Jurnal Syntax Admiration

Vol. 3, �No. 1 Januari 2022

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

PERAN LITERASI DIGITAL KELUARGA DALAM UPAYA MENGURANGI KECANDUAN GAWAI PADA ANAK

 

Dimas Prasetya

IAIN Pekalongan, Indonesia

Email: [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

25 Desember 2021

Direvisi

05 Januari 2022

Disetujui

15 Januari 2022

Kemajuan teknologi menyisakan persoalan bagi anak-anak sebagai dampak dari terpaparnya pengaruh gawai dan internet. Gawai dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang berseberangan. Jika gawai gunakan secara bijak dapat membawa manfaat, sebaliknya jika gawai digunakan secara berlebihan dan tanpa ada batas maka dapat dapat menimbulkan berbagai efek negatif. Dalam penggunaan gawai yang terlampau intens akan mendekatkan anak kepada kecanduan gawai yang mana hal ini dapat menyebabkan efek samping seperti gangguan baik yang bersifat psikologis maupun kesehatan. Menggunakan metode studi pustaka, paper ini berangkat dari argumentasi bahwa literasi digital keluarga memiliki peran yang penting dalam upaya mengurangi dampak buruk dari kecanduan gawai pada anak. Peran literasi digital keluarga dapat dielaborasi dari dua model pendekatan yakni model Uses and Gratification dan model protectionist. Pada model Uses and Gratification orang tua didorong untuk memiliki pemahaman mendasar tentang media termasuk keterampilan dalam memilih media hingga pada akhirnya keterampilan ini dapat ditularkan pada anak. Model protectionist melalui upaya pengaturan penggunaan media (diet media) dan pelibatan anak bersama orang tua melalui kegiatan-kegiatan bermain dan belajar.

 

ABSTRACT�������������������������

Technological advances creates challenges for children as a result of exposure to the influence of gadgets and the internet. Gadgets represent two opposite sides of a coin. If the device is used wisely, it can bring benefits, on the other hand, if the device is used excessively and without limits, it can cause various negative effects. Intense use of gadgets may trigger some sort of addiction, which can cause side effects such as psychological and health disorders. Using the literature study method, this paper� identifies that family digital literacy has an important role in� reducing the adverse effects of gadget addiction on children. The role of family digital literacy can be elaborated from two approach models, namely the Uses and Gratification model and the protectionist model. In the Uses and Gratification model, parents are encouraged to have a basic understanding of media, including skills in choosing media so that in the end these skills can be passed on to children. The protectionist model is portrayed through the efforts to regulate the use of media (media diet) and involve children with their parents through playing and learning activities.

Kata Kunci: literasi digital; literasi media; kecanduan gawai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords: digital literacy; media literacy; gadget addiction



 

Pendahuluan

Pada Januari tahun 2018 di Bondowoso Jawa Timur ditemukan kasus dua pelajar yang mengalami kecanduan akut terhadap penggunaan laptop dan gawai. Tingkat kecanduan tersebut sampai pada level akut sehingga membuat kedua siswa mengalami guncangan jiwa. Kedua siswa itu merupakan pelajar Sekolah Menengah Pertama dan satunya pelajar Sekolah Menengah Akhir. Pada akhirnya kedua siswa ini dirujuk dokter spesialis jiwa RSUD Koesnadi, Dewi Prisca Sembiring dalam wawancaranya mengungkapkan bahwa tingkat kecanduan anak tersebut telah sampai kepada tingkat yang akut. Bahkan salah satu siswa ditemukan membentuk-benturkan kepalanya ke tembok saat ingin sekali mengakses gawai, namun tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya (Republika, 2018).

Merespon terhadap berita dua anak yang mengalami keguncangan jiwa akibat kecanduan gawai, terhitung delapan hari setelah kasus tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bergerak cepat dengan membuka layanan konsultasi untuk anak kecanduan gawai (Kompas, 2018). Hasilnya, setelah dua hari layanan konsultasi dibuka sedikitnya KPAI menerima 10 laporan anak kecanduan gawai. Secara umum, laporan tersebut menyampaikan kondisi orang tua yang kesulitan menghentikan anaknya bermain gawai. Beberapa melaporkan kondisi anak yang menawar untuk diberikan waktu tambahan bermain gawai padahal sebelumnya anak telah berkomitmen kepada orang tuanya. Beberapa kasus lainnya ditemukan lebih parah, ditemukan anak-anak yang marah ketika gawainya diambil. Kesepuluh laporan tersebut berasal dari Jabodetabek dan Jawa Timur. Setelah mendapatkan laporan-laporan tersebut KPAI mengkaji tingkat kecanduan anak terhadap gawai, pada tahap yang masih rendah KPAI memberikan konsultasi kepada orang tua si anak. Namun, pada taraf yang telah akut, KPAI memberikan rekomendasi atau menyalurkannya ke rumah sakit yang telah bekerjasama dengan KPAI.

Pada tahun 2018 terdapat satu penelitian di Korea Selatan mengenai dampak gawai terhadap remaja, dari 1824 responden remaja sebanyak 563 (30,9%) diklasifikasikan sebagai kelompok risiko untuk kecanduan gawai dan 1261 (69,1%) diidentifikasi sebagai kelompok pengguna normal (Seong-Soo Cha dan Bo-Kyung Seo, 2018). Dua kelompok remaja tersebut menggunakan gawai untuk mengakses internet, bermain game dan menggunakan layanan media sosial. Temuan lainnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam hal masalah kesehatan fisik dan psikologis yang disebabkan oleh penggunaan gawai, tetapi kecenderungan yang muncul diamati dengan mengacu pada masalah kesehatan psikologis. Masalah fisik yang paling umum adalah gangguan tidur (31,7%) dan mata kering dan penurunan ketajaman visual (30,2%). Masalah kesehatan psikologis yang berupa kemarahan (31,1%) pada kelompok risiko untuk kecanduan gawai, dan gangguan (30,5%) pada kelompok pengguna normal. Berikuknya ditemukan fakta kelompok risiko menunjukkan lebih banyak depresi dan kelesuan daripada kelompok pengguna normal.

Selain itu ditemukan 83% anak-anak di Amerika Serikat yang tidak memiliki teman secara sosial menggunakan gawai dan mengakses internet untuk mencari dan mempertahankan teman-teman secara daring. Anak-anak saat dapat dengan mudah membagikan konten di web cam, ponsel, email, pesan instan, ruang obrolan, blog, papan diskusi, halaman web, situs unduh atau unggah, Facebook, Myspace, dan Twitter. Hal ini juga diakibatkan anggota keluarga semakin sibuk dan mengadopsi gaya hidup yang mudah dan cepat. Akibatnya waktu berkualitas untuk keluarga sulit didapat dan banyak kegiatan dihabiskan di depan layar dan di sekitar media digital lainnya, seperti TV (Hamilton-Ekeke & Rugai, 2016).

Kejadian dan laporan mengenai kasus anak kecanduan gawai telah berlaku secara global. Dari kasus di atas menunjukkan bahwa semakin tahun anak-anak semakin mudah terpapar oleh gawai dan media digital lainnya. Dalam perkembangan lebih lanjut kecanduan gawai dapat mengakibatkan dampak-dampak negatif anak-anak. Kecanduan gawai dapat dimaknai bahwa anak-anak semakin mudah mengakses gawai, dan penggunaan gawai berlangsung dengan jangka waktu yang lama sehingga anak semakin terikat dengan gawai tersebut.

Berdasarkan pendapat Hurlock terdapat tiga kondisi utama yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak usia dini terkait sosial dan emosional yakni, kondisi fisik, kondisi psikologis, dan kondisi lingkungan (Triani et al., 2014). Kondisi fisik berkaitan dengan motorik anak, kondisi psikologis berkaitan dengan mental dan intelegensi anak dan kondisi lingkungan berkenaan dengan tempat dimana anak tumbuh dan berkembang. Apa yang disampaikan Hurlock diatas menegaskan bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Ketika anak tumbuh kembang di lingkungan yang melek teknologi, maka anak menjadi terbiasa berinteraksi dengan gawai. Bagaimana anak berinteraksi dengan teknologi dan konten yang diakses memiliki pengaruh dengan tumbuh kembang anak.

Anak-anak� memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi jika dibanding anak di usia lainnya. Pada masa tersebut anak sedang berada dalam masa awal tumbuh kembangnya. Anak-anak sangat mudah terpengaruh dengan keadaan atau suatu kondisi di lingkungan sekitarnya. Teknologi dan gawai menjadi salah satu tantangan bagaimana menjembatani kedua hal itu terhadap anak-anak, mengingat bahwa teknologi kini telah bergerak cepat melingkup segala aspek kehidupan manusia. Munculnya era digital semakin memudahkan setiap orang mengakses berbagai informasi, termasuk anak-anaknya karena itu orang tua harus dituntut lebih pintar dan terus belajar (Jatnika, 2017). Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan dan pemahaman yang komprehensif mengenai teknologi dan media guna memfilterisasi dan menghalau segala dampak buruknya yaitu melalui pendidikan literasi media. Persoalan mendasarnya bahwa anak-anak belum memiliki kemampuan dan pemahaman mendasar mengenai apa itu teknologi dan media.

Kondisi anak-anak di zaman sekarang telah jauh berbeda dengan kondisi anak-anak di zaman dahulu. Anak-anak pada zaman dahulu belum terpapar oleh media seperti kondisi anak-anak di zaman sekarang. Kini, Anak-anak laki digambarkan bermain game di komputer, seorang perempuan remaja membuka website tentang band favoritnya sedangkan di taman bermain anak-anak yang lebih kecil sedang berdiskusi mengenai episode terakhir penampilan opera. Hal yang paling menyedihkan dari kondisi itu kenyataan bahwa tadinya orang tua bermaksud memberikan komputer untuk mendukung pendidikan anaknya namun mereka tidak benar-benar tahu bagaimana cara menggunakannya (Turkle, 2011).

Kondisi di atas sangat sesuai dengan kondisi kekinian bukan saja perangkat komputer kini anak-anak terpapar oleh gawai yang salah satunya diberikan akses oleh orang tuanya. Sebuah penelitian yang diadakan oleh Samsung Kidstime dan The Asian Parent mengenai mobile device usage among young kids: a southest Asia Study (2014), dari total 2500 responden yang tersebar di Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Filipina terdapat beberapa temuan. Temuan pertama, 98% responden memperbolehkan anaknya mengakses smartphone, dari jumlah tersebut 67% anak-anak mengakses gawai milik orang tuanya, 18% anak-anak mengakses melalui gawai milik anggota keluarga lainnya, sedangkan 14% anak-anak mengakses gawai melalui miliknya sendiri. Temuan kedua, pada umumnya orang tua mengizinkan anak mengakses gawai untuk tujuan pendidikan, namun anak menggunakannya dengan tujuan utama sebagai hiburan. Pada setiap penggunaannya anak-anak lebih dari satu jam setiap kali akses gawai. Temuan ketiga ditemukan tempat anak-anak biasa memainkan gawai 99% di rumah, 71% saat bepergian dan 70% rumah makan. Kondisi di atas menegaskan bagaimana anak-anak telah begitu akrab dengan dunia gawai dan teknologi.

Terdapat suatu penelitian yang mengungkapkan hubungan bagaimana anak yang memiliki intensitas tinggi terhadap teknologi. Temuan pertama adalah Anak-anak sekarang mengandalkan teknologi untuk sebagian besar permainan mereka, sangat membatasi tantangan untuk kreativitas dan imajinasi mereka, serta membatasi tantangan yang diperlukan untuk tubuh mereka untuk mencapai perkembangan sensorik dan motorik yang optimal. Temuan kedua yakni Tubuh yang diam-diam dibombardir dengan stimulasi sensorik yang kacau mengakibatkan penundaan dalam pencapaian perkembangan anak, dengan dampak negatif berikutnya pada keterampilan dasar fondasi untuk mencapai keaksaraan. Temuan ketiga adalah penggunaan teknologi yang tinggi terhadap anak menimbulkan gangguan koordinasi, keterlambatan perkembangan, kemampuan bicara yang tidak jelas, kesulitan belajar, gangguan pemrosesan sensorik, kecemasan, depresi, dan gangguan tidur berhubungan dengan penggunaan teknologi yang berlebihan, dan meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan (Rowan, 2014).

Kecanduan gawai dianggap sebagai ketidakmampuan untuk mengontrol penggunaan gawai meski pemakainya menyadari terdapat efek negatif. Penggunaan gawai tidak hanya menghasilkan kesenangan dan mengurangi perasaan sakit dan stres tetapi juga menyebabkan kegagalan untuk mengontrol tingkat penggunaan meskipun ada konsekuensi berbahaya yang signifikan dalam aspek finansial, fisik, psikologis, dan sosial dalam kehidupan (Shaffer, 1986); Van Deursen et al., 2015; Young, 1999). Kecanduan gawai bisa saja mengenai siapapun bukan saja orang dewasa namun juga anak-anak yang merupakan kelompok rentan. Orang dewasa umumnya mengetahui akibat negatif dari kecanduan gawai yang berlebihan, namun tidak dengan anak-anak yang belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara matang. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak yang menggunakan gawai menunjukkan lebih banyak masalah perilaku seperti gugup, temperamen, gangguan mental, dan kelambanan, dan masalah ini memburuk jika anak-anak mulai menggunakan ponsel pada usia dini (Divan et al., 2012).

Sebab-sebab inilah yang menjelaskan bagaimana akibat kecanduan yang berlebihan terhadap gawai dua anak mengalami gangguan jiwa di Bondowoso. Gawai yang menawarkan berbagai fitur yang menarik dan menghibur sangat mudah sekali membawa anak-anak untuk larut memainkannya. Sesuai penuturan seorang developer game Muhammad Fahmi mengungkapkan bahwa game online yang terintegrasi baik di perangkat komputer maupun gawai memang didesain untuk menimbulkan candu bagi pemainnya (Metrotvnews.com, 2018). Fahmi melanjutkan bahwa salah satu kemampuan yang harus dimiliki bagi seorang game desainer adalah psikologi yang mana kemampuan ini digunakan untuk menanamkan bagaimana caranya supaya pemain game dapat terkena adiksi ringan.

Saat mendiskusikan mengenai anak-anak maka tidak terlepas dari tanggung jawab orang tua. Interaksi anak terhadap teknologi dan gadget juga tidak lepas dari pengawasan orang tua. Dalam konteks ini perlu pemahaman yang mendalam mengenai mengapa gawai dan teknologi tidak selalu memberikan hal yang menyenangkan bagi penggunanya. Penggunaan gawai dalam intensitas tinggi memicu terjadinya adiksi media digital dan berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan fisik dan psikologis.

Semua anggota keluarga utamanya orang tua perlu kemampuan dan pemahaman terkait kegunaan dari berbagai aplikasi media digital termasuk berbagai pengaruh yang ditimbulkannya apakah itu positif dan negatif. Kemampuan ini dapat dimaknai sebagai kemampuan literasi digital yaitu kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Jadi bukan hanya mencakup kemampuan membaca, namun dibutuhkan pula suatu proses berpikir secara kritis untuk melakukan evaluasi terhadap informasi yang ditemukan melalui media digital (Gilster, 1997).

Saat berbicara mengenai kecanduan gawai terhadap anak maka kemampuan literasi digital ini sangat diperlukan. Salah satu aspek dari literasi digital adalah kemampuan mengolah informasi dan berpikir secara kritis terhadap informasi dari media digital. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan anak-anak yang secara psikologis dan usia belum dapat memiliki kompetensi tersebut, maka jawabannya adalah orang tua yang memiliki peran untuk mengajarkan dan membimbing anak. Literasi digital yang diimplementasikan melalui penguatan peran keluarga dapat disebut sebagai literasi digital keluarga. Karena itu tujuan dalam artikel ini adalah mengelaborasi bagaimana peran literasi digital keluarga dalam pencegahan dampak buruk kecanduan gawai pada anak.

 

Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan metode library reseacrh atau yang dikenal dengan studi literatur atau studi pustaka. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah dengan cara mengambil dan memilah dari berbagai sumber literatur seperti jurnal ilmiah, buku, petikan wawancara dan lain-lainnya yang masih terkait dengan bahasan literasi digital keluarga (Danial & Wasriah, 2009). Sedangkan untuk analisis datanya menggunakan teknik analisis isi (content analysis) dari sumber-sumber literatur yang. ditemukan oleh penulis. Pemilihan metodi studi pustaka oleh penulis dimaksudkan guna mentautkan berbagai temuan-temuan yang ada dari penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya dan diharapkan kemudian mendapatkan sesuatu yang baru dalam penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Literasi digital adalah kesadaran, sikap, dan kemampuan individu untuk menggunakan digital secara tepat alat dan fasilitas untuk� mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis, dan menyintesis sumber daya digital, membangun pengetahuan baru, membuat ekspresi media, dan berkomunikasi dengan yang lain, dalam konteks situasi kehidupan tertentu, untuk memungkinkan tindakan sosial yang konstruktif; dan merenungkan proses ini (Martin, 2006). Salah satu hal penting dalam pengertian dari Martin di atas adalah literasi digital pada akhirnya adalah memungkinkan diadakannya tindakan sosial yang konstruktif sebegai bentuk respon dan kritis terhadap media digital. Sampai pada tahap ini literasi digital keluarga memegang peranan penting karena melalui keluarga bentuk-bentuk respon atau tindakan sosial kultural terhadap media digital dapat dilakukan.

Salah satu tindakan sosial konstruktif sebagai bentuk literasi digital keluarga adalah kemampuan mengontrol dan mengarahkan anak dalam mengakses gawai atau media digital. Salah satu bentuk cara mengontrol tersebut adalah dengan memberlakukan diet media. Diet media dapat dimaknai sebagai cara mengurangi paparan gawai terhadap anak melalui bentuk aktivitas-aktivitas lain seperti bermain dan belajar tanpa menggunakan media digital. Dengan semakin kurang anak menggunakan gawai maka diharapkan pula dampak kecanduan anak akan semakin berkurang. Begitu pula dengan melakukan berbagai aktivitas fisik seperti aktivitas bermain dan belajar anak-anak lebih produktif dan banyak bergerak dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Maka dari itu argumentasi dari paper ini adalah metode bermain dan belajar dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi adiksi anak terhadap gawai.

Berbicara kecanduan anak dan orang tua tidak bisa lepas dari peran orang tua dan anggota keluarga lainnya. Faktanya anak-anak dapat mengakses gawai karena memperoleh izin dari orang tuanya. Melalui pembahasan ini yang kemudian menjadi penting arti literasi media bagi pendidikan media bagi orang tua dan anak. Apakah literasi media hanya diperuntukkan orang tua saja atau bagaimana metode pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.

Secara sederhana literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi hingga kemampuan menyampaikan pesan melalui berbagai medium (Sonia Livingstone, 2006). Literasi media menjelaskan bagaimana seharusnya setiap manusia bersikap dalam memahami perkembangan dan konten yang ditampilkan oleh media. Terdapat ada tiga aspek yang harus dibangun dalam literasi media. Aspek-aspek tersebut adalah pandangan personal, struktur pengetahuan, dan kemampuan individu (Potter, 2015).

Pandangan personal yang dimaksud di sini bahwa sasaran hidup dan dorongan internal individu untuk menentukan media mana yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Setelah mengetahui sasaran hidup tiap individu, maka secara otomatis akan terdorong untuk mengontrol dan menyeleksi informasi yang masuk. Selain itu, setiap individu harus memiliki struktur pengetahuan untuk literasi media; meliputi efek media, isi media, industri media, dunia nyata dan diri sendiri. Struktur pengetahuan tersebut menjadi bekal bagi tiap individu yang digunakan untuk memilah dan memilih media informasi. Hal penting lain adalah kemampuan individu yang meliputi kemampuan analisis, evaluasi, mengelompokkan, menyimpulkan, generalisasi, sintesis dan deskripsi. Jika memiliki ketiga kemampuan itu maka efek negatif media dapat diminimalisir. Proses ini sebaiknya harus dimulai sejak dini di dalam keluarga (Zamroni, et al, 2012).

Sedangkan literasi keluarga memiliki pengertian sebagai segala kegiatan literasi yang melibatkan semua unsur dalam keluarga baik orang tua, anak, anggota keluarga lainnya yang semua tergabung di dalam rumah dan memiliki interaksi disetiap harinya (Nutbrown & Hannon, 2003). Literasi keluarga memiliki penekanan adanya kontribusi dan keterlibatan masing-masing anggota keluarga dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan sebagai pendidikan literasi. Dalam kasus adiksi anak terhadap media digital, literasi keluarga memiliki peran yang siginifikan di mana orang tua adalah pendamping utama anak yang mendampingi perkembangan anak baik dari perkembangan usia maupun mental anak. Maka dari itu diperlukan model literasi keluarga yang ideal guna menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di era digital saat ini.

Berpijak pada model yang dikembangkan oleh Rumah Sinema pada tahun 2012, terdapat empat model yang dikembangkan dalam literasi media yang dapat diterapkan dalam literasi digital keluarga yakni pertama adalah Model Protectionist, model ini mendorong khalayak agar memilih tontonan yang baik dan sebaliknya menghindari tontonan yang buruk. Diantara bentuk kegiatannya adalah pengaturan jadwal menonton, diet media dan sejenisnya. Kedua, adalah model Uses dan Gratification. Pada model ini khalayak dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memilah konten media. Bentuk kegiatannya adalah mempelajari kerja media. Dengan demikian khalayak mampu membuat keputusan sendiri dalam memilih media. Ketiga, adalah model Cultural Studies. Model ini mengajak khalayak untuk menganalisis dan mengkrisitisi media. Bentuk kegiatannya dapat berupa Kampanye Hari Tanpa TV, Advokasi UU Penyiaran, Boikot Media, dan lain-lain. Keempat, adalah model Active Audience. Model ini melatih khalayak agar mampu menginterpretasi konten media berdasarkan latar belakang masing-masing. Baik secara sosial maupun kultural. Bentuk kegiatannya sampai kepada memproduksi media sesuai dengan aspirasinya (KPI.go.id, 2012).

Berkenaan dengan kemampuan orang tua dalam mengurangi ketergantungan anak terhadap penggunaan gawai. Walau pendekatan model di atas digunakan dalam mengakses media massa, dalam praktiknya model di atas juga sangat mungkin diterapkan dengan media lainnya termasuk media baru. Dari keempat model yang dikembangkan oleh Rumah Sinema, dua model awal yang disebut merupakan model yang cocok dan dapat diterapkan penggunaannnya kepada lingkungan keluarga. Model protectionist, mendorong agar khalayak dalam hal ini anak-anak dapat memilih tontonan atau konten media yang baik saat menggunakan gawai. Dua kegiatan utama dari model ini adalah pengaturan jadwal mengakses media dan diet media. Model kedua Uses dan Gratification sangat penting bagi orang tua agar dapat memiliki pengetahuan dan pemahamanan bagaimana agar dapat memilah dan memilih konten media yang baik sekaligus paham bagaimana media bekerja. Karena dalam model ini, anak-anak cenderung memiliki kemampuan ini.

Berdasarkan model literasi media Uses and Gratification terdapat penekanan bahwa khalayak memiliki kemampuan dalam memilah dan memilih konten media yang ditampilkan. Penguatan budaya literasi di keluarga bertujuan meningkatkan kemampuan anggota keluarga dalam menggunakan dan mengelola media digital secara bijak, cerdas, cermat, dan tepat untuk membina komunikasi dan interaksi antaranggota keluarga dengan lebih harmonis serta untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan keluarga (Kemendikbud, 2017). Untuk itu orang tua perlu memiliki kesadaran dan pemahaman mendasar tentang media dalam hal ini bagaimana media bekerja dan efek apa saja yang bisa dihasilkan olehnya. Maka kesadaran yang perlu dibangun pertama kali adalah kesadaran literasi orang tua. Karena pada konteks anak dan remaja, orang tualah yang memiliki kewenangan terhadap bentuk aktivitas anak termasuk kaitannya penggunaan media digital.

Ketika orang tua telah memiliki pemahaman dan kemampuan yang memadai mengenai konten media yang bisa diakses anak, langkah selanjutnya adalah orang tua berusaha memberikan pemahaman yang sama terhadap anak. Sebagai contoh sebelum mengenalkan gawai atau tablet kepada anak, orang tua perlu membekali diri dengan informasi dampak buruk gawai terhadap anak dan kemampuan untuk memilihkan konten yang aman dikonsumsi anak (Hening, 2017). Karena pada praktiknya orang tua tidak selalu dapat mendampingi anak baik karena kesibukan kerja atau aktivitas lainnya. Orang tua bisa menerapkan peraturan yang disepakati bersama dengan anak-anak, misal terdapat perjanjian anak-anak tidak boleh menonton film laga untuk dewasa dan dapat mengakses youtube dengan pendampingan orang tua. Ketika orang tua tidak ada di sisi anak, maka anak tersebut juga tidak akan menonton atau mengakses Youtube sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama orang tua.

Selain itu model uses and gratification berangkat bahwa hal penting yang perlu diubah adalah persepsi anak terhadap gawai. Saat ini manusia termasuk anak-anak muda tidak mampu menghindari dan menolak kehadiran media. Salah satu cara untuk berliterasi media terhadap gawai adalah dengan memberikan porsi yang tidak berlebihan kepada anak dalam menggunakan gawai dan peruntukan penggunaan gawai tersebut adalah sebagai media pembelajaran. Ada partisipasi secara kritis yang melibatkan anak-anak dalam penggunaan gawai (Hoechsmann & Poyntz, 2012). Gawai bukanlah sesuatu yang terlarang dan tidak boleh diakses, namun sebaliknya gawai dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Media pembelajaran di sini adalah bagaimana anak-anak dalam mengakses gawainya digunakan untuk sarana pembelajaran bukan untuk permainan saja. Kini, telah banyak ditemukan berbagai situs yang mengajarkan anak agar dapat bermain sambil belajar melalui berbagai media pembelajaran yang ada.

Pada model protectionist salah satu keberhasilan untuk mengurangi intensitas penggunaan gawai terhadap anak adalah dengan membatasi penggunaan gawai. Pembatasan penggunaan gawai ini biasanya disebut sebagai strategi diet media. Diet media dimaknai pengaturan jadwal mengakses gawai. Salah satu langkahnya adalah orang tua perlu membangun komitmen terhadap anak. Karena itu dalam tahap ini sebaiknya dibangun semacam perjanjian atau komitmen bersama orang tua dan anak. Misalnya dalam waktu sehari berapa kali atau berapa lama waktu anak boleh menggunakan gawai. Pada kasus anak kecanduan gawai, orang tua perlu mengambil peran yang signifikan untuk mengakhiri permasalahan kecanduan anak dengan membangun kesadaran, perasaan dan pikiran positif kepada anak (AlBarashdi & Jabur, 2016). Kunci keberhasilan melalui teknik ini adalah orang tua selalu mendampingi dan memantau dengan sadar juga berdisiplin terhadap komitmen yang telah dibangun dengan anak.

Strategi Diet media lainnya juga dapat menjadi cara menghindari kecanduan anak terhadap teknologi adalah dengan cara mengajak anak melakukan berbagai aktivitas baik aktivitas fisik seperti bermain dan belajar. Aktivitas bermain belajar diantaranya adalah aktivitas membaca, menggambar, mewarnai hingga bercerita. Aktivitas fisik bisa meliputi berbagai permainan antara anak dan orang tua yang bisa dilakukan di dalam atau di luar rumah. Melalui pelibatan anak dalam kegiatan-kegiatan anak-anak akan belajar mengurangi ketergantungannya terhadap teknologi. Maria Conroy dalam (Jatnika, 2017) menyerukan sedapat mungkin orang tua melarang atau sekurang-kurangnya membatasi anak menonton televisi dan bermain komputer yang difungsikan sebagai video game karena keduanya membuat anak menjadi pasif.

Aktivitas bermain dan belajar adalah merupakan salah satu penerapan strategi diet media dalam konteks literasi digital keluarga. Dengan harapan dengan berbagai aktivitas baik fisik maupun non fisik yang dilakukan anak akan menghindarkan anak untuk mengakses media digital. Semakin variatif dan unik jenis permainan maka semakin terdorong pula anak untuk memainkan permainan tersebut. Inti dari bermain adalah mendorong sebesar-besarnya keterlibatan anak dalam permainan dengan mengedepankan keaktifan dengan tujuan memberi kesenangan pada anak sekaligus menghasilkan proses belajar pada anak (Mutiah, 2010).

Bermain sebagai kegiatan yang menyenangkan, anak-anak yang bermain bertujuan memenuhi hasrat menyenangkan dan memuaskan dirinya sendiri. Jika bermain dilakukan secara komunal maka menyenangkan ini akan berlaku secara massif. Di dalam bermain anak-anak tidak akan berpikir tentang hasil akhir namun lebih kepada menikmati setiap proses bermain. Bersifat aktif karena anak-anak terlibat dalam permainan dan dapat membawa efek positif seperti anak tersenyum, badan bergerak dan anak menikmati setiap permainan (Smith & Pellegrini, 2008).

Berkenaan dengan konteks mengurangi ketergantungan anak terhadap paparan gadget sudah sewajarnya permainan yang dipilihkan oleh orang tua terhadap anak adalah permainan yang bersifat aktif dan menerapkan keterlibatan anak. Sebisa mungkin permainan ini mengurangi keterlibatan gawai sehingga anak benar-benar fokus terhadap permainan yang dimainkannya. Hendaknya permainan merupakan sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai intrinsik untuk anak. Kemudian permainan bersifat spontan dan sukarela, tidak ada unsur memaksa sehingga anak bebas menentukan untuk bermain. Hal yang terpenting pula bahwa dengan aktivitas bermain memiliki nilai-nilai seperti kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa, dan interaksi sosial. Hal-hal tersebut dapat dilakukan jika anak dilibatkan secara aktif dalam permainan (Mulyadi, 2004).

Hal yang paling penting dari proses bermain dan belajar adalah kehadiran orang tua dalam proses tersebut. Pendampingan orang tua, bukan saja untuk memastikan bahwa apa yang dipelajari dan dimainkan anak-anak adalah aman dan bermanfaat namun juga kepada sebagai bentuk ikatan orang tua dan anak. Hal ini menjadi penting bahwa salah satu hal yang mengakibatkan kecanduan gawai bagi anak-anak adalah anak-anak lebih sering berinteraksi dengan gawai dibanding interaksi dengan anggota keluarga lainnya. Faktor yang paling signifikan untuk mengurangi kecanduan internet adalah hubungan antara orang tua dan anak-anak mereka, semakin intens hubungan yang dibangun semakin tinggi kepercayaan anak terhadap orang tua (J Kuss et al., 2014).

 

Kesimpulan��������������������������������������������������������������

Orang tua sebagai aktor penting dalam literasi digital keluarga perlu memiliki tiga aspek literasi media yakni pandangan personal, struktur pengetahuan, dan kemampuan individu (Potter, 2015). Saat orang tua telah membekali dirinya dengan pandangan dan pengetahuan yang mumpuni secara otomatis orang tua tersebut juga akan memiliki kemampuan untuk menyeleksi, memilih dan memilah konten informasi yang ada. Berikutnya orang tua memiliki kontribusi untuk mendorong keterlibatan masing-masing anggota keluarga yang ada dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan sebagai pendidikan literasi media.

Anak-anak terutama pada usia 12 tahun memerlukan pendampingan dan bimbingan yang intens dari orang tua dalam penggunaan gawai atau internet. Hal ini dikarenakan anak pada usia tersebut belum memiliki kemampuan teknis tentang penggunaan internet termasuk pengetahuan dasar penggunaan internet. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah anak belum memiliki kecakapan emosi dalam mengakses berbagai informasi dan aplikasi yang ada pada gawai. Pendampingan orang tua terhadap penggunaan gawai anak merupakan bukti nyata peran literasi digital dalam keluarga (Kurnia et al., 2019).

Peran literasi digital keluarga dalam pencegahan dampak buruk kecanduan gawai pada anak dapat melalui dua model. Model tersebut yaitu pertama model Uses and Gratification, orang tua perlu memiliki kesadaran dan pemahaman mendasar untuk memilah dan memilih konten media serta dalam hal ini bagaimana media bekerja dan efek apa saja yang bisa dihasilkan olehnya. Setelah orang tua memiliki pemahaman dasar mengenai media dan konten-konten yang mengisinya. Orang tua perlu memberikan informasi-informasi berupa hal baik maupun buruk dari penggunaan gawai kepada anak dan orang tua ikut memilih konten yang aman untuk diaksesoleh anak.

Kedua, model protectionist, orang tua mengatur intensitas penggunaan gawai anak atau istilahnya adalah diet media. Diet media dapat diterjemahkan orang tua mengatur jadwal penggunaan gawai pada anak. Selain itu orang tua dapat mendorong aktivitas-aktivitas lain dengan maksud anak dapat aktif berkegiatan selain dengan gawai. Di antara aktivitas itu adalah aktivitas yang melibatkan langsung orang tua dan anak sekaligus melalui kegiatan-kegiatan bermain dan belajar yang mendorong kreativitas dan interaksi sosial.

Diharapkan paper ini dapat menjadi salah satu referensi mengenai literasi digital keluarga berbasis pendidikan di Indonesia mengingat referensi serupa belum tersedia secara memadai. Metode bermain dan belajar merupakan metode yang digunakan berdasarkan pendekatan psikologi. Perpaduan antara pendekatan psikologi dengan perspektif literasi digital semoga dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat diterapkan dengan baik oleh siapapun yang memiliki konsen terhadap literasi digital keluarga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

AlBarashdi, H., & Jabur, N. H. (2016). Smartphone addiction reasons and solutions from the perspective of sultan qaboos university undergraduates: a qualitative study. International Journal of Psychology and Behavior Analysis, 2(113). Google Scholar

 

Danial, E., & Wasriah, N. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Laboraturium Pendidikan Kewarganegaraan. Google Scholar

 

Divan, H. A., Kheifets, L., Obel, C., & Olsen, J. (2012). Cell phone use and behavioural problems in young children. J Epidemiol Community Health, 66(6), 524�529. Google Scholar

 

Gilster, P. (1997). Digital Literacy. New York: Wiley&Sons. Inc. Google Scholar

 

Hamilton-Ekeke, J.-T., & Rugai, J. (2016). A review of digital addiction: A call for safety education. Journal of Education and E-Learning Research, 3(1), 17�22. Google Scholar

 

Hening, R. (2017). Happy Little Soul: Belajar Memahami Anak dengan Penuh Cinta. Google Scholar

 

Hoechsmann, M., & Poyntz, S. R. (2012). Media literacies: A critical introduction. John Wiley & Sons. Google Scholar

 

J Kuss, D., D Griffiths, M., Karila, L., & Billieux, J. (2014). Internet addiction: A systematic review of epidemiological research for the last decade. Current Pharmaceutical Design, 20(25), 4026�4052. Google Scholar

 

Jatnika, Y. (2017). Literasi Digital untuk Kemajuan Bangsa. Majalah Pendidikan Keluarga Edisi, 6. Google Scholar

 

Kemendikbud, T. G. L. N. (2017). Materi Pendukung Literasi Digital. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 43. Google Scholar

 

KPI.go.id. (2012). Pendidikan media melalui literasi media. KPI.Go.Id. http://www.kpi.go.id/index.php/id/component/content/article?detail5=1075&id=30964:teguran-tertulis-program-siaran-qripleys-believe-it-or-notq-trans-tv&start=15. Google Scholar

 

Kurnia, N., Wendratama, E., Adiputra, W. M., & Poerwaningtias, I. (2019). Literasi Digital Keluarga: Teori dan Praktik Pendampingan Orangtua terhadap Anak dalam Berinternet. UGM PRESS. Google Scholar

 

Martin, A. (2006). Literacies for Age Digital Age� dalam Martin & D. Digital Literacies for Learning. London: Facet. Google Scholar

 

Mulyadi, S. (2004). Bermain dan kreativitas (Upaya Mengembangkan kreativitas anak melalui Kegiatan Bermain). Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Google Scholar

 

Mutiah, D. (2010). Psikologi bermain anak usia dini. 2010. Prenada Media. Jakarta. Google Scholar

 

Nutbrown, C., & Hannon, P. (2003). Children�s perspectives on family literacy: Methodological issues, findings and implications for practice. Journal of Early Childhood Literacy, 3(2), 115�145. Google Scholar

 

Potter, W. J. (2015). Introduction to media literacy. Sage Publications. Google Scholar

 

Rowan, C. (2014). 10 reasons why handheld devices should be banned for children under the age of 12. Huffington Post, 9. Google Scholar

 

Shaffer, H. J. (1986). Conceptual crises and the addictions: A philosophy of science perspective. Journal of Substance Abuse Treatment, 3(4), 285�296. Google Scholar

 

Smith, P. K., & Pellegrini, A. (2008). Learning through play. Encyclopedia on Early Childhood Development, 24(8), 61. Google Scholar

 

Triani, K., Suarjana, I. M., Tirtayani, L. A., & Psi, S. (2014). Penerapan Metode Pemberian Tugas Berbantuan Media Kotak Angka Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Anak Tk. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Undiksha, 2(1). Google Scholar

 

Turkle, S. (2011). Alone together: Sociable robots, digitized friends, and the reinvention of intimacy and solitude. New York: Basic Books. Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Dimas Prasetya (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: