Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 2 No. 11 November 2021 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
ANALISIS ASPEK HUKUM UMKM DAN UKM DI INDONESIA DALAM KAITANNYA
DENGAN PENGEMBANGAN EKONOMI
Alva
Ruslina, Bernard Nainggolan, Wiwik Sri Widiarty
Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected],
[email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 25 Oktober 2021 Direvisi 05 November
2021 Disetujui 15 November
2021 |
Pinjaman online yang saat
ini banyak diminati oleh masyarakat
Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga ada resiko yang sudah terjadi setelah melakukan transaksi tersebut. Kemudahan dalam melakukan transaksi pinjaman memberikan peluang bagi pijaman ilegal untuk melakukan aksinya, maraknya kasus pinjaman online yang terjadi di Indonesia menjadi alasan utama permasalahan ancaman yang diterima oleh konsumen akibat pinjaman online ilegal. Tidak hanya ancaman tetapi pelaku juga menyebarkan data pribadi korban
merupakan suatu pelanggan undang-undang Transaksi Elektronik dan melanggar aturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan karena tidak ada ijin.
Upaya perlindungan hukum harus ditegaskan
bagi setiap pihak yang ikut berperan dalam finansial teknologi� peer to peer lending.
Perlindungan hukum yang diterapkan harus juga melibatkan konsumen serta setiap platform untuk
mengikuti regulasi yang ditetapkan. Regulasi tersebut harus memberikan keadilan bukan hanya kepada
satu pihak tetapi seluruh pihak hingga pihak ketiga. Sebagai lembaga Otoritas Jasa Keuangan, atau yang disingkat OJK memiliki peranan dalam memberikan sosialisasi terkait dengan regulasi yang ada. Pendekatan serta sosialisasi harus diusahakan secara terus-menerus agar dapat memberikan keadilan bagi setiap pihak. Upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan juga melibatkan peran asosiasi fintech pendanaan
bersama Indonesia dengan menampung aspirasi masyarakat dalam memberikan rasa aman. ABSTRACT��������������������������� Online loans, which are currently in great
demand by the Indonesian people, not only provide positive benefits but also
have risks that have occurred after making the transaction. The ease of
conducting loan transactions provides an opportunity for illegal lenders to
take action, the rise of online loan cases that occur in Indonesia is the
main reason for the problem of threats received by consumers due to illegal
online loans. Not only threats, but the perpetrators also spread the victim's
personal data which is a violation of the Electronic Transactions law and
violates the rules set by the Financial Services Authority because there is
no permission. Legal protection efforts must be emphasized for every party
who plays a role in peer to peer lending technology
finance. The legal protection applied must also involve consumers and every
platform to follow the regulations set. The regulation must provide justice
not only to one party but to all parties to third parties. As an institution
of the Financial Services Authority, or abbreviated as OJK, it has a role in
providing socialization related to existing regulations. Approaches and
socialization must be pursued continuously in order to provide justice for
each party. Efforts made by the Financial Services Authority also involve the
role of fintech associations with joint funding of Indonesia by accommodating
the aspirations of the community in providing a sense of security. |
Kata Kunci: �perlindungan konsumen; peer to peer lending; otoritas jasa keuangan Keywords: consumer protection; peer to peer lending; financial
services authority |
Pendahuluan
Salah satu kriteria suatu negara yang dikategorikan maju atau tidak adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Perkembangan teknologi juga merupakan indikator dari jenis dan pola produksi. Perkembangan dan pemilihan teknologi akan mempengaruhi bisnis. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh banyak teknologi baru telah ditemukan. Di antara w�ktu penemuan
inovasi-inovasi utama juga berdampak pada ekonomi yang mengalami stagnasi. karena negara lebih percaya pada sesuatu yang datang dari luar
dari pada karya anak bangsa. Beberapa
pakar ekonomi percaya bahwa stagnasi
ekonomi: sekarang ini akan bekelanjutan
terus hingga muncul inovasi yang disebut dengan platform, perpidahan
sebuah produk yang berubah menjadi platform, kehidupan
usaha juga terus mengalami perubahan. Aktivitas yang dilakukan juga tidak saja melalui
individu tetapi juga platform dengan
platform lainnya.
Inilah peradaban informasi yang segala sesuatunya berawal dari data yang menjadi informasi dan memberi pengetahuan.
Lacy, Hagenmueller, dan Ising mencatat, dalam platform, siapa pun kompetitor pada masa lalu bisa berubah
menjadi mitra kerja yang dekat. Sebaliknya, yang dulu menjadi mitra bisnis
menjadi pesaing yang mematikan. Kehidupan tak lagi sekedar� konsumsi, melainkan partisipasi yang meningkat. Platform
itulah yang menjadikan pelaku-pelaku ekonomi dan
negara-negara tertentu mendominasi
dunia pada abad 21 ini. Tercatat tiga dari
lima perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia pada
2014 (Apple, Google, dan Microsoft) berbentuk platform (Budhijanto, 2017).
Namun, pada 2017, sudah puluhan perusahaan yang berbentuk platform: Apple, Google, Microsoft, Amazon, IBM,
Samsung, Intel, Cisco, SAP, Nike, Facebook, dan sebagainya.
Demikian juga kampus-kampus
kelas dunia yang menghimpun
pengetahuan terdepan (Harvard, MIT, Stanford, Chicago, Yale,
Cambridge) dan startup-startup
yang berhasil menggusur incumbent dan mendominasi
ekonomi dunia (Alibaba, Amazon, Ebay,
Facebook, YouTube, Airbnb, Tencent, Baidu, Softbank). Oleh karena
itu sebagai salah satu aktor yang bersaing di dunia, Indonesia juga perlu
membangun platform
atau setidak-tidaknya mentransformasi sejumlah perusahaan incumbent
menjadi platform.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa memiliki lima hingga sepuluh platform,
grup-grup besar perusahaan swasta, atau bahkan badan-badan pemerintah seperti Astra, Sinarmas, RGE, Lippo Group, Austindo,
Djarum Group, Bekraf, dan sejumlah perusahaan nasional lainnya juga bisa menjadi platform. Sebagian
startup lokal seperti
GO-JEK, Bukalapak, dan Kitabisa.com sudah berbentuk platform. Demikian juga transaksi bisnis terselubung seperti obat-obatan terlarang, online dating, online game (dan olahraga elektronik), perabotan perawatan bayi, dan jasa-jasa tertentu, yang sudah berpindah ke dunia platform dan memengaruhi kehidupan secara luas. Kita perlu menghadapi serangan ekonomi para platform global� dengan
platform, bukan dengan produk. Demikian juga dengan serangan-serangan psikologis atau politis termasuk dengan pengembangkan technology financial (Kasali, 2018).
Fintech merupakan financial
technology atau teknologi
finansial. Menurut The National Digital Research Centre (NDRC),
di Dublin, Irlandia, mendefinisikan
fintech sebagai
�innovation in financial services� atau �inovasi dalam
layanan keuangan fintech� yang merupakan
suatu inovasi pada sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern (Iman, 2016).
Transaksi keuangan melalui fintech ini meliputi pembayaran,
investasi, peminjaman uang,
transfer, rencana keuangan
dan pembanding produk keuangan. Beberapa perusahaan fintech
yang telah ada di Indonesia
saat ini, misalnya CekAja, Uang Teman, Pinjam, Cek Premi, Bareksa, Kejora, Doku, Veritrans,
Kartuku. Terdapat penambahan 10 (sepuluh) penyelenggara fintech
lending berizin pada tahun
2021 yaitu: PT Cicil Solusi
Mitra Teknologi, PT Inovasi
Terdepan Nusantara, PT Semangat
Gotong Royong, PT Kreditku Teknologi
Indonesia, PT Pinduit Teknologi
Indonesia, PT Modal Rakyat Indonesia, PT Anugerah
Digital Indonesia, PT Idana Solusi Sejahtera, PT
Trust Teknologi Finansial,
dan PT Harapan Fintech Indonesia. Sehingga jumlah perusahaan yang berizin menjadi 56 (lima puluh enam) penyelenggara. Selain itu terdapat
penambahan aplikasi milik PT Uangme Fintek Indonesia pada sistem operasi iOS di Apple Appstore yang bernama
(UangMe, App Pinjaman Cepat & Pendanaan Aman). Financial technology memberikan
manfaat bagi pertumbuhan industri elektronik (E-commerce)
di Indonesia. mendorong tumbuhnya
usaha kecil menengah dan lahirnya wirausaha baru, mendukung para pemeran usaha kreatif untuk
memperluas distribusi pasar
dan mendorong perkembangan
pasar, terutama yang masih belum mendapatkan layanan keuangan dan perbankan konvensional. Fintech dianggap
lebih fleksibel dibandingkan dengan penyedia layanan pinjaman uang lain nya, seperti bisnis keuangan konvensional atau bank tradisional yang di mana
masih terbatasnya peraturan yang mengatur industri layanan keuangan ini. Terlihat
pada saat proses pengajuan peminjaman pada jasa keuangan konvensional, konsumen harus melengkapi beberapa proses administrasi. Berbeda dengan bisnis Fintech, yang lebih
mudah dalam proses mengajukan pinjaman yang hanya mengunggah dokumen yang dibutuhkan melalui internet, dengan menggunakan langkah awal yang mudah maka sangat dibutuhkan aturan yang mengatur layanan tersebut.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan teknologi finansial menimbang bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi, khususnya� yang berkaitan
dengan teknologi untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat termasuk akses terhadap layanan finansial dan proses transaksi. Perkembangan Fintech pinjaman
online di Indonesia, berkembang dengan
sangat pesat hingga menimbulkan banyak masalah juga. Salah satunya yang menjadi perhatian utama adalah pinjaman
illegal atau tidak berizin yang merugikan masyarakat yang melakukan pinjaman. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan himbauan kepada masyarakat untuk menggunakan jasa-jasa penyelenggara fintech
yang sesuai dengan daftar perusahan yang sudah terdaftar dan mendapat ijin dari pihak
Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Hal ini mendapat perhatian khusus karena pada tahun 2021, bulan Februari, tercatat keseluruhan total penyaluran dananya mencapai Rp 169.5 Trilius. Jumlah peminjaman semakin naik 889% dari 4,36 juta nasabah pada 2018 menjadi 43,56 juta nasabah per desember 2020. Kenaikan dan pertubuhan yang pesat inipun tidak
berjalan mulus. Terdapat masalah yaitu maraknya pinjaman illegal atau yang tidak mempunyai ijin resmi dari
Otoritas Jasa Keuangan. Dalam catatannya Otoritas Jasa Keuangan terdapat 1.026 Fintech
Ilegal pada tahun 2020. Padahal hingga saat ini dalam
catatannya OJK hanya memberikan ijin kepada 148 pinjaman online yang secara resmi mendaftar.
Oleh karena itu pelindungan hukum menjadi suatu dasar
utama yang harus diperhatikan konsumen peer to peer lending. Oleh karena itu penulis
mengemukakan suatu pokok permasalahan yaitu;
Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen layanan
finansial teknologi di
Indonesia?
Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahan
ini, maka penulis akan menggunakan
jenis penelitian hukum normatif yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum maupun doktrin-doktrin dalam menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian normatif merupakan suatu penelitian dalam bentuk pendekatan
doctrinal yang bersifat yuridis
atau normatif. pada dasarnya adalah suatu penelitian yang akan mengkaji aspek-aspek
yang digunakan sebagai bahan hukum untuk
dapat menyelesaikan masalah yang adalah di dalamnya yang ada dalam hukum positif.
Hukum sebagai suatu sistem mempunyai kemampuan untuk hidup, tumbuh dan berkembang di dalam sistemnya sendiri harus diakui menggunakan
analisis hukum yang disebut dengan penelitian hukum normatif. Metode penelitian ini juga merupakan suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melakukan penelitian penulis menggunakan bahan-bahan hukum dalam menyusun
penelitian, bahan-bahan itulah yang bersumber dari sumber data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier. Dimulai dari sumber
hukum inilah penulis mengumpulkan data untuk dapat dikelolah
(Syamsul, 2012).���
1.
Sumber hukum primer adalah bahan hukum
yang mengikat terdiri dari:
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa keuangan
c.
Undang-undang Informasi Teknologi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008
d.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Nomor, 2018a);�
e.
Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan Manajemen
Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Anoraga, 2000);
f.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor l/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Nomor, 2018b).
g.
Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan Nomor
18/SEJOK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Candra, 2019).
2.
Sumber Bahan Hukum Sekunder
Sumber
Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan secara umum mengenai bahan
hukum primer, hal ini bisa berupa:
Buku-buku ilmu hukum.
3.
Sumber bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Maka, penulis menggunakan
kamus, artikel, atau hal-hal yang mendukung penelitian ini.
4.
Tahap Pengumpulan Data
Penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau menguji hipotesis. Penelitian ilmu hukum Menurut Peter, M, Marzuki dilakukan untuk mencari pemecahan
atas isu hukum yang timbul. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
penelitian hukum normatif yaitu merupakan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum kepustakaan mengharuskan penulis untuk melakukan
analisis secara deskritif dalam mencari bahan pustaka,
seorang peneliti perlu untuk mengetahui
seluk-beluk perpustakaan sebagai tempat terhimpunnya data sekunder dalam rangka membantu
peneliti untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya (Rahardjo, 2006).
Bahan pustaka yang juga disebut sebagai data sekunder terutama dapat diperoleh dari perpustakaan. Banyak orang menganggap
perpustakaan hanyalah sebagai suatu tempat
terkumpulnya buku-buku atau gudang buku.
Pendapat demikian tidaklah benar, oleh karena yang benar adalah perpustakaan merupakan gudang ilmu pengetahuan, sebab perpustakaan merupakan tempat terhimpunnya ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia dari masa ke masa. Suatu perpustakan secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang dengan teratur dan sistematis menyelenggarakan pengumpulan perawatan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan
dalam bentuk layanan yang bersifat edukaif.
Suatu penelitian sebelumnya juga memuat tentang; Pengaruh Fintech Terhadap Perkembangan Bisnis UMKM melalui Variabel Intervening Kepuasan Konsumen, penelitian yang dikemukakan oleh Agung Akbar Putra Bastian jelas berbeda dengan
penelitian ini; �Perbedaan terletak pada aspek penelitian penulis ini yang focus pada bidang ekonomi serta pengembangan
ekonomi saat finansial teknologi muncul di Indonesia dengan metode penelitian dengan menggunakan alat mengumpulkan data berubah penelitian lapangan serta pandangan pengembangan ekonomi saat kemunculan
finansial teknologi berbeda dengan penelitian ini melihat pada sisi perlindungan hukum bagi konsumen finansial
teknologi. Dengan menggunakan metode penelitian normativ hukum, serta bahan-bahan
yang bersumber pada hukum.
Oleh kaena itu, keduanya memiliki persamaaan penelitian pada isu finansial teknologi
tetapi tetap saja terdapat perbedaan
yang signifikan (Santi et al., 2017).
Pada suatu
perjanjian terdapat beberapa pihak yang melakukan perjanjian, dalam perjanjian yang melibatkan, salah satu contoh, Ruly Yakub merupakan warga negara Indonesia
yang lahir di Jawa Tengah, merupakan seseorang yang melakukan pinjaman dana kepada pemberi pinjaman dalam perjanjian ini adalah Doctor Dana Limited yang merupakan
suatu platform di Hongkong, yang diwakili
oleh direktur yaitu Zhang Zepeng, transaksi pinjam-meminjam ini dilakukan pada awalnya melalui perjanjian terkait dengan jumlah peminjaman Rp 3,350,000.00
jangka waktu 30 hari� dengan besar suku
Bunga 0,8 % untuk setiap hari. Pinjaman juga dilakukan tanpa jaminan. Dalam pinjaman ini jika,
penerima pinjaman belum melakukan pembayaran pada tanggal jatuh tempo maka penambahan 5%, adapun penerima pinjaman dapat memperpanjang tanggal pembayaran 3 hari kedepan jika
belum dapat membayar namun, tidak boleh diperpanjang
lagi. Selanjutnya bagi pemberi pinjaman
dan peminjam tidak diperkenankan melanggar peraturan yang ditetap oleh Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77; melanggar perjanjian atau komitmen penerima pinjaman dengan pihak pemberi pinjaman
dan pihak yang terkait.� Jika mengakses suatu platform sebagai pemberi pinjaman seharusnya memiliki hak untuk menerima
pelunasan pinjaman tepat pada waktu yang ditentukan. Kewajiban yang dimiliki oleh pemberi pinjaman yaitu menggunakan platform yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Republik Indonesia. Dalam
suatu perjanjian yang resmi juga dijelaskan terkait dengan pinjaman setelah tanggal jatuh tempo penerima pinjaman belum juga melunasi kewajiban dalam mengembalikan pinjaman kepada pemberi pinjaman maka pinjaman
mengizinkan penyelenggara untuk mengeluarkan surat peringatan kepada penerima pinjaman sebagai bentuk peringatan untuk membayaran kewajiban. Dalam suatu perjanjian pinjaman juga terdapat cedera janji yang artinya hak, kewajiban,
batas-batas aktivitas seluruh pihak yang terkait sudah di atur dalam isi
perjanjian. Dalam menyelesaian sengketa juga diatur dalam hukum.
Proses pinjaman online seharusnya
memuat berbagai ketentuan-ketentuan yang mengatur
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian.
Agar seluruh pihak dapat menjalankan hak-hak serta kewajibannya
sesuai dengan peraturan yang ada dan disepakati bersama. Jika tidak maka, yang terjadi adalah kerugian akibat dari pinjaman online yang tidak terdaftar, maka perlindungan hukum sangat penting untuk diberikan bagi konsumen (Shidarta, 2018).
Maraknya kasus pinjaman online di Indonesia maka
nasabah harus waspada dan paham ciri-ciri pinjaman online yang ilegal. Tingginya minat pasar untuk mengambil pinjaman melalui perusahaan teknologi finansial (fintech) membuat
pertumbuhan pinjaman online� semakin
massif, maka harus ada perlindungan hukum bagi konsumen
pinjaman online. Pinjaman ilegal sangat agresif dalam melakukan penawaran melalui pesan singkat atau
e-mail dan lainnya. Berbeda
dengan pinjaman online yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dilarang mengirimkan promosi selain kepada pengguna.
Kedua, pinjaman dari pinjaman online ilegal biasanya singkat, misalkan dalam 7 hari atau
14 hari. Biasanya, setelah melewati batas pinjaman, pinjaman online ilegal akan mengirimkan dana secara otomatis ke rekening anda.
Begitu sudaah lunas dana masuk lagi, lalu utang lain. Hal-hal ini harus
di tindak dengan tegas dan hak dari
konsumen juga harus dilindungi (Tumanggor, 2012).
Pinjaman online illegal tidak memiliki aturan pasti tentang
penetapan bunga kredit. Pinjol ilegal juga tidak transparan soal bunga kredit, biasanya
bunga muncul setelah dana diterima dan melebih batasan yang telah ditentukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuagan. Pinjaman
online legal hanya diperbolehkan
untuk memberikan bunga sebesar 0,8 persen per hari dan menghitung dalam 90 hari. Artinya tidak
sesuai dengan aturan dasar yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Umumnya pinjol ilegal hanya
membutuhkan Kartu Tanda Penduduk dan permintan dana langsung diproses (Widiarty, 2016).
Pinjaman online ilegal tidak akan melakukan
konfirmasi ke pihak yang bersangkutan pada seharusnya ada konfirmasi ke pihak
yang bersangkutan. Di lain pihak,
dalam transaksi online, setiap konsumen bertindak atas namanya sendiri tanpa berhubungan dengan konsumen lain
masing-masing beroperasi secara
terpisah dari yang lain karena konsumen tidak mengetahui adanya konsumen lain atau tidak dapat
berkomunikasi dengan konsumen lain tersebut. Sangat berbeda dengan transaksi 'dunia nyata', pada transaksi Net kecil kemungkinan membentuk kelompok pendukung konsumen yang sesuai dengan wewenang dan legitimasi dengan menggunakan tekanan pada bisnis dan juga pemerintah untuk melibatkan diri dan melaksanakan bermacam-macam bentuk perlindungan yang mengacu pada bentuk terdahulu secara singkat (Valerine, 2015).
Kelompok pendukung
konsumen menganjurkan perlindungan konsumen yang secara khusus dibentuk
berdasarkan, dan dalam batas, undang-undang pemerintahan Iokal, baik undang-undang tersebut mengijinkan operasional mereka dengan jelas atau
tidak, atau berdasarkan hak konstitusional asosiasi yang bebas (Miru, 2004).
Kenaikan pertumbuhan ekonomi di Indonesia berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada kuartal 2020 sebesar
2,97% year-on-year (yoy).
Pertumbuhan ekonomi triwulan 2020 ini, lebih rendah dari
kuartal I-2019 yang 5,07% . Penurunan pertumbuhan ekonomi ini, disebabkan
oleh turunnya sejumlah ekspor Indonesia, salah satunya ke China dan Amerika Serikat, dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Hal ini merupakan dampak
dari pandemi wabah virus corona yang membuat sejumlah negara melakukan lockdown sehingga
perdagangan ekspor impor terdampak luas. Penurunan pertumbuhan ekonomi ini juga berdampak kepada jumlah populasi,
tingkat inflasi dan biaya hidup yang semakin tinggi di Indonesia.
Dimana hal ini juga menyebabkan maraknya Pinjaman Online untuk memenuhi kebutuhan sosial. Perkembangan teknologi yang tidak terbatas di era digital sekarang ini, semakin lengkap
dengan hadirnya salah satu bentuk penerapan
teknologi informasi di bidang keuangan, yaitu aplikasi Pinjaman Online. Pinjaman Online merupakan fasilitas pinjaman uang oleh penyedia jasa keuangan yang terintegrasi dengan teknologi informasi, mulai dari proses pengajuan, persetujuan hingga pencairan dana dilakukan secara online atau melalui konfirmasi
SMS dan/atau telepon.
Banyak orang berpikir
bahwa Pinjaman Online ini adalah solusi
yang mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Namun ternyata dibalik kenyamanan ini, tentu ada
konsekuensi dan risiko yang
akan diterima oleh pelanggan jika mereka melanggar kewajiban mereka. Perkembangan industri fintech ini
juga lekat dengan stigma negatif dari masyakarat
khususnya dalam cara penagihan. Permasalahan Pinjaman Online atau Financial
Technology Peer To Peer Lending (Fintech P2P) kian hari terus
menjadi sorotan publik. Berbagai kasus pelanggaran Perusahaan Fintech mulai bermunculan di media massa. Bentuk pelanggaran oleh
Perusahaan Fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai dari penagihan intimidatif (Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE), penyebaran
data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE), penipuan (Pasal 378 KUHP) hingga pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat 1 jo 45 Ayat 1 UU ITE) yang diduga terjadi dalam persoalan ini. Ragam dugaan
pelanggaran tersebut salah satunya bersumber dari hasil laporan
pengaduan masyarakat yang diterima oleh berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sejak tahun lalu. Terakhir,
permasalahan fintech
ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh diri akibat
depresi karena penagihan pinjaman tersebut. Sayangnya, penyelesaian hukum permasalahan ini masih minim sehingga kasus-kasus serupa terus bermunculan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan kajian hukum perdata pada teknologi finansial bahwa perbuatan hukum yang timbul antara debitur dengan kreditur didasari dengan adanya perjanjian.
Selain itu dalam permasalahan Pinjaman Online, banyak orang telah mengeluhkan mengenai penyebarluasan data pribadi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara Pinjaman Online tanpa pemberitahuan dan tanpa izin dari pemiliknya.
Hasil studi menunjukan bahwa perlindungan hukum dan sanksi bagi pelanggaran data pribadi telah diatur
dalam Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun secara khusus
mengenai perlindungan hukum dan sanksi pelanggaran data pribadi dalam layanan Pinjaman
Online telah tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 bahwa pihak penyelenggara
bertanggung jawab menjaga kerahasiaan, keutuhan dan ketersediaan data pribadi pengguna serta dalam pemanfaatannya
harus memperoleh persetujuan dari pemilik data pribadi kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi terhadap pelanggaran data pribadi mengacu pada Pasal 47 ayat (1), yaitu sanksi administratif
berupa peringatan tertulis, denda, kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin.
Masyarakat awam
hukum tentunya merasa khawatir menghadapi permasalahan hukum tersebut. Di sisi lain, perlindungan hukum bagi nasabah
Pinjaman Online merupakan aspek serius untuk
ditangani oleh pihak berwajib. Perlindungan Pengguna Layanan berdasarkan Pasal 29 POJK
77/2016, Penyelenggara wajib
menerapkan prinsip dasar dari perlindungan
Pengguna yaitu, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau. Bagi Penyelenggara atau Perusahaan Finansial teknologi dapat dikenakan sanksi apabila melanggar ketentuan Pasal 43 dan Pasal 47 POJK
77/2016, yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43:
a.
melakukan kegiatan usaha selain kegiatan
usaha Penyelenggara yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
b.
bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman;
c.
memberikan jaminan dalam segala bentuknya
atas pemenuhan kewajiban pihak lain;
d.
menerbitkan surat utang;
e.
memberikan rekomendasi kepada Pengguna;
f.
mempublikasikan informasi
yang fiktif dan/atau menyesatkan;
g.
melakukan penawaran layanan kepada Pengguna dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan
Pengguna; dan
h.
mengenakan biaya apapun kepada Pengguna
atas pengajuan pengaduan.
Pasal 47: Atas pelanggaran
kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa:
1.
peringatan tertulis;
2.
denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3.
pembatasan kegiatan usaha; dan
4.
pencabutan izin.��
Terkait hal tersebut, permasalahan ini termasuk kategori
perjanjian utang-piutang sehingga bukan ranah pidana melainkan
perdata. Untuk itu perlindungan hukum bagi nasabah
Pinjaman Online masih lemah dan konsumen masih banyak dirugikan,
karena sanksi terhadap penyelenggara atau Perusahaan Fintech
masih sebatas sanksi administratif. Terhadap nasabah yang ingin melakukan pengaduan maka dapat disampaikan kepada lembaga terkait kerugian sebagai konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (Pasal tersebut
di atas tidak memiliki penjelasan perinci tentang perlindungan konsumen. Akan tetapi jika dikaitkan
dengan penjelasan Pasal 23 ayat (3) UU-ITE maka norma "menyesatkan" dalam perlindungan konsumen diantaranya dilakukan jika melanggar nama domain internet Kasus nama domain Internet di Indonesia yang fenomenal
adalah kasus nama domain Mustika Ratu pada tahun 2000. Terdapat dua isu fundamental yang sering luput dari
analisis dan penjelasan� di kalangan yuris tentang hukum siber,
yaitu pertama: wilayah (space) public atau
private dan peserta tindak pidana. Kedua isu
tersebut di atas perlu untuk dipahami
karena memiliki implikasi siginifikan khususnya dalam lingkup hukum pidana
untuk menentukan locus (tempat berlakuya hukum pidana) dan tempus (waktu terjadinya peristiwa pidana). Dengan paradigma siber sebagai sebuah
wilayah publik dan privat dalam siber sebenarnya
tidak terlalu sulit. Misalnya ketika seseorang mengirimkan sebuah surat elektronik (email) ke temannya, maka
isi surat itu sifatnya sudah
tentu bersifat pribadi. Tetapi jika ada sebuah
pernyataan atau pendapat yang tuliskan dalam media sosial yang dapat diakses oleh umum (publik), maka sifat dari
pernyataan tersebut pastilah publik. Walaupun tetap terbuka untuk diperdebatkan
jika format forum di media sosial
tempat menyatakan pendapat tersebut diatur menjadi privat apakah dapat
bisa dikatakan sebagai wilayah publik. Karena secara umum media sosial di gunakan sebagai tempat publik untuk dapat
diakses oleh khalayak ramai, maka seharusnya
dapat dikatakan publik.
Jika melihat
pada, Aturan yang disusun dalam upaya memberikan
sangsi bagi pelaku fintech
yang illegal.� Pasal
31 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Perlindungan Konsumen ini meliputi semua
perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan. regulator menegaskan fintech Pear to pear lending yang telah terdaftar wajib mematuhi aturan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK Nomor 18 tahun 2018 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Untuk selanjutnya Otoritas Jasa Keuangan akan menindak apabila
memang terbukti fintech-fintech yang terdaftar
ini melakukan tindakan pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan. Jadi tidak ada perbedaan perlakuan.
Maraknya perusahaan financial technology (fintech) peer to peer
(P2P) lending ilegal menimbulkan
kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Oleh karena itu, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) mengimbau
kepada masyarakat untuk ikut aktif
dalam mengawasi pergerakan fintech
ilegal.
Penemuan fintech yang beroperasi secara ilegal, fintech tersebut
dapat dikenai sanksi pidana. Sebab, pada dasarnya pengawasan fintech
bukan menjadi wewenang langsung Otoritas Jasa Keuangan. Fintech P2P lending ilegal
tidak di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan sehingga,� sanksi
yang diberikan ada sanksi pidana dalam
hal terdapat tindak pidana. Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan secara berkala menginformasikan daftar fintech
ilegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan melalui laman resmi dari
Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, juga telah menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk bersama-sama memonitoring fintech-fintech yang beroperasi
di Tanah Air. Hal ini menjadi
penting sehingga, peran masyarakat amat dibutuhkan sehingga Otoritas Jasa Keuangan atau disingkat
OJK dapat melakukan investigasi dengan maksimal atas fintech yang bermasalah.
Setidaknya, masyarakat harus dapat memastikan
bahwa fintech
yang dituju telah teregistrasi di OJK. Supaya tidak ada masalah
yang terulang karena setiap warga negara berhak atas perlindungan
hukum yang wajib diberikan oleh negara. Salah satu
perlindungan yang wajib diberikan oleh negara adalah perlindungan konsumen.
Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak mengkonsumsi atau menggunakan produk barang dan atau jasa yang dapat membahayakan keselamatan, kesehatan dan sebagainya, sehingga masyarakat merasa aman serta memperoleh
kepuasan. Sekali seorang konsumen mengonsumsi atau membeli suatu produk,
maka konsumen terscbut bisa saja
menderita atau terluka akibat cacat produk, termasuk
luka, rusak pada produk tersebut atau pada barang lain dan kerugian secara ekonomi. Dalam Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dinyatakan secara tegas klausul tentang
tanggung jawab yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada
konsumen. Dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa �Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.� Mengacu kepada teori sistem hukum
yang dikembangkan Friedman tentang
tanggung jawab, terdapat tiga substansi
hukum tanggung jawab produk yang menjadi dasar tuntutan
ganti kerugian konsumen. Ketiga dasar tuntutan tersebut adalah tuntutan karena kelalaian (negligence),
tuntutan karena wanprestasi atau ingkar janji (breach of warranty). Hal ini dilakukan karena secara alamiah kedudukan atau posisi konsumen tidak sama dengan
produsen sebagai pelaku usaha. Hukum perlindungan konsumen timbul akibat posisi
konsumen yang sangat lemah,
sehingga perlu mendapat perlindungan hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu
adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah dan bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.� Hukum perlindungan konsumen tidak dapat berdiri sendiri
sebagai suatu sistem tetapi harus
terintegrasi juga kedalam suatu sistem perekonomian,
yang didalamnya terlibat
juga para pelaku usaha.
Kesimpulan
Perlindungan Hukum bagi
konsumen layanan finansial teknologi terdapat dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dalam Pasal 1 dan 2 menjelaskan beberapa prinsip yang mendasar bagi perlindungan
konsumen. Ketentuan ini, yang menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas pinjaman online, jika ditemukan ketidaksesuaian dalam kenyataannya maka, sangsi harus
ditegakan dan diberikan kepada pihak yang menciptakan kerugian bagi konsumen. oleh karena itu, perlindungan
hukum terhadap konsumen finansial teknologi di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kepentingan masyarakat atau pengguna layanan,
dalam hal ini konsumen layanan
pinjaman online. Selanjutnya
diharapkan pemerintah melalui lembaga pengawas yang berwewenang memberikan kebijakan yang tegas untuk memberikan
perlindungan hukum bagi pengguna layanan
pinjaman online Perlindungan
Hukum terhadap korban pinjaman
online yang tidak resmi, mendapat perhatian khusus dari Otoritas
Jasa Keuangan dan Asosiasi Financial Teknologi
pendanaan bersama
Indonesia. Berdasarkan laporan
kejadian yang sudah dilaporkan.� Sebagai lembaga pengawas kebijakan Otoritas Jasa Keuangan didasarkan pada Peraturan No 77. POJK.01/2016
memberikan perlindungan hukum.
Anoraga, P. (2000). Manajemen bisnis. Google Scholar
Budhijanto, D. (2017). Revolusi Cyber Law
Indonesia Pembaruan dan Revisi UU ITE 2016. Bandung: PT Refika Aditama. Google Scholar
Candra, P. (2019). Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/Pojk. 01/2016 Tentang
Layanan Pinjaman Meminjam Berbasis Teknologi Informasi Terhadap Perjanjian
Penyediaan Layanan Peer To Peer (P2p) Lending (Studi Kasus: Cicil. Co.
Id Dengan" No"). Universitas Gadjah Mada. Google Scholar
Iman, N. (2016). Financial Technology dan Lembaga Keuangan. Gathering Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri Yogyakarta. Google Scholar
Kasali, R. (2018). The Great Shifting
Series on Disruption. Google Scholar
Miru, A. (2004). Hukum perlindungan konsumen. Google Scholar
Nomor, P. O. J. K. (2018a). 13/POJK.
02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun. Google Scholar
Nomor, P. O. J. K. (2018b). 18/POJK.
07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun.
Google Scholar
Rahardjo, S. (2006). Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti.
Bandung. Google Scholar
Santi, E., Budiharto, B., & Saptono, H.
(2017). Pengawasan otoritas jasa keuangan terhadap financial technology
(peraturan otoritas jasa keuangan nomor 77/pojk. 01/2016). Diponegoro Law Journal, 6(3), 1�20. Google Scholar
Shidarta, A. R. (2018). Aspek Hukum Ekonomi & Bisnis.
Prenada Media. Google Scholar
Syamsul, A. (2012). Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia. Medan: Medan Area
University Press. Google Scholar
Tumanggor, M. S. (2012). Pengenalan
Otoritas Jasa Keuangan: Pasar Uang, Pasar Modal dan Penanaman modal. F. Media: Jakarta. Google Scholar
Valerine, J. L. K. (2015). Metode
Penelitian Hukum (Bagian I). Jakarta:
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Google Scholar
Widiarty, W. S. (2016). Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk
Pangan Kadaluwarsa. Komodo Books. Google Scholar
Copyright holder: Alva Ruslina,
Bernard Nainggolan, Wiwik Sri Widiarty
(2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |