How to cite:
Lesmana, Adi (2022). Analisis Pasang Surut Air dan Konsolidasi Reklamasi Belawan Phase I dengan
Plaxis 2D dan 3D. Jurnal Syntax Admiration, 3(10).
https://doi.org/10.46799/jsa.v3i10.364
E-ISSN:
2722-5356
Published by:
Ridwan Institute
MASALAH KEAGENAN DALAM KEBIJAKAN IMPOR GARAM DI INDONESIA
Adi Lesmana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Mengapa kebijakan kuota impor garam di Indonesia tidak mampu melindungi produsen
garam lokal? Secara teori, kebijakan kuota adalah salah satu trade barriers, yang bertujuan
Jurnal Syntax Admiration
Vol. 3 No. 10 Oktober 2022
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356
Sosial Teknik
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
04 Agustus 2022
Direvisi
18 Oktober 2022
Disetujui
24 Oktober 2022
Kebijakan kuota merupakan salah satu hambatan perdagangan
yang dirancang untuk melindungi produsen lokal dari barang
impor. Namun kenyataannya, kebijakan kuota impor garam
Indonesia justru tidak dapat meningkatkan harga dan
penyerapan garam lokal, sehingga produsen garam masih
dalam keadaan merugi. Ini menunjukkan ada masalah dengan
kebijakan kuota impor garam. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis berbagai akar masalah yang terjadi pada
kebijakan kuota impor di Indonesia dan memberikan solusi
untuk mengatasinya. Dengan pendekatan ekonomi
kelembagaan, kami menyimpulkan bahwa terdapat agency
problem dalam tata kelola impor garam dengan skema kuota
tersebut. Atas hal tersebut, kami merekomendasikan
pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengenaan tarif
impor garam. Dengan kebijakan ini maka tata kelola impor
garam menjadi lebih efisien dan mampu melindungi produsen
lokal.
Kata kunci:
Ekonomi Kelembagaan;
Kebijakan Impor Garam;
Masalah Agensi.
Keywords:
Institutional Economic;
Salt Import APolicy;
Agency Problem.
ABSTRACT
The quota policy is one of the trade barriers designed to
protect local producers from imported goods. However, in
reality, Indonesia's salt import quota policy cannot actually
increase the price and absorption of local salt, so that salt
producers are still at a loss. This indicates there is a problem
with the salt import quota policy. This study aims to analyze
the root causes of problems that occur in the import quota
policy in Indonesia and provide solutions to overcome them.
With an institutional economic approach, we find that there is
an agency problem in the management of salt imports with the
quota scheme. For this reason, we recommend the
government establish a policy of imposing tariffs on salt
imports. With this policy, the management of salt imports
becomes more efficient and able to protect local producers.
Masalah Keagenan dalam Kebijakan Impor Garam di Indonesia
Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022 1291
melindungi produsen lokal dari barang impor (Pindyck et al., 2013). Namun kenyataannya,
kebijakan kuota impor garam di Indonesia justru tidak bisa meningkatkan harga dan
penyerapan garam lokal, sehingga produsen garam tetap merugi. Ini mengindikasikan ada
masalah yang terjadi pada kebijakan kuota impor garam.
Komoditas garam terdiri dari garam industri sebagai bahan baku/penolong proses
industri dengan kadar NaCl minimal 97%, dan garam konsumsi untuk konsumsi rumah
tangga dengan kadar NaCl minimal 94% (Wibowo, 2020). Selama satu dekade terakhir,
peningkatan kebutuhan total garam adalah 5% - 7% setiap tahunnya dan mencapai 4.464.670
ton di tahun 2020 (BPS, 2020). Total kebutuhan tersebut didominasi oleh kebutuhan garam
industri sebesar 85% dan garam konsumsi sebesar 15%. Namun demikian, produksi dalam
negeri, belum mampu menghasilan garam dengan kuantitas dan kualitas garam cukup,
terutama untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Sepanjang satu dekade terakhir, rata-
rata produksi garam lokal hanya mencapai 1.995.511 ton yang notabene sebagian besar untuk
garam konsumsi karena kadar NaCl kurang dari 97% (KKP, 2014).
Rendahnya kuantitas dan kualitas garam lokal tersebut mendorong pemerintah
membuka keran impor garam industri. Hal ini karena industri pengguna garam memiliki
multiplier effect yang besar sehingga perlu dilindungi oleh pemerintah (Wedari & Sukadana,
2020). Dengan impor, kebutuhan garam industri akan terpenuhi, namun berdampak kepada
penurunan harga garam lokal sehingga merugikan produsen garam lokal (petani garam).
Untuk melindungi produsen garam lokal, pemerintah kemudian mengambil kebijakan
hambatan perdagangan dengan penetapan kuota impor garam. Namun dalam pelaksanaannya,
kebijakan ini masih belum mampu melindungi mereka. Fenomena ini kemudian
menimbulkan pertanyaan tentang apa akar masalah yang sebensarnya terjadi dalam
pelaksanaan kebijakan kuota impor garam dan bagaimana solusi mengatasinya. Untuk itu,
paper ini akan menganalisisnya dalam konteks ekonomi kelembagaan.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Menurut (Sugiyono, 2016), penelitian
kualitatif adalah penelitian dimana peneliti ditempatkan sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara penggabungan dan analisis data bersifat induktif.
Penelitian ini juga menggambarkan permasalahan yang berdasarkan data-data dan dokumen
yang telah dikumpulkan. Setelah permasalahan teridentifikasi, kami melakukan analisis
dengan pendekatan ekonomi kelembagaan yang meliputi agency theory dan agency cost.
Hasil analisis kemudian kami sintesis menjadi sebuah kesimpulan dan rekomendasi
kebijakan.
Hasil dan Pembahasan
A. Regulasi Kebijakan Impor Garam
Penetapan kuota impor garam diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas
Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
Dalam ketentuan ini, penetapan kuota garam industri ditetapkan oleh Kementerian
Perdagangan berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Rekomendasi
Adi Lesmana
1292 Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022
tersebut meliputi tempat pemasukan, jenis, volume, waktu, dan standar mutu (kadar NaCl
minimal 97%).
Setelah kuota ditetapkan, importir dapat mengajukan permohonan impor untuk
pelanggannya sesuai daftar nama perusahaan yang diajukan. Untuk mendapatkan izin
impor garam, importir harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian
terlebih dahulu. Untuk memperoleh rekomendasi tersebut, importir mengusulkan nama-
nama perusahaan pengguna/customer dan jumlah kebutuhan garam industrinya kepada
Kementerian Perindustrian. Selanjutnya Kementerian Perindustrian menerbitkan
rekomendasi impor yang dilampiri dengan penetapan nama-nama pengguna/customer dan
alokasi jumlahnya. Dengan Rekomendasi tersebut, importir kemudian mengajukan
permohonan untuk mendapatkan persetujuan izin impor garam (PI Garam) ke
Kementerian Perdagangan, dengan jumlah dan alokasi sesuai yang tercantum dalam
rekomendasi. Atas permohonan ini, Kementerian Perdagangan menerbitkan persetujuan
impor garam kepada importir garam.
Setelah mendapatkan izin impor, selanjutnya importir melaksanakan impor garam.
Sesuai ketentuan, garam yang telah impor hanya boleh didistribusikan kepada industri
pengguna garam sesuai daftar pengguna/customer yang diajukan. Importir juga wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan impor garam kepada Kementerian Perdagangan setiap
bulannya. Jika tidak maka importir akan dikenakan sanksi pencabutan izin impor.
Namun demikian, pada praktiknya seringkali importir melanggar ketentuan di atas.
Dalam hal ini, importir sering kedapatan menjual garam industri sebagai garam konsumsi
demi memaksimalkan keuntungan dari murahnya harga garam impor. Karena garam impor
lebih murah, secara rasional distributor/pedagang besar/grosir akan memilih garam impor
dibanding menyerap garam lokal, untuk kemudian dijual di pasar. Hal ini kemudian
mengakibatkan harga dan penyerapan garam lokal semakin anjlok sehingga merugikan
produsen garam lokal.
B. Analisis Kebijakan Penetapan Kuota Impor Garam
Banyak negara mengambil kebijakan hambatan perdagangan (trade barriers) atas
arus barang dan jasa internasional. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi produk
domestik dengan menjaga harga produk lokal tetap tinggi dan membatasi banjirnya produk
impor di pasar domestik. Hambatan perdagangan ini meliputi hambatan tarif dalam
kasus ini adalah tarif impor, dan nontarif dalam kasus ini adalah kuota impor.
1. Analisis Kebijakan Penetapan Kuota Impor Garam (Existing Policy)
Kami memulai analisis dengan precondition saat terjadi shortage pada permintaan
dan penawaran garam (Grafik 1). Ini terjadi ketika permintaan garam sangat tinggi di
level Qd. Namun, produsen garam lokal hanya mampu menyediakan garam sebanyak
Qs, sehingga terjadi shortage sebesar Qs ke Qd dengan harga garam di level P*.
Pemerintah kemudian mengambil kebijakan impor untuk memenuhi permintaan garam
tersebut.
Masalah Keagenan dalam Kebijakan Impor Garam di Indonesia
Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022 1293
Gambar 1. Grafik Mekanisme Kebijakan kuota Impor Garam
Sumber: (Pindyck et al., 2013) Grafik diolah
Namun demikian, harga garam impor lebih rendah dibanding harga domestik
(P*), yaitu Pw. Maka ketika keran impor dibuka, kurva world supply akan perfectly
elastic pada harga dunia Pw. Harga garam pun anjlok dari P* ke Pw, sehingga produsen
lokal (petani garam) terpaksa mengurangi produksinya dari Qs menjadi Q’s, dan jumlah
garam impor adalah sebesar Q’s ke Q’d. Pada posisi ini, jumlah supply garam (lokal +
impor) menjadi Q’d, melebihi permintaan yang seharusnya sebesar Q’d. Titik
keseimbangan baru kemudian berada pada harga Pw dan supply garam Q’d. Pada titik
ini, produsen lokal jelas mengalami kerugian sebesar area A.
Untuk melindungi produsen lokal, pemerintah melakukan trade barriers dengan
skema kuota impor garam. Kuota impor ditetapkan sebesar shortage garam di dalam
negeri yaitu sebesar jarak Qs ke Qd. Harga garam pun naik kembali ke level P*
sehingga produsen lokal bisa meningkatkan kembali produksi garamnya dari Q’s ke Qs.
Titik keseimbangan kemudian bergeser menjadi pada harga P* dan Qd. Pada titik ini,
produsen lokal tidak dirugikan, dan industri pengguna garam pun memperoleh supply
garam yang cukup. Titik keseimbangan inilah yang menjadi tujuan kebijakan kuota
impor.
2. Government Failure in Imperfect Situation
Sistem ekonomi sangatlah kompleks dan luas sehingga efek dari sebuah
kebijakan sering tidak bisa diprediksi. Pelaksanaan kebijakan kuota impor di Indonesia
nyatanya belum mampu melindungi produsen lokal. Harga dan penyerapan garam lokal
tetap sulit ditingkatkan, dan bahkan anjlok ketika garam impor datang membanjiri pasar
domestik. Kondisi ini mengindikasikan sebuah government failure dari kebijakan
tersebut dan penyebabnya harus segera diidentifikasi.
Adi Lesmana
1294 Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022
Gambar 2. Kronologis Sebab Akibat Masalah Rembesan Garam Industri
Sumber: diolah penulis
Mengapa ini bisa terjadi, padahal kebijakan kuota impor sejatinya bertujuan
untuk melindungi petani garam? Masalahnya adalah merembesnya garam industri
(impor) ke garam konsumsi (KPPU, 2018). Mari kita analisis kronologisnya melalui
Gambar 1 berikut. Kronologis dimulai dengan harga garam impor lebih murah dari
pada harga garam lokal. Ini kemudian membuka peluang terjadinya praktik perburuan
rente (rent seeking) oleh vested interest importer demi memperoleh jatah kuota impor
(Hidayat & Raman, 2020). Potensi rente ini tercermin dari area C’, dan C’’ (lihat Grafik
1). Dengan kata lain importir berupaya mengambil marjin keuntungan sebesar C’ dan
C’’ dari murahnya harga garam impor untuk dijual ke industri pengguna garam.
Dengan struktur pasar oligopoli, para importir pun melakukan pengaturan distribusi
garam impor untuk melancarkan upaya tersebut. Setelah mendapatkan rente kuota,
selanjutnya importir berperilaku oportunis yaitu masih ingin mencari keuntungan lebih
besar lagi pada area A, dengan menjual garam impor (industri) sebagai garam konsumsi
inilah mengapa disebut garam industri merembes. Akibatnya, harga dan penyerapan
garam lokal tetap rendah.
3. Agency Theory dalam Kebijakan Kuota Impor Garam
Principal-agency relationship dalam makalah ini adalah hubungan antara
Kementerian Perdagangan (pemerintah) selaku prinsipal dengan importir selaku agen.
Pemerintah dalam hal ini memiliki kewenangan untuk mengendalikan garam impor
sebagai garam industri melalui penetapan waktu dan lokasi impor garam, jenis dan
volume impor garam, standar mutu, dan lain-lain. Sebagian dari kewenangan ini
dilakukan oleh importir melalui pemberian izin impor kepada importir. Hubungan ini
kemudian menjadi principal-agency problem karena adanya conflicting interests dan
assymmetric information (Berg et al., 2010).
Agency problem bisa yang muncul pada saat sebelum (ex ante) dan sesudah (ex
post) kontrak (Milgrom, 1992) kontrak dalam kasus ini adalah pemberian izin kuota
impor garam dari pemerintah kepada importir. Sebelum pemberian izin impor,
pemerintah sering mengalami assymmetric information mengenai besaran kuota impor
garam apakah sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya atau tidak. Kondisi ini
diperparah dengan kesimpangsiuran data produksi dan konsumsi garam (Sahara, 2019).
Conflicting interests juga bisa terjadi di sini dimana para importir berupaya
mendapatkan rente kuota impor. Besaran impor yang diusulkan pun tidak berdasarkan
perhitungan yang riil dan akurat, serta importir cenderung mengusulkan besaran impor
lebih besar dari kuota (KPPU, 2018). Hal ini berpotensi mengakibatkan jumlah impor
Masalah Keagenan dalam Kebijakan Impor Garam di Indonesia
Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022 1295
sebesar Q’s dan Q’d (Grafik 1) tidak sesuai dengan kebutuhan garam yang sebenarnya
(adverse selection).
Setelah izin impor diberikan, pemerintah pun kembali mengalami assymmetric
information. Pasalnya, Kementerian Perdagangan tidak memiliki sistem untuk
memantau realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir (BPK, 2018).
Sehingga tanpa diketahui pemerintah, bisa saja pemanfaatan impor garam tidak sesuai
ketentuan. Conflicting interests juga terjadi di sini, yaitu demi keuntungan maksimal,
para importir berperilaku oportunis dengan menjual garam industri sebagai garam
konsumsi. Perilaku moral hazard ini pun didukung dengan praktik pengaturan distribusi
garam industri (kartel) yang dilakukan oleh para importir (KPPU, 2020). Karena garam
impor lebih murah, secara rasional distributor/pedagang besar/grosir akan memilih
garam impor dibanding garam lokal, untuk kemudian dijual di pasar. Kondisi ini
menimbulkan dampak negatif bagi petani garam berupa rendahnya harga dan
penyerapan garam lokal. Dengan demikian, area A (Grafik 1) yang seharusnya menjadi
surplus produsen (petani garam) malah menjadi surplus importir garam. Inilah mengapa
kebijakan kuota tidak mampu melindungi produsen lokal.
4. Biaya Agensi (Agency Cost) dan Perpindahan Surplus Produsen ke Import
Agency problem kemudian menimbulkan efficiency loss yang disebut sebagai
agency cost (Meckling & Jensen, 1976). Atas permasalahan agency problem di atas,
pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasinya, seperti peningkatan
kegiatan pengawasan internal, pemeriksaan eksternal, dan penegakkan hukum.
Pengawasan internal meliputi kegiatan monitoring, evaluasi, dan audit yang dilakukan
oleh aparat pengawasan intern pemerintah Contoh: audit pasca impor (Kemenperin,
2016). BPK juga rutin melakukan pemeriksaan atas pengelolaan tata niaga impor.
Selain itu, aparat penegak hukum juga aktif melakukan penegakkan hukum atas kasus-
kasus perembesan garam industri. Namun demikian, walaupun kegiatan-kegiatan ini
telah dilakukan, permasalahan agency problem di atas masih terus terjadi, padahal
kegiatan ini tentu saja membutuhkan agency cost (monitoring and law enforcement
cost) yang tidak sedikit.
Selain itu, persoalan yang sangat menjadi perhatian publik adalah kebijakan kuota
tidak mampu melindungi produsen garam lokal. Karena adanya rembesan garam
industri, tingkat harga dan penyerapan garam lokal pun rendah. Akibatnya, terjadi
perpindahan surplus produsen ke surplus importir. Petani garam yang seharusnya
mendapat surplus sebesar area A (Grafik 1) justru malah merugi karena area A menjadi
surplus importir.
5. Kebijakan Tarif Impor Garam Sebagai Solusi yang Tepat
Adi Lesmana
1296 Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022
Gambar 3. Grafik Mekanisme Kebijakan Tarif Impor Garam
Sumber: (Pindyck et al., 2013) Grafik diolah
Adanya agency problem dan dampak yang ditimbulkan kepada produsen lokal
mengindikasikan sistem kuota bukanlah struktur kelembagaan yang efisien. Untuk itu
pemerintah perlu mendesain struktur lain yang lebih efisien dan mampu melindungi
petani garam. Agency problem ini terjadi karena adanya motivasi para importir
memperebutkan rente kuota yang menggiurkan karena murahnya harga garam impor.
Sehingga untuk mengatasinya, pemerintah perlu menghilangkan rente yang
diperebutkan ini dan mengendalikan harga garam impor. Untuk itu, kebijakan
penetapan tarif impor garam layak dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan.
Sama-sama bertujuan melindungi produsen garam, kebijakan tarif impor dapat
mengendalikan harga dengan efektif (Kemenko Maritim dan Investasi, 2016). Pada
Grafik 2, pengenaan tarif akan menggeser kurva world supply ke atas menjadi kurva
world supply + tariff pada harga sesuai sebesar P*. Produsen lokal pun kembali
meningkatkan produksi garamnya dari Q’s ke Qs. Kebijakan ini menciptakan
keseimbangan baru dengan tarif pada harga P* dan Qd.
Dengan kebijakan ini, tidak ada lagi rente kuota yang diperebutkan importir,
karena area C’ dan C’’ justru akan menjadi surplus pemerintah dari penerimaan tarif
impor. Dengan hilangnya rente kuota maka tidak akan ada lagi konflik kepentingan
sehingga agency problem dapat teratasi. Kebijakan tarif juga dapat mengendalikan
harga dengan lebih efektif (Kemenko Maritim dan Investasi, 2016). Harga garam impor
dapat disesuaikan agar tidak lebih rendah dari harga garam lokal, sehingga masalah
merembesnya garam industri ke garam konsumsi dapat teratasi. Dengan demikian,
produsen garam lokal akan terlindungi karena area A tetap akan menjadi surplus
mereka. Kebijakan tarif juga menciptakan persaingan yang lebih fair karena siapapun
bisa menjadi importir dengan cukup membayar tarif impor (Kemenko Maritim dan
Investasi, 2016). Dengan begitu, struktur pasar bisa lebih kompetitif sehingga dapat
Masalah Keagenan dalam Kebijakan Impor Garam di Indonesia
Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022 1297
menghapus praktik kartel garam, karena kartel bisa muncul di pasar oligopoli (Pindyck
et al., 2013).
Namun demikian, beberapa kendala mungkin bisa terjadi pada kebijakan tarif
impor garam ini. Pertama, Indonesia terikat perjanjian perdagangan bebas dengan
Australia dan China terkait pembebasan bea masuk garam. Hampir seluruh garam
impor berasal dari kedua negara tersebut. Solusinya, pemerintah bisa mencari alternatif
impor garam dari negara lain yang tidak terikat perjanjian perdagangan bebas. Kedua,
kebijakan tarif bisa melemahkan daya saing industri pengguna garam. Jika tarif
dikenakan maka ongkos produksi bisa meningkat signifikan (APGI, 2015). Solusinya,
pemerintah dapat memberikan insentif sebagai bentuk kompensasi kepada industri
tersebut dengan memanfaatkan sebagian dari hasil penerimaan tarif impor garam.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan institutional economics, kami
menyimpulkan adanya agency problem dalam tata kelola impor garam dengan skema kuota
tersebut. Karena agency problem inilah mengapa kebijakan kuota impor garam di Indonesia
tidak mampu melindungi produsen garam lokal. Agency problem ini terjadi karena motivasi
para importir dalam memperebutkan rente kuota yang menggiurkan karena murahnya harga
garam impor. Untuk mengatasinya, rente yang diperebutkan ini harus dihilangkan dan harga
garam impor dikendalikan. Kebijakan impor garam dengan skema tarif adalah solusi yang
tepat untuk mengatasi rente dan mengendalikan harga garam impor.
Atas hal tersebut, kami merekomendasikan pemerintah untuk menetapkan kebijakan
pengenaan tarif impor garam. Struktur tata kelola impor garam menjadi lebih efisien karena
mampu mengatasi agency problem, Tujuan utama yaitu perlindungan produsen lokal sesuai
konsep trade barriers dapat tercapai dan pemerintah mendapatkan keuntungan dari
penerimaan tarif impor garam dan dapat memanfaatkan sebagian hasil penerimaan sebagai
insentif kepada industri pengguna garam.
Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi jembatan untuk melakukan
penelitian lanjutan. Kami menyarankan agar penelitian berikutnya dilakukan dengan metode
kuantitatif yang menggunakan variable proksi kebijakan kuota impor garam dan proksi
ekonomi bagi para produsen garam local. Hal ini untuk mengetahui bagaimana efektifitas
kebijakan tersebut dalam melindungi produsen lokal.
Adi Lesmana
1298 Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022
BIBLIOGRAFI
Berg, A. van den, Spithoven, A., & Groenewegen, J. (2010). Institutional Economics. An
Introduction. Houndmills Basingstoke. Google Scholar
Hidayat, R., & Raman, A. (2020). The Dark Side of Regulatory Economics: Evidence from
the Salt Import Policy in Post-Soeharto Indonesia. International Journal of Demos, 2(1),
120. https://doi.org/10.37950/ijd.v2i1.5. Google Scholar
Kemenperim. (2016). Kemenperin akan Tetap Awasi Impor Garam Industri.
Kemenperin.Go.Id.
KPPU. (2018). Putusan Perkara Nomor 09/KPPU-I/2018.
KPPU. (2020). Siaran Pers No. 04/KPPU-PR/I/2020.
Meckling, W. H., & Jensen, M. C. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency
costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305360. Google
Scholar
Milgrom, P. (1992). Economics, organization and management. Prentice-hall. Google
Scholar
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Garam.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88/M-IND/PER/10/2014 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan
(Road Map) Pengembangan Klaster Industri Garam.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan
Baku dan Bahan Penolong Industri.
Pindyck, R. S., Rubinfeld, D. L., & Rabasco, E. (2013). Microeconomia. Spanyol: Pearson
Educación. Google Scholar
Sahara, P. P. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Prehipertensi pada
Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Tahun 2019. Universitas Sumatera Utara.
Google Scholar
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. IKAPI. Google Scholar
Wedari, P. S., & Sukadana, I. W. (2020). Garam Industri Impor Sebagai Input Kunci Sektor
Industri Pengguna Garam Dan Multiplier Efeknya Terhadap Perekonomian. E Journal
EP Unud, 9(5), 11711199. Google Scholar
Wibowo, A. (2020). Potensi Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) Produk
Garam Konsumsi Beryodium dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing. PPIS. Google
Scholar
Masalah Keagenan dalam Kebijakan Impor Garam di Indonesia
Syntax Admiration: Vol. 3, No. 10 Oktober 2022 1299