Volume 4, No. 3 Maret 2023
p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356
PELAKSANAAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DAN
JAMINAN SOSIAL/BPJS KETENAGAKERJAAN BAGI PEKERJA DI KANTOR NOTARIS
Ilwira Fakhrurrazi
Lubis
Magister
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia
Email: ilwira.fakhrurrazi11@ui.ac.id
Abstrak: ��������
Kantor notaris merupakan salah satu jenis tempat kerja
yang memerlukan pelaksanaan
kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan
sosial/BPJS ketenagakerjaan
bagi pekerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan
sosial/BPJS ketenagakerjaan
bagi pekerja di kantor notaris. Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis normatif yang menggunakan asas hukum, peraturan perundang-undangan dan doktrin sebagai abahan hukum utama, baham
hukum utama dianalisis dan diinterprestasikan
terhadap bahan hukum sekunder berupa literatur atau bahan pustaka,
untuj menemukan hasil penelitian sesuai permasalahan yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS
ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris masih perlu
ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tersebut antara lain kesadaran karyawan dan manajemen terhadap pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan perusahaan yang mendukung pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja, dan ketersediaan dana untuk membiayai jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya peningkatan kesadaran karyawan dan manajemen terhadap pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan
sosial/BPJS ketenagakerjaan
bagi pekerja di kantor notaris. Hal ini dapat dilakukan
melalui sosialisasi dan pelatihan, penerapan kebijakan perusahaan yang mendukung pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan
sosial/BPJS ketenagakerjaan,
dan alokasi dana yang cukup
untuk membiayai program tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, dan memberikan perlindungan sosial bagi pekerja
di kantor notaris.
�����������������������������������������������������������������������
Kata Kunci: Jaminan Sosial; Kesehatan dan Keselamatan Kerja; Pekerja Notaris.
Abstract:
Notary office is one type of
workplace that requires the implementation of occupational health and safety as
well as social security / BPJS employment for its workers. This study aims to
analyze the implementation of occupational health and safety as well as social
security/BPJS employment for workers in notary offices. This research is a
normative juridical research that uses legal principles, laws and doctrines as
the main legal material, even the main law is analyzed and interpreted against
secondary legal material in the form of literature or library material, to find
research results according to the problems posed. The results showed that the
implementation of occupational health and safety as well as social
security/employment BPJS for workers in notary offices still needs to be
improved. Some factors that influence the implementation include employee and
management awareness of the importance of occupational health and safety,
company policies that support the implementation of occupational health and
safety, and the availability of funds to finance social security/employment
BPJS. This study recommends the need to increase employee and management
awareness of the importance of occupational health and safety as well as social
security/employment BPJS for workers in notary offices. This can be done
through socialization and training, implementation of company policies that
support the implementation of occupational health and safety as well as social
security/BPJS employment, and the allocation of sufficient funds to finance the
program. Thus, it is expected to create a healthy, safe, and social protection
environment for workers in notary offices.
�����������
Keywords: Social Security;
Occupational Health and Safety; Notary Worker.���������
Article History�����������
Diterima��������� :
05 Maret 2023
Direvisi����������� :
Publish������������ :
�����������
PENDAHULUAN
Istilah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (disingkat BPJS) dikenal dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat dengan UU 40/2004) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (disingkat
UU SJSN). Pasal 1 angka 6
UU SJSN memberi pengertian terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (disingkat BPJS) sebagai badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya
merupakan program negara yang bertujuan
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Dasar hukum pembentukan UU SJSN yang menjadi landasan bagi sistem
jaminan sosial dijelaskan lebih jauh melalui penjelasan
umum, yang merupakan interprestasi otentik dan merupakan catatan sejarah pembentukan UU SJSN
Melihat arti pentingnya pekerja maka perlu mendapatkan
perhatian dengan dibernya jaminan yang terkait kesejahteraan sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa:
�berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�
dan dalam Pasal 28 H ayat (3) mengatakan �berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat�
Kemudian di dalam Pasal 34 ayat (3) mengatakan �penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak�, hal ini
menunjukkan bahwa setiap warga negara dalam hal ini
yaitu pekerja Notaris mempunyai hak yang layak untuk mendapatkan pekerjaan maupun kesehatan dan berhak atas jaminan sosial
Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka
9 (UU 24/2011) tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial pengertian pemberi kerja adalah
orang perseorangan, pengusaha,
badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
memberi gaji, upah atau imbalan
dalam bentuk lainnya. Pasal 1 angka 12 (UU 40/2004) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto Pasal 1 angka 9 (UU 24/2011) tentang
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial pengertian pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau
penyelenggara negara yang mempekerjakan
pegawai negeri dengan membayar gaji, upah atau imbalan
dalam bentuk lainnya. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan
dalam bentuk lain. Secara sosiologis,
pekerja dapat dikategorikan sebagai pihak yang lebih lemah dibanding pihak pemberi kerja.
Karena pekerja adalah orang
yang tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pemberi kerja, karena dalam suatu
sistem hubungan kerja pemberi kerja
telah memberikan sebuah aturan atau
batasan-batasan yang harus diikuti oleh pihak pekerja
Penyelenggaraan dalam jaminan sosial
nasional pun tidak dapat dilepaskan dari hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh peserta.
Pada prinsipnya, hak paling
mendasar yang dimiliki oleh
peserta jaminan sosial nasional telah disinggung dalam perimbangan (konsideran) huruf a UU SJSN, yang
menyatakan bahwa :
�jaminan sosial untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatakan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera,
adil dan makmur�.
Hak dan kewajiban
yang muncul dari pelaksanaan program jaminan sosial nasional dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial
bagi seluruh rakyat
Indonesia (pasal 2 UU SJSN)
Kenyamanan tenaga kerja dalam
bekerja merupakan bagian yang cukup penting dari upaya
perlindungan tenaga kerja. Kenyamanan tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin keamanan tenaga kerja yang merupakan bagian dari sumber-sumber
pembuatan akta dan bagian dari kelancaran
suatu proses pembuatan akta bagi seorang
Notaris
Jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan telah diatur di dalam (UU 24/2011) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang menyelenggarakan
program jaminan kesehatan,
program jaminan hari tua, jaminan pensiun,
program jaminan kematian
dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh
rakyat Indonesia termasuk orang asing
yang telah bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. berdasarkan ketentuan tersebut, maka orang yang bekerja pada kantor Notaris adalah termasuk pekerja yang seharusnya mendapatkan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh
BPJS
Pendaftaran jaminan sosial oleh Notaris sangat diperlukan dalam melindungi dan membuat nyaman pekerja dalam melakukan
pekerjaannya. Pekerja, tidak dapat dipungkiri
bahwa mempunyai risiko-risiko pekerjaan yang muncul dalam melakukan
pekerjaannya seperti kecelakaan lalu lintas, baik dalam
perjalanan menuju atau pulang dari
tempat kerja maupun selama dalam
jam kerja, yang bisa mengakibatkan sakit bahkan sampai dengan
kematian. Jaminan sosial inilah yang dimaksudkan untuk membantu pekerja apabila risiko-risiko pekerjaan itu terjadi.
Kenyataannya masih dijumpai beberapa permasalahan di mana pekerja tidak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial, sehingga mengalami kesulitan pembiayaan jika terjadi kecelakaan
dalam bekerja, atau sakit, baik
itu diderita oleh pekerja ataupun keluarganya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Notaris selaku pejabat umum tidak
dapat memberikan perlindungan kerja terhadap pekerjanya. Oleh karena itu Notaris
sangat memegang peran penting dalam hal
melindungi dan menciptakan kondisi hubungan kerja yang harmonis dengan pekerjanya agar pekerja merasa nyaman dalam malakukan
pekerjaanya.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar gaji, upah, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, diwajibkan untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS sesuai dengan jaminan
sosial yang diikuti. Sebagai pemberi kerja, Notaris secara bertahap wajib untuk mengikut
sertakan pekerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan
dan Ketenagakerjaan dengan memberikan data pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. Penahapan ini diatur dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial.
Kewajiban merupakan suatu beban yang sifatnya kontraktual. Hak dan kewajiban itu muncul ketika
terjadi hubungan hukum antara kedua
belah pihak yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian.
Oleh sebab itu, selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir,
maka pada salah satu pihak yang dibebani suatu kontraktual, ada keharusan atau
kewajiban untuk memenuhinya.
Sebaliknya, apa yang dinamakan tanggung jawab adalah beban yang bersifat moral. Pada dasarnya, sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula tanggungjawab. Menurut Sidharta, pertanggungjawaban merupakan tindakan memberi penjelasan yang dapat dibenarkan baik secara moral maupun ataupun secara hukum. Notaris dapat melaksanakan tugas dan jabatannya dituntut dapat bertanggung jawab terhadap diri, klien, dan Tuhan Yang Maha Esa, tanggungjawab
tersebut dapat diartikan sebagai kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Pasal 17 UU 24/2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, menyebutkan bahwa pemberi kerja yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 15 UU 24/2011 tentang BPJS, dikenai sanksi administratif, berupa teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat
pelayanan publik tertentu. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, menyebutkan bahwa pemberi kerja wajib
memungut iuran yang menjadi beban peserta
dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.
Mengenai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, belum sepenuhnya dilaksanakan. Sanksi administratif yang diberlakukan atas pelanggaran sebagaimana Pasal 17 ayat (1) UU BPJS ada 3 (tiga) macam,
yaitu teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat
pelayanan publik tertentu.
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda dilakukan oleh BPJS, sedangkan pengenaan sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Pengenaan sanksi administratif tersebut dilakukan secara berurutan, dimana bila teguran tertulis
tidak berhasil maka sanksi denda
akan dijatuhkan, dan begitu seterusnya.
Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh Prasetya (2019) dalam penelitiannya
yang berjudul �Pelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Terhadap Pekerja Jasa Konstruksi Pada PT
Fajar Berdasi Gemilang Berdasarkan Peraturan
Menteri" dalam penelitiannya
menghasilkan Pelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Terhadap Pekerja Jasa Konstruksi Pada PT
Fajar Berdasi Gemilang Berdasarkan Peraturan Menteri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris. Adapun manfaat dari peelitian ini adalah (a) Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja. (b) Meningkatkan motivasi dan kinerja pekerja.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis normatif yang menggunakan asas hukum, peraturan
perundang-undangan dan doktrin
sebagai abahan hukum utama, baham
hukum utama dianalisis dan diinterprestasikan
terhadap bahan hukum sekunder berupa literatur atau bahan pustaka,
untuj menemukan hasil penelitian sesuai permasalahan yang diajukan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Upaya Hukum
Yang Dapat Dilakukan Pekerja Notaris Yang Tidak Didaftarkan Sebagai Peserta Bpjs
1.
Hubungan Hukum
Antara Notaris Dengan Pekerja Notaris
Dalam sektor
hukum, perkembangan hubungan hukum di tengah masyarakat yang memerlukan alat bukti yang sah mengenai perbuatan hukum maupun peristiwa
hukum yang mereka alami. Di bidang keperdata, alat bukti tertulis diakui sebagai alat bukti yang sah dan menempati kekuatan pembuktian terkuat diantara alat bukti lainnya.
Akta otentik sebagai alat bukti
tertulis mempunyai kekuatan pembuktian terkuat dan terpenuhi
Perkembangan hukum
di tengah masyarakat seperti hubungan bisnis, pertanahan, perbankan dan hubungan sosial lainnya yang membutuhkan akta otentik sebagai alat bukti untuk
menentukan hak dan kewajiban para pihak, menjadikan kebutuhan terhadap keberadaan Notaris semakin meningkat.
Di sisi lain, pertambahan jumlah Notaris telah membawa
dampak bertambahnya kantor Notaris dan pekerja Notaris. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Jaminan Nasional menyatakan bahwa dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan
Notaris, yang bersangkutan wajib untuk: (a) Menjalankan jabatannya dengan nyata. (b) Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan
Notaris kepada menteri, organisasi Notaris, dan majelis pengawas daerah. (c) Menyampaikan alamat kantor dengan memberi
contoh tanda tangan dan paraf, serta cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab dibidang agraria pertanahan, organisasi Notaris, ketua pengadilan negeri, majelis pengawas daerah, seta bupati atau walikota ditempat
Notaris diangkat.
Berdasarkan kutipan
pasal tersebut diatas dapat diketahui
bahwa setiap Notaris wajib memiliki
kantor sendiri berikut pekerjanya. Pekerja kantor notaris dapat dikatakan
sebagai pekerja/buruh berdasarkan ketentuan pasal 2 UU ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa �pekerja/buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Apabila ketentuan
tersebut diatas dikaitkan dengan keberadaan kantor Notaris sebagai kantor yang memberikan pelayanan di bidang jasa, dalam hal
ini jasa pembuatan akta otentik, maka Notaris
dapat dikategorikan sebagai pemberi kerja (pasal 1 angka 9 UU 24/2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial). Apabila Notaris dikategorikan sebagai pemberi kerja dan kantor Notaris sebagai perusahaan hukum yang bergerak di bidang jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, maka segala ketentuan
tentang perusahaan yang diatur dalam UU BPJS berlaku bagi kantor
Notaris.
Perhatian dan kesadaran
akan kenyamaan pekerja dapat ditunjukan
melalui adanya upah atau gaji
yang cukup dan mendaftarkan
sebagai peserta program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Perhatian
terhadap unsur kenyamanan tenaga kerja mulai dari
perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasannya maka jumlah kecelakaan kerja dapat dikurangi
dan dapat membawa kesuksesan bagi seorang Notaris.
Sakit dan kecelakaan
kerja merupakan hal yang sangat rentan dihadapi oleh pekerja dalam melakukan pekerjaan membantu kinerja Notaris dalam melayani jasa pembuatan akta, seperti melakukan
pendaftaran dan mengesahkan
surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Jaminan
sosial ketenagakerjaan dan kesehatan, telah diatur dalam� UU BPJS yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh rakyat indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka orang yang bekerja pada kantor Notaris dapat dikatakan
sebagai pekerja yang seharusnya mendapatkan jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS.
Pendaftaran jaminan
sosial yang dilakukan oleh Notaris terhadap pekerjanya sangat diperlukan guna melindungi dan membuat nyaman bagi pekerjanya dalam melakukan tugas dan pekerjaannya. Pekerja tidak dapat
dipungkiri memiliki resiko-resiko pekerjaan yang muncul dalam menjalankan
pekerjaannya seperti kecelakaan lalu lintas, baik dalam
perjalanan menuju atau pulang dari
tempat kerja maupun selama dalam
jam kerja yang bisa mengakibatkan sakit bahkan hingga kematian.
Jaminan sosial inilah yang dimaksudkan untuk membantu pekerja apabilan resiko-resiko pekerjaan itu terjadi.
Notaris sangat memegang
peranan penting dalam hal melindungi
dan menciptakan kondisi hubungan kerja yang harmonis dengan pekerjaannya agar pekerjaanya merasa nyaman dalam
melakukan tugas dan pekerjaannya. Berdasarkan Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar gaji, upah, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, wajib mendfatarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta BPJS sesuai dengan jaminan sosial yang diikuti.
Sebagai pemberi
kerja, Notaris� secara
bertahap wajib untuk mendaftarkan pekerjaannya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dan
Kesehatan dengan memberikan
fata pekerjanya sebagai anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. Tahapann ini diatur
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2013 (perpres 109/2013) tentang penahapan kepesertaan prohram jaminan sosial.
Kewajiban merupakan
suatu beban yang bersifat kontraktual, hak dan kewajiban ini bisa timbul
apabila terjadi hubungan hukum antara kedua pihak
yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian.
Oleh sebab itu, selama hubungan hukum lahir dari
perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban
kontraktual yang memiliki keharusan atau kewajiban untuk dipenuhi. Sebaliknya yang dinamakan tanggung jawab yakni beban
yang bersifat moral. Pada dasarnya,
sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula tanggung jawab.
Hubungan hukum
antar pekerja dnegan pemberi kerja dalam konteks
sistem jaminan sosial nasional, hubungan mana ditentukan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN dan pasal 15 ayat (1) yang berbunyi:
�wajib
mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada badan penyelengara jaminan sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan dari sebagai peserta
program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila
pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada badan penyelenggara
jaminan sosial�
B.
Dasar hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bagi Tenaga kerja yang Melakukan Pekerjaan Diluar Hubungan Kerja
Dasar hukum penyelenggara program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan di
luar hubungan kerja memiliki beberapa landasan hukum yang dapat dijadikan pedoman yakni UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan dan Peraturan Menteri Tenaga kerja
dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: PER24/MEN/VI/2006 tentang pedoman program Jaminan Sosial tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar Hubungan Kerja.
Terdapat tiga
unsur penting dalam upaya pengerahan
dan pendayagunaan tenaga kerja yang masing-masing mempunyai
lingkup pengertiannya tersendiri. Unsur pertama yakni pengerahan
diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan untuk mempekerjakan tenaga kerja. Adapun unsur kedua, yaitu pendayagunaan
pengertiannya ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk menataguna menggunakan, mengembangkan tenaga kerja secara optimal, berhasil dan berdaya guna. Unsur terakhir
tenaga kerja, diartikan sebagai berikut:
�setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja
guna menghasilkan barang atau jasa,
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat�
Berdasarkan uraian
diatas, pengertian tenaga kerja jelas
lebih luas dari pada pengertian pekerja. Tenaga kerja meliputi setiap orang, baik yang sedang maupun yang akan melakukan pekerjaan. Bagi yang sedang melakukan pekerjaanpun, pekerjaan termasuk dapat dilakukan dalam maupun diluar
hubungan kerja. Di sisi lain, pengertian pekerja hanya terbatas
pada setiap orang yang sedang
mealkukan pekerjaan, khususnya di dalam hubungan kerja. Dengan demikian, pekerja termasuk ke dalam pengertian
tenaga kerja
C.
Bentuk Perjanjian Kerja Antara Notaris Dengan Pekerja Notaris
Perjanjian adalah
kesepakatan yang terjadi
para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Istilah perjanjian sering juga diistilahkan dengan istilah kontrak (kontrak). Kontrak dengan perjanjian merupakan istilah yang sama karena intinya
adalah adanya peristiwa para pihak yang mencapai kata sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum yang disebut perikatan. Dengan demikian, dalam kontak dan perjanjian dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut karena itulah kontrak
yang dibuat dipandang sebagai sumber hukum yang formal.
Ada 2 macam teori yang membahas pengertian perjanjian, yaitu: teori lama dan teori baru. Dalam
pasal 1313 KUHPerdata disebutkan, �perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih�
D.
Sanksi atas kelalaian Pendaftaran BPJS
Pasal 15 ayat
(1) dan pasal 15 ayat (2)
UU BPJS telah membebankan kewajiban kepada Pemberi Kerja, setiap orang selain Pemberi kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan iuran (sebagaimana pasal 16 ayat (1) UU BPJS) agar melakukan pendataran kepesertaan di BPJS. Untuk menjamin dan untuk memastikan agar mereka yang menanggung kewajiban itu agar melakukan pendaftaran perogram jaminan sosial d BPJS, para pembuat Undang-Undang telah memasukkan unsur sanksi terhadap para pelanggar ketentuan pasal 15 ayat 91), pasal 15 ayat (2) dan pasal 16 ayat (1) UU BPJS. Pasal 17 ayat (1) UU BPJS menegaskan sebagai berikut:
�pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dikenai sanksi administratif�
Sanksi administratif
yang diberlakukan atas pelanggaran sebagaimana pasal 17 ayat (1) UU BPJS ada 3 macam, yaitu
teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu oleh BPJS, sedangkan pengenaan sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Pengenaan sanksi adminstratid tersebut dilakukan secara berurutan, dimana bila teguran tertulis
tidak berhasil maka sanksi denda
akan dijatuhkan, dan begitu seterusnya.
Secara khusus,
pengaturan tentang mekanisme pengenaan sanksi administratif atas kelalian mendaftar
program jaminan sosial terdapat dalam peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 86 tahun 2013 (PP 86/2013) tentang tata cara pengenaan sanksi adminstratif kepada pemberi kerja selain
penyelenggara negara dan setiap
orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggara
jaminan sosial.
E.
Perlindungan Tenaga
Kerja
Perlindungan hukum
merupakan perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan bagi hak-hak asasi manusia
yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai perkumpulan
peraturan atau kaidah yang dapat melindungi suatu hal dari hal
lainnya. Di indonesia, perlindungan hukum yang dimaksud senantiasa berdasarkan oleh pancasila sebagai landasan idiil, meski konsep
perumusannya menggunakan beragam pemikiran dunia barat
yang penekanan konsepnya bertumpu pada perlindungan hak-hak asasi manusia.
Dengan demikian, secara sederhana konsep perlindungan hukum terhadap pekerja di indinesia tetap bertumpu pada perlindungan harkat dan martabat kaum pekerja.
Berikut hak-hak kemanusiaannya, baik secara individual maupun sebagai �pekerja�
Perlindungan pekerja
secara tegas diatur berdasarkan Pasal 5 UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap tenaga
kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan
yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku/ras,
agama, dan aliran politik tertentu sesuai dnegan minat dna
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk mendapat perlakukan yang sama terhadap para penyandang disabilitas. Selanjutnya pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberi hak
dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan
jenis kelamin, suku/ras, agama, warna kulit dan atau aliran politik.
Bagi pekerja,
adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menciptakan
suasana kerja yang tertera dan damai sehingga pekerja dapat memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa harus khawatir
suatu saat akan tertimpa kecelakaan
kerja. Bagi pengusaha adanya pengaturan keselamatan kerja dalam perusahaannya
dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan pengusaha harus memberi jaminan
sosial. Bagi pemerintah dan masyarakat, dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakat akan tgercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan, baik kuantitas maupun kualitas
Penyelenggara program jaminan
sosial merupakan suatu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberi perlindungan
sosial ekonomi pada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara, indonesia seperti haknya berbagai negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan Funded social
security, yakni jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Perlindungan terhadap
tenaga kerja bertujuan untuk menjamin hak mendasar
pekerja serta menjamin kesamaan dan perlakukan tanpa adanya diskriminasi atas dasar apa
pun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pekerja dan kelaurganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia
usaha dan kepentingan pengusaha.
F.
Sanksi Bagi Notaris Yang Tidak Mengikutsertakan Pekerjanya Dalam Program Bpjs
1.
Jenis sanksi Hukum dan Undang-Undang Jaminan Nasional
Sanksi merupakan
alat pemaksa, selainhukuman, juga untuk mentaati ketetapan yang ditentuakn dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan seperti alat bukti pemaksa
sebagai hukum jika tidak taat
kepada perjanjian. Sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum.
Dan tiap aturan hukum berlaku di indonesia selalu terkandung sanksi pada akhir aturan hukum
tersebut. Pembebanan sanksi di indonesia tidak hanya terdapat
dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk
aturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain dibawah undang-undang. Pencantuman sanksi dalam berbagai
aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan
hukum. Seolah-olah aturan hukum yang bersangkutan tidak bertaring atau tidak dapat ditegakkan
atau tidak akan dipatuhi jika
pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi.
Notaris sebagai
manusia biasa, dalam menjalankan tugas jabatannya dapat melakukan kesalahan atau pelanggaran. Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan Notaris sebagaimana diatur dalam pasal
16 dan 17 UUJN, dapat dikarnakan
sanksi baik berupa sanksi perdata,
sanksi administratif, sanksi kode etik
berupa sanksi perdata, sanksi adminstratif, sanksi kode etik bahkan
sanksi pidana. Sanksi perdata umumnya merupakan sanksi yang diberikan atas pelanggaran hukum Privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar pribadi dalam memenuhi
segala kepentingan.
Sanksi adminstratif
merupakan sanksi yang timbul dari hubungan
antara pemerintah (melalui lembaga yang berwenang) dan warganya. Tanpa perantara seorang hakim, sanksi itu dapat langsung
dijatuhkan oleh pemerintah.
Sanksi kode etik dapat dijatuhkan
terhadap notaris yang melakukan pelangaran terhadap kode etik
jabatan notaris. Sanksi tersebut diajtuhkan oleh majelis kehomartan notaris. Adapun sanksi pidana karena
tidak diatur secara tegas dalam
UUJN, maka sanksi pidana akan diajatuhkan
baila notaris dalam menajalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur delik tertentu
suatu tindak pidana berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
UUJN mengkalrifikasi empat jenis sanksi
administratif yang diajatuhkna
terhadap pelanggaran beberapa pasal yang disebutkan secara limitatif yaitu berupa� peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Penjatuhan
sanksi-sanksi administratif
dialkukan hanya apabila terbukti melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1), pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l, pasal 16 ayat (13), pasal 17 ayat (1), pasal 19 ayat (2), pasal 32 ayat (1,2, dan 3), pasal 37 ayat (1) dan pasal 54 ayat 91) UUJN.
2.
Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris
Instansi utama
yang dapat menjatuhi sanksi terhadap Notaris yaitu majelis
pengawas notaris yang dibuat majelis pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada pada dalam kendali majelis
pengawas. Oleh karena itu seharusnya majelis pemeriksa hanya dapat berwenang
untuk menerima laporan yang diterima dari masyarakat atas dari sesama
notaris, melakukan pemeriksaan dan persidangan secara terbuka, dan jika menurut hasil
pemeriksaan majelis pemeriks terbukti bahwa notaris yang besangkutan telah melakukan pelanggaran dalam pelakswanaan tugas jabatan notaris,
maka kemudian majelis pemeriksa melaporkannya kepada majelis pengawas, dan disertai dengan usulan untuk menjatuhkan
sanksi-sanksi tertentu.
Selanjutnya majelis
pengawas akan memutuskan sanksi yang dijatuhkan kepada notaris yang bersangkutan. Sanksi yang dijatuhkan oleh majelis pengawas tersebut, notaris diberi kesempatan untuk melayangkan keberatan pada majelis pengawas yang telah menjatuhkan sanksi padanya. Apabila tidak puas dapat
mengajukan banding pada instansi
maejlis pengawas yang lebih tinggi dan gugatan ke pengadilan
tata usaha negara, jika putusan majelis pengawas tetap tidak memuaskan notaris yang bersangkutan.
Sanksi pidana
terhadap notaris harus dilihat dalam
rangka menjalankan tugas jabatan notaris,
artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan
kepada UUJN. Jika semua
tata cara pembuatan akta sudah ditempuh
suatuh hal yang tidak mungkin seorang
notaris secara sengaja bersama-sama atau membantu oenghadap
secara sadar membuat akta untuk
melakukan suatu tindak pidana, sanksi pidana terhadap
notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umm yaitu KUHP. UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk
notaris, berkaitan dengan kumulasi sanksi terhadap notaris dalam kaidah
peraturan perundang-undangan
di bidang hukum administrasi sering tidak hanya memuat
satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang diberlakukan secara kumulasi, adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hanya mengancam pelanggaranya dengan snaksi pidana, tetapi pada saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi.
Berdasarkan ketentuan
sanksi yang diatur dalam UUJN, dapat dikatakan bahwa pelanggaran kode etik Notaris dapat
disamakan dengan pelanggaran undang-undang, sehingga dapat dikenakan sanksi yang bersal dari undang-undang.
Dalam hal ini kode etik
Notaris menganut penundukkan pada undang-undang, penegakan kode etik adalah usaha
melaksanakan kode etik sebagaimana mestinya, mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran,
nkarena kode etik adalah bagian
dari hukum positif, maka nomra-norma
penegakan hukum undang-undang berlaku pada penegakan kode etik.
Ditinjau dari
alternatif yang telah dijelaskan sebelumnya setiap undang-undang diharapkan mencantumkan dengan tegas sanksi
yang diancamkan kepada pelanggannya. Walaupun tidak dapat diadakan
sebuah perubahan ketentuan sanksi pidana mdalam UUJN, tetapu KUHP dapat diterapkan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran pidana, jika dapat dibuktikan
dipengadilan bahwa secara sengaja atau tidak sengaja
Notaris berasama-sama dengan para pihak atau pengahadap membuat akta dengan
maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau pengahadap
tertentu saja atau merugikan pengahadap yang lain. Bila hal ini terbutki, Notaris
wajib dihukum dan KUHP secara umum dapat
diterapkan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran sesuai dnegan asas Lex Specialis derogate legi generali yang ditafsirkan secara a contrario (penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan
eprlawanan antar apengertian kongkrit yang diahadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang)
yaitu sepanjang tidak diatur pengaturan
mengenai sanksi pidana dalam UUJN secara khusus maka
akan berlaku ketentuan sanksi pidana secara umum
(KUHP).
Disisi lain.
Dapat pula dipertimbangkan,
apabila bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa perlu
menggunakan hukum pidana, sebaiknya tidak perlu (ultimatum remedium). Jan remmelink berpendapat bahwa.
�kita
harus mengakui bahwa kadar keseiusan
pelaku, sifat perilaku yang merugikan atau mebahayakan, termasuk situasi kondisi yang meliputi perbuatan tersebut memaksa kita menarik
kesimpulan bahwa sistem-sistem sanksi lainnya dmei alasan
teknis murni, kurang bermanfaat untuk menanggulangi atau mencegah dilakukannya
tindak kriminal, namun demikian pidana harus selalu
tetap dipandang sebagai ultimum remedium�
Pendapat Remmelink
diatas dapat diartikan bahwa sanksi pidana masih
tetap dibutuhkan namun dengan tetap
memperhatikan asas
ultimatum remedium. tetapi apabila dengan dijatuhkannya kepada seseorang terutama Notaris dengan hukum pidana seperti
hukuman percobaan ataupun hukuman denda, pidana penjara
dapat dihindari. Jika sekiranya terpaksa menggunakan pidana penjara, harus dipilih sesuai dengan kesalahan terdakwa baik ringan
maupun berat agar dikemudian hari dapat memberikan pelajaran dan manfaat bagi terdakwa maupun
masyarakat luas.
KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan
dan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbandingan prediksi Markov dan hasil SDI untuk luas kondisi jalan
yang melibatkan tindakan pemeliharaan adalah cukup baik. Berdasarkan
hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan
sosial/BPJS ketenagakerjaan
bagi pekerja di kantor notaris masih perlu ditingkatkan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tersebut antara lain kesadaran karyawan dan manajemen terhadap pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan perusahaan yang mendukung pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja, dan ketersediaan dana untuk membiayai jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan.
Afifah,
W., & Paruntu, D. N. (2015). Perlindungan
Hukum Hak Kesehatan Warga Negara Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Mimbar Keadilan, 150�169.
Amanda, B. T., Prasetya,
A. Y., Kaharudin, K., & Anis, B. J. (2021).
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan Sebagai
Strategi Manajemen Berbasis
Keadilan Sosial dalam Pelayanan Kesehatan. Prosiding EMAS: Ekonomi Manajemen
Akuntansi Kewirausahaan,
1(1), 183�190.
Chumaida,
Z. V., Sabrie, H. Y., Dian, W., & Amalia, R.
(2016). Aspek Hukum Kartu
Indonesia Sehat. Yuridika, 31(3),
498�520.
Hitaningtyas,
R. D. P. (2017). Penghapusan Sanksi
Pidana Terkait Kewajiban Pemberi Kerja Untuk Mengikutsertakan
Pekerjanya Dalam Program Jaminan Sosial. Jurnal Panorama Hukum, 2(1), 21�32.
Marsidah,
M. (2019). TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN BADAN
PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011. Solusi,
17(2), 193�202.
Pahlefi,
P., Herlina, N., & Manik, H. (2021). Asas Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Kota Jambi. Wajah Hukum, 5(1),
195�201.
Putra, W. M. (2014). Analisis Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan
Nasional di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan Tahun
2014.
RISET, K., & TINGGI, T. D. A.
N. P. (n.d.). KEWAJIBAN PENGUSAHA STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM PT.
SULIANTI MENGIKUTSERTAKAN TENAGA KERJA DALAM JAMINAN KESEHATAN BERDASARKAN
UNDANG UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011TENTANG BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.
Tampi,
A. G. C., Kawung, E. J. R., & Tumiwa, J. W. (2016). Dampak Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Terhadap Masyarakat Di Kelurahan
Tingkulu. Acta Diurna Komunikasi, 5(1).
Vandawati,
Z., Sabrie, H. Y., Pawestri,
W. D., & Amalia, R. (2016). Aspek Hukum Kartu Indonesia Sehat. Yuridika,
31(3), 498�520.
Prasetya,
G. (2019). Pelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian
Terhadap Pekerja Jasa Konstruksi Pada PT Fajar Berdasi Gemilang Berdasarkan
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2015 Di Kota Pekanbaru.
Universitas Islam Riau.
Ilwira Fakhrurrazi Lubis (2023) |
First publication right: |
This article is licensed under: |