Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 9 September 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

OPTIMALISASI PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN POTENSI EKONOMI LOKAL DI KAMPUNG WAEREBO NUSA TENGGARA TIMUR

 

Syarif Shidqi Rabbani, Arief Bachtiar, Riko Setya Wijaya

Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 Agustus 2021

Direvisi

05 September 2021

Disetujui

15 September 2021

Pengembangan suatu tempat yang dijadikan daerah pariwisata diharapkan menjadi sumber dan potensi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan yang mampu menggalakan kegiatan ekonomi termasuk kegiatan sektor lain sehingga lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat, pendapatan dan daerah, serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pembangunan berbagai potensi kepariwisataan nasional dengan tetap memelihara kepribadian bangsa dan kelestarian fungsi serta mutu lingkungan hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis komponen penawaran pariwisata di objek wisata Waerebo, serta mengetahui dan menganalisis pengembangan dan besarnya potensi ekonomi lokal di Waerebo. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, kuesioner, dokumentasi dan gabungan keempatnya. Hasil penelitian yang didapat yakni pengoptimalisasian wisata di kampung adat Waerebo dapat diterapkan melalui pengembangan-pengembangan fasilitas, baik fasilitas ketika akan menuju pada wisata kampung adat Waerebo.

 

ABSTRACT�������������������������

The development of a place that is used as a tourism area is expected to be a reliable source and potential of economic activity that is able to promote economic activities including other sector activities so that employment, community income, income and regional income, as well as foreign exchange earnings increase through efforts to develop and develop various national tourism potentials. while maintaining the nation's personality and preserving the function and quality of the environment. The purpose of this study is to identify and analyze the components of tourism offerings in Waerebo tourism objects, as well as to identify and analyze the development and magnitude of local economic potential in Waerebo. The research method used is descriptive research with a qualitative approach. Data collection techniques were carried out by observation, interviews, questionnaires, documentation and a combination of the four. The results of the research obtained are that optimizing tourism in the Waerebo traditional village can be applied through the development of facilities, both facilities when going to Waerebo traditional village tourism.

Kata Kunci: pariwisata; potensi ekonomi; lokal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: tourism; economic potential; local



 

Pendahuluan

Pariwisata di Indonesia merupakan salah satu sektor unggulan yang bisa menjadi kunci pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara. Menurut (Wahab 2003) yang dikemukakan dalam bukunya dengan judul Tourism Management� pariwisata merupakan salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, standar hidup dan menstimulasi sektor- sektor produktivitas lainnya. Selama lima tahun terakhir ini pariwisata Indonesia telah mengalami peningkatan aktivitas ekonomi dan pertumbuhan dunia usaha serta pengakenaragaman kuantitatif wisata yang terus berkelanjutan di beberapa daerah-daerah di Indonesia (Simarmata, Simarmata, and Ratnaningtyas 2019). Pariwisata menjadi salah satu sektor ekonomi yang memiliki peran terbesar dan tercepat pertumbuhannya di seluruh dunia. Sektor pariwisata selalu masuk kedalam urutan tiga besar penyumbang terbesar devisa bagi negara Indonesia sendiri. Pertumbuhan peran pariwisata yang cukup tinggi mampu menggerakkan perekonomian nasional di Indonesia sehingga menyebabkan banyak faktor-faktor yang positif untuk Indonesia (El Hasanah 2015) karena tingginya kontribusi pariwisata di Indonesia bisa berpengaruh untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional sehingga bisa memiliki dampak pada kesejahteraan masyarakat.

Salah satu provinsi yang memiliki kemampuan wisata merupakan Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur memiliki berbagai destinasi wisata yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya tarik atensi turis, baik dalam lingkungan turis nusantara ataupun turis mancanegara. Nusa Tenggara Timur kini menjadi salah satu destinasi wisata yang tersorot karena saat ini salah satu pariwisatanya yang diandalkan adalah Taman Nasional Komodo yang telah di nobatkan sebagai The 7 Wonder World oleh UNESCO. Di Taman Nasional Komodo dapat ditemukan salah satu peninggalan zaman purba yang hingga saat ini keberadaannya dilindungi untuk mencegah kepunahan yaitu Komodo.

Salah satu wisata yang memiliki potensi sangat besar adalah Kampung Waerebo. Kampung Waerebo adalah suku adat asli di Kabupaten Manggarai. Kampung Waerebo ini mulai dikenal oleh wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara saat setelah berhasil mendapatkan penghargaan terbaik dari Unesco dengan kategori wisata budaya konservasi pada tahun 2013. Selain itu juga, pada tahun 2018 Kampung Waerebo juga mendapatkan penghargaan ISTA. Dari penghargaan yang telah didapatkan oleh Kampung Waerebo, secara data dan statistik jumlah kunjungan wisatawan juga semakin banyak. Ditambah lagi pada tahun 2021 ini, pembangunan kepariwisataan di Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu destinasi Indonesia Super Prioritas. Hal seperti ini sangat menarik untuk dilakukan sebuah penelitian. Penghargaan yang diterima Kampung Waerebo secara data sangat berpengaruh terdapat kunjungan wisatawan. Apabila Nusa Tenggara Timur menjadi bagian dari pembangunan kepariwisataan yang didukung penuh oleh pemerintah, maka juga akan terjadinya kepariwisataan yang memiliki daya saing. Seperti halnya Pulau Bali yang sudah menjadi sorotan bagi wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara. Diharapkan juga dengan adanya Progam Kerja dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang bertepatan di Nusa Tenggara Timur sehingga bisa mengoptimalisasikan objek wisata yang ada di Nusa Tenggara Timur juga memberikan dampak kepada masyarakat lokal sehingga terciptanya kekayaan sumber daya alam yang berdikari.

Kampung Waerebo cukup memiliki daya tarik yang memikat banyak hati para wisatawan asing maupun lokal untuk berkunjung. Kampung Waerebo merupakan kampung tradisional yang dihuni oleh masyarakat asli keturunan dari Suku Manggarai terletak pada ketinggian 1120 Mdpl yang membuatnya mendapatkan julukan �Kampung Diatas Awan� dan berada pada sebuah hutan lindung di daerah Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Untuk menuju ke Kampung Waerebo sendiri bukan perjalanan yang mudah, wisatawan harus rela untuk melewati jalan yang panjang serta harus melakukan pendakian selama 3 jam, perjalanan menunuju Waerebo dikelilingi hutan hujan yang masuk dalam kategori hutan tropis yang lebat dan termasuk dalam daerah konservasi, sungai dan tentunya melintasi bibir jurang, namun wisatawan asing khususnya dari negara di eropa sangat antusias dan paling banyak melakukan kunjungan menuju kampung adat Waerebo karena keunikan arsitektur bangunan rumah asli masyarakat Kampung Waerebo yang unik, bangunan tersebut memiliki nama adat yaitu Mbaru Niang. Rumah Niang atau Mbaru Niang merupakan rumah adat yang bangunannya mempunyai atap kerucut yang menjulang tinggi dan terbuat dari daun lontar serta ijuk yang menjulur kebawah hingga nyaris menyentuh tanah.

Fransiskus Mudir selaku pemimpin di Kampung Waerebo Tourism Organization menuturkan bahwa filosofi dari bentuk kerucut Mbaru Niang adalah melambangkan simbol dari perlindungan dan persatuan antar masyarakat Kampung Waerebo itu sendiri, sementara bagian lantai rumahnya yang berbentuk lingkaran melambangkan simbol dari bentuk harmonisasi dan keadilan antar warga Waerebo. Di Kampung Waerebo sendiri mempunyai 7 Mbaru Niang, dan jumlah tersebut tidak sembarang dalam membangunnya, mengandung arti sebagai bentuk penghormatan terhadap 7 arah dari gunung yang ada disana dan masyarakat meyakini bahwa hal tersebut berfungsi sebagai pelindung mereka sebagai masyarakat Kampung Waerebo. Hingga kini masyarakat Kampung Waerebo berhasil mempertahankan serta melestarikan peninggalan dari nenek moyang mereka dari sebelum abad ke 18 hingga sekarang.

Menjadi Situs Warisan Budaya Dunia Unesco: Kampung Waerebo sudah tercatat dan diakui sebagai warisan budaya dunia unesco sejak bulan Agustus tahun 2012. Terdapat Mata Air Wae Woang: Masyarakat Kampung Waerebo sangat menjaga keberlangsungan alam, salah satunya adalah mata air. Mata air sangat berguna untuk mengairi lahan perkebunan mereka, selain itu juga berperan dalam setiap upacara adat. Berada di Tengah Lembah Pegunungan: Kampung Waerebo ditengah lembah dan pegunungan yang masih terjaga, Kampung Waerebo juga berada di ketinggian 1.200 MDPL sehingga kawasannya cukup dingin dan sejuk. Terdapat Hutan Larangan: Di kawasan Kampung Waerebo terdapat hutan larangan begitu masyarakat sekitar menyebutnya. Masyarakat tidak ada yang mengambil kayu dari hutan ini, sehingga kelestariannya sangat terjaga.

Kementerian Pariwisata mengemas segala macam tempat wisata di Indonesia dengan slogannya Visit Indonesia dan khususnya daerah wisata di Kabupaten Manggarai tepatnya pada Kampung Waerebo, slogan tersebut sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah kepada pariwisata di Indonesia, khususnya pariwisata pada bagian Indonesia Timur dengan harapan dapat membantu dalam kemajuan pariwisata di Indonesia. Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai mempromosikan wisata yang ada di daerahnya. Dalam hal ini bertujuan untuk membangun sarana komunikasi dan infrastruktur daerah agar lebih maju karena daerah Indonesia bagian timur khususnya di Pulau Flores masih terbilang masih jauh dari kata maju.

Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai mempromosikan destinasi pariwisata yang terdapat di Nusa Tenggara Timur, Salah satu tujuan diadakannya kampanye pariwisata daerah adalah untuk menarik pemasukan daerah untuk meningkatkan sarana infrastruktur yang ada di daerah tersebut, sehingga potensi parwisata dapat meningkat dan dapat lebih menaikan daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Infrastruktur jalan menuju destinasi pariwisata di Manggarai masih sangat membutuhkan perhatian. Untuk itu sangat menarik meneliti bagaimana dan apakah langkah yang akan diambil Dinas Pariwisata yang terjun langsung dalam menjalankan programnya sektor pariwisata daerah yang ada di Manggarai khususnya Kampung Waerebo (Yuda Prasetiyo 2021). Pengembangan potensi ekonomi pariwisata di Labuan Bajo berpengaruh pada tempat wisata Kampung Waerebo, maka di Kampung Waerebo sendiri untuk dapat memaksimalkan potensi alam ini harus dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pariwisata. Salah satunya dengan lebih meningkatkan sarana dan prasarana yang ada seperti infrastruktur dan ekosistem kepariwisataan, sehingga dapat masuk ke sebuah komponen penawaran pariwisata (Husna 2013).

Waerebo, Desa Latarlenda, Kabupaten Manggarai barat, Nusa Tenggara Timur kini bergeliat membangun berbagai potensi alam yang dimiliki desanya. Memiliki bentang alam berupa pemandangan hutan yang masih asri, udara sejuk, terkadang turunnya kabut putih menyelimuti panorama Mbaru Niang. Fakta tersebut mampu mengangkat nama Kampung Waerebo. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat saat ini, maka berbagai informasi mengenai produk dan destinasi pariwisata dapat disampaikan pada calon wisatawan melalui berbagai metode baru misalnya melalui media travel blog, online media sosial, aplikasi pada tablet/smartpdhone, dsb (Sriyati, Satria, and Sudewi 2017).

Khusus media sosial, penetrasi yang tinggi menjadikan media sosial sebagai media pemasaran yang menjanjikan. Pengaruh media digital dengan adanya kegiatan swafoto (selfie) yang dilakukan wisatawan dengan mengunggah foto- fotonya maupun beberapa dokumentasi perjalannya di salah satu destinasi wisata di Indonesia melalui fasilitas platform media sosial, hal tersebut dapat menarik minat wisatawan untuk datang dan mencari tempat-tempat yang unik untuk mengabadikan perjalanan mereka melalui penciptaan sisi yang menarik untuk tampil di Instagram (instagrammable) sebagai pemenuhan keinginan wisatawan (Listiono and Winarni 2019).

Dengan perkembangan teknologi penggunaan strategi menggunakan pemanfaatan media sosial� yang� tepat� dan� eksekusi� strategi yang baik, maka Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beserta industri pariwisata di Indonesia dapat menghasilkan kepedulian dan citra positif pariwisata nasional sehingga jumlah kunjungan dan pergerakan wisatawan manca negara dan nusantara akan meningkat (Atiko, Sudrajat, and Nasionalita 2016).

Dasar pemikiran digunakannya metode ini adalah karena penelitian ini ingin mengetahui tentang fenomena yang ada dan dalam kondisi yang alami bukan dalam kondisi terkendali, labolatoris atau eksperimen (Sopacua and Primandaru 2020). Di samping itu karena peneliti perlu untuk langsung terjun ke lapangan objek penelitian sehingga jenis penelitian kualitatif deskripstif kiranya lebih tepat untuk digunakan.

Sesuai dengan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu gambaran deskriptif mengenai Optimalisasi Pengembangan Pariwisata dan Potensi Ekonomi Lokal Di Kampung Waerebo, Nusa Tenggara Timur, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendeskrnipsikan data yang peneliti peroleh sebagai hasil suatu penelitian. Dengan menggunakan metode ini, maka peneliti akan mendapatkan data secara utuh dan dapat dideskripsikan dengan jelas sehingga hasil penelitian ini sesuai dengan kondisi di lapangan.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul; �Optimalisasi Pengembangan Pariwisata Dan Potensi Ekonomi Lokal Di Waerebo, Provinsi Nusa Tenggara Timur�

 

Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan hasil secara deskriptif, yang mana peneliti akan mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik atau faktor-faktor tertentu yang menjadi pusat penelitian oleh peneliti. Partisipasi masyarakat pada objek penelitain ini dikaji lewat nilai- nilai, norma, budaya, dan perilaku masyarakat lokal yang terlibat dalam bisnis pariwisata.

Penelitian ini mengkaji objek wisata Kampung Waerebo dengan mengidentifikasi analisis penawaran komponen kepariwisataan yang ada di Kampung Waerebo. Objek wisata yang potensial ini Kampung Waerebo akan dilakukan peneliti melalui pengamatan langsung dengan Wawancara dengan infroman yang telah ditentulan, dilanjutkan dengan observasi mengenai pengembangan potensi ekonomi objek wisata Kampung Waerebo lalu ditutup dengan teknik dokumentasi saat penelitian.

Selain itu, juga melalui kajian pustaka dan studi yang pernah dilakukan oleh beberapa instansi yang ada kaitannya dengan kepariwisataan di Kampung Waerebo ini. Kajian tersebut adalah kajian untuk mendapatkan data sekunder, sehingga secara teori dapat diketahui secara lebih mendalam tentang pengembangan potensi ekonomi objek wisata Kampung Waerebo. Dengan menggunakan metode penelitian yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti akan mendapatkan data secara utuh dan dapat dideskripsikan dengan jelas sehingga hasil penelitian ini benar-benar sesuai dengan kondisi dilapangan yang ada.

Pendekatan deskriptif kualitatif yaitu pendekatan penelitian dimana data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Data-data tersebut dapat diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumentasi pribadi, catatan atau memo, dan dokumen lainnya. Metode diharapkan bagi pembaca dapat membaca tulisan ini seolah-olah terlibat didalamnya dan dapat mengikuti alur cerita seperti berada pada lokasi yang sesungguhnya.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil dari Penelitian Optimalisasi Pengembangan Pariwisata dan Potensi Ekonomi Lokal di Kampung Waerebo ini merupakan proses penelitian yang sudah dilakukan Peneliti dalam kurun waktu selama satu bulan mulai dari 01 April 2021 sampai dengan 30 Mei 2021 dengan sepenuhnya telah melengkapi persyaratan administrasi penelitian mulai dari pengurusan surat izin penelitian pada Universitas Pembangunan Nasional �Veteran� Jawa Timur, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Progam Studi Ekonomi Pembangunan, hingga persetujuan untuk melakukan penelitian di Kampung Waerebo oleh; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah, Camat Langke Rembang Ruteng, Bupati Manggarai.

Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan Analisis Komponen Pariwisata 4A tentang Optimalisasi Pengembangan Pariwisata dan Potensi Ekonomi Lokal di Kampung Waerebo. Selanjutnya, Peneliti melakukan analisis dengan menggunakan teknik Wawancara, Observasi dan Dokumentasi di Kampung Waerebo. Tahapan yang dilakukan oleh Peneliti di Kampung Waerebo adalah sebagai berikut;

1)   Mendatangi wisata objek penelitian di Kampung Waerebo, Satar Mese Barat, Nusa Tenggara Timur.

2)   Mendatangi Informan wisatawan yang berkunjung ke Kampung Waerebo.

3)   Mendatangi Informan Kepala Suku Kampung Waerebo; Bapak Vitalis Haman.

4)   Mendatangi Informan Ketua Lembaga Adat dan Budaya Kampung Waerebo; Bapak Fransiskus Mudir.

5)   Mendatangi Informan Kepala Bidang Destinasi dan Pengembangan Wisata Dinas Pariwisata.

6)   Mendatangi Informan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai.

1.    Sejarah Kampung Waerebo

Sejarah terbentuknya Kampung Waerebo berawal dari leluhur mereka yang merupakan nenek moyang pertama asli Kampung Waerebo dengan nama sebutan nya dalah Eyang Empo Maro. Eyang Empo Maro berasal dari etnis asli nusantara Minangkabau, Sumatera Utara. Tidak terlalu jelas kapan waktu tepatnya dan atas dasar apa Eyang Empo Maro membawa keluarganya merantau melintasi beberapa provinsi besar, mulai dari Pulau Sumatra hingga berlabuh di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka sampai ke arah utara sampai pada akhirnya mereka menemukan tempat yang bernama Waraloka.

Disesuaikan dan dicerita pada kisah zaman dahulu, Eyang Empo Maro melakukan perjalanan tempat dari desa satu ke desa lainnya, dimulai dari Waraloka kemudian ke Mangapa�ang, Todo, Opo, Liho, Mofo, Golo Ponto, Ndara, Golo Pando, Golo Damu, hingga menemukan sebuah tempat bernama Kampung Waerebo. Ketika sedang beristirahat dalam tidurnya Eyang Empo Maro bermimpi bahwa ada hewan seekor musang menyuruhnya pindah tempat tinggal dari Indonesia bagian barat menuju Indonesia bagian timur hingga akhirnya terwujud serta akhirnya memilih Kampung Waerebo menjadi tempat perpindahan terakhir. Dalam sebuah bahasa lokal berbunyi, �Neka hemong kuni agu kalo� yang memiliki arti �Kampung Waerebo adalah tanah kelahiran, warisan, dan tanah air yang tidak akan pernah terlupakan�. Dari sana kemudian membuat peradaban dan tinggal di Kampung Waerebo selamanya hingga memiliki keturunan sampai sekarang.

Setelah dari perjalanan panjang menyusuri daerah-daerah di Indonesia untuk menemukan sebuah tempat tinggal anak dari keturunan Eyang Empo Maro melanjutkan perjuangan pada pendahulu nya mereka untuk tetap melestarian kampung tradisional mereka dan budaya mereka hingga selama-lamanya. Ketika banyak dari mereka yang memilih tinggal didataran yang lebih rendah dengan akses yang lebih mudah dan fasilitas yang lebih memadai, warga Kampung Waerebo justru memilih untuk tetap tinggal dan menetap di kampung mereka di pedalaman kawasan hutan todo belantara dan terus melestarikan budaya lokal mereka agar tetap tumbuh dan tidak tergerus nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para leluhur nya serta berkembang seiring dengan perkembangan zaman (Mahyarni et al. 2015). Sejarah Kampung Waerebo juga diceritakan langung oleh Kepala Suku Kampung Waerebo yaitu Bapak Vitalis Haman.

 

Gambar 1

Sejarah Kampung Waerebo Kepala Suku

"Vitalis Haman"

(Sumber: Hasil Dokumentasi Peneliti

di Kampung Waerebo)

 

2.    Filosofi Masyarakat Kampung Waerebo

Dinamakan Niang karena merupakan sebutan pada sebuah inti rumah di Kampung Waerebo dengan total berjumlah tujuh Niang Kampung Waerebo bangunan, dan salah satunya merupakan rumah adat atau dalam bahasa lokal disebut Mbaru Niang atau rumah kerucut, karena bentuknya kerucut dan runcing di bagian atas. Atap rumah adat ini menggunakan ijuk yang mengikat sampai ke bagian bawah tanah. Mbaru Gendang ini juga menyimpan gendang pusaka milik Kampung Waerebo yang biasa digunakan dalam setiap kegiatan upacara adat. Dari tujuh bangunan yang ada dipakai untuk tinggal masyarakatnya sisa bangunan yang lainnya disebut Niang Gena atau rumah biasa. Dan salah satu Niang Gena saat ini ada yang digunakan sebagai tempat menginap dan beristirahat bagi tamu dan wisatawan yang datang berkunjung ke Kampung Waerebo.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2 Peta Kampung Waerebo

(Sumber: Google Peta)

 

Secara keseluruhan bangunan yang ada dipermukiman Kampung Waerebo ini menghadap kepada tujuh arah mata angin serta masyarakat Kampung Waerebo percaya bahwa kampung yang mereka gunakan sebagai tempat ini ini diberikan perlindungan dan dijaga juga oleh tujuh buah bentangan alam yang disucikan. Bentangan alam itu antara lain:

Tabel 1

Bentangan Alam yang Disucikan Masyarakat

Kampung Waerebo

No

Nama Lokal

Nama Umum

1.

Ulu Waerebo

Mata air Waerebo

2.

Golo Ponto

Gunung Ponto

3.

Golo Mehe

Gunung Mehe

4.

Hembel

Hutan

5.

Golo Polo

Gunung Cadas yang mengeluarkan air

6.

Ponto Nao

Nama Hutan

7.

Ulu Regang

Mata air Regang

 

Nama bentangan alam yang disucikan oleh masyarakat Kampung Waerebo ini semua nya memiliki definisi dan arti nya masing-masing sesuai dengan kondisi alam yang ada disekitar Kampung Waerebo. Ulu Waerebo adalah Mata Air yang ada dikawasan perbukitan di Kampung Waerebo, karena lokasi kawasan hutan Kampung Waerebo ini sangat dekat dengan Mata Air. Dari sana pengambilan nama sangat berpengaruh terhadap tujuh bentangan alam yang disucikan di Kampung Waerebo.

3.    Arsitektur Bangunan Kampung Waerebo

Bahan yang digunakan untuk membuat rumah tradisional di Kampung Waerebo antara lain, kayu, Bambu, dan rotan. Sedangkan atap terbuat dari ijuk dan ilalang yang ditumpuk. Lapisan ijuk dipasang di lapisan atas (luar), sedangkan ilalang di bagian bawah (dalam). Pemilihan dua bahan ini dengan cara ditumpuk ini bukan tanpa alasan, selain ringan dan kuat, untuk ilalang memiliki sifat tidak mudah terbakar atau tahan api, tetapi jika terkena air mudah lapuk.

Sedangkan ijuk sifatnya mudah terbakar ketika terkena percikan bunga api, tetapi tahan terhadap air dan tidak mudah lapuk, oleh sebab itu pemasangan atap bahan ilalang ditaruh dibawah atau bagian dalam sedangkan bagian atasnya dipasang ijuk.

Mbaru niang bagi masyarakat Kampung Waerebo merupakan simbol perlindungan dan persatuan warga. Sebagai contoh, ada ketentuan dimana di mbaru niang dihuni 8 kepala keluarga perwakilan dari jumlah total keturunan inti dari leluhur. Mbaru niang juga merupakan pusat kegiatan sosial masyarakat Waerebo, terutama jika menyangkut persoalan adat.

Rumah adat bagi masyarakat Kampung Waerebo merupakan simbolisasi seorang ibu atau melambangkan seorang ibu yang selalu mengayomi dan melindungi, dalam hal ini rumah adat melindungi dan mengayomi penghuni rumah. Beberapa bagian dari rumah adat mengandung filosofi layaknya seorang ibu antara lain:

1.    Persambungan pada konstruksi rumah melambangkan perkawinan suami dan istri yang membentuk sebuah keluarga.

2.    Rumah adat Kampung Waerebo memiliki 9 tiang utama melambangkan jumlah bulan ketika seorang ibu mengandung.

3.    Susunan 3 tiang secara berderet 3 kali (9 tiang) melambangkan 3 fase yang penting dalam perkembangan janin di dalam perut seorang ibu.

4.    Diatas tungku perapian terdapat loteng dan terdapat ruangan berbentuk segi empat dengan hiasan bulatan di setiap ujungnya yang menyerupai kepala, melambangkan sebuah persalinan secara normal harus didahului kepala. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan makanan siap saji melambangkan bahwa seorang bayi sepatutnya selalu mendapat kehangatan dan dekat dengan sumber makanan yang baik.

 

Gambar 3

Konstruksi Bangunan Kampung Waerebo

(Sumber: Hasil Dokumentasi Peneliti

di Kampung Waerebo)

 

4.    Daya Tarik Kampung Waerebo

Menjadi Situs Warisan Budaya Dunia Unesco: Kampung Waerebo sudah tercatat dan diakui sebagai warisan budaya dunia unesco sejak bulan Agustus tahun 2012. Terdapat Mata Air Wae Woang: Masyarakat Kampung Waerebo sangat menjaga keberlangsungan alam, salah satunya adalah mata air. Mata air sangat berguna untuk mengairi lahan perkebunan mereka, selain itu juga berperan dalam setiap upacara adat. Berada di Tengah Lembah Pegunungan: Kampung Waerebo ditengah lembah dan pegunungan yang masih terjaga, Kampung Waerebo juga berada di ketinggian 1.200 MDPL sehingga kawasannya cukup dingin dan sejuk. Terdapat Hutan Larangan: Di kawasan Kampung Waerebo terdapat hutan larangan begitu masyarakat sekitar menyebutnya. Masyarakat tidak ada yang mengambil kayu dari hutan ini, sehingga kelestariannya sangat terjaga.

Sangat Unik dan Eksotis: Kampung Waerebo terkenal di mata dunia karena keunikannya dan keeksotisannya sehingga banyak turis lokal maupun mancanegara yang berdatangan untuk berwisata. Hanya Terdapat 7 Rumah Adat: Di Kampung Waerebo hanya terdapat 7 rumah adat dan memiliki folosofinya masing-masing, tidak boleh dikurangi atau ditambah kecuali ada ketentuan tertentu dari ketua adat. Masyarakat Kampung Waerebo Sangat Ramah: Ketika kita berkunjung ke Kampung Waerebo penduduk sekitar dengan ramahnya akan menyapa dan menyambut kita layaknya keluarga. Dari daya tarik yang dimiliki Kampung Waerebo ini maka dapat dianalisis komponen penawaran pariwisata yang ada di Kampung Waerebo dengan 4A Pariwisata yang terdiri dari; Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, Aktivitas.

5.    Letak Geografis Dan Rute Perjalanan Menuju Kampung Waerebo

Kampung Waerebo terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Letak geografis Kampung Waerebo sendiri terletak pada koordinat S 8� 46� 09.9�� dan E 120� 17� 02,3�� dengan ketinggian 1120 mdpl. Kondisi alam di Kampung Waerebo sendiri sangat sejuk cenderung dingin karena lokasi Kampung Waerebo sendiri terletak di tengah cekungan bukit yang dikelilingi oleh perbukitan.

Untuk perjalanan menuju Kampung Waerebo dapat ditempuh melalui jalur darat, dari kota Ruteng mempunyai 2 opsi rute jalan untuk menuju ke Desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum dilanjutkan dengan trekking menuju ke Kampung Waerebo, rute pertama melalui Jalan Labuan Bajo-Ruteng yang terdapat persimpangan menuju Kampung Waerebo melewati Desa Dintor jalan ini memang menjadi opsi utama untuk akses menuju Kampung Waerebo dan jalannya sudah beraspal dan bagus sehingga para travel agent yang mengantar para wisatawan menggunakan jalan ini, estimasi waktu yang dibutuhkan jika dari Bandara Komodo 5-6 jam berkendara. Dijalanan Labuan Bajo ke Kampung Waerebo ini juga akan melewati sebuah persawahan yang besar bernama Lembor.

Sedangkan jika melakukan perjalanan dari Kota Ruteng untuk ke Kampung Waerebo maka waktu berkendara yang dibutuhkan wisatawan yang akan berkunjung sekitar 3-4 jam perjalanan, kemudian rute kedua yaitu melalui jalan dari selatan kota Ruteng yaitu jalan melalui daerah Iteng, jalan ini memang jarang bahkan tidak digunakan oleh para wisatawan, karena medan jalannya yang masih rusak dan licin serta akses jalannya yang sangat menanjak melewati perbukitan yang tinggi membuat akses ini susah dan hanya masyarakat atau warga lokal saja yang melewati jalan ini untuk menuju kota Ruteng dari desa Iteng atau desa-desa disekitarnya, meskipun akses pada jalan ini terbilang tidak direkomendasikan, namun estimasi waktu yang dibutuhkan ternyata lebih cepat sampai menuju Desa Denge, hanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam karena jalur yang dilalui melalui Iteng ini memotong jalur dan tidak memutari bukit, sehingga waktu tempuh perjalanan ke Kampung Waerebo sangat cepat, terlebih lagi kondisi jalanan yang sepi sehingga tidak terjadi kemacetan lalu lintas.

Kawasan pariwisata yang ada di Kampung Waerebo meliputi tiga Desa; yaitu Desa Dintor, Desa Kombo, Desa Denge. Di Desa Dintor ini terdapat sebuah pasar yang dimana biasanya para wisatawan yang berkunjung ke Kampung Waerebo kebanyakan memenuhi kebutuhan logistiknya di Desa Dintor ini. Kemudia dilanjutkan ke Desa Kombo, disini semua kendaraan para wisatawan wajib berhenti kemudia dilanjutkan dengan menggunakan Ojek yang ada untuk menuju ke Desa Denge yang merupakan desa terakhir yang bisa dilalui untuk menuju ke Kampung Waerebo. Setalah sampai di Posko Pendakian Kampung Waerebo maka perjalanan selanjutnya dilakukan dengan melakukan sebuah pendakian untuk sampai ke Kampung Waerebo.

Jalur Trekking untuk menuju Kampung Waerebo dibagi menjadi 4 Pos dan estimasi waktu yang diperlukan untuk mencapai Kampung Waerebo sekitar 5 sampai 7 jam.

Dari Pos 1 Waelomba trek-nya sangat menanjak dan berbatu-batu tanpa adanya jalan mendatar. Pos 2 Poco Roko tidak ditandai sama seperti Pos 1 yang memiliki papan penanda, Pos 2 ditandai dengan jalur lebar dan dengan peganan besi yang ada di pinggirnya, jalan masih tetap menanjak dan dipertengahan sudah ada jalan datar.

Pos 3 Nampe Bakok ditandai dengan adanya jembatan bambu, trek dari pos 3 lebih santai karena mendatar dan sudah mulai menurun. Ketika sampai di Pos 4 ditandai dengan adanya saung dan pemukul kayu ronda kemudian diketuk-ketukkan sebagai penanda bagi masyarakat Kampung Waerebo bahwa akan ada tamu yang datang sehingga warga disana bisa menyiapkan segala kebutuhan adat dan budaya serta makanan, minuman kepada para wisatawan yang berkunjung ke Kampung Waerebo.

 

Gambar 4

Peta Wilayah Geografis Kampung Waerebo

(Sumber: Hasil Ilustrasi Geografis Peneliti

di Kampung Waerebo)

 

6.    Bentuk Rumah Arsitektur Kampung Waerebo

Keunikan dari Kampung Waerebo itu sendiri terletak pada bangunan rumah tradisional mereka yang bernama Mbaru Niang. Kampung Waerebo merupakan desa tradisional yang masih mempertahankan bentuk rumah adat mereka dan tinggal dirumah adat tersebut. �Mbaru� artinya Rumah, �Niang� artinya Tinggi dan Bulat. Bentuk dari Rumah Niang itu sendiri berbentuk kerucut dan meruncing keatas.

Bentuk dari rumah yang mengerucut tersebut merupakan sebuah simbol dari perlindungan serta persatuan diantara masyarakat Kampung Waerebo. Bentuk dari lantai yang melingkar pada Rumah Niang melangbangkan dari keharmonisan dan keadilan diantara keluarga didalam Mbaru Niang.

Bangunan rumah ini dibuat oleh nenek moyang mereka sejak kurang lebih dari tahun 1920 dan sampai saat ini masih dilestarikan dari generasi ke generasi. Nenek moyang mereka mewarisi tujuh rumah Mbaru Niang namun seiring berjalannya waktu tiga dari tujuh rumah Niang sempat mengalami kerusakan. Pada tahun 2008, ketujuh dari Mbaru Niang dikonstruksi ulang serta di renovasi kembali melalui sebuah program revitalisasi yang didukung oleh Yayasan Tri Utomo dan Yayasan Rumah Asuh.

Pada saat proses rekrontruksi tersebut semua dilakukan oleh warga asli dari Kampung Waerebo sehingga nilai dari sejarah serta keasliannya tetap terjaga utuh. ketujuh Rumah Mbaru Niang mempunyai arti untuk menghormati tujuh arah dari mata angin dari puncak-puncak gunung yang melingkar mengelilingi Kampung Waerebo dan hal itu mereka percayai sebagai cara untuk menghormati leluhur mereka yang memberikan mereka kesejahteraan dalam kehidupan. Mbaru Niang dibangun ditanah yang datar dan mengelilingi sebuah altar yang mereka sebut Compang. Altar tersebut berdiri sebagai titik pusat dari ketujuh dari rumah tersebut dan dipercaya sebagai bangunan yang sakral bagi kepercayaan mereka dan fungsi dari Compang sebagai altar untuk ritual untuk menyembah dan untuk memuji Tuhan serta para roh-roh dan nenek moyang mereka.

Dari secara keseluruhan ketujuh Mbaru Niang yang ada di Kampung Waerebo setiap rumah Niangnya mempunyai nama asli yang berbeda-beda sesuai dengan sejarahnya masing-masing yaitu dimulai dari.

1.    Niang Gendang (Rumah Utama)

2.    Niang Gena Mandok

3.    Niang Gena Jekong (dibangun kembali tahun 2010)

4.    Niang Gena Ndorom (dibangun kembali tahun 2009)

5.    Niang Gena Keto

6.    Niang Geno Jintam Niang Geno Maro

Mbaru Niang memiliki lima tingkatan dan masing-masing dari tingkatan tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Pada lantai pertama pada rumah ini atau yang disebut Tenda digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk melakukan aktivitas seharti- hari seperti memasak, ruang berkumpul, perapian, dan digunakan sebagai kamar tidur untuk enam sampai dengan delapan keluarga. Lantai kedua atau Lobo digunakan sebagai ruang penyimpanan makanan dan barang yang lainnya. Lantai ketiga atau Lentar tempat menyimpan benih- benih tanaman hasil bercocok tanam dan biji-bijian yang digunakan untuk berkebun. Lantai keempat atau Lempa Rae yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan stok dari cadangan makanan yang berguna pada saat hasil panen yang didapatkan masyarakat kurang banyak. Kemudian lantai kelima atau Hekang Code merupakan ruangan yang sengaja dibuat untuk sesajian atau persembahan kepada para leluhur nenek moyang mereka.

Dari ketujuh Mbaru Niang yang ada di Kampung Waerebo, disediakan dua tempat rumah Mbaru Niang yang dipergunakan khusus untuk menjamu wisatawan yang berkunjung dan menginap di Kampung Waerebo.

 

Gambar 5

Ketujuh Mbaru Niang Menghadapi ke Arah

Mata Angin (Sumber: Getty Images)

 

7.    Penghargaan Kampung Waerebo

1.    Penghargaan dari UNESCO 2012 (United Nations Educational, Scientific and Cultural)

Wisata Pesona Indonesia bagian Timur menang tidak diragukan lagi. Selain kaya akan potensi wisata alam di Nusa Tenggara Timur juga terdapat banyak rumah adat seperti, Rumah Adat Ruteng Puu, Rumah Adat Todo. Hingga yang paling disorot dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk menunjang 5 destinasi Indonesia super priotitas dari Labuan Bajo yakni Kampung Waerebo. Rumah adat ini sudah ada sejak zaman nenek moyang hingga era pelestarian saat ini. Bagi masyarakat Kampung Waerebo rumah adat ini merupakan simbolisasi seorang ibu atau berarti rumah, dalam arti rumah adalah tempat dimana mereka berpulang. Selain indah pada bulan Agustus tahun 2012, UNESCO menetapkan Kampung Waerebo sebagai Warisan Budaya Dunia yang menyisihkan 42 negara lain yang ikut menjadi nominasi (Nurjanah 2018).

Total Nilai Penghargaan Kampung Waerebo dari UNESCO tahun 2013. UNESCO memberikan nilai Kampung Waerebo sebagai Warisan Budaya Dunia dari 100 Poin Kampung Waerebo mendapatkan nilai 98.9% dengan kategori A+ (Sangat Baik).

Tabel 1

Kategori UNESCO dalam Penilaian

Skor

Nilai

Keterangan

96-100

A+

Sangat baik

91-95

A

Hampir sangat baik

86-90

B+

Lebih baik

80-84

B

Hampir baik

79-76

C+

Lebih dari cukup

70-75

C

Cukup

60-69

D

Kurang

 

2.    Penghargaan dari ISTA 2018 (Indonesia Sustainable Tourism Award)

Masyarakat Kampung Waerebo yang selalu menjaga lingkungan serta keaslian dari Mbaru Niang sehingga diberi penghargaan tertinggi dari UNESCO yaitu UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation 2012. Pemberian penghargaan tersebut juga diberikan kepada Yayasan Rumah Asuh yang dipelopori oleh arsitek terbaik Yori Antar yang telah berhasil memimpin sebuah proyek untuk membangun ulang dan merenovasi ulang rumah tradisional dengan memanfaatkan tradisi lokal dan tentunya memberdayakan masyarakat Kampung Waerebo pada umumnya. Mbaru Niang berhasil menyisihkan 42 warisan budaya lain dari keikutsertaan 11 negara di Asia. Peraih penghargaan tersebut dipilih berdasarkan dari beberapa kriteria seperti bagaimana situs warisan budaya tersebut mencerminkan semangat lokal, kegunaan, kontribusinya terhadap lingkungan sekitar, dan keberlangsungan budaya serta sejarah lokal.

Kampung Waerebo juga mempunyai ritual budaya yang unik yaitu Upacara Penti. Ritual Penti merupakan ritual adat dari suku yang ada di Manggarai, NTT dan ritual ini merupakan ritual tradisional yang masih dilakukan secara lengkap sebagaimana ritual aslinya. Ritual Penti merupakan ritual yang digelar sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang masyarakat Kampung Waerebo peroleh selama setahun dan Ritual atau Upacara Penti juga sekaligus merupakan peringatan untuk menyambut tahun baru menurut budaya Manggarai Flores. Upacara Penti dumulai dengan adat Barong Wae dan Barong Oka, kemudain warga bejalan beririgan berjalan menuju halaman di depan Rumah Niang Utama diiringi gong dan gendang membawa persembahan atau sesajian berupa ayam ke mata air yang bertujuan mengundang para roh leluhur penjaga mata air untuk turut ikut menghadiri Ritual Penti tersebut. Upacara Penti juga dimeriahkan oleh Tarian Caci yang merupakan tarian khas dari Manggarai, tarian tersebut dibawakan oleh sepasang penari pria yang berhadapan dengan gerakan saling mencambuk. Dalam Tarian Caci tidak mengnal kalah ataupun menang, karena dalam Tarian Caci yang diangkat adalah nilai-nilai persahabatan dan seni. Selama Ritual Penti berlangsung, sekelompok laki-laki dan perempuan bernyanyi nyanyian tradisional tanpa musik atau Sanda yang dimulai dari tengah malam hingga pagi hari tanpa putus tujuannya agar menghormati para leluhur nenek moyang mereka.

Kampung Waerebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu padahal pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung terudik ini. Kampung Waerebo boleh dibilang dusun internasional yang semakin banyak digemari oleh wisatawan asing. Kampung Waerebo terletak di desa satar lenda, kecamatan satarmese barat, kabupaten manggarai, propinsi nusa tenggara timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung Waerebo diapit oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung � kampung tetangga. Kampung Waerebo dikukuhkan oleh enklave sejak masa penjajahan belanda.

Pada awal mulanya Maro, secara turun � temurun nenek moyang orang Kampung Waerebo menuturkan bahwa, Maro adalah orang pertama yang tinggal dan menetap di Waerebo. Kampung Waerebo saat ini sudah memasuki generasi ke � 18. Satu generasi mencapai usia 60 tahun, sehingga usia Kampung Waerebo saat ini � 108 tahun. Jumlah kepala keluarga hingga tahun 2009 mencapai 88 kepala keluarga atau 1. 200 jiwa.

Salah satu hal yang menarik dari Kampung Waerebo adalah rumah adatnya yang berbentuk kerucut dan atapnya terbuat dari daun lontar. Rumah adat yang disebut mbaru niang ini sepintas mirip dengan honai yang ada di Papua. Namun, yang membedakan adalah bentuk atap rumah Kampung Waerebo lebih kerucut dengan atap yang memanjang sampai menyentuh tanah. Mbaru Niang adalah rumah adat yang terdiri dari 5 tingkat dengan atapnya kerucutnya yang khas.

Tingkat pertama rumah ini disebut lutur atau tenda. Lantai pertama ini digunakan sebagai tempat tinggal sang penghuni. Di tingkat kedua atau lobo adalah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Naik satu lantai, di lantai tiga atau lentar adalah lantai yang digunakan untuk menyimpan benih tanaman untuk bercocok tanam. Sama seperti tingkat 1, 2 dan 3, tingkat juga memiliki namanya sendiri, yaitu lempa rae. Lempa rae adalah tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang berguna saat hasil panen kurang berhasil. Nah, jika masuk di lantai paling akhir atau yang hekang kode, Anda bisa melihat aneka sesajian yang disimpan pemilik rumah untuk para leluhur. Proses pembangunan rumah ini adalah tanpa menggunakan paku, melainkan dengan konsep pasak dan pen, dan diikat dengan rotan sebagai penguat setiap tulang fondasinya. Menurut cerita dari masyarakat ini, banyak sekali arsitek Indonesia dan luar negeri yang datang dan menginap untuk mempelajari konsep rumah adat Kampung Waerebo ini.

Inti dari semua ini, dapat dilihat dan merasakan hebatnya arsitek dari jaman dahulu yang hanya tinggal 9 unit rumah serta terpelihara dengan baik hingga sekarang di kampung Waerebo. Bahan makanan seperti beras harus diimpor dari kampung tetangga. Untuk mendapat pelayanan kesehatan dan kebutuhan pendidikan bagi anak � anak, harus keluar dari Waerebo. Untuk menjual hasil kebun harus berjalan kaki ke pasar sejauh 15 km. Warga tidak pernah berjalan lenggang. Keluar dan masuk Kampung Waerebo selalu ada beban di pundak � 15 kg, baik bagi pria maupun wanita. Hasil kerajinan tangan warga, hasil kopi, vanili dan kulit kayu manis laris sebagai barang cendera mata yang dibawa pulang oleh wisatawan denga harga yang memuaskan. Hasil buah � buahan kebun warga pun tidak ketinggalan dibeli oleh sang tamu. Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Waerebo, sebuah dusun yang menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa arsitektur adat budaya Manggarai yang semakin hari semakin terancam ditinggalkan pengikutnya. Mengapa berbentuk kerucut dan dari mana asal muasalnya masih sebuah tanda tanya besar, kecuali secuil informasi dari tradisi penuturan masyarakatnya sendiri yang merupakan generasi ke-18.

Kampung Waerebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat, Desa Satar Lenda.  Di sini, satu desa dengan desa yang lainnya jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang berkerudung kabut di ujung pohonnya. Dusun Kampung Waerebo begitu terpencil sehingga warga desa di satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Seperti Kampung Denge, desa terdekat ke Kampung Waerebo belum seutuhnya menjadi desa tetangga karena belum semua pernah ke Kampung Waerebo. Sementara warga Belanda, Perancis, Jerman, hingga Amerika dan beberapa negara Asia sudah sangat terperangah keindahan kampung yang rumahnya seperti payung berbahan daun lontar atau rumbia yang disebut mbaru niang.

Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an saat pemerintah mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran rendah. Seorang antropolog, Catherine Allerton mengenang pembicaraannya dengan tu�a golo, pemimpin politik dan kepala kampung, juga tu�a gendang, kepala upacara adat. Warga Kampung Waerebo saat itu tak memutuskan meninggalkan dusunnya. Sudah generasi ke-18 hingga kini Kampung Waerebo bertahan dari seorang penghuni pertama dan pendiri Kampung Waerebo lebih dari 100 tahun lalu, Empo Maro. Leluhur Kampung Waerebo, termasuk Empo Maro, mewariskan 7 buah rumah kerucut yang sangat menawan meskipun telah dimakan usia dan beberapa di antaranya telah rubuh dan belum dibina kembali. Sebuah yayasan dari Jakarta diberitakan telah memberikan bantuan pertanda kasih sayangnya pada keaslian Kampung Waerebo dengan mendirikan satu rumah yang sama bentuknya dan dinamakan Tirto Gena Ndorom, dimana Tirto adalah secuil kata dari nama yayasan donatur tadi. Rumah yang disebut mbaru niang terdiri dari 5 tingkat yang semua ditutupi atap dan menjadi sebuah kerucut. Di tingkat pertama, lutur, atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya. Di tingkat kedua, lobo, atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketiga ialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelima, hekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur.

Di Waerebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan tersebut memiliki gendang pusaka di rumah gendang di tiang utamanya. Mereka memiliki pantangan untuk tidak makan satu binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Kampung Waerebo dengan bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur mereka.

Berkembangnya penduduk Kampung Waerebo membuat keberadaan sebuah desa baru dirasakan harus dibina. Sebagian masyarakat Kampung Waerebo dibagi tempatnya dengan desa baru yang disebut Kombo. Tak banyak wisatawan mengetahuinya, walau Kombo dan Kampung Waerebo adalah masyarakat yang sama. Akan tetapi, karena lingkungannya dipertahankan sesuai aslinya, Kampung Waerebo seolah permata di atas lumpur. Kombo dipandang berbeda karena tidak berasal dari leluhur yang merintis keberadaan kampung itu. Warga paruh baya dan anak-anak sekolah tinggal di Kombo, sedangkan orang tua dari para pria muda serta belasan tahun yang menginjak dewasa tinggal di Waerebo. Mereka semua memiliki kepercayaan yang sama. Katolik adalah agama yang dipeluk masyarakatnya, walau kepercayaan animisme masih kental terasa dalam kehidupan mereka.

Mereka yakin bahwa tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan. Sebelum bercocok tanam dan mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan untuk meminta izin pada penunggunya. Bila tak berizin maka tanah akan menjerit dan merintih. Bercocok tanam pun harus rutin agar tanah tidak �menangis� sedih.

Masyarakat Kampung Waerebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka dan seperti manusia yang harus dihormati. Di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas bantuan penunggu hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu mengangkat batu besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kaki penunggu hutan ini memiliki jari berjumlah enam. Rambutnya dikisahkan sangat panjang dan parasnya cantik rupawan. Setelah panggung ini selesai, tarian caci digelar dan juga tabuhan gendang dilaksanakan (mbata).

Dari Ruteng perjalanan dengan kendaraan selama 4 jam yang berkelok sehingga penumpang tak henti bergoyang. Sampailah di sebuah desa pesisir bernama Dintor. Jalan terus dilanjutkan menuju tanjakan ke pedalaman pulau menempuh pematang sawah dan jalan setapak di Sebu sebelum sampai di Denge. Dari Denge langkah terus dihentakkan melalui hutan kecil, melalui Sungai Wae Lomba. Setelah mengatur kerja paru-paru di sepanjang jalan setapak, dari Ponto Nao, terlihat pusat Waerebo, sebuah dusun yang mengepul asap dari kerucut-kerucut aneh yang berkumpul di sebuah lapang hijau. Itulah sisa-sia mbaru niang yang hampir punah. Perjalanan panjang menuju dusun ini membuat masyarakatnya sedikit terasing dari peradaban, terutama pendidikan dan kesehatan. Seorang anak bahkan dewasa dirata-ratakan telah berjalan kaki selama 4 jam sekali keluar dari dusunnya dan kembali membawa sesuatu seberat 15 kilogram untuk dijadikan bahan makanan cadangan karena terbatas sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Dalam satu tahun, diperhitungkan seorang anak akan membawa barang dengan total berat hingga 2 ton.

Tiba di dusun ini, sambutan hangat adalah sebuah keniscayaan. Ubi, talas, dan jagung akan disajikan termasuk daging ayam. Menginap di sana seperti sebuah mimpi berhari-hari. Ada kesan khusus dan tak akan tergantikan oleh perjalanan apapun, karena memang hanya satu kali pengalaman ini terjadi di Waerebo.

Di sini semua berawal, dan akan terus berlanjut sebagai tanah tumpah darah warga Kampung Waerebo yang disebutkan dalam bahasa daerah sebagai Neka hemong kuni agu kalo.

3.    Pengembangan Industri Pariwisata, Prospek dan Tantangannya.

Pengembangan Industri pariwisata sangat penting dilakukan karena objek pariwisata butuh dibenahi atau Perhatian dari steakholder untuk megembangkan dari segala sector yang mendukung kegiatan pariwisata (Tulis, Rengkung, and Rate 2020) contohnya dari segi sarana dan prasarana, akses jalan menuju objek wisata, fasilitas pendukung sekitar objek wisata. Konsep Pembangunan dan Modernisasi Pembangunan mengandung makna sebuah perubahan sosial secara positif yang direncanakan, terarah, dan dilakukan dengan sadar atau disengaja. Modernisasi merupakan usaha penyesuaian hidup dengan konstelasi dunia sekarang ini (Andayani, Martono, and Muhamad 2017).

Tantangan yang dihadapi didalam mengembangankan industri pariwisata adalah masyarakat yang belum siap menerima globalisasi terhadap objek wisata yang akan dikembangkan dengan sikap yang demikian maka terjadi pro dan kontra antara masyrakat dan pelaku pengembangan industri pariwisata.

4.    Dampak Globalisasi Industri Pariwisata Terhadap Pengembangan Kampung Adat

Kebudayaan Global dan Globalisasi Kebudayaan global adalah suatu kebudayaan yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa (kelompok sosial) tapi juga merupakan kebudayaan yang dimiliki oleh banyak bangsa di dunia. Menurut (Priyanto 2016) globalisasi adalah suatu proses terbentuknya system organisasi dan komunitas antara masyarakat di seluruh dunia, yang bertujuan untuk mengikuti system dan kaidah-kaidah tertentu yang sama, contoh: PBB, OKI, ASEAN, beserta hukum-hukum internasional seperti HAM yang tertuang dalam piagam PBB. Respon masyarakat terhadap globalisasi. Globalisasi akan menimbulkan gejala perubahan terhadap kelompok sosial yang bersangkutan. Pada setiap gejala perubahan akan menimbulkan konflik atau perbedaan sudut pandang yang terjadi antar kelompok sosial yang menerima dan menolak arus globalisasi tersebut. Dampak globalisasi terhadap budaya Indonesia (Ahdiati 2020).

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Pengoptimalisasian wisata di kampung adat Waerebo dapat diterapkan melalui pengembangan-pengembanagan fasilitas, baik fasilitas ketika akan menuju pada wisata kampung adat Waerebo sampai dengan fasilits pada kapung adat Waerebo itu sendiri, sehingga hal tersebut dapat menjadikan pariwisata pada kampung adat Waerebo berkembang secara optimal dan tingkat peminatan wisatawan semakin meningkat.

Sedangkan kesimpulan mengenai tentang potensi ekonomi lokal yang imiliki oleh masyarakat berupa dengan adanya fasilitas tambahan mengenai ketersedian wadah masyarakat lokal untuk dapat menawarkan produk kerajinan para masyarakat Waerebo, sehingga potensi ekonomi yang dihasilkan dapat meningkat karena masyarakat memiliki tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan target pemasaran para wisatawan.

Optimalisasi wisata dan potensi ekonomi lokal di Kampung Waerebo sangat berhubungan karena ketika keadaan pariwisata di Kampung Adat Waerebo dikembangkan secara maksimal maka keadaan ekonomi masyarakat lokal dapat berpotensi lebih baik untu keberlangsungan hidup masyarakat lokal Kampung Waerebo.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ahdiati, Triana. 2020. �Kearifan Lokal Dan Pengembangan Identitas Untuk Promosi Wisata Budaya Di Kabupaten Banyumas.� Jurnal Pariwisata Terapan 4 (1) :25. doi: 10.22146/jpt.50417. Google Scholar

 

Andayani, Anak Agung Istri, Edhi Martono, and Muhamad Muhamad. 2017. �Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah (Studi Di Desa Wisata Penglipuran Bali).� Jurnal Ketahanan Nasional 23 (1):1. doi: 10.22146/jkn.18006. Google Scholar

 

Atiko, Gita, Ratih Hasanah Sudrajat, and Kharisma Nasionalita. 2016. �Analisis Strategi Promosi Pariwisata Melalui Media Sosial Oleh Kementrian Pariwisata RI (Studi Deskriptif Pada Akun Instagram@ Indtravel) Analysis Tourism Promotion Strategy Through Social Media By Tourism Ministry Of Republic Indonesia (Descriptive Stud.� Jurnal Sosioteknologi 15 (3):378�89. Google Scholar

 

El Hasanah, Lak Lak Nahat. 2015. �Pengembangan Wirausaha Muda Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Di Daerah Istimewa Yogyakarta.� Jurnal Studi Pemuda 4 (2):268�80. Google Scholar

 

Husna, N. 2013. �Analisis Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Untuk Menguatkan Daya Saing Daerah Di Kabupaten Gresik.� Jurnal Administrasi Publik Mahasiswa Universitas Brawijaya 1 (1):72874. Google Scholar

 

Listiono, Bernaditya, and Sri Winarni. 2019. �Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik Pembelajaran Lompat Jauh Gaya Menggantung Menggunakan Pendekatan Problem-Based Learnig [Developing Students Worksheet of Hanging Style Long Jump Learning Using The Problem-Based Learning Approach].� Pedagogia: Jurnal Pendidikan 8 (2):257�64. Google Scholar

 

Mahyarni, Astuti Meflinda, Nurhasanah Bustam, and Hasrudi Tanjung. 2015. �Mapping Dan Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Berbasis Budaya Lokal Di Provinsi Riau.� Jurnal Aplikasi Manajemen 13 (4):620�33. Google Scholar

 

Nurjanah, Nurjanah. 2018. �Pemanfaatan Media Sosial Masyarakat Sadar Wisata Dalam Mempromosikan Potensi Wisata Baru.� Medium 6 (2):39�50. doi: 10.25299/medium.2018.vol6(2).2412. Google Scholar

 

Priyanto, Priyanto. 2016. �Pengembangan Potensi Desa Wisata Berbasis Budaya Tinjauan Terhadap Desa Wisata Di Jawa Tengah.� Jurnal Vokasi Indonesia 4 (1). doi: 10.7454/jvi.v4i1.53. Google Scholar

 

Simarmata, Poltak Pardamean, Hengki Mangiring P. Simarmata, and Sudrajati Ratnaningtyas. 2019. �Business Strategy and Implementation in Bina Siswa.� Jurnal Ekonomi Dan Bisnis (EK&BI) 2 (1):144�54. Google Scholar

 

 

Sopacua, Ivana Oktarina, and Noormalita Primandaru. 2020. �Implementasi Quadruple Helix Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Kreatif.� Wahana: Jurnal Ekonomi, Manajemen Dan Akuntansi 23 (2) :224�38. Google Scholar

 

Sriyati, Faqih Satria, and Sudewi. 2017. �Pemanfaatan E-Government Sebagai Media Promosi Di Bidang Pariwisata Ekonomi Kreatif (Studi Kasus : Dinas Pariwisata Ekonomi Kreatif, Kabupaten Pesawaran).� Technology Acceptance Model 80�87. Google Scholar

 

Tulis, Daniel Harvey, Michael M. Rengkung, and Johannes Van Rate. 2020. �Strategi Pengembangan Objek Wisata Bahari Di Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud.� Sabua: Jurnal Lingkungan Binaan Dan Arsitektur 9 (2):125�32. Google Scholar

 

Wahab, Salah. 2003. �Manajemen Kepariwisataan.� Google Scholar

 

Yuda Prasetiyo, Eko. 2021. �Pengembangan Objek Wisata Pantai Modangan Di Kecamatan Donomulyo (Studi Pada Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Kabupaten Malang).� Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Syarif Shidqi Rabbani, Arief Bachtiar, dan Riko Setya Wijaya (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: