Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 2 No. 2 Februari 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
PERAN
PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM PELAKSANAAN DIVERSI
Efi Siti Fatonah
Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung, Indonesia
Email: [email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRACT |
Diterima 28
Januari 2021 Diterima dalam bentuk revisi 12
Februari 2021 Diterima dalam bentuk revisi |
This study aims to find out the problems faced by community
supervisors in carrying out diversions. The data used in this writing is
client data as many as 278 clients, litmas request data from the police as
many as 197 sources of registration data Bapas Children's Client Guidance
bandung. Diversion is to invite the public to obey and enforce the laws of
the country but still consider the sense of justice as a top priority in
addition to providing opportunities for perpetrators to take non-criminal
routes such as compensation, social work or supervision of parents. The
implementation of diversions does not always go according to plan. The
problem of limited human resources time, understanding of various parties in
supporting the success of diversion always arises although not a few are in
accordance with what is expected. Furthermore, this writing is expected to
provide additional input in the implementation of diversion. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi pembimbing kemasyarakatan dalam melaksanakan diversi. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data klien sebanyak� 278 �klien, data permintaan litmas dari kepolisian sebanyak 197� sumber daridata registrasi Bimbingan Klien Anak Bapas bandung. Diversi yang dilakukan yaitu mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara namun tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Pelaksanaan diversi tidak selalu sesuai dengan rencana. Permasalahan keterbatasan waktu SDM yang ada, pemahaman berbagai pihak dalam menunjang keberhasilan diversi senantiasa muncul meskipun tidak sedikit yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Selanjutnya� penulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan dalam pelaksanaan diversi. |
Keywords: diversion;
community guidance; child criminal justice system Kata kunci: diversi; pembimbing kemasyarakatan; sistem peradilan pidana anak |
Pendahuluan
Buah hati adalah titipan serta karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Dalam
rangka menjaga harkat
dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama
pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hokum (N. V. Ariani, 2014).
Anak adalah bagian integral dari pembangunan
berkelanjutan kehidupan manusia dan pembangunan berkelanjutan sebuah bangsa dan
Negara (Ghany, 2018).
Oleh karena itu, diperlukan kesempatan yang seluas-luasnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal baik
fisik, mental ataupun sosial. Perlindungan harus dilakukan dengan melindungi
anak dari realisasi haknya tanpa diskriminasi untuk mewujudkan
kesejahteraannya. Dalam hal ini anak harus berhadapan dengan hukum atas tindak
pidana pencurian dengan kekerasan. Penjara bukanlah pilihan yang tepat untuk
mendidik anak, karena pemenjaraan hanya akan menimbulkan rasa stigma bagi pelaku kriminal sebagai
anak, melainkan degenerasi anak dan awal mula kegagalan. Awal dari bencana di
masa depan.
Menangani kasus anak yang tidak bisa dibedakan dengan kasus orang dewasa seringkali dianggap tidak sesuai sebab sistem tersebut akan merugikan kepentingan anak yang bersangkutan. Seperti, anak merasa stres dan terintimidasi sehingga menjadi lebih pendiam dan tidak kreatif. Untuk itu pemerintah mengesahkan undang-undang mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Kanna & Maerani, 2020).
Untuk
melindungi anak dari prosedur formal sistem peradilan pidana, manusia atau ahli
hukum dan kemanusian percaya bahwa aturan formal harus ditetapkan untuk
mengeluarkan anak yang melanggar hukum atau melakukan kejahatan dari proses
peradilan pidana dengan memberikan pilihan lain (Supeno, 2013). Salah satu solusi
yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan
restorative juctice, yang dilaksanakan dengan
cara pengalihan (diversi) (Ikhsan, 2014).
Keadilan restoratif (restorative
justice) merupakan proses penyelesaian yang
dilakukan di luar sistem
peradilan pidana (criminal justice
system) dengan melibatkan korban, pelaku,
keluarga korban dan keluarga pelaku,
masyarakat serta
pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian
(Afif, 2015).
Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU
SPPA). UU SPPA
secara substansial telah mengatur secara tegas mengenai keadilan
restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan
menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke
dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam
bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
Pemindahan tidak mencoba menggunakan paksaan sesedikit mungkin untuk membuat orang mematuhi hukum. Diversi sedang berlangsung yakni mengajak masyarakat untuk mematuhi dan menegakkan hukum negara dengan tetap menempatkan keadilan sebagai prioritas utama. Selain itu, memberikan peluang bagi pelaku untuk mengambil cara-cara non-pidana, seperti kompensasi, pekerjaan sosial, atau supervisi tindakan mereka. Tujuan pemindahan adalah untuk memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk menjadi orang baik kembali melalui jalur informal (di luar pengadilan) melalui partisipasi dalam sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat (1)
dan
(2) tentang Pemasyarakatan menyebutkan
bahwa: �Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merupakan
jabatan teknis di Bapas dengan tugas
pokok melaksanakan bimbingan dan
penelitian
terhadap warga binaan
pemasyarakatan (WBP) (Mahargini, 2016).
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 13 menyebutkan
bahwa: �Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan terhadap
anak di dalam dan di luar
proses peradilan pidana
(N. M. I. Ariani et al., 2020). Balai Pemasyarakatan (Bapas) menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 13 adalah: �unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan,
dan pendampingan�.
Pembimbing kemasyarakatan dalam kasus remaja sangat penting terutama dalam memberikan masukan dan pertimbangan kepada aparat penegak hukum dalam bentuk laporan penelitian sosial (Sofyan, 2020). Laporan investigasi sosial akan disampaikan kepada hakim sebagai bagian dari proses mutasi berdasarkan keputusan Ketua Pengadilan.
Kecuali konsultan sosial yang melakukan kegiatan triase, profesi lainnya adalah pekerja sosial. Pekerja sosial profesional adalah orang-orang yang bekerja pada organisasi pemerintah dan swasta, memiliki kemampuan dan keahlian dalam pekerjaan sosial, dan memperhatikan pekerjaan sosial. Ini merupakan pengembangan layanan yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan serta pengalaman praktik dalam pekerjaan sosial. Tugas dan menangani masalah sosial anak-anak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 pasal 8 dikatakan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif (Indonesia, 2012).
Pekerja sosial profesional saat ini istilah yang berlaku yaitu pekerja
sosial. Namun dari sisi lain ada hal yang lebih baik yaitu adanya keharusan
pekerja sosial mempunyai sertifikat kompetensi. Menurut Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2019 pasal 1 huruf 1 yaitu pekerja sosial adalah seseorang yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial serta telah
mendapatkan sertifikat kompetensi.
����������������������������������������������������� ����������������
Metode Penelitian
Dalam Penelitian ini jenis penelitian yang
digunakan adalah Jenis penelitian deskriptif
kualitatif kerap digunakan sebagai metode penelitian (Sugiyono, 2014). Dalam sebuah tulisan imiah penelitian diperlukan untuk
mengangkat dan mengupas sebuah masalah. Penelitian kemudian dijabarkan dalam
sebuah analisi hingga meperoleh kesimpulan sesuai tujuan awal. Jenis penelitian deskriptif
kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang memanfaatkan data kualitatif
dan dijabarkan sejara deskriptif. Jenis penelitian deskriptif kualitatif kerap
digunakan untuk menganalisis kejadian, fenomena, atau keadaan secara sosial. Jenis
penelitian deskriptif
kualitatif merupakan gabungan penelitian deskriptif dan kualitatif (Moleong, 2013).
Peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data untuk mengumpulkan data melalui penelitian
kepustakaan, wawancara dan observasi. Teknik pengumpulan data merupakan teknik
atau metode yang dapat peneliti gunakan untuk mengumpulkan data tentang masalah
penelitian yang sedang mereka kerjakan. Prosedur ini sangat penting, karena
data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data yang valid sehingga
dapat ditarik kesimpulan yang valid. Sebelum mengumpulkan data, biasanya
peneliti punya firasat.
Hipotesis
itu sendiri merupakan hipotesis tentang hal yang akan diperiksa dari kesimpulan
awal. Kemudian, para peneliti secara empiris membuktikan teknologi tersebut
dalam penelitiannya. Buktikan apakah hipotesis peneliti adalah cara yang benar
untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data biasanya ditentukan oleh
beberapa variabel pencarian. Setelah mengumpulkan semua data, langkah
selanjutnya adalah mengolah data. Oleh karena itu, tanpa pemrosesan apa pun,
data yang dikumpulkan akan menjadi tidak berarti dan tidak berguna.
Dalam
penelitian ini, teknologi analisis data yang digunakan adalah teknologi
analisis data kualitatif, yaitu teknologi analisis informasi non-digital yang
berfokus pada filosofi positivis. Saat menggunakan teknik analisis kualitatif,
masalah biasanya dibahas secara konseptual tanpa terganggu oleh data numerik.
Data
kualitatif adalah data dalam bentuk non-digital, biasanya dalam bentuk teks
atau naratif. Data kualitatif dapat berupa catatan observasi, hasil wawancara,
dan angket.
Analisis
data kualitatif digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami kualitas data
yang diperoleh dari pengumpulan data. Analisis data kualitatif sangat
bergantung pada interpretasi.
A. �Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Proses Diversi Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Wilayah Bapas Kelas I Bandung
Undang-undang �Nomor 11 �Tahun �2012 Pasal �1 �angka �7 ���tentang� Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan diversi adalah �pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana� (Rahayu, 2015). Penyelesaian perkara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan adanya bantuan dari pihak Balai Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (pejabat fungsional penegak hukum) yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan diluar proses peradilan pidana sebagaimana diatur Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan dan mempelajari aturan perundang-undangan yang berlaku, peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam dalam proses diversi terhadap anak yang melakukan tindak pidana yaitu:�����
1. Fasilitator
Fasilitator
adalah seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama mereka
dan membantu mereka mengembangkan rencana untuk mencapai tujuan tersebut tanpa
harus menempati tempat tertentu dalam diskusi. Beberapa fasilisator akan
mencoba membantu kelompok mencapai konsensus tentang setiap perselisihan yang
ada sebelumnya atau muncul dalam pertemuan untuk meletakkan dasar yang kokoh
untuk tindakan di masa depan.
Konsultan
komunitas yang ditunjuk untuk menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum
dapat memfasilitasi pertemuan antara penyidik dan konsultan
komunitas untuk mengidentifikasi dan membahas kasus yang dihadapi oleh anak
yang berhadapan dengan hukum. Keputusan akhir ditentukan oleh kesepakatan atau
konsensus.
2. Pengumpul Data/Informasi
Setelah mendapatkan informasi
tentang kasus anak yang melanggar hukum, penyuluh komunitas akan mulai
mengumpulkan informasi dan data tentang anak yang melanggar hukum.
3. Peneliti Kemasyarakatan
Pembimbing Kemasyarakatan setelah mengumpulkan data dan informasi yang lengkap, selanjutnya melakukan penelitian kemasyarakatan (litmas) yang berisi:
a. Identitas klien
b. Identitas orang tua klien
c. Gambaran tindak pidana yang disangkakan pada klien:
d. Riwayat hidup klien.
e. Kondisi keluarga klien.
f. Kondisi lingkungan setempat
g. Tanggapan klien terhadap masalahnya
h. Kebutuhan klien
i. Pandangan masa depan klien
j. Tanggapan berbagai pihak terhadap klien dan masalahnya
k. Analisa masalah klien
l. Kesimpulan dan rekomendasi.
4. Pendamping dan Pembimbing
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata pendamping berarti (dalam proses negosiasi, dll)
mendampingi (orang). Mate berasal dari kata dasar redaman. Pembimbing dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang memberi petunjuk; kepemimpinan;
pembimbing; hal-hal yang digunakan untuk bimbingan seperti pembimbing (ilmu).
Pemandu komunitas mengadakan pertemuan antara pelaku, keluarga pelaku, korban
dan keluarga korban. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar para PK dapat saling
mendekati dan memberikan tanggapan serta saran kepada kedua belah pihak
sehingga diharapkan dapat menyelesaikan kasus tersebut melalui mutasi. Pada
saat pemindahan, konsultan komunitas wajib membawa pelaku, korban, pelaku dan
keluarga korban, serta pekerja sosial profesional, dan proses pemindahan
ditinjau melalui metode restorative
justice.
5. Pelapor Hasil Penelitian
Setelah
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan maka hasil penelitian kemasyarakatan tersebut akan diberikan kepada penyidik.
Mengacu terhadap hasil penelitian
masyarakatan tersebut dan syarat-syarat agar dilakukannya diversi yaitu ancaman pidana
dibawah 7
(tujuh)
tahun dan bukan pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun
2012 Pasal 7 selanjutnya
pembimbing� �kemasyarakatan merekomendasikan kepada penyidik agar dilakukannya diversi.
B. �Hambatan-hambatan yang Dihadapi Pembimbing Masyarakatan dalam Pelaksanaan Proses Diversi terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana di Wilayah Bapas Kelas I Bandung
Pelaksanaan diversi dapat dilakukan di setiap tingkat pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan dan pelaksanaan putusan hakim. Diversi harus dilakukan sesuai dengan prinnsip-prinsip diversi yaitu:
1. Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui tindakan pidananya.
2. Hanya dapat dilakukan bila anak mengakui kesalahan
3. Pemenjaraan/penahanan �bukan� bagian dari �diversi �(tidak boleh ada pencabutan kemerdekaan anak)
4. Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan
5. Hak anak tetap diperhatikan dalam hal kasus anak diajukan ke pengadilan.
6. Tidak ada diskriminasi.
Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan yang penulis lakukan berkaitan dengan hambatan-hambatan yang
dihadapi Pembimbing
Kemasyarakatan dalam pelaksanaan proses
diversi terhadap anak yang
melakukan tindak pidana
di Wilayah Bapas Kelas I Bandung yaitu:
1. Adanya rasa ketidakpercayaan dari pihak korban terhadap Pembimbing Kemasyarakatan.
Para korban seringkali
percaya bahwa konselor komunitas mendukung pelaku. Dengan asumsi tersebut, para
korban merasa diperlakukan tidak adil, selain itu mereka juga merasa dirugikan
oleh kejadian ini dan tidak mau ikut serta dalam pemindahan.
2. Kurang aktifnya partisipasi para pihak terhadap proses penyelesaian perkara secara diversi.
Saat ditetapkan tanggal untuk pelaksanaan pertemuan
musyawarah guna melakukan diversi para
pihak tidak ada dalam musyawarah/diversi tersebut. ketidakadaan mereka disertai
dengan berbagai alas
an misalnya ada kesibukan
lain, bekerja, dan
lain sebagainya.
3. Faktor keegoisan dari pihak korban yang dari awal ingin mempidanakan pelaku.
Upaya diversi tersebut seringkali ditolak oleh pihak korban dengan� �berbagai alasan. Adanya ganti rugi dianggap berat bagi pihak pelaku dan jika ganti rugi tersebut tidak terpenuhi maka korban pun tidak mau diadakannya diversi.
�
4. Kurangnya Sarana dan Prasarana.
Sarana prasarana yang kurang
seperti lembaga khusus anak, Hal ini menyebabkan hasil kesepakatan diversi berupa
keikutsertaan �dalam
�pendidikan
�atau�
pelatihan �di �lembaga
�pendidikan �atau
lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
5. Kurangnya koordinasi antar lembaga yang menangani masalah anak.
Ada berbagai lembaga yang
terlibat dalam penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum
selain Balai
Pemasyarakatan, diantaranya kepolisian,
kejaksaan dan
pengadilan, namun koordinasi antar lembaga ini masih kurang baik, pendampingan dan pembinaan dari pembimbing
kemasyarakatan menjadi tidak efektif, sehingga
berpotensi gagalnya dilaksanakan diversi
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
6. Terbatasnya jumlah pembimbing kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung.
Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung memiliki 61 Petugas Pembimbing Kemasyarakatan sehingga tidak seimbang dengan jumlah perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang harus diselesaikan, oleh karena itu penanganannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Permintaan pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum yang diterima Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung selama kurun waktu 2020 adalah sebagai berikut:
Tabel
1 Permintaan Litmas Kepolisian
Data Bimkemas Bka
NO |
JENJANG PK |
BULAN |
JUMLAH |
|||||||||||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
|||
1. |
PK PERTAMA |
9 |
5 |
4 |
- |
1 |
- |
7 |
4 |
6 |
2 |
9 |
- |
47 |
2. |
PK MUDA |
15 |
13 |
8 |
9 |
14 |
5 |
6 |
9 |
13 |
10 |
22 |
5 |
129 |
3. |
PK MADYA |
1 |
7 |
2 |
1 |
- |
5 |
2 |
1 |
1 |
- |
1 |
- |
21 |
JUMLAH |
25 |
25 |
14 |
10 |
15 |
10 |
15 |
14 |
20 |
12 |
32 |
5 |
197 |
Data Registrasi Bka
NO |
JENJANG PK |
BULAN |
JUMLAH |
|||||||||||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
|||
1. |
PK PERTAMA |
12 |
4 |
4 |
- |
1 |
- |
7 |
5 |
6 |
4 |
20 |
- |
63 |
2. |
PK MUDA |
12 |
14 |
10 |
9 |
14 |
5 |
6 |
10 |
13 |
8 |
10 |
5 |
116 |
3. |
PK MADYA |
1 |
7 |
- |
1 |
- |
5 |
2 |
- |
1 |
- |
1 |
- |
18 |
JUMLAH |
25 |
25 |
14 |
10 |
15 |
10 |
15 |
15 |
20 |
12 |
31 |
5 |
197 |
Tabel
2 Permintaan Litmas LPKA/LPP
NO |
JENJANG PK |
BULAN |
JUMLAH |
|||||||||||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
|||
1. |
PK PERTAMA |
1 |
3 |
1 |
0 |
0 |
3 |
0 |
0 |
0 |
0 |
3 |
0 |
11 |
2. |
PK MUDA |
23 |
2 |
20 |
1 |
0 |
6 |
0 |
1 |
3 |
0 |
31 |
6 |
93 |
3. |
PK MADYA |
3 |
2 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 |
0 |
0 |
2 |
1 |
9 |
JUMLAH |
27 |
7 |
21 |
1 |
0 |
9 |
0 |
2 |
3 |
0 |
36 |
7 |
113 |
NO |
JENJANG PK |
JUMLAH |
1. |
PK PERTAMA |
58 |
2. |
PK MUDA |
222 |
3. |
PK MADYA |
30 |
TOTAL |
310 |
Klien BKA 2020
PB |
||||||||||||||
NO |
JENJANG PK |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
2 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
2 |
2 |
PK MUDA |
51 |
0 |
3 |
1 |
2 |
0 |
0 |
1 |
3 |
1 |
0 |
1 |
63 |
3 |
PK MADYA |
15 |
0 |
2 |
0 |
0 |
1 |
1 |
2 |
0 |
0 |
2 |
1 |
24 |
|
JUMLAH |
68 |
0 |
5 |
1 |
2 |
1 |
1 |
3 |
3 |
1 |
2 |
2 |
89 |
CB |
||||||||||||||
NO |
JENJANG PK |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
1 |
1 |
0 |
1 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
4 |
2 |
PK MUDA |
1 |
0 |
1 |
1 |
1 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 |
6 |
3 |
PK MADYA |
0 |
0 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 |
|
JUMLAH |
2 |
1 |
1 |
3 |
1 |
1 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 |
11 |
DIVERSI |
||||||||||||||
NO |
JENJANG PK |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
16 |
2 |
2 |
0 |
0 |
1 |
1 |
0 |
1 |
0 |
1 |
0 |
24 |
2 |
PK MUDA |
4 |
6 |
5 |
1 |
0 |
0 |
1 |
4 |
5 |
4 |
5 |
1 |
36 |
3 |
PK MADYA |
32 |
3 |
2 |
0 |
0 |
4 |
2 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
43 |
|
JUMLAH |
52 |
11 |
9 |
1 |
0 |
5 |
4 |
4 |
6 |
4 |
6 |
1 |
103 |
PIB |
||||||||||||||
NO |
JENJANG PK |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
0 |
0 |
2 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
3 |
2 |
PK MUDA |
0 |
3 |
0 |
0 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
4 |
3 |
PK MADYA |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
JUMLAH |
0 |
3 |
2 |
0 |
1 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
7 |
ASIMILASI |
||||||||||||||
NO |
JENJANG PK |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
0 |
0 |
0 |
2 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
2 |
2 |
PK MUDA |
0 |
0 |
0 |
13 |
0 |
0 |
0 |
4 |
1 |
0 |
0 |
0 |
18 |
3 |
PK MADYA |
0 |
0 |
0 |
5 |
0 |
0 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
6 |
|
JUMLAH |
0 |
0 |
0 |
20 |
0 |
0 |
0 |
5 |
1 |
0 |
0 |
0 |
26 |
LATKER |
||||||||||||||
NO |
JENJANG PK |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
1 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
2 |
2 |
PK MUDA |
14 |
7 |
2 |
3 |
1 |
0 |
1 |
0 |
1 |
0 |
3 |
0 |
32 |
3 |
PK MADYA |
5 |
0 |
1 |
1 |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
8 |
|
JUMLAH |
20 |
8 |
3 |
4 |
1 |
1 |
1 |
0 |
1 |
0 |
3 |
0 |
42 |
TOTAL JUMLAH KLIEN 2020 |
||
NO |
JENJANG PK |
JUMLAH |
1 |
PK PERTAMA |
37 |
2 |
PK MUDA |
159 |
3 |
PK MADYA |
82 |
�TOTAL |
278 |
7. Kurangnya pemahaman dari pihak pelaku maupun pihak korban mengenai diversi
Alasan pemanggilan terhadap orang
tua/wali adalah memberitahukan kepada orang tua/wali pelaku mengenai status dan kedudukan anaknya yang
sedang
dalam proses
hukum, namun dalam prakteknya sangat minim pihak orang tua/wali pelaku yang
mengerti akan tugas dan peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam melakukan
bimbingannya. Adanya orang
tua/wali pelaku tidak mau patuh dan taat
terhadap surat panggilan tersebut, adanya orang
tua beranggapan bahwa
panggilan dari
pihak Balai Pemasyarakatan
tidak
berdampak positif terhadap status hukum anaknya, justru
beranggapan hanya akan lebih mempersulit anaknya dalam penyelesaian
perkara yang dihadapinya.
8. Penentuan� kesepakatan �ganti �kerugian �yang �tidak �dapat �disanggupi �oleh �pihak pelaku.
Terlaksananya� diversi �sangat �dipengaruhi �oleh �kesediaan �pihak �korban akan tetapi untuk menentukan kesepakatan antara pihak korban dan pihak pelaku tidaklah mudah. Perbedaan kepentingan antara keduanya merupakan masalah mendasar dalam penentuan kesepakatan, terkadang permintaan pihak korban tidak dapat dipenuhi oleh pihak pelaku, namun pihak korban tidak ingin mengubah persyaratan kesepakatannya sehingga pelaksanaan diversi gagal dilakukan.
C. �Upaya Yang
Dilakukan untuk
Mengatasi Hambatan-Hambatan:
1. Mengadakan sosialisasi tentang diversi di kalangan masyarakat.
2. Menambah petugas Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung.
3. Menjalin komunikasi yang intensif dan persuasif dengan pihak korban dan pihak pelaku.
4. Melakukan pertemuan terpisah agar dapat menyamakan persepsi antara pihak korban dan pihak pelaku.
5. Perlunya peningkatan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan diversi.
6. Perlunya pembatasan dan pengawasan dalam pelaksanaan kesepakatan diversi
7. Perbaikan koordinasi antar lembaga yang menangani masalah anak.
D. Bentuk Diversi
Menurut peraturan
Pemerintah Republik Indonesia tentang �Prinsip-Prinsip Pedoman Pelaksanaan
Pemindahan dan Penanganan Anak di Bawah 12 Tahun� Tahun 2015, pemindahan adalah
mengalihkan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana kepada prosedur
pidana di luar peradilan pidana. Perjanjian pengalihan merupakan hasil yang
diperoleh dari perjanjian pengalihan yang memuat hak dan kewajiban para pihak
yang tidak melanggar hukum.
Hasil pemindahan
tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, mutasi tersebut dalam tahap
penyidikan, yang merupakan tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap
ini, penyidik tidak dapat terus memasukkan tindak pidana ke dalam
prosedur peradilan pidana. Oleh karena itu, tahapan ini merupakan tahapan yang
paling strategis untuk memediasi kejahatan tertentu guna menghindari prosedur
peradilan pidana dengan mencari solusi yang menguntungkan semua pelaku dan
korban.
Penangkapan anak-anak
untuk kepentingan investigasi, dan penyelidikan harus dikoordinasikan dengan
jaksa dalam waktu 1x24 jam (dua puluh empat jam) setelah investigasi dimulai.
Koordinasi ini bertujuan untuk memberikan arahan dan cara pandang agar keutuhan
dokumen dapat diselesaikan secara formal dan substantif agar anak tidak
dirugikan pada tahap selanjutnya. Anak yang ditangkap harus ditempatkan di
ruang pelayanan khusus anak, jika tidak ada ruang pelayanan khusus anak di
daerah yang bersangkutan maka dititipkan ke LPKS.
Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa penangkapan anak harus dilakukan secara
manusiawi dan sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan usianya, Semua biaya
untuk setiap anak yang ditempatkan di LPKS menjadi tanggungan departemen urusan
pemerintah. Sektor sosial. Petugas yang menangkap anak berkewajiban memberi
tahu anak dan orang tua/wali tentang hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum,
dan untuk menjaga prosedur hukum jika petugas tidak memberikan pemberitahuan
yang tepat. Maka menangkap anak sesuai hukum tidak sah.
Jika orang tua/wali dan
atau bidang kesejahteraan sosial anak (termasuk panti asuhan dan panti
rehabilitasi) dijamin oleh instansi/lembaga (instansi pemerintah dan swasta,
termasuk instansi pemerintah dan swasta), maka anak tidak boleh ditahan. Tidak
akan menghilangkan atau menghancurkan barang bukti, dan / atau tidak akan
mengulangi tindak pidana. Menurut Pasal 32 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana
Anak, penahanan anak hanya dapat dilakukan dengan ketentuan yang harus
disebutkan secara jelas dalam perintah penahanan: a. Anak-anak berusia 14 tahun
(empat belas tahun) ke atas; b. Diduga melakukan tindak pidana dan dapat dipidana
selama 7 (tujuh) tahun atau lebih. Undang-undang juga menetapkan bahwa selama
anak ditahan, kebutuhan fisik, mental, dan sosialnya harus dipenuhi.
Untuk melindungi
keselamatan anak, anak dapat ditempatkan di LPKS sehingga jika tidak ada LPAS
di tempat anak ditahan maka anak tersebut dapat ditahan di LPKS setempat.
Sayangnya, bahkan jika jaminan untuk anak-anak diwajibkan berdasarkan Pasal 32
(1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika penyidik
bersikeras untuk melakukan penahanan, undang-undang tidak dapat
mengatur secara memadai. Instansi yang berwenang merekomendasikan masa
penahanan anak pada setiap tahap, baik untuk penyelidikan, penuntutan atau
peninjauan kembali di pengadilan, atau pada tahap prosedur hukum dari banding
hingga pencabutan hukuman asli. Peringatan tersebut merupakan hukuman ringan
dan tidak membatasi kebebasan anak.
Apabila ketentuan umum
dan ketentuan khusus diberlakukan, dalam putusan pengadilan atas tindak pidana
tersebut, hakim dapat menjatuhkan ketentuan pidana jika dijatuhi pidana penjara
paling lama dua tahun (dua tahun). Syarat umumnya, dengan syarat, anak tidak
akan melakukan tindak pidana lain selama melakukan tindak pidana tersebut, dan
syarat khusus tersebut tetap memperhatikan kebebasan hakim untuk melakukan atau
tidak melakukan hal-hal tertentu yang ditentukan dalam putusan hakim. Beberapa
hal. Jangka waktu tindak pidana bagi anak dengan kondisi khusus lebih lama dari
masa tindak pidana dengan kondisi umum, dan jangka waktu tindak pidana dengan
persyaratan adalah 3 (tiga) tahun. Kejahatan pengabdian masyarakat adalah
kejahatan yang bertujuan mendidik anak dengan meningkatkan kesadaran mereka
akan kegiatan sosial yang aktif.
Jika seorang anak gagal
melaksanakan seluruh atau sebagian kewajibannya dalam melakukan tindak pidana
pengabdian masyarakat tanpa alasan yang sah, petugas pengawas dapat
merekomendasikan hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi
seluruh atau sebagian dari hukuman pengabdian masyarakat yang dijatuhkan
kepadanya. Waktu penalti untuk pengabdian masyarakat ini paling sedikit 7
(tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Selain itu, yang
disebut hukuman pelatihan kejuruan dilaksanakan di lembaga yang memberikan
pelatihan kejuruan sesuai dengan usia anak. Jangka waktu penalti untuk
pelatihan kerja ini paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu
tahun).
Selain itu, di tempat
pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
swasta jangka waktu pembinaan pidana bagi lembaga paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Penjara ditempatkan pada bagian
terakhir UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang tercermin dalam ketentuan Pasal
81 (5), yang mengatur bahwa pemenjaraan anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
Jika seorang anak
melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan
kekerasan, dan jika kondisi dan perilaku anak membahayakan masyarakat, maka
anak tersebut akan dihukum penjara di LPKA. Pidana pidana penjara paling lama
untuk anak adalah 1/2 (setengah) dari pidana penjara maksimal untuk orang
dewasa, dan pidana kurungan minimal khusus tidak berlaku bagi anak. Kedua,
mutasi di tingkat penuntutan, pada tahap ini penuntut umum dapat memberikan
mediasi bagi korban dan pelaku tindak pidana dengan mempelajari perilaku pelaku
tindak pidana sesuai standar tertentu. Mediasi didasarkan pada persetujuan
sukarela dari pelaku dan korban kejahatan.
Jika kedua belah pihak
setuju untuk mediasi, mediasi akan disetujui oleh jaksa penuntut, yang dapat
bertindak sebagai mediator atau menunjuk mediator yang memenuhi syarat.
Kemudian, mediator mempertemukan pelaku dan korban kejahatan. Proses mediasi
dilakukan secara rahasia, artinya semua kejadian yang terjadi selama proses
mediasi tidak bisa dirilis oleh semua peserta. Dalam mediasi, hukuman tidak
disepakati, kemudian kasus pidana akan ditinjau dan dituntut di pengadilan
setelah kasus pidana. Dalam kasus ini, mediator tidak dapat memberikan
kesaksian atas kegagalan perjanjian mediasi atau apa pun yang terjadi selama
proses mediasi.
Jika mediasi mencapai
kesepakatan damai yang dapat diterima semua pihak, maka kesepakatan tersebut
akan menjadi keputusan akhir dan tidak akan ada penuntutan, sehingga bisa
dijadikan alasan untuk membatalkan klaim. Ketiga, pada tahap persidangan,
mediasi pidana yang dilakukan pada tahap ini dilakukan setelah jaksa
melimpahkan perkara ke pengadilan. Dalam mediasi, pada tahap ini hakim
melakukan rekonsiliasi dengan para pihak, yaitu pelaku pidana dan korban.Dengan
premis patuh pada prosedur pengadilan, hakim akan menyelesaikan perkara dengan
memperhatikan standar pelaku pidana. Perilaku terdakwa. Jika mediasi ini
mencapai kesepakatan, hasilnya bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan pelaku
kejahatan. Mediator pada tahap ini dapat dilakukan oleh hakim atau mediator
yang bersertifikat dan terlatih di luar pengadilan.
Mediasi semacam ini
merupakan kombinasi dari model mediasi korban-pelaku dan model proses negosiasi
kompensasi. Setelah hakim mempelajari perkara dan perilaku kriminal terdakwa,
ia dapat memberikan mediasi pidana sebagai rencana penyelesaian untuk
rekonsiliasi dengan para pihak. Jika para pihak setuju, mereka akan secara
sukarela mencapai kesepakatan dan berpartisipasi dalam penyelesaian kasus
melalui mediasi pelaku dan korban. Hakim dapat bertindak sebagai mediator atau
mediator yang memenuhi syarat dan bersertifikat di luar pengadilan. Mediasi
mempertemukan antara pelaku dan korban, dalam hal ini korban dan pelaku
didamaikan dan diberi ganti rugi atas kerugian yang diderita korban.
Mediasi semacam ini
merupakan kombinasi dari model mediasi korban-pelaku dan model proses negosiasi
kompensasi. Setelah hakim mempelajari perkara dan perilaku kriminal terdakwa,
ia dapat memberikan mediasi pidana sebagai rencana penyelesaian untuk
rekonsiliasi dengan para pihak. Jika para pihak setuju, mereka akan secara
sukarela mencapai kesepakatan dan berpartisipasi dalam penyelesaian kasus
melalui mediasi pelaku dan korban. Hakim dapat bertindak sebagai mediator atau
mediator yang memenuhi syarat dan bersertifikat di luar pengadilan. Mediasi
mempertemukan antara pelaku dan korban, dalam hal ini korban dan pelaku
didamaikan dan diberi ganti rugi atas kerugian yang diderita korban.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Peran
konsultan sosial dalam proses pemindahan anak-anak yang dicuri di kawasan Bapas
Kelas I Bandung yaitu sebagai fasilitator, pengumpul informasi, peneliti
komunitas, asisten, pembimbing dan pelapor hasil penelitian. Kendala yang
dihadapi oleh penyuluh masyarakat dalam melaksanakan prosedur mutasi untuk
memberantas anak yang melakukan tindak pidana di wilayah Bandung Bampas Level 1
adalah ketidakpercayaan korban kepada penyuluh masyarakat dan kurangnya
semangat para pihak untuk berpartisipasi dalam proses pemindahan penyelesaian
kasus. Faktor egois korban sejak awal ingin mengkriminalisasi pelaku, sarana
dan prasarana yang kurang memadai, kurangnya koordinasi antar instansi yang
menangani masalah anak, dan jumlah pendamping masyarakat yang terbatas.Mereka
melakukan tindak pidana di Lapas I Bandung. pemahaman tentang pengalihan antara
korban dan korban menentukan kesepakatan kompensasi yang tidak mampu dibayar
oleh pelaku.
Cara
mengatasi kendala tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi perpindahan
antar komunitas, menambah petugas binaan masyarakat di Lapas I Bandung,
menjalin komunikasi yang mendalam dan persuasif dengan korban dan pelanggar,
serta mengadakan pertemuan tersendiri untuk membantu menumbuhkan pandangan para
korban. sama. Para pihak, korban, dan pelanggar perlu melaksanakan triase, meningkatkan
sarana dan prasarana, membatasi dan mengawasi pelaksanaan perjanjian triase,
serta meningkatkan koordinasi antar lembaga yang menangani masalah anak.
BIBLIOGRAFI
Afif, A. (2015). Pemaafan,
Rekonsiliasi dan Restorative Justice. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ariani, N. M. I., Yuliartini, N. P. R., & Mangku,
D. G. S. (2020). Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak Terhadap Curanmor yang dilakukan Oleh Anak di Kabupaten
Buleleng (Studi Kasus Perkara Nomor: B/346/2016/Reskrim). Jurnal Komunitas
Yustisia, 2(2), 100�112.
Ariani, N. V. (2014). Implementasi Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi
Kepentingan Anak. Media Hukum, 21(1), 16.
Ghany, H. (2018). Penyelenggaraan Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan di Sekolah Dasar. Madaniyah, 8(2),
186�198.
Ikhsan, E. (2014). Diversi dan Keadilan Restoratif
Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat. Medan: Pustaka Indonesia.
Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Direktorat
Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, Republik �.
Kanna, M. R., & Maerani, I. A. (2020). Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Pati). Prosiding Konferensi
Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster Hukum.
Mahargini, A. (2016). Model Sistem Peradilan Terhadap
Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan Pendekatan Diversi dan Restoratif
Justice Studi Kasus di Bapas Kota Surakarta. Jurisprudence, 6(1),
16�27.
Moleong, L. J. (2013). Metode Penelitian
Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya. Mosal.
Rahayu, S. (2015). Diversi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Perspektif Sistem
Peradilan Pidana Anak. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 6(1), 43317.
Sofyan, A. (2020). Peran Pembimbing Kemasyarakatan
dalam Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Jurnal of Admiration,
1(8), 1029�1038.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supeno, H. (2013). Kriminalisasi Anak. Gramedia
Pustaka Utama.