Jurnal
Syntax Admiration |
Vol. 2
No. 5 Mei 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) KECAMATAN WARU KABUPATEN SIDOARJO
Dandi Darmadi, Dimas Adhi Pramana Yusuf, Yulio Astria Yudha
Firnanda, dan Reynaldus Widya Nathanie
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa
Timur Surabaya, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
dan [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRACT |
Diterima 5 Mei 2021 Direvisi 10 Mei 2021 Disetujui 15 Mei 2021 |
This Article examines the implementation of a
national government program at the sub-district level of local government and
the influence of the government system on its implementation. The high
poverty rate and Law 40 of 2004 concerning the national guarantee system have
opened up space for hope for Indonesian families who are in the middle to
lower levels to be more empowered. The purpose of this study was to determine
the processes and constraints in the implementation of the family hope
program in Waru sub-district, Sidoarjo
regency, East Java using qualitative research methods. Data collection
techniques were carried out through direct observation and interviews with
social service officials and communities who were participants of the Hope
Family Program. Furthermore, the results of the study are reduced, then
described by connecting some secondary data and field notes. The data
obtained were finally presented as the results of the study. The results of
the study found that although the overall implementation has been carried out
quite well, the complicated coordination line between the person in charge of
a region to the highest level is still considered to be an obstacle as well
as political and conflict factors that arise as one of the reasons for PKH
implementation still requires a new formulation. strategic steps that can be
taken by PKH components in the regions, especially those serving in
sub-districts, so that they are able to be more creative and not get involved
in the dynamics of contestation politics. ABSTRAK Artikel ini mengkaji implementasi sebuah program pemerintah nasional di tingkat kecamatan atau pemerintah daerah dan pengaruh sistem pemerintahan terhadap implementasinya. Tingginya angka kemiskinan serta Undang-Undang 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan nasional telah membuka ruang harapan untuk keluarga indonesia yang berada pada level menengah kebawah agar lebih berdaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses serta kendala dalam implementasi PKH di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara dengan aparat dinas sosial serta masyarakat yang menjadi peserta program keluarga harapan. Selanjutnya hasil penelitian direduksi, kemudian dideskripsikan dengan menghubungkan beberapa data sekunder dan catatan lapangan. Data yang diperoleh akhirnya disajikan sebagai hasil penelitian. Hasil penelitian menemukan bahwa meskipun implementasi secara keseluruhan telah dilakukan dengan cukup baik, akan
tetapi rumitnya garis koordinasi antara penanggung jawab suatu wilayah kepada level tertinggi masih dinilai menjadi kendala serta faktor politik dan konflik yang timbul menjadi salah satu sebab implementasi PKH masih memerlukan formulasi baru. langkah strategis yang bisa dilakukan oleh komponen PKH di daerah terutama yang bertugas di kecamatan-kecataman, agar mampu
lebih kreatif dan tidak terlibat dalam dinamika politik kontestasi. |
Keywords: family hope
program; regional government; implementation; policy. Kata kunci:
program keluarga
harapan; pemerintah daerah; implementasi; kebijakan. |
Pendahuluan
Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 menjelaskan Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial untuk rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan status kemanusiaan.
Artinya perhatian terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah hal
mutlak yang harus dilakukan oleh pemerintah. Saat mengkaji tentang
apa yang sesungguhnya membuat kehidupan manusia atau masyarakat secara khusus
berjalan baik, maka kita akan menjumpai penggunaan istilah �kesejahteraan� dibanding �kebahagiaan�,
karena cakupan aspek kesejahteraan sangat kaya akan nilai (Adiputra et al., 2018).
Menurut Crisp and Roger (2017) dalam (Jacko, 2020)
bahwa kesejahteraan adalah sejenis nilai, nilai yang dimaksud
adalah nilai kehati-hatian. Misalnya, nilai
estetika atau nilai moral yang ditandai dengan sebuah gagasan apa yang baik dalam pembentukan
perilaku atau moral.
Ketenangan sebuah lukisan Vermeer, misalnya adalah sejenis kebaikan, tetapi
tidak baik untuk lukisan itu. Mungkin baik bagi kita untuk merenungkan
ketenangan seperti itu, tetapi merenungkan ketenangan tidak sama dengan
ketenangan itu sendiri. Demikian pula, pemberian uang untuk amal pembangunan
mungkin memiliki nilai moral, yaitu baik secara moral dan dampak dari
donasi tersebut mungkin baik untuk orang lain. Tetapi tetap menjadi pertanyaan
terbuka apakah kebaikan saya secara moral itu baik untuk saya? dan jika ya,
kebaikannya bagi saya masih secara konseptual berbeda dari kebaikannya secara
moral.
Saat ini kesejahteraan
diidentifikasi sebagai tujuan dari kebijakan public, dimana pemerintah
harus menggunakan ukuran kesejahteraan penduduk untuk menilai kemajuan nasional
dan merumuskan kebijakan yang sesuai. Jika kesehatan mental yang buruk dianggap
sebagai hilangnya kesejahteraan, maka pemerintah memiliki setiap alasan untuk
menganggap serius kesejahteraan sebagai tujuan kebijakan, karena biaya manusia,
sosial dan ekonomi dari kesehatan mental yang buruk sangat besar dan meningkat.
Menurut (Fisher, 2019) terdapat teori
kesejahteraan subjektif (SWB) yang dimana mengadopsi pendekatan hedonis dan
mendefinisikan kesejahteraan sebagai pengalaman subjektif sebagai hasil
kebahagiaan atau kepuasan hidup. Teori lainnya mengadopsi pendekatan eudemonik
yang mendefinisikan kesejahteraan sebagai latihan individu dari atribut
psikologis atau perilaku yang (diduga) berkontribusi pada kehidupan yang baik
seperti mempertahankan sikap positif atau memiliki kemampuan untuk 'bangkit
kembali' dari keterpurukan (Birkland, 2019).
Sangat banyak sekali definisi dan konsep
terkait dengan kesejahteraan yang kemudian harus menjadi acuan bagi pemerintah
atau negara dalam menentukan kebijakan apa yang akan diambil dengan
menganalisis apa yang terjadi ditengah masyarakat. Saat ini kemiskinan
merupakan isu
strategis dalam pembangunan di sebuah negara, namun kemiskinan seringkali
menjadi hambatan bagi negara berkembang di dunia dalam
proses pembangunan, seperti Indonesia. Sesuai apa yang diungkapkan oleh (Pekuwali et al., 2017) pembangunan di negara berkembang
selalu selalu mengalami permasalahan
yang tediri dari keterbelakangan,
kemiskinan, dan pengangguran. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang
yang tidak lepas dari permasalahan kemiskinan tersebut.
Bahkan kemiskinan di Indonesia dipandang sebagai kemiskinan budaya dan terjadi
karena
proses pemiskinan struktural.
Sumber:
BPS 2021
Gambar 1
Penduduk Miskin Indonesia
(Juta)
Menurut data BPS diatas tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia mengalami fluktuasi. Tingkat kemiskinan dari 4 tahun terakhir terbanyak pada tahun 2017 sebesar 27.77% dari penduduk Indonesia. Jika kita lihat dari diagram diatas tingkat kemiskinan di Indonesia mulai teratasi pada tahun 2018 dan 2019
tetapi pada bulan Maret 2020 BPS mendata kembali terkait kemiskinan yang ada di Indonesia mengalami peningkatan kembali sebesar 26,42%. Oleh karena itu program pengentasan kemiskinan di
Indonesia saat ini masih terus gencar dilakukan, berbagai macam program
pemberdayaan dilaksanakan, hal ini untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
kearah yang lebih baik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hal ini tentunya
berkaitan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang
masih berada dalam kemiskinan. Pemerintah Indonesia saat ini memiliki berbagai
program penanggulangan kemiskinan
yang komprehensif. Salah satunya
adalah PKH (Program Keluarga
Harapan). Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2018, PKH merupakan program perlindungan sosial yang dirancang oleh pemerintah untuk memberikan bantuan tunai kepada
keluarga sangat miskin
(RTSM), dan keluarga yang menrima
bantuan PKH harus melaksanakan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program bantuan sosial bersyarat bagi keluarga atau
masyarakat yang dinyatakan
miskin dan kurang mampu,
dan telah terdaftar dalam program data komprehensif untuk penanganan masyarakat miskin. Tujuan PKH ini adalah untuk
meningkatkan keadaan ekonomi kehidupan
keluarga sebagai penerima manfaat melalui akses pelayanan pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan
sosial, dan juga
mengurangi beban pengeluaran dalam meningkatkan pendapatan keluarga miskin (Gumabo, 2021).
Program Keluarga Harapan membuka bantuan untuk
keluarga miskin khususnya ibu hamil dan anak untuk
memanfaatkan berbagai Fasilitas Layanan Kesehatan (FASKES) dan Fasilitas
Layanan Pendidikan (FASDIK) yang tersedia. Manfaat PKH juga mulai di peruntukkan untuk seseorang
yang mengalami disabilitas dan lanjut usia
dengan mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya sesuai dengan amanat
konstitusi Negara
Indonesia. Melalui PKH, keluarga miskin (KM)
didorong untuk memiliki akses dan memanfaatkan pelayanan sosial dasar
kesehatan, pendidikan, pangan dan gizi, perawatan dan pendampingan termasuk akses
terhadap berbagai program perlindungan sosial lainnya yang merupakan program pemerintah secara
berkelanjutan. PKH diarahkan untuk menjadi permukaan dan center
of excellence penanggulangan kemiskinan yang mengefektifkan
berbagai program perlindungan dan pemberdayaan sosial nasional (Mayrizka, 2015).
Implementasi kebijakan merupakan proses
pelaksanaan keputusan kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah yang
diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan
tersebut. Menurut Anderson (1975) dalam (Wilder, 2017)
terdapat 4 aspek penting dalam implementasi yaitu hakikat
proses administrasi, kepatuhan atas suatu efek atau dampak implementasi.
Implementasi kebijakan dalam pemerintah yang luas, merupakan alat administrasi
hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja
bersama-sama dalam menjalankan kebijakan untuk memberikan dampak
atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi kebijakan terdapat berbagai faktor
kontekstual dapat memperburuk praktik
implementasi yang ideal, dan mengingat sifat lapangan, eksperimen tidak
selamanya merupakan representasi dari rencana
implementasi dunia nyata. Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap
kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi kebijakan bagi
masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak efektif atau
tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan target dari kebijakan yang ingin
dibuat, maka model implementasi kebijakan
publik yang berperspektif top down dikembangkan oleh George C. Edward
III. Pendekatan yang dikemukakan oleh Edward III mempunyai empat variabel
yang yang membuat sebuah implementasi bisa dikatan efektif, yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Di Kabupaten Sidoarjo
terdapat 6 Kecamatan (Krian, Tarik, Waru,
Wonoayu, Balung Bendo, Sukodono) yang menerima PKH pada tahun 2007. Dengan
berkembangnya tingkat kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo pemerintah akhirnya memberikan bantuan PKH menjadi 17 kecamatan di
tahun 2013. Salah satu dari 17 kecamatan yang menerima Program Keluarga Harapan
(PKH) merupakan Kecamatan Waru. Kecamatan Waru adalah kecamatan yang
memperoleh bantuan PKH di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2007. Dengan catatan
Kecamatan Waru merupakan penduduk terpadat di Kabupaten Sidoarjo yang memiliki
240.526 penduduk dari 2.262.440 penduduk yang berada di Kabupaten Sidoarjo.
Tabel 1
Penerima PKH Kecamatan Waru
No |
Desa |
Jumlah |
1 |
Bungurasih |
16 Orang |
2 |
Medaeng |
74 Orang |
3 |
Kedung Rejo |
171 Orang |
4 |
Tambak Sawah |
69 Orang |
5 |
Ngingas |
141 Orang |
6 |
Pepelegi |
36 Orang |
7 |
Tambak Rejo |
105 Orang |
8 |
Kepuh Kiriman |
91 Orang |
9 |
Wadung Asri |
56 Orang |
10 |
Tambak Sumur |
36 Orang |
11 |
Tropodo |
137 Orang |
12 |
Brebek |
53 Orang |
13 |
Tambak Oso |
82 Orang |
14 |
Wedoro |
79 Orang |
15 |
Janti |
44 Orang |
16 |
Kureksari |
113 Orang |
|
Jumlah |
1.303
|
Jadi jika dilihat dari tabel 1 bahwa penduduk
Kecamatan Waru yang berjumlah 240.526 orang yang hanya menerima bantuan manfaat
PKH sebanyak 1.303 orang. Dengan harapan seperti yang dijelaskan dalam tujuan
pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Waru sudah berjalan cukup
baik. Namun pada saat penulis melakukan observasi awal di lapangan terkait
dengan PKH terdapat beberapa masalah seperti yang terjadi di Kecamatan Waru. Namun pelaksanaan di
lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Pasalnya, pelaksanaan Program Keluarga
Harapan masih mengalami beberapa masalah, seperti
halnya yang dijelaskan penelitian yang dilakukan oleh �(Londah et al., 2018)
yang mengalami permasalahan
yaitu terjadinya kurangnya koordinator antar pendamping PKH dengan penerima bantuan PKH selain itu permasalahan juga timbul karena belum
optimalnya kinerja Dinas Sosial Kabupaten
Minahasa Tenggara dengan pihak pelaksana. Oleh karena itu, penelitian
ini menjelaskan bagaimana implementasi menggunakan teori yang dikemukakan oleh Edward III yang mengemukakan
4 variabel yang melihat dari permasalahan yang muncul yang dimana
peneliti menemukan permasalahan antara lain RTSM menggunakan dana
bantuan belum sesuai dengan sasaran, pencairan dana yang tidak tepat waktu, dan
masalah-masalah
lainnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari
penelitian ini terhadap implementasi kebijakan tentang
(PKH) Program Keluarga Harapan untuk memberikan gambaran dan penjelasan rinci kepada pemerintah
maupun masyarakat terkait masalah- masalah yang ada tentang
implementasi kebijakan (PKH) di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo sehingga pelaksanaan
program keluarga harapan dapat berjalan dengan efektif dan dapat mengatasi permasalahan kemiskinan yang ada di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam
(Arikunto, 2010),
metode kualitatif diharapkan mampu memberikan gambaran mendalam tentang ucapan, tulisan, dan perilaku
yang dapat diamati dari individu, kelompok, komunitas, dan organisasi tertentu dalam situasi tertentu
yang ingin diteliti. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh pemahaman umum tentang realitas
sosial dari perspektif partisipan
�Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Peneliti memulai dengan data, dan mmenggunakan teori yang ada sebagai bahan penjelas,
kemudian menarik pada hipotesis atau teori. Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi dari jurnal terdahulu dan sumber artikel lain yang dapat mendukung penelitian ini. Informan pada penelitian ini dilakukan kepada
koordinator PKH dan penerima
manfaat bantuan PKH di Kecamatan Waru.
Program rumah harapan merupakan
program yang memberikan bantuan
tunai kepada RTSM. Imbalannya, RTSM harus memenuhi persyaratan terkait upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM) yaitu pendidikan dan kesehatan. Tujuan keseluruhan PKH adalah untuk mengurangi
kemiskinan, memutus rantai kemiskinan, meningkatkan sumber daya manusia dan mengubah perilaku RTSM yang relatif sedikit mendukung peningkatan kesejahteraan. Kewajiban penerima PKH terkait dengan kesehatan dan pendidikan. RTSM yang telah teridentifikasi sebagai peserta PKH dan memiliki kartu PKH harus memenuhi persyaratan kesehatan. Persyaratan untuk mengontrol kandungan ibu hamil,
penimbangan dan pemberian
vitamin untuk balita.
Peserta PKH yang memenuhi syarat kesehatan adalah RTSM yang ibu hamil, balita, atau anak usia
5-7 tahun belum mengenyam pendidikan SD. Terkait pendidikan, jika peserta PKH memiliki anak antara usia
7 hingga 15 tahun, mereka harus memenuhi
persyaratan terkait pendidikan. Anak-anak
yang berpartisipasi dalam
PKH harus terdaftar di satuan pendidikan yang setara dengan SD dan SMP, dan menghadiri kelas setidaknya 85% hari sekolah setiap bulan selama tahun
ajaran. Jika seorang anak berusia 5-6 tahun masuk sekolah
dasar Maka orang tersebut akan menerima persyaratan
pendidikan. Bantuan dibayarkan sebanyak empat kali atau empat tahap dalam satu
tahun. Bantuan rutin yang diberikan kepada peserta PKH sebesar Rp. 200.000. Jika peserta memiliki anak di bawah 6 tahun dan ibu hamil atau
menyusui, maka akan ditambah menjadi
Rp. 800.000 dan juga bisa meningkat
Rp.400.000 Jika anda memiliki
anak yang mengikuti pendidikan setara dengan SD/MI. Bertambah lagi Rp. 800.000 jika peserta memiliki anak peserta pendidikan
setara SMP/MTs.
Penerima
bantuan PKH tentu akan mendapatkan jumlah uang yang bervariasi sesuai dengan anggota keluarga dan kebutuhannya yang dimilikinya. Tetapi jika peserta tidak memenuhi aturan atau regulasi yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam tiga bulan maka biaya bantuan yang diterima akan berkurang
Rp.50.000 untuk bulan pertama, berkurang Rp. 100.000 pada bulan kedua dan pada
bulan ketiga berkurang Rp. 150.000 Jika
peserta tetap tidak memenuhi komitmen dalam tiga
bulan berturut-turut maka akan dikeluarkan dari kepesertaan Departemen Sosial
RI tahun 2009.
Analisis
implementasi program keluarga harapan di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo
menggunakan empat variabel yang dikemukakan oleh Edward
III yaitu:
1.� Komunikasi
Menurut Edward III, Komunikasi sangat penting
untuk keberhasilan realisasi tujuan implementasi kebijakan. Implementasi yang
efektif baru akan terlaksana jika para pembuat keputusan (decision maker) susah mengetahui apa yang akan mereka buat. Pengetahuan hanya dapat beroperasi jika komunikasinya lancar. Artinya
keputusan kebijakan atau peraturan pelaksana harus ditransmisikan kepada
pelaksana yang benar. Selain itu, strategi yang dikomunikasikan harus akurat,
akurat dan konsisten. Menurut penelitian dari (Hidayat, 2013) komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan.
Implementasi kebijakan program keluarga
harapan di Kecamatan Waru jika dilihat dari variabel komunikasi hal ini dilihat
dari koordinator pendamping PKH yang selalu memberikan sosialisasi terhadap
penerima manfaat PKH kegiatan. Hal ini terbukti di lapangan saat pendamping PKH di
Kecamatan Waru membantu proses penyaluran dana PKH melalui cash transfer
dikarenakan terdapat salah satu warga tidak mengetahui tata cara terkait
penyaluran dana bantuan melalui cash transfer. Selain itu komunikasi
yang dilakukan oleh pendamping PKH dilakukan saat kegiatan PK2K. kegiatan PK2K berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran peserta PKH tentang urgennya �pendidikan dan kesehatan dalam
memperbaiki kualitas hidup keluarga di masa depan. Kegiatan P2K2 di Kecamatan Waru dilakukan sebulan sekali yang bertempat di Kecamatan Waru
serta memberikan motivasi kepada kepada peserta program keluarga harapan dalam
menjalankan komitmen. Pemberian motivasi dilakukan kepada peserta program
keluarga harapan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Namun tidak semua komunikasi di Kecamatan Waru berjalan dengan baik tetapi
masih saja terdapat masalah. Peneliti menemukan beberapa permasalahan terkait
penyaluran bantuan PKH. Diantaranya yaitu tidak tepatnya sasaran penyaluran
bantuan PKH yang dilakukan oleh pendamping PKH maksud dari tidak tepatnya sasaran ini adalah warga yang seharusnya mampu atau tidak termasuk kriteria RTSM justru malah
mendapatkan bantuan penyaluran PKH. Hal ini dikarenakan kurangnya koordinasi
antara pendamping PKH dengan ketua RT setempat serta tidak adanya pembaruan data terkait penyaluran bantuan PKH. Dengan kejadian ini proses
penyaluran bantuan PKH di Kecamatan Waru masih belum dikatakan sepenuhnya
efektif. Hal-hal seperti ini menjadi tanggung jawab semua untuk saling
berkoordinasi agar tidak terjadinya permasalahan lagi terkait penyaluran
bantuan manfaat PKH. Selain itu pendamping juga harus menerima dan mendiskusikan
permasalahan yang dihadapi peserta dalam keluarga berencana, kemudian
pendamping harus melaporkan semua kegiatan dan permasalahan tersebut kepada
sekretariat UPPKH kabupaten/kota (bakti sosial) dan koordinator
wilayah. Oleh karena itu, diperlukan pendamping untuk segera menindaklanjuti
dan memudahkan UPPKH kabupaten/kota dalam mendeteksi segala jenis permasalahan. Dengan adanya kerjasama
antara pihak UPPKH Kabupaten/kota, pendampingan dan masyarakat merupakan hal
yang sangat penting dalam menyukseskan program keluarga harapan.
2.� Sumber
Daya
Menurut Van Matter dan Van Horn (Nugroho, 2014) meyakini bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan, sumber daya harus didukung oleh beberapa objek
sumber daya lainnya antara lain sumber daya manusia (human
resource), sumber daya material (material
resource), dan sumber daya metode (method
resources). Selain itu, betapapun jelasnya peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan seberapa akurat komunikasi (sosialisasi) peraturan dan
peraturan tersebut, bukan tidak mungkin jika pelaksana yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan kebijakan tersebut tidak mampu bekerja otomatis juga akan
berdampak pada implementasi kebijakan tidak akan efektif.
Faktor sumber daya jika kita lihat dalam
pelaksanaan program keluarga harapan di
Kecamatan
Waru terdapat koordinator pendamping PKH yang sudah berkompeten dalam melakukan
penyaluran dana bantuan PKH hal ini dibuktikan dari cara beliau berkomunikasi
dengan baik dan selalu memberikan bimbingan kepada penerima manfaat penerima
PKH dengan sabar dan penuh tanggung jawab. Selain itu pendamping koordinator PKH di Kecamatan Waru sudah memenuhi kriteria sebagai pendamping
koordinator yang sesuai dengan ketentuan
Kementerian Sosial RI. Selain itu, sumberdaya warga yang menerima manfaat
bantuan PKH di Kecamatan Waru sebagai unsur utama dalam pelaksanaan program
keluarga harapan sangat siap bila nantinya dana tersebut didistribusikan, sebab
mereka telah mengikuti sosialisasi-sosialisasi dan pelatihan-pelatihan yang
dilakukan oleh koordinator pendamping PKH.
3.� Disposisi
Faktor ketiga yang harus diperhatikan saat menerapkan suatu strategi adalah
disposisi atau sikap, sehingga pelaksanaan strategi ini sangat penting. Jika
implementasi kebijakan diharapkan efektif, maka pelaksana kebijakan tidak hanya
harus mengetahui apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan untuk
mengimplementasikan kebijakan, tetapi juga harus bersemangat untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Dalam hal ini tanpa adanya sikap dan komitmen yang tinggi
dari pelaksanaannya, maka program tersebut tidak akan
sesuai dengan tujuan atau sasaran yang baik.
Faktor selanjutnya yang mendukung kelancaran variabel disposisi yaitu insentif bagi para pelaksanaannya. Jika sikap pelaksana memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi, maka tidak harus ditanya apa yang harus
dilakukan dan memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, tetapi juga harus
memiliki tingkat kesadaran yang tinggi mengenai sikap pelaksana agar dapat
melaksanakan sesuai dengan kebutuhan regulasi rencana PKH di Kabupaten Sidoarjo. Kebijakan ini juga perlu diterapkan. Sebagai pelaksana pendamping (PKH) di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo telah
berkomitmen untuk meningkatkan perhatian pada kelompok yang kurang mampu. Dengan bantuan yang diberikan oleh pendamping PKH diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan rencana keluarga
harapan. Oleh karena itu, baik itu sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana penunjang akan menjadi kejelasan pada pengimplementasian kebijakan, namun jika tidak dibandingkan dengan sikap dan dedikasi yang tinggi dari
institusinya mungkin saja PKH di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo tidak dapat berjalan efektif dengan apa yang diharapkan.
Pelaksana PKH selalu mengupayakan agar peserta atau penerima manfaat Program
Keluarga Harapan selalu mendorong untuk rutin dalam melaksanakan pertemuan
sosialisasi. Begitu pula para pendamping program keluarga harapan di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo yang memberikan respon tanggap, selalu tetap sabar, ramah, menghargai dan rendah hati, serta
memberikan yang terbaik untuk pelayanan para peserta program keluarga yang
penuh. Jika peserta yang mendapatkan bantuan PKH mengalami kendala, pendamping PKH juga akan turun langsung. Menangani
dan melaksanakan segala jenis pengaduan terkait Rencana Keluarga Harapan dan
memperlakukannya dengan itikad baik merupakan
sebagai
suatu prosedur yang akan sangat bermanfaat bagi perbaikan dan kelancaran pelaksanaan
Keluarga Harapan.
4.� Struktur
Birokrasi
Pengertian birokrasi atau
struktur organisasi dapat diartikan sebagai modus hubungan kekuasaan dan koordinasi antar lembaga eksekutif
(lembaga) yang terkait dengan pelaksana kebijakan (Setyawan & Srihardjono, 2016). Struktur birokrasi terkait dengan penerapan organisasi birokrasi yang menyelenggarakan dan melaksanakan
kebijakan publik. Struktur organisasi birokrasi berpengaruh besar terhadap implementasi kebijakan.
Birokrasi pelaksana PKH
berasal dari provinsi sampai dengan kabupaten/kota dan terdiri dari unit pelaksana keluarga berencana yang disebut UPPKH, UPPKH adalah ketua dinas
sosial provinsi dan dinas sosial kabupaten/kota. Dalam hal ini
Kementerian Sosial diwakili oleh koordinator kota, koordinator kabupaten dan pendamping KPM. Untuk koordinasi dari koordinator ke koordinator kota, dari koordinator kota ke koordinator
regional, berikan departemen
dengan koordinator regional
baru untuk membantu. Tetapi jika menyangkut terkait pelaksanaan bantuan dengan monitoring
dan evaluasi di berbagai kabupaten/kota itu berupa unit pelaksana. Ketuanya kepala bidang yang
membidangi, sekretaris kepala seksi yang membidangi, struktur organisasi UPPKH ada ketua, sekretaris dan anggota.
Masalah implementasi kebijakan PKH
sama
dengan kebijakan pada umumnya, masih dijumpai berbagai masalah dalam
implementasi jika diamati secara mendalam, beberapa diantaranya
adalah:
1.� Ambiguitas
Tingkat ambiguitas dalam intervensi tertentu sering kali akan menentukan
tingkat keberhasilan implementasi dan bagaimana hasil yang dapat direplikasi.
Menurut Matland (1995) dalam (Jensen et al., 2015) ada berbagai jenis ambiguitas, yang
terbagi dalam dua kategori yaitu ambiguitas tujuan dan ambiguitas sarana. Dalam
model top down, kejelasan tujuan merupakan variabel
independen penting yang secara langsung mempengaruhi keberhasilan kebijakan.
Ketidakjelasan tujuan dipandang menyebabkan kesalahpahaman dan ketidakpastian,
oleh karena itu sering menjadi penyebab kegagalan implementasi. Berbeda dengan
ambiguitas sarana, yang menimbulkan konflik kebijakan.
Pada kasus ini terjadi ambiguitas tujuan, dimana mempengaruhi implementasi
kebijakan dalam banyak hal, misalnya variasi yang lebih besar dalam hal
bagaimana kebijakan diimplementasikan dan para pelaku yang terlibat di berbagai
lokasi. Ketidakjelasan tujuan mempengaruhi perilaku birokrasi dan kinerja
organisasi. Ambiguitas tujuan secara tradisional dianggap sebagai penyebab
utama kegagalan implementasi karena ambiguitas tujuan dapat menciptakan
ketidakpastian dan kesalahpahaman. Tetapi dari perspektif pembuatan kebijakan,
ambiguitas tujuan mungkin tidak selalu �buruk� karena kejelasan tujuan
terkadang dapat meningkatkan konflik antar kelompok, yang menyebabkan kurangnya
dukungan untuk kebijakan tersebut.
2.� Pendanaan
dan Sumber Daya
Akses ke pendanaan dan sumber daya yang tersedia merupakan prasyarat untuk
implementasi yang sukses. Meskipun pendanaan saja tidak akan menghasilkan
keberhasilan, akan tetapi tanpa hal tersebut seringkali tidak dapat
memobilisasi aspek lain dari strategi implementasi. Pendanaan
yang stabil merupakan kebutuhan instrumental untuk keberhasilan implementasi.
Entitas pendanaan harus menyadari bahwa implementasi yang berhasil membutuhkan
waktu dan tidak menahan sumber daya. Tetapi pendanaan tidak akan berperan
banyak ketika staf, layanan, fungsi pendukung lainnya, atau bahkan waktu yang
merupakan elemen dari proses implementasi tidak hadir dalam proses implementasi. Sebagai prinsip umum, Dimitrakopoulos
& Richardson (2001) dalam (Batory, 2016) berpendapat bahwa sumber daya perlu disediakan agar implementasi berhasil.
Mereka juga harus tersedia dalam kombinasi yang tepat.
3.� Politik
dan Konflik
Berbagai literatur mengenai kebijakan publik menunjukkan bahwa apa yang dianggap sebagai masalah dan apa yang dianggap
sebagai solusi sangat dibentuk oleh sejarah kelembagaan dan perspektif pemangku
kepentingan. Kurangnya konsensus mencerminkan perbedaan nilai dan pengalaman;
pandangan dari para akademisi jarang menghasilkan solusi yang dapat diterima.
Seruan untuk penggunaan bukti yang lebih teliti dalam pembuatan kebijakan
menunjukkan kesulitan yang melekat dalam mencapai konsensus tentang basis
pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang kompleks (Head & Alford, 2015). Program kebijakan secara definisi
adalah hasil dari �politik kebijakan�. Agar konflik ada, harus ada saling
ketergantungan aktor, ketidakcocokan tujuan, dan elemen zero-sum yang
dirasakan untuk interaksi Dahrendorf (1958) dalam (G��l�, 2014). Konflik kebijakan akan muncul ketika
lebih dari satu organisasi melihat kebijakan sebagai relevan secara langsung
dengan kepentingannya dan ketika organisasi memiliki pandangan yang tidak
sesuai.
Perbedaan tersebut dapat timbul baik terkait dengan tujuan yang dianut dari
suatu kebijakan atau kegiatan programatik yang direncanakan untuk melaksanakan
suatu kebijakan. Perselisihan tentang cara kebijakan dapat berkembang di atas
masalah yurisdiksi atau atas substansi cara yang diusulkan untuk mencapai
tujuan. Pentingnya pendelegasian kebijakan kepada lembaga yang simpatik
terhadap satu masalah, karena menempatkan kebijakan di lembaga yang
bertentangan dengan kebijakan dan tujuan yang ada menyebabkan sedikit sumber daya,
sedikit dukungan, dan kegagalan yang hampir pasti. Konflik memainkan peran
sentral dalam membedakan antara model pengambilan keputusan sama relevannya
ketika membedakan antara deskripsi dari proses implementasi. Model pengambilan
keputusan politik rasional dan birokrasi mengasumsikan bahwa aktor individu
secara rasional mementingkan diri sendiri.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Berdasar kepada hasil penelitian ini, implementasi
kebijakan PKH di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa
Timur yang dianalisa menggunakan teori implementasi dari George
Edward, dimana terdapat empat variabel. Aspek Komunikasi Implementasi PKH di Kecamatan Waru
berjalan dengan baik tetapi masih saja terdapat masalah. Diantaranya yaitu
tidak tepatnya sasaran penyaluran bantuan PKH, hal ini
dikarenakan kurangnya koordinasi antara pendamping PKH dengan ketua RT
setempat. Kompetensi sumber daya manusia PKH di Kecamatan
Waru dianggap kompeten karena telah melalui seleksi oleh Kementerian Sosial RI,
selain itu terdapat koordinator pendamping PKH yang sudah berkompeten dalam
melakukan penyaluran dana bantuan PKH hal ini dibuktikan dari cara beliau
berkomunikasi dengan baik dan selalu memberikan bimbingan kepada penerima
manfaat penerima PKH dengan sabar dan penuh tanggung jawab. Namun disisi lain
terdapat masalah implementasi kebijakan yang terjadi, secara umum terdapat ambiguitas, pendanaan dan sumber daya yang masih perlu dikembangkan serta
konflik dan politik.
BIBLIOGRAFI
Adiputra, I. M. P., Utama, S., &
Rossieta, H. (2018). Transparency Of Local Government In Indonesia. Asian
Journal Of Accounting Research. Google Scholar
Arikunto, S. (2010). Metode Peneltian. Jakarta:
Rineka Cipta. Google Scholar
Batory, A. (2016). Defying The Commission:
Creative Compliance And Respect For The Rule Of Law In The Eu. Public
Administration, 94(3), 685�699. Google Scholar
Birkland, T. A. (2019). An Introduction
To The Policy Process: Theories, Concepts, And Models Of Public Policy Making.
Routledge. Google Scholar
Fisher, M. (2019). A Theory Of Public
Wellbeing. Bmc Public Health, 19(1), 1�12. Google Scholar
G��l�, İ. (2014). Karl Marx And Ralf
Dahrendorf: A Comparative Perspective On Class Formation And Conflict. Eskişehir
Osmangazi �niversitesi İktisadi Ve İdari Bilimler Dergisi, 9(2),
151�168. Google Scholar
Gumabo, A. (2021). Peran Pendamping Program
Keluarga Harapan Dalam Verifikasi Dan Pemutakhiran Data (Studi Di Kecamatan
Siau Timur, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro). Jurnal Politico, 10(4).
Google Scholar
Head, B. W., & Alford, J. (2015).
Wicked Problems: Implications For Public Policy And Management. Administration
& Society, 47(6), 711�739. Google Scholar
Hidayat, E. (2013). Pengaruh Komunikasi
Terhadap Implementasi Kebijakan Akta Kelahiran Di Desa Sungai Besar Kecamatan
Matan Hilir Selatan Kabupaten Ketapang. Governance, Jurnal Ilmu Pemerintahan,
2(2). Google Scholar
Jacko, J. F. (2020). Ethics To Identify
Innovations. The Book Of, 11. Google Scholar
Jensen, C., Johansson, S., & L�fstr�m,
M. (2015). Implementation In The Era Of Accelerating Projectification�Synthesizing
Matland (1995) And Research On Temporary Organizations. 19th Irspm
Conference, Birmingham, Uk, March. Google Scholar
Londah, A., Tampi, G. B., & Londa, V.
(2018). Implementasi Program Keluarga Harapan Di Kecamatan Pasan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Jurnal Administrasi Publik, 4(53). Google Scholar
Mayrizka, D. (2015). Strukturasi
Implementasi Kebijakan Disabilitas (Studi Kasus Kebijakan Pemberdayaan
Penyandang Disabilitas Di Kabupaten Sidoarjo). Jurnal Mahasiswa Sosiologi,
1(4). Google Scholar
Nugroho, R. (2014). Kebijakan Publik Di
Negara-Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar
Pekuwali, P., Indartuti, E., &
Zakariya, Z. (2017). Implementasi Program Keluarga Harapan (Pkh) Terhadap
Keluarga Sangat Miskin (Ksm) Penerima Bantuan (Studi Di Kecamatan Rindi Kebupaten
Sumba Timur). Jpap: Jurnal Penelitian Administrasi Publik, 3(2). Google Scholar
Setyawan, D., & Srihardjono, N. B.
(2016). Analisis Implementasi Kebijakan Undang-Undang Desa Dengan Model Edward
Iii Di Desa Landungsari Kabupaten Malang. Reformasi, 6(2). Google Scholar
Wilder, M. (2017). Policy Paradigms And The
Formulation Process. In Handbook Of Policy Formulation. Edward Elgar
Publishing. Google Scholar
Copyright holder : Dandi Darmadi,
Dimas Adhi Pramana Yusuf, Yulio
Astria Yudha Firnanda, dan Reynaldus Widya Nathanie (2021) |
First publication right : Journal Syntax
Admiration |
This article is licensed under: |