Jurnal
Syntax Admiration |
Vol. 2
No. 10 Oktober 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
Hisyam Haikal
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 25 September 2021 Direvisi 05 Oktober 2021 Disetujui 15 Oktober 2021 |
Film Band of Brothers dirilis tahun 2001 dan ditayangkan di HBO sebagai miniseri yang lumayan sukses. Dengan produser Steven Sipelberg dan
Tom Hanks, film ini bercerita
tentang Kompi E (Easy
Company) sebagai bagian
dari 101st Airborne Division.
Film yang memenangkan Golden Globe untuk �Best miniseries, or Motion Picture Made
for Television� ini secara
dramatis mengisahkan perjalanan
Kompi E sejak ditempa di kamp Toccoa, penerjunan yang penuh ketegangan hingga ditaklukkannya Jerman. Komandan Kompi E Kapten Herbet Sobel menjadi tokoh sentral dalam penelitian ini. Sikapnya sebagai pemimpin yang otoriter dianalisis dengan metode semiotika Roland
Barthes. Sikap yang bertolak
belakang ketika Mayor
Winters menggantikannya di kemudian
hari. Dengan analisis ini, penelitian berusaha menguak mitos-mitos yang terkait dengan kepemimpinan seseorang. ABSTRACT������������������������� The film Band of Brothers
was released in 2001 and aired on HBO as a moderately successful miniseries.
With producers Steven Sipelberg and Tom Hanks, this
film tells the story of Company E (Easy Company) as part of the 101st
Airborne Division. The Golden Globe-winning film for �Best miniseries, or
Motion Picture Made for Television� dramatically chronicles the journey of E
Company from its forging in the Toccoa camp, its tense jump to the conquest
of Germany. The Commander of Company E, Captain Herbet
Sobel, is the central figure in this research. His attitude as an
authoritarian leader was analyzed using the semiotic method of Roland
Barthes. The opposite attitude when Major Winters replaced him later in life.
With this analysis, the research seeks to uncover the myths associated with
one's leadership. |
Kata Kunci: kepemimpinan; band of brothers; semiotika; kapten sobel Keywords: leadership;
band of brothers; semiotics; captain sobel |
Pendahuluan
Krisis utama Indonesia bukanlah pada bidang ekonomi tetapi kepemimpinan. Banyak pemimpin di Indonesia yang tidak didukung lingkungannya sehingga tidak dapat membawa perubahan
dengan baik. Tidak ada suksesi
kepemimpinan yang baku. Setiap ganti pemimpin,
kita ganti kebijakan (Abeng, 2018).
Bangsa
Indonesia saat ini dinilai tengah mengalami krisis kepemimpinan. Ada tiga aspek yang menyebabkan suatu negara pada akhirnya mengalami krisis kepemimpinan. Krisis ditandai dengan tidak ada lagi
calon-calon yang lebih baik dari sebelumnya.
Krisis kepemimpinan punya tiga dimensi, yaitu
stok, suplai atau jumlah kuantitatif,
adanya pemusatan kekuasaan yang dilakukan seorang pemimpin, serta adanya kesulitan
bagi pemilih mendapatkan pemimpin berkarakter (Tomagola, 2012).
Krisis kepemimpinan di Indonesia sekarang
merata, nyaris menyentuh hampir semua lembaga negara, bahkan juga lembaga-lembaga masyarakat yang relatif otonom terhadap negara. Jadi tidak hanya menyangkut
lembaga kepresidenan. Indikasinya, kita kesulitan menemukan sosok pemimpin yang berkarakter ideal yaitu efektif, dapat dipercaya, dan bisa menjadi sosok yang patut diteladani. Seperti ada pemimpin
lembaga pemantau korupsi yang justru korup, ada pemimpin
lembaga penyedia pangan yang justru menilep makanan rakyat, ada pemimpin
agama yang justeru menginjak-injak
nilai-nilai luhur agama, ada pejabat kepolisian
yang justru ditangkap lantaran korup dan sebagainya. Ini artinya, nyaris semua pemimpin di semua lini hanya
mengedepankan cara berpikir rasional subyektif atau rasional instrumental. Karena rata-rata mereka
terbukti hanya mengedepankan kepentingan pribadinya atau sekadar menjadi alat dari hasrat
subyektifnya sendiri, keluarga, atau kelompoknya (Firdaus Baderi, 2015).
Gejolak Pemilihan Presiden (Pilpres) telah membuat Indonesia dihadapi dua krisis, yakni
krisis konstitusi dan krisis pemimpin. Kalau tidak ada
pemimpin maka tidak ada kesatuan.
Kesatuan itu yang menjadikan seorang pemimpin. Satu pasukan domba yang dipimpin oleh singa dapat dengan
mudah mengalahkan pasukan singa yang dipimpin oleh seekor domba (Sri Edi Swasono, 2019).
Indonesia menghadapi krisis kepemimpinan karena calon presiden
yang bertarung di Pilpres
2019 hanya Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Hal ini sangat tidak bagus bagi
negara demokrasi. Sejatinya
ada nama-nama lain yang perlu didorong oleh partai politik (Siti Zuhro, 2019).
Kepemimpinan digambarkan dalam film-film bertema perang dengan berbagai variasi. Kepemimpinan yang otoriter, demokratis, maupun situasional. Dalam penelitian ini film �Band of
Brothers� diambil sebagai
obyek penelitian karena merupakan film yang terbilang sukses dan mampu menggambarkan kepemimpinan dalam berbagai variannya, film dapat diartikan sebagai gambar bergerak yang diperangkati oleh warna, suara dan sebuah kisah (Akmalsyah, 2010).
Bagaimana kepemimpinan direpresentasikan
pada karakter para komandan
dalam film Band
of Brothers, itulah permasalahan
yang diangkat dalam penelitan ini. Komandan dibatasi ruanglingkupnya, yaitu Kapten Sobel dan Mayor Winters yang merupakan
Komandan Kompi E pada eranya masing-masing.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan digambarkan dalam film Band of
Brothers. Di samping itu,
ingin diketahui pula bagaimana respon para prajurit (bawahan) terhadap pemimpinnya.
Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan alternatif perspektif bagi para birokrat dalam menjalankan tugas kepemimpinan, mengingatkan para birokrat tentang pentingnya� kepemimpinan,
serta menyebarluaskan pemahaman yang lebih proporsional dalam memandang kepemimpinan seseorang.
Peter Ludwig Berger, lahir
17 Maret 1929 di Vienna, Austria sebelum
beremigrasi ke Amerika, sehingga lebih dikenal sebagai sosiolog dan teolog Amerika. Bersama
Thomas Luckmann, ia melahirkan karya fenomenal, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge.
Berger sangat dikenal karena teorinya yang menyatakan bahwa realitas sosial adalah suatu bentuk
dari kesadaran Menurut (Santoso, 2016).
masyarakat memiliki sistem pengetahuan yang diterima secara turun-temurun. Gagasan pengetahuan yang bersifat lokal atau tradisional
hampir selalu ada sejak dahulu
kala.
Lewat tahapan sejarah tertentu, masih menurut Berger, muncullah proses
yang disebut eksternalisasi.
Ia bersifat mengikat pada semua anggota masyarakat secara perlahan namun dalam. Dalam
tahapan ini, mulailah masuk dalam tahapan objektivasi.
Sistem pengetahuan lokal tersebut berputar secara dialektis dari tahapan eksternalisasi-internalisasi
dan objektivasi. Sekalipun,
setiap individu tidak utuh dalam
menginternalisasikan seseuatu,
tetapi proses internalisasi
selalu saja dilakukan sebagai bagian sosialisasi.
Konstruksi sosial merupakan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi,
dan objektivasi. Eksternalisasi
adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Sedangkan, Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi (Diniati, 2018).
Pemikiran
Berger dan Luckmann mengenai
konstruksi realitas secara sosial berasal
dari pemikiran aliran konstruktivisme. Aliran ini menghubungkan
pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang dialaminya. Realitas adalah fakta sosial yang melahirkan cara bertindak, berfikir, bersifat ekternal dan sifatnya memaksa serta terbentuk
karena adanya pola di dalam masyarakat.
Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung
ia diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia
dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan
diri dari aturan tersebut. Sedangkan pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari realita yang ada di lingkungannya (Berger, 2015).
Selain itu, dalam konstruksi
realitas sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann,
terdapat hubungan antara realitas kehidupan sehari-hari, interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, serta bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Berger dan Luckmann berusaha menjelaskan bahwa realitas terbentuk melalui pengetahuan-pengetahuan yang dibangun
oleh manusia berdasarkan pengalamannya dalam berinteraksi secara sosial secara bersama-sama
dalam kehidupan bermasyarakat. Realitas yang terbentuk sebagai sebuah kenyataan dimaknai oleh Berger dan Luckmann
sebagai sesuatu yang bersifat objektif, atau dipahami oleh semua orang sesuai dengan apa adanya,
sedangkan pengetahuan manusia adalah sesuatu yang subjektif, di mana pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berbeda-berbeda sesuai dengan pengalaman
yang dialaminya.
Sementara itu, kepemimpinan adalah sebuah proses ketika seseorang/suatu individu memengaruhi sekelompok orang/individu lain untuk mencapai tujuan. Definisi kepemimpinan sebagai sebuah proses dapat diartikan bahwa kepemimpinan tidaklah bersifat linier� dan bukan peristiwa satu arah, tetapi
merupakan kejadian yang interaktif.
Ada beberapa pengelompokan yang dicetuskan
oleh para ahli terkait tipe-tipe kepemimpinan. Salah satunya dikemukakan oleh (Kartono, 2006)
dalam bukunya �Pemimpin dan Kepemimpinan�. Menurut Kartono, tipe kepemimpinan dapat dibagi menjadi : Kepemimpinan Kharismatis, Tipe Kepemimpinan Paternalistis/Maternalistik, Kepemimpinan Militeristik,� Kepemimpinan Otokratis (Outhoritative,
Dominator), Kepemimpinan Laissez Faire, Kepemimpinan Populistis, Kepemimpinan Administratif/Eksekutif dan Kepemimpinan Demokratis.
Selain itu, Teori kepemimpinan
dikemukakan (Northouse, 2013)
yang mengklasifikasikan jenis-jenis
kepemimpinan menjadi tiga, yaitu: Kepemimpinan
Transformasional, Kepemimpinan
yang melayani dan Kepemimpinan
Autentik.
Kepemimpinan transformasional termasuk dalam paradigma kepemimpinan baru yang memberi perhatian lebih pada elemen kepemimpinan yang karismatik dan peka. Kepemimpinan transformasional melalui proses
yang mengubah orang-orang dan peduli
dengan emosi, nilai, etika, standar,
dan tujuan jangka panjang. Hal ini termasuk menilai motif pengikut, memuaskan kebutuhan mereka, dan memperlakukan mereka sebagai manusia secara utuh. Kepemimpinan
transformasional mencakup bentuk pengaruh luar biasa yang menggerakkan pengikut untuk mencapai lebih dari apa
yang biasanya diharapkan dari mereka. Ini
adalah proses yang seringkali
menyertai kepemimpinan yang
bersifat karismatik dan
visioner.
Terkait dengan komunikasi politik mengemukakan tiga teori kepemimpinan.
Teori kepemimpinan pertama berpendapat bahwa pemimpin berbeda dari massa
rakyat karena karakteristik dan sifat yang
sangat dihargai. Semua pemimpin dalam semua proses peristiwa dan kebudayaan, memiliki karakteristik ini, sehingga disebut unitarytrait. Ada
dua variasi dalam tipe kepemimpinan
ini, yang pertama adalah Great Man
Theory, tipe pemimpin
yang memiliki sifat tertentu yang membuatnya berbeda. Teori kedua adalah teori
konstelasi sifat (Constellation of Traits Theory). Dalam teori ini,
pemimpin memiliki sifat-sifat yang sama dengan yang dimiliki oleh orang kebanyakan, namun tetap memadukan sifat-sifat ini dalam ciri-ciri kepemimpinan yang membedakannya dari orang lain, misalnya tahan terhadap tekanan, tidak bergantung pada orang lain dalam memecahkan masalah, dan sebagainya.
Para peneliti kepemimpinan selanjutnya mengemukakan satu teori baru yang disebut sebagai teori kepemimpinan situasionalis. Teori ini berpendapat bahwa waktu, tempat,
dan keadaan yang menentukan
siapa yang memimpin dan siapa yang menjadi pengikut.
Terkait dengan film, Marc Ferro dalam (Sutanto & Harapan, 2003)
menjelaskan bahwa sebagai media, film dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Hal ini berarti bahwa
kehadiran film dapat mengonstruksi realitas berbentuk pemahaman seseorang atas suatu kejadian di masa lalu/sejarah, meskipun
realitas sendiri bersifat multifaset dan kompleks (Triastika, 2016).
Sebagai sebuah media, film memiliki lima faktor yang memengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan
isi media, seperti dikemukakan oleh (Shoemaker & Reese, 1996)
dalam� Mediating The Message: Theories of
Influences on Mass Media Content,
yaitu: faktor individual, rutinitasmedia, organisasi, ekstra media dan ideologi.Ide
yang lain dikemukakan oleh (Sarkar et al., 2005)
dalam Communication
Yearbook volume 19. Wick melihat ada empat variable yang memengaruhi konstruksi frame dan konstruksi realitas sosial dalam media, antara lain: orientasi politik dan ekonomi media, praktik-praktik dan batasan dalam organisasi media, sistem kepercayaan jurnalistik yang berlaku dalam media dan teknik yang digunakan oleh media untuk menarik perhatian audiens. Film adalah media komunikasi visual, alat penyampai gagasan dalam bentuk gambar.
Gagasan tersebut dapat berupa informasi,
hiburan, persuasi, maupun pendidikan. Film tidak lagi dimaknai
hanya sebagai karya seni, tetapi
lebih praktik sosial yaitu sebagai
medium komunikasi massa
yang beroperasi di dalam masyarakat yang didalamnya terkandung nilai sosial. Kemampuan film dalam memberikan tampilan, baik dari segi audio maupun visual, adalah memberikan efek dramatis bagi para penonton yang mengapresiasi karya. �(Triastika, 2016)
menjelaskan bahwa terdapat dua unsur
pembentuk dalam film, yakni unsur naratif
dan unsur sinematik yang saling berinteraksi satu sama lain. Unsur naratif bukan
hanya bentuk yang digunakan oleh banyak film untuk mengisahkan cerita, namun sebenarnya
adalah cerita itu sendiri (Triastika, 2016).
Unsur naratif merupakan materi film yang diolah, seperti tokoh, masalah, konflik, dan lain sebagainya, sedangkan unsur sinematik adalah aspek teknis yang membentuk sebuah film seperti sinematografi, editing,
framing, suara dan mise en scene� (yang
terlihat di depan kamera,dengan empat elemen pokok: latar,
tatacahaya, kostum dan make-up). Semua
hal tersebut mendukung keberadaan film sebagai teks atau
wacana yang dihadirkan sebagai realitas bagi masyarakat. Film sebagai salah satu media komunikasi masa selalu merupakan potret dari kondisi masyarakat
di mana film itu dibuat. Dalam film bertema sejarah, kondisi masyarakat saat film itu dibuat, sangat berpengaruh pada pembingkaian terkait apa saja
yang ditampikan dan tidak ditampilkan dalam film.
Film bertema perang begitu banyak
diproduksi sepanjang masa. Setiap babakan sejarah tak luput
dari pengabadian audio
visual ini. Perang saudara di Amerika misalnya, begitu banyak menginspirasi
para sineas internasional. Begitu juga Perang Dunia I dan
II. Bahkan perang yang hanya merupakan skala kecil tak
luput dari kreativitas sineas. Peneliti sengaja memilih film �Band of
Brothers� karena relevansi
yang kuat dengan tema kepemimpinan. Di samping itu film ini terbukti sukses
dengan menyabet beberapa penghargaan bergengsi. Betapa besarnya pengaruh kepemimpinan dalam meningkatkan moral dan kinerja pasukan, tergambar jelas dalam film ini.
Penulis hanya mengambil sampel dari dua
episode dari 10 episode film
ini. Episode 1 (Curahee) dan episode 9 (Why We Fight) menggambarkan situasi kepemimpinan yang kuat untuk dianalisis
lebih dalam dari sisi konstruksi
kepemimpinan. Dari dua
episode itu, peneliti hanya mengambil tiga adegan, yaitu
adegan pemeriksaan pasukan oleh Kapten Sobel
(episode 1), adegan anggota
Kompi E �mengerjai� Kapten Sobel (episode 1) dan adegan
Kapten Sobel bertemu dengan Winters, bekas anak buahnya yang telah menjadi Mayor (episode 9).
Metode Penelitian
Semiotik atau semiologi merupakan dua istilah yang sebenarnya merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik di Amerika. Istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti �tanda� atau �sign�. Dalam bahasa Inggris diartikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, symbol dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.
Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik adalah teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (Sebeok, 2001).
Konsep semiotik awalnya diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara �yang ditandai� (signified) dan �yang menandai� (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah �bunyi yang bermakna� atau �coretan yang bermakna�. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Petanda adalah aspek mental dari bahasa Bertens, 2001:180. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. �Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,� kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Menurut Roland Barthes, semiotika memiliki beberapa konsep inti, yaitu signification, denotation dan connotation, dan metalanguage atau myth (Yan & Ming, 2015).
1. Signification
Menurut Barthes, signification dapat dipahami sebagai sebuah proses yang berupa tindakan, yang mengikat signifier dan signified, yang menghasilkan sebuah tanda. Dalam proses tersebut, dua bagian dari sebuah tanda tergantung satu sama lain dalam arti bahwa signified diungkapkan melalui signifier, dan signifier diungkapkan dengan signified.
2. Denotation (arti penunjukan) dan Connotation (makna tambahan)
Dalam semiotika, denotation dan connotation adalah dua istilah yang menggambarkan hubungan antara signifier dan signified. Selain itu, denotation dan connotation juga menggambarkan sebuah perbedaan analitis yang dibuat antara dua jenis signified yaitu denotative signified dan connotative signified (Simonoff et al., 2008). Denotation dan connotation selalu digambarkan dalam istilah level of representation atau level of meaning. Dalam bukunya yang berjudul Elements of (Seiler, 2000), Roland Barthes membedakan denotation dan connotation dengan merujuk pada pendapat Louis Hjelmslev dengan menggunakan istilah orders of signification.
Denotation adalah order of signification yang pertama. Pada tingkatan ini terdapat sebuah tanda yang terdiri atas sebuah signifier dan sebuah signified. Dalam artian, denotation merupakan apa yang kita pikirkan sebagai sebuah literal, bersifat tetap, dan memiliki makna kamus sebuah kata yang secara ideal telah disepakati secara universal. Sedangkan, connotation adalah order of signification yang kedua yang berisi perubahan makna kata secara asosiatif. Menurut Barthes, hal ini hanya berlaku pada tataran teoritis. Pada tataran praktis, membatasi makna ke dalam sebuah denotative akan sangat sulit karena tanda selalu meninggalkan jejak makna dari konteks sebelumnya.
3. Metalanguage atau Myth atau Mitos
Pada bagian akhir dari bukunya yang berjudul Mythologies, Roland Barthes mengkombinasikan beberapa contoh kasus ke dalam sebuah satu teori yang diramu melalui tulisannya yang berjudul Myth Today. Barthes mencoba untuk mengkonseptualisasikan mitos sebagai sebuah sistem komunikasi, oleh karena itu sebuah pesan tidak dapat mungkin menjadi sebuah obyek, konsep, atau gagasan, melainkan sebuah bentuk signification. Ia juga menganalisa proses mitos secara jelas dengan menyajikan contoh-contoh yang khusus.
Berdasarkan definisi yang dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure, Barthes berpendapat bahwa signification dapat dibagi kedalam denotation dan connotation. Yang dimaksud dengan denotation tingkatan makna deskriptif dan literal yang dibagi oleh sebagian besar anggota dalam sebuah kebudayaan. Sedangkan, yang dimaksud dengan connotation adalah makna yang diberikan oleh signifiers yang terhubung dengan kebudayaan yang lebih luas seperti kepercayaan, sikap, kerangka kerja dan ideologi bentukan sosial.
Menurut Barthes, mitos adalah signification dalam tingkatan connotation. Jika sebuah tanda diadopsi secara berulang dalam dimensi syntagmatic maka bagian adopsi akan terlihat lebih sesuai dibandingkan dengan penerapan lainnya dalam paradigmatic. Kemudian connotation tanda menjadi dinaturalisasi dan dinormalisasi. Naturalisasi mitos adalah sebuah bentukan budaya.
Mitos merupakan a second-order
semiological system. Sebuah
tanda dalam sistem pertama menjadi signifier pada sistem kedua. Menurut Barthes, tanda adalah sistem
pertama, atau bahasa, sebagai bahasa obyek, dan mitos sebagai metalanguage. Signification mitos� menghapus
sejarah atau narasi tanda dan mengisi ruang kososng
tersebut dengan makna yang baru.
A. Hasil Penelitian
Sampel 1
Adegan episode 1 (Curahee):
Kapten Sobel sebagai Komandan Kompi E melakukan pemeriksaan barisan. Dia mencari-cari
kesalahan setiap prajurit sekecil apapun seperti benang yang menjulur di pakaian seragam atau bayonet yang berdebu. Atas kesalahan-kesalahan tersebut Kapten Sobel membatalkan cuti seluruh anggota
kompi dan memerintahkan untuk berlari 3 mil naik turun bukit.
Tabel 1
Tingkat
Pertama |
Tingkat
Kedua |
Mitos |
||
Penanda |
Petanda |
Penanda |
Petanda |
1. Pemimpin kadang merasa
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, sehingga cenderung sewenang-wenang. 2. Pemimpin otoriter melakukan
apa saja yang menurutnya baik untuk organisasi. |
Kapten Sobel menemukan benang pada seragam seorang prajurit.� |
Kapten Sobel mencari-cari kesalahan prajurit. |
Kapten Sobel mencari-cari kesalahan prajurit. |
Kapten Sobel ingin menghukum prajuritnya.�� |
|
Kapten Sobel membatalkan cuti seluruh prajurit karena kesalahan kecil beberapa prajurit. |
Kapten Sobel tidak senang melihat prajuritnya senang (cuti). |
Kapten Sobel tidak senang melihat prajuritnya senang (cuti). |
Kapten Sobel sewenang-wenang terhadap prajuritnya. |
Sampel 2
Adegan Episode 1 (Curahee) : Dalam salah satu latihan tempur,
Kapten Sobel melakukan kesalahan membaca peta sehingga terjebak
dalam peternakan sapi. Para prajurit yang diperintahkan berkumpul dalam persembunyian �mengerjai� Kapten Sobel dengan menirukan suara komandan yang lebih tinggi. Ulah
tersebut berhasil membuat malu sang kapten sekaligus memuaskan para prajurit.
Tabel 2
Tingkat
Pertama |
Tingkat
Kedua |
Mitos |
||
Penanda |
Petanda |
Penanda |
Petanda |
Penghormatan yang diberikan bawahan kepada pimpinan otoriter cenderung palsu, formalitas belaka. |
Para
prajurit menertawakan kesalahan yang dibuat Kapten Sobel. |
Para prajurit
sebenarnya tidak menghormati Kapten Sobel.� |
Para prajurit
sebenarnya tidak menghormati Kapten Sobel.� |
Kepemimpinan Kapten
Sobel hanya menumbuhkan ketakutan, bukan penghormatan.�� |
|
Para
prajurit iseng �mengerjai� Kapten Sobel dengan meniru suara komandan yang lebih tinggi. |
Para
prajurit yang tertindas melakukan tindakan balas dendam.� |
Para
prajurit yang tertindas melakukan tindakan balas dendam.� |
Para
prajurit berani melawan Kapten Sobel dengan caranya sendiri.� |
Sampel 3
Adegan dalam
episode 9 (Why We Fight) : Salah satu
komandan peleton bernama Winters promosi menjadi Mayor dan diangkat menjadi Komandan Kompi E. Kapten Sobel dialih tugaskan menjadi Kepala Sekolah Penerjunan Khusus Non-Militer. Dalam adegan ini
mereka berdua bertemu dan Kapten Sobel tak memberi hormat
kepada Mayor Winters. Disaksikan
beberapa anggota pasukan, Mayor Winters menegur
Sobel untuk memberi hormat. Dengan ragu dan terpaksa, Sobel memberi hormat kepada Winters diikuti senyum para prajurit.
Tabel 3
Tingkat
Pertama |
Tingkat
Kedua |
Mitos |
||
Penanda |
Petanda |
Penanda |
Petanda |
1. Pemimpin cenderung sulit� menerima bawahannya melampaui dirinya. 2. Sikap profesional pemimpin dipertaruhkan ketika bercampur dengan kesempatan balas dendam. |
Ekspresi wajah terpaksa
Kapten Sobel ketika memberi hormat kepada Mayor Winters yang dulu pernah ditindasnya. |
Sobel
tidak bisa menerima bekas anak buahnya berpangkat lebih tinggi daripada dirinya.�� |
Sobel
tidak bisa menerima bekas anak buahnya berpangkat lebih tinggi daripada dirinya.�� |
Sobel
hanya ingin dihormati dan enggan menghormati orang lain. |
|
Sikap
Winters yang menegur Sobel untuk
menghormat disaksikan beberapa prajurit. |
Sikap profesional seorang prajurit dalam hubungan atasan bawahan. |
Sikap profesional seorang prajurit dalam hubungan atasan bawahan. |
Menunjukkan cara yang elegan
dalam� melampiaskan
kekesalan yang terpendam
di masa lalu.�
|
B. Pembahasan
Sesuai yang pengelompokan
tipe kepemimpinan menurut (Kartono,
2006) dalam bukunya �Pemimpin dan Kepemimpinan�, tipe kepemimpinan Kapten Sobel dalam film Band of Brothers dapat
dimasukkan paling tidak dalam 3 tipe, yaitu
Otoriter, Militeristis dan Otokratis.
Tipe Kepemimpinan
Otoriter menempatkan kekuasaan di tangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukannya dan tugas anak buah semata-mata
hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah dan bahkan kehendak pimpinan. Pimpinan memandang dirinya lebih dalam
segala hal, dibandingkan dengan bawahannya. Kemampuan bawahan selalu dipandang sebelah mata, dan dianggap tidak mampu berbuat
sesuatu tanpa di perintah. Tipe ini tergambar jelas
dalam analisis di atas yaitu bagaimana
Kapten Sobel memperlakukan pasukannya. Kekuasaan ada di tangan Kapten
Sobel seorang, para komandan
peleton tidak dianggap sebagai pemimpin, malah menjadi bagian pasukan yang dikenakan hukuman juga. Para komandan peleton dan pasukan juga tidka dimintai pendapat, hanya menjadi obyek pimpinannya.
Tipe militeristis
sebenarnya mirip dengan tipe kepemimpinan
otoriter, tapi perlu dibedakan dengan kepemimpinan organisasi militer. Adapun sifat-sifat pemimpin yang militeristis:
� Seringkali menggunakan
sistem perintah/komando terhadap bawahannya dengan keras, kaku dan kurang bijaksana;
� Menginginkan kepatuhan
mutlak bawahan;
� Menyukai formalitas,
upacara, ritual, tanda-tanda
kebesaran secara berlebihan;
� Menuntut disiplin
keras disiplin dari bawahannya;
� Tidak menerima
saran, usul, kritik bawahan;
� Komunikasi searah.
Dengan kriteria
sepeti di atas, tergambar bagaimana tipe kepemimpinan militeristis melekat dalam Kapten Sobel dalam memimpin Kompi E. Keras, kaku, kurang bijaksana
tergambar dalam adegan ketika Sobel memeriksa barisan dan membatalkan cuti seluruh anggota pasukan hanya gara-gara
pelanggaran kecil dan dilakukan beberapa orang prajurit. Sobel juga terlihat menginginkan kepatuhan mutlak bawahannya, disiplin keras dan tak menerima alasan
apapun. Komunikasi Sobel
dan anggota pasukan juga serahkan, karena anggota pasukan hanya bisa menjawab,
�Yes Sir... �, �No Excuse Sir..�.
Tipe kepemimpinan
otokratis menyandarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai
pemain tunggal (one- man show). Setiap
perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya. Pemimpin selalu berdiri jauh dari anggota
kelompoknya, eksklusif dan berjarak. Dalam sampling adegan 2, Kapten Sobel tidak berkonsultasi dengan bawahannya ketika memutuskan sesuatu dalam latihan
tempur. Dia bertindak sendiri dan memaksakan kehendaknya, sehingga malah membuat hasil yang salah bagi seluruh anggota
Kompi.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Konsep kepemimpinan dalam film-film bertema perang memang selalu
menonjol. Setiap komandan pasukan digambarkan dengan cara yang unik sesuai dengan situasi
masing-masing. Dalam film Band of Brothers, Kapten Sobel digambarkan sebagai pemimpin yang otoriter, militeristik dan otokratis. Penggambaran Kapten Sobel sebagai pemimpin yang tidak disukai anak
buahnya begitu sempurna dalam film itu, sehingga penonton
terbawa emosi ikut membenci tokoh
Sobel. Kepemimpinan semacam
ini boleh jadi efektif dalam
situasi tertentu seperti situasi penuh tekanan misalnya.
Namun dalam jangka panjang yang timbul adalah rasa kebencian dan keinginan untuk membalas dendam. Sosok pemimpin
yang melekat dalam diri Kapten Sobel melahirkan soliditas dan menyatukan para prajurit dalam sebuah kebersamaan
rasa tertindas dan sikap. Ketika
ada kesempatan, para bawahan cenderung menunjukkan sikap balas dendam kepada
atasannya. Rasa hormat yang
ditunjukkan kepada pimpinan tipe demikian
sekedar formalitas saja, tidak benar-benar
rasa hormat yang sesuangguhnya.
Dalam sampel adegan 3 dapat dilihat bahwa para anggota pasukan tidak lagi menghormati
Kapten Sobel karena sudah bukan komandannya
lagi. Mayor Winters dalam sampel adegan 3 menunjukkan secara tersamar bagaimana halusnya dia menunjukkan
rasa dendamnya kepada Kapten Sobel.
Abeng, T. (2018). Tanri Abeng : Indonesia Krisis Pemimpin, Bukan Ekonomi.
Bisnis.Com. https://kabar24.bisnis.com/read/20180608/15/804385/tanri-abeng-indonesia-krisis-pemimpin-bukan-ekonomi.
Google Scholar
Akmalsyah, R. (2010). Analisis semiotik Film a mighty heart.
Google Scholar
Berger, P. L. (2015). Konstruksi Realitas
Sosial Sebagai Gerakan Pemikiran. Jurnal
Penelitian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika, 5 (3), 11�23. Google Scholar
Diniati, A. (2018). Konstruksi Sosial
Melalui Komunikasi Intrapribadi Mahasiswa Gay di Kota Bandung. Jurnal Kajian Komunikasi, 6 (2), 147�159. Google Scholar
Firdaus Baderi. (2015). Krisis Kepemimpinan. Neraca.Co.Id.
https://www.neraca.co.id/article/51600/krisis-kepemimpinan. Google Scholar
Kartono, K. (2006). Pemimpin dan
Kepemimpinan [Leader and Leadership].
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Google Scholar
Northouse, P. G. (2013). Kepemimpinan:
Teori dan praktik. Jakarta: Indeks.
Google Scholar
Santoso, P. (2016). Konstruksi sosial media
massa. AL-BALAGH: Jurnal
Komunikasi Islam, 1 (1).
Google Scholar
Sarkar, T. K., Wicks, M. C., Salazar-Palma,
M., & Bonneau, R. J. (2005). Smart antennas (Vol. 170). John Wiley
& Sons. Google Scholar
Sebeok, T. A. (2001). Signs: An introduction
to semiotics. University of Toronto
Press. Google Scholar
Seiler, R. (2000). Semiology//Semiotics. University of Calgary. Google Scholar
Shoemaker, P. J., & Reese, S. D.
(1996). Mediating the message.
White Plains, NY: Longman. Google Scholar
Simonoff, E., Pickles, A., Charman, T.,
Chandler, S., Loucas, T., & Baird, G. (2008). Psychiatric disorders in children with autism spectrum disorders:
prevalence, comorbidity, and associated factors in a population-derived sample.
Journal of the American Academy of
Child & Adolescent Psychiatry, 47 (8), 921�929. Google Scholar
Siti Zuhro. (2019). Jokowi Vs Prabowo di Pilpres 2019: Indonesia Krisis
Kepemimpinan. Jawapos.Com.
https://www.jawapos.com/nasional/02/09/2017/jokowi-vs-prabowo-di-pilpres-2019-indonesia-krisis-kepemimpinan/.
Google Scholar
Sri Edi Swasono. (2019). Guru Besar Ekonomi UI: Indonesia
Krisis Konstitusi Dan Kepemimpinan. Politik.Rmol.Id.
https://politik.rmol.id/read/2019/05/19/390346/guru-besar-ekonomi-ui-indonesia-krisis-konstitusi-dan-kepemimpinan.
Google Scholar
Sutanto, I., & Harapan, A. A. (2003). Prancis dan kita: strukturalisme, sejarah,
politik, film, dan bahasa. Wedatama Widya Sastra. Google Scholar
Tomagola, T. A. (2012). Indonesia krisis kepemimpinan. Sindonews.Com.
https://nasional.sindonews.com/berita/699051/12/indonesia-krisis-kepemimpinan. Google Scholar
Triastika, S. (2016). Konstruksi
Kepemimpinan Tokoh Bangsa dalam Film Ketika Bung di Ende. Jurnal Penelitian Komunikasi Vol, 19 (1), 15�28. Google Scholar
Yan, S., & Ming, F. (2015). Reinterpreting some key concepts in Barthes
theory. Journal of Media and
Communication Studies, 7 (3),
59�66. Google Scholar
Copyright holder: Hisyam Haikal (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |