Vol. 2 No. 11 November 2021 |
|
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
PERMOHONAN PAILIT OLEH
KONSULTAN KEPADA PT. PRUDENTIAL LIFE
ASSURANCE
J.B. Budhisatrio, Dhaniswara K Harjono, Binoto Nadapdap
Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 25 Oktober 2021 Direvisi 05
November 2021 Disetujui 15 November
2021 |
Penelitian Penyelesaian
Utang melalui Kepailitan
(Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Tentang PT. Prudential Life Assurance) dilakukan untuk mengetahui apakah dasar pertimbangan utama yang dipergunakan oleh Majelis Hakim untuk memutus permohonan kepailitan di Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan Nomor : 08/K/N/2004 dan Kewenangan
Menteri Keuangan yang dapat
mempailitkan Perusahaan Asuransi
dapat mengakibatkan
Perusahaan Asuransi Kebal
Pailit. Kasus ini bermula dari
perjanjian keagenan antara PT. Prudential dan Lee Boon Siong.� Akhirnya
Prudential memutuskan perjanjian
sepihak karena Lee Boon Siong dianggap telah melanggar perjanjian keagenan.� Penelitian ini adalah sebuah
penelitian yuridis normatif, penelitian yang mengutamakan penelitian kepustakaan dan dokumen-dokumen
untuk memperoleh data sekunder. Pendekatan normatif dalam penelitian ini dengan kaidah-kidah hukum yang berkaitan dengan masalah penyelesaian utang dalam kepailitan, sedangkan pendekatan yuridis digunakan dalam mengadakan analisa �hukum
terhadap fakta-fakta hukum untuk selanjutnya
digunakan dalam permasalahan-permasalahan yang terkait
dengan masalah Penyelesaian Utang �melalui Kepailitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Putusan No. 13/PAILIT/ 2004/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Nomor :
08/K/N/2004 �telah membawa PT. Prudential Life Assurance kepada Kepailitan yang dimohonkan oleh
Konsultan Lee Boon Siong,
sehingga dengan peristiwa ini menyebabkan UU No.4/1998 tentang Kepailitan� mengalami
perubahan menjadi UU
No.37 Tahun 2004 (UUK-PKPU),� dimana kewenangan pengajuan permohonan Kepailitan bagi perusahaan asuransi tidak lagi diajukan oleh Kreditor, namun berada di tangan Menteri Keuangan. Namun �dalam perkembangan
selanjutnya setelah berlakunya UU No. 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian
(UU Perasuransian), permohonan
Pernyataan Kepailitan dan
PKPU terhadap perusahaan asuransi beralih dari kewenangan Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). ABSTRACT������������������������� Research on Debt Settlement was conducted to find
out whether the basic considerations used by the Panel of Judges to decide on
a bankruptcy application at the Supreme Court of the Republic of Indonesia in
the decision Number: 08/K/N/2004 and the Authority of the Minister of Finance
which may bankrupt an Insurance Company can result in an Insurance Company
Invulnerable to Bankruptcy. . This case stems from
an agency agreement between PT. Prudential and Lee Boon Siong.
Finally, Prudential terminated the agreement unilaterally because Lee Boon Siong was deemed to have violated the agency agreement.
This research is a normative juridical research, research that prioritizes
literature and documents research to obtain secondary data. The normative
approach in this study uses legal principles related to settlement problems
in bankruptcy, while the juridical approach is used in legal analysis of
legal facts to be further used in problems related to the problem of Debt
Settlement through Bankruptcy. The results showed that: Decision No.
13/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Decision Number :
08/K/N/2004 has brought PT. Prudential Life Assurance to Bankruptcy which was
requested by Consultant Lee Boon Siong, so that
with this incident caused Law No. 4/1998 concerning Bankruptcy to be changed
to Law No. 37 of 2004 (UUK-PKPU), where the filing of bankruptcy petitions
for insurance companies is no longer submitted by the Creditor, but is in the
hands of the Minister of Finance. However, in subsequent developments after
the enactment of Law no. 40 of 2014 on Insurance (Insurance Law),
applications for Bankruptcy Statements and PKPU against insurance companies
are transferred from the authority of the Minister of Finance (OJK). |
Kata Kunci :� kepailitan; perusahaan asuransi; Otoritas Jasa Keuangan �(OJK). Keywords : �bankruptcy; insurance company; financial
services authority (OJK). |
Pendahuluan.
Di era globalisasi dan informasi yang demikian cepat sekarang ini, kebutuhan akan perangkat regulasi di bidang perekonomian yang dapat menunjang iklim berinvestasi sangatlah penting. Ketentuan perundang-undangan di bidang ekonomi selayaknya dibuat sedemikian rupa agar dapat menciptakan iklim investasi yang positif yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi bangsa. Produk hukum nasional
yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.
Salah satu harmonisasi integrasi hukum yang sangat penting adalah terkait kemudahan berusaha (ease of doing business), satu diantaranya adalah mengenai penyelesaian kepailitan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), �diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131 tanggal 18 Oktober 2004.
Istilah kepailitan sering kali masih terasa awam bagi sebagian orang, walau istilah ini sering digunakan dalam dunia bisnis dan usaha. Kepailitan merupakan suatu proses penyelesaian sengketa bisnis melalui jalur litigasi yaitu melalui Pengadilan Niaga. Sebelum diundangkannya UUK -PKPU, kepailitan diatur dalam Staatsblad 1905:217, Staatsblad 1906:348 tentang Faillissement Verordening (Undang-undang tentang Kepailitan) yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Berdasarkan rumusan pengertian Kepalitan tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari kepailitan adalah sita umum atas
kekayaan debitur pailit.
Di dalam dunia bisnis serta era global seperti sekarang ini kegiatan-kegiatan usaha tidak mungkin
lepas dari berbagai masalah, sehingga suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar
utang-utangnya. Dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi
untung atau dalam keadaan rugi.
Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus berkembang, sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya apabila perusahaan menderita kerugian, maka garis hidupnya menurun, jadi garis hidup suatu perusahaan pada suatu saat dapat
naik dan pada saat lain menurun,
begitu seterusnya, sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang menaik dan menurun seperti grafik (Situmorang & Soekarso, 1994).
Permohonan pernyataan pailit diajukan ke Pengadilan
Niaga dan yang berhak mengajukannya antara lain adalah Kreditur, Debitur, Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang
Otoritas Jasa Keuangan) dan
Jaksa demi kepentingan umum. Permohonan pernyataan pailit yang telah diterima oleh Pengadilan akan diproses melalui sidang pemeriksaan dan selambat-lambatnya putusan pailit harus dibacakan
60 (enam puluh) hari setelah tanggal
pendaftaran permohonan pernyataan pailit.
Kepailitan diawali dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit dan akan menghasilkan sebuah putusan pailit. Dalam putusan
pailit terdapat beberapa akibat hukum bagi debitur
pailit, salah satunya berakibat pada kewenangan berbuat debitur pailit dalam bidang
hukum harta kekayaan. Hal ini mengakibatkan kewenangan debitur menjadi sangat terbatas. Debitur pailit hanya dapat
melakukan perbuatan yang dapat memberikan suatu keuntungan atau perbuatan yang dapat menambah jumlah harta kekayaan
yang selanjutnya dijadikan sebagai boedel pailit.
Tetapi apabila perbuatan debitur pailit tersebut dimungkinkan akan mendatangkan kerugian atau dapat
mengurangi harta pailit, kurator dapat meminta pembatalan
perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitur pailit. Pembatalan tersebut bersifat relatif, artinya hal itu
hanya dapat digunakan untuk kepentingan harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal
41 UUK-PKPU. Tindakan yang dilakukan kurator untuk meminta
pembatalan tersebut disebut dengan Actio Paulina. Selain
untuk melindungi agar harta pailit tidak
berkurang,
�pembatalan
tersebut juga dilakukan untuk melindungi kepentingan kreditur agar tidak dirugikan.
Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 41 ayat (2) UUK-PKPU, bahwa : �Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan
apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, Debitur dan pihak dengan siapa
perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor�.
UUK-PKPU juga mengatur mengenai perbuatan hukum satu pihak
yang dilakukan oleh debitur
pailit, yakni hibah yang diatur dalam Pasal 43 UUK-PKPU : �Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila Kurator dapat membuktikan
bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi Kreditor�. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa� kurator tidak perlu membuktikan
apakah penerima hibah mengetahui perbuatan hibah tersebut merugikan kreditur atau tidak,
kurator hanya perlu membuktikan bahwa debitur dianggap
mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan kreditur dan apabila hibah tersebut
dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum
putusan pernyataan pailit ditetapkan.
UUK-PKPU mengatur �juga mengenai pembatalan pembayaran utang oleh debitur pailit karena adanya
kecurigaan guna menguntungkan salah satu kreditur. Hal tersebut diatur pada Pasal 45 UUK-PKPU, yaitu : �Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya
dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan,
atau dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari persekongkolan
antara Debitor dan Kreditor dengan maksud menguntungkan Kreditor tersebut melebihi Kreditor lainnya� (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2020).
Penulis dalam penulisan ini akan membahas
mengenai: Bagaimana Permohonan pailit oleh konsultan kepada PT. Prudential
Life Insurance dan putusan pengadilan
kepada kedua pihak?
Teori
yang digunakan adalah teori teori keadilan
yang dikemukakan oleh Nindyo
Pramono dan Sularto, dalam bukunya yang berjudul �Hukum Kepailitan dan Keadilan Pancasila�. Nindyo Pramono dan Sularto menjelaskan bahwa, keadilan dalam hukum selalu berkaitan
antara hubungan orang dengan orang, dan bukan hanya individu saja. Bahwa dalam
kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
Adil berarti harus sama dan proporsional, adil berarti harus seimbang
dan wajar, adil berarti harus memberikan
jaminan atas tepenuhinya hak dasar, adil berarti
harus melaksanakan hak dan kewajiban dalam undang-undang secara konsisten dan wajar, dan adil berarti harus aspiratif.
Walaupun tujuan dari kepailitan adalah dalam rangka
perlindungan kreditor, namun terdapat sejumlah pasal yang menurut Nindyo Pramono dan Sularto masih menimbulkan ketidakadilan bagi kreditor (khususnya kreditor lain/bukan kreditor pemohon kepailitan).
1.
Pertama, kreditor hanya memiliki waktu terbatas untuk membatalkan kepailitan. Pasal 2 UUK-PKPU, menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak dapat membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya. Ketentuan
di dalam pasal ini pada dasarnya kurang melindungi kepentingan kreditor, terutama jika tanpa
alasan yang cukup, debitur harus dinyatakan
pailit oleh debitur sendiri atau pihak
lain di luar kreditor, seperti Kejaksaan, Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu),
Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang
Otoritas Jasa Keuangan),
dan lain sebagainya. Selain
itu, ketentuan ini juga kurang cukup melindungi kepentingan kreditor-kreditor
lain (di luar pemohon pailit) jika kepailitan
diajukan oleh kreditor.
2.
Kedua, kreditor pemegang jaminan dibatasi dalam melakukan eksekusi atas objek
jaminan. Sesuai dengan penggolongan kreditor menurut tingkatannya, maka kreditor separatis (istilah lain dari kreditor pemegang hak jaminan gadai,
hipotik, fidusia, dan hak tanggungan), merupakan kreditor yang harus mendapatkan prioritas penuh terhadap harta debitur yang ada dalam penguasaanya atas dasar perjanjian
penjaminan. Harta janinan harus disisihkan
dari boedel pailit, mengingat harta tersebut hanya diperuntukkan untuk pemenuhan piutang-piutang pemegang jaminan (Nindyo Pramono & Sularto, 2017).
Hukum kepailitan sudah ada sejak
zaman Romawi. Kata �bangkrut�, dalam bahasa Inggris disebut �bankrupt�,
berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca rupta. Sementara itu, di Eropa abad pertengahan
ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Atau, seperti keadaan di Venetia
(Italia) waktu itu, dimana banco (bangku) para pemberi pinjaman (bankir) saat itu sudah
tidak� mampu lagi membayar utang atau gagal dalam
usahanya, dipatahkan atau dihancurkan.
Bagi negara-negara yang menganut tradisi common law, tepatnya
pada tahun 1952 merupakan tonggak sejarah karena pada tahun tersebut hukum pailit dari tradisi
hukum Romawi diadopsi ke negara Inggris. Hal tersebut ditandai dengan diundangkannya sebuah Undang-Undang yang disebut Act Against Such Persons As
Do Make Bankrupt, yang menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor
nakal yang tidak mau membayar utangnya
sekaligus berusaha menyembunyikan asset-assetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor
yang tidak dimiliki oleh kelompok kreditor secara individual (Fuady, 1999).
Peraturan kepailitan di Indonesia termasuk dalam hukum dagang,
meskipun tidak diatur secara eksplisit
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD). Peraturan
mengenai kepailitan diatur dalam peraturan
tersendiri, yaitu dalam �Faillissementsverordening� (Staatblad tahun
1905 Nomor 217 jo.
Staatblad tahun 1906 Nomor 348), yang juga berlaku bagi golongan Cina
dan Timur Asing (Purwosutjipto, 1988).
Pengajuan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sudah terjadi di Indonesia sejak berdirinya Pengadilan Niaga. Perusahaan Asuransi, bila dianalogikan sama dengan Bank, juga berfungsi sebagai lembaga yang mengelola dana masyarakat dengan jumlah nasabah
yang cukup besar. Oleh karenanya, proses kepailitan terhadap perusahaan asuransi menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah memiliki kepentingan jika sudah menyangkut dana masyarakat.
Menurut Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)UUK-PKPU, bahwa ada syarat-syarat
untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor-debitor tertentu sebagaimana diatur dalam, sebagai
berikut :
�
Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan
oleh Bank Indonesia.
�
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang
OJK).
�
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka Perusahaan Asuransi merupakan bagian dari debitor
tertentu yang bergerak di bidang publik, yang mana pengajuan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.
Bila Menteri Keuangan sudah mengajukan pernyataan pailit, Pengadilan Niaga harus mengabulkan permohonan pailit yang sebelumnya sudah memenuhi tiga unsur
pernyataan pailit, menurut pasal 2 ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU, yaitu:
1.
Ada dua
atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan �Kreditor� di sini mencakup baik
kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen;
2.
Ada utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih. Artinya adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan
pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase; dan
3.
Kedua hal tersebut di atas harus dapat
dibuktikan secara sederhana.
Dalam pertimbangannya
Majelis Hakim Mahkamah
Agung (MA) berpendapat, bahwa
pemohon tidak mempunyai legalitas dalam mengajukan permohonan. Sebagai perusahaan asuransi di bidang kerugian dan reasuransi kerugian, pengajuan permohonan pailit tunduk pada ketentuan khusus yang mengatur mengenai kepailitan perusahaan asuransi.
Sebagaimana Pasal
2 ayat (5) UUK-PKPU telah diatur �Dalam hal debitur adalah
perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, danan pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan
oleh Menteri Keuangan.� Pasal
20 ayat (1) UU No. 2 /1992 tentang Usaha Perasuransian
menyebutkan bahwa �dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum, dapat memintakan
kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit�.
Persetujuan dari
Menteri Keuangan ini membatasi tindakan perusahaan asuransi yang telah dicabut izin
usahanya dalam hal mengajukan permohonan pailit secara sukarela. Hal ini dilakukan Menteri Keuangan bertujuan demi mengedepankan kepentingan umum maupun sebagai
perlindungan hukum bagi nasabah-nasabah perusahaan asuransi yang bersangkutan.
Sejak hadirnya UU
No. 21/2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) yang fungsinya
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan, dengan demikian kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (�UU-KPKPU�)
beralih menjadi kewenangan OJK berdasarkan UU Perasuransian. (BPLawyers 20
February, 2017).
����������� Jika dibandingkan
dengan perkara pailitnya Perusahaan Asuransi Jiwa Manulife Indonesia berdasarkan Putusan No. 10/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst �jo.Putusan MA
No. 021/K/N/2002dapat disimpulkan bahwa
prosedur permohonan pailit terhadap PT.Asuransi Jiwa Manulife Indonesia tidak
sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan khususnya Pasal 67 ayat (5) dan Pasal 70 serta tidak sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1992 tenntang Usaha Perasuransian, dimana yang memiliki wewenang untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi dapat dipailitkan atas dasar kepentingan
umum adalah Menteri Keuangan.
Metode Penelitian.
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat. Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu menginventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan penelitian penulis.
Dalam penyusunan penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya (Amiruddin & Asikin, 2004). Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa
buku-buku, pendapat-pendapat
sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini. Bahan hukum tersier
atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum
sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sedangkan Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(library reasearch)
yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh
data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi,
dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.
Hasil dan Pembahasan.
1. Profil Perusahan.
Didirikan pada tahun 1995, PT.Prudential
Life Assurance (Prudential Indonesia) merupakan bagian dari Prudential plc, sebuah grup perusahaan
jasa keuangan terkemuka di Inggris. Sebagai bagian dari Grup yang berpengalaman lebih dari 168 tahun di industri asuransi jiwa, Prudential Indonesia memiliki
komitmen untuk mengembangkan bisnisnya di
Indonesia. Sejak peluncuran
produk asuransi terkait investasi (unit link) pertamanya
di tahun 1999, Prudential Indonesia telah menjadi pemimpin
pasar untuk kategori produk tersebut di Indonesia.
Prudential Indonesia menyediakan berbagai
produk dan layanan yang dirancang untuk memenuhi dan melengkapi setiap kebutuhan keuangan para nasabahnya di
Indonesia. Prudential Indonesia juga telah mendirikan unit bisnis Syariah sejak tahun 2007 dan dipercaya sebagai pemimpin pasar asuransi jiwa syariah di Indonesia sejak pendiriannya. Sampai dengan 31 Desember 2019, Prudential Indonesia memiliki
kantor pusat di Jakarta dan
kantor pemasaran di Medan,
Surabaya, Bandung, Denpasar, Batam dan Semarang. Sekitar 2 juta nasabah dilayani oleh lebih dari 260.000 tenaga pemasar berlisensi di 383 Kantor Pemasaran
Mandiri (KPM) di seluruh nusantara termasuk Jakarta,
Surabaya, Medan, Bandung, Yogyakarta, Batam, dan
Bali. Prudential Indonesia terdaftar di dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beberapa pencapaian bisnis kunci sampai 31 Desember 2019:
� Total pendapatan premi: Rp 25 triliun
� Total pendapatan kontribusi bruto: Rp3,7 triliun
� Total aset: Rp80,7 triliun
� Total dana kelolaan: Rp74,5 triliun
� Total klaim dibayarkan: Rp15,6 triliun
� Risk-Based Capital (RBC): 678%. Lebih
dari lima kali persyaratan
minimum wajib dari pemerintah sebesar 120% (prudential.co.id,
1995).
Citra Prudential di Inggris tidak diragukan
lagi, merupakan perusahaan asuransi terbesar dan telah mengasuransikan ribuan jiwa dalam kecelakaan
kapal Titanic. Nama Prudential sendiri
memang sudah tidak asing lagi
bagi masyarakat Indonesia, walau ada sebagian
orang tidak tahu produk apa yang dijual oleh Prudential tetapi masyarakat selalu mengaku pernah mendengar nama tersebut melalui media massa.
Prudential juga mendapat predikat asuransi terbaik selama 5 tahun berturut -turut (2002-2006) menurut majalah Investor yang beraset di atas 1 Triliun. Tetapi bagaimana citra Prudential di masyarakat Indonesia sendiri yang
telah memandang asuransi sebagai image yang kurang
baik? Di tengah � tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, tiba � tiba saja
pada tanggal 24 April 2004 Prudential dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena
ulah mantan agentnya. Prudential bukanlah satu-satunya asuransi yang pernah dipailitkan. Tetapi kepailitan Prudential lebih marak dan membuat mata publik
terbelalak, karena
Prudential merupakan sebuah
perusahaan asuransi beraset Rp 1,5 triliun dengan kemampuan mengatasi kewajiban lebih dari dua
kali, begitu mudahnya dipailitkan oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan. Ketika masa pailit yaitu antara 24 April 2004 sampai dengan 7 Juni 2004 banyak nasabah Prudential yang panik dan
menarik semua uang mereka, di situlah masa di mana
Prudential kehilangan kepercayaan
dari masyarakat.
2. Kronologi Permohonan Pailit
Kasus perjanjian
kontrak seorang Konsultan Asuransi warga negara Malaysia dengan
Perusahaan Asuransi PT. Prudential Life Assurance, menyusul permohonan pailit oleh konsultan tersebut sehingga oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. PT.Prudential Life Assurance dinyatakan pailit tanggal 23 April 2004. Keputusan ini
tentunya mengagetkan semua pihak dimana
kinerja dan keuangan PT.
Prudential Life Assurance masih sehat.
Sehingga permohonan Kasasi ke Mahkamah
Agung pun diajukan oleh pihak
Prudential. Tanggal 19 Mei 2004 Dewan Asuransi Indonesia meminta Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Prudential. Akhirnya tanggal 7 Juni 2004, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Prudential dan menganulir� putusan
pailit Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Selain kasus
ini terdapat beberapa kasus serupa yang akhirnya muncul perubahan terhadap UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998.
Pada tanggal 1 Juli 2000 Lee Boon Siong, warga negara Malaysia, bersama PT. Prudential menandatangani
perjanjian kerjasama keagenan. Berdasarkan perjanjian tersebut, Lee wajib mengembangkan keagenan dan memasarkan produk asuransi PT. Prudential. Sebaliknya, perusahaan asuransi yang mulai beroperasi di Indonesia pada 1995 itu
wajib membayar bonus atas prestasi yang dicapai Lee.
Pada tanggal 20 Januari 2004, PT.
Prudential membatalkan perjanjian
itu secara sepihak. Karenanya pada tanggal 7 April 2004 Lee mengajukan
permohonan pailit perusahaan asuransi yang induknya didirikan di London, Inggris, pada tahun 1848 tersebut. Pengacara Lee, Lucas, menyatakan ada empat kewajiban PT. Prudential
yang tidak dipenuhi. Mulai dari :
1.
Tidak membayar
biaya perjalanan sebesat Rp 130 juta,
2.
Belum membayar bonus rekrutmen
sebesar Rp 4,2 miliar,
3.
Bonus konsistensi Rp 1,4 miliar,
hingga jasa konsultasi keagenan senilai Rp 360 miliar.
4.
Semua utang itu menjadi jatuh
tempo karena dibatalkannya perjanjian.
Dari keempat kewajiban tersebut hanya satu yang disetujui dan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga yaitu bonus konsistensi. Dan ini berakibat fatal, karena syarat-syarat dalam kepailitan terpenuhi (saat itu masih
merujuk pada Undang-Undang
No.4 Tahun 1998), yaitu adanya satu utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya
minimal dua kreditor. Tak pelak tanggal
23 April 2004 majelis menyatakan
PT.Prudential pailit. Putusan ini membuat kaget
sekaligus menyulut kekecewaan Presiden Direktur PT Prudential saat itu, Charlie E Oropeza. Sebab perusahaan memiliki kondisi keuangan yang sangat kuat saat itu sehingga
putusan itu sama sekali tidak
berdasar. Pada saat itu Prudential memiliki 230 karyawan dan 8000 tenaga pemasaran. Per tanggal 31 Desember 2003, tingkat risk based capital-nya mencapai 225%, jauh melampaui ketentuan Departemen Keuangan sebesar 100%. Sementara itu, total pendapatan premi tumbuh 114% jika dibanding pada 2002, dari Rp 477 miliar menjadi lebih dari
Rp 1 triliun. Efek ke Perusahaan Asuransi (KoranTempo,
2004).
Persyaratan kepailitan
dibuat lebih sederhana supaya lebih mudah menjatuhkan
pailit bagi perusahaan-perusahaan yang enggan
melunasi hutang ataupun wanprestasi. Akibatnya, cukup banyak perusahaan mendapat putusan pailit, tak terkecuali
perusahaan asuransi yang nyatanya bergerak di bidang kepentingan publik. Menyangkut perusahaan asuransi semenjak diberlakukannya UU
No.4/1998 tercatat beberapa
perkara kepailitan diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, antara lain
Lee Boon Siong melawan PT.
Prudential Life Assurance.
UU No.4/1998 banyak mendapat kritik karena memperlakukan
perusahaan asuransi selaku debitor tidak sama dengan
perusahaan yang bergerak di
bidang kepentingan publik lainnya dalam hal pengajuan
permohonan pailit. Kritik tersebut diakomodir dalam amandemen UU Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(UUK-PKPU). Dalam UUK-PKPU terdapat
ketentuan bahwa jika debitor adalah
perusahaan asuransi atau reasuransi, maka pengajuan permohonan pailit dilakukan oleh Menteri Keuangan (Moneta,
2004).
Keadaan pailit
atau bangkrut merupakan peristiwa yang bisa terjadi pada siapa saja. Mulai
dari orang perorangan maupun badan hukum (legal entity). Di Indonesia, istilah �pailit� ditujukan pada seseorang yang tidak lagi mampu
membayar utangnya. Istilah �pailit� kemudian menjadi istilah hukum ketika
untuk pertama kalinya Indonesia memiliki undang-undang kepailitannya sendiri pada tahun 1998, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tetang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan kemudian diganti menjadi Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) (Ginting,
2018).
3. Putusan Permohonan Pailit PT Prudential
Life Assurance
Skandal pailit
PT. Prudential Life Assurance (Asuransi Prudential)
yang diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun
2004 mengingatkan kita pada
kasus pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia beberapa
waktu lalu.
Putusan No.
13/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST yang dibacakan Majelis Hakim pada tanggal 23
April 2004 , dengan mengabulkan permohonan Lee Boen Siong (Pemohon)
sebuah perusahaan konsultan asal Malaysia yang menandatangani perjanjian keagenan (Pioneering
Agency Bonus Agreement) dengan Prudential (Termohon) telah mendapat reaksi yang cukup beragam dari
berbagai kalangan.
Dalam sidangnya
pada tanggal 23 April 2004, Majelis
Hakim yang diketuai �Putu Supadmi mengabulkan gugatan pailit Lee Boen Siong dengan
alasan perusahaan asuransi yang berbasis di London,
Inggris itu dianggap melakukan wanprestasi dan tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang senilai Rp 1,43 miliar.
Selain Lee, Prudential juga dianggap lalai memenuhi kewajibannya kepada Hartono Hojana Rp 347 juta dan Budiman Rp 21 juta. Padahal, Prudential merupakan bagian dari Prudential Plc., sebuah perusahaan jasa keuangan internasional
terkemuka di Inggris yang memiliki aset US$ 300 miliar atau sekitar
Rp 2,550 triliun. Selama beroperasi di Indonesia sejak
1995, kinerja perusahan ini cukup sehat
dengan total kekayaan Rp
1,575 triliun, sedangkan jumlah kewajibannya Rp 1,373 triliun dengan RBC (risk base capital)
atau solvabilitas 255 persen.
Karena itu,
tuduhan wanprestasi terhadap Prudential tidaklah berbeda dengan Manulife, perusahaan asuransi terbesar yang berbasis di Kanada, itu karena
menolak pembayaran dividen kepada PT.Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. Rp 32,7 miliar yang merupakan salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan itu.
Komposisi saham Dharmala dalam The Manufacturers Life Insurance Company
Canada (Manulife) 40 persen atau
setara dengan 1.800 lembar saham, Manulife 51 persen, dan International
Finance Corporation 9 persen. Dalam
kasus Manulife, permohonan pailit diajukan kurator Dharmala, Paul Sukran dan sempat menimbulkan berbagai argumentasi dan interpretasi dari kalangan praktisi
hukum, khususnya menyangkut kewenangan kurator dalam memutuskan
status dan aktivitas debitor
dalam pailit atau tidak.
Lazimnya dalam berbagai kasus kepailitan, kurator secara profesional memegang peranan strategis dan sangat menentukan kelangsungan perkara yang dihadapi. Karenanya, hal yang terpenting menyangkut tugas dan tanggung jawab kurator adalah soal independensinya. Sejauh mana kurator berwenang melakukan recovery aset
dalam upaya mengumpulkan dan memaksimalisasi nilai harta pailit
untuk selanjutnya mengembalikannya kepada kreditor dari debitor
pailit.
Skandal pailit
Prudential menyangkut eksistensi
dan kredibilitas kurator. Menurut Ricardo Simanjuntak, kuasa hukum Prudential, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat untuk mengganti kurator Yuhelson dan mengusulkan Andrey Sitanggang dengan alasan Yuhelson telah mengundurkan diri dari keanggotaan
Asuransi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) sejak 1
Maret 2002.
Sesuai dengan Pasal 7 Keputusan Menteri Kehakiman
No .08-11T.05.10/1998, Yuhelson dianggap
tidak memenuhi syarat berpraktek sebagai kurator. Selain itu, ada
benturan kepentingan karena sang kurator memiliki hubungan kerja dan/atau afiliasi dengan kuasa permohonan pailit dan pernah bekerja pada kantor pengacara Lucas & Partners.
Pasal 13 ayat
(1) UU Kepailitan menentukan
bahwa dalam putusan pailit harus diangkat seorang hakim pengawas yang ditunjuk hakim pengadilan dan kurator. Sementara itu, Pasal 67B ayat (1) menyebutkan bahwa kurator dapat
sewaktu-waktu diganti apabila dikehendaki demikian. Pergantian tersebut dapat terjadi atas permintaan
kurator sendiri, permintaan kurator lainnya jika ada,
usulan hakim pengawas, atau permintaan debitor yang pailit (Hartini,
2002).
Karena itu,
langkah yang ditempuh kuasa hukum Prudential untuk mengganti posisi kurator dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Pertimbangan mengganti kurator ini tentulah dimaksudkan
untuk menjaga kredibilitas kurator agar dalam menjalankan tugasnya bisa bersikap
profesional dan tidak memihak.
Secara teknis,
pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan permohonan mengganti kurator kepada Ketua Pengadilan
Niaga dan atas permohonan tersebut pengadilan memanggil dan meminta penjelasan kurator yang bersangkutan. Apabila permohonan itu dikabulkan, Pengadilan Niaga berwenang mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat kurator tambahan.
Bahkan sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum, kurator dapat digugat untuk
bertanggung jawab secara pribadi oleh pihak-pihak yang dirugikan atas sikap dan perbuatan kurator. Bahkan kurator harus bertanggung jawab secara pidana
atas sikap dan perbuatannya.
Dalam kasus pailit Prudential, alasan yuridis yang digunakan pemohon adalah ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 jo.
Perppu No. 1/1998 tentang Kepailitan yang menyebutkan bahwa "Debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
kreditornya."
Berdasarkan ketentuan
tersebut di atas, para pemohon dapat mengajukan
permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga. Selanjutnya, hakim Pengadilan Niaga yang berwenang mengadili perkara memutuskan apakah suatu perusahaan
yang digugat pailit bisa dikabulkan atau ditolak. Sayangnya,
dalam berbagai kasus kepailitan, fakta-fakta hukum yang seharusnya menjadi dasar gugatan di pengadilan seringkali dikalahkan karena alasan yang sangat teknis. Inilah sesungguhnya titik lemah yang seringkali dihadapi UU Kepailitan (Hidayah,
2020).
Kasus Prudential Life adalah bukti nyata
betapa seorang kreditor memiliki kewenangan yang luar biasa untuk mempailitkan
suatu perusahaan yang solid
sekalipun. Selain itu, unsur politis
juga memainkan peranan yang
cukup besar dalam perkara kepailitan,
seperti yang dihadapi ketiga hakim yang menyidangkan perkara Manulife--yang berbuntut
pada pemberhentian sementara
dari jabatannya tanpa alasan yang jelas melalui Keppres
No. 139/M/2002 tertanggal 6 Agustus
2002.
Jadi, hampir
dapat dipastikan, tidak tertutup kemungkinan hakim yang menyidangkan
perkara Prudential Life juga mengalami
nasib yang sama. Meski dalam menyidangkan
kasus tersebut, kemungkinan terjadinya dissenting opinion dari
para hakim bisa saja terjadi. Mudah-mudahan saja pandangan penulis mengenai hal ini keliru.
Perusahaan dapat
dinyatakan pailit bila mempunyai hutang jatuh tempo dapat ditagih kepada
dua atau lebih kreditor. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan memberi peluang terjadinya pailit semu, artinya faktor
kelalaian perusahaan menunaikan kewajiban sesuai perjanjian yang dilakukan, dapat membawanya kepada gugatan secara sepihak memutuskan pailit bagi perusahaan
meskipun perusahaan itu sehat secara
manajemen dan keuangan, seperti kasus yang terjadi di PT. Prudential Life Assurance.
Kasus ini akhirnya melahirkan amandemen UU Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(UUK-PKPU). Dalam UUK-PKPU terdapat
ketentuan bahwa ketika debitor adalah perusahaan asuransi atau reasuransi,
maka pengajuan permohonan pailit dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Setelah berlakunya
UU
No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian)
yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap perusahaan asuransi beralih kepada dan hanya dapat diajukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), penegasan tersebut diatur dalam:
-
Pasal 55 ayat
(1) UU No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (UU
OJK)
-
Pasal 50 ayat
(1) UU Perasuransian
-
Keputusan Ketua
Mahkamah Agung No. 109 Tahun
2020 (Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU)
Aset yang dikelola
perusahaan asuransi yang berpusat di Inggris ini nilainya triliunan,
bahkan, pada tahun 2003 mereka berhasil membukukan kenaikan premi lebih dari
Rp1 triliun. Selain menyatakan Prudential pailit, dalam amar putusannya,
majelis hakim juga mengangkat
Yuhelson dan Binsar Siregar masing-masing sebagai kurator dan hakim pengawas. Perlu pula disampaikan, berdasarkan catatan hukumonline, Yuhelson adalah mantan lawyer di kantor pengacara Lucas SH &
Partners. Sementara, yang menjadi
kuasa hukum Lee Boon Siong di kasus ini juga�
Lucas SH & Partners.
Direksi tidak berwenang, Yuhelson mengatakan baru mendengar putusan ini. Ia belum
bisa menjelaskan langkah-langkah yang akan ia ambil selaku
kurator Prudential karena belum menerima salinan putusan hari ini. Namun
ia menegaskan, bahwa berdasarkan Undang-undang Kepailitan, putusan pailit ini mengakibatkan jajaran direksi Prudential tidak lagi memiliki
wewenang untuk mengambil tindakan apapun. Pasalnya, kewenangan itu telah beralih kepada
kurator. Kendatipun demikian, Yuhelson menegaskan bahwa ia akan berkoordinasi
terlebih dahulu dengan hakim pengawas sebelum mengambil langkah hukum. Kita akan persuasif dulu, ujar Yuhelson.
Sebagaimana telah diberitakan dalam permohonan pailit yang didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 25 Maret
lalu, Lee mengklaim kepada Prudential bahwa dirinya berhak mendapatkan bonus pencapaian
target, bonus rekruitmen dan bonus konsistensi yang nilainya jika diakumulasikan lebih dari Rp5,7 miliar. Lee juga menagih ongkos perjalanan sebesar Rp130 juta, yang menurutnya menjadi kewajiban Prudential. Lee juga mengklaim
ia berhak menagih pelunasan kewajiban Prudential, berdasarkan
Pasal 129 dan 259 Undang-undang
Kepailitan (UUK). Artinya,
Prudential harus membayar angsuran bonus kepada Lee sampai tahun 2013 yang jumlahnya lebih dari Rp360 miliar (Tempo.com,
2004).
Dengan berlakunya
Undang-Undang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), hanya
Menteri Keuangan yang dapat� mengajukan kepailitan terhadap perusahaan asuransi. Undang-undang tersebut menghapus ketentuan Undang-undang� lama (Undang-Undang
No.4 Tahun 1998 (UUK) yang memperbolehkan
kreditor untuk secara langsung dapat mengajukan permohonan kepailitan perusahaan asuransi. Pengadilan Niaga dapat mempailitkan perusahaan asuransi atas permohonan yang diajukan Menteri Keuangan jika syarat-syarat untuk menjatuhkan kepailitan terpenuhi, yaitu berdasarkan Pasal 2 ayat (1). Kewenangan Menteri Keuangan dalam Pasal 2 ayat
(5) UUK-PKPU yang diberikan oleh pembentuk
Undang-undang hanya menyangkut kedudukan hukum (Legal Standing).
Menteri Keuangan sebagai pemohon dalam perkara
kepailitan karena fungsinya sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan dan sama sekali tidak
memberikan keputusan yudisial yang merupakan kewenangan Hakim. �Kewenangan yang diberikan oleh pembuat Undang-undang terhadap instansi yang berada di lingkungan eksekutif itu bukan
merupakan wewenang mengadili (yustisial).
Sutan Remy Sjahdeini
berpendapat bahwa seyogianya hak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap suatu perusahaan asuransi tidak menjadi monopoli
Menteri Keuangan saja, apabila Menteri Keuangan terlibat dalam putusan-putusan pernyataan pailit, yaitu supaya
suatu perusahaan asuransi tidak mudah dipailitkan mengingat kepentingan para pemegang polis asuransi yang demikian banyak, dapatlah dipertimbangkan permohonan pernyataan pailit apabila terhadap permohonan pailit itu telah
diperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan. Dengan, demikian, hak untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit bukan merupakan
monopoli Menteri Keuangan
yang hanya akan memasung hak kreditor
dan debitor serta Kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi. Pengajuan permohonan pernyataan pailit berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu perusahan asuransi seyogianya dapat pula diajukan selain oleh Kejaksaan, Menteri Keuangan atau nantinya oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu sebagai lembaga
independen yang ditugasi mengawasi lembaga-lembaga keuangan termasuk perusahaan-perusahaan asuransi (Sjahdeini
& Manan, 2002).
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan memberi peluang terjadinya pailit semu, artinya faktor kelalaian perusahaan menunaikan kewajiban sesuai perjanjian yang dilakukan dapat membawa kepada gugatan secara sepihak� memutuskan pailit bagi perusahaan itu, meskipun perusahaan itu sehat secara manajemen dan keuangan seperti kasus yang terjadi di PT. Prudential Life Assurance.
Kasus ini akhirnya melahirkan amandemen UU Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), yang di dalamnya terdapat ketentuan bahwa ketika debitor adalah perusahaan asuransi atau reasuransi, maka pengajuan permohonan pailit dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Bertitik tolak dari permasalahan dan berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkanbahwa : Utang dalam UUK-PKPU telah diberi pengertian
secara jelas dan luas, yaitu utang tersebut tidak hanya berupa kewajiban
yang timbul dari perjanjian, melainkan juga kewajiban-kewajiban lain yang menimbulkan
kewajiban untuk memberikan sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu. Sehingga Putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut sudah sesuai dengan UUK-PKPU dimana definisi utang menurut yurisprudensi tersebut berlaku juga untuk kepailitan perusahaan asuransi, sehingga semua utang tersebut dapat menyeret perusahaan asuransi untuk dipailitkan. Pihak kreditor hanya dapat mengajukan permohonan pailit perusahaan asuransi tersebut hanya melalui Menteri Keuangan dengan atau tanpa
permohonan dari para kreditor, apabila perusahaan asuransi tersebut dipandang melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan perasuransian
dan merugikan para pemegang
polis.
����������� Namun setelah
berlakunya UU No. 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian
(UU Perasuransian), permohonan
Pernyataan Kepailitan dan
PKPU terhadap perusahaan asuransi beralih dari kewenangan Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baik putusan
pailit terhadap� Perusahaan Asuransi Jiwa
Manulife Indonesia berdasarkan Putusan
No. 10/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst
�jo.Putusan MA
No. 021/K/N/ 2002, maupun ������ putusan pailit terhadap Perusahaan Asuransi PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE� berdasarkan Putusan No. 13/Pailit/ 2004/PN.Niaga. Jkt.Pst jo. Putusan Nomor :
08/K/N/2004, ��adalah sama-sama putusan pailit yang diajukan oleh kreditor berdasarkan kewenangannya sesuai ketentuan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Sejak disahkannya
UU No. 37/2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), UU
No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan� (OJK) dan UU No. 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian,
�maka pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit terhadap perusahaan Asuransi , kewenangannya beralih dari Menteri Keuangan� menjadi kewenangan oleh Otoritas Jasa Keuangan� (OJK), sebagaimana dimaksud Pasal
5O ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yaitu : Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat
diajukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Amiruddin & Asikin, Z. (2004).
Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Fuady, M. (1999). Hukum pailit 1998: dalam teori dan praktek. Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Ginting, E. R. (2018). Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan.
Bumi Aksara. Google Scholar
Hartini, R. (2002). Hukum kepailitan. Pembinaan Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. Google Scholar
Hidayah, N. P. (2020). Hukum Acara Peradilan Niaga Mengupas
Sengketa Kepailitan, PKPU dan Kekayaan Intelektual (Vol. 1). UMMPress. Google Scholar
Indonesia. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM RI. Google Scholar
Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
(2020). Kepailitan dan Akibat
Kepailitan Terhadap Kewenangan Debitur Pailit Dalam Bidang Hukum Kekayaan.
Www.Djkn.Kemenkeu.Go.Id.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13451/Kepailitan-dan-Akibat-Kepailitan-Terhadap-Kewenangan-Debitur-Pailit-Dalam-Bidang-Hukum-Kekayaan.html.
Google Scholar
KoranTempo. (2004). Skandal Pailit Manulife dan Prudential, Rusmin EffendyMantan Konsultan
Hukum Manulife dan Direktur Eksekutif Lembaga Strategis Kajian Demokrasi dan
Politik Indonesia. Google Scholar
Moneta, V. (2004). Kasus Kepailitan PT Prudential. Academia.
https://www.academia.edu/25568444/Kasus_Kepailitan_PT_Prudential. Google Scholar
Nindyo Pramono, S. H., & Sularto, S. H.
(2017). Hukum Kepailitan dan Keadilan
Pancasila-Kajian Filsafat Hukum atas Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas
di Indonesia. Penerbit Andi. Google Scholar
Prudential.co.id. (1995). Tentang Prudential Indonesia. Prudential.Co.Id.
https://www.prudential.co.id/id/about-prudential-indonesia/. Google Scholar
Purwosutjipto, H. M. N. (1988). Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8:
Perwasitan, Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran. Google Scholar
Situmorang, V. M., & Soekarso, H.
(1994). Pengantar Hukum Kepailitan di
Indonesia. Rineka Cipta. Google Scholar
Sjahdeini, S. R., & Manan, B. (2002). Hukum kepailitan: memahami
faillissementsverordening juncto Undang-Undang no. 4 tahun 1998. Grafiti.
Google Scholar
Tempo.com. (2004). Pemerintah Siapkan
Penyelesaian Kasus Prudential. Bisnis.Tempo.Co. https://bisnis.tempo.co/read/42089/pemerintah-siapkan-penyelesaian-kasus-prudential.
Google Scholar
Copyright holder: J.B. Budhisatrio, Dhaniswara K Harjono, Binoto Nadapdap (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |