Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 2 Februari 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM PELAKSANAAN DIVERSI

 

Efi Siti Fatonah

Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRACT

Diterima

28 Januari 2021

Diterima dalam bentuk revisi

12 Februari 2021

Diterima dalam bentuk revisi

This study aims to find out the problems faced by community supervisors in carrying out diversions. The data used in this writing is client data as many as 278 clients, litmas request data from the police as many as 197 sources of registration data Bapas Children's Client Guidance bandung. Diversion is to invite the public to obey and enforce the laws of the country but still consider the sense of justice as a top priority in addition to providing opportunities for perpetrators to take non-criminal routes such as compensation, social work or supervision of parents. The implementation of diversions does not always go according to plan. The problem of limited human resources time, understanding of various parties in supporting the success of diversion always arises although not a few are in accordance with what is expected. Furthermore, this writing is expected to provide additional input in the implementation of diversion.

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi pembimbing kemasyarakatan dalam melaksanakan diversi. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data klien sebanyak� 278 �klien, data permintaan litmas dari kepolisian sebanyak 197� sumber daridata registrasi Bimbingan Klien Anak Bapas bandung. Diversi yang dilakukan yaitu mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara namun tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Pelaksanaan diversi tidak selalu sesuai dengan rencana. Permasalahan keterbatasan waktu SDM yang ada, pemahaman berbagai pihak dalam menunjang keberhasilan diversi senantiasa muncul meskipun tidak sedikit yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Selanjutnya� penulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan dalam pelaksanaan diversi.

Keywords:

diversion; community guidance; child criminal justice system

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata kunci:

diversi; pembimbing kemasyarakatan; sistem peradilan pidana anak

 

Pendahuluan

Buah hati adalah titipan serta karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dalam rangka menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hokum (N. V. Ariani, 2014).

Anak adalah bagian integral dari pembangunan berkelanjutan kehidupan manusia dan pembangunan berkelanjutan sebuah bangsa dan Negara (Ghany, 2018). Oleh karena itu, diperlukan kesempatan yang seluas-luasnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental ataupun sosial. Perlindungan harus dilakukan dengan melindungi anak dari realisasi haknya tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraannya. Dalam hal ini anak harus berhadapan dengan hukum atas tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Penjara bukanlah pilihan yang tepat untuk mendidik anak, karena pemenjaraan hanya akan menimbulkan rasa stigma bagi pelaku kriminal sebagai anak, melainkan degenerasi anak dan awal mula kegagalan. Awal dari bencana di masa depan.

Menangani kasus anak yang tidak bisa dibedakan dengan kasus orang dewasa seringkali dianggap tidak sesuai sebab sistem tersebut akan merugikan kepentingan anak yang bersangkutan. Seperti, anak merasa stres dan terintimidasi sehingga menjadi lebih pendiam dan tidak kreatif. Untuk itu pemerintah mengesahkan undang-undang mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Kanna & Maerani, 2020).

Untuk melindungi anak dari prosedur formal sistem peradilan pidana, manusia atau ahli hukum dan kemanusian percaya bahwa aturan formal harus ditetapkan untuk mengeluarkan anak yang melanggar hukum atau melakukan kejahatan dari proses peradilan pidana dengan memberikan pilihan lain (Supeno, 2013). Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan restorative juctice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi) (Ikhsan, 2014).

Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian (Afif, 2015).

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA secara substansial telah mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.

Pemindahan tidak mencoba menggunakan paksaan sesedikit mungkin untuk membuat orang mematuhi hukum. Diversi sedang berlangsung yakni mengajak masyarakat untuk mematuhi dan menegakkan hukum negara dengan tetap menempatkan keadilan sebagai prioritas utama. Selain itu, memberikan peluang bagi pelaku untuk mengambil cara-cara non-pidana, seperti kompensasi, pekerjaan sosial, atau supervisi tindakan mereka. Tujuan pemindahan adalah untuk memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk menjadi orang baik kembali melalui jalur informal (di luar pengadilan) melalui partisipasi dalam sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat (1) dan (2) tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa: �Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan teknis di Bapas dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) (Mahargini, 2016). Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa: �Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana (N. M. I. Ariani et al., 2020). Balai Pemasyarakatan (Bapas) menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 13 adalah: �unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan�.

Pembimbing kemasyarakatan dalam kasus remaja sangat penting terutama dalam memberikan masukan dan pertimbangan kepada aparat penegak hukum dalam bentuk laporan penelitian sosial (Sofyan, 2020). Laporan investigasi sosial akan disampaikan kepada hakim sebagai bagian dari proses mutasi berdasarkan keputusan Ketua Pengadilan.

Kecuali konsultan sosial yang melakukan kegiatan triase, profesi lainnya adalah pekerja sosial. Pekerja sosial profesional adalah orang-orang yang bekerja pada organisasi pemerintah dan swasta, memiliki kemampuan dan keahlian dalam pekerjaan sosial, dan memperhatikan pekerjaan sosial. Ini merupakan pengembangan layanan yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan serta pengalaman praktik dalam pekerjaan sosial. Tugas dan menangani masalah sosial anak-anak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 pasal 8 dikatakan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif (Indonesia, 2012).

Pekerja sosial profesional saat ini istilah yang berlaku yaitu pekerja sosial. Namun dari sisi lain ada hal yang lebih baik yaitu adanya keharusan pekerja sosial mempunyai sertifikat kompetensi. Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2019 pasal 1 huruf 1 yaitu pekerja sosial adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial serta telah mendapatkan sertifikat kompetensi.

����������������������������������������������������� ����������������

Metode Penelitian

Dalam Penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah Jenis penelitian deskriptif kualitatif kerap digunakan sebagai metode penelitian (Sugiyono, 2014). Dalam sebuah tulisan imiah penelitian diperlukan untuk mengangkat dan mengupas sebuah masalah. Penelitian kemudian dijabarkan dalam sebuah analisi hingga meperoleh kesimpulan sesuai tujuan awal. Jenis penelitian deskriptif kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan sejara deskriptif. Jenis penelitian deskriptif kualitatif kerap digunakan untuk menganalisis kejadian, fenomena, atau keadaan secara sosial. Jenis penelitian deskriptif kualitatif merupakan gabungan penelitian deskriptif dan kualitatif (Moleong, 2013).

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data untuk mengumpulkan data melalui penelitian kepustakaan, wawancara dan observasi. Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau metode yang dapat peneliti gunakan untuk mengumpulkan data tentang masalah penelitian yang sedang mereka kerjakan. Prosedur ini sangat penting, karena data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data yang valid sehingga dapat ditarik kesimpulan yang valid. Sebelum mengumpulkan data, biasanya peneliti punya firasat.

Hipotesis itu sendiri merupakan hipotesis tentang hal yang akan diperiksa dari kesimpulan awal. Kemudian, para peneliti secara empiris membuktikan teknologi tersebut dalam penelitiannya. Buktikan apakah hipotesis peneliti adalah cara yang benar untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data biasanya ditentukan oleh beberapa variabel pencarian. Setelah mengumpulkan semua data, langkah selanjutnya adalah mengolah data. Oleh karena itu, tanpa pemrosesan apa pun, data yang dikumpulkan akan menjadi tidak berarti dan tidak berguna.

Dalam penelitian ini, teknologi analisis data yang digunakan adalah teknologi analisis data kualitatif, yaitu teknologi analisis informasi non-digital yang berfokus pada filosofi positivis. Saat menggunakan teknik analisis kualitatif, masalah biasanya dibahas secara konseptual tanpa terganggu oleh data numerik.

Data kualitatif adalah data dalam bentuk non-digital, biasanya dalam bentuk teks atau naratif. Data kualitatif dapat berupa catatan observasi, hasil wawancara, dan angket.

Analisis data kualitatif digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami kualitas data yang diperoleh dari pengumpulan data. Analisis data kualitatif sangat bergantung pada interpretasi.

 

Hasil dan Pembahasan

A. �Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Proses Diversi Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Wilayah Bapas Kelas I Bandung

Undang-undang �Nomor 11 �Tahun �2012 Pasal �1 �angka �7 ���tentang� Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan diversi adalah �pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana� (Rahayu, 2015). Penyelesaian perkara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan adanya bantuan dari pihak Balai Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (pejabat fungsional penegak hukum) yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan diluar proses peradilan pidana sebagaimana diatur Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan dan mempelajari aturan perundang-undangan yang berlaku, peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam dalam proses diversi terhadap anak yang melakukan tindak pidana yaitu:�����

1.      Fasilitator

Fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama mereka dan membantu mereka mengembangkan rencana untuk mencapai tujuan tersebut tanpa harus menempati tempat tertentu dalam diskusi. Beberapa fasilisator akan mencoba membantu kelompok mencapai konsensus tentang setiap perselisihan yang ada sebelumnya atau muncul dalam pertemuan untuk meletakkan dasar yang kokoh untuk tindakan di masa depan.

Konsultan komunitas yang ditunjuk untuk menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum dapat memfasilitasi pertemuan antara penyidik ​​dan konsultan komunitas untuk mengidentifikasi dan membahas kasus yang dihadapi oleh anak yang berhadapan dengan hukum. Keputusan akhir ditentukan oleh kesepakatan atau konsensus.

2.      Pengumpul Data/Informasi

Setelah mendapatkan informasi tentang kasus anak yang melanggar hukum, penyuluh komunitas akan mulai mengumpulkan informasi dan data tentang anak yang melanggar hukum.

3.      Peneliti Kemasyarakatan

Pembimbing Kemasyarakatan setelah mengumpulkan data dan informasi yang lengkap, selanjutnya melakukan penelitian kemasyarakatan (litmas) yang berisi:

a.       Identitas klien

b.      Identitas orang tua klien

c.       Gambaran tindak pidana yang disangkakan pada klien:

d.      Riwayat hidup klien.

e.       Kondisi keluarga klien.

f.       Kondisi lingkungan setempat

g.      Tanggapan klien terhadap masalahnya

h.      Kebutuhan klien

i.        Pandangan masa depan klien

j.        Tanggapan berbagai pihak terhadap klien dan masalahnya

k.      Analisa masalah klien

l.        Kesimpulan dan rekomendasi.

 

4.      Pendamping dan Pembimbing

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pendamping berarti (dalam proses negosiasi, dll) mendampingi (orang). Mate berasal dari kata dasar redaman. Pembimbing dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang memberi petunjuk; kepemimpinan; pembimbing; hal-hal yang digunakan untuk bimbingan seperti pembimbing (ilmu). Pemandu komunitas mengadakan pertemuan antara pelaku, keluarga pelaku, korban dan keluarga korban. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar para PK dapat saling mendekati dan memberikan tanggapan serta saran kepada kedua belah pihak sehingga diharapkan dapat menyelesaikan kasus tersebut melalui mutasi. Pada saat pemindahan, konsultan komunitas wajib membawa pelaku, korban, pelaku dan keluarga korban, serta pekerja sosial profesional, dan proses pemindahan ditinjau melalui metode restorative justice.

5.      Pelapor Hasil Penelitian

Setelah Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan maka hasil penelitian kemasyarakatan tersebut akan diberikan kepada penyidik. Mengacu terhadap hasil penelitian masyarakatan tersebut dan syarat-syarat agar dilakukannya diversi yaitu ancaman pidana dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 7 selanjutnya pembimbing� �kemasyarakatan merekomendasikan kepada penyidik agar dilakukannya diversi.

 

B. �Hambatan-hambatan yang Dihadapi Pembimbing Masyarakatan dalam Pelaksanaan Proses Diversi terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana di Wilayah Bapas Kelas I Bandung

Pelaksanaan diversi dapat dilakukan di setiap tingkat pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan dan pelaksanaan putusan hakim. Diversi harus dilakukan sesuai dengan prinnsip-prinsip diversi yaitu:

1.      Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui tindakan pidananya.

2.      Hanya dapat dilakukan bila anak mengakui kesalahan

3.      Pemenjaraan/penahanan �bukan� bagian dari �diversi �(tidak boleh ada pencabutan kemerdekaan anak)

4.      Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan

5.      Hak anak tetap diperhatikan dalam hal kasus anak diajukan ke pengadilan.

6.      Tidak ada diskriminasi.

 

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan yang penulis lakukan berkaitan dengan hambatan-hambatan yang dihadapi Pembimbing Kemasyarakatan dalam pelaksanaan proses diversi terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Wilayah Bapas Kelas I Bandung yaitu:

1.      Adanya rasa ketidakpercayaan dari pihak korban terhadap Pembimbing Kemasyarakatan.

Para korban seringkali percaya bahwa konselor komunitas mendukung pelaku. Dengan asumsi tersebut, para korban merasa diperlakukan tidak adil, selain itu mereka juga merasa dirugikan oleh kejadian ini dan tidak mau ikut serta dalam pemindahan.

 

2.      Kurang aktifnya partisipasi para pihak terhadap proses penyelesaian perkara secara diversi.

Saat ditetapkan tanggal untuk pelaksanaan pertemuan musyawarah guna melakukan diversi para pihak tidak ada dalam musyawarah/diversi tersebut. ketidakadaan mereka disertai dengan berbagai alas an misalnya ada kesibukan lain, bekerja, dan lain sebagainya.

 

3.      Faktor keegoisan dari pihak korban yang dari awal ingin mempidanakan pelaku.

Upaya diversi tersebut seringkali ditolak oleh pihak korban dengan� �berbagai alasan. Adanya ganti rugi dianggap berat bagi pihak pelaku dan jika ganti rugi tersebut tidak terpenuhi maka korban pun tidak mau diadakannya diversi.

�

4.       Kurangnya Sarana dan Prasarana.

Sarana prasarana yang kurang seperti lembaga khusus anak, Hal ini menyebabkan hasil kesepakatan diversi berupa keikutsertaan �dalam �pendidikan �atau� pelatihan �di �lembaga �pendidikan �atau lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial tidak dapat dilaksanakan secara efektif.

 

5.       Kurangnya koordinasi antar lembaga yang menangani masalah anak.

Ada berbagai lembaga yang terlibat dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum selain Balai Pemasyarakatan, diantaranya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, namun koordinasi antar lembaga ini masih kurang baik, pendampingan dan pembinaan dari pembimbing kemasyarakatan menjadi tidak efektif, sehingga berpotensi gagalnya dilaksanakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

 

6.       Terbatasnya jumlah pembimbing kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung.

Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung memiliki 61 Petugas Pembimbing Kemasyarakatan sehingga tidak seimbang dengan jumlah perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang harus diselesaikan, oleh karena itu penanganannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Permintaan pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum yang diterima Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung selama kurun waktu 2020 adalah sebagai berikut:

 

Tabel 1 Permintaan Litmas Kepolisian

Data Bimkemas Bka

NO

JENJANG PK

BULAN

 

JUMLAH

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1.

PK PERTAMA

9

5

4

-

1

-

7

4

6

2

9

-

47

2.

PK MUDA

15

13

8

9

14

5

6

9

13

10

22

5

129

3.

PK MADYA

1

7

2

1

-

5

2

1

1

-

1

-

21

JUMLAH

25

25

14

10

15

10

15

14

20

12

32

5

197

 

Data Registrasi Bka

NO

JENJANG PK

BULAN

 

JUMLAH

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1.

PK PERTAMA

12

4

4

-

1

-

7

5

6

4

20

-

63

2.

PK MUDA

12

14

10

9

14

5

6

10

13

8

10

5

116

3.

PK MADYA

1

7

-

1

-

5

2

-

1

-

1

-

18

JUMLAH

25

25

14

10

15

10

15

15

20

12

31

5

197

 

Tabel 2 Permintaan Litmas LPKA/LPP

 

NO

JENJANG PK

BULAN

 

JUMLAH

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1.

PK PERTAMA

1

3

1

0

0

3

0

0

0

0

3

0

11

2.

PK MUDA

23

2

20

1

0

6

0

1

3

0

31

6

93

3.

PK MADYA

3

2

0

0

0

0

0

1

0

0

2

1

9

JUMLAH

27

7

21

1

0

9

0

2

3

0

36

7

113

 

TOTAL PERMINTAAN SELURUH LITMAS 2020

NO

JENJANG PK

JUMLAH

1.

PK PERTAMA

58

2.

PK MUDA

222

3.

PK MADYA

30

TOTAL

310

 

Klien BKA 2020

PB

NO

JENJANG PK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

JUMLAH

1

PK PERTAMA

2

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

2

PK MUDA

51

0

3

1

2

0

0

1

3

1

0

1

63

3

PK MADYA

15

0

2

0

0

1

1

2

0

0

2

1

24

 

JUMLAH

68

0

5

1

2

1

1

3

3

1

2

2

89

 

CB

NO

JENJANG PK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

JUMLAH

1

PK PERTAMA

1

1

0

1

0

1

0

0

0

0

0

0

4

2

PK MUDA

1

0

1

1

1

0

1

0

0

0

0

1

6

3

PK MADYA

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

1

 

JUMLAH

2

1

1

3

1

1

1

0

0

0

0

1

11

 

DIVERSI

NO

JENJANG PK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

JUMLAH

1

PK PERTAMA

16

2

2

0

0

1

1

0

1

0

1

0

24

2

PK MUDA

4

6

5

1

0

0

1

4

5

4

5

1

36

3

PK MADYA

32

3

2

0

0

4

2

0

0

0

0

0

43

 

JUMLAH

52

11

9

1

0

5

4

4

6

4

6

1

103

 

PIB

NO

JENJANG PK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

JUMLAH

1

PK PERTAMA

0

0

2

0

1

0

0

0

0

0

0

0

3

2

PK MUDA

0

3

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

4

3

PK MADYA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

 

JUMLAH

0

3

2

0

1

1

0

0

0

0

0

0

7

 

ASIMILASI

NO

JENJANG PK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

JUMLAH

1

PK PERTAMA

0

0

0

2

0

0

0

0

0

0

0

0

2

2

PK MUDA

0

0

0

13

0

0

0

4

1

0

0

0

18

3

PK MADYA

0

0

0

5

0

0

0

1

0

0

0

0

6

 

JUMLAH

0

0

0

20

0

0

0

5

1

0

0

0

26

 

LATKER

NO

JENJANG PK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

JUMLAH

1

PK PERTAMA

1

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

2

PK MUDA

14

7

2

3

1

0

1

0

1

0

3

0

32

3

PK MADYA

5

0

1

1

0

1

0

0

0

0

0

0

8

 

JUMLAH

20

8

3

4

1

1

1

0

1

0

3

0

42

 

TOTAL JUMLAH KLIEN 2020

NO

JENJANG PK

JUMLAH

1

PK PERTAMA

37

2

PK MUDA

159

3

PK MADYA

82

�TOTAL

278

 

7.       Kurangnya pemahaman dari pihak pelaku maupun pihak korban mengenai diversi

Alasan pemanggilan terhadap orang tua/wali adalah memberitahukan kepada orang tua/wali pelaku mengenai status dan kedudukan anaknya yang sedang dalam proses hukum, namun dalam prakteknya sangat minim pihak orang tua/wali pelaku yang mengerti akan tugas dan peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam melakukan bimbingannya. Adanya orang tua/wali pelaku tidak mau patuh dan taat terhadap surat panggilan tersebut, adanya orang tua beranggapan bahwa panggilan dari pihak Balai Pemasyarakatan tidak berdampak positif terhadap status hukum anaknya, justru beranggapan hanya akan lebih mempersulit anaknya dalam penyelesaian perkara yang dihadapinya.

 

8.       Penentuan� kesepakatan �ganti �kerugian �yang �tidak �dapat �disanggupi �oleh �pihak pelaku.

Terlaksananya� diversi �sangat �dipengaruhi �oleh �kesediaan �pihak �korban akan tetapi untuk menentukan kesepakatan antara pihak korban dan pihak pelaku tidaklah mudah. Perbedaan kepentingan antara keduanya merupakan masalah mendasar dalam penentuan kesepakatan, terkadang permintaan pihak korban tidak dapat dipenuhi oleh pihak pelaku, namun pihak korban tidak ingin mengubah persyaratan kesepakatannya sehingga pelaksanaan diversi gagal dilakukan.

 

C. �Upaya Yang Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan:

1.      Mengadakan sosialisasi tentang diversi di kalangan masyarakat.

2.      Menambah petugas Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung.

3.      Menjalin komunikasi yang intensif dan persuasif dengan pihak korban dan pihak pelaku.

4.      Melakukan pertemuan terpisah agar dapat menyamakan persepsi antara pihak korban dan pihak pelaku.

5.      Perlunya peningkatan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan diversi.

6.      Perlunya pembatasan dan pengawasan dalam pelaksanaan kesepakatan diversi

7.      Perbaikan koordinasi antar lembaga yang menangani masalah anak.

 

D. Bentuk Diversi

Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang �Prinsip-Prinsip Pedoman Pelaksanaan Pemindahan dan Penanganan Anak di Bawah 12 Tahun� Tahun 2015, pemindahan adalah mengalihkan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana kepada prosedur pidana di luar peradilan pidana. Perjanjian pengalihan merupakan hasil yang diperoleh dari perjanjian pengalihan yang memuat hak dan kewajiban para pihak yang tidak melanggar hukum.

Hasil pemindahan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, mutasi tersebut dalam tahap penyidikan, yang merupakan tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini, penyidik ​​tidak dapat terus memasukkan tindak pidana ke dalam prosedur peradilan pidana. Oleh karena itu, tahapan ini merupakan tahapan yang paling strategis untuk memediasi kejahatan tertentu guna menghindari prosedur peradilan pidana dengan mencari solusi yang menguntungkan semua pelaku dan korban.

Penangkapan anak-anak untuk kepentingan investigasi, dan penyelidikan harus dikoordinasikan dengan jaksa dalam waktu 1x24 jam (dua puluh empat jam) setelah investigasi dimulai. Koordinasi ini bertujuan untuk memberikan arahan dan cara pandang agar keutuhan dokumen dapat diselesaikan secara formal dan substantif agar anak tidak dirugikan pada tahap selanjutnya. Anak yang ditangkap harus ditempatkan di ruang pelayanan khusus anak, jika tidak ada ruang pelayanan khusus anak di daerah yang bersangkutan maka dititipkan ke LPKS.

Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa penangkapan anak harus dilakukan secara manusiawi dan sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan usianya, Semua biaya untuk setiap anak yang ditempatkan di LPKS menjadi tanggungan departemen urusan pemerintah. Sektor sosial. Petugas yang menangkap anak berkewajiban memberi tahu anak dan orang tua/wali tentang hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum, dan untuk menjaga prosedur hukum jika petugas tidak memberikan pemberitahuan yang tepat. Maka menangkap anak sesuai hukum tidak sah.

Jika orang tua/wali dan atau bidang kesejahteraan sosial anak (termasuk panti asuhan dan panti rehabilitasi) dijamin oleh instansi/lembaga (instansi pemerintah dan swasta, termasuk instansi pemerintah dan swasta), maka anak tidak boleh ditahan. Tidak akan menghilangkan atau menghancurkan barang bukti, dan / atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Menurut Pasal 32 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan anak hanya dapat dilakukan dengan ketentuan yang harus disebutkan secara jelas dalam perintah penahanan: a. Anak-anak berusia 14 tahun (empat belas tahun) ke atas; b. Diduga melakukan tindak pidana dan dapat dipidana selama 7 (tujuh) tahun atau lebih. Undang-undang juga menetapkan bahwa selama anak ditahan, kebutuhan fisik, mental, dan sosialnya harus dipenuhi.

Untuk melindungi keselamatan anak, anak dapat ditempatkan di LPKS sehingga jika tidak ada LPAS di tempat anak ditahan maka anak tersebut dapat ditahan di LPKS setempat. Sayangnya, bahkan jika jaminan untuk anak-anak diwajibkan berdasarkan Pasal 32 (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika penyidik ​​bersikeras untuk melakukan penahanan, undang-undang tidak dapat mengatur secara memadai. Instansi yang berwenang merekomendasikan masa penahanan anak pada setiap tahap, baik untuk penyelidikan, penuntutan atau peninjauan kembali di pengadilan, atau pada tahap prosedur hukum dari banding hingga pencabutan hukuman asli. Peringatan tersebut merupakan hukuman ringan dan tidak membatasi kebebasan anak.

Apabila ketentuan umum dan ketentuan khusus diberlakukan, dalam putusan pengadilan atas tindak pidana tersebut, hakim dapat menjatuhkan ketentuan pidana jika dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun (dua tahun). Syarat umumnya, dengan syarat, anak tidak akan melakukan tindak pidana lain selama melakukan tindak pidana tersebut, dan syarat khusus tersebut tetap memperhatikan kebebasan hakim untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu yang ditentukan dalam putusan hakim. Beberapa hal. Jangka waktu tindak pidana bagi anak dengan kondisi khusus lebih lama dari masa tindak pidana dengan kondisi umum, dan jangka waktu tindak pidana dengan persyaratan adalah 3 (tiga) tahun. Kejahatan pengabdian masyarakat adalah kejahatan yang bertujuan mendidik anak dengan meningkatkan kesadaran mereka akan kegiatan sosial yang aktif.

Jika seorang anak gagal melaksanakan seluruh atau sebagian kewajibannya dalam melakukan tindak pidana pengabdian masyarakat tanpa alasan yang sah, petugas pengawas dapat merekomendasikan hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian dari hukuman pengabdian masyarakat yang dijatuhkan kepadanya. Waktu penalti untuk pengabdian masyarakat ini paling sedikit 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Selain itu, yang disebut hukuman pelatihan kejuruan dilaksanakan di lembaga yang memberikan pelatihan kejuruan sesuai dengan usia anak. Jangka waktu penalti untuk pelatihan kerja ini paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu tahun).

Selain itu, di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta jangka waktu pembinaan pidana bagi lembaga paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Penjara ditempatkan pada bagian terakhir UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang tercermin dalam ketentuan Pasal 81 (5), yang mengatur bahwa pemenjaraan anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.

Jika seorang anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan, dan jika kondisi dan perilaku anak membahayakan masyarakat, maka anak tersebut akan dihukum penjara di LPKA. Pidana pidana penjara paling lama untuk anak adalah 1/2 (setengah) dari pidana penjara maksimal untuk orang dewasa, dan pidana kurungan minimal khusus tidak berlaku bagi anak. Kedua, mutasi di tingkat penuntutan, pada tahap ini penuntut umum dapat memberikan mediasi bagi korban dan pelaku tindak pidana dengan mempelajari perilaku pelaku tindak pidana sesuai standar tertentu. Mediasi didasarkan pada persetujuan sukarela dari pelaku dan korban kejahatan.

Jika kedua belah pihak setuju untuk mediasi, mediasi akan disetujui oleh jaksa penuntut, yang dapat bertindak sebagai mediator atau menunjuk mediator yang memenuhi syarat. Kemudian, mediator mempertemukan pelaku dan korban kejahatan. Proses mediasi dilakukan secara rahasia, artinya semua kejadian yang terjadi selama proses mediasi tidak bisa dirilis oleh semua peserta. Dalam mediasi, hukuman tidak disepakati, kemudian kasus pidana akan ditinjau dan dituntut di pengadilan setelah kasus pidana. Dalam kasus ini, mediator tidak dapat memberikan kesaksian atas kegagalan perjanjian mediasi atau apa pun yang terjadi selama proses mediasi.

Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang dapat diterima semua pihak, maka kesepakatan tersebut akan menjadi keputusan akhir dan tidak akan ada penuntutan, sehingga bisa dijadikan alasan untuk membatalkan klaim. Ketiga, pada tahap persidangan, mediasi pidana yang dilakukan pada tahap ini dilakukan setelah jaksa melimpahkan perkara ke pengadilan. Dalam mediasi, pada tahap ini hakim melakukan rekonsiliasi dengan para pihak, yaitu pelaku pidana dan korban.Dengan premis patuh pada prosedur pengadilan, hakim akan menyelesaikan perkara dengan memperhatikan standar pelaku pidana. Perilaku terdakwa. Jika mediasi ini mencapai kesepakatan, hasilnya bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan pelaku kejahatan. Mediator pada tahap ini dapat dilakukan oleh hakim atau mediator yang bersertifikat dan terlatih di luar pengadilan.

Mediasi semacam ini merupakan kombinasi dari model mediasi korban-pelaku dan model proses negosiasi kompensasi. Setelah hakim mempelajari perkara dan perilaku kriminal terdakwa, ia dapat memberikan mediasi pidana sebagai rencana penyelesaian untuk rekonsiliasi dengan para pihak. Jika para pihak setuju, mereka akan secara sukarela mencapai kesepakatan dan berpartisipasi dalam penyelesaian kasus melalui mediasi pelaku dan korban. Hakim dapat bertindak sebagai mediator atau mediator yang memenuhi syarat dan bersertifikat di luar pengadilan. Mediasi mempertemukan antara pelaku dan korban, dalam hal ini korban dan pelaku didamaikan dan diberi ganti rugi atas kerugian yang diderita korban.

Mediasi semacam ini merupakan kombinasi dari model mediasi korban-pelaku dan model proses negosiasi kompensasi. Setelah hakim mempelajari perkara dan perilaku kriminal terdakwa, ia dapat memberikan mediasi pidana sebagai rencana penyelesaian untuk rekonsiliasi dengan para pihak. Jika para pihak setuju, mereka akan secara sukarela mencapai kesepakatan dan berpartisipasi dalam penyelesaian kasus melalui mediasi pelaku dan korban. Hakim dapat bertindak sebagai mediator atau mediator yang memenuhi syarat dan bersertifikat di luar pengadilan. Mediasi mempertemukan antara pelaku dan korban, dalam hal ini korban dan pelaku didamaikan dan diberi ganti rugi atas kerugian yang diderita korban.

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Peran konsultan sosial dalam proses pemindahan anak-anak yang dicuri di kawasan Bapas Kelas I Bandung yaitu sebagai fasilitator, pengumpul informasi, peneliti komunitas, asisten, pembimbing dan pelapor hasil penelitian. Kendala yang dihadapi oleh penyuluh masyarakat dalam melaksanakan prosedur mutasi untuk memberantas anak yang melakukan tindak pidana di wilayah Bandung Bampas Level 1 adalah ketidakpercayaan korban kepada penyuluh masyarakat dan kurangnya semangat para pihak untuk berpartisipasi dalam proses pemindahan penyelesaian kasus. Faktor egois korban sejak awal ingin mengkriminalisasi pelaku, sarana dan prasarana yang kurang memadai, kurangnya koordinasi antar instansi yang menangani masalah anak, dan jumlah pendamping masyarakat yang terbatas.Mereka melakukan tindak pidana di Lapas I Bandung. pemahaman tentang pengalihan antara korban dan korban menentukan kesepakatan kompensasi yang tidak mampu dibayar oleh pelaku.

Cara mengatasi kendala tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi perpindahan antar komunitas, menambah petugas binaan masyarakat di Lapas I Bandung, menjalin komunikasi yang mendalam dan persuasif dengan korban dan pelanggar, serta mengadakan pertemuan tersendiri untuk membantu menumbuhkan pandangan para korban. sama. Para pihak, korban, dan pelanggar perlu melaksanakan triase, meningkatkan sarana dan prasarana, membatasi dan mengawasi pelaksanaan perjanjian triase, serta meningkatkan koordinasi antar lembaga yang menangani masalah anak.

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Afif, A. (2015). Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

 

Ariani, N. M. I., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Curanmor yang dilakukan Oleh Anak di Kabupaten Buleleng (Studi Kasus Perkara Nomor: B/346/2016/Reskrim). Jurnal Komunitas Yustisia, 2(2), 100�112.

 

Ariani, N. V. (2014). Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi Kepentingan Anak. Media Hukum, 21(1), 16.

 

Ghany, H. (2018). Penyelenggaraan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Sekolah Dasar. Madaniyah, 8(2), 186�198.

 

Ikhsan, E. (2014). Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat. Medan: Pustaka Indonesia.

 

Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, Republik ï¿½.

 

Kanna, M. R., & Maerani, I. A. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Pati). Prosiding Konferensi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster Hukum.

 

Mahargini, A. (2016). Model Sistem Peradilan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan Pendekatan Diversi dan Restoratif Justice Studi Kasus di Bapas Kota Surakarta. Jurisprudence, 6(1), 16�27.

 

Moleong, L. J. (2013). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Mosal.

 

Rahayu, S. (2015). Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 6(1), 43317.

 

Sofyan, A. (2020). Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Jurnal of Admiration, 1(8), 1029�1038.

 

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

 

Supeno, H. (2013). Kriminalisasi Anak. Gramedia Pustaka Utama.