Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 2 No. 2 Februari 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
PENGGUNAAN TEKNOLOGI UAV PADA PEMETAAN
PANTAI DENGAN PENDEKATAN BERBASIS OBJEK GEOGRAFIS
Hasanul Arifin Purba dan Ahmad Perwira Mulia
Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRACT |
Diterima 28
Januari 2021 Diterima dalam bentuk revisi 12
Februari 2021 Diterima dalam bentuk revisi |
This study aims to examine coastal mapping techniques from photographs
taken using UAVs using geographic object-based image analysis. Object-based
digital analysis performed for automation of data processing mapping of coastal
in improving efficiency and accuracy of the mapping results compared to
visual interpretation which has been frequently done.Aerial photos with UAVs
produce orthophoto maps with a resolution of 1.33 cm/pixel and DSM maps with
a resolution of 2.66 cm/pixel with a value of RMSE GCP worth 0.096 m. At the
stage of classification, digital analysis by objectbased approach was used to
classify the four classes of objects, namely buildings, trees, grass/shrubs,
sand/land and sea. Object-based digital analysis (GEOBIA) was able to
classify orthophoto maps with Overall Accuarcy (OA) of 91.4% and kappa of
0.86. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji teknik pemetaan pantai dari hasil foto-foto yang diambil dengan
menggunakan UAV menggunakan
analisis berbasis objek geografis/GEOBIA (geographic object-based
image analysis). Analisis
digital berbasis objek dilakukan untuk otomatisasi pengolahan data pemetaan pantai dalam meningkatkan efisiensi dan akurasi hasil
pemetaan dibandingkan dengan interpretasi visual yang selama ini sering dilakukan. Foto udara
dengan UAV menghasilkan peta orthofoto dengan resolusi 1.33 cm/pixel dan peta
DSM dengan resolusi 2.66 cm/pixel dimana nilai RMSE GCP sebesar 0.096 m. Pada tahapan klasifikasi, analisis digital
dengan pendekatan berbasis objek
digunakan untuk mengkelaskan empat jenis objek yaitu bangunan, pohon, rumput/semak,
pasir/darat dan laut. Analisis
digital berbasis objek (GEOBIA) mampu mengklasifikasikan peta orthofoto dengan Overall Accuarcy (OA)
sebesar 91.4% dan kappa sebesar 0.86. |
Keywords: beach mapping; UAV; GEOBIA Kata kunci: pemetaan pantai; UAV; GEOBIA |
Pendahuluan
Pantai
didefinisikan sebagai wilayah transisi antara darat dan laut. Kawasan ini merupakan area yang
penting dan sensitif dengan kompleksitas yang signifikan, tetapi sulit untuk
didefinisikan sebab keragaman bentuk serta dinamikanya dan batasan spasialnya (Boak &
Turner, 2005). Dinamika perubahan topografi di
sepanjang garis pantai akibat transportasi material dan responsnya yang relatif
cepat terhadap fenomena cuaca memberi kesempatan kepada geo-ilmuwan untuk
mempelajari perubahan wilayah pantai dengan beberapa metodologi untuk
memberikan ulasan yang sesuai (Baptista et
al., 2008). Disamping itu, perubahan ini
mendapat banyak perhatian terutama ketika terjadinya erosi, dimana garis pantai
mengalami perubahan ke arah daratan yang biasanya disebabkan oleh kenaikan
muka air laut akibat pemanasan global maupun serangan badai (Tarigan & Nurzanah, 2016). Selain itu, walaupun wilayah pantai hanya
sebesar 2% dari luas permukaan bumi, tetapi hampir 10% populasi bumi berada di
wilayah tersebut.
Dikarenakan perubahan yang sering terjadi di pantai serta banyaknya aktivitas manusia di dekat atau di sepanjang garis pantai, maka diperlukan manajemen pantai yang dilengkapi dengan data monitoring pantai serta telaah dinamikanya sebagai upaya menjaga kestabilan pantai (Papakonstantinou et al., 2016). Saat ini data-data monitoring pantai masih cukup minim. Hal ini disebabkan oleh masih relatif lama dan mahalnya biaya survei serta pemetaan pantai jika dilakukan dengan metode konvensional, misalnya dengan menggunakan total station ataupun GPS geodetik. Untuk menangani hal ini, berbagai jenis data penginderaan jarak jauh telah digunakan dalam aplikasi wilayah pantai. Data tersebut telah digunakan untuk memantau perubahan garis pantai atau untuk mengukur perubahan volume di wilayah pesisir (Kaliraj et al., 2017); (G�rm�ş et al., 2014); (Elnabwy et al., 2020).
Beberapa tahun terakhir, penggunaan UAV untuk monitoring pantai berbasis penginderaan jarak jauh mulai banyak dilakukan dalam berbagai penelitian (Chikhradze et al., 2015); (Drummond et al., 2015) . UAV menyajikan beberapa keuntungan untuk survei pantai, diantaranya UAV mampu memberikan resolusi spasial yang terbaik di antara semua survei penginderaan jarak jauh lainnya, kemampuan untuk mengirimkan foto yang diperoleh ke pengontrol jarak jauh, kemampuan untuk mengulang akuisisi jika terjadi kesalahan, dan risiko keamanan yang sangat rendah karena drone tidak berawak. Selain itu, dengan mengkombinasikan UAV dengan SFM (structure from motion) dan GEOBIA (geographic object-based image analysis), hal tersebut mampu menyediakan berbagai informasi dengan biaya rendah, khususnya untuk area kecil (Pajares, 2015).
Penggunaan UAV dalam melakukan pemetaan pantai masih
relatif baru, khususnya di Indonesia. Dalam melakukan manajemen
pantai diperlukan data monitoring pantai dengan teknik pemetaan pantai yang
cepat dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji teknik pemetaan pantai dari hasil foto-foto yang diambil dengan
menggunakan UAV menggunakan analisis
berbasis objek geografis/GEOBIA (geographic object-based image
analysis). Dengan adanya teknik pemetaan ini, akan memberikan kemudahan dalam mengelola dan menyelesaikan
berbagai masalah di pantai seperti erosi, sedimentasi, dan sebagainya.
Metode Penelitian
A. Lokasi
penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Cermin, Desa Kota Pari, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, berjarak 43 km dari ibukota provinsi dan 23 km dari ibu kota kabupaten. Posisi geografis dari lokasi penelitian berada di sekitar 3o 39� 46� lintang utara dan 98o 57� 54� bujur timur. Gambar 1 menunjukkan posisi dari lokasi penelitian. Lokasi penelitian meliputi daerah garis pantai dan sempadan pantai sepanjang arah memanjang pantai.
B. Akuisisi
Data dan Sistem UAV
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa foto udara yang diambil menggunakan UAV. Foto udara diambil pada bulan Februari 2018 di Pantai Mutiara, Desa Kota Pari. Lokasi tersebut dipilih karena terdapat bagian-bagian dari kelas klasifikasi yang akan dibentuk yaitu bangunan, pohon, rumput/semak dan darat/pasir.
Gambar
1. Lokasi
penelitian (Google Maps)
UAV yang digunakan adalah DJI Phantom 4 Pro bertipe quadcopter (Gambar 2). Model kamera yang digunakan adalah FC6310. UAV dapat digunakan dalam situasi berisiko tinggi tanpa membahayakan nyawa manusia dan area yang tidak dapat diakses, pada ketinggian rendah dan pada profil penerbangan yang dekat dengan objek. Tabel 1 memperlihatkan spesifikasi UAV yang digunakan.
Gambar 2. UAV DJI Panthom 4
Pro (DJI)
Tabel 1
Spesifikasi pesawat terbang dan kamera (User Manual Phantom 4 Pro, 2016)
Spesifikasi Pesawat terbang |
Kamera |
|
||
Berat (Termasuk Baterai & Baling-Baling) |
1388 g |
Sensor |
1 '' CMOS; Piksel efektif: 20 M. |
|
Ukuran Diagonal (Tidak Termasuk Baling-Baling) |
350 mm |
Lensa |
FOV (Bidang Pandang) 84 �, 8,8 mm, f / 2.8 - f / 11, fokus otomatis
pada 1 m - ∞ |
|
Waktu Penerbangan Maks |
Approx. 30 menit |
Rentang ISO |
Foto: 100 - 3200 (Otomatis); 100 - 12800 (Manual) |
|
Sistem Satelit |
GPS / GLONASS |
Rana Mekanis |
8 - 1/2000 dtk |
|
|
|
Shutter Elektronik |
1/2000 - 1/8000 dtk |
|
UAV dijalankan dengan sistem otomatis menggunakan navigasi GPS, serta menggunakan perangkat lunak perencanaan jalur terbang. Tinggi terbang diatur pada ketinggian 60 m dengan overlap dan sidelap sebesar 80%. Untuk koreksi geometri orthofoto, Ground check point (GCP) diambil dengan menggunakan GPS geodetic sebanyak delapan titik. Pengambilan GCP dilakukan dengan memasang dan mengukur pre-mark, yang dilakukan sebelum data foto udara diambil, dengan sebaran GCP diperlihatkan pada Gambar 3.
C.
Analisis Digital
Analisis
digital berbasis objek (GEOBIA) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: segmentasi,
klasifikasi, dan uji akurasi (Kavzoglu &
Yildiz, 2014). Tahap segmentasi merupakan proses
yang penting karena peta orthofoto yang dihasilkan tidak dapat diproses
menggunakan metode klasifikasi berbasis piksel. Hal ini
dikarenakan resolusi spasial sangat tinggi (< 25 cm) yang dihasilkan citra
orthofoto menyebabkan ditemukannya nilai spektral yang serupa pada kelas
klasifikasi yang berbeda. Dengan adanya proses segmentasi peta orthofoto
maka karakteristik berbagai objek dapat digunakan dalam proses klasifikasi. Karena ukuran segmentasi, bentuk, dan kekompakan menentukan
geometri suatu benda dalam segmentasi multiresolusi, dimana karakteristik harus
dinilai dengan cermat.
Analisis digital untuk segmentasi dilakukan dengan menggunakan eCognition
Developer 9, perangkat lunak yang mampu mengintegrasi data dengan sensor dan resolusi
yang berbeda. Orthofoto dan DSM hasil foto udara digunakan dalam analisis ini.
Segmentasi
merupakan proses penggabungan pixel/objek berdasarkan nilai homogenitas
(kesamaan nilai spektral dan karakteristik spasial, dimana objek tersebut
diubah dari objek yang lebih kecil menjadi objek yang lebih besar. Dalam proses
segmentasi ini, digunakan algoritma multiresolution segmentation yang
dianggap paling menggambarkan kondisi sebenarnya.
Multiresolution
segmentation
menggabungkan region dengan cara mengelompokkan area
dengan kemiripan nilai piksel yang bersebelahan menjadi satu objek berdasarkan
kriteria homogenitas. Area homogen akan menjadi objek
yang lebih besar, sedangkan area heterogen akan menjadi objek yang lebih kecil.
Homogenitas ini ditentukan berdasarkan nilai parameter yang
dipilih. (Radoux &
Defourny, 2007) menyatakan resolusi spasial dan
objek yang akan dipetakan menjadi penentu dalam
menentukan nilai parameter untuk menjalankan algoritma ini, seringkali dilakukan
analisis visual maupun trial and error demi memperoleh hasil yang
sesuai. Dalam mengidentifikasi zona garis pantai (Papakonstantinou
et al., 2016) memberikan nilai parameter color/shape
dan compactness/smoothness sebesar 0,5 dan 0.5, dengan parameter size
20.
E.
Klasifikasi
Klasifikasi
dibuat ke dalam lima kelas yang dapat diidentifikasi
secara visual, yaitu: pasir/daratan, laut, rumput/semak, pohon, dan bangunan. Klasifikasi dilakukan berdasarkan informasi kontekstual objek serta
pengetahuan interpreter menggunakan logika fuzzy dan hierarcy
decision tree. Gambar
4 memperlihatkan skema proses
klasifikasi. Skema ini akan menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi (Ramadhani et
al., 2015).
(Ramadhani et al., 2015) telah menyusun membership
rule-set untuk klasifikasi tutupan lahan dalam pemetaan pulau kecil.
Membership rule-set ini disusun berdasarkan informasi
kontekstual serta expert knowledge untuk mendefinisikan berbagai objek
dari orthofoto dan DSM yang diperoleh dari hasil foto udara. Dalam studi ini, membership rule-set tersebut digunakan
dengan beberapa penyesuaian seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.
Dari Gambar
4 dapat dilihat bahwa tahap awal
klasifikasi dilakukan dengan memanfaatkan data DSM untuk memisahkan antara objek
yang tinggi (elevated) dengan objek yang tidak tinggi (non-elevated).
Setelah melakukan beberapa pengujian, dipilih threshold untuk objek elevated
sebesar 2 m. Hal ini juga pernah dilakukan oleh (Yu et al.,
2010) untuk membedakan objek dengan
ketinggian yang rendah seperti kendaraan dengan objek yang lebih tinggi seperti
bangunan dan pohon. (Freire et al.,
2010) dalam penelitiannya juga mengatakan
apabila klasifikasi hanya dilakukan dengan memanfaatkan informasi spektral maka
akan sulit untuk memisahkan antara bangunan beratap
asbes, beton yang berwarna keabuan dengan jalan sehingga mengakibatkan
rendahnya akurasi klasifikasi yang dihasilkan. Maka dengan adanya ambang batas
2 m ini akan mempermudah proses pemisahan antara kelas
pasir/daratan dengan kelas bangunan yang memiliki nilai spektral yang mirip
atau serupa.
Tabel 2. Kelas klasifikasi
dan karakter
setiap kelas
Kelas |
Karakter Signifikan |
Karakter Tidak Signifikan |
Bangunan |
Ketinggian > 2 m |
Informasi spektral (atap rumah memiliki warna berbeda-beda) |
Pohon |
Informasi spektral (hijau) Ketinggian > 2 m |
Bentuk dan ukuran tidak beraturan |
Rumput/semak |
Informasi spektral (hijau) |
Bentuk dan ukuran tidak beraturan |
Pasir/darat |
Ketinggian < 2 m |
Bentuk dan ukuran tidak beraturan |
Laut |
Ketinggian < 2 m |
Bentuk dan ukuran tidak beraturan |
Tahap
kedua dari proses klasifikasi dilakukan dengan memanfaatkan informasi spektral
dari data citra orthofoto. Untuk memisahkan antara kelas vegetasi (pohon dan
rumput/semak) dengan kelas non vegetasi (bangunan, darat/pasir dan laut)
menggunakan rasio band hijau �green/(red+green+blue)�,
dimana kelas vegetasi memiliki rasio band hijau lebih tinggi dari
kelas non vegetasi. Nilai threshold band hijau yang digunakan untuk
mengklasifikasikan vegetasi ialah sebesar 0.35 (Ramadhani et
al., 2015). Proses klasifikasi dilakukan
dengan bantuan perangkat lunak QGIS.
Tahap
akhir dari proses klasifikasi dilakukan terhadap kelas laut yang masih
tergabung dengan kelas lainnya. Untuk melakukan klasifikasi pada kelas laut
dilakukan digitasi secara manual untuk menentukan batas-batas air laut terhadap
objek lainnya.
Penilaian akurasi atau validasi merupakan langkah penting dalam
pengolahan data penginderaan jauh. Parameter penilaian akurasi
berguna untuk menilai kinerja model mengenai kategori/kelas tertentu yang
diminati untuk penelitian. Matriks konfusi adalah
ukuran akurasi klasifikasi citra yang paling banyak digunakan. Matriks
ini merupakan tabulasi silang sederhana dari label kelas hasil klasifikasi
terhadap data hasil pengamatan (Rwanga &
Ndambuki, 2017). Beberapa ukuran akurasi
klasifikasi dapat diperoleh dari matriks konfusi, dalam penelitian ini, Overall
Accuracy (OA) (Persamaan 1), Producer Accuracy (PA), User Accracy
(UA) dan Kappa (Persamaan 2) digunakan untuk penilaian akurasi. OA
diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang diklasifikasikan dengan benar (n)
dengan jumlah total piksel (N), sebagai berikut:
Adapun PA dan UA
diperoleh dengan cara yang sama dengan OA.
Analisis Kappa merupakan teknik multivariat diskrit yang berguna dalam menilai
akurasi klasifikasi citra. Analisis ini memperilhatkan kesesuaian antara hasil
klasifikasi yang dilakukan terhadap data referensi. Statistik KAPPA
dihitung sebagai berikut (Jenness dan Wynne, 2018):
Dimana;
r = jumlah baris dan kolom dalam matriks error; N = jumlah objek yang diamati, Xii
= pengamatan pada baris i dan kolom i; Xi+ = jumlah marjinal baris i;
dan X+i = jumlah marjinal kolom i. Banyak skema yang menggambarkan
kekuatan klasifikasi didasarkan pada koefisien KAPPA. Kategorisasi KAPPA
direproduksi oleh (Rwanga &
Ndambuki, 2017) seperti yang ditunjukkan pada Tabel
3.
Tabel 3. Kriteria penilaian
KAPPA
Kategori nomor |
Statistik KAPPA |
Kekuatan |
1 |
<0.00 |
Poor |
2 |
0.00�0.20 |
Slight |
3 |
0.21�0.40 |
Fair |
4 |
0.41�0.60 |
Moderate |
5 |
0.61�0.80 |
Substantial |
6 |
0.81�1.00 |
Almost perfect |
Uji akurasi dilakukan melalui identifikasi secara visual terhadap hasil
klasifikasi objek yang telah dilakukan. Pengujian ini dilakukan pada
empat kelas, yaitu pohon, rumput, bangunan dan pasir/darat. Kelas laut tidak dimasukkan dalam uji akurasi.
Sampel uji diambil secara acak dengan tetap mempertimbangkan komposisi
masing-masing kelas dan lokasi sebaran. Pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan fitur Random Selection pada perangkat QGIS.
Akuisisi foto dengan UAV menghasilkan foto udara sebanyak 373 foto dengan luas total 0.134 km2. Dengan bantuan perangkat lunak Agisoft Photoscan Professional versi 1.4.5 menghasilkan orthofoto dengan nilai piksel 1.33 cm dan DSM dengan nilai piksel 2.66 cm yang diperlihatkan pada
Gambar 5. Ground Control Point (GCP) sebanyak delapan titik sebagai koreksi geometrik orthofoto memiliki nilai RMSE 0.042 m. Adapun nilai RSSE pada masing-masing GCP diperlihatkan pada
Gambar 5. Peta Orthofoto dan DSM hasil pengolahan
foto udara
Tabel 4.
Orthofoto yang telah terkoreksi geometri kemudian disegmentasi dengan bantuan perangkat lunak eCognition Developer 9. Dengan algoritma multiresolution segmentation, nilai parameter shape 0.3, compactness 0.7 dan size 100 dipilih untuk digunakan, dimana nilai tersebut mampu memberikan hasil terbaik dalam memisahkan objek sesuai dengan klasifikasi yang akan dibentuk pada studi ini. Empat jenis band/layer digunakan dalam proses segmentasi ini, yaitu band R, G, B, dan DSM dengan perbandingan 1:1:1:1.
Gambar 6 memperlihatkan hasil segmentasi.
Gambar 5. Peta Orthofoto dan DSM hasil pengolahan
foto udara
Tabel 4. Hasil koreksi
geometric orthofoto
Label |
X(m) |
Y(m) |
Z(m) |
RSSE (m) |
RSSE (Pixel) |
1 |
0.026961 |
0.024789 |
-0.007513 |
0.037388 |
0.516000 |
2 |
-0.033210 |
-0.028078 |
-0.030820 |
0.053302 |
1.164000 |
3 |
0.063070 |
0.020553 |
0.011457 |
0.067316 |
0.400000 |
4 |
0.002183 |
-0.001171 |
0.031599 |
0.031696 |
0.270000 |
5 |
-0.014840 |
-0.014455 |
-0.006056 |
0.021584 |
0.533000 |
6 |
0.001928 |
-0.000153 |
-0.000836 |
0.002107 |
0.189000 |
7 |
0.013740 |
0.011301 |
0.010969 |
0.020900 |
0.455000 |
8 |
-0.054425 |
-0.016653 |
0.014391 |
0.058707 |
0.409000 |
RMSE |
0.033888 |
0.017467 |
0.017681 |
0.042025 |
0.611000 |
Gambar 6. Segmentasi data orthofoto dan DSM
Hasil klasifikasi diperlihatkan pada
Gambar 7. Dari
Gambar 7 terlihat bahwa terjadi bias pada pengklasifikasian daerah laut. Hal ini disebabkan karena laut tersebut berwarna coklat dan sedikit
kehijauan. Selain itu, data DSM dari foto udara
menghasilkan elevasi yang tidak sesuai di beberapa lokasi di laut. Hal ini menunjukkan keterbatasan foto udara yang tidak mampu
menghasilkan DSM yang baik pada daerah perairan.
Gambar 7. Hasil klasfikasi
Klasifikasi pada kelas laut dilakukan dengan digitasi manual untuk menentukan batas-batas air laut terhadap objek lainnya. Digitasi tersebut menghasilkan klasifikasi seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 8.
Gambar
8 Hasil
klasifikasi foto udara dalam lima kelas
Dalam uji
akurasi hasil klasifikasi, sebanyak 1131 objek dipilih sebagai sampel. Sampel ini kemudian diamati secara visual untuk memeriksa
ketepatan klasifikasi setiap kelas hasil analisis digital menggunakan
pendekatan berbasis objek. Kemudian hasil pengujian
dihitung dengan menggunakan matriks kesalahan untuk mengetahui OA (overall
accuracy), PA (producer accuracy), dan UA (user accuracy), serta
nilai kappa.
Tabel 5. Matriks kesalahan klasifikasi
Jenis |
Pohon |
Rumput/ semak |
Bangunan |
Pasir/ darat |
Subtotal |
PA |
Pohon |
556 |
2 |
0 |
7 |
565 |
98.4% |
Rumput/semak |
73 |
159 |
1 |
9 |
242 |
65.7% |
Bangunan |
3 |
0 |
53 |
1 |
57 |
93.0% |
Pasir/darat |
1 |
0 |
0 |
266 |
267 |
99.6% |
Total |
633 |
161 |
54 |
283 |
1131 |
|
UA |
87.8% |
98.8% |
98.1% |
94.0% |
|
|
Tabel 5 merupakan matriks konfusi yang menunjukkan kesalahan klasifikasi dari hasil uji akurasi yang telah dilakukan. Klasifikasi hasil analisis digital menunjukkan hasil yang sangat baik dengan akurasi keseluruhan (OA) sebesar 91.4%. Grafik akurasi pengguna (UA) dan akurasi pembuat (PA) diperlihatkan pada
Gambar 9.
Gambar
9 Akurasi pengguna (UA) dan pembuat (PA)
klasifikasi
Akurasi pemetaan yang paling tinggi
ditemukan pada kelas pohon dan pasir/darat. Kelas pohon yang tidak sesuai klasifikasinya hanya sedikit, yang
merupakan kelas rumput dan darat, hal ini dikarenakan rumput dan darat dengan
spektral hijau (beberapa bagian darat ditutupi oleh air berwarna hijau) yang sama dengan pohon memiliki elevasi yang cukup tinggi. Hal
ini disebabkan oleh bentuk permukaan tanah yang tidak sama
rata dan cenderung membentuk kemiringan, selain itu beberapa disebabkan oleh
data DSM yang kurang sesuai di beberapa lokasi.
Pada kelas rumput/semak, terjadi
kesalahan klasifikasi yang cukup besar. Kesalahan terbesar terjadi pada kelas pohon dimana
hal ini disebabkan oleh data DSM di beberapa lokasi tidak mampu memberikan
nilai elevasi pepohonan yang akurat. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pengaruh bayangan sinar matahari,
keberagaman bentuk pohon, serta ketinggiannya yang bervariasi. Pohon dengan
daun yang tidak lebat juga akan mengakibatkan
kesalahan terhadap DSM yang dihasilkan.
Klasifikasi kelas bangunan yang
tidak sesuai terjadi pada kelas pohon dan pasir/darat. Kesalahan pada kelas pohon disebabkan karena pohon
tersebut hanya memiliki batang berwarna coklat tanpa daun. Sedangkan kesalahan pada kelas pasir/darat disebabkan pasir/darat
tersebut dikelilingi oleh pohon yang mengakibatkan elevasi DSM pada daerah
tersebut tinggi.
Klasifikasi pada kelas pasir/darat
memberikan hasil yang memuaskan. Hanya ditemukan satu kesalahan yang terjadi yaitu pada kelas pohon
dikarenakan ujung-ujung cabang dan daun pohon yang tipis berada diatas
permukaan pasir, sehingga nilai elevasi yang dihasilkan rendah dengan warna
bukan hijau.
Dari hasil uji klasifikasi, diperoleh nilai kappa sebesar 0.86. Berdasarkan Tabel 3 tentang kriteria penilaian kappa (Rwanga & Ndambuki, 2017) �maka hasil analisis digital ini termasuk pada kategori 6 dengan kekuatan almost perfect. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh (Kavzoglu & Yildiz, 2014) yang membandingkan hasil analisis digital menggunakan UAV terhadap citra satelit resolusi tinggi. Dari penelitiannya menunjukkan nilai akurasi hasil pemetaan menggunakan UAV lebih tinggi (94.13%) dibandingkan dengan citra satelit resolusi tinggi (88.67%). Selain itu (Ramadhani et al., 2015) dalam melakukan klasifikasi tutupan lahan pulau kecil juga memberikan hasil yang sangat baik dengan nilai akurasi yang tinggi (akurasi keseluruhan 94.4% dan Kappa 0.92).
Gambar 10. Peta tutupan lahan Pantai
Mutiara
Dari studi ini menghasilkan peta tutupan lahan Pantai Mutiara yang diperlihatkan pada
Gambar 10. Dengan luas total 131700.157 m2 yang diklasifikasikan sebagai pohon, rumput, bangunaan, dan darat. Luas area terbesar adalah kelas pohon sebesar 30982.683, diikuti kelas pohon 25556.443, darat 34603.105 dan bangunan 6389.103. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa Pantai Mutiara memiliki cukup banyak vegetasi hijau berupa pohon maupun rumput.����������������������������������
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan analisis digital berbasis objek geografis (GEOBIA) untuk analisis citra foto udara, dengan menggunakan data orthofoto dan DSM yang dihasilkan UAV memberikan hasil yang cukup baik sebagai metode alternatif dalam pemetaan pantai. Penggunaan analisis citra berbasis objek dalam pemetaan pantai memberikan solusi otomatisasi dan kecepatan waktu pengolahan data. Foto udara dengan UAV menghasilkan peta orthofoto dengan resolusi 1.33 cm/pixel dan peta DSM dengan resolusi 2.66 cm/pixel. Dengan nilai RMSE GCP senilai 0.042 m. Analisis digital berbasis objek (GEOBIA) mampu mengklasifikasikan peta orthofoto dengan Overall Accuarcy (OA) sebesar 91.4% dan nilai kappa sebesar 0.86. Hasil analisis digital ini termasuk pada kategori 6 dengan kekuatan almost perfect.
�����������������������������������������������������������������������������������
BIBLIOGRAFI
Baptista, P., Bastos, L., Bernardes, C., Cunha, T.,
& Dias, J. (2008). Monitoring sandy shores morphologies by DGPS�A practical
tool to generate digital elevation models. Journal of Coastal Research, 24(6
(246)), 1516�1528.
Boak, E. H., & Turner, I. L. (2005). Shoreline
definition and detection: a review. Journal of Coastal Research, 21(4
(214)), 688�703.
Chikhradze, N., Henriques, R. F., Elashvili, M.,
Janelidze, Z., Bolashvili, N., & Lominadze, G. (2015). Close range
photogrammetry in the survey of the coastal area geoecological conditions (on
the Example of Portugal).
Drummond, C. D., Harley, M. D., Turner, I. L., A
Matheen, A. N., & Glamore, W. C. (2015). UAV applications to coastal
engineering. Australasian Coasts & Ports Conference 2015: 22nd
Australasian Coastal and Ocean Engineering Conference and the 15th Australasian
Port and Harbour Conference, 267.
Elnabwy, M. T., Elbeltagi, E., El Banna, M. M.,
Elshikh, M. M. Y., Motawa, I., & Kaloop, M. R. (2020). An Approach based on
Landsat images for shoreline monitoring to support integrated coastal
management�a case study, Ezbet Elborg, Nile Delta, Egypt. ISPRS
International Journal of Geo-Information, 9(4), 199.
Freire, S., Santos, T., Gomes, N., Fonseca, A., &
Tened�rio, J. A. (2010). Extraction of buildings from QuickBird imagery for
municipal use�the relevance of urban context and heterogeneity. 30 Th EARSeL
Symposium, 491�498.
G�rm�ş, K. S., Kutoğlu, Ş. H.,
Şeker, D. Z., �z�l�er, İ. H., Oru�, M., & Aksoy, B. (2014).
Temporal analysis of coastal erosion in Turkey: a case study Karasu coastal
region. Journal of Coastal Conservation, 18(4), 399�414.
Kaliraj, S., Chandrasekar, N., & Ramachandran, K.
K. (2017). Mapping of coastal landforms and volumetric change analysis in the
south west coast of Kanyakumari, South India using remote sensing and GIS
techniques. The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Science, 20(2),
265�282.
��������������������������������������������������������������������������������
Kavzoglu, T., & Yildiz, M. (2014). Parameter-based
performance analysis of object-based image analysis using aerial and Quikbird-2
images. ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences, 2(7), 31.
Pajares, G. (2015). Overview and current status of
remote sensing applications based on unmanned aerial vehicles (UAVs). Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing, 81(4), 281�330.
Papakonstantinou, A., Topouzelis, K., &
Pavlogeorgatos, G. (2016). Coastline zones identification and 3D coastal
mapping using UAV spatial data. ISPRS International Journal of
Geo-Information, 5(6), 75.
Radoux, J., & Defourny, P. (2007). A quantitative
assessment of boundaries in automated forest stand delineation using very high
resolution imagery. Remote Sensing of Environment, 110(4),
468�475.
Ramadhani, Y. H., Rokhmatulloh, R., & Susanti, R.
(2015). Pemetaan pulau kecil dengan pendekatan berbasis objek menggunakan data
unmanned aerial vehicle (uav). Majalah Ilmiah Globe, 17(2),
125�134.
Rwanga, S. S., & Ndambuki, J. M. (2017). Accuracy
assessment of land use/land cover classification using remote sensing and GIS. International
Journal of Geosciences, 8(04), 611.
Tarigan, A. P. M., & Nurzanah, W. (2016). The
Shoreline Retreat and Spatial Analysis over the Coastal Water of Belawan. INSIST,
1(1), 65�69.
Yu, B., Liu, H., Wu, J., Hu, Y., & Zhang, L.
(2010). Automated derivation of urban building density information using
airborne LiDAR data and object-based method. Landscape and Urban Planning,
98(3�4), 210�219.