Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 2 No. 7 Juli 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
Asha Arif
Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya Jawa Timur, �Indonesia
Email: [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 5 Juli 2021 Direvisi 9 Juli 2021 Disetujui 21 Juli 2021 |
Menurut
teori imunitas mutlak, tindakan suatu negara berdaulat tidak dapat diuji oleh
pengadilan asing, sehingga dalam melakukan kegiatan seperti perdagangan,
negara biasanya berlindung di balik tameng kedaulatan. Meningkatnya peran
negara dalam perdagangan internasional menyebabkan teori imunitas mutlak
tidak dipertahankan lagi. Amerika Serikat dan Australia menerapkan teori
imunitas negara terbatas. Hal ini terlihat dalam perkara Anglo-Iberia melawan
Jamsostek di Amerika Serikat dan Garuda Indonesia melawan Australia
Competition and Consumer Commission di Australia. Dalam perkara pertama,
Jamsostek dikategorikan sebagai perwakilan negara yang tindakannya tidak
bersifat komersial sehingga berhak atas imunitas. Sedangkan dalam perkara
kedua, Garuda Indonesia dikategorikan sebagai perwakilan negara yang
tindakannya bersifat komersial sehingga tidak berhak mendapatkan imunitas. ABSTRACT According to the theory of
absolute immunity, the actions of a sovereign state cannot be tested by a
foreign court, so in carrying out activities such as trade, the state usually
takes refuge behind a shield of sovereignty. The increasing role of countries
in international trade leads to the theory of absolute immunity being
untenable. The United States and Australia apply the theory of limited state
immunity. This was seen in anglo-Iberian cases against Social Security in the
United States and Garuda Indonesia against the Australian Competition and
Consumer Commission in Australia. In the first case, Social Security is
categorized as a representative of a country whose actions are not commercial
in nature so that they are entitled to immunity. Meanwhile, in the second
case, Garuda Indonesia is categorized as a representative of a country whose
actions are commercial so it is not entitled to immunity. |
Kata Kunci : Imunitas Negara, Commercial Activity, Badan Usaha Milik Negara, Teori
Manajemen Keywords: State Immunity,
Commercial Activity, State Owned Enterprise |
Pendahuluan
Negara adalah sebuah entitas yang memiliki penduduk, suatu wilayah
tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kemampuan untuk melakukan
hubungan-hubungan dengan negara-negara lain.�
Dalam konteks perdagangan internasional, negara merupakan subjek hukum
yang utama.� Hal ini dikarenakan negara
adalah satu-satunya subjek perdagangan internasional yang memiliki kedaulatan (Adolf, 2011). Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi
dalam penyelenggaraan negara� atau
kemampuan untuk memberikan kesejahteraan bagi penyelenggaraan negara tersebut
secara bebas dari dominasi negara-negara lain, dengan tidak mengganggu atau
melanggar hak negara-negara lain.�
Kedaulatan suatu negara terbatas oleh batas-batas wilayah negara
tersebut.� Dengan adanya kedaulatan
negara, negara dapat secara bebas melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan konsep
negara modern yang disebut juga negara kesejahteraan atau Welfare State (Gough, 1979) yang bertujuan menyelenggarakan
kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang
sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum (Muslimin,
1985). Negara menjalankan kewenangan melalui organ-organnya.� Salah satunya adalah pemerintah, yang
diberikan kewenangan� berdasarkan
konstitusi untuk mewakili negara sebagai pemegang otoritas publik.� Pemerintah dalam arti sempit adalah
organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau
melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas adalah semua badan atau
lembaga yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan melaksanakan
peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan eksekutif),
membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (kekuasaan legislatif), dan
kekuasaan mengadili (kekuasaan yudikatif).�
Negara juga dapat mendirikan badan hukum publik atau lembaga negara lain
seperti pemerintah daerah, atau mendirikan badan hukum perdata seperti
perusahaan milik negara, koperasi, dan badan hukum milik negara untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.�
Lembaga-lembaga yang� dapat
mewakili negara tersebut disebut sebagai agen negara (state agent) (Sucharitkul, 1959). Pada penelitian terdahulu (Rahajeng, 2011)
menjelaskan teori-teori HPI dan penerapannya dalam kasus perusahaan Indonesia,
PT Kalbe Farma Tbk melawan JP Morgan Chase
Bank National Association. Pada penelitian tersebut, aspek HPI yang
dianalisis antara lain status personal badan hukum, hukum acara perdata
internasional, forum yang berwenang untuk memeriksa perkara, dan pengajuan
gugatan untuk perkara yang telah diputus oleh pengadilan asing. Dalam
penelitian ini, akan dibahas penerapan teori HPI dalam penerapan kasus
perusahaan Indonesia, khususnya perusahaan BUMN yaitu Jamsostek melawan Anglo
Iberia dan Garuda Indonesia melawan ACCC. Penelitian ini akan menganalisa penerapan
teori imunitas negara bagi perusahaan BUMN.
Dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, pemerintah melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, berupa tindakan hukum publik dan tindakan hukum perdata.� Tindakan hukum publik (selanjutnya disebut sebagai acta jure imperii) adalah tindakan yang dilakukan pemerintah berdasarkan ranah hukum publik, misalnya membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat untuk umum. Tindakan hukum perdata adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan ranah hukum perdata, misalnya pada saat negara mengadakan transaksi dagang dengan negara lain, atau ketika pemerintah negara membeli teknologi, infrastruktur, kendaraan, dan kebutuhan lain yang dibutuhkan oleh penduduknya (pengadaan barang dan jasa atau procurement) dari pihak-pihak yang menyediakannya (Juwana, 2002). Tindakan negara dalam posisinya sebagai pedagang tersebut dikenal sebagai acta jure gestiones (Adolf, 2006). Ketika melakukan transaksi dagang, umumnya negara akan mengadakan hubungan hukum dengan mitra (yang lazimnya merupakan pihak swasta) (Adolf, 2006) dalam sebuah kontrak bisnis (Adolf, 2006),� dengan diwakili oleh perusahaan milik negara atau state owned enterprise. (Juwana, 2002).
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
menggunakan bahan pustaka atau buku sebagai bahan utama penelitian (Soekanto & Mamudji, 2001).
Berdasarkan sifatnya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif-analitis
sebab bertujuan menggambarkan secara tepat teori imunitas tindakan negara dan
menganalisis penerapan batasan commercial
activity dalam sengketa imunitas BUMN berdasarkan peraturan
perundang-undangan terkait. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder, yaitu data penelitian yang tidak diperoleh langsung dari
lapangan melainkan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Alat pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yang terkait
dengan kedua putusan yang dibahas dalam penelitian ini. Studi dokumen yaitu
alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis. Adapun data-data
sekunder yang digunakan adalah bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang
mempunyai kekuatan mengikat, antara lain berupa peraturan perundang-undangan
serta putusan pengadilan.
Peraturan perundang-undangan yang akan penulis gunakan antara lain adalah Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Foreign Sovereign Immunity Act 1976, Foreign States Immunities Act 1985, United States Code Title 31, United States Code Title 28, dan United Nations Convention on Jurisdictional Immunities of States and Their Property tahun 2004. Lebih lanjut, bahan hukum sekunder juga digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.� Penjelasan bahan hukum primer akan menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, penelitian, tesis, dan artikel-artikel dari internet. Selain itu, penulis juga menggunakan jurnal serta pendapat para ahli hukum terkait dengan imunitas dalam Hukum Perdata Internasional.
A. Hasil Penelitian
Terdapat dua konsep imunitas tindakan negara dalam hukum
internasional yaitu doktrin imunitas negara mutlak dan doktrin imunitas negara
terbatas. Doktrin imunitas negara mutlak adalah suatu ajaran yang menyatakan
bahwa negara dalam hal apapun tidak dapat digugat di hadapan pengadilan
nasional negara lain, tanpa persetujuan dari negara yang bersangkutan (McMenamin, 2013). Sifat mutlak dari imunitas
negara ini mengandung� �arti tidak diberikan jalan sedikitpun untuk
membawa negara asing ke hadapan forum nasional negara lain (McMenamin, 2013). Dalam hal ini tidak ada
batasan terhadap tindakan-tindakan negara. Bagaimanapun sifat tindakan
tersebut, baik komersial maupun untuk kepentingan publik, tidak dapat digugat
di dalam forum pengadilan negara lain. Sedangkan doktrin imunitas negara
terbatas adalah suatu ajaran yang menyatakan bahwa kekebalan atau imunitas dari
yurisdiksi pengadilan asing hanya diberikan kepada jure imperii, tidak kepada jure
gestiones (Shaw, 2021).
Berdasarkan doktrin tersebut, negara yang melakukan tindakan perdata tidak dapat diberikan imunitas dan dapat dimintakan pertanggungjawaban layaknya individu dalam suatu sengketa Konsekuensi logis dari diterimanya doktrin imunitas negara terbatas adalah munculnya dua jenis tindakan negara, yaitu tindakan negara yang mendapatkan imunitas dan yang tidak mendapatkan imunitas (Shaw, 2021). Terdapat 2 metode untuk membedakan kedua tindakan tersebut yaitu metode nature test dan pendekatan purpose test. Nature test adalah metode untuk membedakan acta jure imperii dan acta jure gestiones dengan melihat pada sifat tindakan yang dilakukan (nature of the activity). Apabila tindakan yang dilakukan negara termasuk dalam kegiatan komersial atau dapat dilakukan oleh individu atau badan hukum perdata, maka imunitas tidak dapat diberikan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan purpose test adalah metode untuk membedakan antara tindakan negara yang bersifat publik dan bersifat komersial dengan melihat pada tujuan dilakukannya tindakan tersebut. Metode ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan negara dianggap bersifat publik dan dilindungi imunitas (Brand & Herrup, 2008).
Dalam teori manajemen terdapat 3 model manajemen state owned enterprise, yaitu decentralized, dual model dan centralized (de Acevedo S�nchez, 2016). �Pada model desentralisasi, berbagai perusahaan dikelola dan diawasi oleh beberapa kementerian memiliki tanggung jawab. Pada dual model satu atau lebih kementerian, seperti kementerian keuangan atau kementerian terkait, menjalankan fungsi kepemilikan khusus. Ini adalah model yang ditemukan di negara-negara seperti Brasil, Bulgaria, Meksiko, Vietnam, dan lainnya. Apakah ini menyerupai sistem yang lebih terpusat atau terdesentralisasi akan tergantung pada fungsi yang diemban oleh masing-masing kementerian. Model manajemen terpusat menyatakan bahwa state owned enterprise memiliki pemilik tunggal. Bentuk state owned enterprise dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori menurut tingkat pemisahan mereka dari kekuatan politik yaitu kementerian, agency dan holding company. Dalam hal bentuk state owned enterprise adalah kementerian, maka fungsi kepemilikan dilakukan oleh departemen atau direktorat. Ini adalah model yang paling sedikit menikmati independensi politik. Dalam hal� bentuk state owned enterprise adalah agency, maka independensi yang dimiliki lebih besar daripada yang dimiliki oleh kementerian, biasanya dalam kerangka undang-undang publik. Dalam hal bentuk state owned enterprise berbentuk holding company maka biasanya diatur oleh hukum perdata dan memiliki independensi anggaran dan manajerial (de Acevedo S�nchez, 2016).
Amerika Serikat dan Australia menganut doktrin imunitas negara terbatas. Amerika Serikat menerapkan doktrin tersebut dalam Foreign Sovereign Immunity Act 1976 (FSIA 1976). Berdasarkan FSIA 1976, suatu negara asing, lembaga negara dan kelengkapannya pada prinsipnya kebal terhadap yurisdiksi pengadilan Amerika Serikat (Von Mehren, 1978). Akan tetapi, apabila negara tersebut melakukan tindakan yang termasuk dalam pengecualian pemberian imunitas berlaku, maka imunitas tidak akan diberikan. Pengecualian kegiatan komersial merupakan perwujudan dari teori imunitas negara terbatas dan merupakan pengecualian yang paling sering diperkarakan (Brand, 2012) Pasal 1603 huruf (d) FSIA 1976 mendefinisikan kegiatan komersial sebagai kegiatan komersial biasa atau kegiatan komersial tertentu. Terdapat tiga kategori dari kegiatan komersial yang dapat menghalangi pemberian imunitas yaitu:
1. Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu kegiatan komersial yang telah dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat. Berdasarkan kategori ini, suatu kegiatan adalah kegiatan komersial apabila dilakukan di Amerika Serikat dan kegiatan komersial tersebut memberikan dampak di wilayah Amerika Serikat. Kategori ini merupakan kategori yang paling mudah untuk diterapkan (Folsom et al., 2012).
2. Apabila dilakukan suatu perbuatan di dalam wilayah Amerika Serikat dalam hubungannya dengan suatu kegiatan komersial di negara asing di tempat lain. Kategori ini jarang diterapkan karena umumnya gugatan terkait kegiatan komersial didasarkan atau dikombinasikan dengan kategori pertama
3. Apabila suatu perbuatan dilakukan di luar wilayah Amerika Serikat tetapi dalam hubungannya dengan suatu kegiatan komersial dari negara asing di luar negeri dan perbuatan tersebut telah menyebabkan suatu Akibat Langsung di Amerika Serikat (Von Mehren, 1978). Syarat Akibat Langsung dalam ketentuan ini masih diperdebatkan maknanya. Beberapa pengadilan federal sepakat untuk mengikuti interpretasi dari Second Restatement of the Law of Foreign Relation. Menurut Section 18 dari Restatement of the Law of Foreign Relation, agar suatu kondisi dapat dikatakan memberikan Akibat Langsung, maka kondisi tersebut haruslah substansial, langsung dan dapat diperkirakan. Syarat substansial mengandung arti adanya konsekuensi kerugian finansial yang signifikan (O�Donoghue, 1991). Syarat langsung mengandung arti tidak ada peristiwa yang menghalangi tindakan tergugat untuk mengakibatkan kerugian kepada penggugat (O�Donoghue, 1991) Syarat� dapat diperkirakan mengandung arti bahwa kerugian yang diderita tergugat sudah dapat diperkirakan sebelumnya(Al-Sanea et al., 2016) Akan tetapi, tidak semua pengadilan mengikuti interpretasi Restatement tersebut. Dalam kasus Texas Trading & Milling Corp. v. Federal Republic of Nigeria misalnya, Pengadilan Second Circuit menyatakan bahwa syarat Akibat Langsung baru terpenuhi apabila terjadi kerugian finansial (Trading, n.d.)
Australia menerapkan doktrin imunitas negara terbatas dalam Foreign States Immunities Act 1985. Menurut
Section 9 FSIA 1985, kecuali
dinyatakan sebaliknya, sebuah negara asing dan entitas terpisah (Campbell & Goodman,
2009) berhak mendapatkan imunitas dari yurisdiksi
Pengadilan Australia Penerapan
doktrin imunitas terbatas terlihat dalam ketentuan mengenai transaksi komersial
sebagai pengecualian pemberian imunitas. Definisi transaksi komersial dalam
FSIA 1985 menggambarkan transaksi apa saja yang kemungkinan besar dilakukan
oleh suatu negara asing. Menurut Section
11 (3) FSIA 1985 transaksi komersial adalah :
�a commercial, trading, business, professional or industrial or like transaction into which the foreign State has entered or a like activity in which the State has engaged and, without limiting the generality of the foregoing, includes:
(a). a contract for the supply of goods or services;
(b). an agreement for a loan or some other transaction for or in� respect of the provision of finance; and
(c). a guarantee or indemnity in respect of a financial obligation; but does not include a contract of employment or a bill of exchange.�
B.
Pembahasan
Pada penelitian terdahulu dibahas mengenai aspek HPI dalam perkara badan hukum Indonesia melawan badan hukum luar negeri dalam hal ini Amerika Serikat. Pada penelitian tersebut, berdasarkan akta pendirian PT Kalbe Farma Tbk dan UU Perseroan Terbatas no 40 tahun 2007 bahwa status personal PT Kalbe Farma Tbk tunduk pada hukum Indonesia. Sedangkan JP Morgan Chase Bank National Association tunduk pada hukum negara bagian Illinois. Pada penelitian ini terdapat perbedaan yaitu subjek penelitian adalah perusahaan BUMN.�
BUMN diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan antara lain
UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PP No
44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada
Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dan Peraturan �Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan teori
model manajemen state owned enterprise,
dalam hal BUMN diatur dalam undang-undang dalam framework publik sebagai lembaga negara, maka BUMN tersebut
termasuk dalam kategori agency. Namun
dalam hal BUMN diatur dalam undang-undang dengan framework perdata, maka BUMN tersebut termasuk dalam kategori holding company. Dalam kasus ini,
Jamsostek didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 76 Tanggal 22 Januari 1966,
Notaris Harun Kamil, SH. dengan perubahan terakhir Anggaran Dasar Perseroan,
Akta Notaris No. 45 Tanggal 28 Mei 2002, Notaris Imas Fatimah, SH. Sedangkan status sebagai BUMN tercantum dalam PP No. 34 Tahun 1977
tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa Jamsostek termasuk dalam kategori holding company menurut teori manajemen state owned enterprise.
Garuda Indonesia didirikan berdasarkan akta No. 137 tanggal 31 Maret
1950 dari notaris Raden Kadiman. Akta pendirian tersebut telah disahkan oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat keputusannya No. J.A.5/12/10
tanggal 31 Maret 1950 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
Serikat No. 30 tanggal 12 Mei 1950, tambahan No. 136. Status Garuda Indonesia sebagai BUMN tercantum
dalam Pasal 1 PP No 102 tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara
Perhubungan Udara Garuda Indonesia Airways. Dengan demikian, dapat dilihat
bahwa Garuda Indonesia termasuk dalam kategori holding company menurut teori manajemen state owned enterprise.
Selanjutnya, akan dibahas mengenai penerapan pengaturan imunitas
terhadap state owned enterprise dalam
perkara Anglo-Iberia melawan Jamsostek dan Garuda Indonesia melawan ACCC.
Perkara Anglo-Iberia melawan Jamsostek diajukan di Pengadilan Distrik New York,
sedangkan Perkara Garuda Indonesia melawan ACCC diajukan di Pengadilan Federal
Australia district registry New South
Wales yang berkedudukan di Sydney.
Perkara pertama, yaitu perkara Anglo-Iberia melawan Jamsostek
melibatkan Anglo-Iberia, sebuah badan hukum negara bagian Delaware, Amerika
Serikat, sebagai Penggugat I dan Industrial
Re International Inc, sebuah badan hukum negara bagian New York, Amerika
Serikat sebagai Penggugat II. Keduanya mengajukan gugatan terhadap Pemerintah
Indonesia (yang diwakili oleh Kementerian Keuangan) sebagai Tergugat I, PT Jamsostek
Persero, sebuah badan hukum Indonesia, sebagai Tergugat II, dan Prio Adhi
Sartono, seorang warga negara Indonesia sebagai Tergugat III.� Pada tanggal 14 Juli 1997, Anglo Iberia dan Industrial
Re International Inc mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia,
Jamsostek, dan Sartono di Pengadilan Tingkat Distrik New York. Salah satu dasar
gugatan yang diajukan adalah pengecualian pemberian imunitas berupa kegiatan
komersial dalam FSIA 1976. Terhadap gugatan tersebut, Pemerintah Indonesia dan PT
Jamsostek mengajukan eksepsi terhadap kewenangan Pengadilan Distrik New York
berdasarkan FSIA 1976.
Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek berhak mendapatkan imunitas
berdasarkan FSIA 1976 apabila memenuhi unsur dapat dikategorikan sebagai �negara
asing, lembaga negara dan kelengkapannya.� Negara asing berdasarkan FSIA 1976
meliputi berbagai bentuk� negara dan
pemerintahannya, baik kerajaan, republik, negara serikat, negara kesatuan,
negara konfederasi, principality, dan
sebagainya (Brand, 2012). Sedangkan lembaga negara
asing dan kelengkapannya harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut
adalah merupakan badan hukum tersendiri atau badan usaha lainnya, dimiliki oleh
negara asing melalui kepemilikan saham atau cara lainnya, dan bukan merupakan
individu dari negara asing tersebut atau dari Amerika Serikat. Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan, Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek dapat
dikualifikasikan sebagai negara asing dan lembaga negara asing serta
kelengkapannya berdasarkan FSIA 1976. Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek
berhak mendapatkan imunitas dari yurisdiksi pengadilan Amerika Serikat apabila
tidak melakukan kegiatan yang termasuk dalam pengecualian pemberian imunitas
dalam FSIA 1976.
Dasar gugatan Anglo Iberia dan Industrial
Re International Inc adalah pengecualian pemberian imunitas berupa kegiatan
komersial sebagaimana tercantum dalam Pasal 1605(a)(2) FSIA 1976. Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tindakan Sartono dalam
melakukan penipuan tidak dapat diatribusikan kepada Pemerintah Indonesia dan
Jamsostek. Hal ini dikarenakan Sartono tidak mendapatkan kuasa dari Pemerintah
Indonesia dan Jamsostek dalam menggunakan dokumen-dokumen milik Jamsostek
ketika melakukan komunikasi dengan Anglo Iberia dan Industrial Re International Inc. Sartono tidak memiliki wewenang
aktual maupun wewenang yang secara nyata terlihat dari Indonesia dan Jamsostek.
Dengan demikian, kategori pertama dalam Pasal 1605(a)(2) FSIA 1976 tidak
terpenuhi. Lebih lanjut, PT Jamsostek menyelenggarakan kegiatannya dengan
tujuan menjalankan fungsi negara yaitu meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja
dan keluarganya (Jati Kusuma &
Darmastuti, 2011) PT Jamsostek tidak bertujuan untuk mencari
keuntungan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
kegiatan PT Jamsostek sebagai penyelenggara asuransi sosial di wilayah
Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan komersial. Dapat dilihat bahwa, kategori kedua dan ketiga dalam Pasal
1605(a)(2) FSIA 1976 tidak terpenuhi. Sebagai negara asing dan lembaga negara
serta kelengkapannya, Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek berhak mendapatkan
imunitas berdasarkan FSIA 1976. Oleh karena itu, Majelis Hakim dalam perkara
ini telah tepat dalam memutuskan bahwa Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek
berhak mendapatkan imunitas berdasarkan FSIA 1976.
Perkara kedua, yaitu perkara Garuda Indonesia melawan ACCC
melibatkan ACCC, sebuah lembaga pelaksana peraturan perundang-undangan
Australia, sebagai Penggugat� dan Garuda Indonesia,
sebuah badan hukum Indonesia sebagai Tergugat. Pada tahun 2008, ACCC mengajukan
gugatan kepada sejumlah maskapai penerbangan yang diduga terlibat dalam
kegiatan penetapan harga dan kesepakatan yang bersifat anti persaingan dalam
bentuk biaya tambahan yang diterapkan pada pengangkutan kargo udara. Salah satu
maskapai yang digugat oleh adalah Garuda Indonesia. ACCC mengajukan gugatan di
Pengadilan Federal Australia district
registry New South Wales yang berkedudukan di Sydney pada tanggal 2 September
2009. Inti dari gugatan ACCC adalah pertama, bahwa Garuda Indonesia beserta
beberapa maskapai internasional lainnya telah melakukan tindakan penetapan
harga melalui penetapan harga kargo udara dalam tiket pesawat. Tindakan
penetapan harga dilarang dalam Pasal 45A Trade
Practices Act 1974 dan bertentangan dengan Pasal 45(2)(a)(ii) (Taperell
et al., 1983) dan 45(2)(b)(ii)(Taperell et al., 1983) dari Trade
Practices Act tersebut. Menurut ACCC, tindakan Garuda Indonesia telah
mengakibatkan meningkatnya harga kargo udara pada berbagai rute dalam dan luar
Australia. Oleh karena itu, ACCC
menuntut ganti rugi dari Garuda Indonesia termasuk denda sebagaimana tercantum
dalam Pasal 76 Trade Practices Act 1974 Garuda Indonesia mengajukan eksepsi bahwa
Pengadilan Australia tidak dapat mengadili perkara ini karena Garuda Indonesia merupakan suatu lembaga negara dan kelengkapan dari Republik Indonesia sehingga berhak
atas imunitas yang diberikan oleh pasal 9 dan pasal 22 FSIA 1985.
Garuda Indonesia berhak mendapatkan imunitas berdasarkan FSIA 1985
apabila Garuda Indonesia dapat dikualifikasikan sebagai entitas terpisah. Definisi
entitas terpisah adalah merupakan suatu lembaga negara dan kelengkapannya yang
terpisah dari departemen atau organ eksekutif pemerintah negara asing (Al-Sanea
et al., 2016) Terdapat 2 tes yaitu tes kendali dan tes fungsi untuk menentukan
dapat tidaknya suatu entitas dikategorikan sebagai lembaga negara dan
kelengkapannya. Tes kendali menentukan bahwa sebuah entitas terpisah adalah
entitas yang dikendalikan oleh negara asing melalui suatu peraturan
perundang-undangan (碓井光明, 2000) Sedangkan tes fungsi menentukan bahwa entitas
terpisah adalah entitas yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sebagai sebuah
BUMN, Garuda Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara. Lebih lanjut, sebagai BUMN, Garuda Indonesia
didirikan dengan tujuan sebagai manifestasi dari upaya memajukan kesejahteraan
umum dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Dengan demikian, berdasarkan tes kendali dan tes fungsi, Garuda
Indonesia memenuhi syarat sebagai lembaga negara dan kelengkapannya. Lebih
lanjut, Garuda Indonesia memiliki status hukum yang terpisah dari departemen
atau organ eksekutif pemerintah Indonesia. Sebagai badan hukum perdata, Garuda
Indonesia memiliki tanggung jawab dan kekayaan yang terpisah dari pemerintah
Indonesia. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Garuda Indonesia dapat
dikualifikasikan sebagai entitas terpisah. Konsekuensinya, Garuda Indonesia
berhak mendapatkan imunitas dari yurisdiksi pengadilan Australia apabila tidak
melakukan kegiatan yang termasuk dalam pengecualian pemberian imunitas dalam
FSIA 1985.
Menurut Section 11(3) FSIA
1985, sebuah negara asing dan entitas terpisah tidak berhak mendapatkan imunitas
apabila melakukan kegiatan komersial. Berdasarkan praktek pengadilan di
Australia, kegiatan komersial dapat diinterpretasikan sebagai kegiatan apa saja yang mengandung unsur komersial.
Kegiatan komersial tidak harus lahir dari sebuah perjanjian. Sedangkan dalam
pembelaannya, Garuda Indonesia berulang kali menyatakan bahwa transaksi
komersial sebagaimana dimaksud dalam Section
11(3) FSIA 1985 harus lahir dari sebuah perjanjian. Oleh karena tindakan
penetapan harga yang dilakukan tidak dituangkan dalam bentuk perjanjian,
seharusnya tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai transaksi
komersial. Pembelaan Garuda Indonesia tersebut bertentangan dengan praktek
pengadilan Australia. Oleh karena itu, Majelis Hakim dalam perkara tersebut
telah tepat dalam menyatakan bahwa Garuda Indonesia tidak berhak mendapatkan
imunitas meski dapat dikategorikan sebagai entitas terpisah.
Terdapat 2 konsep imunitas tindakan negara dalam hukum internasional yaitu imunitas negara mutlak dan imunitas negara terbatas. Menurut konsep imunitas negara mutlak, suatu negara dalam hal apapun tidak dapat digugat di hadapan pengadilan nasional negara lain tanpa adanya persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sedangkan menurut konsep imunitas negara terbatas, suatu negara hanya dapat diberikan imunitas terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya dalam kapasitasnya sebagai badan hukum publik.
Dalam FSIA 1976 Amerika Serikat, bentuk pengaturan imunitas terhadap state owned enterprise adalah apabila state owned enterprise memenuhi 2 unsur. Unsur pertama adalah dapat dikategorikan sebagai lembaga negara dan kelengkapannya. Unsur kedua adalah tidak melakukan kegiatan komersial. Definisi dari kegiatan komersial berdasarkan FSIA 1976 adalah kegiatan komersial biasa atau kegiatan komersial tertentu. Terdapat tiga kategori kegiatan komersial yang dapat menghalangi pemberian imunitas yaitu apabila kegiatan tersebut dilakukan di wilayah Amerika Serikat, apabila sebuah perbuatan dilakukan di wilayah Amerika Serikat yang berhubungan dengan kegiatan komersial di wilayah negara lain, dan apabila suatu perbuatan dilakukan di luar wilayah Amerika Serikat akan tetapi berhubungan dengan kegiatan komersial dan perbuatan tersebut mengandung akibat langsung. Apabila sebuah state owned enterprise terbukti memenuhi unsur sebagai lembaga negara serta kelengkapannya dan tidak melakukan kegiatan komersial, maka state owned enterprise tersebut berhak atas imunitas berdasarkan FSIA 1976.
Dalam FSIA 1985 Australia, bentuk pengaturan imunitas terhadap state owned enterprise adalah apabila state owned enterprise memenuhi 2 unsur. Unsur pertama adalah dapat dikategorikan entitas terpisah. Unsur kedua adalah tidak melakukan transaksi komersial. Definisi transaksi komersial berdasarkan FSIA 1985 adalah transaksi apa saja yang bersifat komersial yang dapat dilakukan oleh negara asing. Contoh transaksi komersial adalah kontrak penyediaan barang dan jasa, perjanjian pinjaman, dan perjanjian penjaminan. Apabila sebuah state owned enterprise terbukti memenuhi unsur sebagai entitas terpisah dan tidak melakukan transaksi komersial, maka state owned enterprise tersebut berhak atas imunitas berdasarkan FSIA 1985.
Majelis Hakim telah menerapkan pengaturan imunitas terhadap state owned enterprise dalam perkara Anglo-Iberia melawan Jamsostek. Majelis Hakim telah menerapkan ketentuan mengenai lembaga negara dan kelengkapannya dengan melakukan pemeriksaan terhadap Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek berdasarkan unsur-unsur dalam Pasal 1603(a) FSIA 1976. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap perkara Anglo-Iberia melawan Jamsostek, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek memenuhi unsur-unsur Pasal 1603(a) FSIA 1976 tersebut. Lebih lanjut, Majelis Hakim juga telah menerapkan ketentuan terkait kegiatan komersial dengan melakukan pemeriksaan terhadap tindakan Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek berdasarkan Pasal 1605(a)(2) FSIA 1976. Berdasarkan analisis yang dilakukan, Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek tidak terbukti memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 1605(a)(2) FSIA 1976 tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim telah tepat dalam memutuskan bahwa Pemerintah Indonesia dan PT Jamsostek dapat dikualifikasikan sebagai negara asing dan lembaga negara serta kelengkapannya yang tidak melakukan kegiatan komersial, sehingga berhak mendapatkan imunitas.
Majelis Hakim juga telah menerapkan pengaturan imunitas terhadap state owned enterprise dalam perkara Garuda Indonesia� melawan ACCC. Majelis Hakim telah menerapkan ketentuan mengenai entitas terpisah dan penerapan ketentuan mengenai kegiatan komersial. Majelis Hakim menerapkan ketentuan mengenai entitas terpisah dengan melakukan pemeriksaan terhadap Garuda Indonesia berdasarkan ketentuan Section 3(1) FSIA 1985. Berdasarkan tes kendali dan tes fungsi, dapat disimpulkan bahwa Garuda Indonesia memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan Section 3(1) FSIA 1985 tersebut. Lebih lanjut, Majelis Hakim juga telah menerapkan ketentuan terkait transaksi komersial dengan melakukan pemeriksaan terhadap tindakan kesepakatan penetapan harga oleh Garuda Indonesia berdasarkan Section 11(3) FSIA 1985. Berdasarkan analisis perkara, dapat dilihat bahwa tindakan Garuda Indonesia berupa kesepakatan penetapan harga memiliki sifat komersial. Oleh karena itu, tindakan Garuda Indonesia dapat dikategorikan sebagai transaksi komersial. Dengan demikian, Majelis Hakim telah tepat dalam memutuskan bahwa Garuda Indonesia tidak berhak mendapatkan imunitas meski ia terbukti sebagai entitas terpisah berdasarkan FSIA 1985.
BIBLIOGRAFI
Adolf, H. (2006). Hukum Perdagangan
Internasional. PT Rajagrafindo Persada. Google Scholar
Al-Sanea, S. A., Zedan, M. F., Al-Mujahid, A.
M., & Al-Suhaibani, Z. A. (2016). Optimum R-Values Of Building Walls Under
Different Climatic Conditions In The Kingdom Of Saudi Arabia. Applied Thermal
Engineering, 96, 92�106.Google Scholar
Atmadja, A. P. S. (2005). Keuangan Publik
Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, Dan Kritik. Jakarta: The University Of
Indonesia Faculty Of Law Publishing Agency.Google Scholar
Brand, R. A. (2012). Federal Judicial
Center International Litigation Guide: Recognition And Enforcement Of Foreign
Judgments. U. Pitt. L. Rev., 74, 491.Google Scholar
Brand, R. A., & Herrup, P. (2008). The
2005 Hague Convention On Choice Of Court Agreements: Commentary And Documents.
Cambridge University Press. Google Scholar
Campbell, B., & Goodman, C. (2009). Litigation
Against Foreign States: The Foreign States Immunities Act 1985 (Cth). JUDICIAL
OFFICERS BULLETIN, 21(9), 71�72.Google Scholar
De Acevedo S�nchez, E. M. (2016). State-Owned
Enterprise Management.Google Scholar
Folsom, R. H., Gordon, M. W., Spanogle, J. A.,
Fitzgerald, P. L., & Van Alstine, M. P. (2012). International Business
Transactions: A Problem-Oriented Coursebook. Thomsonreuters.
Jati Kusuma, I., & Darmastuti, I.
(2011). Pelaksanaan Program Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Karyawan PT. Bitratex
Industries Semarang. Universitas Diponegoro.Google Scholar
Jimly, A., & Dr, S. H. (2006). Perkembangan
Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.Google Scholar
Juwana, H. (2002). Bunga Rampai Hukum
Ekonomi Dan Hukum Internasional. Lentera Hati, Jakarta.Google Scholar
Marbun, S. F., & MD, M. M. (1987). Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara. Liberty.Google Scholar
Mcmenamin, M. (2013). State Immunity Before
The International Court Of Justice: Jurisdictional Immunities Of The State (Germany
V Italy). Victoria U. Wellington L. Rev., 44, 189.Google Scholar
Muslimin, A. (1985). Beberapa Asas Dan Pengertian
Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi. Pb. Alumni.Google
Scholar
O�Donoghue, M. H. (1991). Gould, Inc. V. Mitsui
Mining & Smelting Co. American Journal Of International Law, 85(1),
176�178.Google Scholar
Rahajeng, Wuri Prastiti (2014). Aspek Hukum
Perdata Internasional dalam Kasus Antara JP Morgan Chase Bank National
Association melawan PT Kalbe Farma Tbk
Shaw, M. N. (2021). International Law.
Cambridge University Press.Google Scholar
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian
Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.Google Scholar
Sucharitkul, S. (1959). State Immunities
And Trading Activities In International Law. Praeger.Google Scholar
Taperell, G. Q., Vermeesch, R. B., & Harland,
D. J. (1983). Trade Practices And Consumer Protection: A Commentary On The Trade
Practices Act 1974. Butterworths.Google Scholar
Trading, T. (N.D.). Milling Corp. V. Federal
Republic Of Nigeria, 647. Google Scholar
Von Mehren, R. B. (1978). The Foreign
Sovereign Immunities Act Of 1976. Colum. J. Transnat�l L., 17,
33.Google Scholar
碓井光明. (2000). Nicholas Seddon, Goverment
Contracts: Federal, State And Local 2nd Ed.(The Federation Press, 1999, 342pp.)[和文](学界展望< 財政法>). 國家學會雑誌, 113(7), 783�786. Google Scholar
Copyright holder: Asha Arif (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |