Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 6 Juni 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

DISPENSASI KAWIN DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

 

Naufa Salsabilah

Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRACT

Diterima

9 Juni 2021

Direvisi

12 Juni 2021

Disetujui

21 Juni 2021

 

Marriage is one way of society in the future with the bond of inner birth with capital and legal harmony. Indonesian law since the Marriage Act. Article 7 of Law No. 1 of 1974 concerning when the marriage age limit for men is 19 years and for women is 16 years. However, the Regulation to which is revised in Law No. 16 of 2019 which is intertpersed when the age limit of prospective brides and grooms is again 19 years. The change is said to be 200 underage marriages. If the age limit is higher, then the result is more and more happening among the community. Although in article 7 paragraph (2) paragraph there is a stage of dispensation of mating masaa occurs, it is done but it seems that it is still the way of age among the community. This needs to be in the existence of whatever the law and function of the marriage age limit article 7 paragraph (1). The provisions are said to be nothing but playful and the effects of which there are no underage marriage outcomes. Thus, this research champion to know the factors of diversion of the time of marriage dispensation and the reason justice judges justice canceled at the Surabaya Religious Court. Which force is juridical empirical with what kind of interview is the judge in question.

 

ABSTRAK

Perkawinan menjadi salah satu cara masyarakat untuk meneruskan keturunan dengan ikatan lahir batin dengan syarat dan rukun sahnya. Hukum Indonesia mengaturnya pada Undang-undang Perkawinan. Pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan apabila batas umur perkawinan untuk laki-laki yaitu 19 tahun dan untuk perempuan yaitu 16 tahun. Namun peraturan tersebut mengalami revisi pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menyebutkan apabila batas umur kedua calon mempelai baik laki-laki ataupun perempuan adalah 19 tahun. Adanya perubahan tersebut tentu mempertimbangkan dampak adanya perkawinan di bawah umur. Apabila batas umur semakin tinggi, maka dampak negatif semakin banyak terjadi di kalangan masyarakat. Meski pada Pasal 7 ayat (2) menyebutkan adanya tahapan dispensasi kawin apabila terjadi penyimpangan, namun hal itu seolah masih mengizinkan dampak negatif tetap terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini perlu dipertanyakan kepastian hukum dan fungsi batas umur perkawinan Pasal 7 ayat (1). Ketentuan tersebut dibuat tak lain juga untuk meminimalisir penyimpangan dan dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan akibat perkawinan di bawah umur. Maka dengan begitu, penelitian ini memiliki tujuan guna mengetahui faktor pengajuan permohonan dispensasi kawin dan alasan pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan tersebut di Pengadilan Agama Surabaya. Metode yang dipakai adalah yuridis empiris dengan wawancara secara langsung terhadap hakim yang bersangkutan.

Keywords:

dispensation of marriage; minors; consideration of judges

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata Kunci:

dispensasi perkawinan; di bawah umur; pertimbangan hakim



Pendahuluan

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam hukum nasional, sesuai Pasal 7 mengungkapkan apabila perkawinan dilakukan oleh dua mempelai baik wanita maupun pria minimal berusia 19 tahun. Sebelum perubahan Undang-undang Perkawinan tersebut, yakni pada tahun 1974 memperbolehkan perkawinan dilangsungkan apabila laki-laki telah mencapai 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Dengan adanya perubahan tersebut, berakibat semakin terbatasnya khususnya wanita untuk melangsungkan perkawinan.

Adanya pembatasan minimal umur seseorang dapat melakukan pernikahan, karena Negara dan Pemerintah mempunyai kepentingan sekaligus kewajiban untuk mengawal dan mengarahkan perkawinan sebagai institusi sosial yang melindungi sekaligus mengangkat harkat dan martabat perempuan (Kurnia, 2021).

Namun tidak memungkiri karena suatu hal tertentu misal force majeure, sepasang calon mempelai harus melangsungkan perkawinan. Maka dengan begitu mereka dapat mengajukan permohonan dispensasi perkawinan. Dispensasi kawin ialah upaya hukum yang diberikan pengadilan agama dalam mengizinkan perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur 19 tahun. Pasal 8 Peraturan Menteri Agung Nomor 5 Tahun 2019 menyebutkan, bahwa dalam hal calon suami dan istri berusia di bawah batas usia perkawinan, permohonan dispensasi kawin untuk masing-masing calon suami dan calon istri diajukan ke pengadilan yang sama sesuai dengan salah satu orang tua atau wali calon suami atau istri.

Beberapa orang tua dulu berpikir dengan menikahkan anaknya di usia dini adalah pilihan yang tepat. Karena bagi anak perempuan umur di atas 20 tahun merupakan umur yang sudah dianggap tua, dan jika anak perempuan belum juga menikah di atas umur itu, hal tersebut dianggap menjadi aib keluarga. Namun perkawinan anak di bawah umur sekarang ini dipandang dan ditakutkan justru akan berakibat sebaliknya. Dengan menikahkan anak di bawah umur disinyalir berpotensi mengguncang harmoni sosial, karena didalamnya dikhawatirkan terjadi bentuk kekerasan terhadap yang bersangkutan, perampasan hak, perdagangan anak, dan juga kejahatan pedofilia (Tasfiq, 2015).Pedofilia adalah gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusifpada anak prapuber (umurnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasi sebagai pedofilia (Hidayati 2014).

Menurut Council of Foreign Relations, Indonesia masuk dalam sepuluh negara dengan angka absolut pengantin anak tertinggi. Indonesia menduduki rangking 37 dengan persentase p, erkawinan anak tertinggi di dunia. Di ASEAN, Indonesia menjadi negara tertinggi kedua setelah Kamboja. Praktek perkawinan di bawah umur menjadi faktor pemicu tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Kasus AKI mencapai 359/100.000 kelahiran hidup dan 48/1.000 kelahiran untuk jumlah kelahiran pada usia 15-19 tahun.

Secara das sollen (hukum yang seharusnya terjadi sebagai fakta yang diungkapkan para ahli hukum dalam teori, atau hukum yang dicita-citakan), perkawinan diharapkan sebagaiman pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) bahwa �Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun�. Namun secara das sein atau hukum yang senyatanya terjadi, hukum yang hidup serta berkembang dan berproses di masyarakat, karena suatu faktor-faktor tertentu perkawinan sekarang ini dapat dilakukan bagi pria dan wanita meskipun belum mencapai umur 19 tahun atas hasil penetapan hakim yang mengabulkan permohonan dispensasinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong pengajuan permohonan dispensasi kawin di bawah umur yang terjadi di Pengadilan Agama Surabaya. Untuk mengetahui pertimbangan dari hakim Pengadilan Agama Surabaya mengapa mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur.

 

Metode Penelitian

Berdasarkan yang telah dijelaskan dalam rumusan masalah serta tujuan penelitian di atas, penelitian ini mengangkat metode empiris atau field research atau lapangan. Di mana metode ini adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data secara khusus juga secara realitas berdasarkan yang ada di Pengadilan Agama Surabaya. Kegiatan yang dilakukan adalah analisis secara langsung di lapangan dengan wawancara terhadap pihak terkait, yaitu pemohon untuk mengetahui faktor permohonan dispensasi perkawinan dan hakim untuk mengetahui apa yang menjadi alasan dalam mempertimbangkan sebelum mengabulkan permohonan tersebut. Jenis yang digunakan dalam metode ini adalah kualitatif. Metode kualitatif berfokus pada prinsip-prinsip secara umum yang berdasar pada gejala-gejala di kehidupan manusia dengan mengkaji data-data serta literatur. Adapun dua klasifikasi data penelitian yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah data asli yang diterima langsung dari narasumber (pemohon dan hakim Pengadilan Agama Surabaya) saat wawancara. Sedangkan data sekunder adalah data yang berisi informasi yang telah digandakan dan diterjemahkan atau dikumpulkan dari data primer dengan menghimpunnya. Data sekunder seperti buku, karya ilmiah, dokumen, dan sebagainya.

Hasil penelitian ini dituangkan secara deskriptif. Menurut Maman penelitian deskriptif adalah sebuah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya (Maman, 2006). Menurut Sutopo studi kasus tunggal adalah penelitian hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi studi atau satu subjek). Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menemukan suatu penelitian berupa studi kasus tunggal atau ganda, kalau sasaran studi tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut tetap merupakan studi kasus tunggal. Terpancang artinya terfokus, maksudnya dalam penelitian ini memfokuskan pada suatu masalah yang sudah ditetapkan sebelum peneliti terjun ke tempat penelitian. Disebut tunggal karena penelitian ini merupakan penataan secara rinci aspek-aspek tunggal (Sutopo, 2002).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil Penelitian

Menurut Sajuti Talib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantun, kasih-mengasihi, tentram, dan bahagia (Devy & Rizqi, 2019).

Islam menjelaskan bahwa perkawinan disebut dengan istilah �nikah�. Nikah sendiri mengandung arti berkumpul, saling memasukan atau bersetubuh (wathi). Selain itu, nikah juga berarti arti menghimpit, menindih atau berkumpul. Arti kiasannya adalah watha. Watha mengandung arti setubuh dan akad, memiliki arti melangsungkan perjanjian. Menurut Imam Syafi�i, definisi nikah adalah sesuatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (metaphoric) nikah itu artinya hubungan seksual.

Adapun prinsip menurut Undang-Undang Perkawinan yakni sebagai berikut:

1.    Perkawinan bertujuan membangun keluarga yang kekal dan bahagia. Dengan begitu suami isteri harus saling melengkapi dan membantu, supaya masing masing mampu mengembangkan kepribadianya dalam mencapai kesejahteraan baik secara spiritual maupun materiil.

2.    Perkawinan menjadi sah apabila dilangsungkan berdasar hukum masing-masing kepercayaan dan agamanya. Selain itu perkawinan perlu dicatat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Setiap pencatatan perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seorang yang dicatat. Hal itu termasuk seperti kelahiran, kematian yang mana dinyatakan dalam surat keterangan atau akta yang juga dicantumkan pada daftar perceraian.

3.    Undang-undang Perkawinan menjunjung asas monogami. Asas ini menganut bahwa seorang suami berhak memiliki istri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak bersangkutan. Asas monogami dapat terjadi apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4.    Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip, jiwa raga calon suami isteri harus bertekad untuk melangsungkan perkawinan supaya tujuan perkawinan dapat tercapai melahirkan keturunan yang baik dan sehat tanpa berakhir di perceraian. Maka dengan begitu Undang-undang Perkawinan sangat mencegah perkawinan muda dengan menentukan batas umur bagi pria dan wanita yakni 19 tahun.

5.    Sebagaimana tujuan perkawinan untuk membangun keluarga yang kekal dan bahagia serta sejahtera, undang-undang ini cukup mempersulit terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraianpun harus mengandung alasan kuat dan disampaikan di pengadilan.

6.    Adanya kedudukan dan hak yang seimbang bagi suami maupun isteri dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan sosial di masyarakat. Apabila hal tersebut terwujud, segala bentuk permasalahan keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama secara damai.

Sementara prinsip perkawinan dilihat dari hukum Islam adalah sebagai berikut:

1.    Perkawinan dilakukan dengan adanya persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang bersangkutan. Persetujuan dicapai dengan jalan dilakukan pemidangan terlebih dahulu.

2.    Pria tidak dapat mengawini semua perempuan karena Islam memiliki ketentuan dan larangan perkawinan bagi perempuan dan pria yang harus diindahkan.

3.    Perkawinan harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

4.    Perkawinan bertujuan membangun suatu kehidupan masyarakat kecil yakni keluarga atau rumah tangga yang bahagia, kekal, damai dan tentram.

5.    Suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban masing-masing secara seimbang. Yang bertanggung jawab dalam memimpin rumah tangga adalah suami.

Perkawinan di Indonesia memiliki dua dasar hukum, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan berdasarkan hukum Islam. Perkawinan termasuk ibadah sunnatullah bagi setiap umat Islam baik pria maupun wanita yang telah mampu dan memenuhi syarat rukunnya. Menurut Abdurrahman dalam bukunya berjudul Syariah The Islamic Law, menyebutkan jika hidup membujang termasuk pelanggaran atas naluri manusia.

Menurut filosof Islam, Imam Ghozali membagi tujuan dan faedah perkawinan menjadi sebagai berikut (Soemiyati, 1986):

1.    Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

2.    Memenuhi tuntutan naluriah kemanusiaan.

3.    Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4.    Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

5.    Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Dalam Undang-undang Perkawinan, berikut rukun dan syaratnya:

1.    Perkawinan berdasar pada persetujuan suka rela dan bebas tanpa adanya paksaan bagi kedua calon mempelai.

2.    Menganut asas monogami, bahwa perkawinan dilakukan untuk satu istri bagi satu suami dan sebaliknya, kecuali adanya dispensasi dari pengadilan.

3.    Agama mengizinkan satu suami beristri lebih dari satu dengan syarat-syarat yag berat. Mulai dari mendapat izin dari isteri pertama, adanya kepastian dari suami akan mampu berlaku adil serta menjamin keperluan isteri-isteri dan anak-anaknya.

4.    Pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan telah mencapai umur 19 tahun, atau dapat dimohonkan dispensasi ke pengadilan.

5.    Apabila calon mempelai belum mencapai 21 tahun harus mendapat izin perkawinan dari kedua orang tua atau wali.

6.    Perkawinan dilarang dilakukan apabila dari kedua mempelai ternyata adalah:

1)   Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

2)   Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya.

3)   Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan ibu atau bapak tiri.

4)   Perhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman susuan.

5)   Berhubungan dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri, lebih dari seorang.

6)   Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

7.    Perkawinan tidak dapat terjadi bagi pria atau wanita yang terikat hubungan perkawinan dengan orang lain, kecuali adanya dispensasi oleh pengadilan.

8.    Perkawinan dapat terjadi bagi pria atau wanita yang telah bercerai untuk kedua kalinya. Pria dan wanita tersebut masih diperbolehkan dilangsungkan perkawinan lagi selama hukum masing-masing kepercayaan dan agamanya tidak melarang.

9.    Perkawinan dapat terjadi lagi bagi wanita yang perkawinan sebelumnya terputus dan telah melewati masa tenggang waktu tunggu.

10.     Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.

Dispensasi perkawinan karena di bawah umur ialah bentuk kelonggaran bagi calon suami dan calon isteri dalam melakukan perkawinan karena belum dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan sesuai yang ada dalam ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga calon suami maupun calon isteri memiliki ijin untuk melakukan perkawinan meski belum mencapai usia 19 tahun berkat pengabulan majelis hakim atas permohonan dispensasi tersebut.

Undang-undang Perkawinan membuat aturan mengenai batas usia untuk pihak yang akan melakukan perkawinan, dengan syarat sebagai berikut:

1.    Adanya persetujuan secara suka rela tanpa paksaam dari kedua calon mempelai

2.    Umur calon mempelai baik pria ataupun wanita adalah minimal 19 tahun

3.    Mendapat izin kedua orang tua atau walinya untuk calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

4.    Perkawinan dilakukan tanpa melanggar larangan

5.    Memakai asasmonogami

6.    Adanya waktu tunggu bagi wanita yang telah terputus hubungan perkawinan sebelumnya yang akan kawin lagi

 

B.  Pembahasan

1.    Faktor Permohonan Dispensasi Perkawinan di Pengadilan Agama Surabaya

Perkawinan merupakan hak setiap orang untuk menjalin ikatan yang sah dalam berumahtangga meneruskan keturunannya dan memenuhi kebutuhan seksualnya. Terdapat perbedaan batas umur perkawinan dalam Islam dan hukum Indonesia. Setiap orang mengalami baligh di umur yang berbeda-beda, tidak menutup kemungkinan telah menginjak umur 19 tahun sebagaimana batas umur perkawinan berdasarkan perundang-undnagan. Untuk mendapat pengakuan hukum nasional, bagi calon suami maupun calon isteri yang belum genap 19 tahun dapat dilakukan dengan permohon dispensasi perkawinan ke Pengadillan Agama.

Setiap individu mempunyai alasan yang mendorongnya mengajukan dispensasi kawin. Alasan secara hukum, adalah untuk mendapat pengakuan secara nasional ikatan perkawinannya karena hal itu berpengaruh dengan kedudukan anak dan sebagainya. Secara biologis, manusia yang mendapatkan rangsangan seksual akan memberikan reaksi, seperti membesarnya pembuluh darah pada bagian penis yang menyebabkan terjadinya ereksi. Kegiatan seksual menjadi salah satu cara untuk mendapatkan kepuasan baik secara biologis maupun psikologis. Secara psikologi, terdapat kebutuhan akan kasih sayang yang perlu didapat dengan salah satu cara berumahtangga agar tidak menimbulkan perbuatan yang dilarang yaitu zina. Setiap individu khususnya yang telah baligh memilik keinginan melampiaskan libido seksualnya dan adapun permohonan karena yang telah mengandung atau hamil. Adapun permasalahan karena keluarga sebelumnya toxic sehingga merasa tertekan dan bertekad membangun keluarga sendiri. Selain itu secara sosial, kondisi masyarakat yang memotivasi seseorang untuk melangsungkan perkawinan sebagai bentuk syukur mampu membangun keluarga dan meneruskan keturunan. Secara Islam, perkawinan adalah bentuk ibadah yang sunnah dilakukan bagi yang matang kedewasaan maupun faktor lainnya. Dipandang dari aspek ekonomi, orang tua melepas tanggungjawab menafkahi anaknya karena tidak mampu sehingga dikawinkan agar bertanggjawab dengan dirinya sendiri dan calon pasangannya, terlebih apabila anak telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Adapun faktor nyata yang terjadi di masyarakat adalah kehamilan di luar nikah. Pemohon menginginkan status dan kedudukan yang jelas untuk anak agar memiliki pengakuan secara hukum siapa bapaknya. Dengan adanya perkawinan yang sah secara hukum akan menimbulkan kelegaan bagi calon ibu karena anaknya memiliki status dan kedudukan secara hukum dengan jelas. Selain itu, adanya perkawinan dapat menjadi wujud tanggungjawab calon bapak atas perbuatannya. Secara sosial, pemohon merasa terlindungi atas perbuatannya karena telah melangsungkan perkawinan secara sah di mata hukum nasional.

2.    Pertimbangan Hakim Mengabulkan Permohonan Dispensasi Perkawinan

Undang-undang Perkawinan mengatur batas umur perkawinan secara jelas. Pada UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa batas usia perkawinan bagi wanita adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki. Undang-undang tersebut direvisi menjadi UU No. 16 Tahun 2019, yang mengubah bata usia menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun wanita. Hal penting yang menjadi faktor adanya perubahan ketentuan tersebut tak lain karena pembedaan batas umur antara laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan yang dianggap tidak konstitusional dan dianggap melanggar asas kesamaan di mata hukum pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Awalnya pembedaan batas umur tersebut diatur berdasarkan tingkat kematangan biologis laki-laki dan wanita secara umum. Tetapi seiring perkembangan zaman di kehidupan masyarakat sekarang ini, dinilai mengandung bentuk diskriminasi dan penghilangan hak-hak dasar serta pengabaian terhadap kesehatan fisik ataupun mental wanita. Di era sekarang ini yang semakin canggih dan maju membuat wanita terdorong untuk melakukan segala sesuatu lebih produktivitas termasuk dalam meraih pendidikan yang layak. Wanita pun berhak akan pendidikan, nilai sosial, hak sipil, hak ekonomi dan hak-hak konstitusional sama dengan laki-laki, sebagai warga negara di Indonesia.

Semenjak adanya revisi Undang-undang Perkawinan, permohonan dispensasi perkawinan yang terdaftar di Pengadilan Agama Surabaya meningkat. Menurut data yang didapat dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Agama Surabaya, pada 2018 telah ditetapkan sebanyak 126 permohonan dispensasi kawin. Pada tahun 2019, meningkat menjadi 183 perkara. Dan di tahun 2020, setelah adanya perubahan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 meningkat dua kali lipat lebih yaitu sebanyak 406 perkara. Terhitung sampai 3 Mei 2021, ada 130 perkara yang telah dan sedang diproses di tahun 2021.

Tingkat perkara permohonan dispensasi kawin yang semakin tinggi harus disikapi secara bijak oleh para hakim dengan mempertimbangkan segala alasan yang diajukan berikut dampak-dampak yang mungkin terjadi jika dispensasi diberikan. Hakim harus proaktif dalam menggali berbagai fakta hukum dan kenyataan-kenyataan sosial dalam perkara yang sedang ditangani (Irianto, 2009).

Sesuai yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berisi bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam peraturan tersebut, tidak mengandung alasan yang mengizinkan adanya dispensasi perkawinan. Maka dengan begitu keputusan mengenai dispensasi perkawinan ada di tangan hakim sepenuhnya atau legal reasoning. Hakim perlu menimbang dan memerhatikan fakta dan dampak sosial yang terjadi sebelum mengeluarkan penetapan, karena hakim tidak hanya menjadi corong undang-undang (Bouche de la loi) menurut kesepakatan para ulama agama.

Hakim memiliki dasar dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan adalah Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, berbunyi:

�Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Kharisma, 2017), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.�

Perkawinan merupakan ibadah dan hukumnya sunnah bagi pria maupun wanita yang telah mampu melaksanakannya dan memenuhi syarat sah rukunnya. Dilihat dari syarat dan rukun sah perkawinan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, batas umurnya adalah ketika kedua mempelai sudah masuk baligh. Proses baligh setiap orang berbeda-beda, ada yang belum mencapai 19 tahun sudah mengalaminya. Selain itu, menikah dalam Islam dapat menjadi makruh, sunnah, wajib, dan haram. Dikatakan makruh apabila dari jasmaninya telah siap menikah tetapi belum mendesak dan belum siap dengan biaya hidup sehingga ditakutkan setelah perkawinan mengakibatkan ketidaksejahteraan untuk isteri dan keturunannya. Dalam hal ini menikah tidak melahirkan dosa atau memperoleh pahala, namun apabila tidak melakukan perkawinan dengan pertimbangan permasalahan tersebut dapat mendatangkan pahala. Adapun apabila seseorang mampu menikah secara lahir dan batin, dan karena nafsunya bergejolak agar tidak terjerumus dalam zina, maka menjadi wajib hukumnya untuk menikah.

Adapun teori yang menjadi dasar hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi di Pengadilan Agama Surabaya, adalah teori perlindungan hukum dan teori maslahah mursalah atau asas kemanfaatan. Perlindungan hukum diperlukan sebagai upaya mengalokasian kekuasaan kepentingan setiap calon mempelai untuk mendapat legalitas membentuk keluarga sebagai ibadah yang sunnah. Asas kemanfaatan diterapkan untuk memberi kepastian hukum bahwa penetapan hakim mengabulkan dispensasi kawin memberikan lebih banyak manfaat daripada kemudharatan yang terjadi.

Hakim mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi apabila tidak mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan, adalah terjadinya zina yang merupakan suatu perbuatan dilarang dalam Islam. Dan Islam sendiri mengatur larangan berzina dengan solusi pernikahan. Selain itu, dapat terjadinya kehamilan di luar nikah yang mengakibatkan sanksi sosial di masyarakat dan ketidakjelasan status anak. Di mana anak hasil perzinaan tersebut juga memiliki hak yang telah dicantumkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak.

Bersadarkan Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, yang menjadi dasar pertimbangan hakim ialah asas kepentingan terbaik bagi anak (menghadirkan psikolog), hak hidup dan tumbuh kembang anak, penghargan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Sebelum mengabulkan permohonan pun, hakim menelaah dan memastikan pemohon telah melalui prosedur yang benar dan memenuhi syarat pengajuan dispensasi di Pengadilan Agama Surabaya. Adapun yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan pengabulan permohonan dispensasi tersebut, tidak lain untuk menghindari kerugian pihak yang mengajukan. Majelis hakim yang merupakan penegak hukum dan keadilan pun berkewajiban mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat.

Undang-undang Perkawinan mengatur batas umur perkawinan memiliki filosofi dengan tujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kemaslahatan bagi kedua calon mempelai supaya tidak mengalami dampak negatif perkawinan dini di kemudian hari. Dampak yang diperoleh pun tidak hanya dari satu sisi. Ada dampak fisik, psikologi, sosial, biologi, sampai agama. Namun faktanya, manusia juga memiliki keinginan untuk melampiaskan libido seksualis sewaktu-waktu setelah baligh. Oleh karena itu untuk menghindari keburukan, lahirnya dampak-dampak yang tidak diharapkan, dan menimbulkan kemudharatan, hakim memiliki wewenang untuk mengabulkannya. Apabila hakim menolak permohonan dispensasi perkawinan akan menimbulkan dosa berkepanjangan seolah mengizinkan calon mempelai melakukan pelanggaran yaitu berzina dan melarang beribadah sunnah Islam. Maka dengan begitu, majelis hakim mengeluarkan penetapan dengan mengizinkan perkawinan di bawah umur untuk mengindari kemudharatan demi menyampingkan kemaslahatan. Dispensasi perkawinan dibuat sebagai solusi apabila ada calon mempelai yang belum menginjak umur 19 tahun untuk berhak kawin selain untuk menghindari kemudharatan tetapi juga untuk kemanfaatan hidupnya secara pribadi, sebab tidak semua orang dinilai sama kurang mampu membangun rumah tangga.

Dengan mengabulkannya permohonan dispensasi kawin tersebut, hakim telah menepati statusnya sebagai penegak hukum untuk adil dalam mempertimbangankan faktor maupun dampak perkawinan di bawah umur dan hakim tidak melanggar perundang-undangan.

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Perkawinan merupakan suatu cara manusia untuk berkembang biak dan melangsungkan kehidupan generasinya. Dalam arti Indonesia, kawin adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Dalam Islam pendapat dari Imam Syafi�i, nikah ialah sesuatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (metaphoric) nikah itu artinya hubungan seksual. Sehingga dapat ditarik garis besar bahwa, perkawinan yaitu salah satu bentuk ibadah dalam mewujudkan kehidupan kecil di masyarakat berdasar rasa kebahagiaan dan kesetiaan bagi yang mampu, supaya terhindar dari perbuatan yang dilarang kepercaayan dan agama.

Perkawinan bukanlah sekedar perjanjian, ada hukum baik secara agama maupun nasional yang mengaturnya. Berdasarkan kesepakatan ulama Islam, batas perkawinan dari baligh-nya seseorang. Sementara hukum di Indonesia mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Pasal 7 ayat (1), bahwa batas umur perkawinan dari wanita 16 tahun dan pria 19 tahun mengalami revisi menjadi baik wanita maupun pria 19 tahun. Namun meski telah dibuatkan batas umur perkawinan, ada kesempatan yakni dispensasi kawin sesuai Pasal 7 ayat (2). Hal ini menimbulkan keraguan akan kepastian hukum dan fungsi batas umur. Dengan adanya revisi tersebut pun berakibat semakin meningkatnya jumlah permohonan dispensasi perkawinan yang terdaftar di Pengadilan Agama Surabaya. Semula di tahun 2019 terhitung 183 perkara, semenjak 2020 setelah revisi naik mencapai 406 perkara.

Permohonan dispensasi yang terdaftar di Pengadilan Agama Surabaya, terdapat beberapa faktor. Salah satu Putusan Nomor 1955/Pdt.P/2020/PA.Sby, yang mana dikabulkan oleh hakim permohonannya, alasan permohonan karena hamil di luar nikah dan agar anak dari pemohon memiliki status dan kedudukan secara hukum sebagai anak dari suami pemohon.

Dengan semakin dipersempitnya persyaratan perkawinan bagi wanita, tentu badan legislatif telah mempertimbangkan faktor dan dampak perkawinan di bawah umur. Namun hakim dengan wewenangnya sebagai penegak hukum, dapat mengabulkan permohonan dispensasi tersebut dengan beberapa pertimbangan. Di mana dalam hukum Islam, perkawinan dapat menjadi makruh, sunnah, wajib, dan haram. Hakim mengabulkan apabila dalam perkara Islam menyebutnya wajib. Dampak tidak dikabulkannya permohonan seolah melegalkan perzinaan. Hakim mempertimbangkan apakah akan lebih banyak dampak negatif yang timbul jika permohonan dikabulkan atau tidak. Semakin banyak dampak negatif jika tidak mengabulkan dispensasi kawin, semakin permohonan berpeluang dikabulkan. Ada nilai kemanfaatan dan kemudharatan yang hakim pertimbangkan sebelum menetapkan. Bukan meragukan kepastian hukum dan fungsi batas umur, tetapi sebagai bentuk meminimalisir akibat buruk perkawinan di bawah umur karena kurang matangnya kedewasaan. Dengan adanya dispensasi perkawinan adalah sebagai solusi beberapa faktor atau alasan tertentu untuk tetap mendapat izin perkawinan di mata hukum nasional agar tidak semakin memperburuk faktor atau alasan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Baihaqi, M. (2018). Persetujuan Dispensasi Nikah Karena Hamil Ditinjau Dari Perspektif Maslahat (Studi Analisis Di Pengadilan Agama Kendal) Jurusan Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyyah). Fakultas Syari�ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.Google Scholar

 

Devy, S., & Rizqi, A. M. (2019). Perceraian Nikah Di Bawah Tangan Dan Pengaruhnya Terhadap Pengasuhan Anak (Studi Kasus Di Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireun). Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 2 (2).Google Scholar

 

Dewi, M. A. (2020). Tinjauan Yuridis UU No. 16 Tahun 2019 Menurut Asas Monogami Dan Hubungan Hukum Dalam Perkawinan. Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat, 17 (2).Google Scholar

 

Diantoni, I.M.P.A. (2018). Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tentang Dispensasi Nikah (Study Penetapan No. 0241/Pdt. P/2016/Pa. Kab. Kdr). Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Islam Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal As-Syahsiyah) Google Scholar

 

Hanafi, Y. (2011). Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur. Bandung: Mandar Maju.Google Scholar

 

Hidayati, N. (2014). Perlindungan Anak Terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual (Pedofilia). Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, 14(1).Google Scholar

 

Holden, L. dan N. Euis. (2019). Nilai-nilai budaya dan keadilan perempuan di Pengadilan Agama Praktik Terbaik. Suka Pres.Google Scholar

 

Husain, S. (2009). Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Qur�an dan As-Sunnah Jilid III. Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi�i.Google Scholar

 

Irianto, S. (2009). Metode Peneltian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.Google Scholar

 

Kharisma, B. (2017). Implementasi Batas Usia Minimal Dalam Perkawinan Berdasarkan Uu Nomor 1 Tahun 1974.Google Scholar

 

Kurnia, N. (2021). Analisis Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dilihat Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Tentang Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Universitas Islam Kalimantan Mab.Google Scholar

 

Maman, K. H. (2006). Metodologi Penelitian Agama: Teori Dan Praktik.Google Scholar

 

Nugraha, Xavier, dkk. (2019). Rekonstruksi Batas Usia Minimal Perkawinan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan (Analisa Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017). Lex Scientia Law Review, Vol. 3 No. 3 Mei 2019.Google Scholar

 

Nur, K. (2014). Poligamid Di Pengadilan Agama Bulukumba (Studi Faktor Penyebab Dan Dampak Bagi Kehidupan Keluarga). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.Google Scholar

 

Nurcholis, M. (2019). Penyamaan Batas Usia Perkawinan Pria Dan Wanita Perspektif Maqasid Al-Usrah (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/Puu-Xv/2017). Mahakim: Journal Of Islamic Family Law, 3(1) Google Scholar.

 

Prodjohamidjojo, M. (2017). Hukum Perkawinan Indonesi. Jakata: Indonesia Legal Center Publishing.Google Scholar

 

Soemiyati, N. (1986). Hukum Perkahwinan Islam Dan Undang-Undang Perkahwinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkahwinan). Liberty Yogyakarta.Google Scholar

 

Sutopo, H. B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.Google Scholar

 

Tasfiq, M. S. (2015). Tinjauan Maslahah: Dispensasi Kawin Yang Diajukan Oleh Anak Dibawah Umur: Studi Perkara Nomor 0067/Pdt. P/2012/Pa. Pasuruan. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.Google Scholar

 

Waluyo, B. (2012). Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar

 

 

Copyright holder :

Naufa Salsabilah (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under:

 

 

 

������������������������������������������������������������������������������������