Volume 4, No. 3 Maret 2023
p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356
EFEKTIVITAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN
2021 DAN PERATURAN PERUSAHAAN TERHADAP PEMBERIAN SURAT SANKSI KEPADA PEKERJA
Ayu Aulia Rahmitasari, Siti Hajati Hoesin
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak: ��������
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis efektivitas peraturan tersebut dalam hal memberikan
sanksi kepada pekerja di lingkungan kerja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur,
di mana data diperoleh dari
literatur dan dokumen yang terkait dengan topik yang diteliti. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis
isi literatur dan dokumen yang terkait dengan peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan terkait pemberian surat sanksi kepada pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan memiliki peran yang penting dalam menentukan pemberian surat sanksi kepada pekerja.
Namun, efektivitas peraturan tersebut dalam memberikan sanksi kepada pekerja
masih perlu ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas peraturan tersebut antara lain kesadaran pekerja terhadap aturan, kejelasan peraturan, dan pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya untuk meningkatkan efektivitas peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan terkait pemberian surat sanksi kepada pekerja,
seperti meningkatkan kesadaran pekerja terhadap aturan, memperjelas peraturan, dan meningkatkan pengawasan oleh perusahaan. Dengan demikian, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik dan meminimalkan terjadinya pelanggaran aturan di tempat kerja.
�����������������������������������������������������������������������
Kata Kunci: Efektivitas Hukum; Pemberian
Surat Sanksi; Pekerja.
Abstract:
This study aims to analyze
the effectiveness of these regulations in terms of sanctioning workers in the
work environment. The method used in this study is a literature study, in which
data are obtained from literature and documents related to the topic under
study. Data analysis was carried out using a qualitative approach, namely by
analyzing the content of literature and documents related to government
regulations and company regulations related to the provision of sanctions
letters to workers. The results showed that government regulations and company
regulations have an important role in determining the provision of sanctions
letters to workers. However, the effectiveness of these regulations in
sanctioning workers still needs to be improved. Some factors that affect the
effectiveness of these regulations include workers' awareness of the rules,
clarity of regulations, and supervision carried out by the company. This study
recommends the need for efforts to improve the effectiveness of government
regulations and company regulations related to providing sanctions letters to
workers, such as increasing workers' awareness of the rules, clarifying
regulations, and increasing supervision by companies. Thus, it is expected to
create a better working environment and minimize the occurrence of violations
of rules in the workplace.
Keywords: Legal Effectiveness, Giving
Sanctions Letter, Worker�����
Article History�����������
Diterima��������� :
05 Maret 2023
Direvisi����������� :
Publish������������ :
�����������
PENDAHULUAN
Pada dasarnya
Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Konsekuensi
Indonesia sebagai negara hukum
dapat dilihat bahwa setiap sikap,
tindakan, dan perilaku alat negara, serta penduduk harus didasarkan dan sesuai dengan hukum, karna
hukum merupakan supremasi dan perintah tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Hukum juga merupakan
instrumen negara yang memuat
larangan dan perintah guna terciptanya kehidupan yang aman dan nyama bagi masyarakat.
Dari konsekuensi itulah untuk menegakkan hukum perlu adanya
proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh badan pemerintahan.
Tujuan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif itu
sendiri untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik itu
aspek kehidupan secara individu maupun umum. Salah satu aspek yang diatur oleh hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah Hukum Ketenagakerjaan
Pada dasarnya, fungsi Hukum Ketenagakerjaan mengatur hubungan yang serasi antara semua
pihak yang berhubungan dengan ketenagakerjaan
Mengenai perjanjian kerja, pada dasarnya landasan hubungan kerja tercipta karena adanya kesepakatan antara 2 (dua) pihak (pekerja dengan pengusaha) yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Pengertian secara eksplisit dijelaskan dalam UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak
Mengenai pengaturan atas pembuatan peraturan perusahaan tidak diubah dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya
disebut Perpu Cipta Kerja), sehingga
pemberlakuan pengaturan mengenai peraturan perusahaan dalam UU Ketenagakerjaan masih berlaku. Pengaturan pembuatan peraturan perusahaan diatur dalam Pasal 108 s.d Pasal 115 UU Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 108 UU Ketenagakerjaan setiap perusahaan diwajibkan memiliki dan membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat yang berwenang, apabila perusahaan tersebut telah mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) orang. Namun, pembuatan peraturan perusahaan tersebut tidak berlaku apabila
perusahaan tersebut telah memiliki perjanjian kerja bersama. Pasal 109 UU Ketenagakerjaan menyebutkan peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggungjawab dari perusahaan tersebut
Selain itu, ketentuan yang terdapat dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perubahan atas isi peraturan
perusahaan sebelum berakhirnya jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan
berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan buruh sebagaimana diatur dalam Pasal
113 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan
Pengaturan atas pemberian surat sanksi dalam
UU Ketenagakerjaan dihapus
oleh Perpu Cipta Kerja sehingga pengaturan pemberian sanksi kepada pekerja
sekarang merujuk ke Perpu Cipta
Kerja dan dijelaskan lebih rinci dalam
PP No. 35 Tahun 2021
Ada pun penelitian
yang serupa dilakukan oleh
(Handhika & Hendrawan,
2021), dalam penelitiannya
yang berjudul �Implementasi
Algoritma Multifactor Evaluation Process (MFEP) untuk Penilaian Teknisi Promosi Karyawan Tetap Berbasis web" dalam penelitiannya menghasilkan sistem pendukung keputusan yang membantu manajer dalam mempromosikan
pegawai secara objektif. Aplikasi ini menghasilkan system pendukung keputusan yang menyajikan hasil nilai pegawai berupa
grafik dengan menggunakan metode Multifactor Evalution Process (MFEP). Berbeda
dengan penelitian ini adalah penelitian
ini lebih difokuskan kepada alogaritma penghitungan mesin uang yang tidak dilakukan oleh penelitian sebelumnya.
Berdasarkan uraian latar belakang
permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
untuk menganalisis tentang bagaimana hukum positif ketenagakerjaan
mengatur mengenai penerapan pemberian surat sanksi kepada
pekerja serta bagaimana faktor yang berperan dalam efektivitas PP No. 35 Tahun 2021
dan Peraturan Perusahaan PT X terhadap
pemberian sanksi kepada pekerja.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal atau yuridis normatif, sumber data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang didukung dengan data primer dari hasil wawancara dengan beberapa informan dan bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan (UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan,
Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,
dan PP No. 35 Tahun 2021 tentang
PKWT, Alih Daya, Waktu Istriahat,
dan Waktu Kerja, dan PHK. Namun,
dibutuhkannya juga bahan hukum sekunder serta tersier. Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang didasarkan pada hasil penelitian yang diuraikan secara jelas dengan menggunakan
kata-kata sehingga penelitian
ini mengkaji bagaimana efektivitas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan terhadap pemberian surat sanksi kepada pekerja
di PT X, beserta faktor-faktor
yang berperan dalam efektivitas aturan tersebut.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Yuridis atau Aturan
Ketenagakerjaan Mengenai Penerapan Pemberian Surat Sanksi kepada Pekerja
Bahwa dalam
bidang hukum perburuhan terdapat 2 (dua) jenis sumber hukum
yaitu kaedah hukum otonom dan heteronom. Kaedah otonom merupakan ketentuan atau aturan hukum yang ditentukan berdasarkan ketentuan para pihak (antara pekerja dengan perusahaan) yang memiliki hubungan kerja yang dituangkan perjanjian. Sedangkan kaedah hukum heteronom
adalah merupakan ketentuan atau aturan hukum yang ditentukan dan ditetapkan oleh Pihak Ketiga di luar hubungan kerja
dalam hal ini adalah Pemerintah,
yang dituangkan dalam instumen hukum berupa undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang berwenang, dan dalam hal menjadikam sumber hukum yang dominan.
Terdapat faktor
yang mempengaruhi berkembangnya
kaedah otonom adalah heteronom adalah model hubungan industrial
yang dianut dalam suatu negara. Indonesia merupakan
negara yang menganut hukum
Civil Law System, yang menjadikan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Pemerintah merupakan sumber hukum ketenagakerjaan
paling dominan. Berdasarkan
sistem hukum yang dianut tersebut mempengaruhi model hubungan
industrial yang dianut oleh Indonesia, adalah corporatis model. Adapun definisi corporatis model adalah pembentukan atas batasan hubungan
kerja, syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak antara pekerja dan pengusaha diatur melalui jalur legislatif,
dalam hal ini peran negara sangat dominan dalam menyusun
hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan kondisi kerja yang dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan
yang dijadikan sebagai sumber hukum utama.
Syarat kerja dan aturan kerja yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dapat diturunkan menjadi kaedah hukum otonom
berupa perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Namun, subtansi atas pembentukan
kaidah otonom wajib tetap memperhatikan
kaedah hukum heteronom berupa peraturan perundang-undangan mengingat peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum utama
Apabila menyangkut
hak pekerja aturan tersebut wajib bersifat minimum, sebaliknya apabila menyangkut kewajiban pekerja aturan tersebut wajib bersifat maksimum. Kaidah otonom yang dibuat oleh PT X adalah pembentukan peraturan perusahaan dan pembuatan perjanjian kerja. Batasan berupa larangan dan perintah yang wajib dipatuhi dan perhatikan oleh pekerja dituangkan dalam peraturan perusahaan dan perjanjian kerja. Secara subtansial,
perjanjian kerja wajib memuat hak
dan kewajiban para pihak (pengusaha dan pekerja) yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
dan/atau syarat kerja yang diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Definisi perjanjian kerja itu sendiri dalam
Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 9 PP No. 35 Tahun 2021 adalah:
�Perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.�
Jika demikian definisi dan subtansi serta hal-hal tertentu
yang wajib ada di perjanjian kerja, maka dapat dikatakan
secara keseluruhan yang terdapat dalam perjanjian kerja akan berkaitan langsung dengan subtansi yang terdapat dalam peraturan perusahaan. Sehingga subtansi atas seluruh
keadaan atau kejadian tertentu, syarat kerja, hak,
dan kewajiban para pihak sama-sama diatur dalam kedua instrumen
perusahaan tersebut. Hal tersebut juga didukung dengan persyaratan perjanjian kerja dapat berakhir karena beberapa hal salah satunya adanya keadaan atau kejadian tertentu
yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama berdasarkan
ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Sehingga, pada prinsipnya ketika pekerja menandatangani perjanjian kerja, pekerja tersebut menyetujui dan mengetahui ketentuan yang ada di dalam peraturan
perusahaan. Apabila dikemudian hari pekerja melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja, pekerja tersebut akan mendapatkan sanksi berupa pemberian
surat peringatan. Pada dasarnya, surat peringatan merupakan salah satu upaya untuk
menghindaru terjadinya PHK
oleh perusahaan, karena dengan adanya surat
peringatan ini perusahaan tidak serta merta melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan pekerja.
Dalam artian proses PHK tidak dilakukan secara mendadak dan terkesan terburu-buru, dan bahkan pekerja diberikan kesempatan kembali untuk memperbaiki
kinerja atau tindakannya dan dapat mencapai standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Pemberian surat
peringatan oleh PT X bagi pekerja yang lalai atau melanggar ketentuan perusahaan baik yang terdapat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja dapat berupa pemberian
bimbingan konseling, teguran secara lisan maupun tertulis,
atau surat peringatan. Pada dasarnya pengaturan mengenai pemberian surat peringatan telah diatur dalam peraturan
nasional, yaitu Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan dalam hal pekerja
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila perusahaan
telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Jangka waktu berlakunya surat peringatan masing-masing berlaku
paling lama 6 (enam) bulan,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Selanjutnya pada ayat
yang mengatur mengenai jangka waktu berlakunya
surat peringatan dijelaskan bahwasannya
masing-masing surat peringatan
dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Jadi dapat dikatakan setiap surat sanksi
memiliki kriteria pelanggarannya masing-masing. Masih dalam
penjelasan ayat yang sama, apabila surat
peringatan telah kadaluwarsa atau tidak berlaku lagi
kemudian pekerja melakukan kesalahan atau pelanggaran kembali, maka surat
peringatan yang diberikan pekerja yang bersangkutan kembali ke surat
peringatan pertama dan seterusnya. Dalam penjelasan pasal ini juga memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir.
Jangka waktu
berlakunya peringatan pertama dan terakhir berlaku selama 6 (enam) bulan, jadi
apabila masih dalam tenggang waktu peringatan awal dan terakhir masih berlaku pekerja
melakukan kesalahan atau pelanggaran atas ketentuan perusahaan, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Pemberian tenggang waktu selama 6 bulan tersebut bertujuan sebagai upaya upaya
mendidik pekerja agar dapat memperbaiki kesalahannya.
Secara garis besar
perusahaan dapat menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja. Berkaitan dengan pelanggaran tertentu, perusahaan dapat mengeluarkan surat peringatan ketiga secara langsung atau langsung memecat
pekerja yang bersangkutan. Bagi pekerja yang di PHK, alasan PHK berperan besar dalam menentukan
kepastian dan kesahan atas hak-hak yang akan diperoleh pekerja nantinya. Dua hal yang berkaita dengan pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan dan dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja sebagai berikut berdasarkan UU Ketenagakerjaan yaitu pekerja melakukan
kesalahan berat, kesalahan yang termasuk dalam kategori kesalahan berat dan pekerja melakukan pelanggaran.
Bahwa secara
umum dalam hubungan kerja terdapat suatu ikatan antara pekerja
dan perusahaan yang diimplementasikan
dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh perusahaan yang isinya mengenai hak dan kewajiban para pihak, syarat-syarat kerja, dengan perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak dengan harapan
dalam pengimplementasian aturan atau ketentuan
perusahaan dapat dipatuhi dan tidak dilanggar oleh salah satu pihak. Pelanggaran atas ketentuan perjanjian kerja dan peraturan perusahaan yang dilakukan oleh pekerja pasti memiliki sebuah sanksi, sanksinya dapat berupa teguran lisan atau surat
tertulis, surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.
Setelah diundangkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
(selanjutnya disebut Perppu Cipta Kerja)
ketentuan mengenai pemberian surat sanksi yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan dihapus dan tujuan pemberian surat peringatan tersebut diatur dalam Pasal
151 ayat (1) Perpu Cipta Kerja yang menyatakan perusahaan, pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya
harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengaturan tersebut dijelaskan lebih rinci dalam
PP No. 35 Tahun 2021 tentang
PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja,
Waktu Istirahat, dan PHK. Dalam
Pasal 36 huruf k PP No. 35 Tahun 2022 yang menyatakan bahwasannya pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat terjadi karena
beberapa alasan salah satunya pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan pekerja tersebut telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut, yang
masing-masing surat tersebut
memiliki jangka waktu selama paling lama 6 (enam) bulan kecuali
hal tersebut ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Selain itu dijelaskan
kembali dari Pasal 52 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021, dalam pasal tersebut dijelaskan hak-hak yang diberikan kepada yaitu:(a) Uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) ;(b) Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); (c) Uang penggantian hak sesuai dengan
ketentuan Pasal 40 ayat (4).
Terdapat penjelasan
atas Pasal 52 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2022
yang menyatakan pemberian surat peringatan wajib diterbitkan secara berurutan yaitu jangka waktu
surat peringatan pertama berlaku selama enam bulan.
Apabila dalam tenggang waktu enam bulan surat
peringatan pertama, pekerja melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka perusahaan
dapat menerbitkan surat peringatan kedua yang sama-sama memiliki jangka waktu berlaku selama
6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan kedua. Kemudian, apabila dikemudian hari pekerja masih
melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka perusahaan dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya
peringatan. Apabila masih dalam tenggang
waktu surat peringatan ketiga pekerja tetap masih
melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka
perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan tetap memperhatikan
hak-hak pekerja yang diamanatkan oleh undang-undang.
Selanjutnya, apabila
penerbitan surat peringatan pertama telah melebihi jangka waktu berlakunya
surat peringatan selama enam bulan
sejak diterbitkan, maka apabila pekerja
melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan
yang diterbitkan oleh pengusaha
adalah kembali ke awal atau
surat peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. Selain itu perusahaan diberikan kebebasan oleh Pasal ini untuk
mengatur pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir dan dimuat dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.� Jangka waktu berlakunya
peringatan pertama dan terakhir berlaku selama enam bulan,
jadi apabila masih dalam tenggang
waktu peringatan awal dan terakhir masih berlaku pekerja
melakukan kesalahan atau pelanggaran atas ketentuan perusahaan, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Tenggang waktu enam bulan
dimakudkan sebagai upaya mendidik pekerja untuk memperbaiki
kesalahannya dan enam bulan tersebut dianggap merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian kepada pekerja yang bersangkutan.
Secara garis besar
pengaturan yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan dengan PP No. 35 Tahun 2021 mengenai pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan kepada pekerja yang melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama memiliki subtansi yang sama. Namun, perbedaan antara kedua aturan
tersebut dibedakan pada saat penerbitan surat peringatan, dalam UU Ketenagakerjaan penerbitan surat peringatan dalam dilakukan secara berurutan atau tidak, sedangkan dalam PP No. 35 Tahun 2021 penerbitan surat peringatan harus dilakukan secara berurutan, sebagai mitigasi awal atas
bentuk perlindungan oleh undang-undang kepada pekerja dari pemutusan
hubungan kerja (PHK). Jika melihat dari definisi
kata berurutan menurut KBBI
adalah berjalan sesuai dengan urutannya
atau berturut-turut.
�� Jika melihat pada hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai kebijakan lembur sudah diuraikan
cukup jelas, namun tetap perlu
adanya penetapan lebih rinci kembali
dari pengusaha terhadap penerapan pemberian surat sanksi yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pelaksanaan di PT X pengaturan mengenai implementasi pemberian surat sanksi kepada
pekerja dituangkan lebih utama dalam
peraturan perusahaan baru kemudian dalam
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Menindaklanjuti Pasal 36 huruf k dan Pasal 52 ayat (1) beserta penjelasannya dalam PP No. 35 Tahun 2021, PT X telah menguraikan jenis atau kriteria
pelanggaran yang dapat diberikan surat peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) dan surat peringatan pertama dan terakhir beserta tata cara pemberian surat peringatannya dalam Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 Peraturan Perusahaan
(PP). Selain itu PT X juga telah membuat peraturan
turunan atas PP tersebut di dalam Surat Keputusan
Direksi PT X tentang Kriteria dan Penanganan Pelanggaran yang menyatakan bahwasannya ketentuan atas pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan khusunya surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga diberikan kepada pekerja secara berurutan atau berjenjang. Selain itu, perusahaan juga telah mengklasifikasikan pelanggaran yang dapat diberikan surat peringatan pertama dan terakhir. Sehingga, dapat dikatakan pemberian surat sanksi kepada pekerja
yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan dan perjanjian kerja secara berturut-turut
berlaku absolut dan mengikat kepada setiap insan perusahaan.
Sehingga dapat
dikatakan pengaturan mengenai pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan baik secara nasional
yang diundangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun secara internal perusahaan berupa peraturan perusahaan telah diatur dengan
baik dan teratur.
Faktor yang Berperan
dalam Efektivitas PP No. 35
Tahun 2021 dan Peraturan
Perusahaan PT X terhadap Pemberian
Sanksi kepada Pekerja
1. Efektivitas Penerapan PP No. 35 Tahun 2021
dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap
Penerapan Pemberian Sanksi kepada Pekerja
Pada dasarnya hukum tidak dapat
tegak dengan sendirinya dalam mewujudkan norma-norma, janji � janji, larangan, dan perintah yang terkandung dalam peraturan, putusan, serta keputusan guna mencapai tujuan
hukum itu sendiri. Sehingga penerapan hukum itu memerlukan subyek hukum sebagai
kepanjangan tangan dari terciptanya tujuan hukum yang absolut tersebut. Pada prinsipnya hukum dibuat untuk dilaksanakan,
tidak dapat dikatakan sebagai hukum apabila tidak
pernah dilaksanakan
Perwujudan hukum
pada faktanya tidak terlepas dari fungsi
hukum itu sendiri. Fungsi hukum bersifat luas, sehingga tergantung pada tujuan-tujuan hukum, baik yang bersifat umum ataupun
spesifik yang ingin dicapai. Fungsi-funsi yang dimaksud diuraikan sebagai berikut:
a.� Fungsi hukum sebagai
a tool of social control, fungsi ini
menjadikan hukum sebagai alat pengendalian
sosial, untuk menetapkan tingkah laku yang mana dianggap sebagai penyimpangan terhadap aturan hukum dan sanksi apa atau tindakan
yang dilakukan oleh hukum jika penyimpangan tersebut terjadi.
b.� Fungsi hukum sebagai
a tool of social engineering, fungsi ini menjadikan hukum sebagai alat
untuk merubah masyarakat, hukum akan digunakan sebagai suatu alat
atau agent of change, atau pelopor perubahan sosial. Sehingga fungsi hukum ini
sangat penting untuk melakukan perubahan terhadap kultur masyarakat.
Berdasarkan pemaparan
fungsi hukum di atas, salah satunya hukum sebagai a tool of social
control atau dapat dikatakan hukum sebagai alat atau
perangkat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial
tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu sendiri. Untuk
mewujudukan fungsi hukum tersebut, dibutuhkannya perwujudan kaidah hukum terhadap
praktik hukum dan kehidupan masyarakat. Perwujudan tersebut biasa dikenal sebagai
penegakan hukum. Definisi sederhana penegakan hukum adalah suatu usaha
yang melibatkan manusia dan
tingkah lakunya untuk mempertahankan suatu hukum dan ketertiban, serta mewujudkan keinginan hukum yang berasal dari ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan yang merupakan hakekat dari penegakan
hukum. Penegakan hukum merupakan rangkaian Dalam hal kolerasi antara
penegakan hukum dengan efektivitas hukum sangat terikat satu sama lain, karena keberhasilan penegakan hukum sangat berpengaruh terhadap efektivitas penerapan hukum itu sendiri.
Definisi efektivitas
hukum adalah kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum dengan
pelaksanaanya. Apabila hukum dapat diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapat dikatakan hukum berlaku efektif.
Pada saat membicarakan mengenai efektivitas hukum, yang perlu diperhatikan dan diukur adalah sejauh mana aturan hukum itu
diaati dan tidak ditaati. Dengan kata lain, apabila sebagian besar aturan hukum
tersebut dilaksanakan dan dapat memenuhi tujuan dari aturan
hukum itu sendiri, maka dapat
dikatakan aturan hukum itu berlaku
efektif. Efektivitas hukum adalah suatu
kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi
yang dikehendaki oleh hukum
atau diharapkan oleh hukum. Suatu produk
hukum dapat dikatakan efektif apabila produk hukum tersebut telah dilakukan atau dilaksanakan dalam praktiknya. Apabila meneliti secara mendalam persoalan yang dihadapi dalam efektivitas hukum sangat berkaitan dengan persoalan penerapan, pelaksanaan, dan penegakan hukum dalam masyarakat guna tercapainya tujuan hukum
Terdapat beberapa
ahli hukum mengemukakan mengenai teori efektivitas hukum seperti William Evan dan
Hans Kelsen, dan Soerjono Soekanto. Menurut William Evan mengenai kondisi-kondisi yang mempengaruhi keefektivitasan hukum jika ditinjau
hukum sebagai alat untuk melakukan
suatu perubahan, diuraikan sebagai berikut:
a.� Apakah sumber hukum
yang baru memang berwenang dan berwibawa;
b.� Apakah hukum tersebut
secara tepat telah dijelaskan dan diberikan dasar-dasar pembenar, baik dari sudut hukum
itu sendiri maupun dari sudut
sosio-historis;
c.� Apakah model-model ketaatannya diketahui dan dapat dipublikasikan;
d.� Apakah jangka waktu
yang diperlukan untuk masa peralihannya telah dipertimbangkan dengan baik;
e.� Apakah para penegak hukum telah menunjukkan
rasa keterkaitannya dengan kaidah-kaidah baru tersebut;
f.�� Apakah pelaksanaan sanksi dapat dijalankan
untuk mendukung hukum; dan
g.� Apakah terdapat perlindungan yang absolut terhadap orang-orang yang terkena
dampak atas terjadinya suatu pelanggaran.
Efektivitas hukum
dan validitas hukum saling berkaitan satu sama lain. Menurut Hans Kelsen, validitas hukum mengartikan apabila terdapat suatu norma hukum, maka
norma hukum yang berlaku tersebut secara otomatis akan mengikat dan memaksa setiap subyek hukum di dalamnya. Sehingga norma-norma hukum tersebut wajib di patuhi dan diterapkan. Sedangkan efektivitas hukum mengartikan norma hukum yang dianggap sebagi produk hukum yang valid karena pembentukkannya berasal dari otoritas
yang tertinggi dan sah sehingga setiap orang wajib berbuat sesuai
dengan apa yang diatur oleh norma hukum, dan bahwa norma itu benar-benar
diterapkan dan dipatuhi. Menurut Soerjono Soekanto dalam
a.� Faktor hukumnya sendiri (undang-undang);
b.� Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk hukum maupun menerapkan hukum;
c.� Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung pelaksanaan hukum;
d.� Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; dan
e.� Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor
yang telah disebutkan di atas, saling berkaitan
satu sama lain sehingga merupakan esensi dari penegakan
hukum, dan menjadi tolak ukur daripada
efektivitas penerapan hukum itu. Dalam
penerapan hukum secara singkatnya, salah satu dari 5 faktor
di atas pasti mempengaruhi implementasi hukum dalam aktivitas
ataupun kehidupan masyarakat, baik sebagai faktor pendukung ataupun faktor penghambat.
Berdasarkan pemaparan
definisi dari beberapa ahli hukum
di atas mengenai efektivitas hukum, dapat dikatakan efektivitas hukum bertolak ukur pada adanya perbuatan orang yang benar-benar sesuai dengan norma hukum.
Eksistensi efektivitas hukum dibuktikan dengan adanya fakta
bahwa setiap orang diarahkan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh
suatu norma hukum. Hukum dapat dikatakan berhasil terimplementasi secara utuh atau efektif,
apabila masyarakat bertindak atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diperintahkan
oleh hukum. Skala ketaatan atas suatu aturan
menjadi tolak ukur efektivitas hukum. Sehingga, dapat dikatakan bahwasannya ketika mengukur keefektivitasan hukum ditentukan berdasarkan taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Sehingga
secara tegas apabila tingginya taraf ketaatan atas suatu aturan
hukum, hal tersebut merupakan indikator berfungsinya suatu sistem hukum.
Sehingga dapat dikatakan hukum tersebut telah mencapai tujuannya yang absolut dalam mempertahankan
dan melindungi hak dan kepentingan masyarakat dalam lingkungan bermasyarakat.
Sebagaimana uraian
definisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penerapan hukum bahawasannya, efektivitas hukum diukur berdasarkan tingkat atau taraf
ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum.
Dapat dikatakan efektif, apabila usaha penanaman kaidah atau nilai
atas aturan hukum dilakukan, terdapat reaksi positif dari masyarakat
dalam hal menerima, mematuhi aturan hukum, dan jangka waktu penanaman
hukum secara berkepenjangan dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Sehingga, apabila taraf ketaatan
aturan hukum tinggi dan faktor yang mempengaruhinya tersebut terpenuhi, tujuan hukum berupa keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian secara optimal tercapai dalam pelaksanannya.
�� Apabila dikaitkan dengan permasalahan penerapan pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan untuk pekerja, terdapat ketidaksesuaian dalam impelementasi yang seharusnya, dimana dalam hal ini
atasan langsung si pekerja selaku
perusahaan melakukan pemberian surat sanksi berupa surat
peringatan secara tidak berurutan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Pemberian surat peringatan secara tidak berurutan
tersebut dimungkinkan karena adanya sisi
subyektifitas dari perusahaan kepada perusahaan. Sehingga apabila hal ini
terjadi, dapat menimbulkan menyimpangnya tujuan hukum ketenagakerjaan
yang seyogyanya sebagai bentuk perlindungan hukum atas keadilan
dan kesejahteraan dan kelangsungan
hidup pekerja beserta keluarganya dalam hubungan kerja. Selain itu
tujuan hukum dari segi kemanfaatan,
permasalahan ini membuat tujuan dasar hukum ketenagakerjaan
menjadi tidak terpenuhi secara absolut.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan narasumber di PT X, terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam efektivitas
PP No. 35 Tahun dan Peraturan
Perusahaan. Apabila dikaitkan
dengan permasalahan atas penerapan pemberian surat sanksi berupa surat
peringatan, fakta di lapangan pengaturan mengenai kualifikasi atau kriteria pelanggaran
dan tata cara pemberian surat sanksi� yang dapat diberikan surat peringatan (pertama, kedua, ketiga) atau surat peringatan
pertama dan terakhir, atau sanksi berupa
PHK sebagaimana diperintahkan
dalam PP No. 35 telah telah diatur dalam
Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Perusahaan
(PP) dan peratruran turunan
berupa Surat Keputusan Direksi
tentang Kriteria dan Penanganan Pelanggaran PT X yang menyatakan bahwasannya terdapat kualifikasi pelanggaran yang dapat diberikan sanksi berupa surat teguran
baik secara lisan maupun tertulis,
surat peringatan, surat peringatan pertama dan terakhir, dan sanksi berupa pemutusan
hubungan kerja (PHK). Dalam 37 ayat (4) PP PT PX menyatakan pemberian sanksi berupa surat
peringatan khususnya surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga wajib dilakukan
secara berurutan atau berjenjang. Sehingga, dapat dikatakan pemberian surat peringatan kepada pekerja secara berurutan berlaku secara absolut kepada insan perusahaan tanpa terkecuali. Namun, pada praktiknya beberapa karyawan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, yang mana pemberian sanksi langsung diarahkan kepada surat peringatan
kedua atau ketiga bahkan PHK. Pemberian sanksi yang tidak berjenjang tersebut diharapkan perusahaan memberikan efek jera bagi
pekerja yang melanggar, namun hal tersebut
justru menyalahi undang-undang yang telah ditetapkan.
Sebagaimana dinyatakan
dalam undang-undang mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan ini yang memiliki jangka waktu berlakunya
masing-masing bertujuan untuk
mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagimana disebutkan dalam Pasal 151 ayat (1) Perpu Cipta Kerja
yang menyebutkan bahwasannya
perusahaan, pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu untuk
menumbuhkan hubungan kerja yang semakin harmonis dan upaya bentuk kepedulian perusahaan dalam evaluasi serta peningkatan kualitas kerja yang dimiliki pekerja. Tujuan pemberian surat peringatan pada dasarnya agar pekerja yang bersangkutan menyadari pelanggaran yang dilakukannya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penilaian kondite pekerja.
Keadaan sebagaimana
terjadi di PT X di atas, hal tersebut berpotensi
atau bahkan telah menimbulkan ketidakadilan kepada pekerja dan bukannya sebagai upaya pencegahan
PHK, hal tersebut justru sebagai upaya mempercepat terjadinya PHK. Jika melihat lebih dalam lagi
sebelum hubungan kerja tercipta terdapat perbedaan kedudukan secara sosio-ekonomi antara pengusaha dengan karyawan. Perbedaan ini disebabkan karena kedudukan karyawan dapat dikatakan lebih lemah dibandingkan kedudukan pengusahaan sehingga tidak terlepas dari pengaruh
pengusaha, karena seorang karyawan menggantungkan penghidupannya kepada pengusaha meskipun salah satu hak normatifnya ditiadakan. Hal ini juga dapat menyebabkan implementasi efektivitas atas tujuan hukum
yang dituangkan dalam PP
No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan
Perusahaan PT. X tidak berjalan
semestinya.
Berdasarkan seluruh
hasil wawancara, bahwasannya perusahaan mengetahui adanya instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal perusahaan (peraturan perusahaan dan surat keputusan direksi) yang mengatur mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan, namun tidak memahami
secara detail subtansi dan
tata cara pemberian surat peringatan. Pengetahuan perusahaan akan hal tersebut
merupakan bentuk keberhasilan pemerintah dalam mempublikasikan produk hukum kepada
masyarakat. Upaya tersebut telah membuktikan PP No. 35 Tahun 2021 telah terpublikasi secara optimal. Namun, tidak dipungkiri efektivitas atas penerapan PP No. 35 Tahun 2021 terhadap pemberian surat sanksi kepada
pekerja masih belum terlaksana secara efektif atau belum optimal, karena tujuan dasar
hukum dan hukum ketenagakerjaan yang sesungguhnya
tidak tercipta sebagaimana mestinya.
Terjadinya pelanggaran
atas ketentuan peraturan perundang-undangan didasarkan pada kurangnya kesadaran hukum perusahaan, karena pada dasarnya perwujudan dari hukum itu
berasal dari kesadaran hukum pengusaha itu sendiri.
Selain itu, jika ditinjau dari
sisi regulasi, Perpu Cipta Kerja
dan PP No. 35 Tahun 2021 telah
dianggap sebagai hukum positif yang berlaku dan mengikat secara umum, sehingga
apabila ada pengusaha yang nakal melakukan pelanggaran terhadap hal tersebut
wajib diberikan sanksi yang sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
2. Faktor yang Berperan dalam Efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan
Perusahaan PT. X terhadap Pemberian
Surat Sanksi Kepada Pekerja
Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan, terdapat beberapa faktor yang berperan dalam efektivitas PP No. 35 Tahun 2021
dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap
pemberian surat sanksi berupa surat
peringatan secara berurutan kepada pekerja antara lain sebagai berikut:
a. Faktor
Penegak Hukum
Pelaksanaan efektivitas
suatu peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari tindakan
penegak hukum berupa pengawasan dan penegakkan atas perlindungan hukum terhadap implementasi suatu aturan dalam
aktivitas perusahaan. Dalam permasalahan ini, penegak hukum
yang dimaksud adalah pejabat yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan.
Pada prinsipnya pengawas ketenagakerjaan memiliki kewajiban agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan dan dipatuhi oleh
para pelaku industri. Sehingga fungsi pengawasaan seyogyanya dioptimalkan pelaksanaanya demi tercapainya amanat konstitusi dan perlindungan kesejahteraan pekerja serta keberlangsungan industri.
Sebagai salah satu
pekerja di PT. X yang menjalankan
fungsi coaching conseling pekerja, fakta di lapangan menunjukkan kurangnya pengawasan dari pejabat ketenagakerjaan
yang berwenang terhadap implementasi PP No. 35 Tahun 2021
terhadap pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan secara berurutan oleh perusahaan kepada pekerja kurangnya pengawasan ini merupakan salah satu bentuk kebebasan secara tidak langsung
kepada perusahaan untuk tidak memberlakukan
aturan terkait pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja. Sedangkan menurut salah satu karyawan di PT. X selain pejabat ketenagakerjaan yang berwenang terhadap implementasi PP No. 35 Tahun
2021, seharusnya terdapat peran serta PT. X dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi atas Peraturan Perusahaan dan peraturan
turunannya, baik menjadi fungsi yang melekat dalam satuan
unit kerja yang telah ada ataupun pembentukan
unit kerja baru yang bertugas pengawasan dan pemantauan atas kepatuhan perusahaan layaknya tugas dan fungsi pengawasan dari pejabat ketenagakerjaan
yang berwenang. Hal tersebut
agar implementasi atas aturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan
internal sesuai atau
comply.
Selain pengawasan,
penegak hukum dapat melakukan upaya non hukum berupa sosialisasi atau sharing knowledge kepada perusahaan atas peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sosialisasi ini sebagai bentuk
kepanjangan tangan atas teori fiksi
hukum yang mana pada saat
UU diundangkan setiap orang
dianggap mengetahui UU yang
berlaku tersebut. Pada dasarnya upaya non hukum dapat dilakukan
oleh seluruh pihak mulai dari instansi
pemerintah yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan
itu sendiri, Bagian SDM perusahaan atau PT. X, atau pihak lain yang memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan mengenai kewajiban perusahaan atas pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja.
Berdasarkan hasil
analisis, faktor penegak hukum menjadi
faktor pendukung. Ditinjau dari faktor
pendukungnya, pejabat yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan kurang melakukan pengawasan berupa sidak ataupun audit ketenagakerjaan kepada pelaku industri, dalam hal ini
perusahaan. Kurangnya pengawasan ini juga menjadikan praktik-praktik pelanggaran atas aturan terhadap penyelenggaraan hubungan kerja yang yang baik terjadi, hal
ini dibenarkan secara perbedaan kedudukan secara sosio-eko antara perusahaan dengan pekerja.
b. Faktor
Masyarakat
Efektivitas hukum
juga dipengaruhi oleh subyek
hukum itu sendiri. Kesadaran hukum yang dimiliki oleh setiap pelaku industri
juga mempengaruhi efektivitas
implementasi peraturan perundang-undangan. Namun, fakta di lapangan berbeda dengan apa yang diharapkan. Dalam permasalah ini, kurangnya kepahaman mengenai tujuan atau esensi
hukum ketenagakerjaan itu sendiri sehingga
hal-hal yang berkaitan dengan hak pekerja
enggan untuk dilindungi sepenuhnya oleh perusahaan sesuai dengan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, kurangnya
kesadaran hukum beberapa perusahaan selaku pelaku industri
untuk mengimplementasikan aturan mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja. Disamping itu, terdapat kurangnya
kesadaran hukum yang dimiliki pekerja. Hal ini dapat memicu
pelanggaran atas hak-hak yang seharusnya dimiliki yang disebabkan karena ketidaktahuan seorang pekerja atas suatu aturan
mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan.
Selanjutnya, dalam
praktik implementasi PP No.
35 Tahun 2021 dan Peraturan
Perusahaan PT. X, pihak perusahaan
telah mengetahui adanya aturan baik
aturan umum maupun aturan internal yang mengatur mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja, namun pihak perusahaan tidak memiliki pemahaman yang jelas dan pasti atas subtansi
aturan tersebut. Hal itu selaras dengan
fakta yang terjadi PT. X masih melakukan pelanggaran terhadap kebijakan lembur tersebut dengan berbagai alasan. Hal itu juga diakui oleh keterangan salah satu atasan di PT X yang menyatakan bahwa kurangnya kesadaran hukum perusahan selaku pelaku industri untuk mematuhi yang diperintahkan atau dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain ketidaktahuan
atasan sebagai pihak perusahaan atas aturan yang berlaku, terdapat hal-hal yang termasuk dalam faktor masyarakat,
yaitu adanya unsur subyektif atau like-dislike secara personal
dari atasan kepada pekerja yang melanggar ketentuan. Unsur subyektifitas atasan terhadap pekerja sangat berpengaruh dan berimplikasi pada ketidakadilan
yang terjadi dalam hubungan kerja, karena apabila seorang atasan melakukan penilaian secara subyektif, hasil atas penilaian
tersebut memiliki kecenderungan rasionalisasi atas penilaian yang tidak sesuai dengan
fakta atau prosedur yang terjadi dan berlaku di lapangan.
Menurut peneliti
berdasarkan hasil analisis, faktor masyarakat dapat menjadi faktor pendukung dan penghambat. Jika ditinjau dari faktor
penghambat, faktor masyarakat didasarkan karena kesadaran hukum subyek hukum
itu sendiri, dalam hal ini
adalah pengusaha atau perusahaan selaku pelaku industri
atas implementasi peraturan perundang-undangan yang
berlaku terhadap aktivitas perusahaan. Namun, dalam segi
faktor pendukung, adanya usaha perusahaan
untuk mengikuti pelatihan dan/atau seminar yang bekaitan dengan implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
dan PP No. 35 Tahun 2021 tentang
PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja
Dan Waktu Istirahat, dan PHK khususnya
mengenai penyelenggaraan hubungan industrial dan hubungan kerja yang sesuai dengan aturan berupa
pemberian surat peringatan secara berurutan oleh perusahaan kepada pekerja.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai pemberian surat sanksi berupa
surat peringatan kepada pekerja di PT X, maka didapatkan kesimpulan bahwa Pengaturan mengenai pemberian surat sanksi berupa surat
peringatan secara berurutan kepada pekerja di PT. X pada dasarnya telah diatur dalam
hukum positif dan disusun sebaik mungkin dalam beberapa
instrumen hukum berupa peraturan perundang-undang berupa UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan telah diubah dalam Perpu
No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK. Sedangkan instrumen hukum secara internal perusahaan hal tersebut diatur
dalam peraturan perusahaan PT. X, Surat Keputusan Direksi
tentang Kriteria dan Penanganan Pelanggaran. Subtansi dalam ketentuan perusaahaan tersebut pasti berhubungan dengan perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan. Hal ini telah menjadi
upaya untuk menghindari terjadinya PHK guna meningkatkan penghidupan pekerja yang layak serta meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup pekerja dan keluarganya sebagaimana bagian dari tujuan
hukum ketenagakerjaan itu sendiri.
Tolak ukur efektivitas
hukum berada pada taraf ketaatan subyek hukum terhadap
aturan hukum yang berlaku. Sebagai turunan PP No. 35 Tahun 2021 perusahaan membentuk suatu Peraturan Perusahaan, yang
mana dalam� Peraturan Perusahaan PT. X telah diatur bahwasannya pemberian surat sanksi berupa surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga wajib dilakukan secara berurutan atau berjenjang guna menghindari terjadinya PHK sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 35 Tahun 2021. Berdasarkan permasalahan yang terjadi di PT.
X, yang didasarkan pada hasil
wawancara dengan beberapa narasumber di atas dapat dikatakan
efektivitas PP No. 35 Tahun
2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap pelaksanaan pemberian surat sanksi berupa surat
peringatan secara berurutan kepada pekerja belum dilaksanakan
secara maksimal atau dapat dikatakan
belum berjalan efektif sebagaimana mestinya karena terdapat beberapa unsur yang mempengaruhi pelaksanaan pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja. Apabila hal ini
terjadi, dapat menimbulkan menyimpangnya tujuan hukum ketenagakerjaan
yang seyogyanya sebagai bentuk perlindungan hukum atas keadilan
dan kesejahteraan dan kelangsungan
hidup pekerja beserta keluarganya dalam hubungan kerja. Selain itu
tujuan hukum dari segi kemanfaatan,
permasalahan ini membuat tujuan dasar hukum ketenagakerjaan
menjadi tidak terpenuhi secara absolut. Selain itu, faktor yang berperan dalam efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 terhadap pelaksanaan pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja di PT adalah faktor penegak hukum dan faktor masyarakat. Kedua faktor ini memiliki
peranannya masing-masing dalam
keefektivitas PP No. 35 Tahun
2021.
Arliman,
L. (2017). Perkembangan Dan Dinamika
Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia. Jurnal Selat,
5(1), 74�87.
Asyhadie,
Z. (2007). Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan
Bidang Hubungan Kerja.
Azhar,
M. (2015). Hukum Ketenagakerjaan. Universitas
Diponegoro.
Harahap,
A. M. (2020). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan.
Nurrohim,
H., & Anatan, L. (2009). Efektivitas
komunikasi dalam organisasi. Jurnal Manajemen Maranatha, 8(2), 11�20.
Putra, A. E.
(2015). Peranan Pengawasan
Dalam Meningkatkan Efektivitas Kerja Karyawan Pada Pt. Kereta Api (Persero) Divisi Regional Iii
Sumatera Selatan. Jurnal Media Wahana Ekonomika, 12(1).
Ramli, L. (2020). Hukum
ketenagakerjaan. Airlangga
University Press.
Sipayung,
P. D., Manullang, S. O., Gelong, H. R., Nasrin, N., Hijriani, H., Anggusti, M.,
& Faried, A. I. (2022). Hukum Ketenagakerjaan.
Yayasan Kita Menulis.
Sulaiman,
A., & Walli, A. (2019). Hukum ketenagakerjaan/perburuhan.
Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM
Jakarta).
Telaumbanua,
D. (2019). Hukum Ketenagakerjaan. Deepublish.
Wahyuni, S.
(2021). Efektivitas Reward Terhadap Peningkatan Kinerja
Pada Karyawan PT. Bank Syariah Indonesia KCP Batusangkar.
Wahyuni, T.
(2020). Efektivitas Peraturan
Kepala Daerah Tentang Peningkatan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol
Kesehatan Di Lingkungan Pemerintah
Daerah. Jurnal Administrasi
Publik, 16(2), 167�183.
Whimbo
Pitoyo, S. E., & Sh,
M. B. A. (2010). Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan. Visimedia.
Wijaya, A. T.,
& Subekti, R. (2021). Penyelesaian
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pada Masa Pandemi Covid-19 Melalui
Mediator. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(2),
474�485.
Zubi,
M., Marzuki, M., & Affan,
I. (2021). Tinjauan Yuridis
Perlindungan Hak-Hak Normatif
Tenaga Kerja Setelah Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Jurnal Ilmiah METADATA,
3(3), 1171�1195.
Ayu Aulia Rahmitasari,
Siti Hajati Hoesin (2023) |
First publication right: |
This article is licensed under: |