Jurnal Syntax Admiration

Vol. 2 No. 12 Desember 2021

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

PEREMPUAN DAN BANTUAN SOSIAL (STUDI UPAYA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI BANTUAN SOSIAL PROGRAM KELUARGA HARAPAN)

 

Ibnu Panji Arifin, Tyas Retno Wulan, Soetji Lestari

Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 November 2021

Direvisi

05 Desember 2021

Disetujui

15 Desember 2021

Kemiskinan menjadi permasalahan global, nasional bahkan lokal menjadi rumit saat kemiskinan merambah ranah ketimpangan gender. Kemiskinan yang dimaksud adalah feminisasi kemiskinan yakni kemiskinan milik perempuan bukan laki-laki. Tidak mengherankan jika banyak program penanggulangan kemiskinan menempatkan perempuan menjadi penerima manfaat program. Salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dikaji adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Tujuan  penelitian ini untuk mengetahui upaya meningkatkan  pemberdayaan perempuan penerima manfaat melalui bantuan sosial PKH. Metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi, pengumpulan data wawancara mendalam dan FGD serta  metode  analisis interaktif dan analisis gender Longwe. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas. Penelitian ini menyimpulkan  upaya perempuan penerima manfaat meningkatkan  pemberdayaan dengan cara yang unik yaitu menjadi perempuan yang kanggoan (kanggo: berguna). Makna kanggoan mereka yakini apabila sudah berguna di lingkungan masyarakatnya. Artinya mereka ingin meningkatkan kesadaran bantuan sosial yang diterima seyogyanya untuk peningkatan perempuan dalam partisipasi di masyarakat, meningkatkan ekonomi Kelompok Usaha Bersama (Kube) dan peningkatan peranan perempuan dalam keluarga. Implikasi dari penelitian ini adalah  pemerintah  seharusnya membuat penanggulangan kemiskinan melalui bantuan sosial yang partisipatif, responsif gender dan sustainable yaitu berupa penguatan-penguatan pada elemen pemberdayaan untuk individu (perempuan), keluarga, kelembagaan (kelompok perempuan) dan masyarakat.

 

ABSTRACT                         

Poverty is a global, national and even local problem that becomes complicated when poverty penetrates the realm of gender inequality. Poverty in question is the feminization of poverty, namely poverty belongs to women not men. It is not surprising that many poverty reduction programs place women as beneficiaries of the program. One of the poverty reduction programs studied is the Family Hope Program (PKH). The purpose of this study was to determine the efforts to increase the empowerment of women beneficiaries through PKH social assistance. This research method is descriptive qualitative with a phenomenological approach, collecting in-depth interview data and FGD as well as interactive analysis methods and Longwe gender analysis. The research was conducted in Lumbir District, Banyumas Regency. This study concludes that the efforts of women beneficiaries to increase empowerment in a unique way are to become kanggoan (useful) women. They believe in the meaning of kanggoan when it is useful in their community. This means that they want to increase awareness of social assistance that should be received to increase women's participation in society, improve the economy of the Joint Business Group (Kube) and increase the role of women in the family. The implication of this research is that the government should make poverty alleviation through participatory, gender responsive and sustainable social assistance, namely in the form of strengthening the elements of empowerment for individuals (women), families, institutions (women's groups) and society.

Kata Kunci: peningkatan; pemberdayaan; perempuan; bantuan sosial; PKH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: enhancement; empowerment; woman; social assistance; PKH



 

Pendahuluan

Program Keluarga Harapan (PKH) dilaksanakan untuk mengurangi kemiskinan di Kabupaten Banyumas sejak tahun 2013. PKH sebagai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis keluarga dan perempuan sebagai sasaran program juga dilaksanakan di 27 Kecamatan di Kabupaten Banyumas. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa Kabupaten Banyumas memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan masih perlu pembangunan yang berorientasi pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Perempuan dan kemiskinan menjadi dua hal yang terkait erat. Ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan berwajah perempuan (Mogadham, 2005). Melihat sebuah kemiskinan pada  perempuan tidak untuk mengkerdilkan makna kemiskinan itu  sendiri, akan tetapi menegaskan bahwa kemiskinan yang dialami oleh perempuan bersifat spesifik sehingga harus ada penanganan yang khusus pula.  Dalam kajian perempuan penerima manfaat  penerima bantuan sosial PKH harus dijadikan momentum upaya untuk mengantisipasi kemiskinan tidak  terlalu parah dan mendapatkan penyadaran kritis dan peningkatan partisipasi dengan tujuan pemberdayaan perempuan agar bebas dari wajah kemiskinan perempuan. Artinya  mereka sendiri yang berusaha mencapai dengan tindakan yang linear dengan program baik secara individu maupun kolektif.

Kecamatan Lumbir menjadi wilayah kantong kemiskinan di Kabupaten Banyumas dengan tingkat keluarga pra sejahtera 30 persen (BPS,  2018). Kecamatan ini  menjadi  penerima bantuan Program Keluarga Harapan sejak tahun 2013. Berdasarkan data PKH Kecamatan Lumbir, Program PKH pada tahun 2018 sudah mencakup di 10 desa dengan jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sebanyak 2.738 keluarga penerima manfaat. KPM PKH Kecamatan Lumbir pada tahun 2019 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan tabel 1 terlihat peningkatan pada tahun 2019, dimana setiap desa di kecamatan mengalami perkembangan jumlah penerima manfaat PKH. Hal ini mengindikasikan bahwa Kecamatan Lumbir memiliki jumlah yang besar proporsi  Rumah Tangga Sangat Miskin sebagai penerima manfaat PKH maupun calon penerima manfaat PKH (UPPKH Kabupaten Banyumas, 2019)

 

Tabel 1

Perkembangan Jumlah Perempuan

Penerima Manfaat PKH Kecamatan

Lumbir 2018-2019

No

Nama Desa

2018

2019

Naik (persen)

 

1.

Cingebul

350

475

50,0

 

2

Kedunggede

261

326

24,9

 

3

Cidora

207

221

6,7

 

4

Besuki

103

196

90,3

 

5

Parungkamal

270

466

65,2

 

6

Cirahab

428

530

23,8

 

7

Canduk

259

307

18,53

 

8

Karanggayam

251

  341

35,85

 

9

Lumbir

338

754

123,10

 

10

Dermaji

271

441

62,7

 

 

Jumlah

2.738

4.057

48,17

                          Sumber: UPPKH Kecamatan Lumbir, 2019

 

Menjadi penerima manfaat program PKH, seorang perempuan harus mampu mengatur waktu untuk kegiatan PKH dan keluarganya. Pengaturan pembagian waktu suami-istri pula sangat diperlukan demi terlaksananya pemberdayaan perempuan serta tingkat partisipasi perempuan dalam pemberdayaan. Dalam pembagian kerja suami-istri, terjadi interaksi sosial yang berkembang atas nilai kerja dan tidak mengherankan apabila nilai itu dapat menjadi sesuatu yang memaksa dalam artian orang harus tunduk mengikutinya. Perempuan penerima manfaat PKH memiliki Kegiatan  wajib yang dilaksanakan mereka. Kegiatan perempuan dalam PKH berupa pelaksanaan pendampingan dana bantuan, Kelompok Usaha Bersama (Kube), elektronik warung (e Warong), dan Family Development System (FDS).

Berbagai kegiatan pemberdayaan PKH tersebut banyak menyita waktu dan tenaga para pengurus keluarga yaitu perempuan penerima manfaat. Selain itu secara bersamaan kegiatan tersebut pun tidak ada dalam kegiatan sehari-sehari mereka sebelumnya. Menurut (Ruwaida, 2016) tidak pernah mereka lakukan, kegiatan dana sehat, beasiswa, jimpitan, arisan, pengalaman berorganisasi, anggota belajar, bekerja sama-sama, menjadi pemimpin dan mengambil keputusan dalam berbagai kegiatan sosial dan ekonomi produktif. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi PKH untuk pemberdayaan perempuan sedangkan perempuan penerima manfaat tersebut masih asing dengan kegiatan pemberdayaan.

Penelitian sebelumnya telah dilaksanakan oleh (Hanif et al., 2015) yang  menegaskan bahwa PKH sebagai sebuah program pemberdayaan belum serius menekankan program yang responsif gender. Tersirat pula kesan yang justru program PKH melanggengkan gender stereotip yang ada, antara lain sebutan perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang melabel perempuan dalam posisi domestik. Belum adanya  skema yang terintegrasi dalam melibatkan laki-laki dalam peran domestik, pengasuhan dan pendidikan anak, sehingga PKH malah dapat menguatkan konsep peran tradisional perempuan. Akan tetapi, menjadi menarik lagi bahwa program bantuan sosial di Indonesia yang mengikut sertakan perempuan sebagai satu-satunya penerima manfaat saat ini hanya program PKH saja.

Penelitian terdahulu oleh (Sukidjo et al., 2014), dalam penelitiannya peserta  PKH yang memanfaatkan sebagian bantuan PKH terdapat 40 persen peserta untuk menambah modal usaha, sehingga pengembangan usahanya merupakan wujud partisipasi peserta dalam memaknai bantuan sosial PKH untuk pemberdayaan.Bantuan sosial PKH yang kecil berkisar antara Rp. 225.000,- sampai Rp. 600.000,- apabila masih digunakan sebagian untuk menambah modal usaha dapat dipastikan usaha tersebut merupakan usaha yang skala kecil dan rumahan. Oleh karena itu, usaha rumahan yang kecil dengan modal terbatas dalam hal persaingan usaha dan pengembangan usaha pun sangat rentan dan sulit untuk berkembang.

Penelitian tentang Program Keluarga Harapan pernah dilakukan oleh Thahrina Azriah (2015) dengan judul �Evaluasi Dampak Program Keluarga Harapan dalam Upaya Pencapaian MDGs di Desa Jeruklegi Kulon Kecamatan Jeruklegi�, dengan hasil penelitian tidak terdapat perbedaan tingkat partisipasi dan kualitas hidup kelompok treatment dengan kelompok kontrol baik dalam kesehatan maupun pendidikan. Penelitian selanjutnya oleh Sha sha Mustika (2016) tentang �Implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) Untuk mengurangi Angka Putus Sekolah di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas� dengan hasil penelitian yaitu terdapat aspek pengurangan angka putus sekolah, PKH Kecamatan Cilongok masih mengalami kendala keterbatasan data angka putus sekolah yang dimiliki PKH Cilongok dan kurangnya pemberian motivasi dari pihak pelaksana program.

Bantuan sosial PKH hakikatnya memberikan ruang bagi perempuan penerima manfaat untuk tidak lagi bergantung seutuhnya terhadap laki-laki. Menurut (Ritzer & Goodman, 2010) mengenai fenomenologi eksitensi perempuan, tedapat  peluang  perempuan dari konseptual makhluk yang lain� daripada laki-laki untuk memperjuangkan perempuan agar menggali potensi dan meningkatkan kapasitas aktualisasi diri dan pembebasan dari laki-laki.  Perempuan memiliki sumber daya yang sama dengan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dengan tambahan penghasilan ini, bargaining power perempuan seharusnya semakin meningkat karena adanya kekuasaan untuk mengelola sumber daya keuangan dan tanggung jawab memastikan pendidikan dan kesehatan anak terjamin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perempuan penerima manfaat dalam memaknai bantuan sosial yang mereka dapatkan dan belum dilaksanakan penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya meningkatkan  pemberdayaan perempuan penerima manfaat melalui bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang merupakan  prosedur penelitian untuk menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif dapat berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bodgan dan Taylor dalam (Moleong, 2021). Pendekatan fenomenologi digunakan untuk pengungkapan makna dan  aspek subjektivitas perempuan menjadi tolak  ukur penting dalam memulai setiap analisis tentang kehidupan perempuan. Sedangkan analisa  gender menempatkan kehidupan perempuan yang spesifik sebagai fokus analisis utama.

Lokasi dalam penelitian ini adalah Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas. Alasan pemilihan lokasi karena Kecamatan Lumbir memiliki persentase keluarga pra sejahtera tertinggi di Kabupaten Banyumas, sehingga memiliki potensi jumlah penerima bantuan sosial PKH yang tinggi.

Pada penelitian kualitatif yang  dilakukan, peneliti memiliki kedudukan khusus, yaitu sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, serta pelapor hasil penelitiannya (Moleong, 2021). Kedudukan peneliti tersebut menjadikan peneliti sebagai key instrument atau instrumen kunci yang mengumpulkan data berdasarkan kriteria-kriteria yang dipahami. Penelitian yang sudah dilakukan meliputi kegiatan prasurvei, observasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Kegiatan penelitian dilakukan secara kontinue mulai tanggal 20 Oktober 2018 sampai dengan 25 April 2019 dan terus berlanjut sesuai dengan kebutuhan data. Peneliti sebagai pendamping sosial PKH sehingga tidak mengalami kesulitan pada saat pra survei, observasi, FGD maupun wawancara kepada subyek penelitian.

Kegiatan observasi atau pengamatan yang sudah dilaksanakan yaitu mengamati dan berpartisipasi bersama para perempuan penerima manfaat PKH dengan tujuan memperoleh data penelitian. Sedangkan FGD untuk mendapatkan data yang berasal dari pendapat dari perempuan penerima mafaat yang menjadi subyek pada waktu dan tempat yang sama. Wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk memperoleh data yang mendalam dari subyek penelitian yakni subyek utama dan subyek pendukung. Penjelasan singkat terdapat pada matrik penelitian, Namun, penelitian ini berkembang dan dengan partisipasi karena penelitian ini menggunakan partisipant as observer. Wawancara terstruktur pada awal wawancara kemudian dilanjutkan dengan indepth interview untuk mengggali lebih dalam informasi penelitian yang diharapkan oleh  peneliti. Berdasar pada kajian fenomenologis yang digunakan maka, segala aktivitas, perilaku dan perkataan ditelaah oleh peneliti untuk mencari sebuah pemaknaan yang mendasar atas sebuah fenomena yakni bantuan sosial PKH.

Teknik analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil pengamatan (observasi), wawancara, catatan lapangan, dan studi dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Dalam menganalisis data yang terkumpul dari lapangan, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dimana data dan informasi diperoleh dari lapangan dideskripsikan secara kualitatif, dengan membentuk kalimat kalimat dengan langkah model interaktif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil Penelitian

1.    Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas. Program PKH sudah berjalan lebih dari 5 tahun di kecamatan ini. Berdasarkan jumlah penerima manfaat, pada tahun 2019 Kecamatan Lumbir memiliki penerima manfaat PKH sebanyak 4.057 KPMKPM PKH sudah tersebar di 10 desa di Kecamatan Lumbir. Jumlah peserta PKH ditentukan berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) kemiskinan tiap wilayah desa. Oleh karena itu jumlah antara desa satu dengan yang lain berbeda.  Data penelitian  merupakan data terakhir pada tahun  2019 saat diadakan penelitian.

 

Gambar 1

Sebaran Perempuan Keluarga Penerima

Manfaat Kecamatan Lumbir Menurut Desa Tahun 2019

 

Berdasarkan jumlah penerima manfaat jumlah terbesar adalah di Desa Lumbir sebanyak 754 atau 19  persen. Kemudian Desa Cirahab 530 atau 13 persen dan Cingebul 12 persen. Sedangkan jumlah paling sedikit adalah di Desa Besuki 196 penerima manfaat atau 5 persen.

Perkembangan jumlah penerima manfaat tidak lepas dari data kemiskinan suatu daerah mulai desa, kecamatan maupun kabupaten. Perkembangan dan penambahan kepesertaan PKH di Kecamatan Lumbir terlihat pada hasil verifikasi dan validasi data peserta. Tercatat verifikasi validasi (verval) peserta baru diadakan pada tahun 2013, tahun 2016, 2017 dan tahun 2018.

Bantuan PKH diberikan berdasarkan komponen yang dimiliki oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang disebut dengan Anggota Rumah Tangga (ART). Bantuan diberikan dalam empat tahap pencairan dalam satu tahun. Berdasarkan jumlah ART penerima manfaat  dibedakan menjadi tiga kategori yaitu komponen pendidikan (anak SD, SMP dan SMA), komponen kesehatan (Ibu Hamil dan anak Usia Dini) Komponen Kesejahteraan Sosial (Lanjut Usia dan Disabilitas Berat).

 

Tabel 2

Komponen dan Anggota Rumah Tangga

Penerima Manfaat Kecamatan

Lumbir Tahun 2019

Komponen

ART

Jumlah ART (orang)

Jumlah bantuan ART per tahap

Pendidikan

SD

SMP

SMA

1.865

854

610

Rp. 225.000,-

Rp. 375.000,-

Rp. 500.000,-

Kesehatan

 

Ibu Hamil

AUD

32

889

Rp. 600.000,-

Rp. 600.000,-

Kesos

 

Lansia

Disabilitas

1.119

30

Rp. 600.000,-

Rp. 600.000,-

               Sumber: UPPKH Kecamatan Lumbir, 2019

 

2.    Deskripsi Subyek Penelitian

Penelitian ini melibatkan subyek utama  yaitu perempuan penerima manfaat PKH. Purposive sampling yang peneliti lakukan dengan kriteria subyek penelitian yang dipilih dengan sengaja dan dapat memberikan informasi yang baik dan sesuai dengan kriteria yang diinginkan peneliti. Kriteria pada penelitian ini adalah didasarkan pada perempuan penerima manfaat penerima manfaat PKH yang sudah mendapatkan bantuan sosial PKH lebih dari dua tahun, mudah dalam berkomunikasi secara verbal atau kata-kata dan subyek juga sudah memperoleh pendampingan program bantuan PKH dan subyek yang dipilih memiliki pengetahuan tentang manfaat program PKH. Beberapa informasn tersebut yaitu;

1.    CS, seorang perempuan kelahiran Pemalang 52 tahun yang lalu dan sudah tinggal di Kecamatan Lumbir selama 20 tahun. CS di kenal di desanya sebagai pedagang pecel dan sayur olahan.  Ia berjualan hampir setiap hari mulai jam 9 pagi sampai jam 2 siang dengan cara berkeliling dengan membawa tampah berisi pecel  di atas kepalanya dan menggendong bakul untuk membawa sayurannya. Profesi ini ia tekuni karena suaminya bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu. CS menjadi peserta PKH sejak tahun 2013 sebelum ia berdagang pecel  dan sayur keliling. Ia mendapatkan bantuan sosial karena memiliki komponen anak SD dan SMA. Bantuan sosial PKH ia akui digunakan untuk keperluan anak sekolah sampai lulus. Pada tahun 2019 ini  anaknya yang pertama lulus SMA  dan ia berharap beban hidupnya sedikit berkurang dan berharap pula profesinya sebagai pedagang semakin baik dan maju.

2.    TU, seorang perempuan peserta PKH sejak tahun 2013. Ia sehari-hari bekerja sebagai buruh cetak bata merah. Suaminya juga bekerja sebagai buruh cetak bata di desanya. Ia dan suaminya bekerja bersama mulai pagi sampai sore hari dan terkadang bergantian dengan  suaminya apabila sedang ada kegiatan di rumahnya. Pendapatan sebagai buruh cetak bata mereka gunakan sebagian besar untuk pendidikan anak keduanya yang saat ini  kelas 2 SMK. TU mendapatkan bantuan PKH tidak digunakan sebagaimana  mestinya karena sebagian besar digunakan untuk setoran hutang. Ia banyak memiliki hutang mulai dari hutang bank harian, mingguan dan bulanan. Hal ini dikarenaan ia pernah tertipu jutaan rupiah saat mendaftarkan anak pertamanya  pergi keluar negeri.

3.    CA, menjadi penerima bantuan sosial PKH karena anaknya masuk dalam komponen  disabilitas berat. Anaknya menderita kelainan tuna grahita dan cacat mental sejak lahir dan saat ini sudah berumur 27 tahun. Ia menjadi pengurus disabilitas berat di PKH dan mendapkan bantuan sosial tiga bulan sekali sebanyak Rp. 500.000. Bantuan sosial PKH ia rasakan sangat membantu keluarganya karena pendapatan dari pekerjaan sebagai buruh tani di pedesaan yang sangat kecil. Ia mendapatkan bantuan sosial PKH sejak tahun 2013 dan masih berharap terus mendapatkan bantuan PKH karena kondisi kemiskinan yang ia hadapi. Suaminya yang sudah lansia dan sakit asma sudah tidak bisa bekerja seperti dahulu saat muda. Kondisi demikian yang membuat CA harus terus berputar pikiran untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, salah satunya adalah sebagai buruh ngasag yaitu kegiatan memungut sisa padi hasil panen yang udah ditinggal pemilik sawah.

4.    SR, seorang penerima manfaat PKH yang sangat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Empat tahun yang lalu ia masih bekerja sebagai buruh migran perempuan di Arab Saudi. Setelah pulang sebagai buruh migran ia kembali ke desanya dan bercita-cita ingin  aktif untuk kegiatan masyarakat desa. Terbukti saat ini ia aktif sebagai ketua RW 5 Desa Kedunggede, Kader Posyandu, Kader PKK dan Kader KB.  Motivasinya adalah ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat.  Ia mulai mendapatkan bantuan PKH pada tahun 2017 lalu. Semenjak memperoleh PKH ia berpendapat harus lebih aktif karena merasa sudah diperhatikan oleh negara. Bantuan sosial menurutnya sebagai cambukan untuk aktif berkarya bukan malah hanya berharap dari bantuan saja. Kegiatan PKH berkat beliau menjadi lebih aktif dan banyak kegiatan. Kegiatan PKH saat ini di kelompoknya adalah senam lansia dan anti stroke tiap hari jumat, kegiatan minggu bersih PKH serta piket pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

 

B.  Pembahasan

1.    Pemberdayaan Perempuan Penerima Manfaat  Program Keluarga Harapan (PKH)

Pemberdayaan perempuan  melalui peningkatan kemampuan keluarga merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi yang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. (Hubeis, 2011) menambahkan bahwa pemberdayaan sebaiknya kearah pendekatan gender yang bertujuan untuk mewujudkan pengintegrasian perempuan dan laki-laki kedalam semua sektor pembangunan sesuai denngan potensi serta kebutuhannya masing-masing. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan harus diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat yaitu belajar dari masyarakat, pendamping sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku dan saling belajar, saling berbagi pengalaman.

PKH sebagai sebuah program penanggulangan kemiskinan yang melibatkan perempuan sebagai penerima manfaat terjadi proses pendampingan dan saling belajar dengan fasilitator yang biasa disebut pendamping. Pemberdayaan perempuan melalui pendampingan harus mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan dan menangani isu gender yang menjadi kendala dalam pemberdayaan perempuan dalam upaya memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan menuju kesetaraan gender. Kaitannya dengan pemberdayaan  perempuan PKH adalah mengetahui sejauh mana perempuan penerima manfaat akan memiliki akses, partisipasi dan kontrol dalam pembangunan.

Masih kuatnya budaya miskin atau biasa disebut kemiskinan kultural menjadi tantangan dalam pemberdayaan perempuan PKH ini. Seperti dikatakan oleh CA perempuan penerima manfaat penerima manfaat.

�angsal BLT tahun 2000an, seniki nggih lanjut angsal PKH. Sengertose kulo nggih sami-sami kagem kulo lan tiyang miskin, kados ganti klambi riyin BLT seniki PKH, kayong pada madani nek BLT bantuan langsung telas, nek PKH tah mboten wonten singkatane. (�saya dulu dapat BLT mas tahun 2000an, sekarang juga lanjut dapat PKH. Sepengetahuan saya PKH sama-sama untuk saya dan warga miskin lain, cuma ganti baju dulu BLT sekarang PKH, biasanya BLT diplesetkan menjadi Bantuan Langsung Telas tetapi PKH tidak bisa disingkat seperti itu.�).

CA memaknai bantuan sosial PKH �ganti baju� sama untuk tiyang miskin (warga miskin) erat kaitannya dengan kemiskinan struktural yang terdapat pada perempuan penerima manfaat tersebut. Kemiskinan dan budaya miskin memiliki keterkaitan yang sangat erat, menurut Lewis dalam (Effendi, 1995) kemiskinan muncul sebagai akibat nilai dan kebudayaan yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri, sehingga lingkungan dan budaya miskin melahirkan kemiskinan kembali.

Kebijakan program PKH yang ada di Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas yang menerapkan perempuan  sebagai penerima manfaat program beradasarkan hasil penelitian masih dianggap sebagai obyek kegiatan program. Kegiatan pemberdayaan secara umum masih sebatas memobilisasi dan menggerakkan sumber-sumber yang ada.  Hal ini karena perempuan penerima manfaat memaknai bantuan sosial bukan sebagai bentuk pemberdayaan namun hanya sebatas bantuan untuk kemiskinan seperti program-program terdahulu. Menurut (Handayani et al., 2008) semakin tinggi tingkat kesetaraan (sampai level penguasaan) maka otomatis pula semakin tinggi tingkat keberdayaan. Analisa gender ini bukan hanya pada kesejahteraan materiil namun terletak pada proses pemampuan perempuan. Namun, menurut (Roidah, 2016) masih kuatnya peran tradisional masih terasa dominan sehingga ada pemisahan wilayah public-privat dan beban ganda perempuan. Laki-laki sebagai penentu besaran alokasi, sedangkan perempuan sebagai eksekutor saja. Ini jelas kurang menguntungkan perempuan, padahal dalam PKH perempuan diberi keleluasaan untuk mengelola anggaran keluarga yang mendasarkan pada pemberian bantuan sosial kepada perempuan.

Posisi tawar perempuan dapat dibangun dengan kesadaran kritis perempuan penerima manfaat tersebut. Tujuannya adalah mereka mampu bangkit dari  keterpurukannya dan berupaya mengembangkan inovasi serta kepercayaan dirinya serta kreatifitasnya dalam mengembangkan kewirausahaan dan pemberdayaan.  Dalam penelitian ini aspek kesejahteraan dan akses perempuan sudah terbuka dan tinggal memperkuat kegiatan mereka  ke arah pemberdayaan. Seperti akses pendidikan, akses usaha, akses kesehatan dan akses politik.

Posisi tawar perempuan miskin yang rendah dan menjadi obyek dari sebuah program top down mengindikasikan perempuan yang �termiskinkan�. Dapat kita sebut feminisasi kemiskinan atau pemiskinan perempuan menyangkut pada kondisi pertumbuhan populasi perempuan yang hidup dibawah garis kemiskinan secara bersama (Moghadam, 2005). Artinya pemiskinan perempuan dapat dimunculkan dalam setiap pendataan kemiskinan yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki jumlah yag lebih besar dibandingkaan dengan laki-laki. Pemiskinan perempuan juga semakin diperparah dengan proses pembangunan dan hasil-hasil pembangunan yang tidak berorientasi pada kesetaraaan peran gender.

Dimensi kesejahteraan atau welfare terlihat sangat membantu kesejahteraan perempuan penerima manfaat. Dalam hal menambah penghasilan atau pendapatan, bantuan sosial PKH mereka anggap mampu menambah penghasilan perempuan penerima manfaat. Pendapatan yang diperoleh melalui bantuan sosial mereka manfaatkan benar-benar untuk keperluan  komponen  bantuan yang mereka miliki.  Peningkatan pendapatan yang diperoleh perempuan membuat posisi tawar  (bargaining position) mereka lebih meningkat.

Seperti dijelaskan oleh SR perempuan penerima manfaat penerima manfaat PKH. �jelas mas bantuan dadi tambahan pendapatan daripada nunggu suami, kita pun bisa dapat uang untuk anak-anak�.

PKH sebagai bantuan sosial bersyarat menuntut suatu kewajiban yang dilaksanakan peserta  dibidang kesehatan dan pendidikan. Kewajiban dibidang kesehatan berkaitan dengan pemeriksaan kandungan bagi komponen ibu hamil, pemeriksaan kesehatan bayi, pemberian asupan gizi anak dan imunisasi anak balita. Di bidang pendidikan kewajiban peserta PKH terkait dengan menyekolahkan anak kesekolah dasar dan lanjutan SMP dan SMA. Berdasarkan hasil penelitian, masih ada perempuan penerima manfaat yang belum dapat memenuhi kewajiban kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan disebabkan oleh akar permasalahan yang terjadi baik pada sisi internal perempuan penerima manfaat maupun sisi eksternal pelayanan fasilitas kesehatan maupun pendidikan. Permaslahan internal berupa pemenuhan kewajiban bantuan sosial PKH dari sisi ketidakmampuan mereka secara ekonomi maupun sosial. Alasan tidak melanjutkan sekolah tersebut yaitu karena tidak adanya biaya, memilih berkerja untuk mencari nafkah. Sedangkan faktor eksternal berupa fasilitas pendidikan yang jauh dan tidak ada sosialisasi pentingnya pendidikan. Menurut (Suadnyawati & Wedastra, 2010) dalam masyarakat masih terdapat pengkontruksian sosial atas perempuan yang kurang menguntungkan, sehingga turut membawa konskuensi pragmatis perempuan dianggap sebagai the second wage earner oleh masyarakat.

Peningkatan dimensi akses perempuan merupakan tujuan kegiatan yang berkaitan  dengan pemberian dorongan dan pengetahuan tentang ketersediaan sumber daya. Menurut (Handayani et al., 2008), dimensi akses dalam pemberdayaan perempuan belum dapat terwujud jika akar penyebabnya berupa diskriminasi sistemik masih ada, padahal potensi sumberdaya mereka banyak. Dalam hasil penelitian ini sumber daya peluang yang mereka miliki melalui PKH Kabupaten Banyumas dapat ditingkatkan. Akses dalam pemberdayaan PKH melalui kegiatan pertemuan kelompok (P2K2), pengenalan produk unggulan daerah dan pasar serta pengenalan pada beberapan wirausaha yang sukses melalui studi banding. Penjelasan dari perempuan penerima manfaat TU

�pernah koh pelatihan membuat roti, menyulam dan membuat  anyaman bambu yang datang ke kelompok�.

Point peningkatan pengetahuan  dan keterampilan perempuan penerima manfaat PKH melalui kegiatan pelatihan-pelatihan yang diadakan dalam waktu tertentu. Kegiatan ini biasa biasanya diadakan oleh Dinas Sosial, Dinas  Perindustrian maupun langsung oleh pendamping dengan mendatangkan tutor. Walaupun demikian peningkatan pengetahuan dan keterampilan tidaklah merata pada setiap perempuan penerima manfaat. Kendalanya adalah keterbatasan dana untuk transport dan sarana mereka untuk pergi ke ibukota Purwokerto apabila asal perempuan penerima manfaat dari daerah yang jauh dari ibu kota.

Modal usaha yang dimiliki oleh kelompok perempuan penerima manfaat masih kecil  iuran kelompok setiap bulan dan dari iuran saat pencairan PKH. Iuran sebagai modal usaha mereka rembug bersama anggota untuk menghindari kekurang cocokan dari peserta yang lain. iuran mereka sekitar 2000-5000 setiap bulan yang dikumpulkan kepada pengurus kelompok. Modal yang terkumpul dalam 1 tahun berkisar  3-5 Juta. Oleh karena itu, modal usaha harus menunggu dana terkumpul kemudian  baru memikirkan usaha bersama. Menurut (Tarjana, 2011) pemberadayaan perempuan di pedesaan masih berkutat pada masalah modal  usaha. Akan tetapi dalam pnelitian ini mereka cenderung memanfaatkan pengalaman mereka dengan �sistem iuran� sebagai solusi modal bersama dan mengurangi masalah kesulitan modal.

Beberapa kelompok Usaha Bersama yang sudah mandiri seperti Kube Krapyak Mandiri, Kambing Gede, Berkah Usaha Kripik dan Maju Makmur pada awalnya mengumpulkan modal usaha dari anggota dalam waktu yang cukup lama. Perempuan dalam hal ini aktif dalam mengumpulkan dana iuran bulanan demi tujuan usaha bersaama. Usaha mereka rata-rata adalah warung sembako kecil yang minim sarana memadai seperti etalasae, lemari es, gantungan jajan ciki dan lain-lain. walaupun demikian hal tersebut tidak menyurutkan  semangat perempuan penerima manfaat dalam mengarungi kegiatan usaha mereka. Menurut (Adian, 2016) dunia pengalaman harus menjadi landasan bagi subyek memahami dunianya. Seperi dituturkan oleh  CS perempuan penerima manfaat PKH

�pengalaman ku jualan bisa untuk kelompok ku juga bisa jualan tek kasih tahu carane dodol (jualan) mas�

Informasi pasar menjadi salah satu kendala dalam pemberdayaan perempuan dan Kube PKH Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas yang tidak memiliki pasar menjadi alasan mendasar mereka kesulitan akses terhadap pemasaran hasil bumi. Untuk pemasUntuk pemasaran yang lebih luasaran yang lebih luas memang menja memang menjadi kendala. Namun, dalam skala kecil  bisa juga menjadi hal positif karena konsumen tidak pergi terlalu jauh ke wangon dan bisa berbelanja di warung Kube milik  kelompok perempuan penerima manfaat PKH.

Informasi akses pendidikan di PKH Kecamatan Lumbir masih sangat minim. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah atas. Jumlah fasilitas pendidikan untuk tingkat SMA hanya satu yaitu SMK Sriwijaya Lumbir. Hal ini yang menjadi alasan keluarga penerima manfaat menyekolahkan anak mereka hanya pada tingkat menegah pertama atau SMP saja. Berdasarkan hasil penelitian kecenderungan mereka menyekolahkan anak hanya pada tingkat SMP karena sulit dan jauhnya akses pendidikan SMA. Sedangkan permasalahan bersekolah anak laki-laki dan perempuan untuk bersekolah tidak menjadi permasalahan bagi mereka.

Akses kesehatan di Kecamatan Lumbir untuk keluarga penerima manfaat sudah baik. berdasarkan hasil penelitian semua desa sudah ada fasilitas kesehatan Poliklinik Desa (PKD) dan terdapat satu bidan desa di masing-masing PKD. Hal ini sangat membantu penerima manfaat dalam akses kesehatan. Peran bidan desa dan pendamping PKH mutlak perlu karena harus mendata penerima manfaat PKH yang hamil dan hendak melahirkan. Proses persalinan pserta PKH juga diwajibkan melalui fasilitas keehatan tersebut. Artinya perempuan penerima manfaat PKH sudah memiliki akses dan kontrol dalam bidang kesehatan terutama dalam hal kesehatan ibu hamil, balita dan lansia.

Dukungan stakeholder (pemerintah, swasta, LSM dan Perguruan Tinggi) mutlak diperlukan agar program penanggulangan kemiskinan yang responsif gender dapat terlaksana dengan baik.  Potensi yang dimiliki oleh segenap perempuan penerima manfaat PKH  di Kabupaten Banyumas baik penerima manfaat pendidikan, kesehatan, lansia maupun disabilitas dapat diarahkan dengan pemanfaatan peluang dan sumber daya yang ada. Menurut (Handayani et al., 2008) ketidakpahaman berbagai elemen masyarakat terhadap berbagai isu gender sangat mempengaruhi kebijakan dan strategi pembangunan yang berdampak merugikan aspirasi dan kepentingan perempuan.

2.    Menjadi Perempuan Kanggoan sebagai Upaya Meningkatkan Pemberdayaan Perempuan penerima manfaat Melalui Partisipasi dalam Program PKH

Pemberdayaan perempuan pedesaan dalam pembangunan menurut (Sajogyo, 2010) meliputi pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) dalam kehidupan perempuan. Upaya mengoptimalkan pemberdayaan perempuan dan upaya membangkitkan perempuan penerima manfaat dilakukan program PKH melalui pendampingan. Salah satunya dengan mendampingi perempuan penerima manfaat melalui pendekatan humanistik, pendekatan ekonomi produktif dan penyadaran atas pemaknaan bantuan sosial dan relasi gender dalam keluarga penerima manfaat. Perempuan penerima manfaat  perlu dilibatkan dalam membuat perencanaan, melaksanakan program kegiatan, dan melakukan evaluasi serta menganalisis dampak pembangunan. Artinya PKH diharapkan peduli atas kebutuhan-kebutuhan perempuan penerima manfaat dalam upaya peningkatan pemberdayaan.

Pemberdayaan perempuan penerima manfaat PKH Kecamatan Lumbir melalui pendampingan sudah menampakkan  perubahan kelompok perempuan menjadi termotivasi untuk berkembang untuk mendapatkan penghasilan. Dengan pemberdayaan perempuan penerima manfaat  mampu mengembangkan potensinya  baik dalam peningkatan sadar pendidikan, kesehatan, kemampuan organisasi dan untuk membentuk usaha ekonomi produktif berbasis lokal.  Dengan demikian, dapat membentuk kemandirian masyarakat dan melalui pemberdayaan perempuan penerima manfaat  dapat mengurangi kemiskinan memaknai kesadaran diri menurut (Farid & Sos, 2018) sangat penting dalam membangun perempuan sepenuhnya sebagai subyek bukan sebagai obyek. Memaknai bantuan sosial sebagai bantuan untuk pemberdayaan akan menghasilkan peningkatan partisipasi perempuan. Perempuan penerima manfaat sebagai penanggung jawab pengelola keuangan bantuan sosial. Perempuan penerima manfaat dipercaya program PKH sebagai pengelola bantuan sosial karena alasan yang masih terbilang bias gender yaitu perempuan sering berada di ranah domestik dan  cenderung lebih telaten dalam mengelola keuangan.

Kesadaran diri sebagai bentuk pemberdayaan perempuan yang mulai mempunyai akses. Akses ini menjadi peluang bagi perempuan untuk bangkit dari keterpurukan ketidaktahuan bahkan mitos-mitos tentang kesehatan perempuan kehamilan yang terkadang tidak sesuai dengan analisa medis. Lebih jauh lagi apabila perempuan mempunyai kesadaran pada kesehatan dengan tujuan investasi bidang kesehatan. Investasi bidang kesehatan merupakan investasi jangka panjang karena tidak hanya pada masa sekarang namun masa yang akan datang. Dikatakan oleh SR.

�anane bantuan PKH kiye ra bakal ngilangng-ngilangna lah, malah pada pengin  dadi wong  wadon sing kanggoan (adanya bantuan PKH ini tidak akan merasa menghilangkan bantuannya lah, malah semua ingin jadi perempuan yang berguna).

Perempuan penerima manfaat memaknai upaya mereka dalam pemberdayaan melalui bantuan sosial dengan cara yang unik yaitu  mereka ingin menjadi perempuan yang kanggoan atau berguna. Artinya mereka memiliki kesadaran tentang bantuan sosial yang mereka terima seyogyanya untuk peningkatan kapasitas dan kemampuan mereka. Selain itu mereka juga memiliki anggapan ora ngilang-ngilangna bantuanne (tidak merasa menghilangkan bantuannya). Bantuan sosial mereka rasakan begitu berarti dalam artian bahwa mereka mau berdaya karena ada bantuan sosial yang menjadi alasan utamanya. Beberapa upaya yang dilakukan perempuan penerima manfaat PKH Kecamatan Lumbir dalam meningkatkan pemberdayaan perempuan melalui bantuan  sosial PKH yaitu; meningkatkan partisipasi pendidikan dan kesehatan, penguatan kelompok perempuan, meningkatkan ekonomi usaha Kube dan peningkatan peranan perempuan dalam keluarga.

Pembentukan kelompok perempuan penerima manfaat dilakukan PKH sedari awal penerimaan bantuan pertama. Kelompok kemudian disusun ketua, bendahara, sekretaris dan pengurus PKH. Kelompok PKH sebagai suatu organisasi non formal perempuan pun harus memiliki penguatan sebagai bentuk pemberdayaan kelompok. Namun  hal ini belum merata di kelompok PKH Kecamatan Lumbir. Selain itu juga kelompok PKH masih di dominasi oleh 2 sampai 5 perempuan saja dan anggota yang lain hanya sebagai anggota atau �pengikut� saja sehingga kurang berpartisipasi. Dikatakan oleh SR penerima  manfaat PKH.

�kira-kirane mas sing mandan mikir PKH nggo peningkatan kemampuan perempuan dereng kathah paling siji loro akeh-akehe lima,

Kesadaran pengalaman yang mendorong ibu SR dalam berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan menurut (Farid & Sos, 2018) adanya interpretasi pengalaman hidup individu yang memahami realitas untuk memahami, memberi motivasi dan mengupayakan suatu tindakan. Ketika mengatakan �sing mandan mikir (harus berfikir)� merupakan realita pengalaman subyektif yang menghasilkan tindakan tertentu serta tindakan tersebut berdasarkan stock of knowledge yang dimiliki dirinya. Derrida dalam (Adian, 2016) kesadaran dan pengalaman harus lepas dari pandangan metafisika. Artinya kesadaran dalam hal ini adalah perempuan penerima manfaat harus didasari kesadaran mereka adalah kesadaran yang berdiri sendiri. Menurut (Hubeis, 2011) pemberdayaan merupakan pemampudayaan perempuan yang berencana dan direncanakan dalam arti mengadakan perubahan perilaku (kognisi, afeksi dan keterampilan) yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat.

Untuk menjaga eksistensi dan keberlanjutan kelompok perempuan penerima manfaat, maka strategi dalam penguatan kelompok mutlak diperlukan. Strategi yang dilakukan PKH Kecamatan Lumbir adalah melibatkan mereka dalam kegiatan di desa. Menjadi perempuan yang kanggoan (berguna) mereka inginkan karena ada kesempatan bagi perempuan untuk berperan aktif dalam sebuah kelompok. Makna kanggoan mereka sampaikan tatkala mereka sering ikut dalam kegiatan masyarakat. Ditemukan dalam penelitian, penerima manfaat PKH semakin aktif dalam kegiatan seperti kader posyandu lansia, kader PKK, kader posyandu, kelompok keagamaan dan Kelompok Usaha Bersama (Kube).

Kube PKH terbentuk dari sebuah kegiatan pendampingan kelompok PKH.  Kelompok  usaha kecil dan pengolahan makanan  memang didominasi oleh perempuan (Sajogyo, 2010). Meningkatkan pemberdayaan perempuan penerima manfaat perlu memberikan prioritas bagi perempuan  yang masih produktif. Hal ini penting karena jika perempuan produktif tetapi tidak diberdayakan, akan memberikan dampak lain, seperti meningkatnya pengangguran yang akhirnya berdampak pada bertambahnya permasalahan sosial. Faktor sosial budaya yang ada di lokasi sasaran program sangat menentukan pola pemberdayaan.

Kelompok perempuan yang menjadi subyek Kube PKH untuk pemberdayaan diajak untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.  Penyadaran gender diperlukan oleh  kelompok agar dapat merasakan pentingnya perempuan untuk bangkit meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam hal ini dirumuskan sebuah permasalahan yang timbul dimasyarakat seperti banyaknya ibu rumah tangga yang tidak mempunyai aktivitas ekonomi produktif, karena belum mepunyai keterampilan. Dikatakan oleh CS yang mengelola Kube Kambing Gede.

�bener-bener mas usaha kelompok  beda dengan usaha sendiri memang lebih angel (sulit), ada pelatihan dan  pernah nyonto (mencontoh) usaha pas pelatihan  purwokerto, sekarang wis alhamduillah sudah ada wedus (kambing) nambah terus�.

Keberhasilan merintis kube perlu adanya pelatihan dan studi banding dengan kube lain. Untuk menentukan program pelatihan yang tepat sesuai dengan potensi kelompok, maka yang menentukan jenis keterampilan yang akan dilatihkan. Prosesnya yaitu kelompok diminta untuk berdiskusi untuk mencari prioritas pelatihan yang sesuai dengan potensi lokal. Strategi pelatihan ini mengajak kelompok untuk berpartisipasi dalam penyediaan bahan pelatihan yang berasal dari potensi daerahnya.

Bentuk partisipasi Kube di PKH Kecamatan Lumbir  tersebut seperti kelompok menyediakan bahan dasar yaitu salak, daun singkong, kelapa,  umbi-umbian dan lain-lain. Melalui pendekatan sosio budaya hasilnya lebih efektif, hal ini dapat terlihat bahwa sejak sosialisasi sampai dengan pelatihan terakhir partisipasi anggota sangat tinggi, dan tingkat solidaritas juga baik.

Peranan perempuan yang meningkat dalam kajian feminis menuntut  adanya kemampuan-kemampuan yang dikembangkan baik oleh diri perempuan itu sendiri maupun oleh kekuatan  negara (Ritzer & Goodman, 2010). Negara melalui PKH meningkatkan kesejahteraan perempuan dan peningkatan kemampuan perempuan. Artinya negara sudah memfasilitasi perempuan untuk mengembangkan kemampuan walaupun nilai-nilai lain seperti budaya patriarkhi masih belum bisa ditinggalkan.

Bantuan uang yang diberikan oleh PKH kepada perempuan penerima manfaat pada dasarnya memang bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Bantuan sosial diperuntukkan untuk biaya pendidikan dan kesehatan penerima manfaat. Namun jika semua keperluan sekolah sudah terpenuhi dan uang kesehatan tersebut tidak terpakai karena beberapa alasan, uang bantuan tersebut bisa dan diperbolehkan untuk digunakan untuk kebutuhan lain seperti untuk kebutuhan konsumsi keluarga yang tidak bisa ditunda. Para penerima manfaat menjelaskan bahwa sering menggunakan uang bantuan tersebut untuk dipakai membeli barang keperluan lain seperti sabun cuci, beras dan minyak.

Program PKH sebagai program peningkatan peranan perempuan  dalam keluarga sudah dilaksanakan berbagai macam upaya pemberdayaan. Upaya tersebut seperti pemberian bantuan sosial, pendampingan, Kelompok Usaha Bersama (Kube), pelatihan dari dinas terkait, perorganisasian perempuan dalam kelompok, peningkatan partisipasi perempuan  dalam kegiatan desa dan  pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui bank pemerintah.

Walaupun upaya peningkatan tersebut belum optimal namun pendamping sosial PKH optimis akan keberhasilan program ini. Dikatakan pendamping PKH YK.

�Jelas suatu saat meningkat peranan perempuan, apabila peserta PKH dan pendamping PKH  sama-sama ingin membangun ke arah yang lebih baik lagi�.

Oleh karena itu, diperlukan sinergisitas antara perempuan  penerima manfaat  dan pendamping sosial sebagai petugas di PKH. Perempuan penerima manfaat bisa berkembang dalam kemampuan sosial dan ekonomi sebaiknya dibarengi oleh kemampuan atas kesetaraan antara laki-laki dan  perempuan  sehingga kemiskinan struktural maupun kultural dapat cepat teratasi. Sehingga konsep perempuan  kanggoan dapat menjadi tonggak awal bagi perempuan penerima manfaat untuk ikut  andil berpartisipasi bahkan memiliki posisi tawar. Walaupun disisi lain persoalan kulturall dan sosial masih nampak.

Banyaknya persoalan struktural dan multidimensi perempuan penerima manfaat, maka upaya penanggulangan seyogyanya diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu sendiri.  Upaya tersebut juga didukung dan difasilitasi oleh pemerintah, maupun pihak swasta dan organisasi masyarakat sipil lainnya, sehingga proses penanggulangan kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang akan menjamin potensi kemandirian dan keberlanjutan guna meningkatkan kehidupannya yang lebih layak.

 

Kesimpulan                                                              

Upaya perempuan penerima manfaat meningkatkan  pemberdayaan dengan cara menjadi perempuan yang kanggoan (berguna). Artinya mereka ingin meningkatkan kesadaran diri tentang bantuan sosial yang di terima seyogyanya untuk peningkatan perempuan dalam partisipasi pendidikan dan kesehatan, penguatan kelompok perempuan, meningkatkan ekonomi Kelompok Usaha Bersama (Kube) dan peningkatan peranan perempuan dalam keluarga. Walaupun secara aspek pemampudayaan perempuan dalam analisa Longwe, perempuan penerima manfaat PKH belum masuk pada tingkatan akses dan kontrol perempuan dalam pemberdayaan diri mereka.

Perempuan penerima manfaat mulai menemukan cara lain mengelola bantuan sosialnya selain untuk pendidikan dan kesehatan yaitu untuk merintis usaha bersama dengan sistem urunan (iuran). Hal ini sebagai salah satu bentuk pemberdayaan kelompok perempuan dalam menghadapi problematika hidup terutama kemiskinan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adian, D. G. (2016). Pengantar fenomenologi. Penerbit Koekoesan. Google Scholar

 

Effendi, T. N. (1995). Sumber Daya Manusia, Peluang dan Kemiskinan. Jogjakarta: Tiara Wacana. Google Scholar

 

Farid, M., & Sos, M. (2018). Fenomenologi: Dalam Penelitian Ilmu Sosial. Prenada Media. Google Scholar

 

Handayani, T., Sugiarti, & Dharma, S. (2008). Konsep dan teknik: penelitian gender. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Press. Google Scholar

 

Hanif, H., Fatimah, D., & Zubaedah, A. (2015). Mewujudkan Program Keluarga Harapan (PKH) yang lebih bermakna: analisa gender terhadap implementasi PKH di Kabupatan Sidoarjo (Jawa Timur) dan Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat): laporan penelitian. Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia. Google Scholar

 

Hubeis, A. V. S. (2011). Pemberdayaan perempuan dari masa ke masa. PT Penerbit IPB Press. Google Scholar

 

Moghadam, V. M. (2005). The�feminization of poverty�and women�s human rights. Google Scholar

 

Moleong, L. J. (2021). Metodologi penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Google Scholar

 

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2010). Teori Sosiologi: Dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, alih bahasa Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana, Cet Ke V. Google Scholar

 

Roidah, I. S. (2016). Evaluasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Dalam Program Keluarga Harapan di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung. Jurnal AGRIBIS, 12(14), 39�47. Google Scholar

 

Ruwaida, I. (2016). Pemberdayaan dan Aksi Kolektif Perempuan: Sebuah Refleksi Sosiologis. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 18(2), 126�135. Google Scholar

 

Sajogyo, P. (2010). Penelitian wanita dan pembangunan pedesaan di Indonesia periode 1981-1987. Pemberdayaan Perempuan Pedesaan: Pengembangan Metodologis Kajian Perempuan Prof. Pudjiwati Sajogyo, 1, 75�90. Google Scholar

 

Suadnyawati, P., & Wedastra, M. S. (2010). Pemberdayaan potensi wanita di pedesaan miskin Kabupaten Lombok Barat. Genec Swara, 4(2). Google Scholar

 

 

 

Sukidjo, S., Sihono, T., & Mustofa, M. (2014). Pemberdayaan Kelompok Perempuan dalam Pengentasan Kemiskinan Berbasis Pengembangan USAha Mikro. Jurnal Economia, 10(1), 1�10. Google Scholar

 

Tarjana, S. S. (2011). Pergeseran paradigma pembangunan pemberdayaan perempuan menuju pengarusutamaan gender. CakraBooks Solo bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender. Google Scholar

 

Copyright holder:

Ibnu Panji Arifin, Tyas Retno Wulan, Soetji Lestari (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: