Jurnal
Syntax Admiration |
Vol. 2
No. 5 Mei 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
PERAN BADAN PENANGGULANGAN
BENCANA DAERAH DALAM MANAJEMEN BENCANA ERUPSI GUNUNG SEMERU DI KABUPATEN
LUMAJANG
Alnizar Zagarino,
Dhea Cika Pratiwi, Rika Nurhayati, dan
Diana Hertati
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa
Timur Surabaya, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected], dan
[email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRACT |
Diterima 5 Mei 2021 Direvisi 10 Mei 2021 Disetujui 15 Mei 2021 |
The eruption of Mount Semeru,
located in Lumajang and Malang regencies in January
2021, resulted in volcanic ash and hot clouds impacting residents around the
mountain slopes. As a result, residents had to flee to safer areas to avoid
volcanic ash and hot clouds. Due to this, the Lumajang
Regency government made disaster mitigation efforts to minimize the impact
caused by the eruption of Mount Semeru. This study
aims to determine the role of BPBD Lumajang in
mitigating the eruption of Mount Semeru. This study
used descriptive qualitative method. This study obtained data in the form of
interviews conducted directly between researchers and the head of the Lumajang Regency BPBD. Based on the research conducted,
it was found that the role of the Lumajang BPBD in
the management of the Mount Semeru eruption
disaster was to carry out duties according to the SOP, namely disaster
management to carry out tasks according to SOP, namely disaster managerial by
providing prevention, mitigation, preparedness and early warning at
pre-disaster time (before a disaster occurs). ); establish a post and provide
assistance to disaster victims in the event of a disaster; as well as
assessing the losses incurred in the aftermath of a disaster. ABSTRAK Erupsi Gunung
Semeru yang berlokasi di Kabupaten Lumajang Kabupaten Malang pada Bulan Januari 2021 mengakibatkan warga yang berada disekitar lereng gunung terdampak abu vulkanik dan awan panas. Akibatnya
warga harus mengungsi ke daerah yang lebih aman untuk menghindari
abu vulkanik dan awan panas. Dikarenakan
hal tersebut, maka pemerintah Kabupaten Lumajang melakukan upaya mitigasi bencana untuk meminimalisir dampak yang diakibatkan erupsi Gunung Semeru tersebut. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui peran BPBD Kabupaten Lumajang dalam mitigasi bencana erupsi Gunung Semeru. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini memperoleh data berupa hasil wawancara yang dilakukan langsung antara peneliti dengan ketua BPBD Kabupaten Lumajang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa peran BPBD kabupaten Lumajang dalam manajemen bencana erupsi Gunung Semeru adalah melaksanakan tugas sesuai SOP yaitu memanajerial bencana melaksanakan tugas sesuai SOP yaitu dengan manajerial bencana dengan memberikan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan peringatan dini pada saat pra bencana
(sebelum terjadi bencana), membuat Posko dan memberikan bantuan kepada korban bencana pada saat terjadi bencana, serta menilai kerugian yang ditimbulkan pasca terjadinya bencana. |
Keywords: regional disaster
management agency; disaster management Kata kunci: badan penganggulangan
bencana daerah; manajemen bencana |
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah sekitar 1,905 juta km� dan terletak di
garis khatulistiwa. Indonesia memiliki letak yang sangat strategis yaitu diapit
oleh dua benua dan dua samudra, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Oleh karena itu Indonesia menjadi negara
yang kaya sekaligus negara dengan resiko bencana alam paling kompleks. Salah satu
kekayaan Indonesia yang juga dapat menjadi sumber bencana alam adalah
terdapatnya banyak gunung api karena Indonesia merupakan salah satu negara
dimana terjadi pertemuan tiga lempeng tektonik aktif utama dunia yaitu lempeng
Indo-Australia di bagian selatan, Eurasia di bagian utara, dan lempeng Pasifik
di bagian timur. Indonesia juga berada pada tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda,
Circum Pasifik dan Circum Australia). Indonesia memiliki lebih 500 gunung
berapi dengan rincian 128 gunung statusnya masih aktif. (Purnomo & Utomo, 2008) menyatakan bahwa 87% wilayah Indonesia rawan bencana alam, 383 kabupaten
atau kota rawan bencana alam dari 440 kabupaten / kota di seluruh Indonesia.
Kompleksnya jenis bencana alam, bencana alam dapat didefinisikan dengan
berbagai persepsi. UU No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
menyebutkan bahwa �Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis�. Menurut Singh dalam (Faturahman, 2021), bencana adalah konsekuensi bencana alam (erupsi vulkanik, gempa bumi dan
tanah longsor) yang merubah tahap potensial ke tahap aktif dan sebagai hasil
dari dampak aktivitas manusia. Sementara itu, McEntire dalam (Faturahman, 2021)
menyatakan bahwa bencana merupakan efek negatif antara interaksi agen atau aktor utama, lingkungan alam, aktivitas
manusia atau kombinasi keduanya dengan kerentanan. Menurut (Faizana et al., 2015)
bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, di mana
pun dan kapan pun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap
kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia. (Hamida & Widyasamratri, 2019)
mendefinisikan bencana sebagai kekuatan alam yang bukan di bawah kontrol
manusia dan menyebabkan bencana yang menimbulkan kerusakan dan kematian.
Sementara definisi dari UNDP dalam (Faturahman, 2021) tentang bencana adalah kombinasi bahaya dari tindakan manusia atau
fenomena alam dengan kondisi kerentanan.
Berbagai definisi bencana alam yang dikemukakan, bencana alam sejatinya
adalah kejadian yang dapat membawa dampak yang merusak bagi lingkungan
sekitarnya, menimbulkan kerugian-kerugian baik fisik maupun finansial pada
lingkungan tempat bencana alam itu terjadi. Menurut data BNPB sepanjang awal
tahun 2021 terjadi 763 bencana. Bencana yang terjadi antara lain adalah banjir sebanyak 337 kejadian, puting beliung 186 kejadian,
tanah longsor sebanyak 144 kejadian, karhutla 170 kejadian, gempa bumi 70
kejadian, dan kekeringan sebanyak 1 kejadian (sumber: BNPB 2021, diakses pada
10 April 2021).
Menurut (Fitriani et al., 2021) terdapat 2 jenis bencana, bencana alam yang merupakan rangkaian bencana
yang disebabkan oleh faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung
berapi, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan lain-lain. Setelah itu ada bencana sosial yaitu bencana yang disebabkan oleh manusia,
seperti konflik sosial, penyakit masyarakat, dan teror. Mitigasi bencana sangat
diperlukan sebagai titik tolak utama dalam penanggulangan bencana.
Salah satu bentuk bencana alam yang melanda Indonesia
pada pertengahan Bulan Januari 2021 adalah erupsi Gunung Semeru. Menurut (Ruslanjari et al., 2017)
Erupsi gunung api adalah proses keluarnya magma dan gas
dari dalam bumi ke permukaan berupa letusan yang menghasilkan bahan lepas
berbagai ukuran atau lelehan yang menghasilkan lava atau
lelehan batu pijar. Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung
Semeru 08'06,5'LS dan 112�55'BT, puncak tertinggi dari Gunung Semeru merupakan
Puncak Mahameru yang berada pada 3676 MDPL. Gunung Semeru merupakan salah satu
objek pendakian yang terkenal karena sepanjang jalur pendakian terdapat
beberapa objek yang dijadikan objek wisata, antara lain adalah Ranu Kumbolo,
Padang Rumput Jambangan, Oro-Oro Ombo, Cemoro Kandang, Pangonan Cilik, Kalimati,
Arcopodo, Agrowisata Pedesaan, Wisata Danau, dan Berkemah.
Pada Sabtu, 16 Januari 2021 sekitar pukul 17.24 WIB, Gunung Semeru mengalami erupsi. Saat terjadi erupsi, Gunung Semeru
memuntahkan Awan Panas Guguran (APG) sejauh 4,5 Kilometer. Menurut PVMBG,
aktivitas Gunung Semeru saat ini terdapat di Kawah Jonggring Seloko, dimana
lokasi ini terletak di sebelah tenggara puncak Mahameru yang terbentuk sejak
1913. Usai kejadian guguran awan panas guguran pada 1 Desember 2020, secara
visual Gunung Semeru menunjukkan masih tingginya guguran lava pijar dengan
jarak luncur antara 500-1000 meter arah Besuk Kobokan. Sedangkan Awan Panas
Guguran masih terjadi sebanyak 1 kali kejadian. Aktivitas kegempaan masih
berfluktuatif, dimana didominasi oleh gempa-gempa permukaan. Jumlah kejadian
gempa guguran, gempa letusan, gempa hembusan, dan getaran tremor harmonik ini masih tinggi, hal ini mengindikasikan pergerakan
magma ke permukaan masih terjadi. Jumlah kejadian banjir mulai meningkat,
mengindikasikan mulai meningkatnya kejadian lahar di aliran Besuk Kobokan
seiring meningkatnya curah hujan di wilayah ini. (sumber: Kompas.com)
Di kutip dari https://newsmaker.tribunnews.com di
Kabupaten Lumajang terdapat setidaknya tiga kecamatan yang terdampak, yaitu diantaranya Kecamatan Pasrujambe, Kecamatan Candipuro dan sebagian Kecamatan
Senduro. Dampak yang diakibatkan erupsi pada pertengahan Januari ini tidak hanya
dalam bidang sosial, namun juga ekonomi dan bidang kesehatan. Karena tebalnya
hujan abu vulkanik berdampak pada kesehatan pernafasan warga sekitar. Selain
itu dampak ekonomi juga terasa akibat lumpuhnya aktivitas masyarakat di
beberapa desa dan kecamatan sehingga turut melumpuhkan aktivitas ekonomi
masyarakat. Ditambah lumpuhnya aktivitas pariwisata akibat ditutupnya jalur
pendakian Gunung Semeru serta rusaknya beberapa objek wisata sekitar seperti air terjun Tumpak Sewu akibat terkena aliran banjir lahar dingin. Menurut (Putra, 2014) dampak lain yang diakibatkan oleh terjadinya sebuah bencana adalah
terganggunya mental anak-anak.
Menyadari bahwa dampak yang diakibatkan dari sebuah
bencana begitu beragam dan mengancam, maka pemerintah melakukan upaya mitigasi
bencana. Dalam PP No. 21 Tahun 2008 pada Pasal 1 ayat 6 disebutkan, mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Dalam melakukan upaya penanganan bencana, terdapat tahapan
yang dilakukan dalam manajemen bencana, yaitu meliputi 1) Tahap Pra bencana meliputi mitigasi dan kesiapsiagaan. Upaya ini sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan sebagai persiapan dalam
menghadapi bencana. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi terjadinya bencana melalui pengorganisasian; 2) Tanggap
Darurat Bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat bencana berlangsung untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan; dan 3)
Tahap Pasca
Bencana meliputi usaha rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai upaya
mengembalikan keadaan masyarakat pada situasi yang kondusif, sehat, dan layak
sehingga masyarakat dapat hidup seperti sedia kala sebelum bencana terjadi,
baik fisik dan psikologis (Arif, 2020).
Di Indonesia pemerintah sudah terbentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) yang difungsikan untuk melakukan upaya penanggulangan
bencana, mengantisipasi dan melindungi masyarakat dari berbagai macam ancaman
yang timbul dari peristiwa bencana alam. Dalam hal ini masyarakat sebagai objek
dan subjek pelaksanaan penanggulangan bencana termasuk dalam pengurangan resiko
bencana yang mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan pendapat yang dapat digunakan sebagai acuan prioritas pemerintah
dalam penanggulangan bencana (Ariyanto, 2018).
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana dalam rangka mengurangi
resiko dampak bencana alam telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam pelaksanaan
penanggulangan bencana tersebut pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi
penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat
nasional maupun daerah dengan menerbitkan Peraturan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) (Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2008). Badan Penanggulangan Bencana Daerah
adalah lembaga pemerintah non departemen yang melaksanakan tugas penanggulangan
bencana baik di wilayah provinsi maupun kabupaten/kota berpedoman pada kebijakan
yang ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang
merupakan lembaga pemerintah non departemen yang difungsikan untuk melakukan
penanganan dan pencegahan terhadap ancaman bencana yang ada di Kabupaten
Lumajang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang dibentuk sebagai langkah pemerintah dalam penanggulangan bencana secara menyeluruh
mulai dari saat sebelum terjadi bencana, kemudian saat terjadi bencana, dan
sesudah terjadi bencana, hal ini yang disebut sebagai manajemen bencana.
Mengingat perannya yang cukup penting dalam rangka melakukan
pencegahan dan penanggulangan bencana di Kabupaten Lumajang, menurut (Hirnima, 2017) Badan Penanggulangan Bencana Daerah diharapkan memiliki daya tanggap yang
baik dan selalu meningkatkan kemampuannya dalam hal kapasitas SDM, kapasitas
lembaga, ketersediaan sarana prasarana, dan jaringan kerjasama. Hal tersebut
diperlukan untuk melindungi segenap masyarakat sekitar daerah bencana agar
dapat menekan angka korban jiwa, kerugian materi. (Asteria, 2016)
Salah satu cara untuk meminimalisasi risiko bencana dengan media massa aktif
berkontribusi mengantisipasi, mencegah aktivitas berisiko yang dilakukan
masyarakat, dan mendorong perubahan kebijakan agar situasi menjadi aman dari
bencana.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui
bagaimana peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang dalam
manajemen bencana erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut Moleong dalam (Yuliastina & Andiriyanto, 2019)
mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara dan observasi langsung ke Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang dan lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru yang menjadi objek penelitian,
serta mengumpulkan data atau informasi yang berkaitan dengan bahan penelitian.
Data-data
yang digunakan oleh peneliti
berasal dari data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan kepala BPBD Kabupaten Lumajang sebagai aktor utama dalam
menangani kasus bencana erupsi Gunung Semeru, sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis seperti dokumen, laporan, berita, dan arsip-arsip lainnya.
Fokus penelitian berguna untuk memenuhi dan memberikan suatu informasi baru yang diperoleh dilapangan. Hal yang menjadi fokus penelitian
adalah peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam Manajemen Bencana erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang.
Pasal 4
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang
menyebutkan bahwa penanggulangan bencana di antaranya memiliki tujuan untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menciptakan
perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu
implementasi dari Undang-Undang tersebut adalah memberikan rasa aman kepada
masyarakat dari ancaman bencana baik alam maupun non alam. Dalam mencegah dan juga
menanggulangi sebuah bencana, diperlukan proses manajerial agar kegiatan yang
dilakukan dapat terlaksana secara tepat dan cepat serta tetap terstruktur.
Proses ini dinamakan manajemen bencana alam.
Menurut Shaluf
(2008) dalam (Pratiwi et al., 2019) mendefinisikan manajemen bencana
sebagai istilah kolektif yang mencakup semua aspek perencanaan untuk merespon
bencana, termasuk kegiatan-kegiatan sebelum bencana dan setelah
bencana yang juga merujuk pada manajemen risiko dan konsekuensi bencana.
Kusumasari (2015) dikutip (Sukmana, 2018) menyatakan bahwa secara umum manajemen bencana (disaster management)
merupakan rangkaian fase penanggulangan bencana yang meliputi: (1) Tahap
Mitigasi (Mitigation) (2) Tahap Kesiapsiagaan (Preparedness) (3)
Tahap Tanggap darurat (Emergency response) dan (4) Tahap Pemulihan (Recovery). Analisis kebijakan bencana dilakukan untuk mengetahui sikap dan tindakan
penyelamatan diri, peralatan yang dibutuhkan, dan kebijakan bencana. Dalam (Febriawati et al., 2017) Manajemen bencana (Disaster Management)
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bencana beserta segala aspek yang berkaitan
dengan bencana, terutama risiko bencana dan bagaimana menghindari risiko
bencana. Manajemen bencana merupakan proses dinamis tentang
bekerjanya fungsi-fungsi planning, organizing, actuating,
dan controlling.
Menurut
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Kegiatan penanggulangan bencana mempunyai
tujuan untuk mengurangi dari ancaman bencana. Proses penanggulangan bencana
meliputi 3 tahap, yaitu:
1.
Pra Bencana
Tahap pra bencana, penanggulangan
bencana dibagi menjadi situasi tidak terjadi bencana dan situasi potensi terjadinya
bencana. Dalam situasi tidak terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemanduan perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, persyaratan analisis risiko bencana, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Sedangkan dalam
situasi potensi terjadinya bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi: kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana.
2.
Saat Tanggap Darurat
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, tanggap darurat bencana merupakan
rangkaian kegiatan yang dilakukan pada saat terjadi bencana untuk menangani
dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Dalam tahap saat tanggap darurat,
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, sumber daya, perlindungan terhadap kelompok rentan, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, penentuan status keadaan darurat bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
3.
Pasca Bencana
Pada tahap ini, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dengan
cara rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007,
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan
dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan, Rekonstruksi
adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Kabupaten Lumajang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang
memiliki tingkat ancaman bencana yang sangat beragam. Berdasarkan keterangan
ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Lumajang ini menghadapi 10 ancaman bencana. Salah satu ancaman bencana yang ada
di Kabupaten Lumajang adalah erupsi Gunung Semeru. Gunung Semeru mengalami
erupsi pada 16 Januari 2021. Pada saat terjadi erupsi, peran Badan
Penanggulangan Bencana Daerah sangat diperlukan. Peran Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Lumajang dalam erupsi Gunung Semeru adalah dengan
melakukan upaya sesuai SOP yang berlaku. Dalam SOP terdapat 3 tahap dalam menangani bencana, yaitu pra bencana, saat terjadi bencana,
dan pasca bencana. Salah satu peran dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah
adalah untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak mengenai bermacam keperluan
terkait tanggap darurat bencana yang sedang terjadi. Griffin dalam (Pratiwi
et al., 2019) memberikan suatu definisi yang lebih singkat tentang koordinasi yaitu suatu
proses menghubungkan (linking) semua kegiatan dari berbagai-bagai bagian
kerja (department) pada lingkup organisasi.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, tahapan-tahapan
tanggap darurat bencana dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Pra Bencana
Dalam tahap pra bencana, penanggulangan bencana dibagi menjadi situasi saat
tidak terjadi bencana dan situasi potensi terjadinya bencana. Dalam situasi
tidak terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari
perencanaan penanggulangan bencana; pengurangan risiko bencana; pencegahan;
pemanduan perencanaan pembangunan; pelaksanaan serta penegakan rencana tata ruang;
pendidikan dan pelatihan; persyaratan analisis risiko bencana; dan persyaratan
standar teknis penanggulangan bencana. Sedangkan dalam situasi potensi
terjadinya bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari
kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana.
2.
Tanggap Darurat
Berdasarkan hasil wawancara dengan BPBD Kabupaten Lumajang, pada saat
terjadinya erupsi Gunung Semeru, BPBD langsung menerapkan Standard Operating
Procedure (SOP). BPBD sudah mempunyai catatan Gunung Semeru, sehingga ketika
terjadi erupsi berubah menjadi rencana operasi. Hal tersebut yang digunakan
sebagai dasar menangani masalah Gunung Semeru untuk manajemen bencana Gunung
Semeru dengan melihat record injeksi. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BPBD
Kabupaten Lumajang dalam menangani masalah meletusnya Gunung Semeru yaitu: Pertama,
Membuat Posko untuk tempat evakuasi bagi para
pengungsi yang terdampak erupsi guguran awan panas Gunung Semeru. Salah satunya
berada di lapangan yang berada di Dusun KamarKajang, Desa Sumberwuluh,
Kecamatan Candipuro. Kedua, BPBD Bagian Administrasi secara otomatis membuat
surat darurat bencana yang harus ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Lumajang.
Ketiga, membuat Surat Komando Tanggap Darurat (SKTT). Bupati Kabupaten Lumajang
menunjuk Dandim (Komandan komando Distrik Militer) sebagai komandan, Kapolres
(Kepala Kepolisian Resor) sebagai Wakil, dan BPBD sebagai sekretaris. Keempat,
Dengan adanya SKTT, lintas sektoral baik vertikal dan horizontal sesuai dengan
3 pilar yaitu pemerintah, dunia usaha atau swasta, dan masyarakat yang saling
bahu membahu, contohnya seperti Dinas Kesehatan membuat posko, Dinas Sosial dan
PMI membuat dapur umum, relawan bergeser membantu penanganan erupsi yang
terpusat di posko utama yaitu di Dusun Kamar Kajang sesuai dengan record injeksi. Kemudian akan dilakukan
pembagian tugas kepada pihak-pihak yang bersangkutan seperti menggeser tempat
sampah dan toilet portable, sedangkan TNI dan Polri bergerak untuk evakuasi
korban bencana.
BPBD juga memberikan bantuan kepada korban bencana, seperti tanda
pengungsian, beras, mie instan, minyak goreng, lauk pauk, selimut, matras, dan
lain-lain. Pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang,
ditambahkan bantuan berupa masker, handsanitizer, dan disinfektan. Tidak
hanya BPBD, tetapi berbagai institusi pemerintah, dan swasta, bahkan perseorangan
juga memberikan bantuan berupa makanan, masker, air putih dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, tanggap darurat bencana merupakan
rangkaian kegiatan yang dilakukan pada saat terjadi bencana untuk menangani
dampak yang ditimbulkan dari adanya bencana tersebut. Dalam tahap saat tanggap
darurat, penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengkajian secara
cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, sumber daya, perlindungan terhadap
kelompok rentan, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
penentuan status keadaan darurat bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, dan
pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
3.
Pasca Bencana
Pada tahap ini, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dengan
cara rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007,
Rehabilitasi merupakan upaya perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Sedangkan, Rekonstruksi merupakan pembangunan kembali seluruh sarana dan prasarana,
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik yang terdapat pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama yaitu tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, tegaknya hukum dan ketertiban, sosial dan
budaya,� serta bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.
Kabupaten Lumajang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki tingkat ancaman bencana yang sangat beragam. Berdasarkan keterangan ketua BPBD Kabupaten Lumajang, Kabupaten Lumajang ini menghadapi 10 ancaman bencana. Salah satu ancaman bencana yang ada di Kabupaten Lumajang adalah erupsi Gunung Semeru. Gunung Semeru mengalami erupsi pada 16 Januari 2021. Pada saat terjadi erupsi, peran BPBD sangat diperlukan. Peran BPBD Kabupaten Lumajang dalam erupsi Gunung Semeru adalah dengan melakukan upaya sesuai SOP yang berlaku. Dalam SOP terdapat 3 tahap dalam menangani bencana, yaitu pra bencana, ketika terjadi bencana, dan pasca bencana. Salah satu peran dari BPBD adalah untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak mengenai bermacam keperluan terkait tanggap darurat bencana yang sedang terjadi. Griffin dalam (Pratiwi et al., 2019) memberikan suatu definisi yang lebih singkat tentang koordinasi yaitu suatu proses menghubungkan (linking) semua kegiatan dari berbagai-bagai bagian kerja (department) pada lingkup organisasi.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Berdasarkan pada temuan dan pembahasan hasil penelitian,
bahwa dalam manajemen bencana erupsi Gunung Semeru di Kabupatem Lumajang, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang berperan penuh dalam proses
penanggulangan bencana. Adapun proses penanggulangan bencana sesuai SOP yang
berlaku ada tiga
tahapan, pertama adalah
Pra Bencana, dalam tahap pra bencana, penanggulangan bencana dilakukan dengan
pencegahan dan kesiapsiagaan. BPBD membentuk Destana atau Desa Tangguh Bencana. Kedua adalah Saat Tanggap Darurat, dalam tahap Saat Tanggap Darurat, penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi pembuat Posko untuk tempat evakuasi bagi para pengungsi yang
terdampak erupsi guguran awan panas Gunung Semeru. BPBD atau Bagian Administrasi secara otomatis membuat surat darurat bencana yang
harus ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Lumajang. Membuat
Surat Komando Tanggap Darurat (SKTT). Dengan adanya SKTT, lintas sektoral baik
vertikal dan horizontal sesuai dengan 3 pilar yaitu pemerintah, dunia usaha
atau swasta, dan masyarakat yang saling bahu membahu. Kemudian akan dilakukan
pembagian tugas kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Ketiga adalah Pasca Bencana, ada
tahap pasca bencana, BPBD Kabupaten Lumajang membentuk
Tim Jitupasna (Kajian Kebutuhan Pasca Bencana). Tim Jitupasna terdiri dari beberapa
OPD lintas sektoral untuk menilai kerugian yang ditimbulkan bencana meletusnya
Gunung Semeru.
BPBD Kabupaten Lumajang telah menjalankan perannya sebagai instansi yang memiliki tugas dalam mananggulangi
bencana dengan baik. Setiap tahapan
proses penanggulangan bencana
dilakukan secara terstruktur oleh masing-masing bidang
di BPBD Kabupaten Lumajang.
Tahapan yang dilakukan telah dijalankan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yaitu sesuai SOP. Dalam menjalankan perannya, BPBD juga mengedepankan komunikasi dan koordinasi. Komunikasi sangat diperlukan, agar setiap tugas dapat
dikoordinasikan sehingga tidak tumpang tindih.
BIBLIOGRAFI
Arif, L. (2020). Mitigasi Bencana Gempa Di
Kota Surabaya (Kajian Tentang Upaya Antisipatif Pemerintah Kota Surabaya Dalam
Mengurangi Resiko Bencana). Dinamika Governance: Jurnal Ilmu Administrasi
Negara, 10(1). Google Scholar
Ariyanto, D. (2018). Koordinasi Kelembagaan
Dalam Meningkatkan Efektivitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Journal
Of Management Review, 2(1), 161�171. Google Scholar
Asteria, D. (2016). Optimalisasi Komunikasi
Bencana Di Media Massa Sebagai Pendukung Manajemen Bencana. Jurnal
Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1(1), 1�11. Google Scholar
Faizana, F., Nugraha, A. L., & Yuwono,
B. D. (2015). Pemetaan Risiko Bencana Tanah Longsor Kota Semarang. Jurnal
Geodesi Undip, 4(1), 223�234. Google Scholar
Faturahman, B. M. (2021). Diskursus Manajemen
Bencana Era Covid-19. Madani Jurnal Politik Dan Sosial Kemasyarakatan, 13(1),
68�85. Google Scholar
Febriawati, H., Angraini, W., Ekowati, S.,
& Astuti, D. (2017). The Analysis Of Earthquake Management At Rsud Dr. M.
Yunus Bengkulu City. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 8(1),
58042. Google Scholar
Fitriani, I. D., Zulkarnaen, W., &
Bagianto, A. (2021). Analisis Manajemen Mitigasi Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (Bpbd) Terhadap Bencana Alam Erupsi Gunung Tangkuban Parahu Di Jawa
Barat. Jurnal Ilmiah Mea (Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi), 5(1),
91�111. Google Scholar
Hamida, F. N., & Widyasamratri, H.
(2019). Risiko Kawasan Longsor Dalam Upaya Mitigasi Bencana Menggunakan Sistem
Informasi Geografis. Pondasi, 24(1), 67�89. Google Scholar
Hirnima, Z. M. (2017). Studi Deskriptif
Dampak Pengembangan Capacity Building Organisasi Pada Tingkat Responsivitas
Tanggap Darurat Bencana Di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ponorogo.
Universitas Airlangga. Google Scholar
Pratiwi, D. S., Hidayat, E. R., &
Widjaja, W. (2019). Manajemen Penanganan Anak Di Pengungsian Korban Bencana
Erupsi Gunung Sinabung Di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Manajemen Bencana
(Jmb), 5(1). Google Scholar
Purnomo, H., & Utomo, H. (2008).
Keefektifan Kerjasama Antarlembaga Dalam Operasi Pemulihan Terhadap Bencana
Alam: Studi Empiris Di Yogyakarta Dan Jawa Tengah. Journal Of Indonesian
Economy And Business, 23(4), 404�415. Google Scholar
Putra, H. P. (2014). Pelatihan Mitigasi Bencana
Kepadaanakanak Usia Dini. Asian Journal Of Innovation And Entrepreneurship,
3(2), 115�119. Google Scholar
Ruslanjari, D., Wahyunita, D. I., &
Permana, R. S. (2017). Peran Gender Pada Siklus Manajemen Bencana Di Sektor
Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tani (Bencana Alam Gempabumi Dan Letusan
Gunungapi). Jurnal Kawistara, 7(1), 78�93. Google Scholar
Sukmana, O. (2018). Pengetahuan Dan
Kearifan Sosial Dalam Proses Manajemen Bencana Gunung Kelud (Studi Di Desa
Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang). Sosio Konsepsia, 7(3),
146�160. Google Scholar
Yuliastina, R., & Andiriyanto, A.
(2019). Optimalisasi Hak Dan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Sebagai
Upaya Meningkatkan Efektifitas Penggunaan Dana Desa (Dd) Dan Alokasi Dana Desa
(Add) Di Kabupaten Sumenep. Dinamika Governance: Jurnal Ilmu Administrasi
Negara, 9(1). Google Scholar
Copyright holder : Alnizar Zagarino,
Dhea Cika Pratiwi, Rika Nurhayati, dan
Diana Hertati (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |