JSA 2Volume 4, No. 3 Maret 2023

p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356


 

PELAKSANAAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL/BPJS KETENAGAKERJAAN BAGI PEKERJA DI KANTOR NOTARIS

 

Ilwira Fakhrurrazi Lubis

Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Email: ilwira.fakhrurrazi11@ui.ac.id

 


 

Abstrak: ��������


Kantor notaris merupakan salah satu jenis tempat kerja yang memerlukan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris. Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis normatif yang menggunakan asas hukum, peraturan perundang-undangan dan doktrin sebagai abahan hukum utama, baham hukum utama dianalisis dan diinterprestasikan terhadap bahan hukum sekunder berupa literatur atau bahan pustaka, untuj menemukan hasil penelitian sesuai permasalahan yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris masih perlu ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tersebut antara lain kesadaran karyawan dan manajemen terhadap pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan perusahaan yang mendukung pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja, dan ketersediaan dana untuk membiayai jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya peningkatan kesadaran karyawan dan manajemen terhadap pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris. Hal ini dapat dilakukan melalui sosialisasi dan pelatihan, penerapan kebijakan perusahaan yang mendukung pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan, dan alokasi dana yang cukup untuk membiayai program tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, dan memberikan perlindungan sosial bagi pekerja di kantor notaris.

�����������������������������������������������������������������������


Kata Kunci: Jaminan Sosial; Kesehatan dan Keselamatan Kerja; Pekerja Notaris.

 

Abstract:

Notary office is one type of workplace that requires the implementation of occupational health and safety as well as social security / BPJS employment for its workers. This study aims to analyze the implementation of occupational health and safety as well as social security/BPJS employment for workers in notary offices. This research is a normative juridical research that uses legal principles, laws and doctrines as the main legal material, even the main law is analyzed and interpreted against secondary legal material in the form of literature or library material, to find research results according to the problems posed. The results showed that the implementation of occupational health and safety as well as social security/employment BPJS for workers in notary offices still needs to be improved. Some factors that influence the implementation include employee and management awareness of the importance of occupational health and safety, company policies that support the implementation of occupational health and safety, and the availability of funds to finance social security/employment BPJS. This study recommends the need to increase employee and management awareness of the importance of occupational health and safety as well as social security/employment BPJS for workers in notary offices. This can be done through socialization and training, implementation of company policies that support the implementation of occupational health and safety as well as social security/BPJS employment, and the allocation of sufficient funds to finance the program. Thus, it is expected to create a healthy, safe, and social protection environment for workers in notary offices.

�����������

 

Keywords: Social Security; Occupational Health and Safety; Notary Worker.���������

 

Article History�����������

Diterima��������� : 05 Maret 2023

Direvisi����������� :

Publish������������ :

�����������


 

PENDAHULUAN

Istilah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (disingkat BPJS) dikenal dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat dengan UU 40/2004) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (disingkat UU SJSN). Pasal 1 angka 6 UU SJSN memberi pengertian terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (disingkat BPJS) sebagai badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Marsidah, 2019) . Melalui program ini, setiap penduduk diharap dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, usia lanjut, atau pensiun.

Dasar hukum pembentukan UU SJSN yang menjadi landasan bagi sistem jaminan sosial dijelaskan lebih jauh melalui penjelasan umum, yang merupakan interprestasi otentik dan merupakan catatan sejarah pembentukan UU SJSN (Hitaningtyas, 2017; Tampi et al., 2016), dimana dikatakan : dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Seorang Notaris dalam perkembangannya tidak lagi hanya sebagai pembuat akta saja tetapi juga berperan besar dalam memberikan nasehat hukum atau penyuluhan hukum kepada penghadap atau calon penghadap tentang akta yang akan atau sedang dibuatnya, ini merupakan salah satu fungsi sosial yang wajib diemban oleh seorang Notaris. Notaris dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya sangat memerlukan bantuan tenaga kerja yang dalam hal ini adalah pekerja. Pekerja Notaris memegang peran penting dalam membantu kinerja Notaris dalam melayani jasa pembuatan akta, seperti halnya membantu menyiapkan pembuatan, melakukan pendaftaran dan mengesahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan serta menjadi saksi dalam peresmian akta (Saksi Instrumentair). Pekerja merupakan unsur penting bagi Notaris dalam segi tugas dan tanggung jawab yang diterimanya, karena memiliki kedudukan strategis dalam proses pembuatan akta, tanpa adanya pekerja apa yang telah dirancang oleh Notaris tentu tidak dapat terlaksana sesuai dengan perencanaan. Karena itu maka keberadaan pekerja Notaris harus diperhatikan supaya dapat menjalankan perintah Notaris dengan baik (Amanda et al., 2021; Pahlefi et al., 2021).

Melihat arti pentingnya pekerja maka perlu mendapatkan perhatian dengan dibernya jaminan yang terkait kesejahteraan sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan� dan dalam Pasal 28 H ayat (3) mengatakanberhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat

Kemudian di dalam Pasal 34 ayat (3) mengatakanpenyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak�, hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara dalam hal ini yaitu pekerja Notaris mempunyai hak yang layak untuk mendapatkan pekerjaan maupun kesehatan dan berhak atas jaminan sosial (Putra, 2014).

Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9 (UU 24/2011) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pengertian pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan memberi gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. Pasal 1 angka 12 (UU 40/2004) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto Pasal 1 angka 9 (UU 24/2011) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pengertian pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. Secara sosiologis, pekerja dapat dikategorikan sebagai pihak yang lebih lemah dibanding pihak pemberi kerja. Karena pekerja adalah orang yang tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pemberi kerja, karena dalam suatu sistem hubungan kerja pemberi kerja telah memberikan sebuah aturan atau batasan-batasan yang harus diikuti oleh pihak pekerja (RISET & TINGGI, n.d.).

Penyelenggaraan dalam jaminan sosial nasional pun tidak dapat dilepaskan dari hak dan kewajiban yang dimiliki oleh peserta. Pada prinsipnya, hak paling mendasar yang dimiliki oleh peserta jaminan sosial nasional telah disinggung dalam perimbangan (konsideran) huruf a UU SJSN, yang menyatakan bahwa :

jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatakan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur�.

Hak dan kewajiban yang muncul dari pelaksanaan program jaminan sosial nasional dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 2 UU SJSN) (Chumaida et al., 2016). Apabila dilihat dari pasal 16 UU SJSN menyatakan bahwa setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti. Sesuai dengan ketentuan tersebut, setiap peserta memiliki hak untuk memperoleh segala manfaat dan informasi sebanyak-banyaknya tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti, seperti : jaminan sosial, jaminan kecelakan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua.

Kenyamanan tenaga kerja dalam bekerja merupakan bagian yang cukup penting dari upaya perlindungan tenaga kerja. Kenyamanan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin keamanan tenaga kerja yang merupakan bagian dari sumber-sumber pembuatan akta dan bagian dari kelancaran suatu proses pembuatan akta bagi seorang Notaris (Afifah & Paruntu, 2015).

Jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan telah diatur di dalam (UU 24/2011) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan, program jaminan hari tua, jaminan pensiun, program jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. berdasarkan ketentuan tersebut, maka orang yang bekerja pada kantor Notaris adalah termasuk pekerja yang seharusnya mendapatkan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS (Vandawati et al., 2016).

Pendaftaran jaminan sosial oleh Notaris sangat diperlukan dalam melindungi dan membuat nyaman pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Pekerja, tidak dapat dipungkiri bahwa mempunyai risiko-risiko pekerjaan yang muncul dalam melakukan pekerjaannya seperti kecelakaan lalu lintas, baik dalam perjalanan menuju atau pulang dari tempat kerja maupun selama dalam jam kerja, yang bisa mengakibatkan sakit bahkan sampai dengan kematian. Jaminan sosial inilah yang dimaksudkan untuk membantu pekerja apabila risiko-risiko pekerjaan itu terjadi. Kenyataannya masih dijumpai beberapa permasalahan di mana pekerja tidak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial, sehingga mengalami kesulitan pembiayaan jika terjadi kecelakaan dalam bekerja, atau sakit, baik itu diderita oleh pekerja ataupun keluarganya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Notaris selaku pejabat umum tidak dapat memberikan perlindungan kerja terhadap pekerjanya. Oleh karena itu Notaris sangat memegang peran penting dalam hal melindungi dan menciptakan kondisi hubungan kerja yang harmonis dengan pekerjanya agar pekerja merasa nyaman dalam malakukan pekerjaanya.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya, diwajibkan untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS sesuai dengan jaminan sosial yang diikuti. Sebagai pemberi kerja, Notaris secara bertahap wajib untuk mengikut sertakan pekerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dengan memberikan data pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. Penahapan ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial.

Kewajiban merupakan suatu beban yang sifatnya kontraktual. Hak dan kewajiban itu muncul ketika terjadi hubungan hukum antara kedua belah pihak yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Oleh sebab itu, selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak yang dibebani suatu kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya.

Sebaliknya, apa yang dinamakan tanggung jawab adalah beban yang bersifat moral. Pada dasarnya, sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula tanggungjawab. Menurut Sidharta, pertanggungjawaban merupakan tindakan memberi penjelasan yang dapat dibenarkan baik secara moral maupun ataupun secara hukum. Notaris dapat melaksanakan tugas dan jabatannya dituntut dapat bertanggung jawab terhadap diri, klien, dan Tuhan Yang Maha Esa, tanggungjawab tersebut dapat diartikan sebagai kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

Pasal 17 UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, menyebutkan bahwa pemberi kerja yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 15 UU 24/2011 tentang BPJS, dikenai sanksi administratif, berupa teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, menyebutkan bahwa pemberi kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

Mengenai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, belum sepenuhnya dilaksanakan. Sanksi administratif yang diberlakukan atas pelanggaran sebagaimana Pasal 17 ayat (1) UU BPJS ada 3 (tiga) macam, yaitu teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda dilakukan oleh BPJS, sedangkan pengenaan sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Pengenaan sanksi administratif tersebut dilakukan secara berurutan, dimana bila teguran tertulis tidak berhasil maka sanksi denda akan dijatuhkan, dan begitu seterusnya.

Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh Prasetya (2019) dalam penelitiannya yang berjudulPelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Terhadap Pekerja Jasa Konstruksi Pada PT Fajar Berdasi Gemilang Berdasarkan Peraturan Menteri" dalam penelitiannya menghasilkan Pelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Terhadap Pekerja Jasa Konstruksi Pada PT Fajar Berdasi Gemilang Berdasarkan Peraturan Menteri.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris. Adapun manfaat dari peelitian ini adalah (a) Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja. (b) Meningkatkan motivasi dan kinerja pekerja.

 

METODE

 

Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis normatif yang menggunakan asas hukum, peraturan perundang-undangan dan doktrin sebagai abahan hukum utama, baham hukum utama dianalisis dan diinterprestasikan terhadap bahan hukum sekunder berupa literatur atau bahan pustaka, untuj menemukan hasil penelitian sesuai permasalahan yang diajukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

A.     Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Pekerja Notaris Yang Tidak Didaftarkan Sebagai Peserta Bpjs

1.      Hubungan Hukum Antara Notaris Dengan Pekerja Notaris

Dalam sektor hukum, perkembangan hubungan hukum di tengah masyarakat yang memerlukan alat bukti yang sah mengenai perbuatan hukum maupun peristiwa hukum yang mereka alami. Di bidang keperdata, alat bukti tertulis diakui sebagai alat bukti yang sah dan menempati kekuatan pembuktian terkuat diantara alat bukti lainnya. Akta otentik sebagai alat bukti tertulis mempunyai kekuatan pembuktian terkuat dan terpenuhi

Perkembangan hukum di tengah masyarakat seperti hubungan bisnis, pertanahan, perbankan dan hubungan sosial lainnya yang membutuhkan akta otentik sebagai alat bukti untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak, menjadikan kebutuhan terhadap keberadaan Notaris semakin meningkat.

Di sisi lain, pertambahan jumlah Notaris telah membawa dampak bertambahnya kantor Notaris dan pekerja Notaris. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Jaminan Nasional menyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib untuk: (a) Menjalankan jabatannya dengan nyata. (b) Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada menteri, organisasi Notaris, dan majelis pengawas daerah. (c) Menyampaikan alamat kantor dengan memberi contoh tanda tangan dan paraf, serta cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab dibidang agraria pertanahan, organisasi Notaris, ketua pengadilan negeri, majelis pengawas daerah, seta bupati atau walikota ditempat Notaris diangkat.

Berdasarkan kutipan pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa setiap Notaris wajib memiliki kantor sendiri berikut pekerjanya. Pekerja kantor notaris dapat dikatakan sebagai pekerja/buruh berdasarkan ketentuan pasal 2 UU ketenagakerjaan yang mengatakan bahwapekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Apabila ketentuan tersebut diatas dikaitkan dengan keberadaan kantor Notaris sebagai kantor yang memberikan pelayanan di bidang jasa, dalam hal ini jasa pembuatan akta otentik, maka Notaris dapat dikategorikan sebagai pemberi kerja (pasal 1 angka 9 UU 24/2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial). Apabila Notaris dikategorikan sebagai pemberi kerja dan kantor Notaris sebagai perusahaan hukum yang bergerak di bidang jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, maka segala ketentuan tentang perusahaan yang diatur dalam UU BPJS berlaku bagi kantor Notaris.

Perhatian dan kesadaran akan kenyamaan pekerja dapat ditunjukan melalui adanya upah atau gaji yang cukup dan mendaftarkan sebagai peserta program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Perhatian terhadap unsur kenyamanan tenaga kerja mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya maka jumlah kecelakaan kerja dapat dikurangi dan dapat membawa kesuksesan bagi seorang Notaris.

Sakit dan kecelakaan kerja merupakan hal yang sangat rentan dihadapi oleh pekerja dalam melakukan pekerjaan membantu kinerja Notaris dalam melayani jasa pembuatan akta, seperti melakukan pendaftaran dan mengesahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan, telah diatur dalamUU BPJS yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh rakyat indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka orang yang bekerja pada kantor Notaris dapat dikatakan sebagai pekerja yang seharusnya mendapatkan jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS.

Pendaftaran jaminan sosial yang dilakukan oleh Notaris terhadap pekerjanya sangat diperlukan guna melindungi dan membuat nyaman bagi pekerjanya dalam melakukan tugas dan pekerjaannya. Pekerja tidak dapat dipungkiri memiliki resiko-resiko pekerjaan yang muncul dalam menjalankan pekerjaannya seperti kecelakaan lalu lintas, baik dalam perjalanan menuju atau pulang dari tempat kerja maupun selama dalam jam kerja yang bisa mengakibatkan sakit bahkan hingga kematian. Jaminan sosial inilah yang dimaksudkan untuk membantu pekerja apabilan resiko-resiko pekerjaan itu terjadi.

Notaris sangat memegang peranan penting dalam hal melindungi dan menciptakan kondisi hubungan kerja yang harmonis dengan pekerjaannya agar pekerjaanya merasa nyaman dalam melakukan tugas dan pekerjaannya. Berdasarkan Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya, wajib mendfatarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta BPJS sesuai dengan jaminan sosial yang diikuti.

Sebagai pemberi kerja, Notarissecara bertahap wajib untuk mendaftarkan pekerjaannya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan dengan memberikan fata pekerjanya sebagai anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. Tahapann ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2013 (perpres 109/2013) tentang penahapan kepesertaan prohram jaminan sosial.

Kewajiban merupakan suatu beban yang bersifat kontraktual, hak dan kewajiban ini bisa timbul apabila terjadi hubungan hukum antara kedua pihak yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Oleh sebab itu, selama hubungan hukum lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual yang memiliki keharusan atau kewajiban untuk dipenuhi. Sebaliknya yang dinamakan tanggung jawab yakni beban yang bersifat moral. Pada dasarnya, sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula tanggung jawab.

Hubungan hukum antar pekerja dnegan pemberi kerja dalam konteks sistem jaminan sosial nasional, hubungan mana ditentukan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN dan pasal 15 ayat (1) yang berbunyi:

wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada badan penyelengara jaminan sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan dari sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada badan penyelenggara jaminan sosial

 

B.      Dasar hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bagi Tenaga kerja yang Melakukan Pekerjaan Diluar Hubungan Kerja

Dasar hukum penyelenggara program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja memiliki beberapa landasan hukum yang dapat dijadikan pedoman yakni UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan dan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER24/MEN/VI/2006 tentang pedoman program Jaminan Sosial tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar Hubungan Kerja.

Terdapat tiga unsur penting dalam upaya pengerahan dan pendayagunaan tenaga kerja yang masing-masing mempunyai lingkup pengertiannya tersendiri. Unsur pertama yakni pengerahan diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan untuk mempekerjakan tenaga kerja. Adapun unsur kedua, yaitu pendayagunaan pengertiannya ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk menataguna menggunakan, mengembangkan tenaga kerja secara optimal, berhasil dan berdaya guna. Unsur terakhir tenaga kerja, diartikan sebagai berikut:

setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa, untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat

Berdasarkan uraian diatas, pengertian tenaga kerja jelas lebih luas dari pada pengertian pekerja. Tenaga kerja meliputi setiap orang, baik yang sedang maupun yang akan melakukan pekerjaan. Bagi yang sedang melakukan pekerjaanpun, pekerjaan termasuk dapat dilakukan dalam maupun diluar hubungan kerja. Di sisi lain, pengertian pekerja hanya terbatas pada setiap orang yang sedang mealkukan pekerjaan, khususnya di dalam hubungan kerja. Dengan demikian, pekerja termasuk ke dalam pengertian tenaga kerja

 

C.      Bentuk Perjanjian Kerja Antara Notaris Dengan Pekerja Notaris

Perjanjian adalah kesepakatan yang terjadi para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Istilah perjanjian sering juga diistilahkan dengan istilah kontrak (kontrak). Kontrak dengan perjanjian merupakan istilah yang sama karena intinya adalah adanya peristiwa para pihak yang mencapai kata sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum yang disebut perikatan. Dengan demikian, dalam kontak dan perjanjian dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut karena itulah kontrak yang dibuat dipandang sebagai sumber hukum yang formal.

Ada 2 macam teori yang membahas pengertian perjanjian, yaitu: teori lama dan teori baru. Dalam pasal 1313 KUHPerdata disebutkan, �perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih

 

 

D.     Sanksi atas kelalaian Pendaftaran BPJS

Pasal 15 ayat (1) dan pasal 15 ayat (2) UU BPJS telah membebankan kewajiban kepada Pemberi Kerja, setiap orang selain Pemberi kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan iuran (sebagaimana pasal 16 ayat (1) UU BPJS) agar melakukan pendataran kepesertaan di BPJS. Untuk menjamin dan untuk memastikan agar mereka yang menanggung kewajiban itu agar melakukan pendaftaran perogram jaminan sosial d BPJS, para pembuat Undang-Undang telah memasukkan unsur sanksi terhadap para pelanggar ketentuan pasal 15 ayat 91), pasal 15 ayat (2) dan pasal 16 ayat (1) UU BPJS. Pasal 17 ayat (1) UU BPJS menegaskan sebagai berikut:

pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dikenai sanksi administratif

Sanksi administratif yang diberlakukan atas pelanggaran sebagaimana pasal 17 ayat (1) UU BPJS ada 3 macam, yaitu teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu oleh BPJS, sedangkan pengenaan sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Pengenaan sanksi adminstratid tersebut dilakukan secara berurutan, dimana bila teguran tertulis tidak berhasil maka sanksi denda akan dijatuhkan, dan begitu seterusnya.

Secara khusus, pengaturan tentang mekanisme pengenaan sanksi administratif atas kelalian mendaftar program jaminan sosial terdapat dalam peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 86 tahun 2013 (PP 86/2013) tentang tata cara pengenaan sanksi adminstratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggara jaminan sosial.

 

E.      Perlindungan Tenaga Kerja

Perlindungan hukum merupakan perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan bagi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai perkumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Di indonesia, perlindungan hukum yang dimaksud senantiasa berdasarkan oleh pancasila sebagai landasan idiil, meski konsep perumusannya menggunakan beragam pemikiran dunia barat yang penekanan konsepnya bertumpu pada perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, secara sederhana konsep perlindungan hukum terhadap pekerja di indinesia tetap bertumpu pada perlindungan harkat dan martabat kaum pekerja. Berikut hak-hak kemanusiaannya, baik secara individual maupun sebagaipekerja

Perlindungan pekerja secara tegas diatur berdasarkan Pasal 5 UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku/ras, agama, dan aliran politik tertentu sesuai dnegan minat dna kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk mendapat perlakukan yang sama terhadap para penyandang disabilitas. Selanjutnya pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberi hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku/ras, agama, warna kulit dan atau aliran politik.

Bagi pekerja, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menciptakan suasana kerja yang tertera dan damai sehingga pekerja dapat memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa harus khawatir suatu saat akan tertimpa kecelakaan kerja. Bagi pengusaha adanya pengaturan keselamatan kerja dalam perusahaannya dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan pengusaha harus memberi jaminan sosial. Bagi pemerintah dan masyarakat, dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakat akan tgercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan, baik kuantitas maupun kualitas

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan suatu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberi perlindungan sosial ekonomi pada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara, indonesia seperti haknya berbagai negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan Funded social security, yakni jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.

Perlindungan terhadap tenaga kerja bertujuan untuk menjamin hak mendasar pekerja serta menjamin kesamaan dan perlakukan tanpa adanya diskriminasi atas dasar apa pun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pekerja dan kelaurganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha.

 

F.      Sanksi Bagi Notaris Yang Tidak Mengikutsertakan Pekerjanya Dalam Program Bpjs

1.      Jenis sanksi Hukum dan Undang-Undang Jaminan Nasional

Sanksi merupakan alat pemaksa, selainhukuman, juga untuk mentaati ketetapan yang ditentuakn dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan seperti alat bukti pemaksa sebagai hukum jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum. Dan tiap aturan hukum berlaku di indonesia selalu terkandung sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi di indonesia tidak hanya terdapat dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk aturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain dibawah undang-undang. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Seolah-olah aturan hukum yang bersangkutan tidak bertaring atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi.

Notaris sebagai manusia biasa, dalam menjalankan tugas jabatannya dapat melakukan kesalahan atau pelanggaran. Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan Notaris sebagaimana diatur dalam pasal 16 dan 17 UUJN, dapat dikarnakan sanksi baik berupa sanksi perdata, sanksi administratif, sanksi kode etik berupa sanksi perdata, sanksi adminstratif, sanksi kode etik bahkan sanksi pidana. Sanksi perdata umumnya merupakan sanksi yang diberikan atas pelanggaran hukum Privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar pribadi dalam memenuhi segala kepentingan.

Sanksi adminstratif merupakan sanksi yang timbul dari hubungan antara pemerintah (melalui lembaga yang berwenang) dan warganya. Tanpa perantara seorang hakim, sanksi itu dapat langsung dijatuhkan oleh pemerintah. Sanksi kode etik dapat dijatuhkan terhadap notaris yang melakukan pelangaran terhadap kode etik jabatan notaris. Sanksi tersebut diajtuhkan oleh majelis kehomartan notaris. Adapun sanksi pidana karena tidak diatur secara tegas dalam UUJN, maka sanksi pidana akan diajatuhkan baila notaris dalam menajalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur delik tertentu suatu tindak pidana berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).

UUJN mengkalrifikasi empat jenis sanksi administratif yang diajatuhkna terhadap pelanggaran beberapa pasal yang disebutkan secara limitatif yaitu berupaperingatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Penjatuhan sanksi-sanksi administratif dialkukan hanya apabila terbukti melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1), pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l, pasal 16 ayat (13), pasal 17 ayat (1), pasal 19 ayat (2), pasal 32 ayat (1,2, dan 3), pasal 37 ayat (1) dan pasal 54 ayat 91) UUJN.

2.      Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris

Instansi utama yang dapat menjatuhi sanksi terhadap Notaris yaitu majelis pengawas notaris yang dibuat majelis pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada pada dalam kendali majelis pengawas. Oleh karena itu seharusnya majelis pemeriksa hanya dapat berwenang untuk menerima laporan yang diterima dari masyarakat atas dari sesama notaris, melakukan pemeriksaan dan persidangan secara terbuka, dan jika menurut hasil pemeriksaan majelis pemeriks terbukti bahwa notaris yang besangkutan telah melakukan pelanggaran dalam pelakswanaan tugas jabatan notaris, maka kemudian majelis pemeriksa melaporkannya kepada majelis pengawas, dan disertai dengan usulan untuk menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu.

Selanjutnya majelis pengawas akan memutuskan sanksi yang dijatuhkan kepada notaris yang bersangkutan. Sanksi yang dijatuhkan oleh majelis pengawas tersebut, notaris diberi kesempatan untuk melayangkan keberatan pada majelis pengawas yang telah menjatuhkan sanksi padanya. Apabila tidak puas dapat mengajukan banding pada instansi maejlis pengawas yang lebih tinggi dan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, jika putusan majelis pengawas tetap tidak memuaskan notaris yang bersangkutan.

Sanksi pidana terhadap notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatan notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan kepada UUJN. Jika semua tata cara pembuatan akta sudah ditempuh suatuh hal yang tidak mungkin seorang notaris secara sengaja bersama-sama atau membantu oenghadap secara sadar membuat akta untuk melakukan suatu tindak pidana, sanksi pidana terhadap notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umm yaitu KUHP. UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk notaris, berkaitan dengan kumulasi sanksi terhadap notaris dalam kaidah peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi sering tidak hanya memuat satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang diberlakukan secara kumulasi, adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hanya mengancam pelanggaranya dengan snaksi pidana, tetapi pada saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi.

Berdasarkan ketentuan sanksi yang diatur dalam UUJN, dapat dikatakan bahwa pelanggaran kode etik Notaris dapat disamakan dengan pelanggaran undang-undang, sehingga dapat dikenakan sanksi yang bersal dari undang-undang. Dalam hal ini kode etik Notaris menganut penundukkan pada undang-undang, penegakan kode etik adalah usaha melaksanakan kode etik sebagaimana mestinya, mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran, nkarena kode etik adalah bagian dari hukum positif, maka nomra-norma penegakan hukum undang-undang berlaku pada penegakan kode etik.

Ditinjau dari alternatif yang telah dijelaskan sebelumnya setiap undang-undang diharapkan mencantumkan dengan tegas sanksi yang diancamkan kepada pelanggannya. Walaupun tidak dapat diadakan sebuah perubahan ketentuan sanksi pidana mdalam UUJN, tetapu KUHP dapat diterapkan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran pidana, jika dapat dibuktikan dipengadilan bahwa secara sengaja atau tidak sengaja Notaris berasama-sama dengan para pihak atau pengahadap membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau pengahadap tertentu saja atau merugikan pengahadap yang lain. Bila hal ini terbutki, Notaris wajib dihukum dan KUHP secara umum dapat diterapkan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran sesuai dnegan asas Lex Specialis derogate legi generali yang ditafsirkan secara a contrario (penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan eprlawanan antar apengertian kongkrit yang diahadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang) yaitu sepanjang tidak diatur pengaturan mengenai sanksi pidana dalam UUJN secara khusus maka akan berlaku ketentuan sanksi pidana secara umum (KUHP).

Disisi lain. Dapat pula dipertimbangkan, apabila bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa perlu menggunakan hukum pidana, sebaiknya tidak perlu (ultimatum remedium). Jan remmelink berpendapat bahwa.

kita harus mengakui bahwa kadar keseiusan pelaku, sifat perilaku yang merugikan atau mebahayakan, termasuk situasi kondisi yang meliputi perbuatan tersebut memaksa kita menarik kesimpulan bahwa sistem-sistem sanksi lainnya dmei alasan teknis murni, kurang bermanfaat untuk menanggulangi atau mencegah dilakukannya tindak kriminal, namun demikian pidana harus selalu tetap dipandang sebagai ultimum remedium

Pendapat Remmelink diatas dapat diartikan bahwa sanksi pidana masih tetap dibutuhkan namun dengan tetap memperhatikan asas ultimatum remedium. tetapi apabila dengan dijatuhkannya kepada seseorang terutama Notaris dengan hukum pidana seperti hukuman percobaan ataupun hukuman denda, pidana penjara dapat dihindari. Jika sekiranya terpaksa menggunakan pidana penjara, harus dipilih sesuai dengan kesalahan terdakwa baik ringan maupun berat agar dikemudian hari dapat memberikan pelajaran dan manfaat bagi terdakwa maupun masyarakat luas.

 

KESIMPULAN

Dari hasil pengolahan dan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbandingan prediksi Markov dan hasil SDI untuk luas kondisi jalan yang melibatkan tindakan pemeliharaan adalah cukup baik. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja di kantor notaris masih perlu ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tersebut antara lain kesadaran karyawan dan manajemen terhadap pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan perusahaan yang mendukung pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja, dan ketersediaan dana untuk membiayai jaminan sosial/BPJS ketenagakerjaan.

 

BIBLIOGRAFI

Afifah, W., & Paruntu, D. N. (2015). Perlindungan Hukum Hak Kesehatan Warga Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Mimbar Keadilan, 150�169.

Amanda, B. T., Prasetya, A. Y., Kaharudin, K., & Anis, B. J. (2021). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Sebagai Strategi Manajemen Berbasis Keadilan Sosial dalam Pelayanan Kesehatan. Prosiding EMAS: Ekonomi Manajemen Akuntansi Kewirausahaan, 1(1), 183�190.

Chumaida, Z. V., Sabrie, H. Y., Dian, W., & Amalia, R. (2016). Aspek Hukum Kartu Indonesia Sehat. Yuridika, 31(3), 498�520.

Hitaningtyas, R. D. P. (2017). Penghapusan Sanksi Pidana Terkait Kewajiban Pemberi Kerja Untuk Mengikutsertakan Pekerjanya Dalam Program Jaminan Sosial. Jurnal Panorama Hukum, 2(1), 21�32.

Marsidah, M. (2019). TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011. Solusi, 17(2), 193�202.

Pahlefi, P., Herlina, N., & Manik, H. (2021). Asas Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kota Jambi. Wajah Hukum, 5(1), 195�201.

Putra, W. M. (2014). Analisis Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan Tahun 2014.

RISET, K., & TINGGI, T. D. A. N. P. (n.d.). KEWAJIBAN PENGUSAHA STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM PT. SULIANTI MENGIKUTSERTAKAN TENAGA KERJA DALAM JAMINAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.

Tampi, A. G. C., Kawung, E. J. R., & Tumiwa, J. W. (2016). Dampak Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Terhadap Masyarakat Di Kelurahan Tingkulu. Acta Diurna Komunikasi, 5(1).

Vandawati, Z., Sabrie, H. Y., Pawestri, W. D., & Amalia, R. (2016). Aspek Hukum Kartu Indonesia Sehat. Yuridika, 31(3), 498�520.


Prasetya, G. (2019). Pelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Terhadap Pekerja Jasa Konstruksi Pada PT Fajar Berdasi Gemilang Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2015 Di Kota Pekanbaru. Universitas Islam Riau.


Copyright holder:

Ilwira Fakhrurrazi Lubis (2023)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: