Vol. 2 No. 11 November 2021 |
|
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
KEWAJIBAN ADVOKAT DALAM UPAYA MENCEGAH TRANSAKSI KEUANGAN
MENCURIGAKAN
Yudhi Ongkowijaya, Helvis, Markoni
Universitas Esa Unggul Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 25 Oktober
�2021 Direvisi 05
November 2021 Disetujui 15 November
2021 |
Advokat
merupakan salah satu pihak pelapor terkait dengan dugaan transaksi keuangan
mencurigakan yang berindikasi pada tindak pidana
pencucian uang, berdasarkan
ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor
43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Peraturan Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor
61 Tahun
2021
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor
43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan
Pemerintah tersebut mewajibkan Advokat untuk melaporkan
kepada Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang mengarah kepada tindak pidana pencucian uang, dalam
perkara klien yang sedang ditanganinya. Berkaitan dengan hal ini,
penulis akan mengkaji lebih dalam perihal Advokat sebagai
pihak
pelapor sehubungan dengan adanya
dugaan transaksi mencurigakan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dikaitkan dengan
kewajiban Advokat untuk menjaga kerahasiaan informasi yang didapat dari klien. Bila ditinjau
berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, kewajiban Advokat sebagai
pihak pelapor atas dugaan tindak
pidana pencucian uang terkait penanganan perkara klien, ternyata
bersinggungan dengan ketentuan Pasal 19 angka 1 Undang-Undang Nomor
18 Tahun
2003 Tentang
Advokat, serta Pasal 4 huruf h
Kode Etik Advokat Indonesia, yang mewajibkan Advokat harus
menjaga
kerahasiaan informasi yang diperoleh dari kliennya. Bahwa Advokat dapat mengesampingkan kewajiban
dan etika profesinya dalam menjaga rahasia informasi dari klien, apabila
sudah menyangkut kepentingan negara dan masyarakat yang jauh lebih luas,
terutama yang berhubungan dengan adanya dugaan transaksi keuangan
mencurigakan yang berindikasi pada tindak pidana pencucian uang. Agar
tercipta kepastian hukum, sebaiknya dilakukan judicial review terkait
ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut atau dilakukan revisi Undang-Undang
Advokat agar lebih mengakomodir kedudukan Advokat dalam menjalankan
kewajibannya menjaga kerahasiaan informasi sekaligus ikut berperan mencegah
terjadinya transaksi keuangan mencurigakan yang mengarah kepada tindak pidana
pencucian uang. ABSTRACT������������������������� Advocates are one of the reporting parties
related to alleged suspicious financial
transactions. Regulations that
indicate the crime of money laundering, based on the provisions of Article 3 of The Government Regulation of The Republic of Indonesia
Number 43 of 2015 concerning Reporting Parties In The Prevention
and Eradication of The Crime of
Money Laundering Juncto The Government Regulation of The Republic of Indonesia Number 61 of 2021
concerning Amendments to Government Regulation of The Republic of Indonesia Number 43 of 2015
concerning Reporting Parties In The Prevention and Eradication of Crimes Money
Laundering. The Government
Regulation requires Advocates to report to the Financial Transaction Reports and
Analysis Center (PPATK) regarding suspected suspicious financial transactions
that lead to money laundering. In this regard, the author will examine more deeply the matter of Advocates
as reporting parties in connection with suspected suspicious transactions in
an effort to prevent and eradicate money laundering, associated with the
obligation of Advocates to maintain the confidentiality of information
obtained from clients. When viewed based on the hierarchy
of laws and regulations in force in Indonesia, the obligation of Advocates as reporting parties for alleged money laundering crimes related
to handling client cases, turns out to be contrary to the provisions of
Article 19 point 1 of Law Number 18 of 2003 concerning Advocates, as well as
Article 4 letter h of the Indonesian Advocates' Code of Ethics, which
requires Advocates to maintain the confidentiality of information obtained
from their clients. That Advocates can waive their obligations and
professional ethics in keeping confidential information from clients, if it
involves the interests of the state and the wider community, especially those
related to suspected suspicious financial transactions with indications of
money laundering. In order to create a law, it is advisable to conduct a
legal review related to The Government Regulation above or to revise the Law in order to better accommodate the position
of Advocates in maintaining the confidentiality of information while at the
same time playing a role in preventing suspicious financial transactions that lead to the crime of money laundering. |
Kata Kunci: transaksi; keuangan; mencurigakan Keywords: suspicious;
financial; transactions |
Pendahuluan
Kata Advokat, secara etimologis berasal dari bahasa
latin, yakni Advocatus, yang berarti
to defend, to call to one�s aid to vouch
or warrant. Atau to speak in favour of or depend by argument,
to support, indicate, or recommended publicy (Soekanto, 2007). Berawal dari seorang tokoh di zaman Romawi Antik (jauh sebelum
Tahun Masehi), yaitu Patronus, profesi Advokat dikenal sebagai pekerjaan terhormat dan dihargai hingga saat ini. Berdasarkan spirit dan latar historis
itulah, maka muncul istilah officium nobile
yang dilekatkan kepada profesi Advokat. Pekerjaan Advokat adalah pekerjaan terhormat (officium nobile). Dalam bahasa latin, kata nobilis menunjuk
pada orang-orang terkemuka dan para bangsawan. Nobilis berarti
mulia, luhur, utama, yang baik, yang sebaik-baiknya. Nobilis
juga dikaitkan dengan bangsawan, kebangsawanan, kalangan atas, berpangkat tinggi, keluhuran jiwa, keunggulan. Sedangkan officium berarti
jasa, kesediaan menolong atau kesediaan
melayani. Jadi officium
nobile merupakan perpaduan antara niat luhur dan status sebagai orang-orang terkemuka serta para advocatus
saat itu dalam menolong para pencari keadilan. Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan, tanpa dibayar. Inilah latar historis
Advokat sebagai officium nobile
(Parera, 2018).
Jabatan yang dipangku
oleh Advokat adalah jabatan kepercayaan (vertrouwensambt)
dan justru oleh karena itu, seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya, dalam hal ini yaitu penanganan permasalahan dan perkara dari orang yang bersangkutan. Sebagai orang kepercayaan (vertrouwensperson), Advokat berkewajiban untuk merahasiakan informasi dari kasus kliennya,
terkait dengan semua apa yang diketahui dan diberitahukan kepadanya selaku Advokat dalam kapasitasnya
sebagai Kuasa Hukum/Penasihat
Hukum. Advokat harus merahasiakan segala yang diketahui dan diberitahukan kepadanya oleh klien, baik pada waktu diadakan pembicaraan-pembicaraan sebagai persiapan untuk penanganan suatu perkara, maupun pada saat penanganan perkara tersebut sedang berlangsung, dan bahkan setelah Advokat tidak lagi menangani
perkara kliennya. Hal ini sesuai dengan
apa yang tercantum di dalam Pasal 4 huruf
h Kode Etik Advokat Indonesia
yang menyatakan bahwa Advokat wajib memegang
rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga
rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu (K. K. A. Indonesia, 2002).
Secara umum Advokat wajib merahasiakan
segala informasi dan keterangan yang diperoleh dari klien terkait
penanganan perkaranya, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa Advokat tidak wajib
merahasiakan keterangan
yang diperlukan yang berkaitan
dengan perkara kliennya. Hal ini tertuang di dalam Pasal 19 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menyatakan bahwa
Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena
hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang (Pattawijaya, 2021).
Kewajiban untuk merahasiakan, selain diharuskan oleh undang-undang,
juga untuk kepentingan Advokat itu sendiri.
Seorang Advokat yang tidak dapat membatasi
diri, akan mengalami akibatnya di dalam praktik, ia akan segera
kehilangan kepercayaan publik dan ia tidak
lagi dianggap sebagai orang kepercayaan (vertrouwenspersoon).
Berkaitan dengan penanganan perkara yang dilakukan oleh Advokat, bisa jadi klien
merupakan pelaku tindak pidana pencucian
uang yang menggunakan jasa Advokat untuk membelanya
atas suatu kasus yang berkaitan dengan transaksi yang diperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana. Profesi Advokat adalah salah satu profesi yang paling rentan menjadi gatekeeper, karena
profesi tersebut sangat kuat posisinya untuk membela diri
atau pihak lain atau melindungi diri atau pihak
lain. Hal-hal tersebut dijunjung tinggi demi perlindungan kerahasiaan informasi antara Advokat dan klien serta kemandirian Advokat dalam membela kliennya
(Yuristara, 2018).
Advokat adalah
salah satu bagian dari penegak hukum.
Sebagai bagian dari penegak hukum,
Advokat mempunyai tugas dan fungsi sebagai pihak yang oleh negara diharapkan mempunyai andil dalam rangka
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi dapat dibayangkan apa yang terjadi apabila terdapat Advokat yang malah secara sadar membantu
terjadinya perbuatan melawan hukum melalui
penyelewengan maupun penyelundupan hukum dengan alibi untuk kepentingan pembelaan perkara kliennya. Tentu risiko yang dihadapi bukan hanya yang bersangkutan akan berurusan dengan proses pidana, tetapi juga dapat berdampak pada menurunnya martabat dan kehormatan profesi Advokat secara keseluruhan.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa profesi Advokat memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda
dengan berbagai penyedia jasa lainnya
terutama mengenai risiko yang dihadapi apabila tidak menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam menjalani profesinya. Oleh karena itu, dalam upaya
meminimalkan risiko melalui penerapan prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan memperhatikan
praktik-praktik yang baik secara internasional (international
best practice) serta dalam
upaya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, peran Advokat sangat dinantikan dalam memerangi kegiatan pencucian uang di Indonesia. Terbitnya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian
diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2021
Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43
Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana
di dalamnya ditegaskan bahwa Advokat sebagai
salah satu pihak pelapor atas dugaan
tindak pidana pencucian uang atas perkara klien yang sedang ditanganinya. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan
pelaksana ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah
ini mewajibkan Advokat untuk melaporkan
kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait adanya dugaan transaksi
keuangan mencurigakan yang mengarah kepada tindak pidana pencucian
uang terhadap perkara yang sedang ditangani olehnya. Berkaitan dengan hal ini,
penulis akan mengkaji lebih dalam perihal Advokat
sebagai pihak pelapor sehubungan dengan adanya dugaan
transaksi mencurigakan dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dikaitkan dengan penanganan perkara yang sedang ditangani olehnya. Berkaitan dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ditegaskan bahwa Advokat sebagai pihak pelapor atas
dugaan tindak pidana pencucian uang dalam perkara yang sedang ditanganinya. Terkait hal tersebut,
bila ditinjau berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, kewajiban Advokat
sebagai pihak pelapor atas dugaan
tindak pidana pencucian uang terkait penanganan perkara, sebagaimana diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ternyata dapat mengesampingkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang mewajibkan Advokat harus menjaga
kerahasiaan informasi yang diperoleh dari kliennya sesuai Pasal 19 angka 1, serta Pasal 4 huruf
h Kode Etik Advokat Indonesia.
Hal ini perlu dikaji lebih dalam
untuk mengetahui pengaruh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, terhadap Advokat sebagai pihak pelapor
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terkait kerahasiaan informasi sehubungan dengan penanganan perkara kliennya. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti mengambil judul �Kewajiban Advokat Dalam Upaya Mencegah Praktik Transaksi Keuangan Mencurigakan�.
Pengertian kepastian hukum tersebut sejalan dengan pendapat dari E. Fernando M. Manulang yang mengemukakan pengertian kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap
warga negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya, dalam hal ini
tampak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan Negara. (Manullang & Berkeadilan, 2007)
Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan
secara deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai
fakta-fakta yang ada, baik berupa data sekunder bahan hukum primer, seperti
peraturan perundang-undangan, data sekunder bahan sekunder berupa pendapat para
ahli, hasil-hasil penulisan, hasil karya dari kalangan hukum, serta bahan hukum
tersier berupa data yang didapat dari majalah dan internet yang berkaitan
dengan penelitian.
Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini secara yuridis normatif, yaitu suatu metode di
mana hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaidah, asas atau dogma. Metode
pendekatan dalam penulisan ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier. Lebih
jauh dengan pemakaian pendekatan metode ini dimaksudkan untuk mengetahui
peraturan-peraturan atau teori-teori yang ada, khususnya yang berhubungan
dengan kewajiban Advokat dalam
menyikapi dugaan transaksi keuangan mencurigakan dalam kaitannya dengan
pembatasan transaksi keuangan yang wajib dilaporkan kepada PPATK terhadap
perkara yang sedang ditangani oleh Advokat, serta kedudukan Advokat terkait
kewajibannya menjaga kerahasiaan informasi dalam upaya
mencegah tindak pidana pencucian uang.
Penelitian ini dilakukan dalam
dua tahap yaitu melalui penelitian kepustakaan dan data lapangan. Sedangkan
teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan metode analisis yuridis kuantitatif, yaitu
metode penulisan yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan
perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif yang kemudian
dianalisis secara kualitatif dan dilaporkan secara deskriptif. Data yang
diperoleh pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara
deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian
logis dan sistematis yang menghubungkan fakta yang ada dengan berbagai
peraturan yang berlaku. Analisa akan dituangkan dalam bentuk kalimat yang
ringkas dan jelas. Dalam penarikan kesimpulan, peneliti menggunakan metode
induktif yaitu suatu metode yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti
dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip khusus menuju penelitian yang
bersifat umum.
1. Kewajiban Advokat Dalam Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Advokat merupakan
salah satu profesi selain Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akuntan, Akuntan
Publik, dan Perencana Keuangan yang wajib menyampaikan laporan tranksaksi mencurigakan kepada PPATK, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun
2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Munculnya peraturan tersebut membuat kalangan profesi Advokat dan kalangan terkait mempertanyakan mengenai kewajiban Advokat sebagai Pihak Pelapor terhadap
transaksi keuangan mencurigakan tersebut.
Peranan dari
Advokat dalam upaya memberantas dan mencegah transaksi keuangan mencurigakan adalah dengan :
1.
Kegiatan Mengenali
Pengguna Jasa
Sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang yang menyatakan : (R.
Indonesia, 2010)
Pasal 27
1)
Penyedia barang
dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1 huruf b wajib menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan mata
uang Rupiah dan/atau mata
uang asing yang nilainya
paling sedikit atau setara dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
Rupiah) kepada PPATK.
2)
Laporan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal transaksi dilakukan.
3)
Penyedia barang
dan/atau jasa lain yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dikenai sanksi administrasi.
2.
Pengelolaan Risiko
Penerapan prinsip
mengenal pengguna jasa merupakan bagian penting bagi manajemen risiko yang baik, terutama dalam pengelolaan risiko reputasi, risiko operasi, risiko hukum, dan risiko konsentrasi, yang mana satu dengan lainnya saling berhubungan. Risiko reputasi berkaitan dengan sifat dari bisnis
suatu industri, yang membutuhkan kepercayaan dari nasabah atau
pengguna jasa. Publikasi negatif, entah akurat ataupun
tidak, bagi suatu industri akan menyebabkan kehilangan kepercayaan atas integritas industri yang bersangkutan (Fadjar,
2003).
3.
Penatausahaan Dokumen
Dalam rangka
penerapan prinsip mengenal pengguna jasa, pihak pelapor
memiliki kewajiban menyimpan catatan dan dokumen identitas pelaku transaksi paling singkat 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha. Sama halnya bagi profesi
Advokat dan PPATK yang memang
dalam kegiatannya melakukan pengumpulan dokumen dan informasi untuk alat bukti,
maka penatausahaan dokumen menjadi hal yang sangat vital (Lotulung,
1994).
4.
Memenuhi Prinsip
Good Corporate Governance
Saat ini
semua perusahaan termasuk profesi, untuk tetap bisa
menjalankan fungsinya dengan baik, maka
penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance tidak bisa dihindari,
dengan memperhatikan karakteristik perusahaan atau profesi yang dijalani agar tidak melanggar ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.
Penanganan setiap
perkara hukum, sudah sepatutnya dilakukan oleh seorang Advokat. Bahwa secara wewenang, Advokat sudah sesuai
pada tempatnya dimana kewenangan memberikan bantuan hukum itu
berada di tangan Advokat sebagai salah satu bagian dari
penegak hukum serta dalam rangka
upaya penegakan hukum. Kewenangan yang diharapkan dari seorang Advokat sebagai salah satu profesi yang diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak
Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, adalah
bertindak sebagai pihak pelapor dalam
membantu negara guna
mencegah dan memberantas praktik transaksi
keuangan mencurigakan dengan cara melaporkan
kepada PPATK terkait adanya transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang serta melakukan upaya mengenali para pengguna jasa sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Advokat (Marzuki
& SH, 2021).
Dalam kenyataannya,
kewajiban yang diberikan kepada Advokat untuk bertindak sebagai pihak pelapor
terkait adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan, terbentur dengan
kewajiban Advokat untuk merahasiakan informasi yang diperoleh dari kliennya. Di
satu sisi, penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian
uang haruslah dijalankan secara tegak lurus, di sisi yang lain, Advokat juga
terkendala dengan situasi yang menyulitkan, yaitu antara memilih menjadi
idealis melalui pelaksanaan kewenangannya tersebut dalam rangka penegakan
hukum, dengan risiko ditinggal pergi klien dan risiko tidak mendapatkan
pekerjaan karena tentu klien sudah lebih dahulu berpikiran yang macam-macam
terhadap Advokat yang hendak membuat laporan terhadap kliennya sendiri sehubungan
dengan adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan dalam penanganan perkara
yang sedang ditangani, atau, menjadi realis melalui pembelaan kepentingan klien
apa adanya tanpa mempedulikan kepentingan umum yang jauh lebih luas, dengan
harapan mendapat pundi-pundi materi yang mungkin nilainya akan sangat cukup dan
memuaskan (Lotulung, 1994).
Dalam hal
ini peneliti berpendapat bahwa walaupun Advokat terikat pada kewajiban menurut
undang-undang dan Kode Etik Profesi guna menjaga kerahasiaan informasi dari
klien, namun dalam rangka upaya mencegah praktik transaksi keuangan
mencurigakan serta guna memberantas tindak pidana pencucian uang, Advokat dapat
mengesampingkan etika dan kewajibannya, sehingga diperbolehkan untuk melaporkan
segala transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi pada tindak pidana
pencucian uang sekalipun berasal dari kliennya sendiri, karena hal tersebut
sudah bukan lagi masalah hubungan privilege
rahasia antara Advokat dan klien, akan tetapi jauh lebih besar lagi menyangkut
kepentingan negara dan masyarakat luas yang jelas dirugikan oleh karena
perbuatan pencucian uang. Advokat sebagai bagian dari penegak hukum, harus
turut menegakkan hukum, tidak boleh dikendalikan oleh kliennya atau lebih
mementingkan kebutuhan dan kepentingan kliennya dibandingkan menegakkan aturan
hukum yang berlaku (Hsb, 2011).
2. Kedudukan
Advokat Terkait Kewajibannya Menjaga Kerahasiaan Informasi Dalam Upaya
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Advokat termasuk
salah satu profesi yang dikenakan wajib lapor ke PPATK jika menemukan transaksi keuangan mencurigakan. Kewajiban ini tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan Pemerintah ini mewajibkan Advokat sebagai pihak pelapor atas
dugaan tindak pidana terhadap penanganan perkara yang sedang ataupun pernah dilakukan oleh Advokat, sedangkan dalam ketentuan Pasal 19 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia, mewajibkan Advokat untuk merahasiakan
atau tidak memberitahukan segala informasi dan keterangan yang berkaitan dengan kliennya kecuali undang-undang menentukan lain, sehingga sebenarnya mengakibatkan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini, pada prinsipnya dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas : (Nomor,
12 C.E.)
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah Provinsi;
7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Secara hierarki
tata hukum dan sistem perundang-undangan di� Indonesia, bahwa
kedudukan Undang-Undang Advokat, yang memerintahkan Advokat untuk merahasiakan
segala informasi dari klien, lebih
tinggi tingkatannya daripada Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam hierarki
tata hukum dan sistem perundang-undangan di Indonesia secara
tegas dinyatakan negara
Indonesia menganut sistem hukum, yaitu peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya mempunyai kedudukan lebih tinggi dibandingkan
dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
berada dibawahnya. Sehingga ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (lex superiori derogat legi inferiori)
karena bila dilanggar ketentuan ini akan mengakibatkan
ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Berdasarkan hal
tersebut, peneliti memiliki pendapat lain, dikarenakan Advokat wajib melaporkan
transaksi keuangan mencurigakan, maka yang dilakukan tersebut tidak berkaitan lagi dengan hubungan kerahasiaan informasi antara
Advokat dan klien, karena tindak pidana
pencucian uang merupakan tindakan pelanggaran hukum yang akibatnya sangat merugikan negara dan masyarakat luas. Advokat adalah
salah satu pilar penegak hukum yang berwenang untuk menjalankan kewajiban dan jabatan sebaik- baiknya, sehingga
tidak diperbolehkan seorang Advokat dapat dikendalikan oleh klien atau lebih
mementingkan keuntungan klien terlebih dahulu dibandingkan menegakkan peraturan yang telah ditetapkan (Rahardjo
& Dimyati, 2002).
Bahwa pembahasan
mengenai kedudukan Advokat sehubungan dengan kewajibannya menjaga kerahasiaan informasi klien ini menimbulkan polemik antara peraturan perundang-undangan yang
ada, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap profesi Advokat, sedangkan terkait dengan kepastian hukum, dalam hal
ini undang-undang hendaknya memberikan kepastian mengenai kedudukan Advokat dalam kewajibannya menjaga kerahasiaan informasi klien, dihubungkan dengan kewajiban lainnya untuk
bertindak sebagai pihak pelapor apabila terdapat indikasi transaksi keuangan
mencurigakan dalam penanganan perkara kliennya, untuk
itu teori kepastian hukum dipergunakan apabila suatu peraturan dibuat dan diundangkan serta diatur secara
jelas dan logis, yang mengandung pengertian sebagai berikut :
a.
Adanya aturan
hukum yang konsisten dan dapat diterapkan, yang ditetapkan oleh negara;
b.
Aparat pemerintah
menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut;
c.
Sebagian besar rakyat
pada dasarnya konform (mengikuti) pada aturan tersebut;
d.
Hakim yang bebas dan tidak
memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut
(Wairocana,
2008).
Bahwa
batasan Advokat dalam menjaga kerahasiaan informasi dari klien memang hanyalah
ketentuan undang-undang, sebagaimana isi Pasal 19 angka 1 Undang-Undang
Advokat. Dengan demikian hanya undang-undang saja yang dapat �memaksa� Advokat
untuk membuka rahasia informasi kliennya. Dalam hal ini peneliti berpendapat,
terkait rahasia informasi yang dimaksud disini bukan berarti menjaga rahasia
secara keseluruhan tanpa batas, tetapi apabila menyangkut kepada kepentingan
negara dan masyarakat luas terkait transaksi keuangan mencurigakan yang
berindikasi pada tindak pidana pencucian uang, maka membuka rahasia informasi
menjadi suatu kewajiban profesi dalam rangka proses penegakan hukum.
Namun
demikian, demi terciptanya kepastian hukum
terkait dengan kedudukan Advokat dalam kewajibannya menjaga kerahasiaan informasi dari
klien, dihubungkan
dengan kewajiban lainnya sebagai pihak pelapor apabila ada dugaan transaksi
keuangan mencurigakan yang berindikasi pada tindak pidana pencucian uang, maka peneliti berpendapat, dengan mengacu kepada
ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara hierarki, kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, berada di bawah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Oleh karena
itu, agar sejalan dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, berdasarkan ketentuan
Pasal 31 Angka 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yaitu bahwa �Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku� (Mirawaty,
2009). Sebaiknya organisasi Advokat melakukan permohonan upaya pengujian (judicial review) atas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun
2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Hal ini dilakukan
agar tercipta kepastian hukum terhadap Advokat
dalam menjalankan kewajiban profesinya, serta juga dapat menjadi acuan bagi
Advokat dalam mengambil sikap dan tindakan ke depannya, dimana disatu sisi
diharuskan untuk menjaga kerahasiaan informasi dari klien, dan disisi yang lain
juga diwajibkan menjadi pihak pelapor apabila terdapat indikasi transaksi
keuangan mencurigakan dalam penanganan perkara klien yang sedang ditanganinya.
Kewenangan� yang diberikan kepada Advokat untuk bertindak
sebagai pihak pelapor terkait adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan,
terbentur dengan kewajiban Advokat untuk merahasiakan informasi yang diperoleh
dari kliennya. Namun demikian, walaupun Advokat terikat pada kewajiban menurut
undang-undang dan Kode Etik Profesi guna menjaga kerahasiaan informasi dari
klien, akan tetapi dalam rangka upaya mencegah praktik transaksi keuangan
mencurigakan serta guna memberantas tindak pidana pencucian uang, Advokat dapat
mengesampingkan etika dan kewajibannya, sehingga diperbolehkan untuk melaporkan
segala transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi pada tindak pidana
pencucian uang sekalipun berasal dari kliennya sendiri, karena hal tersebut
sudah bukan lagi masalah hubungan privilege
kerahasiaan antara Advokat dan klien, akan tetapi jauh lebih besar lagi
menyangkut kepentingan negara dan masyarakat luas yang jelas dirugikan oleh
karena perbuatan pencucian uang. Sudah merupakan kewajiban Advokat menurut
undang-undang dan etika profesi untuk menjaga kerahasiaan informasi dari
kliennya, namun kewajiban tersebut haruslah selaras dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tidak boleh seorang Advokat, sebagai bagian
dari penegak hukum, dapat dikontrol secara berlebihan oleh klien dengan
mengacuhkan ketentuan hukum yang telah ditetapkan. Bahwa terkait dengan
kerahasiaan informasi yang dimaksud tersebut, bukanlah berarti menjaga rahasia
secara keseluruhan tanpa batas, tetapi apabila sudah menyangkut kepada
kepentingan negara dan masyarakat luas terkait transaksi keuangan mencurigakan
yang berindikasi pada tindak pidana pencucian uang, maka membuka rahasia
informasi menjadi suatu kewajiban profesi dalam rangka proses penegakan hukum.
Namun demikian, demi terciptanya kepastian hukum terkait dengan kedudukan Advokat dalam kewajibannya menjaga kerahasiaan informasi dari klien, dihubungkan dengan kewajiban lainnya sebagai
pihak pelapor apabila ada dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang
berindikasi pada tindak pidana pencucian uang, perlu dilakukan upaya pengujian
(judicial review) atas
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43
Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 43
Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, terhadap Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Fadjar, A. M. (2003). Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi
Paradigmatik. Institute for
Strengthening Transition Society Studies. Google Scholar
Hsb, A. M. (2011). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Kashva Publishing. Google Scholar
Indonesia, K. K. A. (2002). Kode Etik
Advokat Indonesia. Panitia Daerah
Ujian Kode Etik Advokat Indonesia, Jakarta. Google Scholar
Indonesia, R. (2010). Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara RI Tahun. Google Scholar
Lotulung, P. E. (1994). Himpunan Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan
Yang Baik. Google Scholar
Manullang, E. F. M., & Berkeadilan, M.
H. (2007). Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Google Scholar
Marzuki, P. M., & SH, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media. Google Scholar
Mirawaty, M. (2009). Eksistensi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dilihat dari Tata cara pembentukan Peraturan Perundang-undangan/oleh
Mirawaty. Universitas Tarumanagara. Google Scholar
Nomor, U.-U. R. I. (12 C.E.). tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Penerbit Kerjasama Antara Kementrian Hukum
Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan Dengan Hanns Seidel Fondation. Google Scholar
Parera, T. Y. (2018). Advokat dan penegakan hukum. Google Scholar
Pattawijaya, R. (2021). Analisis Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat Persfektif Hukum Islam (Studi Pasal 26 Tentang Kode Etik
Advokat). UIN FAS Bengkulu. Google Scholar
Rahardjo, S., & Dimyati, K. (2002). Sosiologi hukum: perkembangan, metode, dan
pilihan masalah. Muhammadiyah University Press. Google Scholar
Soekanto, S. (2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum. Google Scholar
Wairocana, G. N. (2008). Implementasi Good Governence dalam Legislasi Daerah. Orasi Ilmiah Fakultas Hukum. Google Scholar
Yuristara, R. A. S. (2018). Pertanggungjawaban
Advokat Sebagai Gatekeeper Dalam Kaitannya Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Media Iuris, 1 (2), 350�372. Google Scholar
Copyright holder: Yudhi Ongkowijaya, Helvis,
Markoni (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |