Jurnal
Syntax Admiration |
Vol. 2
No. 3 Maret 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN KETIMPANGAN CAPAIAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DI INDONESIA
Sekar Dewinda
Santi dan Doddy Aditya Iskandar
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
dan [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRACT |
Diterima 25 Februari 2021 Diterima dalam bentuk revisi 15 Maret 2021 Diterima dalam bentuk revisi |
Inequality
is one of the problems that can be found in Indonesia. One solution that can
be done by the Indonesian government to resolve inequality is the policy of
decentralization. The purpose of this study is to examine the effect of the
government in the form of fiscal decentralization on inequality in regional
development indicators and to analyze fiscal decentralization policy policies
in reducing inequality in regional development indicators in Indonesia. This
research is based on two regions, namely regencies/cities in the provinces of
East Java and West Java, with a classification based on the location of the
region, namely coastal and inland areas. Difference-in-differences analysis
were used in this study. The results of the analysis show that the fiscal
decentralization policy affects reducing inequality in regional development
achievement indicators in coastal and inland areas in each province. Another
finding is that after the fiscal decentralization policy, inequality in the
indicators of development outcomes has converged in the two regions. ABSTRAK Ketimpangan merupakan
salah satu permasalahan pembangunan yang masih ditemui di Indonesia. Salah satu
cara pemerintah Indonesia
mengatasi masalah ketimpangan adalah penerapan kebijakan desentralisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji pengaruh kebijakan pemerintah berupa desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pada capaian indikator pembangunan wilayah serta menganalisis efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal dalam mengurangi ketimpangan pada capaian indikator pembangunan wilayah
di Indonesia. Penelitian ini
berfokus pada dua wilayah
yaitu Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, dengan klasifikasi berdasarkan pada letak wilayah yaitu wilayah pesisir dan inland. Metode analisis difference-in-differences digunakan
dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh terhadap penurunan ketimpangan pada indikator capaian pembangunan wilayah di daerah pesisir dan inland pada masing-masing provinsi. Temuan lain yaitu setelah adanya kebijakan desentralisasi fiskal, ketimpangan indikator capaian hasil pembangunan mengalami konvergensi di kedua wilayah. |
Keywords: decentralization
policy; income inequality; human development Kata Kunci: kebijakan desentralisasi;
ketimpangan pendapatan; pembangunan manusia |
Email:
[email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Ketimpangan antar wilayah merupakan salah satu permasalahan yang masih dihadapi negara-negara di
dunia khususnya di negara berkembang,
tidak terkecuali di
Indonesia (Bunnell et al., 2013). Ketimpangan
menjadi isu penting melihat kondisi wilayah Indonesia yang cukup
luas dan terdiri dari berbagai wilayah adminsitratif dengan karakteristiknya masing-masing. Tingkat pendapatan,
modal manusia, ketersediaan
layanan dasar dan infrastruktrur hingga kondisi geografis merupakan beberapa penyebab ketimpangan di
Indonesia. Ketimpangan wilayah dapat
disebabkan oleh perbedaan aktivitas ekonomi, pendapatan, dan indikator sosial (Dafflon, 2015). Salah satu cara
untuk mengukur ketimpangan adalah dengan menggunakan Indeks Gini. Dalam 5 tahun terakhir, rasio gini di Indonesia menunjukkan trend negatif.
Indonesia berhasil menurunkan
tingkat ketimpangannya dari tingkat ketimpangan
sedang (0,41>0,5) menjadi
ketimpangan rendah
(<0,4). Penurunan ini sejalan dengan penurunan nilai kemiskinan relatif dari populasi penduduk
di Indonesia.
Meskipun trend penurunan rasio
gini dan tingkat kemiskinan terus terjadi selama 5 (tahun) terakhir, namun jika dilihat
berdasarkan dimensi spasial, ketimpangan masih terjadi khususnya
antara daerah barat dengan daerah timur
Indonesia. Data tahun 2018 menunjukan
bahwa Pulau Papua secara rata-rata memiliki rasio gini paling besar relatif terhadap
seluruh pulau besar di Indonesia dengan nilai sebesar 0,395. Uniknya, Pulau Jawa-Bali ternyata juga memiliki rasio gini yang cukup tinggi relatif terhadap pulau lain yaitu sebesar 0,381. Selain itu, secara
rata-rata persentase penduduk
miskin di Pulau Papua paling besar
dari seluruh pulau besar di Indonesia yaitu sebesar 25,045% dari total penduduk di Pulau Papua. Berikut merupakan peta persebaran yang menunjukkan ketimpangan antar pulau di Indonesia.
Gambar 1
Rasio Gini Berdasarkan
Pulau di Indonesia Tahun
2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah (2019)
�Ketimpangan
spasial ini akan memicu pemerintah
untuk mengeluarkan sebuah paket kebijakan
menurut (Phelps et al., 2014). Salah satu
kebijakan yang dianggap dapat menjadi alternatif
penyelesaian masalah ketimpangan adalah kebijakan desentralisasi. Desentralisasi merupakan salah satu bentuk penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat ke daerah dengan
tujuan efisiensi publik, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi (Kusuma, 2016) dalam (Phelps et al., 2014).
Hubungan kebijakan desentralisasi
dengan ketimpangan antar wilayah ini dapat dilihat dari
dua sisi, kebijakan desentralisasi secara spesifik memperhatikan waktu dan lokasi dalam mengimplementasikan
kebijakan sehingga dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat menurut (Kalirajan &
Otsuka, 2012). Desentralisasi
dapat meningkatkan kompetisi antar pemerintah daerah sehingga dapat memicu pertumbuhan sektor publik di masing-masing daerah (Naylor et al., 2019) dalam (White, 2011). Selain
itu, dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki informasi tentang kekuatan dan kelemahan daerahnya sehingga dapat membuat kebijakan daerah yang lebih efektif (Phelps et al., 2014). Desentralisasi
juga akan memperkuat pertumbuhan wilayah dan berkontribusi
pada pemerataan. Di sisi
lain, desentralisasi justru
menyebabkan kurangnya peran pemerintah pusat untuk mendukung
wilayah yang lebih miskin sehingga
dapat menyebabkan ketimpangan menurut (Fadzil & Nyoto,
2011). Desentralisasi
justru akan menyebabkan ketimpangan antar wilayah. Dampak adanya desentralisasi di negara berkembang akan menyebabkan masalah koordinasi, regulasi yang berlebihan, biaya administatif yang tinggi, dan kualitas pemerintah daerah yang rendah (Hill, 2014) dalam (Phelps et al., 2014).
Di Indonesia, sebagai bentuk
pelaksanaan desentralisasi,
pemerintah pusat menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal yaitu perimbangan keuangan ke pemerintah
daerah, yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 24 Tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah (Yustisia, 2015). Dengan
adanya desentralisasi fiskal ini maka
pemerintah pusat melimpahkan kewenangan di segala bidang kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta keagamaan (Hadi & Saragih,
2013). Pada pelimpahan
kewenangan ini juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan, seperti perpajakan maupun bantuan pendanaan dalam bentuk dana transfer. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan desentralisasi fiskal dari sisi belanja
(expenditure) bukan dari
sisi pendapatan (revenue)
(Kharisma, 2013). Desentralisasi
fiskal ini bertujuan mengurangi ketimpangan yang mungkin terjadi baik antar
daerah (horisontal
imbalances) maupun antara
pemerintah pusat dan daerah (vertical imbalances). Adanya
desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah dapat mengalokasikan
belanja sesuai kebutuhan pada masing-masing daerah
sehingga dapat digunakan untuk pembangunan daerah yang bertujuan dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
pengaruh serta efektivitas dari kebijakan pemerintah berupa desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pada indikator capaian pembangunan antar wilayah di Indonesia.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif-kuantitatif. Pendekatan deduktif merupakan pendekatan yang menggunakan logika untuk menarik
satu atau lebih kesimpulan (conclusion)
berdasarkan seperangkat premis yang diberikan (Hidayat, 2017). Sedangkan metode
kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel
tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan (Faguet, 2014). Metode pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder berupa dokumen yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Indonesia, Provinsi, Kabupaten/Kota, maupun dokumen pendukung lainnya dengan periode waktu 3 tahun yakni tahun
2015 hingga 2017. Setelah seluruh
data tersebut dikumpulkan maka keseluruhan data ditabulasi dalam 1 dokumen hasil tabulasi
data. Hasil tabulasi data selanjutnya
dianalisis menggunakan alat bantu analisis berupa software pengolah
data statistik. Populasi dari penelitian ini adalah wilayah yang berada pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Adapun sampel dari penelitian ini adalah kabupaten/kota yang berada di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah sampel yang digunakan adalah 64 kabupaten/kota yang terdiri dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat dan 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Selain itu, pada sampel penelitian digunakan klasifikasi berdasarkan letak wilayah, antara wilayah pesisir dan inland. Pesisir
dan inland digunakan sebagai
perbandingan karena wilayah
berdasarkan kedua posisi geografis tersebut masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Pada penelitian ini pun digunakan yang digunakan adalah penggunan metode analisis Difference-in-Difference
(DID) dan analisis jalur. (Nasution, 2017) menjelaskan teknik
analisis DID merupakan
salah satu teknik analisis statistik sering digunakan untuk menganalisis kebijakan. Perhitungan DID digunakan untuk mengidentifikasi intervensi yang bersifat spesifik seperti perubahan kebijakan atau penerapan hukum (Passage of
Law). Pada analisis ini,
dilakukan perbandingan keluaran antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok yang terpengaruh intervensi (treatment
group) dan pada kelompok yang tidak
terpengaruh intervensi (control
group). Model DID�
pada penelitian ini
yaitu sebagai berikut:
Ketimpanganit = δ1 +
αi0 + αi1t + β1Desentralisasiti
* DUt + z�itϒ
+ uit, ������������������������ (1)
PembangunanManusiait = δ1 +
αi0 + αi1t + β1Desentralisasii
* DUt + z�itϒ
+ uit, ����� (2)
Perekonomianit = δ1 +
αi0 + αi1t + β1Desentralisasii
* DUt + z�itϒ
+ uit, ����������������������� (3)
i = 1,2,�,N, t = 1,2,�,T
Ketimpangan, pembangunan manusia,
dan perekonomian adalah indikator capaian pembangunan wilayah pada individu
i pada waktu t, uit adalah skalar, δ1 adalah
time fixed effect, αi0 adalah individual
fixed effect, �αi1t adalah individual-specific linier time trend coefficient
desentralisasi menjelaskan indikator untuk individu pada treatment
group; nilai 1 apabila individu merupakan treatment
group dan nilai 0 apabila
individu i merupakan control group. DUt
menjelaskan indikator
untuk periode waktu pada post-policy-change; nilai
1 adalah perubahan setelah kebijakan dan nilai 0 untuk lainnya.
Pada bagian ini dilakukan
analisis menggunakan metode Difference-in-Difference (DID). Pada analisis DID ini baseline
yang digunakan adalah tahun 2015 yaitu ketika dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia paling akhir.
Kebijakan tersebut diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Adanya
kebijakan tersebut artinya semakin banyak kewenangan yang diserahkan kepada daerah oleh pemerintah pusat. Tujuan dari
analisis ini adalah melihat pengaruh dari adanya
kebijakan desentralisasi fiskal terhadap capaian indikator pembangunan daerah serta dapat mengetahui
gap diantara daerah
yang termasuk dalam treatment
group dengan daerah
yang termasuk dalam control
group sebelum dan sesudah
adanya kebijakan. Adapun rancangan penelitian dengan metode DID adalah sebagai berikut:
Tabel 1
�Rancangan Penelitian dengan Metode DID
No |
Grup |
Kabupaten
|
Desentralisasi
Fiskal |
1 |
Treatment
Group |
Kabupaten/Kota
yang termasuk dalam kategori Inland di pada tiap
provinsi |
2015
vs 2016 2015
vs 2017 |
2 |
Control
Group |
Kabupaten/Kota
yang termasuk dalam kategori Pesisir pada tiap provinsi |
2015
vs 2016 2015
vs 2017 |
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Pada bagian ini dijelaskan
mengenai hasil analisis DID pada setiap indikator capaian hasil pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Indikator pertama yaitu indikator ketimpangan. Berdasarkan analisis DID dapat dilihat bahwa dengan
kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh menurunkan gap ketimpangan
antara daerah inland
dengan daerah pesisir pada tahun 2016 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Sebelum kebijakan diterapkan, diketahui bahwa perbedaan antara daerah inland dan daerah pesisir adalah sebesar 0,029 kemudian setelah adanya kebijakan maka perbedaan tersebut berkurang menjadi 0,027. Namun pada tahun 2017, perbedaan antara kedua daerah tersebut
kembali mengalami peningkatan, yaitu menjadi� 0,029. Artinya,
pada tahun pertama setelah kebijakan, gap diantara kedua daerah semakin sempit, kemudian kembali melebar pada tahun kedua setelah
kebijakan. Meskipun gap
antara kedua daerah berkurang, namun berdasarkan analisis tersebut adanya kebijakan desentralisasi fiskal tersebut justru memiliki dampak pada peningkatan ketimpangan sebelum maupun sesudah kebijakan.
Indikator kedua yaitu
indikator pembangunan manusia. Berdasarkan analisis DID dapat dilihat bahwa dengan
kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh menurunkan gap pembangunan
manusia antara daerah inland dengan daerah pesisir pada tahun 2016 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Sebelum kebijakan diterapkan, diketahui bahwa perbedaan antara daerah inland dan daerah pesisir adalah sebesar 5.798 kemudian setelah adanya kebijakan maka perbedaan tersebut berkurang menjadi 5.646. Begitu pula pada tahun 2017, perbedaan antara kedua daerah
tersebut mengalami penurunan, yaitu menjadi 5,572. Artinya, pada tahun pertama setelah
kebijakan, gap diantara
kedua daerah semakin sempit, kemudian terus menyempit pada tahun kedua setelah kebijakan.
Berdasarkan analisis tersebut adanya kebijakan desentralisasi fiskal berdampak pada peningkatan kualitas pembangunan manusia sebelum maupun sesudah kebijakan.
Indikator ketiga yaitu
indikator ekonomi. Berdasarkan analisis DID dapat dilihat bahwa
dengan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh menurunkan gap
pendapatan antara daerah inland dengan daerah pesisir pada tahun 2016 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Sebelum kebijakan diterapkan, diketahui bahwa perbedaan antara daerah inland dan daerah pesisir adalah sebesar -0,635 kemudian setelah adanya kebijakan maka perbedaan tersebut berkurang menjadi -0,611. Begitu pula pada tahun 2017, perbedaan antara kedua daerah
tersebut mengalami penurunan, yaitu menjadi -0,608. Artinya, pada tahun pertama setelah
kebijakan, gap diantara
kedua daerah semakin sempit, kemudian terus menyempit pada tahun kedua setelah kebijakan.
Namun, baik sebelum dan sesudah kebijakan, daerah pesisir memiliki kinerja pendapatan yang lebih baik daripada
daerah inland. Berdasarkan
analisis tersebut adanya kebijakan desentralisasi fiskal berdampak pada peningkatan ekonomi sebelum maupun sesudah kebijakan.
Tabel 2
Hasil Analisis Difference-In-Differences
Indikator Capaian Hasil
Pembangunan Jawa Timur, 2015 vs 2016
Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Capaian Hasil Pembangunan |
2016 |
|||||
2015vs2016 (Before) |
2015vs2016 (After) |
|||||
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
|
Ketimpangan (Indeks GINI) |
0.283 |
0.312 |
0.029*** (0.010) |
0.329 |
0.356 |
0.027*** (0.007) |
Pembangunan Manusia (IPM) |
65.224 |
71.022 |
5.798*** (1.475) |
66.365 |
72.011 |
5.646*** (1.043) |
Ekonomi (PDRB) |
10.112 |
9.447 |
-0.635** (0.277) |
10.179 |
9.567 |
-0.611*** (0.196) |
Keterangan: ***Signifikan pada level 1%; **Signifikan pada level 5%; *Signifikan
pada level 10%
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Tabel 3
�Hasil Analisis Difference-In-Differences Indikator Capaian Hasil
Pembangunan Jawa Timur, 2015 vs 2017
Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Capaian Hasil Pembangunan |
2017 |
|||||
�(Before) |
(After) |
|||||
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
|
Ketimpangan (Indeks GINI) |
0.283 |
0.312 |
0.029*** (0.010) |
0.323 |
0.352 |
0.029*** (0.007) |
Pembangunan Manusia (IPM) |
65.224 |
71.022 |
5.798*** (1.475) |
66.682 |
72.254 |
5.572*** |
Ekonomi (PDRB) |
10.112 |
9.447 |
-0.635** (0.277) |
10.203 |
9.595 |
-0.608*** (0.196) |
Keterangan: ***Signifikan pada level 1%; **Signifikan pada level 5%; *Signifikan
pada level 10%
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Analisis DID juga disajikan dalam bentuk grafik.
Tujuannya adalah agar dapat melihat dampak
dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator capaian pembangunan dan juga gap
antara daerah inland
dengan daerah pesisir di Jawa Timur. Adapun dampak dan gap tersebut disajikan pada grafik berikut:
Gambar 2
Analisis Difference-In-Differences Indikator
Ketimpangan Jawa Timur
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Gambar 3
Analisis Difference-In-Differences Indikator
Pembangunan Manusia Jawa
Timur
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Gambar 4
Analisis Difference-In-Differences Ekonomi
Jawa Timur
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Pada bagian ini dijelaskan
mengenai hasil analisis DID pada setiap indikator capaian hasil pembangunan di Provinsi Jawa Barat. Indikator pertama yaitu indikator ketimpangan. Berdasarkan analisis DID dapat dilihat bahwa dengan
kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh menurunkan gap ketimpangan
antara daerah inland
dengan daerah pesisir pada tahun 2016 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. Sebelum kebijakan diterapkan, diketahui bahwa perbedaan antara daerah inland dan daerah pesisir adalah sebesar 0,042 kemudian setelah adanya kebijakan maka perbedaan tersebut berkurang menjadi 0,037. Berbeda dengan Jawa timur, pada tahun 2017 perbedaan antara kedua daerah
tersebut mengalami penurunan, yaitu menjadi� 0,030. Artinya,
pada tahun pertama setelah kebijakan, gap diantara kedua daerah semakin sempit, kemudian terus menyempit pada tahun kedua setelah
kebijakan. Meskipun gap
antara kedua daerah berkurang, namun berdasarkan analisis tersebut adanya kebijakan desentralisasi fiskal tersebut justru memiliki dampak pada peningkatan ketimpangan sebelum maupun sesudah kebijakan.
Indikator kedua yaitu
indikator pembangunan manusia. Berdasarkan analisis DID dapat dilihat bahwa dengan
kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh meningkatkan gap pembangunan
manusia antara daerah inland dengan daerah pesisir pada tahun 2016 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. Sebelum kebijakan diterapkan, diketahui bahwa perbedaan antara daerah inland dan daerah pesisir adalah sebesar 3.947 kemudian setelah adanya kebijakan maka perbedaan tersebut meningkat menjadi 3.961. Namun pada tahun 2017, perbedaan antara kedua daerah
tersebut mengalami penurunan, yaitu menjadi 3.873. Artinya, pada tahun pertama setelah
kebijakan, gap diantara
kedua daerah semakin melebar, kemudian menyempit pada tahun kedua setelah
kebijakan. Berdasarkan analisis tersebut adanya kebijakan desentralisasi fiskal berdampak pada peningkatan kualitas pembangunan manusia sebelum maupun sesudah kebijakan.
Indikator ketiga yaitu
indikator ekonomi. Berdasarkan analisis DID dapat dilihat bahwa
dengan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh menurunkan gap
pendapatan antara daerah inland dengan daerah pesisir pada tahun 2016 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. Sebelum kebijakan diterapkan, diketahui bahwa perbedaan antara daerah inland dan daerah pesisir adalah sebesar -0,376 kemudian setelah adanya kebijakan maka perbedaan tersebut berkurang menjadi -0,360. Begitu pula pada tahun 2017, perbedaan antara kedua daerah
tersebut mengalami penurunan, yaitu menjadi -0,356. Artinya, pada tahun pertama setelah
kebijakan, gap diantara
kedua daerah semakin sempit, kemudian terus menyempit pada tahun kedua setelah kebijakan.
Namun sama seperti Jawa Timur, baik sebelum dan sesuah kebijakan, daerah pesisir memiliki kinerja ekonomi yang lebih baik daripada daerah
inland. Berdasarkan analisis
tersebut adanya kebijakan desentralisasi fiskal tidak berdampak
pada peningkatan ekonomi sebelum maupun sesudah kebijakan.
Tabel 4
Hasil Analisis Difference-In-Differences
Indikator Capaian Hasil
Pembangunan Jawa Barat, 2015 vs 2016
Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Capaian Hasil Pembangunan |
2016 |
|||||
2015vs2016 (Before) |
2015vs2016 (After) |
|||||
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
|
Ketimpangan (Indeks GINI) |
0.319 |
0.361 |
0.042** (0.019) |
0.351 |
0.388 |
0.037*** (0.013) |
Pembangunan Manusia (IPM) |
66.728 |
70.675 |
3.947*** (1.930) |
67.606 |
71.567 |
3.961*** (1.365) |
Ekonomi (PDRB) |
17.400 |
17.024 |
-0.376 (0.424) |
17.473 |
17.113 |
0.360 (0.234) |
Keterangan: ***Signifikan pada level 1%; **Signifikan pada level 5%; *Signifikan
pada level 10%
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Tabel 5
Hasil Analisis Difference-In-Differences
Indikator Capaian Hasil
Pembangunan Jawa Barat, 2015 vs 2017
Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Capaian Hasil Pembangunan |
2017 |
|||||
�(Before) |
(After) |
|||||
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
Control |
Treated |
Diff
(T-C) |
|
Ketimpangan (Indeks GINI) |
0.319 |
0.361 |
0.042** (0.019) |
0.352 |
0.382 |
0.030** (0.042) |
Pembangunan Manusia (IPM) |
66.728 |
70.675 |
3.947*** (1.930) |
67.952 |
71.825 |
3.873*** (3.873) |
Ekonomi (PDRB) |
17.400 |
17.024 |
-0.376 (0.424) |
17.498 |
17.143 |
-0.356 (0.300) |
Keterangan: ***Signifikan pada level 1%; **Signifikan pada level 5%; *Signifikan
pada level 10%
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Analisis DID juga disajikan dalam bentuk grafik
yang bertujuan agar dapat melihat dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator capaian pembangunan dan juga gap
antara daerah inland
dengan daerah pesisir di Jawa Barat. Adapun dampak dan gap tersebut disajikan pada grafik berikut:
Gambar 5
Analisis Difference-In-Differences Indikator
Ketimpangan Jawa Barat
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Gambar 6
�Analisis
Difference-In-Differences Indikator Ketimpangan Jawa Barat
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Gambar 7
Analisis Difference-In-Differences Indikator
Ketimpangan Jawa Barat
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Pada bagian ini akan
interpretasi pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator capaian pembangunan manusia pada tahun 2016 dan 2017 berdasarkan hasil regresi pada metode DID di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat. Daerah pertama adalah kabupaten/kota yang berada di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil regresi pada metode DID, maka dapat diketahui
bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif signifikan pada indikator ketimpangan sebesar 2,7 persen pada tahun 2016 dan 2,9 persen pada tahun 2017. Selain itu, kebijakan
desentralisasi fiskal juga berpengaruh positif signifikan pada indikator pembangunan manusia yaitu sebesar 5,646 poin pada 2016 dan 5,572 poin
pada 2017. Selanjutnya, kebijakan
desentralisasi fiskal berpengaruh negatif signifikan terhadap indikator ekonomi yaitu sebesar -6,11 persen pada tahun 2016 dan -6,08 persen pada tahun 2017. Dari hasil tersebut, dapat ditarik tiga
kesimpulan mengenai pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator capaian pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Pertama, kebijakan desentralisasi fiskal tidak terbukti dapat menurunkan ketimpangan daerah. Namun, kebijakan desentralisasi fiskal terbukti dapat meningkatan kualitas pembangunan manusia daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal juga tidak terbukti dapat meningkatkan ekonomi daerah. Kedua, bahwa respon
terbesar daerah terhadap kebijakan desentralisasi fiskal adalah pada tahun pertama setelah kebijakan, khususnya pada indikator ketimpangan dan pembangunan manusia. Ketiga, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh baik pada indikator pembangunan manusia dikarenakan pengaruh tersebut menunjukkan arah positif sesuai asumsi bahwa dengan
adanya desentralisasi fiskal akan meningkatkan
kualitas pembangunan manusia.
Tabel 6
Analisis Regresi pada Metode
DID Jawa Timur 2016-2017
Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Capaian Hasil Pembangunan |
2015vs2016 |
2015vs2017 |
Kemiskinan
(Indeks GINI) |
0.027*** (0.007) |
0.029*** (0.007) |
Pembangunan Manusia (IPM) |
5.646*** (1.043) |
5.572*** |
Pendapatan (PDRB) |
-0.611*** (0.196) |
-0.608*** (0.196) |
Keterangan: ***Signifikan pada level 1%; **Signifikan pada level 5%; *Signifikan
pada level 10%
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Daerah kedua adalah kabupaten/kota yang berada di� Provinsi
Jawa Barat. Berdasarkan hasil regresi pada metode DID, maka dapat diketahui bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif signifikan pada indikator ketimpangan sebesar 3,7 persen pada tahun 2016 dan 3,0 persen pada tahun 2017. Selain itu, kebijakan
desentralisasi fiskal juga berpengaruh positif signifikan pada indikator pembangunan manusia yaitu sebesar 3,961 poin pada 2016 dan 3,873 poin
pada 2017. Selanjutnya, kebijakan
desentralisasi fiskal berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap indikator ekonomi pada tahun 2016 dan 2017.
Dari hasil tersebut, dapat ditarik tiga
kesimpulan mengenai pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator capaian pembangunan di Provinsi Jawa Barat. Pertama, kebijakan desentralisasi fiskal tidak terbukti dapat menurunkan ketimpangan daerah, meskipun pada tahun 2017 peningkatan indikator kemiskinan menunjukkan penuruan persentase 3,0 persen. Sama seperti provinsi Jawa Timur, kebijakan desentralisasi fiskal terbukti dapat meningkatan kualitas pembangunan manusia daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal juga tidak terbukti berpengaruh terhadap ekonomi daerah. Kedua, bahwa respon terbesar
daerah terhadap kebijakan desentralisasi fiskal adalah pada tahun pertama setelah
kebijakan, khususnya pada indikator pembangunan manusia. Pada indikator kemiskinan, respon terbaik terjadi pada tahun kedua setelah
kebijakan. Ketiga, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh baik pada indikator pembangunan manusia dikarenakan pengaruh tersebut menunjukkan arah positif sesuai
asumsi bahwa dengan adanya desentralisasi
fiskal akan meningkatkan kualitas pembangunan manusia
Tabel� 7
Analisis Regresi pada Metode
DID Jawa Barat 2016-2017
Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Capaian Hasil Pembangunan |
2015vs2016 |
2015vs2017 |
Kemiskinan
(Indeks GINI) |
0.037*** (0.013) |
0.030** (0.042) |
Pembangunan Manusia (IPM) |
3.961*** (1.365) |
3.873*** (3.873) |
Pendapatan (PDRB) |
0.360 (0.234) |
-0.356 (0.300) |
Keterangan: ***Signifikan pada level 1%; **Signifikan pada level 5%; *Signifikan
pada level 10%
Sumber: Analisis Penulis
(2020)
Berdasarkan analisis dengan
menggunakan metode difference-in-differences,
dapat diketahui bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh terhadap penurunan ketimpangan pada indikator capaian pembangunan wilayah di daerah pesisir dan inland pada
masing-masing provinsi. Selain
itu, setelah adanya kebijakan desentralisasi fiskal, ketimpangan indikator capaian hasil pembangunan
mengalami konvergensi di kedua wilayah. Artinya bahwa dengan setelah
diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal maka gap antara daerah pesisir dengan daerah inland semakin sempit atau ketimpangan diantara kedua wilayah semakin berkurang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Zulyanto, 2010), (Sasana, 2011), dan (Phelps et al., 2014) bahwa terdapat
hubungan negatif antara kebijakan desentralisasi fiskal dengan ketimpangan wilayah dan terdapat pengaruh positif dari kebijakan
desentralisasi pada konvergensi
wilayah.
Temuan ini juga sesuai
dengan penjelasan mengenai ketimpangan pembangunan dari Teori Neo-Klasik. Dijelaskan dalam teori Neo-Klasik bahwa pada permulaan proses pembangunan, ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar (divergence). Proses ini
akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Selanjutnya,
jika proses pembangunan terus berlanjut, maka akan menyebabkan
semakin maju nya negara tersebut dan ketimpangan pembangunan regional akan semakin berkurang
(convergence). Hal ini sesuai
dengan hasil analisis yang dilakukan pada kedua wilayah, dimana sebelum kebijakan desentralisasi diterapkan terjadi ketimpangan diantara wilayah pesisir dan
inland. Setelah adanya kebijakan
desentralisasi, diketahui terjadi konvergensi ketimpangan pada indikator capaian pembangunan di wilayah pesisir dan inland. Peningkatan konvergensi juga terjadi pada tahun kedua setelah
kebijakan diterapkan, yang ditunjukkan dengan nilai perbedaan yang jaraknya semakin menyempit. Selain itu, dari hasil
analisis diketahui bahwa wilayah inland memiliki
kinerja yang lebih baik dibandingkan wilayah pesisir pada indikator ketimpangan dan indikator pembangunan manusia. Sedangkan, pada indikator ekonomi, wilayah pesisir memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
wilayah inland. Temuan ini
diduga disebabkan oleh adanya aktivitas perekonomian yang cukup tinggi didaerah pesisir, seperti Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang di Jawa Barat serta Kabupaten Gresik, Kota
Surabaya, dan Kabupaten Sidoarjo
di Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan (Bunnell et al., 2013) yang menjelaskan bahwa wilayah yang berada di pesisir memiliki aktivitas perdagangan, dalam hal ini
adalah kegiatan ekspor, yang lebih baik dibandingkan wilayah inland
sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonominya.
Temuan selanjutnya yaitu
diketahui bahwa di kedua wilayah penelitian, gap antara daerah pesisir
dan inland pada indikator ketimpangan
sudah cukup sempit namun pada indikator pembangunan manusia dan pendapatan masih cukup lebar.
Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di kedua wilayah yakni pesisir dan inland sudah cukup merata
di wilayah pesisir dan inland sehingga tidak menunjukkan gap perbedaan
yang besar diantara keduanya, meskipun kabupaten/kota yang termasuk didalam kategori wilayah inland masih
diketahui memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang masuk dalam kategori
pesisir. Di Jawa Barat, hal ini diduga
salah satunya akibat dari adanya perbedaan
upah minimum yang cukup signifikan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Perbedaan upah minimum ini tentunya akan mempengaruhi
pola pengeluaran perkapita di tiap-tiap daerah. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab adanya
ketidak merataan pada distribusi pendapatan di Jawa Barat. Sedangkan di Jawa Timur, adanya ketimpangan ini diduga salah satunya dalah faktor ketersediaan
aksesibilitas yang lebih baik pada daerah yang berada di utara dibandingkan dengan daerah yang berada di selatan Jawa Timur.� Pada indikator pembangunan manusia, diketahui bahwa masih terdapat gap yang cukup lebar di kedua wilayah. Begitu pula dengan indikator perekonomian yang diketahui masih menunjukkan gap yang
cukup besar meskipun mengalami konvergensi.
Temuan selanjutnya yaitu
diketahui bahwa di Jawa Timur respon terbesar daerah terhadap kebijakan desentralisasi fiskal terjadi pada tahun pertama pada seluruh indikator capaian hasil pembangunan. Sedangkan di Jawa Barat, respon terbesar daerah terhadap kebijakan desentralisasi fiskal terjadi pada tahun pertama pada indikator pembangunan manusia sedangkan tahun kedua pada indikator kemiskinan. Oleh karena itu, berdasarkan
hasil analisis Jawa Timur memiliki respon yang lebih cepat pada kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini menunjukkan tidak terpenuhinya asumsi semakin dekat suatu wilayah dengan pusat pengambilan
kebijakan maka diasumsikan semakin cepat dampak yang akan dirasakan oleh wilayah tersebut. Sebaliknya, semakin jauh suatu
wilayah dengan pusat pengambilan kebijakan maka diasumsikan dampak yang akan dirasakan oleh wilayah tersebut akan lebih lambat,
khususnya pada indikator kemiskinan.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya yang mengacu pada
proses dan hasil analisis
data dalam penelitian maka diapat diambil
kesimpulan yaitu kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh terhadap penurunan ketimpangan pada indikator capaian pembangunan wilayah di daerah pesisir dan inland pada masing-masing provinsi. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis DID bahwa pada tahun pertama dan kedua setelah kebijakan
diterapkan, gap kinerja indikator capaian pembangunan wilayah antara daerah pesisir dan inland mengalami penurunan. Setelah adanya kebijakan desentralisasi fiskal, ketimpangan indikator capaian hasil pembangunan
mengalami konvergensi di kedua wilayah. Artinya bahwa dengan setelah
diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal maka gap antara daerah pesisir dengan daerah inland semakin sempit atau ketimpangan diantara kedua wilayah semakin berkurang. Pada kedua provinsi menunjukkan hasil analisis yaitu daerah pesisir mampu mengejar ketertinggalan dari daerah inland pada indikator
kemiskinan dan pembangunan manusia, sedangkan pada indikator pendapatan, daerah inland mampu mengejar ketertinggalan dari daerah pesisir.
Hasil dari analisis tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Canaleta, bahwa terdapat hubungan negatif antara kebijakan desentralisasi fiskal dengan ketimpangan wilayah dan terdapat pengaruh positif dari kebijakan
desentralisasi pada konvergensi
wilayah.
BIBLIOGRAFI
Bunnell, T., Miller, M. A., Phelps, N. A.,
& Taylor, J. (2013). Urban Development In A Decentralized Indonesia: Two
Success Stories? Pacific Affairs, 86(4), 857�876.
Dafflon, B. (2015). The Assignment Of
Functions To Decentralized Government: From Theory To Practice. In Handbook Of
Multilevel Finance. Edward Elgar Publishing.
Fadzil, F. H., & Nyoto, H. (2011). Fiscal
Decentralization After Implementation Of Local Government Autonomy In Indonesia.
World Review Of Business Research, 1(2), 51�70.
Faguet, J.-P. (2014). Decentralization And
Governance. World Development, 53, 2�13.
Hadi, S., & Saragih, T. M. (2013). Ontologi
Desentralisasi Fiskal Dalam Negara Kesatuan. Perspektif, 18(3),
169�179.
Hidayat, R. (2017). Political Devolution: Lessons
From A Decentralized Mode Of Government In Indonesia. SAGE Open, 7(1),
2158244016686812.
Hill, H. (2014). Regional Dynamics In A
Decentralized Indonesia (Vol. 501). Institute Of Southeast Asian Studies.
Kalirajan, K., & Otsuka, K. (2012). Fiscal
Decentralization And Development Outcomes In India: An Exploratory Analysis. World
Development, 40(8), 1511�1521.
Kharisma, B. (2013). Desentralisasi Fiskal Dan
Pertumbuhan Ekonomi: Sebelum Dan Sesudah Era Desentralisasi Fiskal Di Indonesia.
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 14(2), 101�119.
Kusuma, H. (2016). Desentralisasi Fiskal Dan
Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Desentralisasi Fiskal Dan Pertumbuhan
Ekonomi Di Indonesia, 9(1), 1�11.
Nasution, A. (2017). The Government
Decentralization Program In Indonesia. In Central And Local Government
Relations In Asia. Edward Elgar Publishing.
Naylor, R. L., Higgins, M. M., Edwards, R. B.,
& Falcon, W. P. (2019). Decentralization And The Environment: Assessing Smallholder
Oil Palm Development In Indonesia. Ambio, 48(10), 1195�1208.
Phelps, N. A., Bunnell, T., Miller, M. A.,
& Taylor, J. (2014). Urban Inter-Referencing Within And Beyond A
Decentralized Indonesia. Cities, 39, 37�49.
Sasana, H. (2011). Analisis Determinan
Belanja Daerah Di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi Dan
Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 18(1), 24285.
White, S. (2011). Government Decentralization
In The 21st Century. A Literature Review: A Report Of The CSIS Program And Crisis,
Conflict And Cooperation, CSIS, Washington, DC, December.
Yustisia, T. V. (2015). Undang-Undang No
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dan Perubahannya. Visimedia.
Zulyanto, A. (2010). Pengaruh Desentralisasi
Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Bengkulu. Universitas
Diponegoro.