Jurnal Syntax Admiration |
Vol. 1
No. 3 Juli 2020 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 |
Sosial Teknik |
PENGATURAN TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS MILIK MOTIF SONGKET SUMATERA
BARAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Devina Yuka Utami
Politeknik Imigrasi Kemenkumham
Email:� [email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 22 Juni 2020 Diterima dalam bentuk revisi 09 Juli 2020 Diterima dalam bentuk revisi |
Seiring perkembangan zaman yang begitu pesat tidak dipungkiri kian banyak
para pelaku bisnis khususnya pencipta songket motif baru Sumatera Barat
berlomba-lomba untuk menciptakan kreasi baru terhadap motif-motif songketnya
agar laku dipasaran, baik pada skala nasional maupun skala internasional. Supaya
ciptaannya tersebut dapat dilindungi dan tidak disalahgunakan oleh pihak lain, maka para pencipta perlu untuk mendaftarkan hasil
karyanya tersebut dalam bentuk hak cipta. Sebenarnya perlindungan atas Hak
Cipta itu sendiri sudah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.
Kenyataannya saat ini, banyak dari pencipta songket khususnya songket
Sumatera Barat tidak berminat untuk mendaftarkan Hak Cipta dari songket hasil
karyanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
perngaturan dari hukum nasional dan internasiona dalam Memberikan
Perlindungan Terhadap Hak Cipta Songket di Sumatera Barat serta apa saja
upaya atau kendala yang dihadapi oleh pengrajin songket maupun Pemda Sumatera
Barat sendiri dalam melindungi hak atas motif songket tersebut. Metode
penelitian yang dipakai dalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian normatif yang di topang dengan
sosiologis empiris, dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder pada
beberapa instansi yang berwenang di bidangnya. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa aturan intermasuional yang telah dituangkan dalam beberapa
konvnesi seperti TRIPS dan Konvnesi Bern telah mengatur tentang perlindungan
hak cipta itu sendiri khususnya songket walaupun belum begitu eksplisit.
Bahkan aturan internasional tersebut telah diimplementasikan kedalam
Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Beberapa faktor yang
menjadi kendala dari pengrajin adalah seperti kurangnya pengetahuan pengrajin
tentang hak cipta, sosialisasi yang kutrang tepat, kesadaran dari masyarakat,
serta tata cata pendaftaran yang berelit-belit atau biaya mahal. Kendala dari
Pemda sendiri yaitu kurangnya koordinasi antara pihak-pihak terkait,
kurangnya tenaga ahli dalam bidang HKI, keterbatasan dana serta lemahnya
kepastian hukum. |
Kata kunci: Motif songket; hak cipta dan
kepemilikan |
Pendahuluan
Republik Indonesia adalah salah satu dari sekian negara yang memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari daratan (Sari, Sabilla, & Hertati, 2020). Indonesia sebagai negara maritim, Indonesia juga harus memiliki kedaulatan di depan negara lain sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan dan kepemilikan sumber daya yang dimiliki (Mustamid, 2019). Di lain sisi, adanya rangkaian pulau-pulau indah yang menjadikan Indonesia sebagai republik dengan wisata maritim terbesar di dunia (Simarmata, 2017). Indonesia juga negara yang mempunyai keanekaragaman etnis, budaya serta kekayaan dibidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangan yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terkait Hak Kekayaan Intelektual yang lahir dari keaneka ragaman tersebut. Perkembangan dibidang perdagangan, industri, serta investasi sangat pesat, hingga membutuhkan peningkatan perlindungan untuk pencipta serta pemilik hak tersebut dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas, dan ketentuan itu terampung di dalam UU No 19 Tahun 2002 perihal Hak Cipta (Firmansyah, 2008).
Perlindungan Hak Cipta di Indonesia mulai disuarakan pada dekade 1960- an yang beranjut dengan kajian-kajian pada dekade 1970-an. Indonesia menerbitkan peraturan guna mengatur Hak Cipta ini di tahun 1982 yakni dengan terbitnya Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 1982 Terkait Hak Cipta.
Secara sederhana hukum dibedakan menjadi dua
yaitu hukum positif (Hukum Indonesia) dan hukum agama (dalam hal ini Hukum
Islam) (Mariana,
2018). Di Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahum 1912, yaitu
pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 1.S, hukum yang berlaku
di Negeri Belanda yang juga di berlakukan di Indonesia berdasrakan asas
konkordansi (A. Purba, Saleh,
& Krisnawati, 2005).
Kemunculan undang-undang Hak Cipta ini pun dari hari kehari kian dianggap
penting, sehingga secara terus menerus disempurnakan. Terbentuknya
Undang-undang Nomor. 6 tahun 1982 terkait Hak Cipta ini membuka wawasan serta
kesadaran bangsa guna memberikan perlindungan-perlindingan yang terkait dari
hak cipta, kemudian pada tahun 1987 terbit Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1987 dan Undang-undang Nomor. 12
Tahun 1997 terakhit dengan Undang- undang Nomor. 19
Tahun 2002. Paham negara hukum merupakan obyek studi yang bisa dibilang
selalu aktual (Thaib: 2000). Hanya saja paham terkait rechtsstaat maupun
paham rule of law dalam praktiknya masih dipertanyakan (Gunawan,
2018).
Dalam istilah Hak Cipta terdapat dua kata, yaitu hak
dan cipta. Hak artinya
kewenangan guna melaksanakan
sesuatu atau tidak melaksanakan
sesuatu dan cipta adalah
hasil kreasi manusia yang dihasilkan dari akal, nalar, perasaan, pengalaman serta kreatifitas" (Ulumi, 2010).
Hak Cipta ialah hak eksklusif untuk pencipta maupun penerima hak guna memberi tahu atauun menambah ciptaannya
ataupun memberikan izin guna
mengumumkan atau memperbanyak tanpa
mengurangi batasan-batasan menurut peraturan perundang-undangan yang ada (Firmansyah, 2008).
Dalam sebuah
karya cipta hendaknya melekat
dua hak untuk pencipta atau
pengarang hak tersebut ialah hak ekonomi serta hak moral. Hak ekonomi ialah yang dipunyai
pencipta atau pengarang guna
menikmati benefit ekonomi yang didapat di setiap eksploitasi karya
ciptaaannya. Sedangkan hak moral ialah
hak untuk melindungi integritas karya ciptaannya dari setiap intervensi pihak lain yang bisa menghambat kreativitas pencipta ataupun pengarang.
Prinsip hukum Hak Cipta, ataupun konvensi-konvensi
internasional perihal dengan
hak kekayaan intelektual dominan bermotifkan ekonomi. Tak
heran jika pengusung konvensi
internasional yakni
negara-negara maju yang menciptakan
komoditas yang mempunyai Hak
Cipta misalnya perangkat
lunak komputer, film, inovasi teknologi serta yang lainnya. Dengan
itu negara-negara maju seringkali menekan negara-negara berkembang supaya memberlakukan Hukum Hak
Cipta di negaranya untuk
melindungi komoditas ekspornya" (Ulumi, 2010).
Keadaan ini jauh berbeda dibandingkan
negara berkembang seperti Indonesia. Kebanyakan
masyarakat Indonesia ialah
masyarakat komunal yang sering menyepelekan
Hak Cipta. Masyarakat di Indonesia juga belum mengenal hukum Hak Cipta.
Tidak berlebihan jika dinyatakan hukum Hak Cipta ini tidak
mengakar didalam kebudayaan
Indonesia" (Syamsuddin &
Ghazali, 2001).
Keadaan inilah yang mendasari adanya dilema didalam penegakan hukum Hak Cipta di
Indonesia, walaupun Indonesia merupakan satu diantara negara yang menandatangani persetujuan insternasional berkenaan dengan Hak Cipta seperti
TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) semisalnya. Perjanjian TRIPS sangat
mengikat pemerintah Indonesia guna
melindungi Hak Cipta dari berbagai
macam asal ciptaan serta
penciptanya, namun dalam implemetasinya masyarakat Indonesia belum bisa menghormati Hak Cipta karena
kebiasaan yang berkembang di masyarakat masih komunal. Satu diantara refleksi masyarakat yang kurang begitu respect dengan
Hak Cipta yaitu kecenderungan
masyarakat yang sering mengkonsumsi produk
tiruan, bajakan atau produk-produk
yang tidak orisinil. Masyarakat sebagai konsumen tidak peduli apakah barang
yang mereka beli itu termasuk barang palsu, bajakan, ada Hak Ciptanya atau
tidak, yang terpenting bagi mereka adalah bisa mendapatkan barang-barang dengan
harga yang terjangkau", Mengingat Songket yang juga merupakan hasil karya
pemikiran, seni masyrakat Sumatera Barat yang tergolong kedalam hasil karya cipta
masyarakat Sumatera Barat juga memerlukan perlindngan hak cipta dari tindakan
pembajakan yang dapat merugikan penciptanya.
Sejarah perkembangan tenun di Sumatera Barat (Minangkabau), pada umumnya
tidak akan jauh berbeda dengan daerah lainnya di
Nusantara dan khusunya di Sumatera.
Sejak zaman pra sejarah atau zaman neolitikum bangsa Indonesia telah
mengenal kebudayaan membuat pakaian dan hampir terdapat pada semua suku bangsa.
Orang telah membuat pakaian dari dedaunan, kulit kayu, kulit
hewan dengan bentuk dan teknik yang sangat sederhana. Selaras
dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan manusia maka dikenalah serta
tumbuhan, kapas, sutra yang dipintal hingga menjadi benang dan kemudian ditenun
menjadi kain.
Cara membuat serta peralatan menenun, pemberian warna dan ragam hias
tidaklah sama untuk setiap suku bangsa. Hal ini disebabkan oleh factor sejarah, sistem nilai etnik,
religius dan teknologi dari suatu masyarakat. Warna,
ragam hias dan bentuk pakaian juga memiliki makna tersendiri bagi suatu
masyarkat.
Kepandaian menenun di Sumatera
Barat (Minangkabau) hanya berkembang pada masyarakat yang mendiami pulau
Sumatera yaitu suku Minangkabau sedangkan masyarakat yang mendiami kepulauan
Mentawai (suku Mentawai) tidak mengenal tradisi menenun. Pakaian mereka terbuat
dari kulit kayu serta
dedaunan.
Hampir setiap daerah di
Minangkabau berkembang kepandaian menenun terutama di wilayah Darek seperti di
Batusangkar, Sungayang, Padang Magek, Limo Kaum, Pitalah, Solok, Muaro Labuh,
Silungkang, Koto Gadang, Bukittinggi, Koto Tuo / Balingka, Kubang, koto Nan
Gadang, Lintau, Pandai Sikek dan lain-lain. Tradisi menenun ini dibeberapa
daerah mulai hilang karena tidak ada yang mewarisi, dan yang masih berproduksi
antara lain Silungkang, Pandai Sikek dan beberapa sanggar tenun di daerah
Padang, Payakumbuh dan lain- lain. Menenun pada
umumnya dilakukan oleh kaum perempuan dengan seperangkat alat tenun tradisional
yang digerakkan secara manual.
Songket, merupakan salah satu
produk tenun Minagkabau yang dikenal paling bergengsi dan berkelas tinggi,
bukan saja karena keindahan kilauan benang emasnya dalam ragam motif yang unik
tetapi juga karena fungsi sosialnya sebagai kelengkapan pakaian data. Kata
songket berasal darai kata sungkit dan ungkit, dimana dalam pembuatan ragam
hiasnya dilakukan dengan cara menyungkitkan benang
pakan pada benang lungsi. Dalam perkembangannya kemudian
dikenalteknik ikat sehingga terdapat perpaduan antara teknik songket dengan
teknik ikat, dan menghasilkan songket yang leih variatif.
Hasil tenun songket Minangkabau ada Jenis balapak,
yaitu songket yang sarat dengan hiasan benang makau (emas / perak), dan ada
jenis batapua (tabur) yang hiasannya tidak memenuhi bidang kain. Sedangkan dasar songket ada yang polos, kotak-kotak dan
garis-garis.
Ragam hias atau motif pada sogket disebut juga cukie,
ada yang menggunakan benang makau (emas/ perak), sutra dan katun berwarna.
Suatu keunikan pada kain songket lama Minangkabau yaitu
terdapat perpaduan dua atau tiga jenis benang dalam suatu motif. Teknik pengerjaan motif ini sangat membutuhakn kesabaran,
ketelitian, keuletan dan kerapian dalam bekerja.
Adapun motif songket Minagkabau ini tidak terlepas dari motif ukiran yang bersumber kepada falsafah adat "alam takambang jadi guru". Motif ini tidak hanya sebagai penghias bidang kain tetapi juga syarat dengan nilai-nilai filosofis adat Minangkabau.
Tidak dipungkiri bahwa kerajinan songket Sumatera Barat menjadi komoditi yang diminati pada saat sekarang ini. Pemasaran dari songket ini sendiritelah mencapai skala nasional bahkan skala internasional. Bahkan songket Sumatera Barat juga telah diakui sebagai kain songket/ tenunan yang tebaik nya di dunia, baik dari segi motif maupun bahan-bahannya. Karena alasan tersebutlah pada saat ini banyak pengrajin songket Sumatera Barat berlomba- lomba untuk menciptakan motif/kreasi baru dari songket tersebut. Pokok permasalahan yang timbul saat ini adalah, dimana ciptaan motif baru tersebut banyak yang belum didaftarkan hak ciptanya terkait dengan perlindungan hak cipta seperti yang telah di uraikan diatas.
Imbas positif dari tahap
ini bukan hanya dirasakan oleh masyarakat
Pandaisikek itu sendiri, akan tetapi sudah membantu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Propinsi Sumatera Barat baik disektor perdagangan ataupun sektor wisata. Tetapi
itu saja belumlah cukup apabila tidak ada perlindungan yang kuat terhadap Hak
Cipta Pengrajin Songket dari Pemda Sumatera Barat.
Dalam tulisan ini, penulis mengkaji tentang motif
songket kerasi baru yang di ciptakan oleh para pencipta di daerah Sumatera
Barat tentunya. Berdasarkan dari hasil penelitian
penulis, ternyata masih banyak motif songket Sumatera Barat yang tidak
didaftarkan perlindungan Hak Ciptanya kepada Dirjen HKI. Hal ini
dikarena oleh bebrapa faktor, seperti: kurangnya pengetahuan pengrajin tentang
hak cipta, sosialisasi yang kutrang tepat, kesadaran dari masyarakat, serta
tata cata pendaftaran yang berelit-belit dan biaya yang dikeluarkan untuk
proses pendaftaran yang relatif mahal.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan merupakan penelitian Hukum normatif
/ law in book yakni
penelitian yang dilaksanakan
dengan cara meneliti data sekunder atau penelitian kepustakaan yang disebut
juga penelitian doctrinal (Soejorno Soekanto,
2018). Dari sekian banyak jenis
penelitian hukum normatif, pada penelitian ini penulis menggunakan jenis
inventarisasi hukum dan sinkronisasi hukum. Yang dimaksud
dengan jenis penelitian inventarisasi hukum adalah penelitian dengan tujuan
mengumpulkan semua ketentuan hukum yang berkaitan dengan objek penelitian ini,
baik dalam lingkup Hukum internasional mapun ketentuan hukum dalam lingkup
hukum nasional. Sedangkan yang dimaksud dengan jenis
penelitian singkronisasi Hukum ialah
penelitian yang tujuannya guna mengetahui tingkat singkronisasi ketentuan hukum tersebut baik
secara horizontal maupun secara vertikal. Disamping tipologi penelitian hukum normatif
tersebut, penulis juga menggunakan tipologi penelitian hukum empiris, tipologi
ini dilakukan bertujuan untuk menjamin akurasi atau validitas data dan sebagai
pendukung penelitian hukum normatif.
A. Peranan Hukum Nasional dan Internasional
Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Hak Cipta Songeket di Indonesia
Pengaruh Konvensi Internasional di Indonesia
seperti TRIPs bagi Indonesia telah dapat dirasakan serta tidak dapat diragukan
lagi telah menjadi pendorong utama di balik aktifnya kegiatan pembentukan
undang-undang HKI saat ini serta perkembangan mekanisme
administrasi dan penegakan hukum di bidang HKI (A. Z. U. Purba, 2005). TRIPs telah menetapkan bahwa Negara-negara
berkembang anggota WTO (tidak temasuk Negara-negara terbelakang) diberi waktu
hingga tahun 2000 untuk mnyesuaikan sistem hukum nasional mereka dengan standar
TRIPs dalam hal definisi, administrasi, dan penegakan HKI. Beberapa
kewajiban mulai berlaku lebih awal bagi seluruh Negara peserta, termasuk
negara-negara berkembang. Pasal 3 dan Pasal 4
memerlukan prinsip pengakuan nasional (national
treatment principle) dan prinsip Negara-negara yang diuntungkan dalam hukum
HKI nasional. Berlaku untuk seluruh anggota WTO sejak
1 Januari 1996. Kegiatan
administratif dan legislatif
di bidang HKI yang dilakukan oleh Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh
standar TRIPs tersebut (Damian & Cipta, 2005).
Konvensi Bern terkait
Perlindungan Karya Seni serta Sastra, umumnya
dikenal dengan Konvensi Bern ataupun Konvensi Berne, ialah
persetujuan internasional terkait hak cipta, pertama kali
disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886. Sebelum penerapan
Konvensi Bem, undang-undang hak cipta umumnya berlaku hanya untuk
karya yang diciptakan di dalam negara terkait.
Konvensi Bern mengikuti jejak Konvensi Paris di
tahun 1883, yang melalui cara
serupa sudah menentukan kerangka perlindungan internasional
atas klasifikasi kekayaan intelektual yang
lain, seperti paten, merek, serta
desain industri. Sebagaimana Konvensi Paris, Konvensi Bern membentuk sebuah
badan guna mengurusi tugas administratif. Di tahun 1893, kedua badan ini berkolaborasi menjadi Biro Internasional Bersatu guna Perlindungan Kekayaan Intelektual (dalam
bahasa Perancisnya dikenal dengan, BIRPI), di Bern. Pada tahun 1960,
BIRPI dipindah dari Bern ke Jenewa supaya lebih dekat ke PBB serta
organisasi- organisasi internasional lainnya di kota tersebut, kemudian di
tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO, Organisasi Kekayaan Intelektual Internasional,
yang sejak 1974 adalah organisasi di bawah PBB.
Konvensi Bern direvisi di Paris kisaran tahun
1896 serta di Berlin pada tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914,
direvisi di Roma pada tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm
pada tahun 1967 serta di Paris pada tahun 1971, dan berubah
pada tahun 1979. Pada Januari 2006, terdapat 160 negara
anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap yang berisi seluruh peserta
konvensi ini tersedia, tersusun sesuai nama negara apabila disusun sesuai tanggal pemberlakuannya
di negara masing-masing.
Konvensi
Bern mengharuskan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta
dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut
menandatanganinya (yakni negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern).
seolah-olah mereka merupakan warga negaranya sendiri. Artinya,
misalnya, undang- undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala sesuatu yang
diterbitkan ataupun ditunjukkan
di Prancis, tanpa peduli
dimana benda maupun barang itu pertama kali diciptakan.
Dengan
demikian, hanya mempunyai persetujuan terkait perlakuan yang sama tidak akan
banyak manfaatnya jika undang-undang hak cipta di negara-negara anggotanya
sangat berbeda satu sama lain, dengan hal itu bisa membuat semua perjanjian itu
sia-sia. Hak cipta di bawah Konvensi Bern sifatnya otomatis, tidak memerlukan pendaftaran secara
eksplisit. Konvensi Bern mengatakan bahwa seluruh
karya, terkecuali berupa fotografi serta
sinematografi, akan dilindungi kurang lebih kisaran
50 tahun sesudah si pembuatnya meninggal
dunia, akan tetapi masing-masing negara anggotanya
bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka waktu yang cukup lama.
Negara-negara
yang terimbas revisi perjanjian yang cukup tua bisa memilih guna memilih untuk
memberikan, serta untuk klasifikasi karya tertentu (seperti halnya piringan
rekaman suara serta gambar hidup) bisa diberikan kurun waktu yang cukup
singkat.
Walaupun
Konvensi Bern mengatakan yakni undang-undang hak cipta dari negara yang
melindungi sebuah karya tertentu akan diberlakukan, ayat 7 8 menyatakan bahwa
"terkecuali undang-undang dari negara itu menyatakan hal yang berbeda,
maka masa perlindungan itu tidak akan melampaui masa yang ditetankan di negara
asal dari karya itu", artinya si pengarang biasanya tidak berhak
mendapatkan perlindungan yang lebih lama di luar negeri dari pada di negeri
asalnya, meskipun misalnya undang-undang di luar negeri memberikan perlindungan
yang lebih lama.
Ketentuan mengenai hak cipta dan hak-hak
terkait dengan hak cipta, diatur pada bab II Bagian
Pertama Pasal 9-14 TRIPs. Perlindungan hak cipta dalam TRIPs mengacu pada
ketentuan Konvensi Bern sebagai suatu konvensi yang khusus memberikan
perlindungan bagi karya cipta, seni dan sastra (A. Z. U. Purba, 2005). Dalam konvensi tersebut, karya-karya cipta
yang dilindungi meliputi: karya-karya cipta, seni dan sastra, syarat fikasasi
yang mungkin, karya cipta turunan, naskah-naskah resmi, koleksi-koleksi,
kewajiban untuk melindungi, perlindungan ahli waris, karya-karya cipta seni
terapan dan desain-desain industri, dan berita (Yanto, 2016).
Khusus bagi karya seni
batik (yang dipersamakan pengertiannya dengan seni songket dalam Penjelasan
Pasal 12 UUHC 2002), baik dalam Konvensi Bern maupun TRIPS tidak menyebutkan
secara eksplisit. Namun apabila memperhatikan lebih lanjut ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Konvensi Bern yang mengatur mengenai lingkup karya-karya
cipta, seni dan sastra, maka yang termasuk karya-karya cipta yang dilindungi
antara lain meliputi karya-karya cipta gambar sehingga dapat dikemukakan bahwa
karya seni batik (dipersamakan dengan pengertian songket) pun sebenarnya
mendapat perlindungan melalui hak cipta secara internasional. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pada karya seni batik
(dipersamakan dengan pengertian songket) terkandung nilai seni berupa ciptaan
gambar atau motif dan komposisi warna yang digunakan.
Sekalipun
Konvensi Bern dan TRIPs tidak menyebutkan secara ekspiisit perlindungan
terhadap karya seni batik (dipersamakan dengan pengertian songket) namun tidak
berarti bahwa Negara anggota konvensi tidak memiliki kewenangan untuk
megakomodasi seni batik (dipersamakan dengan pengertian songket) sebagai suatu
karya yang layak diberikan perlindungan melalui hak cipta. Hal ini dikarenakan
setiap Negara mengatur jenis-jenis ciptaan yang dilindungi selain harus
berdasarkan kesesuaian dengan kertentuan-ketentuan internasional yang berlaku
(Konvnesi Bern) juga diberikan kebebasan untuk menentukan ciptaan-ciptaan
tertentu yang lain untuk diberikan perlindungan (Damian & Cipta, 2005).
Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa pemberian perlindungan
terhadap seni songket dalam hukum hak cipta Indonesia bukan merupakan suatu
pelanggaran terhadap ketentuan internasional yang ada, baik dalam Konvnesi Bern
maupun TRIPs Jangka waktu perlindungan yang diberikan TRIPS untuk karya seni
adalah selam hidup pencipta, atau tidak boleh kurang dari 50 tahun terhitung
sejak akhir tahun tahuns pada penerbitannya secara sah dilakukan, atau apabila
penerbitan tersebut tidak dalam jangak 50 tahun sejak karya dibuat maka jangka
waktu tersebut tidak boleh kurang dari 50 tahun terhitung sejak akhir tahun
takwim pada saat karya tersebut dibuat." Aturan
tersebut juga telah di impelmentasikan Negara Indonesia dalam Pasal 29 UUHC
2002. Namun demikian jangka waktu perlindungan terhadap karya cipta
tersebut memiliki pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif yang
diberikan sepanjang tidak bertentangan� dengan pemanfaatan secara wajar atas
karya yang bersangkutan dan tidak mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah
dari pemegang hak."
Hukum pada hakekatnya
dibuat untuk melindungi kepentingan masyaraktnya, agar dapat saling mengisi dan
menghormati. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum memberikan batas
berupa hak dan kewajiban, sehingga kepentingan tiap-tiap masyarakat dapat
dilaksanakan tanpa ada yang merasa dirugikan atau mendapat keuntungan atas
kerugian orang lain. Begitu pula hak yang dimiliki oleh
pencipta yang memiliki hak untuk mengeksploitasi karya intelektualnya, mereka
juga dibebani atas tanggung jawab terhadap masyarakat. Hal ini dianggap sebagai penyeimbang (balance) antara kepentingan
individual dan kepentingan masyarakat.
Pengaturan
Hak Cipta diharapkan dapat memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap
seluruh proses kegiatan penciptaan dan Hak Cipta itu sendiri, sehingga
diharapkan akan terwujud keadilan dan kepastian hukum atas Pemilik, Pencipta
karya dan masyarakat. Dalam pengaturannya hukum Hak
Cipta bnyak mengalami dinamisasi atau perubahan. Faktor
yang mempengaruhi perubahan ini adalah adanya dinamika masyarakat dan politik
hukum. Perubahan masyarakat dari masyarakat jajahan menuju ke masyarakat
berkembang tentu saja membawa pengaruh bagi berlakunya hukum Hak Cipta yang
sesuai dengan perkembnagn masyarakat dan kesesuaian terhadap cita-cita
hukumnya, begitu juga dengan adanya politik hukum yang mengarah pada berlakunya
hukum saat Ini yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Auteurswet
merupakan titik awal perkembangan politik hukum Hak Cipta"
(Damian, 2002), walaupun itu pada dasarnya pengaturan Hak Cipta pada
undang-undang ini serupa dengan undang-undang yang berlaku sekarang, yaitu
Undang-undang No. 19 Tahun 2002, namun peraturan ini hanya berlaku sampai
tanggal 12 april 1982 saat berlakunya Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta (Damian & Cipta, 2005). Perubahan ini merupakan
politik hukum pemerintahan Indonesia dengan merombak sistem hukum Belanda
dengan sistem hukum yang sesuai dengan jiwa, falsafah, dan cita-cita bangsa
Indonesia. Ternyata hal itu tidaklah mudah, Undang-
undang ini kemudian dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987. Perubahan ini didasari oleh alasan semakin meningkatnya pelanggaran
terhadap Hak Cipta, sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengatasi
problematika tersebut. Perkembangan zaman yang terlalu
cepat juga menjadi alasan dirubahnya kembali Undang-undang tersebut dengan
Undang-undang No. 12 Tahun 1997. Setelah mengalami
beberapa kali mekanisme perubahan, pemahaman tentang Hak Cipta menjadi terpecah
dan dikhawatirkan mengubah esensi dari pengaturannya. Untuk
itu Undang-undang mengenai Hak Cipta harus mengalami perobahan lagi yaitu
dengan Undang-undang no.19 Tahun 2002, hal ini diharapkan dapat menyatukan
kemabali ketiga peraturan sebelumnya. Undang-undang
inilah yang berlaku hingga saat ini yang diharapkan dapat menyatukan kemabali
ketiga peraturan sebelumnya. Perkembangan terakhit pada Undang-undang
Hak Cipta dilandasi oleh pertimbangan, bahwa Undang-undang ini nantinya dapat
menampung perkembangan Hak Cipta dalam rangka meningkatkan perlindungan dan
pelayanan terhadap Hak Cipta.
B. Penerapan atas Pengaturan Terhadap
Kepemilikan Hak atas Milik Motif Songket yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Sumatera Barat ditinjau dari Undang-undang Hak Cipta
Mengenai karya- karya yang di lindungi oleh hak cipta di Indonesia, Pasal 12 ayat (1) UUHC Tahun 2002 menetapkan Ciptaan yang termasuk dilindungi olen hukum hak cipta di Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, menetapkan karya-karya di bidang pengetahuan, seni dan sastra yang di lindungi adalah :
1. Buku, program komputer, plamfet, susunan perwajahan(lay-out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
- Ceramah,
- Kuliah
- Pidato dan
- Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
2. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan ilmu pengetahuan;
3. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks,
4. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomin;
5. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
6. Arsitektur;
7. Peta;
8. Seni batik;
9. Fotografi;
10. Sinematografi;
11. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Jika dilihat dari perincian yang tertera berdasarkan
urutan butir 1 sampai dengan 10 di atas, karya- karya cipta tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai ciptaan asli. Sedangkan ciptaan pada butir 11
merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan- ciptaan asli" (Ok, 2010).
Dalam
Penjelasan UUHC 2002 yang terdapat pada Pasal 12 huruf (i), Batik yang dibuat
secara konvensional dilindungi dalam undang-undang ini sebagai bentuk Ciptaan
tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan
karena mempunyai nilai seni, baik pada Ciptaan motif atau gambar maupun
komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni
batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia
yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain- lain
yang dewasa ini terus dikembangkan.
Maka dalam penjelasan Pasal 12 huruf (i) UUHC
2002 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa songket pada umumnya dan khusunya
songket Sumatera Barat termasuk kedalam karya seni yang dilindungi oleh Negara,
yaitu dalam bidang Hak cipta.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kerajinan songket Sumatera Barat menjadi
komoditi yang diminati pada saat sekarang ini. Pemasaran
dari songket ini sendiri telah mencapai skala nasional bahkan skala
internasional. Bahkan songket Sumatera Barat juga
telah diakui sebagai kain songket/ tenunan yang tebaik kwalitasnya di dunia,
baik dari segi motif maupun bahan-bahannya. Karena
alasan tersebutlah pada saat ini banyak pengrajin songket Sumatera Barat
berlomba-lomba untuk menciptakan motif/kreasi baru dari songket tersebut.
Yang menjadi permasalahannya adalah, dimana ciptaan motif
baru tersebut banyak yang belum didaftarkan hak ciptanya.
Imbas positif dari siklus ini tidak hanya dinikmati oleh pengrajin
songket sendiri, melainkan telah membantu peningkatan Pendapatan asli daerah
(PAD) Propinsi Sumatera Barat baik disektor perdagangan maupun sektor wisata.
Tetapi itu saja belumlah cukup apabila tidak ada perlindungan
yang kuat terhadap Dalam tulisan ini, penulis mengkaji tentang motif songket
kerasi baru yang Hak Cipta Pengrajin Songket dari Pemda Sumatera Barat.
Dalam tulisan ini penulis mengkaji tentang motif songket kreasi
baru yang diciptakan oleh pada pencipta di daerah Sumatera Barat tentunya.
Berdasarkan dari hasil penelitian penulis, ternyata masih
banyak motif songket Sumatera Barat yang tidak didaftarkan perlindungan Hak Ciptanya
kepada Dirjen HKI. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor seperti,
kurangnya pengetahuan pengrajin tentang Hak Cipta, sosialisasi yang kurang
tepat, kesadaran dari masyarakat serta tata cara
pendaftaran yang berbelit-belit, atau biaya yang relative mahal, hal tersebut
diatas akan penulis jelaskan lebih lanjut.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan analisis yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Dalam isi perjanjian-perjanjian internasional telah diberikan perlindungan terhadap hak cipta khususnya hak perlindungan terhadap songket. Dimana perjanjian-perjanjian Internasional memberikan peranan yang sangat penting bagi perkembangan hak cipta di Indonesia yang akhirnya di implemenatsikan di Indonesia ke dalam UUHC 2002. dan dijalankan sebagaimana mestinya.
b. Dalam Penjelasan UUHC 2002 yang terdapat pada Pasal 12 huruf (i), Batik yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam undang- undang ini sebagai bentuk Ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada Ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain- lain yang dewasa ini terus dikembangkan. Maka dalam penjelasan Pasal 12 huruf (i) UUHC 2002 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa songket pada umumnya dan khusunya songket Sumatera Barat termasuk kedalam karya seni yang dilindungi oleh Negara, yaitu dalam bidang Hak cipta.
Bibliografi
Damian, E., & Cipta, H. H. (2005). Bandung: PT.
Alumni.
Firmansyah, M. (2008). Tata Cara Mengurus HaKI,
Visimedia. Jakarta.
Gunawan, M. S. (2018). Rekonstruksi Negara Hukum
Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan Uud
1945rekonstruksi Negara Hukum Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di
Indonesia Berdasarkan Uud 1945. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
3(2), 58�69.
Mariana, M. (2018). Perlindungan Hukum Islam Terhadap
Istri Yang Dituduh Melakukan Zina Oleh Suami. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 3(2), 70�81.
Mustamid, M. (2019). Penerapan Pembelaan Hak
Kepemilikan Tanah Oleh LBH SGJI di Desa Sukajadi Kecamatan Cibaliung Kabupaten
Pandeglang. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 4(9),
65�72.
Ok, S. (2010). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Purba, A., Saleh, G., & Krisnawati, A. (2005). TRIPs-WTO
& hukum HKI Indonesia: kajian perlindungan hak cipta seni batik tradisional
Indonesia. Rineka Cipta.
Purba, A. Z. U. (2005). Hak Kekayaan Intelektual
Pasca TRIPs. Alumni.
Sari, A. A., Sabilla, A. A., & Hertati, D. (2020).
Peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah Dalam Manajemen Bencana Banjir Di
Kabupaten Gresik. Syntax, 2(5).
Simarmata, P. (2017). Hukum Zona Ekonomi Eksklusif dan
Hak Indonesia Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(2), 108�123.
Soejorno Soekanto. (2018). Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Jakarta : Grafindo Persada.
Syamsuddin, M. D., & Ghazali, A. R. (2001). Islam
dan Politik Era Orde Baru. Logos Wacana Ilmu.
Ulumi, B. (2010). Desain Interior Ruang Perpustakaan:
Perspektif Pengelola Perpustakaan. Pustakaloka, 2(1), 1�10.
Yanto, O. (2016). Prostitusi Online Sebagai Kejahatan
Kemanusiaan Terhadap Anak: Telaah Hukum Islam Dan Hukum Positif. Ahkam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, XVI.