Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 10 Oktober 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

PENCATATAN PERKAWINAN BERDASARKAN PENERAPAN OBJEKTIFIKASI HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

 

Nasrudin, Nur Mohamad Kasim, Lusi Margareth Tijow

Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Indonesia

Email: gorelahukum1998@gmail.com, [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 September 2021

Direvisi

05 Oktober 2021

Disetujui

15 Oktober 2021

Perkawinan yang tidak tercatat banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan rumah tangga walaupun sudah di terbitkan aturan tentang Isbat nikah. Akibat hukumnya bagi perkawinan yang tidak memiliki akte nikah, secara yuridis suami/istri serta anak yang dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Pencatatan Perkawinan Berdasarkan Penerapan Objektifikasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. �Metode penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif dengan pendekatan undang � undang dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum adalah sumber bahan hukum utama (primer) dan sumber bahan hukum pelengkap (sekunder), �serta data yang diperoleh melalui penelitian secara kualitatif, kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini� menunjukkan bahwa perkawinan yang tidak tercatat berimplikasi pada status hukum perkawinan dan status hukum anak serta sistem kewarisan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

 

ABSTRACT�������������������������

Unregistered marriages have a lot of negative impacts on the continuity of the household even though the rules regarding Isbat marriage have been published. The legal consequences for marriages that do not have a marriage certificate, legally husband/wife and children who are born cannot take civil legal action related to their household. This study aims to determine and analyze Marriage Registration Based on the Application of Objectification of Islamic Marriage Law in Indonesia. The research method used is normative juridical with a law approach and a case approach. Sources of legal materials are sources of primary legal materials (primary) and sources of complementary legal materials (secondary), as well as data obtained through qualitative research, then presented descriptively, namely describing, describing, and explaining in accordance with the problems that are closely related to this research. The results of this study indicate that unregistered marriages have implications for the legal status of marriage and the legal status of children and the inheritance system which creates legal uncertainty.

Kata Kunci: penerapan; objektifikasi; perkawinan islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: application; objectification; islam marriage



 

Pendahuluan

Ikatan perkawinan tidak dapat disamakan dengan sebuah ikatan perikatan dalam hukum perdata, atau tidak hanya untuk mendapatkan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu yaitu untuk membina keluarga yang bahagia penuh cinta kasih, menentramkan jiwa dan berakhir dengan diperolehnya kebahagiaan lahir batin. Kebahagiaan sebagai wujud manifestasi dari kesejahteraan lahir batin warga negara merupakan salah satu tujuan Indonesia merdeka. Negara berkepentingan untuk melindungi kepentingan warga negaranya, kemudian lahirlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta diikuti dengan berbagai peraturan teknis di bawahnya (Khoiriyah, 2017). Suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang perkawinan nasional, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan serta telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat (Djazuli, 1991). Hal ini karena negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum yang modern dan negara berdasarkan atas hukum yang demokratis (Wahjono, 1983), sehingga kegiatan eksekutif dan yudikatif tunduk serta mengikuti hukum perundang-undangan (Azizy et al., 2002).

Hukum perkawinan Islam yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertaraf nasional, dalam arti bahwa semua warga negara mengikuti aturan tersebut. Sehingga objektifikasi hukum perkawinan Islam berfungsi untuk menyatakan bahwa perbuatan yang diatur dapat dirasakan oleh warga negara sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. bila tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, maka tetap dikategorikan amal. Objektifikasi juga dapat dilakukan oleh orang non-Islam, asal perbuatan itu dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang non-Islam dipersilakan menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan (Kuntowijoyo, 2006).

Objektifikasi ini diharapkan memberikan implikasi terhadap hukum perkawinan Islam Indonesia. Dalam hukum perkawinan Islam Indonesia, objektifikasi menawarkan jalan keluar agar nilai-nilai universal hukum perkawinan Islam dapat diterapkan sebagaimana mestinya dalam kategori-kategori objektif. Sehingga hukum perkawinan yang telah dirumuskan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh warga negara Indonesia.

Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI yang ditetapkan dalam bentuk Instruksi Presiden tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Islam) agar di dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan didapati ketentuan hukum yang lebih lengkap, pasti dan mantap sesuai dengan sasaran kemerdekaan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Djamil & Islam, 1999).

Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) di bidang perkawinan ikut turut serta meramaikan pergumulan antara hukum perkawinan Islam dan hukum perkawinan positif, sehingga harus senantiasa dikawal secara ketat (al Asyari, 2016). Hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya belum memadai bagi Badan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara sehingga perlu menggunakan landasan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan acara Peradilan Agama perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan. Ditelusuri lebih jauh, ada hal yang menarik dalam RUU HMPA tersebut, yaitu adanya sanksi pidana bagi pelaku nikah yang tidak dicatatkan. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang disebutkan bahwa demi ketertiban administrasi, pelaksanaan perkawinan harus dicatatkan pada pegawai pencatat nikah, dalam hal ini diserahkan tugasnya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) (Yasin, 2016).

Permasalahan pencatatan nikah adalah masalah klasik yang sudah banyak dibahas, namun kesepakatan bahwa pencatatan nikah adalah fikih masih belum menemukan titik temu. Padahal fikih dipandang sebagai hukum Islam merupakan produk interaksi ahli fikih dengan lingkungan sosial budaya pada suatu kondisi dan situasi saat fikih itu diformulasikan (Saidah, 2016). Maraknya pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama membuat dilema aturan pembatasan umur dalam pernikahan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI menetapkan kriteria umur yaitu, 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Ketentuan ini dianggap batas minimal kedewasaan dalam perkawinan, mengingat dalam membangun rumah tangga dibutuhkan kesiapan lahir dan batin (Mahmood, 1987).

Undang-Undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Atas dasar tersebut, perkawinan di antara calon suami dan istri yang masih di bawah umur.

Peneliti hendak melakukan analisis kritis terhadap persoalan kriteria objektif hukum perkawinan Islam Indonesia. Analisis kritis ini bergerak pada dua wilayah materi hukum perkawinan Indonesia yaitu tentang keobjektifan pencatatan perkawinan, dengan menggunakan berbagai macam teori dan konsep hukum yang relevan. Hal ini sangat mungkin dilakukan analisis kritis terhadap kriteria objektifnya, dikarenakan muncul bukan dari khazanah klasik pemikiran hukum Islam, melainkan aturan hukumnya berasal dari gejala objektif masyarakat Indonesia.

 

Metode Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dua yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) adalah pendekatan penelitian dengan menggunakan legislasi dan regulasi, dan pendekatan kasus (case approach) yaitu pendekatan penelitian yang didasarkan pada ratio decidendi, yakni sebab-sebab hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai kepada keputusannya (Muchsin & Sabir, 2019).

Teknik pengumpulan data menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yaitu melakukan pengumpulan data langsung melalui wawancara dengan pegawai Pengadilan Agama Limboto yang berwenang mengurus pencatatan nikah di Kabupaten Gorontalo, dan penelitian kepustakaan (library research), yakni penelitian yang dilaksanakan agar memperoleh data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang bersifat menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku, kemudian dinarasikan yang dihubungkan dengan fakta atau keadaan atas suatu objek dan statistik untuk memberikan deskripsi lebih jelas pada permasalahan yang ada agar memudahkan mengambil suatu kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Pencatatan Perkawinan Berdasarkan Penerapan Objektifikasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Substansi penerapan objektifikasi hukum perkawinan islam terhadap pencatatan perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari konsep-konsep hukum syariah yang dapat diberlakukan secara universal dalam bidang perkawinan yang kemudian konsep-konsep tersebut diadopsi dan dilegitimasi menjadi sebuah norma yang mengatur dan mengikat seluruh warga Negara khususnya dalam ruang lingkup hukum perkawinan. Sebelum kita membahas bagaimana substansi penerapan objektifikasi hukum perkawianan islam terhadap pencatatan perkawinan di Indonesia, kita harus mengetahui hal-hal sebagai berikut di bawah ini :

1.    Pengertian Objektifikasi

Objektifikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal kedalam kategori objektif (al Asyari, 2016). Bahwa objektifikasi juga bisa di pandang sebagai konkritisasi dari sebuah keyakinan yang internal. Objektifikasi adalah usaha pemahaman yang di tujukan ke luar sedangkan eksternalisasi ke dalam umat pemeluk sebuah agama (al Asyari, 2016). Objektifikasi adalah perbuatan serta sebuah tindakan dimana merasionalkan-nilai yang di wujudkan dalam sebuah perbuatan yang rasional sehingga pihak luar juga dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Jadi objektifikasi hukum perkawinan Islam adalah upaya untuk merasionalkan ketetapan atau prinsip-prinsip hukum yang akan di legalkan oleh negara dan menjadi panutan bagi umat Islam dengan nilai-nilai yang Universal berupa nilai-nilai maqasid Syari�ah yang berkembang di Indonesia (al Asyari, 2016).

Dalam perkembangannya, ketika hukum perkawinan dikembangkan dalam kawasan yang sangat luas, maka ia berinteraksi dengan berbagai kaidah lokal yang sangat bervariasi struktur dan kultur yang dianut. Oleh karena itu, muncul produk hukum yang bercorak lokal, dan di Indonesia muncul gagasan tentang kebutuhan formula fikih Indonesia yang dikemukakan misalnya oleh Hasbi Ash Shiddieqy, Hazairin, Munawir syadzali, Busthanul Arifin dan A. Qodri Azizy.

Dalam mengkaji hukum perkawinan Indonesia yang sudah berinteraksi dengan berbagai kaidah dan tradisi lokal tersebut, dilakukan dua langkah yang berurutan, yaitu pertama, upaya melakukan objektifikasi hukum perkawinan Indonesia, kedua, upaya menerapkan konsep hukum perkawinan Indonesia yang sesuai dengan semangat kemodernan, namun tidak meninggalkan sama sekali berbagai kaidah dan tradisi lokal.

2.    Hukum Perkawinan Islam

Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan berlaku secara efektif, hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai aturan hukum yang berlaku untuk berbagai golongan warga Negara dan daerah di antaranya yaitu hukum adat yang berlaku bagi orang Indonesia asli, hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam, Kitab Undang-Undang Perdata yang berlaku bagi orang keturunan Eropa dan Cina dengan beberapa pengecualian, dan ordonanti Perkawinan� Indonesia Kristen yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen (Prodjodikoro, 1966).

Perkawinan dalam ilmu fikih, disebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua arti yaitu menurut bahasa dan menurut istilah. Menurut bahasa nikah berarti berkumpul atau bersetubuh, sedangkan menurut istilah, nikah adalah akad atau perjanjian (suci) dengan lafal tertentu antara seseorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami istri (Daly, 1988).

Adapun Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Suhairi & Disertasi, 2001). Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan itu sendiri adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan Perkawinan menurut hukum positif� yang temuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk memberntuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Berarti dalam ketentuan ini, perkawinan dilangsungkan bukan hanya sementara atau dalam jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi berlangsung seumur hidup atau selama-lamanya dan tidak boleh diputus dengan begitu mudahnya (Saleh, 1976).

3.    Sistem Pencatatan Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang menentukan bahwa suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karenanya ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipilih lagi keberlakuannya bagi para pihak yang melangsungkan pernikahan. Sekalipun hanya memenuhi salah satu ketentuan saja, tetap peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh undang-undang. Lebih jauh lagi, soal Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan Bagi yang pihak yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.

Sebaliknya, bagi mereka yang bukan beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil yang berarti bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang sebagaimana kita banyak ketahui pada umumnya dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut agamanya masing- masing. Misal bagi mereka yang memeluk agama Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi penikahan di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.

Pencatatan perkawinan berfungsi untuk pendataan masalah administrasi perkawinan yang langsung ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan tertib hukum dan bernegara. Lebih jauh lagi, terkait pencatatan perkawinan juga mempunyai fungsi tertib administrasi, transparansi, dan kepastian hukum dalam pelaksanaan perkawinan bagi umat Islam, perlu mengatur mengenai pencatatan perkawinan.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administrative (Saleh, 1976).

Perkawinan yang dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya atau berlangsungnya perkawinan bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan negara.

Pada dasarnya, bilamana terdapat suatu perkawinan yang mana bagi umat Islam perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab Kabul juga sebagaimana ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan atau untuk mereka yang beragama non muslim pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut telah sah, namun dalam hal ini masih dalam kategori sah di mata agama dan kepercayaan masyarakat, belum sampai masuk ke dalam ranah tertib hukum bernegara. Fenomena yang terjadi saat ini, seperti halnya diterangkan di atas, para pihak sering menganggap urusannya telah selesai meskipun baru masuk ranah agama dan belum masih ranah hukum bernegara, akibat dari persoalan tersebut, banyak perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga menyimpang dari ketentuan yang ada.

Ketidaktahuan para pihak ketika hendak mengurus pernikahan menjadi alasan yang sering terdengar perihal kurangnya pencatatan perkawinan. Selain alasan tersebut, alasan lain yang juga sering ada adalah dikarenakan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau ada juga terkait dengan beberapa pihak seperti bagi pegawai negeri dan ABRI, ketiadaan pencatatan perkawinan bertujuan untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya. Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Nikah Siri.

B.  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Objektifikasi Hukum Perkawinan Islam� Di Indonesia

Membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan objektivikasi hukum perkawinan islam indonesia dalam pencatatan perkawinan pada hakikanya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan langkah hukum yang dilakukan untuk memenuhi hak-hak keperdataan masyarakat akibat dari perkawinan yang tidak tercatat yang dalam oreintasinya tidak terlepas dari instrumen Permohonan pengesahan perkawinan atau isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

Bagi masyarakat muslim, penetapan isbat nikah dilakukan Pengadilan Agama, sedangkan bagi masyarakat non muslim penetapan pengesahan nikah dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Namun dalam hal perlu ditegaskan bahwa pengesahan nikah/isbat nikah yang dimaksud adalah pengesahan nikah/isbat nikah yang secara spesifik dilaksanakan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari�ah dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran. Sehingga hal ini tidak dapat digeneralisasikan untuk semua permohonan isbat nikah yang secara murni diajukan ke Pengadilan khsususnya Pengadilan Agama.

Pengesahan perkawinan bagi masyarakat muslim biasa dikenal dengan istilah Isbat nikah. Terminologi isbat nikah secara bahasa dapat diartikan sebagai penetapan perkawinan. Sedangkan secara istilah isbat nikah merupakan penetapan melalui pencatatan perkawinan atau pernikahan yang belum dicatatkan atau karena sebab lain yang telah ditentukan dalam peraturan terkait (Sulistiani, 2021).

Secara umum dasar hukum (legal standing) yang dijadikan sebagai payung hukum dalam mengajukan permohonan pengesahan nikah atau isbat nikah ke Pengadilan dalam rangka untuk memenuhi hak-hak keperdataan masyarakat yang terhalang akibat tidak terpenuhinya unsur pencatatan perkawinan adalah Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat 1 yang secara tegas menyebutkan bahwa:

�Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya�.

Ketentua pada Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut menginstruksikan bahwa adanya sebuah keharusan bagi Pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan. Dengan demikian Pengadilan tidak bisa menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa tidak ada hukumnya atau hukumnya kurang jelas.

Bagi masyarakat muslim isbat nikah diatur secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat 3 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas menyebutkan bahwa permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama dapat diajukan dengan beberapa alasan sebagai berikut:

a.    Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b.    Hilangnya akta nikah;

c.    Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d.    Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan;

e.    Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

Pasal 7 ayat 3 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di atas merupakan payung hukum (legal standing) yang dijadikan pedoman bagi masyarakat muslim dalam mengajukan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama dalam rangka untuk mendapatkan legalitas hukum terhadap status suatu perkawinan yang dibuktikan dengan terbitnya buku nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA). Namun dari beberapa alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam tersbut, khususnya alasan permohonan penetapan� isbat nikah yang terdapat pada pasal 7 ayat 3 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, dari segi implementasinya pasal ini memberikan fakta yang berbeda jika dilihat dari sisi tekstual peraturan perundang-undangan. Fakta berbeda yang dimaksudkan dalam konteks permohonan isbat nikah ini berkaitan dengan pengajuan permohonan isbat nikah atas perkawinan yang terjadi pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan. Sementara berdasarkan pasal 7 ayat 3 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam perkawinan yang tidak tercatat dapat dimohonkan isbat nikah di Pengadilan Agama apabila perkawinan tersebut terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan.

Isbat nikah merupakan istrumen hukum yang dilahirkan untuk� menyelesaiakan permasalahan hukum dalam bidang perkawinan khsusnya yang berkaitan dengan perkawinan yang tidak tercatat (perkawinan di bawah tangan). Isbat nikah sebagaimana yang telah diauraikan sebelumnya merupakan sebuah langkah hukum yang sifatnya represif (menanggulangi) terhadap permasalahan perkawinan yang tidak tercatat.

Dengan demikian pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan hak-hak keperdataan seseorang yang sebelumnya tidak dapat dipenuhi akibat tidak memiliki legalitas hukum karena perkawinan yang tidak tercatat, maka instrument isbat nikah menjadi jawaban atas pemecahan permasalahan yang timbul akibat perkawinan yang tidak tercatat.

Sebelum diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, bahkan setelah diundang-undangkannya penerapannya pencatatan perkawinan belum dilaksanakan secara maksimal. Hal demikian disebakan karena belum dianggap suatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Akan tetapi seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang turut mempengaruhi perkembangan zaman, sehingga kenyataan ini menuntut adanya perubahan dan pergeseran yang dahulunya tidak begitu penting menjadi penting (Muchsin & Sabir, 2019).

Deskripsi Perkawinan tidak tercatat di atas sangat jelas berpotensi menimbulkan kemudharatan dan terdzaliminya para pihak tertentu, bukan hanya isteri dan anak, bahkan juga berefek pada keeluarga secara umum karena perkawinan adat bugis melibatkan semua unsur keluarga dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Epek konkrit misalnya dapat mengaburkan penuntutan hak isteri secara hukum. Isteri tidak mendapat perlindungan hukum sehingga azas persamaan dihadapan hukum terabaikan. Contoh seorang suami yang menelantarkan istri dan anaknya dengan proses perkawinan tidak tercatat. Istri dan pihak keluarganya tidak dapat menggugat suaminya karena tidak memenuhi azas pembuktian secara formil sebagai landasan untuk melahirkan sebuah putusan.

Wujud dari perlindungan hukum tersebut lebih sederhana diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak-hak anak dan isteri serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan mereka. Dalam hal ini, perlindungan bukan hanya batas-batas dalam proses peradilan semata, melainkan mencakup segala hal atas kebebasan mereka untuk memperoleh perlakuan yang layak. Untuk menghindari hal itu, maka pencatatan perkawinan sebagai elemen penyempurnaan dari suatu perkawinan adalah wajib.

Isbat nikah yang lebih popular disebut dengan pengesahan nikah, dalam kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar�iyah merupakan perkara voluntair. Perkara voluntair adalah jenis perkara yang hanya ada pihak pemohon saja, tidak ada pihak lawan dan tidak ada sengketa. Oleh karena itu, isbat nikah tidak disebut sebagai perkara sebab perkara (contentious) itu mengharuskan adanya pihak lawan dan objek yang disengketakan. Oleh karena isbat nikah bukan perkara, maka suatu Pengadilan tidak berwenang untuk menagadilinya.

Namun demikian, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa suatu Pengadilan berwenang menyelesaiakan perkara yang tidak mengandung sengketa apabila ada ketentuann dan penujukkan oleh Undang-Undang (Sulistiani, 2021). Dalam kompetensi absolut Pengadilan Agama/Mahkamah Syar�iyah Undang-Undang telah menunjuk beberapa kewenangan yang menayangkut perkara tanpa sengketa (voluntair), sehingga Pengadilan Agama/Mahkamah Syar�iyah hanya berwenang menyelesaikan perkara tanpa sengketa tersebut. Perkara yang dimaksud adalah:

a.    Permohonan isbat nikah (penjelasan pasal 49 ayat 2 huruf (a) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama).

b.    Permohonan izin nikah (Pasal 6 ayat 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan).

c.    Permohonan dispensasi kawin (Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan).

d.    Permohonan penetapan wali adhal (Pasal 23 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam).

e.    Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Penjelasan Pasal 49 ayat 2 huruf (a) angka 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua kalinya diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahawa �Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama islam di bidang a. Perkawinan; yang dimaksud dengan �perkawinan� adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku menurut syari�ah antara lain : 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.�

Itsbat nikah sejak semula ditujukan untuk melindungi hak-hak sipil pasangan laki-laki dan perempuan dalam relasi perkawinan yang sah, sehingga dapat memberikan identitas hukum pada anak secara sah, identitas harta bersama. Tak kalah penting dengan sahnya perkawinan ini, maka perangkat hukum lain yang memberikan perlindungan dapat berjalan efektif, misalnya UU PKDRT, UU TPPPO, UU Perlindungan Anak dan lainnya (Rahayu, 2016).

Pada dasarnya masalah perkawinan yang tidak tercatat dalam orientasinya memberikan dampak terhadap kedudukan hak-hak keperdataan masyarakat sebagai warga Negara. Sehingga hal ini dalam kedudukannya perlu untuk segera dilakukan sebuah objektivikasi dalam rangka untuk mrnciptakan keselarasan pandangan atau pendapat hakim dalam menjatuhkan penetapan dalam perkara permohonan isbath nikah yang secara implementatif hal ini tidak terlepas dari� kasus-kasus kongkrit yang sering terjadi di masyarakat diantaranya seperti data yang diperoleh penulis mengenai perkawinan yang tidak tercatat di wilayah Kabupaten Gorontalo selama kurun waktu tiga (3) tahun sejak tahun 2019 s/d 2021 yang dimohonkan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama Limboto yang akan disajikan pada tabel sebagai berikut:

 

Tabel 1

No

Tahun

Jenis Putusan

Ket

Terima

Kabul

Tolak

Tidak

Diterima

Gugur

Cabut

Coret

1

2019

68

48

5

1

9

7

1

Jan-Des

2

2020

86

50

7

0

17

12

0

Jan-Des

3

2021

27

24

0

0

0

1

0

Jan-April

Jumlah

181

122

12

1

26

20

1

-

 

Berdasarkan data permohonan isbath nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama Limboto dalam kurun waktu tiga (3) tahun terakhir sejak tahun 2019 s/d 2021 di wilayah Kabupaten Gorontalo, terlihat bahwa masih terdapat variasi putusan atau penetapan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara permohonan isbath nikah. Pada tahun 2019 perkara isbath yang diterima berjumlah 68 perkara. Dari keseluruhan perkara tersebut 48 perkara yang dikabulkan, 5 perkara ditolak, 1 perkara tidak diterima, 9 perkara gugur, 7 perkara dicabut dan 1 perkara dicoret. Selanjutnya pada tahun 2020 perkara isbath nikah yang diterima berjumlah 86 perkara dengan penetapan yang dikabulkan berjumlah 50 perkara, 7 perkara ditolak, tidak terdapat perkara yang tidak diterima, 17 perkara gugur, 12 perkara dicabut dan tidak terdapat perkara yang dicoret. Kemudian pada tahun 2021 sejak bulan januari sampai dengan bulan april 2021 terdapat 27 perkara yang dimohonkan penetapan isbath nikah. Dari keseluruhan perkara tersebut 24 perkara yang dikabulkan, tidak terdapat perkara yang ditolak, yang tidak diterima dan perkara gugur, 1 perkara dicabut dan tidak terdapat perkara yang dicoret.

Terjadinya disparitas keputusan hakim dalam menjatuhkan penetapan dalam permohonan perkara isbat nikah dalam esksistensinya tidak terlepas dari adanya perbedaan persepsi dalam memaknai ketentuan-ketentuan kaidah hukum baik dalam ruang lingkup hukum syariah maupun dalam ruang lingkup ketentuan peraturan perundang-undangan secara tertulis khsusnya yang berkaitan dengan permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan.

Merujuk pada data perkawinan yang tidak tercatat khsusunya di Kabupaten Gorontalo dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, maka dalam menyikapi hal ini penting untuk melakukan upaya-upaya penanggulangan dengan melibatkan seluruh unsur terkait melalui program-program berupa sosialisasi secara intensif kepada masyarakat dengan tujuan untuk memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang hal pentingnya pencatatan perkawinan serta memperkuat pengawasan melalui koordinasi yang solid dari seluruh unsur terkait untuk melakukan upaya pencegahan (preventif) terhadap maraknya praktek-praktek perkawinan yang tidak dicatakan (illegal).

Berdasarkan ulasan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat terhadap hak-hak keperdataan pada dasarnya berorientasi pada pemenuhan perlindungan hukum baik terhadap status hukum perkawinan, status hukum anak, status hukum harta seperti harta bersama dan harta warisan serta hak-hak sipil lainnya sebagai warga Negara. Sehingga sebagai upaya represif (penanggulangan) dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan yang tidak tercatat, dari sisi yuridis diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua kalinya diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 yang menyebutkan bahwa �Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pada tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat infak, sedekah dan ekonomi syariah�.

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Substansi penerapan objektivikasi hukum perkawinan islam terhadap pencatatan perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari konsep-konsep hukum syariah yang dapat diberlakukan secara universal dalam bidang perkawinan dan kemudian konsep-konsep tersebut diadopsi dan dilegitimasi menjadi sebuah norma yang mengatur dan mengikat seluruh warga Negara khsusnya dalam ruang lingkup hukum perkawinan yakni undang-undang perkawinan. Sebab perkawinan yang tidak tercatat (nikah sirri) dapat memberikan akibat terhadap status hukum seseorang, harta perkawinan serta hak-hak sipil lainnya sebagai warga negara. Akibat hukum tersebut berupa legalitas hukum perkawinan dari sisi hukum positif, pengakuan (legitimasi) dan perlindungan hukum terhadap kedudukan harta berupa harta bersama, harta warisan dan kedudukan status hukum anak yang lahir dari perkawinan tersebut serta hak-hak sipil lainnya sebagai warga Negara dalam memperoleh layanan publik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan objektivikasi hukum perkawinan Islam Indonesia khususnya terkait dengan pencatatan perkawinan melalui isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan dalam kedudukannya tidak terlepas dari hak-hak keperdataan warga Negara yang secara secara keseluruhan wajib untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum akibat tidak terpenuhinya syarat pencatatan perkawinan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dalam bidang perkawinan.

Dalam menyikapi maraknya praktek-praktek perkawinan yang tidak dicatatkan (perkawinan di bawah tangan/nikah sirri) maka dalam hal ini penting untuk melakukan upaya-upaya penanggulangan dengan melakukan objektivikasi terhadap norma-norma yang mengatur tentang pencatatan perkawinan serta pentingnya untuk melibatkan seluruh unsur terkait yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Kementerian dalam hal ini Kantor Urusan Agama untuk malukukan program-program berupa sosialisasi yang dilakukan secara intensif kepada masyarakat dengan tujuan untuk memberikan edukasi dan pemahaman dalam membangun kesadaran hukum masyarakat tentang pentingnya aspek pencatatan perkawinan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Al Asyari, M. K. H. (2016). Objektifikasi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Perspektif Maqasid Syar�iyyah Upaya Dari Integrasi Keilmuan Keislaman. YudisiA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 7 (1), 199�237. Google Scholar

 

Azizy, A. Q. A., Azizy, Q., & Arifin, B. (2002). Eklektisisme hukum nasional: kompetisi antara hukum Islam dan hukum umum. Gama Media. Google Scholar

 

Daly, P. (1988). Hukum perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam (Vol. 2). Bulan Bintang. Google Scholar

 

Djamil, F., & Islam, F. H. (1999). Jakarta: Logos Wacana ilmu, cet. II. Google Scholar

 

Djazuli, A. (1991). Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia� dalam Tjun Surjaman. Hukum Islam Di Indonesia: Pemikiran Dan Praktek. Google Scholar

 

Khoiriyah, R. (2017). Aspek Hukum Perlindungan Perempuan Dan Anak Dalam Nikah Siri. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12 (3), 397�408. Google Scholar

 

Kuntowijoyo, I. S. I. (2006). Epistemologi. Metodologi, Dan Etika, Yogyakarta: Tiara Waana. Google Scholar

 

Mahmood, T. (1987). Personal Law in Islamic Countries: (history, Text and Comparative Analysis). Academy of Law and Religion. Google Scholar

 

Muchsin, A., & Sabir, M. (2019). Legalitas Perkawinan yang Tidak Tercatat pada Masyarakat Pinrang (Analisis Perma Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Pencatatan Nikah). DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 17 (1), 31�48. Google Scholar

 

Prodjodikoro, W. (1966). Hukum perkawinan di Indonesia. Sumur Bandung. Google Scholar

 

Rahayu, N. (2016). Politik Hukum Itsbat Nikah. Mus�wa Jurnal Studi Gender Dan Islam, 12(2), 279�294. Google Scholar

 

Saidah, S. (2016). Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 14 (2), 214�221. Google Scholar

 

Saleh, K. W. (1976). Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia. Google Scholar

 

Suhairi, M. W. P. D. S., & Disertasi, S. (2001). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI. Google Scholar

 

Sulistiani, S. L. (2021). Peradilan Islam. Bumi Aksara. Google Scholar

 

Wahjono, P. (1983). Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Ghalia Indonesia. Google Scholar

 

Yasin, D. T. (2016). Objektifikasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Sebuah Gagasan Pemikiran). Al-Mizan, 1 2 (1), 117�149. Google Scholar

 

Copyright holder:

Nasrudin, Nur Mohamad Kasim, Lusi Margareth Tijow (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: