Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 3, No. 1 Januari 2022 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
SIRI� TO MATE: TEDONG SEBAGAI HARGA DIRI� PADA RAMBU SOLO�� DI TORAJA
Universitas Negeri Makassar, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 25 Desember 2022 Direvisi 05 Januari 2022 Disetujui 15 Januari 2022 |
Tulisan ini memaparkan suatu degradasi tradisi dalam stuktur masyarakat di suku Toraja khususnya Toraja Utara, suatu pergeseran makna budaya yang dihayati oleh mayoritas masyarakat Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Dimana orang Toraja dalam melakukan prosesi kematian (rambu solo�), menjadi hal yang mutlak untuk mengurbankan kerbau sebagai suatu nilai kasih sayang kepada mendiang yang meninggalkan segenap keluarga, namun lama kelamaan terjadi miss-intepretasi dimana tedong digunakan sebagai sarana unjuk diri dengan lebih menitik beratkan gengsi pribadi dan keluarga.
ABSTRACT������������������������� This paper describes a degradation of tradition in the structure of society in the Toraja tribe, especially North Toraja, a shift in cultural meaning that is lived by the majority of the people of North Toraja, South Sulawesi Province. Where the Toraja people in carrying out the death procession (rambu solo'), it is absolutely necessary to sacrifice a buffalo as a value of affection for the deceased who left the whole family, but over time there is a misinterpretation where tedong is used as a means of showing themselves with more emphasis on personal and family prestige. |
Kata Kunci: tedong; rambu solo�; intepretasi
Keywords: tedong; rambu solo'; interpretation |
Pendahuluan
Negeri diatas awan, sepenggal diksi yang melambangkan Toraja dimata dunia. Pemandangan, kesejukan hingga budaya adat dan tradisi yang begitu menakjubkan selalu membuat terpesona orang orang yang menghampirinya, seakan tiada kata lagi untuk melambangkan betapa indahnya Toraja itu.
Negeri para roh, sebutan lainnya yang dilekatkan pada Toraja, bukan karena sengaja namun memang hal itu nyata adanya, aluk rampe matampu (rambu solo) dan aluk rampe matallo (rambu tuka�) merupakan prosesi adat yang sangat terkenal dari Toraja, dimana dalam prosesi adat ini uang yang digelontorkan oleh keluarga mendiang tak main main bahkan dalam kasus kasus biasa dapat mencapai milyaran rupiah, hal ini disebabkan rangkaian prosesi adat yang berhari hari pun hewan kerbau yang dikurbankan nominalnya fantastis. Tak heran memang jika Toraja merupakan salah satu suku yang menawan dan menarik parawisatawan.
Aluk merupakan suatu falsafah hidup orang Toraja, dimana dalam nadi kehidupan orang Toraja, mereka selalu menerapkan aluk tersebut. Secara garis besar aluk dibagi menjadi dua, yakni Aluk Rampe Matallo dan Aluk Rampe Matampu atau sering disebut rambu tuka dan rambu solo�. Rambu tuka adalah aluk yang berkiblat kepada hal yang sukacita semisal upacara peresmian rumah adat, panen dan lainnya, sementara rambu solo�merupakan aluk yang berkiblat kepada hal hal dukacita seperti prosesi pemakaman, membersihkan jenasah (ma�nene) dan lain sebagainya.
Pada upacara rambu solo�, setiap tata pelaksanaannya selalu mengurbankan hewan tedong (kerbau), Batasan-batasan pemotongan tedong telah ada dan telah disepakati dalam suatu wilayah adat, jumlah tedong tersebut tergantung dari tingkatan kasta dari mendiang, terdapat tiga kasta dalam struktur masyarakat Toraja, Tana Bulaan (Bulaan = emas), Tana Bassi (Bassi = besi), Tana Kua-kua (kasta terendah). Namun dalam perjalanan adat ini, terjadi suatu mal-intepretasi yang membuat Batasan-batasan tersebut pudar dan tak terlihat arahnya lagi.
Pertengahan abad 20, orang toraja mulai merantau keluar daerah untuk mencari �kehidupan� diluar toraja. Mulai dari kasta terendah hingga tertinggi berbondong bondong mengadu nasib dan keberuntungan diluar toraja, ada yang pergi dengan sebekal pengalaman dan kenalan yang berasal dari orang tua ada juga yang pergi dengan tangan kosong. Keuletan serta kerja keras masyarakat Toraja di perantauan sangat terlihat dan nyata hasilnya, orang orang toraja dewasa ini telah menduduki jabatan jabatan penting dalam struktural negara bahkan di tanah papua orang toraja sangat berjaya, ditanah Papua oleh komunitas orang Toraja perantauan mendirukan Tongkonan (rumah adat toraja) menandai jayanya Toraja diperantauan, meskipun terdapat kontroversi dibalik itu karena mendominankan suku toraja dibandingkan suku asal sehingga suku asal terasa dimarginalkan.
Kesuksesan ini membawa pengaruh yang sangat signifikan di Toraja, menghadirkan eksistensi diri orang sukses perantau dengan cara turut �meramaikan� rambu solo� dikampung halaman. Tak tanggung tanggung menurut salah satu buku yang memuat tentang perantau Toraja, para perantau Toraja tiap bulan selalu menggelontorkan uang dan dikirim ke kampung halaman dengan jumlah milyaran tiap bulannya.
Menghadirkan eksistensi diri manusia sukses Toraja di tanah rantau rasanya tak begitu sulit, cukup menghadirkan kerbau dengan jumlah yang tak sedikit pada upacara tersebut maka nama mereka akan naik dan menjadi sorotan masyarakat, meskipun ada suatu �kemiskinan kultural� dalam perilaku tersebut namun hal tersebut harus dilakukan reintepretasi dan reaktualisasi budaya dan adat Toraja.
Hingga detik ini, suku Toraja masih memegang teguh adat istiadat yang ada, yang berasal dari aluk dimana diantaranya adalah rambu tuka� dan rambu solo�. Penghayatan rambu tuka� dan rambu solo� di Toraja tak pernah dipadamkan oleh modernisasi yang masuk tiada henti. Oleh karena penghayatan yang sangat mendalam ini justru membuat misionaris belanda yang datang ke Toraja pada awal abad 20, untuk menyebarkan agama Kristen mengalami dilema teologis yang cukup kritis, dimana dalam ritus ritus aluk (rambu solo� dan rambu tuka�) hampir seluruhnya sangat bertentangan dengan kekristenan yang ada pada saat itu. Namun penyebaran harus tetap dilakukan dan mengakali agar sinkretisme tidak terjadi (Tallulembang, 2012).
Dalam kehidupan suku Toraja, aluk dan adat merupakan kesatuan yang tak dapat dicerai beraikan, mereka tidak boleh didikotomikan. Selanjutnya terdapat aluk to dolo yang merupakan agama asli leluhur orang Toraja, bahwa dalam pelaksanaan rambu solo� hewan kurbanan adalah hal yang wajib untuk dipenuhi, dalam hal ini adalah tedong (kerbau). Menurut Bararuallo (Bararuallo, 2010) tedong sebagai garonto� eanan atau pokok harta benda manusia Toraja, mempunyai peranan penting dalam tatanan masyarakat Toraja. Dari perspektif aluk, rambu solo,� memandang tedong sebagai tangga ke alam baka ( puya ), dimana tedong sebagai kendaraan menuju kealam baka.
Adanya istilah siri� to mate dan siri to tuo (Tallulembang, 2012) mengartikan ala value yang lebih dari sekadar nilai yang diampu oleh tedong tersebut, dimana siri� secara harafiah menyangkut harga diri atau pun malu, dimana dalam hal ini terindikasi terjadi penyimpangan interetasi yang mengubah aspek siri� kearah gengsi pribadi dan keluarga.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam mengitisarikan hasil hasil buah pemikiran yang dituangkan dalam buku ini, penulis menggunakan studi kepustakaan, dimana jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian pendeskripsian yang memusatkan esensi esensi dari pelbagai buku, jurnal, maupun artikel yang relevan dengan objek penelitian sebagai sumber analisisnya. Dimana tujuan dari penelitian ini untuk memahami miss-intepretasi bahwa tedong sebagai harga diri� pada rambu solo� di toraja utara dengan mengedepankan gengsi pribadi dan keluarga.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dari jenis penelitian studi kepustakaan ini didasarkan pada pengambilan esensi esensi buku serta jurnal yang membahas dan bersinggungan dengan tema yang diangkat pada saat ini, dimana dari semua itu penulis mengulik kembali dan mengambil inti sari dari problematika yang ada.
1. Rambu Solo�
Rambu Solo� atau aluk rampe matampu� merupakan prosesi adat yang masuk dalam sebutan Aluk simuane tallang silau eran yang dimana Aluk simuane tallang silau eran ini memiliki dua kategori, Rambu Tuka� atau aluk rampe matallo dan Rambu Solo�.
Dalam prosesi upacara Rambu Solo� memiliki beberapa tahap tahap,� penguburan kategori disillik yang dimana prosesi ini melingkupi dipasilamun toninna, didedekan palungan, dipasilamun tallo� manuk dan dibai tungga�.
Selanjutnya dipasang-bongi� yang meliputi dibai a�pa�, ditedong tungga�, di-isii, dan ma�tangke patomali� selanjutnyya dibatang atau didoyatedong yang meliputi dipatallung bongi, dipalimang bongi, dipapitungbongi dan upacara rapasan.
Namun sebenarnya, tidak seluruhnya upacara aluk rampe matampu atau rambu solo�, diselenggarakan seluruhnya dan terkesan tidak wajib untuk dilakukan , namun sesungguhnya� prosesi adat dalam rambu solo� terdiri dari dari, ma�dio tomate, ma�doya, ma�balun, ma�bolong, meaa, kumande, untoe sero, membase dan pembalikan tomate (Bararuallo, 2010).
Hampir seluruh dari prosesi prosesi adat dalam Rambu solo� membutuhkan hewan pengurbanan untuk melaksanakan tahap demi tahap entah itu babi dan juga tedong atau kerbau dengan artian tiap prosesi adat berlangsung memerlukan darah kurbanan sebagai �pembuka pintu� ke prosesi selanjutnya.
Rambu solo� dalam pelaksanaannya cenderung memakan banyak biaya pelaksanaan tahap demi tahap. Sering kali keluarga mendiang yang ditinggalkan harus mencari uang terlebih dahulu untuk pulang memenuhi serangkaian tahapan adat prosesi pemakaman.
Sebegitu pentingnya rambu solo� dimata masyarakat Toraja dikarenakan rambu solo� merupakan tempat pertemuan terakhir antara keluarga dan almarhum yang meninggal. Sehingga seringkali banyak opini bermunculan bahwa prosesi adat ini terbilang menguras banyak biaya karena rasa sayang kepada orang yang meninggalkan mereka sangatlah besar.
2. Tedong Sebagai Nilai
Tedong hadir sebagai suatu hal penting dalam kehidupan masyarakat Toraja secara umum. Berdasarkan Frans Bararuallo (Bararuallo, 2010), Tedong dalam pandangan masyarakat Toraja adalah sebagai garonto eanan atau suatu pokok dari harta benda.
Hal ini sangat realistis jika ditilik lebih jauh, dimana kita dapat melihat rumah adat Tongkonan yang dimana didepan rumah adat Tongkonan biasa terdapat untaian tanduk tedong yang seringkali menandakan suatu tingkatan kemampuan dan strata keluarga yang hidup di tempat itu.
Jauh dari makna tersebut, tanduk kerbau didepan rumah adat Tongkonan tersebut mempunyai makna bahwa mereka yang ada dalam keluarga Tongkonan itu adalah pekerja keras dan menjadi� lambang kemakmuran.
Dalam tatanan masyarakat Toraja, tedong hadir sebagai ; a. Kurban persembahan utama pada upacara aluk rampe matallo atau rambu tuka dimana upacara dan prosesi adat tersebut adalah upacara yang tertinggi dalam adat toraja dimana terdapat upacara adat Merok dan upacara adat Ma�bua� sebagai upacara persembahan dan pemujaan kepada Puang Matua (Tuhan) dalam perspektif aluk todolo (agama leluhur).� b. Sebagai hewan kurban utama disamping babi dan ayam dalam pelaksanaan upacara rambu solo� yang mana ukuran badan, ukuran tanduk, warna mata badan dan tanduk� serta umur tedong sebagai patokan besar upacara adat tersebut dan yang terakhir sebagai penilaian kasta atau biasa disebut tana� (Bararuallo, 2010).
Secara garis besar, tedong dalam tatanan kehidupan masyarakat Toraja mempunyai� tiga nilai utama yakni ; a. Nilai Filosofi, dimana� tedong dalam pelaksanaan rambu solo� melambangkan kerja keras masyarakat� Toraja� dan juga� sebagai kendaraan ke puya(akhirat) oleh orang yang meninggal. b . Nilai Material, dimana kerbau dijadikan sebagai persembahan dalam upacara rambu solo� sebagai suatu alat ukuran perhitungan nilai Tana� dan �pembayaran��� Kapa� Rampanan Kapa� dan yang terakhir c. Nilai Mana�, dimana� Kerbau dijadikan suatu tolak ukur penilaian pembagian� kekuasaan dan warisan lainnya seperti tanah, perhiasan dan lainnya (Bararuallo, 2010).
Secara� jenis, tedong mempunyai tujuh jenis secara umum yakni Tedong Bongka Saleko,� Tedong Pudu�, Tedong Bonga Ulu, Tedong Bonga Sori, Tedong Todi�, Tedong Sombao dan Tedong Bulan selain itu penentuan tedong juga dilihat dari kategori panjang tanduknya.
3. Tedong Sebagai Harga Diri
Pemaknaan tedong sebagai sarana ritual adat yang sarat akan makna filosofis dan nilai nilai didalamnya cenderung telah bergeser dari pemaknaan yang seharusnya.
Siri� atau rasa malu merupakan falsafah hidup orang Sulawesi Selatan khususnya Toraja yang menjadi bagian dalam melaksanakan kehidupan sehari hari.� Siri ini telah menjelma diupacara� aluk seperti rambu tuka� dan terkhusus rambu solo�. Dirambu� solo� timbul istilah siri� tomate yang mewajibkan seseorang ataupun keluarga untuk mengusahakan sekuat tenaganya untuk melaksanakan suatu upacara adat rambu solo�hal ini dikarenakan rasa �mamali� atau rasa sayang yang tinggi yang ditinggalkan terhadap yang meninggal dimana dalam perspektif aluk todolo, pelaksanaan ritual upacara rambu solo� agar almarhum dapat selamat di akhirat atau puya.
Hadir pula Siri� To Tuo, yang menyangkut perihal harga diri dan maluyang ditentukan oleh konteks public tertentu. Siri� sebenarnya suatu hal yang baik dan cenderung postif namun terjadi penyimpangan makna yang dapat merubah ranah positif siri�� kearah yang sarat akan gengsi pribadi dan keluarga dan hal tersebut sudah terjadi dan menjadi habbit atau kebiasaan yang sudah mengakar dalam system masyarakat Toraja.
Upacara adat rambu solo� setahap demi setahap mengalami degradasi makna yang merubah nilai menjadi manifestasi siri yang mana pelaksanaan upacara yang semarak dan royal serta mahal serta merta menaikan gengsi siri keluarga dimata masyarakat� setempat, dan ketika suatu keluarga yang menyelenggarakan gagal dalam melaksanakan� upacara kematian tersebut untuk mendiang keluarga yang meninggal, keluarga tersebut akan mendapat cap merah dari masyarakat serta tak jarang mendapatkan �kutuk� dari pemangku adat daerah terebut (Tallulembang, 2012).
Adanya sokongan dari luar Toraja, dimana kesuksesan dalam suatu pelaksanaan upacara Rambu Solo� selalu mempunyai sokongan dari luar yang dimana anggota keluarga yang bekerja diluar daerah Toraja memberikan �transferan� dibuktikan dalam catatan� Mgr. Jhon Liku Ada� yang menyatakan bahwa tiap bulan� lebih dari milyaran rupiah uang masuk ke Toraja� untuk menyukseskan pelaksanaan upacara adat.
Adtjondro (Aditjondro, 2010) menyatakan bahwa selama melintasi orde baru, jumlah tedong yang di kurbankan meningkat sepuluh kali lipat, selaras dengan perantau yang masif keluar Toraja (Kalimantan dan Papua)untuk mencari pundi pundi uang dalam menyejahterahkan keluarganya, hal ini tercium indikasi indikasi persaingan antar anggota keluarga dan masyarakat serta tentunya demi kepentingan parawisata.
Obsesi mantunu atau pengurbanan hewan ini tercium dengan menyengat dimana keseriusan untuk membangun tondok toraya dan keseriusan untuk meninggalkan legacy atau gengsi pribadi dan atau keluarga mencuat dan tak dapat di ingkari lagi.
Selaras dengan �pemiskinan kultural� ini, pemerintah dengan tak sadar mendukung degradasi makna ini dengan hadirnya pajak pemotongan hewan dimana pajak tersebut merupakan salah satu pemasukan utama daerah. Singkatnya jika ingin menghimpun PAD yang banyak, pemerintah akan mati matian menggenjot prosesi prosesi adat sepert rambu tuka dan rambu solo�.
Kesimpulan��������������������������������������������������������������
Rambu solo� merupakan adat yang eksotik bagi orang orang yang melihat Toraja dari kejauhan. Hal hal mistikal yang timbul dari pehelatan tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat luar Toraja namun masyarakat Toraja menganggap itu sebagai nadi yang harus dilaksanakan dan dituntaskan.
Susunan nilai yang berkembang dalam masyarakat tak jarang tergradasi entah dipengaruhi oleh modernitas ataupun sifat internal masyarakat tersebut.
Siri yang seharusnya dalam konotasi postif yang menjaga tatanan kehidupan masyarakat Toraja agar sesuai pada koridornya, bergerak kearah konsentrasi yang kritis, dimana siri berubah menjadi gengsi semata para pribadi dan keluarga yang ingin meninggalkan legacy dimata masyarakat setempat. Reintepretasi dan reaktualisasi harus dikedepankan dalam memaknai ulang suatu budaya dan adat yang ada dalam tatanan masyarakat Toraja agar nilainya tak berubah kearah yang negative dan agar kita dapat mempertahankan legacy bahwa Toraja adalah tanah Adat.
Aditjondro, G. J. (2010). Pragmatisme menjadi to sugi dan to kapua di Toraja. Yogyakarta: Gunung Sopai Press. Google Scholar
Alfarah, A. S. Y., Saputra, F. B., Mukminin, M. S., Pangesti, P. W., & Farah, S. (N.D.). Rambu Solo�sebagai Upacara Pemakaman Jenazah Di Tana Toraja. Google Scholar
Aulia, G. R., & Nawas, S. S. A. (n.d.). Implementasi Nilai-Nilai Toleransi Umat Bergama Pada Upacara Rambu Solo Di Tana Toraja. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam, 23(2). Google Scholar
Bararuallo, F. (2010). Kebudayaan Toraja: masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Penerbit Universitas Atma Jaya. Google Scholar
Indonesia, P. B. D. A. N. S. (N.D.). Ungkapan Bahasa Dalam Ritual Budaya Rambu Solo�masyarakat Balusu Toraja Utara The Language Expression In Culture Ritual �Rambu Solo� North Toraja. Google Scholar
Lisda, L., Palar, W. R., & Rotty, V. N. J. (2021). Makna Simbol dalam Bahasa Tominaa pada Upacara Rambu Solo�Tana Toraja Singgi�na Torampo Tongkon. Jurnal Bahtra, 1(2). Google Scholar
Palintin, S. (2010). Tari Ma�landing pada Upacara Rambu Solo di Desa Sangtanete Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara. Fak. Seni Dan Desain. Google Scholar
Patiung, M., & Suleman, A. A. (2020). Ma�pasilaga Tedong: Analisis Tradisi Adat Pemakaman Rambu Solo Di Toraja Sulawesi Selatan. Solidarity: Journal of Education, Society and Culture, 9(2), 1072�1077. Google Scholar
Salim, A., Salik, Y., & Wekke, I. S. (2020). Syair Masyarakat Toraja: Pertautan Antara Kearifan Lokal Dengan Pendidikan Islam. Google Scholar
Salu, P. S., Ngangi, C. R., & Sondakh, M. F. L. (2018). Persepsi Masyarakat Petani Terhadap Tradisi Rambu Solo/Pemakaman Adat Di Desa Marinding Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Agri-Sosioekonomi, 14(3), 67�78. Google Scholar
Sampe, N. (2020). Rekonstruksi paradigma ekonomis dalam budaya Rambu Solo�di Toraja Utara. BIA�: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen Kontekstual, 3(1), 26�43. Google Scholar
Sanderan, R. (2020). Heuristika dalam Pendidikan Karakter Manusia Toraja Tradisional. BIA�: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen Kontekstual, 3, 306�327. Google Scholar
Sulo, P. A., & Poltik, F. I. S. D. A. I. (2021). Tampilan Pesan Diri Kelompok Pa�badong Dalam Upacara Rambu Solo�di Toraja Utara. Google Scholar
Tallulembang, B. (2012). Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja. Yogyakarta: Gunung Sopai Yogyakarta. Google Scholar
Tumirin, T., & Abdurahim, A. (2015). Makna biaya dalam upacara Rambu Solo. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 175�184. Google Scholar
Copyright holder: Sammuel Moris, Abdul Rahman (2022) |
First publication right: |
This article is licensed under:
|