis, hidup yang memiliki
kepuasan, memiliki pekerjaan dengan gaji yang tinggi, dan mengharapkan berkat,
kesuksesan, dan kemakmuran selama-lamanya. Bukan rahasia lagi bahwa� tidak ada orang yang suka atau mau menderita.
Namun itulah bagian bagi orang percaya yang tidak dapat ditolak walaupun pada
hakekatnya penderitaan tetap menyakitkan dan tidak pernah mudah sekeras apapun
manusia mencoba mempraktekkan prinsip-prinsip yang diimaninya. Penderitaan
tetap menjadi sebuah misteri dan karenanya membingungkan. Tetapi di balik
penderitaan pasti terdapat suatu makna, karena pada dasarnya penderitaan adalah
suatu proses untuk mencapai suatu tujuan tertentu, sehingga memerlukan kepercayaan
kepada Allah dan tentunya kesabaran dari umat-Nya.
Allah memberi tahu
apa yang dianggap perlu manusia ketahui, namum merahasiakan juga apa yang
menurut Dia tidak perlu manusia ketahui. Orang percaya perlu meresponi ujian
penderitaan sebagai bagian dari panggilan mereka, dan dengan demikian menjalani
apapun dengan fokus yang senantiasa tertuju kepada Tuhan, sehingga iman mereka
tetap berfungsi dengan sebagaimana semestinya. Penderitaan yang diizinkan oleh
Allah mempunyai tujuan sehingga perlu orang percaya meresponinya dengan benar,
sebab Tuhan itu dekat umat yang patah hati dan menyelamatkan orang-orang yang
remuk jiwanya (Mzm. 34:18). Alkitab lebih jelasnya memberi suatu kepastian yang
seharusnya menghiburkan orang percaya dalam keadaan penderitaan yang mereka
alami: �Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu
untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka
yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah� (Rom. 8:28). Luar biasa. Kata �tahu� disini menunjukkan sebuah kepastian
iman bahwa Allah memegang kendali atas segala aspek yang berhubungan dengan
hidup umat-Nya, maka muncul kata �segala
sesuatu� sehingga memberi penegasan bahwa Dia turut bekerja di dalam hal
yang seolah-olah buruk sekalipun untuk mendatangkan yang terbaik dalam
kehidupan orang percaya, yaitu mereka yang ditentukan untuk menjadi serupa
dengan Kristus. Kristus telah menderita dan mati di kayu salib demi rencana
Bapa bagi dunia ini, dan kita tidak dapat menjadi serupa dengan Kristus tanpa
mengalami penderitaan.
(Berkhof,
2007) bahwa kedaulatan Allah terdapat di dalam hubungan-Nya dengan
karya penciptaan-Nya, maka langit dan bumi dan segala sesuatu adalah milikNya.
Ia berjubahkan otoritas mutlak atas malaikat-malaikat di surga dan manusia di
bumi. Ia memegang segala sesuatu dalam kuasaNya, dan menentukan akhir dari
segalanya sebagaimana mereka telah ditentukan untuk demikian. Ia memerintah
sebagai Raja dalam arti yang sebenar-benarnya, dan segala sesuatu tergantung
padaNya, dan segalanya harus melayani Dia. Di tengah penderita apapun termasuk
dalam kondisi pandemi covid-19, kesadaran akan kedaulatan Allah seharusnya
menjadi dasar orang-orang percaya untuk tetap bergantung penuh pada rencana
Allah dan tetap melihat terang di tengah kegelapan.
2. Allah
merancang keselamatan bagi Umat-Nya
Rancangan Allah bukanlah
kecelakaan bagi siapapun, sebab Allah itu baik dan selalu merancang yang
terbaik bagi orang-orang yang dikasihiNya. Melalui nabi Yeremia Allah
menyampaikan rencanaNya memulihkan umat-Nya dengan membawa mereka kembali ke
Yerusalem tanah perjanjian setelah genap tujuh puluh tahun (Yer. 29:10),
memberi gambaran bahwa Allah telah menetapkan suatu batas atas masa penderitaan
mereka sehingga, dapat dimengerti bahwa penderitaan bukanlah akhir dari rencana
Allah dan pasti akan ada akhirnya. Akhir rencana Allah adalah keselamatan atau
�shalom� bagi umat-Nya, bukan sekedar pemulihan dalam arti jasmani, tetapi
lebih dari itu pemulihan secara rohani, yakni pemulihan hubungan mereka dengan
Allah sehingga mereka dapat bersukacita di hadapan Allah dan menikmati berkat-berkatNya
tanpa batas. Herowati berkata bahwa Allah setia pada janjiNya dan izinkan
penderitaan bagi umat-Nya karena kasih dan bersifat mendidik mereka supaya
mereka mengenal dan sadar kembali atas identitas mereka sebagai umat pilihan
sehingga perjanjian dengan Allah dipulihkan kembali (Sitorus,
2018).
Kata ibrani וְתִקְוָֽה׃
אַחֲרִ֥ית atau
masa depan yang penuh harapan dalam Strongs Con Bible diterjemahkan �an
expected end� atau �akhir yang diharapkan� atau akhir dengan penghargaan.
Dalam Amplified Bible (AMP) diterjemahkan �� to give you hope in your your final outcome� atau �untuk memberi
Anda harapan pada hasil akhir Anda�. Jadi dapat dilihat bahwa fokus Allah
terdapat pada hasil akhir dimana menanti hadiah, yaitu pemulihan dan
keselamatan umat-Nya. Seperti peribahasa katakan bahwa hasil akhir adalah yang
paling penting, namum jangan lupa bahwa walaupun hasil akhir memang adalah yang
terpenting, namun proses dalam menuju hasil akhir tidak kalah penting, sehingga
penderitaan yang dialami harus dipandang oleh orang-orang percaya sebagai
bagian penting dalam rencana keselamatan yang Tuhan sediakan.
Seperti Paulus
katakan kepada Timotius bahwa dia telah mengakhiri pertandingan imannya dengan
baik walaupun darahnya tercurah dan sudah ada di ambang kematian, namun dia �finish well� dengan memelihara dan
mempertahankan imannya sehingga mahkota kebenaran menanti (2 Tim. 4:6-8), janji
Tuhan adalah finish well bagi orang buangan di Babel dan juga bagi orang-orang
percaya hari ini di tengah pandemi covid-19. Bagian orang-orang percaya adalah
tetap memandang Tuhan dan mempertahankan iman, sebab bukankah bagi orang
percaya hidup adalah Kristus dan mati merupakan keuntungan? (Fil.1:21) dan
bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Kristus
Yesus termasuk penderitaan yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 (Rom.
8:35-39).
�����������
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Dari pemaparan yang telah diuraikan di atas, apa yang menjadi relevansi Yeremia 29:11 bagi orang-orang percaya di tengah krisis dan penderitaan yang diakibatkan oleh pandemi covid-19? Di tengah pandemi covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun dan belum ada tanda kepastian kapan akan berakhir, dimana ketakutan, kebimbangan, keputusasaan, stres, depresi, kematian dan lain-lain mengantui dunia, orang-orang percaya harus tetap sepenuhnya mempercayai rancangan dan kesetiaan Allah dalam kondisi penderitaan sekalipun, sebab Allah berdaulat atas rencanaNya, dan menyadari bahwa rencana Allah bukan bertujuan untuk mencelakakan umat-Nya tetapi untuk kebaikan mereka, �yakni tujuan rencana Allah adalah untuk keselamatan umat-Nya sehingga perlu dan harus memandang penderitaan dari sudut pandang Allah, dan hidup dalam pengharapan akan penggenapan janji Allah, sebab Allah adalah setia pada umat-Nya.
�������������������������������������������������������
BIBLIOGRAFI
Alinurdin, D. (2020). COVID-19 dan Tumit Achilles Iman
Kristen. Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan, 19(1), 1�9.
Amir, H. (2020). Metode Penelitian dan Perkembangan. Journal
of Undergraduate SosialScience and Technology.
Berkhof, L. (2007). Teologi Sistematika.
Surabaya: Momentum.
Dachi, Z. (2018). Menghadirkan Shalom Berdasarkan
Yeremia 29: 4-7. ILLUMINATE: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani, 1(1),
43�58.
David, P. T. (2020). Suffering (Penderitaan), Injil
Menjadi Harapan Ketika Kehidupan Menjadi Sulit untuk Dimengerti (p. 29).
Literatur Perkantas Jawa Timur.
Hidayat, E. A. (2016). Iman Di Tengah Penderitaan:
Suatu Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani. Melintas, 32(3),
285�308.
Holladay, W. L. (1989). A Commentary on The book of
The Prophet Jeremiah chapter 26-52. Mineapolis: Fortress Press.
Keliat, B. A. (2018). Dukungan kesehatan jiwa dan
psikososial (Mental health and psychosocial support): Keperawatan jiwa.
Leiter, D. A. (2007). Neglected Voices: Peace in
the Old Testament. Herald Press.
Lukito, D. L. (2020). Iman Kristen di Tengah
Pandemi: Hidup Realistis Ketika Penderitaan dan Kematian Merebak. LP2M STT
SAAT.
Manullang, S. (2020). Providensi Allah Di Balik
Penderitaan Dalam Pengalaman Ayub.
Maulida, H., Jatimi, A., Heru, M. J. A., Munir, Z.,
& Rahman, H. F. (2020). Depresi pada Komunitas dalam Menghadapi Pandemi
COVID-19: A Systematic Review. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 2(4),
519�524.
Nicolas, D. G. (2020). Analisis Pandemi Covid 19 dan
Pertajaman Polarisasi Gereja Di Indonesia. Jurnal Syntax Transformation,
1(10), 696�702.
Sitorus, H. (2018). Refleksi Teologis Kitab Yeremia
tentang Pesan Sang Nabi Bagi Orang-orang Buangan. BIA�: Jurnal Teologi Dan
Pendidikan Kristen Kontekstual, 1(2), 267�280.
Swindoll, R. C. (2004). Ayub. Jakarta: Nafiri
Gabriel.
Taingku, J. (2016). SYALOM: Kajian Biblika Terhadap
Misi Syalom Umat Allah kepada Bangsa Babel Berdasarkan Yeremia 29:1-23. STAKN
Toraja, 87.
Tanuwidjaja, S. (2020). Pentingnya Kesulitan dan
Penderitaan: Menemukan Nilai dan Makna Kehidupan Dalam Perspektif Iman Kristen.
Sola Scriptura: Jurnal Teologi, 1(1), 53�72.
Valerisha, A., & Putra, M. A. (2020). Pandemi
Global COVID-19 dan Problematika Negara-Bangsa: Transparansi Data Sebagai
Vaksin Socio-digital? Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 131�137.