Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 12 Desember 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN SUPLAI AIR BERSIH DALAM MENJAGA EKOSISTEM DARAT

 

Amelia Putri Anisah, Ade Borami Ju, Angel Tng, Elvira Zikra, Nadia Carolina Weley, Winda Fitri

Universitas Internasional Batam, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 November 2021

Direvisi

05 Desember 2021

Disetujui

15 Desember 2021

Perkembangan zaman yang begitu pesat menyebabkan pemerintah harus melakukan alih fungsi lahan hutan untuk menunjang pembangunan hingga pertumbuhan penduduk. Penggunaan lahan oleh setiap kegiatan pembangunan akan mengubah tatanan lingkungan hutan menjadi tatanan lingkungan baru yang mengakibatkan perubahan pada kelestarian lingkungan seperti penurunan kualitas air bersih yang nantinya akan berbahaya bagi kehidupan habitat tertentu dalam ekosistem yang terkena dampak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari alih fungsi lahan dan juga peran dari SDGs ke-6 dan ke-15 terhadap keberlanjutan suplai air bersih.� Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan memberikan dampak bagi mahkluk hidup, dampak tersebut dapat memengaruhi penurunan kualitas lahan yaitu berupa kegiatan yang dilakukan oleh manusia seperti dilakukannya cara tebang bakar (slash and burn). Kegiatan tersebut dapat mempercepat proses pencucian dan penipisan lapisan tanah sehingga berkurangnya kadar organik tanah yang akan berakibat pada buruknya sifat fisik dan kimia tanah.

 

ABSTRACT�������������������������

The development of the times is so rapid that the government has to change the function of forest land to support development and population growth. Land use by each development activity will change the forest environmental order into a new environmental order which results in changes to environmental sustainability such as a decrease in clean water quality which will later be harmful to the life of certain habitats in the affected ecosystem. This study aims to determine the impact of land conversion and also the role of the 6th and 15th SDGs on the sustainability of clean water supply. The method used in this research is normative legal research with data collection techniques carried out through library research. The results of this study indicate that land use change has an impact on living things, this impact can affect the decline in land quality, namely in the form of activities carried out by humans such as slash and burn. These activities can accelerate the process of washing and thinning the soil layer so that the organic content of the soil is reduced which will result in poor soil physical and chemical properties.

Kata Kunci:

alih fungsi; lahan; dampak; air bersih

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: transfer of function; land; impact; clean water



 

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu dari Negara terluas di dunia dan menduduki peringkat 15 (Lima Belas) dengan jumlah penduduk sebanyak 275.122.131 (Dua Ratus Tujuh Puluh Lima Juta Seratus Dua Puluh Dua Ribu Seratus Tiga Puluh Satu) jiwa (Jaya, 2021). Luas yang dimiliki oleh Indonesia didukung oleh ribuan pulau yang membentang dari sabang hingga merauke (Waas, 2016). Selain dari pada 2 (Dua) kondisi diatas, Indonesia juga memiliki lahan dan hutan yang lebat sebagai paru-paru dunia (Hanansyah, 2020) dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah, sehingga menjadikan pemerintah Indonesia memikirkan cara lain untuk tetap mengikuti perkembangan zaman dan menciptakan rasa aman dan nyaman bagi penduduk di lingkungannya (Disperkimta, 2019), salah satu caranya adalah dengan membangun pemukiman dan memenuhi kebutuhan yang sudah seharusnya diterima oleh masyarakat diikuti dengan syarat dan ketentuan yang berlaku (Hardani, 2016). Akibat dari kewajiban pemenuhan tersebut, mendorong pemerintah melakukan alih fungsi lahan dalam berbagai bidang guna menunjang dan menyejajarkan laju pertumbuhan penduduk (Sri Rahayu, 2020).

Alih fungsi lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk penggunaan semula menjadi penggunaan lainnya, diluar dari pertanian dan perkebunan (Sudarma et al., 2015). Biasanya alih fungsi lahan berkaitan erat dengan tersedianya suplai air bersih (kementrian PPN/Bappenas, 2012) yang menjadi kebutuhan utama masyarakat dan juga kelestarian serta kesuburan tanah (kementrian PPN/Bappenas, 2012), namun, seiring berjalannya waktu alih fungsi lahan menjadi sebuah permasalahan yang sangat mengganggu ekosistem darat dan juga ketersediaan suplai air bersih (Kurniawan, 2019). Akibat dari alih fungsi lahan yang paling utama adalah bahwa lahan tersebut menjadi lahan yang tidak dapat digunakan lagi dan bahkan bisa menjadi lahan tidur. Lahan tidur sendiri merupakan istilah yang digunakan oleh lahan pertanian atau perkebunan yang disebabkan salah perhitungannya seseorang, saat pemberlakuan alih fungsi lahan dan tidak menghasilkan tumbuhan selama 2 tahun (Sakinah et al., 2017). Akibat dari lahan tidur tersebut, daerah penyerapan air hilang dan menjadi tanah tidak subur yang tidak dapat digunakan sebelum dilaksanakannya pemeliharaan (Gunawan et al., 2016).

Air bersih merupakan bagian yang paling sedikit yang ada di bumi, sehingga timbul berbagai cara untuk tetap melestarikan air bersih yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hampir 70% (Tujuh Puluh Persen) wilayah yang berada di bumi ditutupi oleh air, namun hanya 2,5 % (Dua koma Lima Persen) dari air tersebut yang masuk kategori air bersih (Gunawan et al., 2016). Oleh karena itu alih fungsi lahan sangat berdampak bagi penyediaan suplai air bersih yang pada saat ini sangat bergantung pada sungai, danau dan waduk (Puspitasari, 2009). Sungai, danau dan waduk sendiri dikelilingi oleh lahan yang seharusnya mendukung penyuplaian air bersih, dan tidak menyebabkan permasalahan penyumbatan air bersih dan menjadi masalah baru bagi lingkungan (Gunawan et al., 2016). Penyediaan air bersih juga menjadi salah satu bagian dari 15 (Lima Belas) tujuan pembangunan yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2015 yang disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) pada tujuan ke-6 (Enam) yaitu Air bersih dan sanitasi layak atau Clean water and sanitation (sdgs.bappenas.go.id, 2010).

Ekosistem darat merupakan keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berada di darat, biasanya ekosistem darat dipengaruhi oleh suhu dan curah hujan (Husnul Abdi, 2021). Ekosistem darat merupakan bagian besar yang sangat berpengaruh dan bahkan merupakan komunitas pertama yang terkena akibat alih fungsi lahan yang tidak diperkirakan sebelumnya sehingga merusak lingkungan. Ekosistem darat sendiri termasuk ke dalam bagian dari TPP Tujuan ke-15 (Lima Belas) yang disebut dengan Life on Land atau ekosistem darat (sdgs.bappenas.go.id, 2010). Kehidupan di bumi bergantung tidak hanya dengan suplai air bersih tetapi juga bergantung pada tanah. Tanah merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan yang menyediakan 80% (Delapan puluh persen) bahan makanan untuk kelangsungan hidup dan juga sebagai penyedia udara untuk semua jenis makhluk hidup (sdgs.bappenas.go.id, 2010).

Alih fungsi lahan berkaitan erat dengan keberlanjutan suplai air bersih dalam menjaga ekosistem darat, karena alih fungsi lahan mengambil lahan pertanian atau hutan yang baru sampai tanah dari lahan tersebut sudah tidak digunakan, lalu mencari tempat baru untuk membangun kebutuhan yang sebelumnya bermukim di lahan sebelumnya (Puspitasari, 2009). Namun, apabila alih fungsi lahan dilakukan dengan benar dan tidak menyebabkan hilangnya dan menyumbatnya suplai air bersih, justru akan bermanfaat bagi lingkungan. Semakin maju zaman dan teknologi maka semakin pesat pula pertumbuhan penduduk mendorong pemerintah untuk mengalih fungsikan lahan ekosistem darat untuk meningkatkan pembangunan (Ridwan et al., 2008).

Penggunaan lahan oleh setiap kegiatan pembangunan akan mengubah tatanan lingkungan hutan menjadi tatanan lingkungan baru. Hal tersebut akan mengakibatkan perubahan kelestarian lingkungan, jika tidak diusahakan dengan proses yang jeli dan mahir maka akan mengakibatkan penurunan kualitas air bersih dan akan berbahaya bagi kehidupan habitat tertentu dalam ekosistem yang terkena dampak (Achmad & Juniarso, 2008). Peristiwa tersebut akan mengancam terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan suplai air bersih (Arrsa, 2015). Upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan ekosistem darat dalam menjaga suplai air bersih harus dilakukan melalui pengendalian alih fungli lahan ekosistem darat dan perlindungan lahan berdasarkan penggunaannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan ketersediaan sumber daya air bersih (Kurniasari & Ariastita, 2014).

Ketersediaan air bersih berkaitan erat dengan upaya pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap Hak asasi manusia (HAM) (Nurcahyono et al., 2015). Berdasarkan Pasal 6 dan 12 Deklarasi Merida (OHCHR) tahun 2015, SDGs merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemenuhan tanggung jawab negara atas hak asasi manusia. (sdgs.bappenas.go.id, 2010) Negara memiliki tanggungjawab penuh dalam memastikan ketersediaan air bersih bagi penduduk. Berkenaan dengan SDGs, ada 17 (tujuh belas) tujuan dalam SDGs yang harus tercapai pada tahun 2030. (Abdurrahman, 2003) Salah satu tujuan tersebut adalah ketersediaan dan keberlanjutan pengelolaan air dan sanitasi untuk semua. Pengelolaan air baku merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan utama masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia juga telah melakukan sejumlah upaya untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan bersama.

Pencapaian tujuan terkait pengelolaan air bersih membuat pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Konstruksi Umum memiliki kebijakan dan strategi khusus yang bertujuan untuk menjaga kuantitas dan kualitas air baku untuk kebutuhan sehari-hari antara lain:

a)    Membangun saluran untuk mengaliri air baku

b)   Menyediakan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak terkait dengan SPAM konvensional

c)    Eco Sustainable Water Infrastructure/ESWIN

d)   Memberikan fasilitas sambungan air rumah tangga

e)    Mengembangkan sistem pasokan air baku

f)    Memberantas pencemaran air melalui sumbernya

g)   Menggunakan metode penghematan penggunaan air

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut: Bagaimana Dampak Alih Fungsi Lahan Hutan Terhadap Suplai Air Bersih. Lalu, Bagaimana Peran SDGs tujuan ke-6 dan tujuan ke-15 Terhadap Keberlanjutan Suplai Air Bersih dan Bagaimana Pengaturan Hukum Indonesia Terkait Proses Alih Fungsi Lahan.

Tujuan dari artikel dengan judul �Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Keberlanjutan Suplai Air Bersih dalam Menjaga Ekosistem Darat� ini adalah untuk mengetahui dampak alih fungsi lahan menurut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), tujuan ke-6 (Enam) dan tujuan ke-15 (Lima Belas), serta pengaturan hukum Indonesia yang mengatur tentang proses alih fungsi lahan.

 

 

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis bahan pustaka yang didapatkan dari data primer dan juga data sekunder. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research), yaitu data yang diperoleh berupa hasil penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan topik penelitian. Penelitian kepustakaan adalah kajian terhadap buku, literatur, hukum, dan peraturan yang berkaitan erat dengan penelitian hukum tentang Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Keberlanjutan Suplai Air Bersih dalam Menjaga Ekosistem Darat.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Dampak Alih Fungsi Lahan Hutan Terhadap Suplai Air Bersih

Lahan adalah elemen yang sangat penting dalam pembangunan negara. Salah satu lahan terpenting yang kaya akan sumber dayanya untuk menjaga keberlangsungan umat manusia adalah lahan hutan. Sebagai negara tropis, Indonesia memperoleh keuntungan berupa limpahan lahan hutan yang luas dan subur yang menjadi habitat berbagai ragam flora dan fauna. Oleh karena itu, Indonesia kerap disebut sebagai paru-paru dunia karena lahan hutannya yang menjadi penyumbang penyerapan emisi karbon dunia.� Namun dewasa ini, Indonesia memerlukan banyak lahan. Seiring dengan berkembangnya populasi penduduk, akan semakin banyak lahan hutan yang akan diahli fungsikan menjadi lahan untuk pembangunan pemukiman, perkantoran, infrastruktur, pabrik-pabrik, jalan raya hingga jalan tol. Kebutuhan negara atas hal-hal tersebut mendukung deforestasi atau penggundulan hutan yang akan berdampak negatif bagi keberlangsungan lingkungan hidup. Faktanya, fenomena ini akan terus berlanjut tanpa tanda jeda karena lajunya tingkat urbanisasi dan lonjakan permintaan pemukiman untuk mendukung pertumbuhan populasi, ekonomi dan industri (Rahardjo et al., 2019).

Deforestasi akibat alih fungsi lahan terbuka hijau yang merupakan daerah resapan air tentu akan berdampak pada persediaan suplai air bersih bagi masyarakat terutama disaat musim penghujan dan musim kemarau. Kurangnya konservasi air membuat masyarakat kesulitan dalam mencari air bersih karena area hutan yang awalnya menjadi wadah penyerapan dan penyimpanan air menjadi menyusut. Penyusutan daerah lahan terbuka hijau berdampak langsung dalam perubahan sifat dalam lapisan tanah dan degradasi daerah aliran sungai (DAS) yang akan menyebabkan bencana alam banjir bandang, tanah longsor, serta kekeringan. (Anwar et al., 2011)

Alih fungsi lahan hutan� yang dilakukan biasanya melalui proses deforestasi yang menebang dan membakar area hutan kemudian dibersihkan permukaan tanahnya, membuat struktur atau lapisan permukaan atau dalam tanah menjadi berubah dan rusak. Akibat perubahan sifat lapisan tanah ini, porositas atau ruang pori tanah yang menjadi ruang fungsional menghubungan tanah dengan lingkungan sekitarnya akan mengalami penurunan. Ada banyak faktor yang memengaruhi sistem dan karakteristik ruang pori dalam tanah yaitu total bahan organik, jenis dan total liat, kelembapan tanah, pemadatan serta manajemen tanah tersebut. (Masria et al., 2018) ruang pori tanah dalam lahan hutan yang telah dialihkan fungsinya mengurangi kadar bahan organik yang terdapat dalam tanah, menjadikan ruang pori tanah berkurang dan tidak mampu menyerap dan menampung air secara maksimal.

Air pada saat hujan akan kesulitan dalam menembus kedalam lapisan tanah dan terserap akibat ruang pori yang sedikit, hal ini membuat penampungan air yang berada dibawah tanah berkurang dan mengenang di permukaan tanah, genangan ini kemudian akan runoff, membuat air yang seharusnya diakumulasi untuk kebutuhan masyarakat menjadi hilang (Lestari & Hidayawanti, 2016). Air yang tersimpan dibawah tanah tanpa vegetasi dan pengakaran juga mengikiskan batu-batuan dan tanah yang dikenal sebagai erosi.� Tanah-tanah yang terkikis ini kemudian akan diangkut dan diendapkan, proses ini dinamakan sedimentasi. Sedimentasi terjadi ketika material pengendapan yang dibawa oleh air dari sungai ke laut. Sedimentasi membawa dampak serupa dengan erosi. Akibat sedimentasi, aliran sungai akan terganggu karena hasil endapan tersebut menurunkan permukaan air dan meningkatkan aliran pada permukaan sehingga lahan kedap air menjadi luas (Zulfahmi et al., 2016).

Kemudian Juga Ketika hujan datang dalam curah yang tinggi, maka tanah yang tidak mampu menahan air tadi tidak hanya akan bergenang yang ada diatas permukaan tanah namun juga menimbulkan banjir dan tanah longsor karena tanah sudah tidak mampu menampung air dan terus terkikis oleh air tersebut. Akibatnya, bencana alam tersebut menyebabkan rusaknya ekosistem air yang terjadi karena pelumpuran sumber mata air seperti sungai, saluran air, waduk dan sumber air lainnya. Hal ini menurunkan kualitas air dan hilangnya mata air tersebut karena mata air yang tadinya bersih menjadi tercemari dan kotor. Sebaliknya, ketika musim kemarau, sungai dan sumur yang sudah dangkal karena erosi dan sedimentasi mengalami penyurutan air dan masyarakat tidak bisa memperoleh air karena tanah tidak memiliki cadangan sehingga terjadi kelangkaan air.

Dampak alih fungsi lahan hutan selain diatas juga bisa berupa tercemarnya sumber air dan konservasi alami perairan jika lahan hutan yang berdekatan dengan sungai dan laut dialih fungsikan menjadi kawasan industri. Bahaya fungsi lahan hutan menjadi lahan untuk pabrik adalah risiko air limbah yang tidak diolah namun dibuangkan kesekitarnya.

2.    Peran SDGs Terhadap Keberlanjutan Suplai Air Bersih

The Sustainable Development Goals (SDGs) atau yang disebut juga dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan salah satu agenda internasional yang menjadi kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs) atau �Tujuan Pembangunan Milenium yang telah disusun dan dilaksanakan mulai bulan September tahun 2000. Setelah MDGs dianggap telah menyelesaikan tugasnya, selanjutnya dengan melibatkan dari 194 negara, civil society, dan juga berbagai pelaku ekonomi dari seluruh penjuru dunia, SDGs disusun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Agenda ini dibuat dan dilaksanakan dalam rangka untuk menjawab tuntutan dari kepemimpinan dunia dalam mengatasi kesenjangan, kemiskinan dan juga perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata. SDGs sendiri terdiri atas 17 tujuan dan salah satunya adalah tujuan ke-6 SDGs yang membahas tentang Clean Water and Sanitation atau akses air bersih dan sanitasi.

Akses air bersih dan sanitasi adalah salah satu tujuan SDGs sebagai salah satu cara untuk memberantas kesenjangan agar air bersih tetap terjaga dan lestari sehingga tidak mempengaruhi masyarakat dan sektor pertanian serta sektor yang memerlukan pasokan air bersih. Pada tujuan SDGs di tahun 2020 juga berisi tentang merestorasi dan melindungi ekosistem terkait sumber daya air, termasuk hutan, , pegunungan, danau, air tanah, sungai, dan lahan basah. SDGs merupakan salah satu dari 17 tujuan yang berisi untuk kelancaran dan pemerataan sumber daya yang telah tersedia untuk tetap lestari, salah satunya adalah dengan menjaga lahan dan hutan sebagai daya penyerap terbesar dan mencegah akan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Lalu Pada tahun 2020, yang ingin ditonjolkan oleh tujuan ke-6 SDGs adalah pengembalian atau pemulihan ekosistem kepada bentuk dan kondisi semula, salah satunya adalah dengan melestarikan dan melakukan penanaman kembali terhadap pengalihan lahan yang telah dilakukan. Pengalihan fungsi lahan sendiri merupakan perubahan pengalokasian kawasan lahan melalui proses pertukaran dan pemulihan kawasan. Pertukaran kawasan tersebut disebabkan oleh berbagai aspek seperti bertambahnya populasi penduduk yang menyebabkan meningkatnya keperluan lahan sebagai tempat kegiatan yang mendukung perkehidupan penduduk (Fitrianingsih, 2017).

Peran lainnya dari SDGs adalah memaksimalkan kualitas air dalam meminimalisir pencemaran bahan kimia dan bahan berbahaya lainnya. Diperlukan juga pengurangan air limbah tak terolah dengan melakukan daur ulang dan penggunaan kembali (reuse) yang aman di tingkat global. Tidak hanya itu saja melainkan harus meningkatkan efisiensi penggunaan air di seluruh sektor dan memasukkan pasokan air bersih yang berkelanjutan untuk mengatasi kelangkaan air. Hal tersebut termasuk kedalam peran dari SDGs tujuan ke-6.

Tujuan dari SDGs poin 15 yang berhubungan dengan ekosistem darat memuat perlindungan, pemulihan dan pendukungan dalam penggunaan ekosistem darat yang berkelanjutan. Melalui poin 15 ini, SDGs berusaha untuk melindungi dan melestarikan ekosistem darat, seperti hutan, lahan dan gunung. SDGs juga berusaha untuk memperbaiki pengelolaan ekosistem darat agar tercipta ekosistem darat yang berkelanjutan, seperti menghentikan perusakan hutan dan perburuan liar yang dapat menghilangkan keanekaragaman hayati yang ada.

Masalah terkait ekosistem daratan yang dewasa ini sedang dihadapi oleh Indonesia adalah kurangnya suplai air bersih bagi masyarakat yang berada diwilayah serta pemukiman yang kurang ada pemasokan suplai air bersih. Dalam menghadapi keberlanjutan suplai air bersih di Indonesia, pemerintah masih terus melakukan penanganan agar masyarakat yang kekurangan suplai air bersih ini. Maka dibutuhkannya bantuan penanganan baik dari pemerintah, masyarakat dan juga perusahaan-perusahaan yang secara langsung dapat membantu menangani permasalahan mengenai air bersih di Indonesia, sehingga dapat melaksanakan tujuan dari pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam poin 15 SDG s tersebut.

Fokus utama pada SDGs tujuan ke 15 (sdgs.bappenas.go.id, 2010) adalah melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan dalam mengelola hutan secara lestari. Menghentikan penggurunan hutan agar tidak terjadinya kerusakan yang mengakibatkan hutan menjadi gersang serta berdampak pada keberlangsungan suplai air bersih yang sangat bermanfaat bagi manusia. Dalam memulihkan degradasi lahan yang mengakibatkan susahnya penyaluran suplai air bersih serta menghentikan kehilangannya keanekaragaman hayati hal ini sangat berarti bagi keberlangsungan ekosistem hutan yang mana dapat membuat hewan dan tumbuhan yang ada dihutan mengalami kepunahan apabila tidak ditangani dengan baik.

Kemudian Pada Tahun 2020 berdasarkan perjanjian internasional yang menjadi kewajiban mengenai penjaminan terhadap pelestarian berupa pemulihan dan pemanfaatan berkelanjutan dari ekosistem daratan maupun peraian darat serta jasa lingkungannya, dalam hal ini dikhususkan mengenai ekosistem hutan yang berdampak pada lahan basah dan lahan kering serta pegunungan. Selanjutnya dalam meningkatkan pelaksanaan pengelolaan pada jenis hutan yang berkelanjutan maka dilakukanlah penghentian deforestasi yang dapat menyebabkan rusaknya keberlangsungan kehidupan hewan maupun tumbuhan dihutan, merestorasi hutan yang terdegradasi dalam hal ini yaitu meningkatnya secara signifikan forestasi dan reforestasi secara global.

Dalam hal pembangunan berkelanjutan pentingnya peranan yang dilakukan oleh SDGs tujuan ke 15 ini juga menjamin pelestarian terhadap ekositem pegunungan agar terjaganya kenanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Selain itu juga dalam melakukan tindakan mengenai penghentian desertifikasi yang dimana dampak yang timbul mengenai suplai air bersih ini sangat merusak ekosistem hutan, hal ini dilakukan supaya dapat memulihkan lahan-lahan yang terkena dampak dari penggurunan dan tanah kritis agar tidak terjadinya suatu fenomena kekeringan maupun banjir yang melanda serta berusaha untuk mencapai dunia yang bebas dari lahan terdegradasi.

Kemudian Tahun 2020, perlu dilakukan suatu tindakan pencegahan guna meminimalisir terjadinya penurunan tingkat keanekaragaman flora dan fauna. Berdasarkan dengan kesepakatan internasional mengenai hal peningkatan pembagian keuntungan yang adil dan merata maka wajib untuk memanfaatkan sumber daya genetik, dan meningkatkan askses yang terhadap sumber daya alam. Dengan dimanfaatkannya sumber daya alam maka diperlukan juga tindakan untuk memberantas perburuan maupun perdagangan liar terhadap jenis habitat yang dilindungi serta membatasi pasokan produk yang berhubungan dengan flora dan fauna secara ilegal.

Langkah-langkah yang diperkenalkan pada tahun 2020 untuk mencegah masuknya dan secara signifikan dapat mengurangi dampak dari jenis-jenis asing mengenai invasi pada ekosistem darat dan air, serta mengendalikan atau memberantas jenis asing invasif prioritas. Tahun 2020 juga telah mengintegritaskan nilai-nilai ekosistem dan juga keanekaragaman hayati dedalam perencanaan nasional maupun daerah, serta dilakukannya proses pembangunan oleh pemerintah dalam membentuk strategi serta penganggaran dalam menindaklanjuti pengurangan angka kemiskinan.

Pengerahan yang dilakukan dalam meningkatkan sumber daya keuangan secara signifikan dari semua bentuk sumber untuk melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati dan ekosistem secara berkelanjutan. Tindakan pengerahan sumber daya sanga penting dari pada semua sumber dan juga pada semua tingkatan dalam membiayai pengelolaan hutan agar ekosistem tetap terjaga terhadap kelanjutan dalam memberikan insentif yang memadai bagi negara berkembang untuk memajukan program pengelolaan yang didalamnya termasuk juga pelestarian dan reforestasi. Dalam melakukan tindakan meningkatkan minat dukungan global maka diperlukannya strategi berupa tindakan dalam memeragi perburuan liar yang terjadi pada suatu negara dan juga perdagangan liar yang dimana jenis yang didagangkan tersebut dilindungi oleh negara, termasuk jugas dengan cara meningkatkan kapasitas pada masyarakat lokal dalam mengejar peluang mengenai mata pencaharian yang berkelanjutan.

3.    Pengaturan Hukum Indonesia Terkait Proses Alih Fungsi Lahan

Pemberlakuan pengalihan fungsi lahan hutan termasuk dalam kegiatan yang sering dijumpai, alih fungsi lahan dapat menimbulkan berbagai permasalahan dikarenakan dilakukan pada lahan hutan yang masih memberikan manfaat bagi mahkluk hidup. Pemanfaatan antara lain memberikan sumber daya alam yang dimilikinya yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada negara Indonesia yang wajib untuk dilindungi dan dikelola semaksimal mungkin demi mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Untuk tercapainya masyarakat yang makmur, maka dibentuklah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, dengan kewenangan dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Terbentuknya UU Penataan Ruang tersebut guna memantau pelaksanaan rencana tata ruang di Indonesia. Terdapat 3 kegiatan dalam melakukan penataan tata ruang, diantaranya mengendalikan pemanfaatan ruang, memanfaatkan ruang lahan dengan tepat, dan merencanakan pembentukan tata ruang. Ketiga macam penataan ruang diimplementasikan dengan membentuk produk perencanaan tata ruang berupa, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupate/Kota (RTRW Kab/kota), Rencana� Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Amir, 2018).

Berdasarkan tiga macam perencanaan tata ruang tersebut wajib dirangkum menjadi satu kesatuan yang kemudian menjadi acuan dalam pembangunan berkelanjutan. Penataan ruang diharapkan mampu dalam melaksanakan rencana pembangunan yang optimal dan mampu mengintegrasikan berbagai kegiatan perencanaan, baik dalam pendayagunaan sumber daya alam maupun pemanfaatan sumber daya buatan.

Pengalihan fungsi lahan disebabkan oleh terbatasnya lahan yang tersedia, sehingga menyebabkan pemerintah melakukan alih fungsi lahan hutan. Dengan dilakukannya alih fungsi lahan hutan maka perlu dilakukannya penataan ruang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 dimana tujuan pelaksanaan perencanaan penggunaan lahan adalah untuk menciptakan ruang wilayah nasional yang produktif, nyaman, aman dan berkelanjutan yang didasarkan atas Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional guna tercapainya keselarasan dalam memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan tetap melihat keterbatasan sumber daya manusia dan tercapainya perlindungan fungsi ruang serta menghindari terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan melalui pemanfaatan tata tuang.

Pengalihan fungsi lahan akan mengubah fungsi lahan yang ada. Pengalihan fungsi lahan akan menjadi suatu kebutuhan, dikarenakan pesatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia sepanjang tahunnya. Dalam hal melakukan pengalihan fungsi lahan hutan wajib memperhatikan strategi yang mencakup peraturan kebijakan dan perlibatan masyarakat. Strategi kebijakan yang harus digunakan dalam mengatasi peralihan fungsi lahan hutan antara lain, mengetatkan izin, pembagian wilayah kawasan, menyempurnakan sistem dan juga aturan jual beli lahan, menyempurnakan sistem penguasaan lahan, memberikan bantuan dan pengurangan pajak. Dengan terdapatnya strategi tersebut, diperlukan juga peran setiap pihak dan juga diperlukan suatu kebijakan guna mengatasi peralihan lahan yang dilakukan secara sembarangan.

Berkaitan dengan pengaturan hukum mengenai alih fungsi lahan, terdapat peraturan yang mendasari alih fungsi lahan hutan di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu pada peraturan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Upaya perlindungan hutan guna mempertahankan fungsi hutan dapat dilakukan dengan cara menerapkan denda ataupun hukum pidana bagi orang yang melakukan penebangan hutan secara liar. Upaya tersebut tertera dalam pasal 50 dan untuk sanksi pidananya tertera pada pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan diberikannya sanksi dan hukuman pidana bagi penebang liar akan memberikan efek jera kepada pelaku di bidang kehutanan.

 

Kesimpulan

1)   Alih fungsi lahan hutan merupakan perubahan pengalokasian kawasan hutan yang diperoleh melalui proses pertukaran dan pemulihan kawasan non hutan. Pertukaran dan pemulihan kawasan non hutan seperti pemukiman, area perkebunan dan area pertanian. Alih fungsi lahan memberikan dampak bagi mahkluk hidup, dampak tersebut dapat memengaruhi penurunan kualitas lahan yaitu berupa kegiatan yang dilakukan oleh manusia seperti dilakukannya sistem tebang bakar (slash and burn). Kegiatan tersebut dapat melajukan proses pencucian dan juga penipisan lapisan tanah sehingga dapat berkurangnya kadar organik tanah yang akan berakibat pada buruknya sifat fisik dan juga kimia tanah. 2) Beberapa peran SDGs ke-6 dan ke-15 terhadap keberlanjutan suplai air bersih yaitu pemulihan atau pengembalian ekosistem kepada bentuk dan kondisinya semula, salah satunya yaitu dengan melestarikan dan melakukan penanaman kembali terhadap pengalihan lahan yang telah dilakukan. Kemudian meningkatkan kualitas air dengan cara menghilangkan pembuangan, mengurangi polusi serta meminimalkan secara signifikan adanya pelepasan bahan kimia dan bahan-bahan berbahaya lainnya, memotong separuh dari proporsi air limbah yang tidak terolah dan meningkatkan daur ulang dan penggunaan kembali yang aman di tingkat global. Selain itu, juga meningkatkan efisiensi dari penggunaan air di seluruh sektor, menjamin penarikan dan juga pasokan air bersih yang berkelanjutan untuk mengatasi kelangkaan air serta mengurangi jumlah warga yang menderita kelangkaan air secara signifikan. 3) Terdapat peraturan yang mendasari alih fungsi lahan hutan di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu pada peraturan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan dapat dilakukan dengan cara menerapkan denda ataupun hukum pidana bagi orang yang melakukan penebangan hutan secara liar. Upaya tersebut tertera pada pasal 50 dan untuk sanksi pidananya tertera pada pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan diberikannya sanksi dan hukuman pidana bagi penebang liar akan memberikan efek jera kepada pelaku di bidang kehutanan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdurrahman, H. (2003). Sustainability Development in Managing natural resources in Indonesia (Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia), a paper submitted to National Law Development Seminar VIII (Penegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, National Law Development Center (BPHN)). Ministry of Justice and Human Rights. Google Scholar

 

Achmad, S., & Juniarso, R. (2008). Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah. Penerbit Nuansa, Bandung. Google Scholar

 

Amir, N. (2018). Aspek Hukum Pengaturan Tata Ruang Terhadap Alih Fungsi Lahan Dalam Rangka Pembangunan Nasional. Jurnal Justiciabelen, 1(1), 120�143. Google Scholar

 

Anwar, M., Pawitan, H., Murtilaksono, K., & Jaya, I. N. S. (2011). Respons Hidrologi Akibat Deforestasi di DAS Barito Hulu, Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 17(3), 119�126. Google Scholar

 

Arrsa, R. C. (2015). Telaah Sociolegal Terhadap Terwujudnya Kedaulatan Hak Atas Sumber Daya Air. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 4(2), 219�235. Google Scholar

 

Disperkimta. (2019). Menciptakan Lingkungan yang Bersih dan Sehat. Https://Disperkimta.Bulelengkab.Go.Id/. https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/menciptakan-lingkungan-yang-bersih-dan-sehat-40. Google Scholar

 

Fitrianingsih, E. (2017). Tinjauan terhadap alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian (permukiman) di Kecamatan Tomoni Kabupaten Luwu Timur [Review of the conversion of agricultural land to non-agricultural (settlements) in Tomoni District, East Luwu Regency; dissertation].[Makassar]: Universitas Hasanudin Makassar. Makassar: Thesis of Universutas Hasanuddin Makassar Faculty of Law. Google Scholar

 

Gunawan, S. A., Prasetyo, Y., & Amarrohman, F. J. (2016). Studi Penentuan Kawasan Resapan Air Pada Wilayah Das Banjir Kanal Timur. Jurnal Geodesi Undip, 5(2), 125�135. Google Scholar

 

Hanansyah, M. P. (2020). Menilai Kelayakan Hutan Indonesia Sebagai Paru-Paru Dunia. Https://Www.Its.Ac.Id/. https://www.its.ac.id/news/2020/11/21/menilai-kelayakan-hutan-indonesia-sebagai-paru-paru-dunia/. Google Scholar

 

Hardani, S. W. (2016). Peran Pemerintah Kota Dalam Penyediaan Lahan Untuk Pembangunan Rumah Susun Karangroto Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Di Kelurahan Karangroto Kota Semarang. Universitas Negeri Semarang. Google Scholar

Husnul Abdi. (2021). Mengenal Macam-Macam Ekosistem dan Contohnya, dari Alami hingga Buatan. Hot.Liputan6.Com. https://hot.liputan6.com/read/4513270/mengenal-macam-macam-ekosistem-dan-contohnya-dari-alami-hingga-buatan#:~:text=alami di darat%3A-,Ekosistem Darat,oleh suhu dan curah hujan. Google Scholar

 

Jaya, I. (2021). 5 Negara dengan Penduduk Terbanyak 2021, Indonesia Termasuk. Kompas.Com. https://internasional.kompas.com/read/2021/05/23/151939970/5-negara-dengan-penduduk-terbanyak-2021-indonesia-termasuk?page=2. Google Scholar

 

kementrian PPN/Bappenas. (2012). Air Bersih dan Sanitasi Layak. Http://Sdgs.Bappenas.Go.Id/. http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-6. Google Scholar

 

Kurniasari, M., & Ariastita, P. G. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian sebagai upaya prediksi perkembangan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan. Jurnal Teknik ITS, 3(2), C119�C124. Google Scholar

 

Kurniawan, A. (2019). Ini Upaya Pemerintah Dalam Perlindungan Lahan Pertanian di Daerah. Money.Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2019/10/09/092000026/ini-upaya-pemerintah-dalam-perlindungan-lahan-pertanian-di-daerah?page=all. Google Scholar

 

Lestari, E., & Hidayawanti, R. (2016). Perencanaan Pengelolaan Das Terpadu Dalam Mengatasi Ketidakseimbangan Kebutuhan Air Bersih Dan Permasalahan Banjir (Kajian Daerah Aliran Sungai Cisadane). Jurnal Forum Mekanika, 5(2), 75�82. Google Scholar

 

Masria, M., Lopulisa, C., Zubair, H., & Rasyid, B. (2018). Karakteristik pori dan hubungannya dengan permeabilitas pada tanah Vertisol asal Jeneponto Sulawesi Selatan. Jurnal Ecosolum, 7(1), 38�45. Google Scholar

 

Nurcahyono, A., Syam, H., & Sundaya, Y. (2015). Hak atas air dan kewajiban negara dalam pemenuhan akses terhadap air. MIMBAR: Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 31(2), 389�398. Google Scholar

 

Puspitasari, D. E. (2009). Dampak pencemaran air terhadap kesehatan lingkungan dalam perspektif hukum lingkungan (Studi kasus sungai Code di Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsan dan Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan Yogyakarta). Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 21(1), 23�34. Google Scholar

 

Rahardjo, P., Junaidi, J., & Prasetyo, T. (2019). Interaksi Alih Fungsi Lahan Terhadap Banjir Dan Kekeringan. Bangun Rekaprima: Majalah Ilmiah Pengembangan Rekayasa, Sosial Dan Humaniora, 5(2, Oktober), 33�41. Google Scholar

 

 

Ridwan, J., Sodik, A., & Alwustho, M. (2008). Hukum tata ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah: lampiran: undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Nuansa. Google Scholar

 

Sakinah, P., Makmur, T. M. T., & Azhar, A. (2017). Motivasi Petani Dalam Upaya Pemanfaatan Lahan Tidur di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 2(2), 238�249. Google Scholar

 

sdgs.bappenas.go.id. (2010). Sekilas SDGs. Sdgs.Bappenas.Go.Id. http://sdgs.bappenas.go.id/sekilas-sdgs/. Google Scholar

 

Sri Rahayu, Z. (2020). Strategi Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam pelaksanaan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perspektif siyasah dusturiyah. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Google Scholar

 

Sudarma, I. M., Windia, W., Dwipradnyana, M., & Made, I. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Serta Dampaknya terhadap Kesejahteraan Petani: Kasus di Subak Jadi, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Jurnal Manajemen Agribisnis, 3(1), 26291. Google Scholar

 

Waas, R. M. (2016). Penegakan Hukum Di Kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Menurut Konsepsi Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia. Sasi, 22(1), 22�36. Google Scholar

 

Zulfahmi, Z., AS, N. S., & Jufriadi, J. (2016). Dampak Sedimentasi Sungai Tallo Terhadap Kerawanan Banjir Di Kota Makassar. Plano Madani: Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 5(2), 180�191. Google Scholar

 

Copyright holder:

Amelia Putri Anisah, Ade Borami Ju, Angel Tng, Elvira Zikra, Nadia Carolina Weley, Winda Fitri (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: