JSA 2Volume 4, No. 3 Maret 2023

p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356


 

EFEKTIVITAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 DAN PERATURAN PERUSAHAAN TERHADAP PEMBERIAN SURAT SANKSI KEPADA PEKERJA

 

Ayu Aulia Rahmitasari, Siti Hajati Hoesin

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 


 

Abstrak: ��������


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas peraturan tersebut dalam hal memberikan sanksi kepada pekerja di lingkungan kerja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, di mana data diperoleh dari literatur dan dokumen yang terkait dengan topik yang diteliti. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis isi literatur dan dokumen yang terkait dengan peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan terkait pemberian surat sanksi kepada pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan memiliki peran yang penting dalam menentukan pemberian surat sanksi kepada pekerja. Namun, efektivitas peraturan tersebut dalam memberikan sanksi kepada pekerja masih perlu ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas peraturan tersebut antara lain kesadaran pekerja terhadap aturan, kejelasan peraturan, dan pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya untuk meningkatkan efektivitas peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan terkait pemberian surat sanksi kepada pekerja, seperti meningkatkan kesadaran pekerja terhadap aturan, memperjelas peraturan, dan meningkatkan pengawasan oleh perusahaan. Dengan demikian, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik dan meminimalkan terjadinya pelanggaran aturan di tempat kerja.

�����������������������������������������������������������������������


Kata Kunci: Efektivitas Hukum; Pemberian Surat Sanksi; Pekerja.

 

Abstract:

This study aims to analyze the effectiveness of these regulations in terms of sanctioning workers in the work environment. The method used in this study is a literature study, in which data are obtained from literature and documents related to the topic under study. Data analysis was carried out using a qualitative approach, namely by analyzing the content of literature and documents related to government regulations and company regulations related to the provision of sanctions letters to workers. The results showed that government regulations and company regulations have an important role in determining the provision of sanctions letters to workers. However, the effectiveness of these regulations in sanctioning workers still needs to be improved. Some factors that affect the effectiveness of these regulations include workers' awareness of the rules, clarity of regulations, and supervision carried out by the company. This study recommends the need for efforts to improve the effectiveness of government regulations and company regulations related to providing sanctions letters to workers, such as increasing workers' awareness of the rules, clarifying regulations, and increasing supervision by companies. Thus, it is expected to create a better working environment and minimize the occurrence of violations of rules in the workplace.

 

Keywords: Legal Effectiveness, Giving Sanctions Letter, Worker�����

 

Article History�����������

Diterima��������� : 05 Maret 2023

Direvisi����������� :

Publish������������ :

�����������


 

PENDAHULUAN

Pada dasarnya Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat bahwa setiap sikap, tindakan, dan perilaku alat negara, serta penduduk harus didasarkan dan sesuai dengan hukum, karna hukum merupakan supremasi dan perintah tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Hukum juga merupakan instrumen negara yang memuat larangan dan perintah guna terciptanya kehidupan yang aman dan nyama bagi masyarakat. Dari konsekuensi itulah untuk menegakkan hukum perlu adanya proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh badan pemerintahan.

Tujuan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif itu sendiri untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik itu aspek kehidupan secara individu maupun umum. Salah satu aspek yang diatur oleh hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah Hukum Ketenagakerjaan (Azhar, 2015). Hukum Ketenagakerjaan atau dahulu disebut dengan Hukum Perburuhan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki pengertian segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja (Sipayung et al., 2022). Hukum Ketenagakerjaan juga merupakan keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai ketenagakerjaan (Ramli, 2020). Dalam Pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektor pusat dan daerah (Wijaya & Subekti, 2021). Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung.

Pada dasarnya, fungsi Hukum Ketenagakerjaan mengatur hubungan yang serasi antara semua pihak yang berhubungan dengan ketenagakerjaan (Telaumbanua, 2019). Sehingga dapat dikatakan hakikat dan sifat Hukum Ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja, yakni dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha (Harahap, 2020). Hal yang diatur dalam Hukum Ketenagakerjaan ialah mengenai peraturan perusahaan dan perjanjian kerja.

Mengenai perjanjian kerja, pada dasarnya landasan hubungan kerja tercipta karena adanya kesepakatan antara 2 (dua) pihak (pekerja dengan pengusaha) yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Pengertian secara eksplisit dijelaskan dalam UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Arliman, 2017). Dalam perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat komparisi para pihak (baik pekerja/buruh maupun pengusaha) jabatan atau jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh, mulai dan jangka waktu berlaku perjanjian kerja, dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Perlu dicermati, mengenai unsur perjanjian kerja terkait syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak berdasarkan Pasal 13 huruf f PP No. 35 Tahun 2021, perjanjian kerja wajib disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau syarat kerja yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Mengenai pengaturan atas pembuatan peraturan perusahaan tidak diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut Perpu Cipta Kerja), sehingga pemberlakuan pengaturan mengenai peraturan perusahaan dalam UU Ketenagakerjaan masih berlaku. Pengaturan pembuatan peraturan perusahaan diatur dalam Pasal 108 s.d Pasal 115 UU Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 108 UU Ketenagakerjaan setiap perusahaan diwajibkan memiliki dan membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat yang berwenang, apabila perusahaan tersebut telah mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. Namun, pembuatan peraturan perusahaan tersebut tidak berlaku apabila perusahaan tersebut telah memiliki perjanjian kerja bersama. Pasal 109 UU Ketenagakerjaan menyebutkan peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggungjawab dari perusahaan tersebut (Sulaiman & Walli, 2019). Subtansi peraturan perusahaan, sekurang-kurangnya memuat hak dan kewajiban para pihak, syarat kerja, tata tertib perusahaan, dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Selain itu, ketentuan yang terdapat dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan atas isi peraturan perusahaan sebelum berakhirnya jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan (Nurrohim & Anatan, 2009). Apabila ditinjau dari subtansi peraturan perusahaan itu sendiri, urgensi utamanya untuk mengatur perilaku dan tindakan antara pekerja dan perusahaan dalam menjalin hubungan kerja. Jika subtansi peraturan perusahaan salah satunya berisi tata tertib, maka dapat dipahami karena peraturan perusahaan merupakan sebuah instrumen perushaan berupa larangan dan perintah serta bersifat sepihak. Definisi awal peraturan perusahan merujuk pada Pasal 1601c KUHPerdata yang menyatakan setiap pekerja yang bertempat tinggal pada si majikan harus bertingkah laku menurut tertibnya rumah majikan tersebut. Dari hal tersebut Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Istirahat dan Waktu Kerja, dan PHK mendefinisikan kembali peratuan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh Pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib Perusahaan. Berdasarkan definisi dari peraturan perusahaan itu sendiri mengenai subtansi atas syarat kerja atau tata tertib perusahaan seringkali dilanggar oleh pekerja yang mana hal tersebut mengakibatkan terbitnya pemberian surat sanksi oleh perusahaan kepada pekerja yang bersangkutan.

Pengaturan atas pemberian surat sanksi dalam UU Ketenagakerjaan dihapus oleh Perpu Cipta Kerja sehingga pengaturan pemberian sanksi kepada pekerja sekarang merujuk ke Perpu Cipta Kerja dan dijelaskan lebih rinci dalam PP No. 35 Tahun 2021 (Asyhadie, 2007). Dalam Penjelasan Pasal 52 PP No. 35 Tahun 2021 menyatakan bahwasannya pemberian sanksi berupa surat peringatan oleh pengusaha wajib diterbitkan secara berurutan atau berjenjang, atau perusahaan dapat menyusun peraturan perusahaan yang memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir (Whimbo Pitoyo & Sh, 2010).

Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh (Handhika & Hendrawan, 2021), dalam penelitiannya yang berjudulImplementasi Algoritma Multifactor Evaluation Process (MFEP) untuk Penilaian Teknisi Promosi Karyawan Tetap Berbasis web" dalam penelitiannya menghasilkan sistem pendukung keputusan yang membantu manajer dalam mempromosikan pegawai secara objektif. Aplikasi ini menghasilkan system pendukung keputusan yang menyajikan hasil nilai pegawai berupa grafik dengan menggunakan metode Multifactor Evalution Process (MFEP). Berbeda dengan penelitian ini adalah penelitian ini lebih difokuskan kepada alogaritma penghitungan mesin uang yang tidak dilakukan oleh penelitian sebelumnya.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis tentang bagaimana hukum positif ketenagakerjaan mengatur mengenai penerapan pemberian surat sanksi kepada pekerja serta bagaimana faktor yang berperan dalam efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT X terhadap pemberian sanksi kepada pekerja.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal atau yuridis normatif, sumber data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang didukung dengan data primer dari hasil wawancara dengan beberapa informan dan bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan (UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dan PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Istriahat, dan Waktu Kerja, dan PHK. Namun, dibutuhkannya juga bahan hukum sekunder serta tersier. Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang didasarkan pada hasil penelitian yang diuraikan secara jelas dengan menggunakan kata-kata sehingga penelitian ini mengkaji bagaimana efektivitas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan terhadap pemberian surat sanksi kepada pekerja di PT X, beserta faktor-faktor yang berperan dalam efektivitas aturan tersebut.

 

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

A.  Tinjauan Yuridis atau Aturan Ketenagakerjaan Mengenai Penerapan Pemberian Surat Sanksi kepada Pekerja

Bahwa dalam bidang hukum perburuhan terdapat 2 (dua) jenis sumber hukum yaitu kaedah hukum otonom dan heteronom. Kaedah otonom merupakan ketentuan atau aturan hukum yang ditentukan berdasarkan ketentuan para pihak (antara pekerja dengan perusahaan) yang memiliki hubungan kerja yang dituangkan perjanjian. Sedangkan kaedah hukum heteronom adalah merupakan ketentuan atau aturan hukum yang ditentukan dan ditetapkan oleh Pihak Ketiga di luar hubungan kerja dalam hal ini adalah Pemerintah, yang dituangkan dalam instumen hukum berupa undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang berwenang, dan dalam hal menjadikam sumber hukum yang dominan.

Terdapat faktor yang mempengaruhi berkembangnya kaedah otonom adalah heteronom adalah model hubungan industrial yang dianut dalam suatu negara. Indonesia merupakan negara yang menganut hukum Civil Law System, yang menjadikan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum ketenagakerjaan paling dominan. Berdasarkan sistem hukum yang dianut tersebut mempengaruhi model hubungan industrial yang dianut oleh Indonesia, adalah corporatis model. Adapun definisi corporatis model adalah pembentukan atas batasan hubungan kerja, syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak antara pekerja dan pengusaha diatur melalui jalur legislatif, dalam hal ini peran negara sangat dominan dalam menyusun hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan kondisi kerja yang dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai sumber hukum utama. Syarat kerja dan aturan kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat diturunkan menjadi kaedah hukum otonom berupa perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Namun, subtansi atas pembentukan kaidah otonom wajib tetap memperhatikan kaedah hukum heteronom berupa peraturan perundang-undangan mengingat peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum utama (Zubi et al., 2021).

Apabila menyangkut hak pekerja aturan tersebut wajib bersifat minimum, sebaliknya apabila menyangkut kewajiban pekerja aturan tersebut wajib bersifat maksimum. Kaidah otonom yang dibuat oleh PT X adalah pembentukan peraturan perusahaan dan pembuatan perjanjian kerja. Batasan berupa larangan dan perintah yang wajib dipatuhi dan perhatikan oleh pekerja dituangkan dalam peraturan perusahaan dan perjanjian kerja. Secara subtansial, perjanjian kerja wajib memuat hak dan kewajiban para pihak (pengusaha dan pekerja) yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau syarat kerja yang diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Definisi perjanjian kerja itu sendiri dalam Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 9 PP No. 35 Tahun 2021 adalah:

Perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.�

Jika demikian definisi dan subtansi serta hal-hal tertentu yang wajib ada di perjanjian kerja, maka dapat dikatakan secara keseluruhan yang terdapat dalam perjanjian kerja akan berkaitan langsung dengan subtansi yang terdapat dalam peraturan perusahaan. Sehingga subtansi atas seluruh keadaan atau kejadian tertentu, syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak sama-sama diatur dalam kedua instrumen perusahaan tersebut. Hal tersebut juga didukung dengan persyaratan perjanjian kerja dapat berakhir karena beberapa hal salah satunya adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Sehingga, pada prinsipnya ketika pekerja menandatangani perjanjian kerja, pekerja tersebut menyetujui dan mengetahui ketentuan yang ada di dalam peraturan perusahaan. Apabila dikemudian hari pekerja melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja, pekerja tersebut akan mendapatkan sanksi berupa pemberian surat peringatan. Pada dasarnya, surat peringatan merupakan salah satu upaya untuk menghindaru terjadinya PHK oleh perusahaan, karena dengan adanya surat peringatan ini perusahaan tidak serta merta melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja. Dalam artian proses PHK tidak dilakukan secara mendadak dan terkesan terburu-buru, dan bahkan pekerja diberikan kesempatan kembali untuk memperbaiki kinerja atau tindakannya dan dapat mencapai standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Pemberian surat peringatan oleh PT X bagi pekerja yang lalai atau melanggar ketentuan perusahaan baik yang terdapat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja dapat berupa pemberian bimbingan konseling, teguran secara lisan maupun tertulis, atau surat peringatan. Pada dasarnya pengaturan mengenai pemberian surat peringatan telah diatur dalam peraturan nasional, yaitu Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila perusahaan telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Jangka waktu berlakunya surat peringatan masing-masing berlaku paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Selanjutnya pada ayat yang mengatur mengenai jangka waktu berlakunya surat peringatan dijelaskan bahwasannya masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Jadi dapat dikatakan setiap surat sanksi memiliki kriteria pelanggarannya masing-masing. Masih dalam penjelasan ayat yang sama, apabila surat peringatan telah kadaluwarsa atau tidak berlaku lagi kemudian pekerja melakukan kesalahan atau pelanggaran kembali, maka surat peringatan yang diberikan pekerja yang bersangkutan kembali ke surat peringatan pertama dan seterusnya. Dalam penjelasan pasal ini juga memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir.

Jangka waktu berlakunya peringatan pertama dan terakhir berlaku selama 6 (enam) bulan, jadi apabila masih dalam tenggang waktu peringatan awal dan terakhir masih berlaku pekerja melakukan kesalahan atau pelanggaran atas ketentuan perusahaan, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Pemberian tenggang waktu selama 6 bulan tersebut bertujuan sebagai upaya upaya mendidik pekerja agar dapat memperbaiki kesalahannya.

Secara garis besar perusahaan dapat menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja. Berkaitan dengan pelanggaran tertentu, perusahaan dapat mengeluarkan surat peringatan ketiga secara langsung atau langsung memecat pekerja yang bersangkutan. Bagi pekerja yang di PHK, alasan PHK berperan besar dalam menentukan kepastian dan kesahan atas hak-hak yang akan diperoleh pekerja nantinya. Dua hal yang berkaita dengan pemberian surat sanksi berupa surat peringatan dan dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja sebagai berikut berdasarkan UU Ketenagakerjaan yaitu pekerja melakukan kesalahan berat, kesalahan yang termasuk dalam kategori kesalahan berat dan pekerja melakukan pelanggaran.

Bahwa secara umum dalam hubungan kerja terdapat suatu ikatan antara pekerja dan perusahaan yang diimplementasikan dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh perusahaan yang isinya mengenai hak dan kewajiban para pihak, syarat-syarat kerja, dengan perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak dengan harapan dalam pengimplementasian aturan atau ketentuan perusahaan dapat dipatuhi dan tidak dilanggar oleh salah satu pihak. Pelanggaran atas ketentuan perjanjian kerja dan peraturan perusahaan yang dilakukan oleh pekerja pasti memiliki sebuah sanksi, sanksinya dapat berupa teguran lisan atau surat tertulis, surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.

Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut Perppu Cipta Kerja) ketentuan mengenai pemberian surat sanksi yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan dihapus dan tujuan pemberian surat peringatan tersebut diatur dalam Pasal 151 ayat (1) Perpu Cipta Kerja yang menyatakan perusahaan, pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengaturan tersebut dijelaskan lebih rinci dalam PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan PHK. Dalam Pasal 36 huruf k PP No. 35 Tahun 2022 yang menyatakan bahwasannya pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat terjadi karena beberapa alasan salah satunya pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan pekerja tersebut telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut, yang masing-masing surat tersebut memiliki jangka waktu selama paling lama 6 (enam) bulan kecuali hal tersebut ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Selain itu dijelaskan kembali dari Pasal 52 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021, dalam pasal tersebut dijelaskan hak-hak yang diberikan kepada yaitu:(a) Uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) ;(b) Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); (c) Uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Terdapat penjelasan atas Pasal 52 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2022 yang menyatakan pemberian surat peringatan wajib diterbitkan secara berurutan yaitu jangka waktu surat peringatan pertama berlaku selama enam bulan. Apabila dalam tenggang waktu enam bulan surat peringatan pertama, pekerja melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka perusahaan dapat menerbitkan surat peringatan kedua yang sama-sama memiliki jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan kedua. Kemudian, apabila dikemudian hari pekerja masih melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka perusahaan dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan. Apabila masih dalam tenggang waktu surat peringatan ketiga pekerja tetap masih melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan tetap memperhatikan hak-hak pekerja yang diamanatkan oleh undang-undang.

Selanjutnya, apabila penerbitan surat peringatan pertama telah melebihi jangka waktu berlakunya surat peringatan selama enam bulan sejak diterbitkan, maka apabila pekerja melakukan pelanggaran atas ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali ke awal atau surat peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. Selain itu perusahaan diberikan kebebasan oleh Pasal ini untuk mengatur pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir dan dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.Jangka waktu berlakunya peringatan pertama dan terakhir berlaku selama enam bulan, jadi apabila masih dalam tenggang waktu peringatan awal dan terakhir masih berlaku pekerja melakukan kesalahan atau pelanggaran atas ketentuan perusahaan, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Tenggang waktu enam bulan dimakudkan sebagai upaya mendidik pekerja untuk memperbaiki kesalahannya dan enam bulan tersebut dianggap merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian kepada pekerja yang bersangkutan.

Secara garis besar pengaturan yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan dengan PP No. 35 Tahun 2021 mengenai pemberian surat sanksi berupa surat peringatan kepada pekerja yang melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam perjanjian kerja, perarturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama memiliki subtansi yang sama. Namun, perbedaan antara kedua aturan tersebut dibedakan pada saat penerbitan surat peringatan, dalam UU Ketenagakerjaan penerbitan surat peringatan dalam dilakukan secara berurutan atau tidak, sedangkan dalam PP No. 35 Tahun 2021 penerbitan surat peringatan harus dilakukan secara berurutan, sebagai mitigasi awal atas bentuk perlindungan oleh undang-undang kepada pekerja dari pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika melihat dari definisi kata berurutan menurut KBBI adalah berjalan sesuai dengan urutannya atau berturut-turut.

�� Jika melihat pada hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai kebijakan lembur sudah diuraikan cukup jelas, namun tetap perlu adanya penetapan lebih rinci kembali dari pengusaha terhadap penerapan pemberian surat sanksi yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pelaksanaan di PT X pengaturan mengenai implementasi pemberian surat sanksi kepada pekerja dituangkan lebih utama dalam peraturan perusahaan baru kemudian dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Menindaklanjuti Pasal 36 huruf k dan Pasal 52 ayat (1) beserta penjelasannya dalam PP No. 35 Tahun 2021, PT X telah menguraikan jenis atau kriteria pelanggaran yang dapat diberikan surat peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) dan surat peringatan pertama dan terakhir beserta tata cara pemberian surat peringatannya dalam Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 Peraturan Perusahaan (PP). Selain itu PT X juga telah membuat peraturan turunan atas PP tersebut di dalam Surat Keputusan Direksi PT X tentang Kriteria dan Penanganan Pelanggaran yang menyatakan bahwasannya ketentuan atas pemberian surat sanksi berupa surat peringatan khusunya surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga diberikan kepada pekerja secara berurutan atau berjenjang. Selain itu, perusahaan juga telah mengklasifikasikan pelanggaran yang dapat diberikan surat peringatan pertama dan terakhir. Sehingga, dapat dikatakan pemberian surat sanksi kepada pekerja yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan dan perjanjian kerja secara berturut-turut berlaku absolut dan mengikat kepada setiap insan perusahaan.

Sehingga dapat dikatakan pengaturan mengenai pemberian surat sanksi berupa surat peringatan baik secara nasional yang diundangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun secara internal perusahaan berupa peraturan perusahaan telah diatur dengan baik dan teratur.

 

Faktor yang Berperan dalam Efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT X terhadap Pemberian Sanksi kepada Pekerja

1. Efektivitas Penerapan PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap Penerapan Pemberian Sanksi kepada Pekerja

Pada dasarnya hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya dalam mewujudkan norma-norma, janjijanji, larangan, dan perintah yang terkandung dalam peraturan, putusan, serta keputusan guna mencapai tujuan hukum itu sendiri. Sehingga penerapan hukum itu memerlukan subyek hukum sebagai kepanjangan tangan dari terciptanya tujuan hukum yang absolut tersebut. Pada prinsipnya hukum dibuat untuk dilaksanakan, tidak dapat dikatakan sebagai hukum apabila tidak pernah dilaksanakan (Putra, 2015). Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan.

Perwujudan hukum pada faktanya tidak terlepas dari fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum bersifat luas, sehingga tergantung pada tujuan-tujuan hukum, baik yang bersifat umum ataupun spesifik yang ingin dicapai. Fungsi-funsi yang dimaksud diuraikan sebagai berikut:

a.Fungsi hukum sebagai a tool of social control, fungsi ini menjadikan hukum sebagai alat pengendalian sosial, untuk menetapkan tingkah laku yang mana dianggap sebagai penyimpangan terhadap aturan hukum dan sanksi apa atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika penyimpangan tersebut terjadi.

b.Fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, fungsi ini menjadikan hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat, hukum akan digunakan sebagai suatu alat atau agent of change, atau pelopor perubahan sosial. Sehingga fungsi hukum ini sangat penting untuk melakukan perubahan terhadap kultur masyarakat.

Berdasarkan pemaparan fungsi hukum di atas, salah satunya hukum sebagai a tool of social control atau dapat dikatakan hukum sebagai alat atau perangkat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu sendiri. Untuk mewujudukan fungsi hukum tersebut, dibutuhkannya perwujudan kaidah hukum terhadap praktik hukum dan kehidupan masyarakat. Perwujudan tersebut biasa dikenal sebagai penegakan hukum. Definisi sederhana penegakan hukum adalah suatu usaha yang melibatkan manusia dan tingkah lakunya untuk mempertahankan suatu hukum dan ketertiban, serta mewujudkan keinginan hukum yang berasal dari ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan yang merupakan hakekat dari penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan rangkaian Dalam hal kolerasi antara penegakan hukum dengan efektivitas hukum sangat terikat satu sama lain, karena keberhasilan penegakan hukum sangat berpengaruh terhadap efektivitas penerapan hukum itu sendiri.

Definisi efektivitas hukum adalah kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum dengan pelaksanaanya. Apabila hukum dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapat dikatakan hukum berlaku efektif. Pada saat membicarakan mengenai efektivitas hukum, yang perlu diperhatikan dan diukur adalah sejauh mana aturan hukum itu diaati dan tidak ditaati. Dengan kata lain, apabila sebagian besar aturan hukum tersebut dilaksanakan dan dapat memenuhi tujuan dari aturan hukum itu sendiri, maka dapat dikatakan aturan hukum itu berlaku efektif. Efektivitas hukum adalah suatu kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi yang dikehendaki oleh hukum atau diharapkan oleh hukum. Suatu produk hukum dapat dikatakan efektif apabila produk hukum tersebut telah dilakukan atau dilaksanakan dalam praktiknya. Apabila meneliti secara mendalam persoalan yang dihadapi dalam efektivitas hukum sangat berkaitan dengan persoalan penerapan, pelaksanaan, dan penegakan hukum dalam masyarakat guna tercapainya tujuan hukum (S. Wahyuni, 2021).

Terdapat beberapa ahli hukum mengemukakan mengenai teori efektivitas hukum seperti William Evan dan Hans Kelsen, dan Soerjono Soekanto. Menurut William Evan mengenai kondisi-kondisi yang mempengaruhi keefektivitasan hukum jika ditinjau hukum sebagai alat untuk melakukan suatu perubahan, diuraikan sebagai berikut:

a.Apakah sumber hukum yang baru memang berwenang dan berwibawa;

b.Apakah hukum tersebut secara tepat telah dijelaskan dan diberikan dasar-dasar pembenar, baik dari sudut hukum itu sendiri maupun dari sudut sosio-historis;

c.Apakah model-model ketaatannya diketahui dan dapat dipublikasikan;

d.Apakah jangka waktu yang diperlukan untuk masa peralihannya telah dipertimbangkan dengan baik;

e.Apakah para penegak hukum telah menunjukkan rasa keterkaitannya dengan kaidah-kaidah baru tersebut;

f.�� Apakah pelaksanaan sanksi dapat dijalankan untuk mendukung hukum; dan

g.Apakah terdapat perlindungan yang absolut terhadap orang-orang yang terkena dampak atas terjadinya suatu pelanggaran.

Efektivitas hukum dan validitas hukum saling berkaitan satu sama lain. Menurut Hans Kelsen, validitas hukum mengartikan apabila terdapat suatu norma hukum, maka norma hukum yang berlaku tersebut secara otomatis akan mengikat dan memaksa setiap subyek hukum di dalamnya. Sehingga norma-norma hukum tersebut wajib di patuhi dan diterapkan. Sedangkan efektivitas hukum mengartikan norma hukum yang dianggap sebagi produk hukum yang valid karena pembentukkannya berasal dari otoritas yang tertinggi dan sah sehingga setiap orang wajib berbuat sesuai dengan apa yang diatur oleh norma hukum, dan bahwa norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Menurut Soerjono Soekanto dalam (T. Wahyuni, 2020) terdapat faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi efektif atau tidaknya suatu hukum. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

a.Faktor hukumnya sendiri (undang-undang);

b.Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk hukum maupun menerapkan hukum;

c.Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung pelaksanaan hukum;

d.Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; dan

e.Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor yang telah disebutkan di atas, saling berkaitan satu sama lain sehingga merupakan esensi dari penegakan hukum, dan menjadi tolak ukur daripada efektivitas penerapan hukum itu. Dalam penerapan hukum secara singkatnya, salah satu dari 5 faktor di atas pasti mempengaruhi implementasi hukum dalam aktivitas ataupun kehidupan masyarakat, baik sebagai faktor pendukung ataupun faktor penghambat.

Berdasarkan pemaparan definisi dari beberapa ahli hukum di atas mengenai efektivitas hukum, dapat dikatakan efektivitas hukum bertolak ukur pada adanya perbuatan orang yang benar-benar sesuai dengan norma hukum. Eksistensi efektivitas hukum dibuktikan dengan adanya fakta bahwa setiap orang diarahkan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh suatu norma hukum. Hukum dapat dikatakan berhasil terimplementasi secara utuh atau efektif, apabila masyarakat bertindak atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diperintahkan oleh hukum. Skala ketaatan atas suatu aturan menjadi tolak ukur efektivitas hukum. Sehingga, dapat dikatakan bahwasannya ketika mengukur keefektivitasan hukum ditentukan berdasarkan taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Sehingga secara tegas apabila tingginya taraf ketaatan atas suatu aturan hukum, hal tersebut merupakan indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Sehingga dapat dikatakan hukum tersebut telah mencapai tujuannya yang absolut dalam mempertahankan dan melindungi hak dan kepentingan masyarakat dalam lingkungan bermasyarakat.

Sebagaimana uraian definisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penerapan hukum bahawasannya, efektivitas hukum diukur berdasarkan tingkat atau taraf ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum. Dapat dikatakan efektif, apabila usaha penanaman kaidah atau nilai atas aturan hukum dilakukan, terdapat reaksi positif dari masyarakat dalam hal menerima, mematuhi aturan hukum, dan jangka waktu penanaman hukum secara berkepenjangan dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Sehingga, apabila taraf ketaatan aturan hukum tinggi dan faktor yang mempengaruhinya tersebut terpenuhi, tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian secara optimal tercapai dalam pelaksanannya.

�� Apabila dikaitkan dengan permasalahan penerapan pemberian surat sanksi berupa surat peringatan untuk pekerja, terdapat ketidaksesuaian dalam impelementasi yang seharusnya, dimana dalam hal ini atasan langsung si pekerja selaku perusahaan melakukan pemberian surat sanksi berupa surat peringatan secara tidak berurutan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Pemberian surat peringatan secara tidak berurutan tersebut dimungkinkan karena adanya sisi subyektifitas dari perusahaan kepada perusahaan. Sehingga apabila hal ini terjadi, dapat menimbulkan menyimpangnya tujuan hukum ketenagakerjaan yang seyogyanya sebagai bentuk perlindungan hukum atas keadilan dan kesejahteraan dan kelangsungan hidup pekerja beserta keluarganya dalam hubungan kerja. Selain itu tujuan hukum dari segi kemanfaatan, permasalahan ini membuat tujuan dasar hukum ketenagakerjaan menjadi tidak terpenuhi secara absolut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di PT X, terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam efektivitas PP No. 35 Tahun dan Peraturan Perusahaan. Apabila dikaitkan dengan permasalahan atas penerapan pemberian surat sanksi berupa surat peringatan, fakta di lapangan pengaturan mengenai kualifikasi atau kriteria pelanggaran dan tata cara pemberian surat sanksiyang dapat diberikan surat peringatan (pertama, kedua, ketiga) atau surat peringatan pertama dan terakhir, atau sanksi berupa PHK sebagaimana diperintahkan dalam PP No. 35 telah telah diatur dalam Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Perusahaan (PP) dan peratruran turunan berupa Surat Keputusan Direksi tentang Kriteria dan Penanganan Pelanggaran PT X yang menyatakan bahwasannya terdapat kualifikasi pelanggaran yang dapat diberikan sanksi berupa surat teguran baik secara lisan maupun tertulis, surat peringatan, surat peringatan pertama dan terakhir, dan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam 37 ayat (4) PP PT PX menyatakan pemberian sanksi berupa surat peringatan khususnya surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga wajib dilakukan secara berurutan atau berjenjang. Sehingga, dapat dikatakan pemberian surat peringatan kepada pekerja secara berurutan berlaku secara absolut kepada insan perusahaan tanpa terkecuali. Namun, pada praktiknya beberapa karyawan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, yang mana pemberian sanksi langsung diarahkan kepada surat peringatan kedua atau ketiga bahkan PHK. Pemberian sanksi yang tidak berjenjang tersebut diharapkan perusahaan memberikan efek jera bagi pekerja yang melanggar, namun hal tersebut justru menyalahi undang-undang yang telah ditetapkan.

Sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan ini yang memiliki jangka waktu berlakunya masing-masing bertujuan untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagimana disebutkan dalam Pasal 151 ayat (1) Perpu Cipta Kerja yang menyebutkan bahwasannya perusahaan, pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu untuk menumbuhkan hubungan kerja yang semakin harmonis dan upaya bentuk kepedulian perusahaan dalam evaluasi serta peningkatan kualitas kerja yang dimiliki pekerja. Tujuan pemberian surat peringatan pada dasarnya agar pekerja yang bersangkutan menyadari pelanggaran yang dilakukannya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penilaian kondite pekerja.

Keadaan sebagaimana terjadi di PT X di atas, hal tersebut berpotensi atau bahkan telah menimbulkan ketidakadilan kepada pekerja dan bukannya sebagai upaya pencegahan PHK, hal tersebut justru sebagai upaya mempercepat terjadinya PHK. Jika melihat lebih dalam lagi sebelum hubungan kerja tercipta terdapat perbedaan kedudukan secara sosio-ekonomi antara pengusaha dengan karyawan. Perbedaan ini disebabkan karena kedudukan karyawan dapat dikatakan lebih lemah dibandingkan kedudukan pengusahaan sehingga tidak terlepas dari pengaruh pengusaha, karena seorang karyawan menggantungkan penghidupannya kepada pengusaha meskipun salah satu hak normatifnya ditiadakan. Hal ini juga dapat menyebabkan implementasi efektivitas atas tujuan hukum yang dituangkan dalam PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X tidak berjalan semestinya.

Berdasarkan seluruh hasil wawancara, bahwasannya perusahaan mengetahui adanya instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal perusahaan (peraturan perusahaan dan surat keputusan direksi) yang mengatur mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan, namun tidak memahami secara detail subtansi dan tata cara pemberian surat peringatan. Pengetahuan perusahaan akan hal tersebut merupakan bentuk keberhasilan pemerintah dalam mempublikasikan produk hukum kepada masyarakat. Upaya tersebut telah membuktikan PP No. 35 Tahun 2021 telah terpublikasi secara optimal. Namun, tidak dipungkiri efektivitas atas penerapan PP No. 35 Tahun 2021 terhadap pemberian surat sanksi kepada pekerja masih belum terlaksana secara efektif atau belum optimal, karena tujuan dasar hukum dan hukum ketenagakerjaan yang sesungguhnya tidak tercipta sebagaimana mestinya.

Terjadinya pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan didasarkan pada kurangnya kesadaran hukum perusahaan, karena pada dasarnya perwujudan dari hukum itu berasal dari kesadaran hukum pengusaha itu sendiri. Selain itu, jika ditinjau dari sisi regulasi, Perpu Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 telah dianggap sebagai hukum positif yang berlaku dan mengikat secara umum, sehingga apabila ada pengusaha yang nakal melakukan pelanggaran terhadap hal tersebut wajib diberikan sanksi yang sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

 

2. Faktor yang Berperan dalam Efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap Pemberian Surat Sanksi Kepada Pekerja

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, terdapat beberapa faktor yang berperan dalam efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap pemberian surat sanksi berupa surat peringatan secara berurutan kepada pekerja antara lain sebagai berikut:

a. Faktor Penegak Hukum

Pelaksanaan efektivitas suatu peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari tindakan penegak hukum berupa pengawasan dan penegakkan atas perlindungan hukum terhadap implementasi suatu aturan dalam aktivitas perusahaan. Dalam permasalahan ini, penegak hukum yang dimaksud adalah pejabat yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan. Pada prinsipnya pengawas ketenagakerjaan memiliki kewajiban agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan dan dipatuhi oleh para pelaku industri. Sehingga fungsi pengawasaan seyogyanya dioptimalkan pelaksanaanya demi tercapainya amanat konstitusi dan perlindungan kesejahteraan pekerja serta keberlangsungan industri.

Sebagai salah satu pekerja di PT. X yang menjalankan fungsi coaching conseling pekerja, fakta di lapangan menunjukkan kurangnya pengawasan dari pejabat ketenagakerjaan yang berwenang terhadap implementasi PP No. 35 Tahun 2021 terhadap pemberian surat sanksi berupa surat peringatan secara berurutan oleh perusahaan kepada pekerja kurangnya pengawasan ini merupakan salah satu bentuk kebebasan secara tidak langsung kepada perusahaan untuk tidak memberlakukan aturan terkait pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja. Sedangkan menurut salah satu karyawan di PT. X selain pejabat ketenagakerjaan yang berwenang terhadap implementasi PP No. 35 Tahun 2021, seharusnya terdapat peran serta PT. X dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi atas Peraturan Perusahaan dan peraturan turunannya, baik menjadi fungsi yang melekat dalam satuan unit kerja yang telah ada ataupun pembentukan unit kerja baru yang bertugas pengawasan dan pemantauan atas kepatuhan perusahaan layaknya tugas dan fungsi pengawasan dari pejabat ketenagakerjaan yang berwenang. Hal tersebut agar implementasi atas aturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan internal sesuai atau comply.

Selain pengawasan, penegak hukum dapat melakukan upaya non hukum berupa sosialisasi atau sharing knowledge kepada perusahaan atas peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sosialisasi ini sebagai bentuk kepanjangan tangan atas teori fiksi hukum yang mana pada saat UU diundangkan setiap orang dianggap mengetahui UU yang berlaku tersebut. Pada dasarnya upaya non hukum dapat dilakukan oleh seluruh pihak mulai dari instansi pemerintah yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan itu sendiri, Bagian SDM perusahaan atau PT. X, atau pihak lain yang memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan mengenai kewajiban perusahaan atas pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja.

Berdasarkan hasil analisis, faktor penegak hukum menjadi faktor pendukung. Ditinjau dari faktor pendukungnya, pejabat yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan kurang melakukan pengawasan berupa sidak ataupun audit ketenagakerjaan kepada pelaku industri, dalam hal ini perusahaan. Kurangnya pengawasan ini juga menjadikan praktik-praktik pelanggaran atas aturan terhadap penyelenggaraan hubungan kerja yang yang baik terjadi, hal ini dibenarkan secara perbedaan kedudukan secara sosio-eko antara perusahaan dengan pekerja.

b. Faktor Masyarakat

Efektivitas hukum juga dipengaruhi oleh subyek hukum itu sendiri. Kesadaran hukum yang dimiliki oleh setiap pelaku industri juga mempengaruhi efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan. Namun, fakta di lapangan berbeda dengan apa yang diharapkan. Dalam permasalah ini, kurangnya kepahaman mengenai tujuan atau esensi hukum ketenagakerjaan itu sendiri sehingga hal-hal yang berkaitan dengan hak pekerja enggan untuk dilindungi sepenuhnya oleh perusahaan sesuai dengan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, kurangnya kesadaran hukum beberapa perusahaan selaku pelaku industri untuk mengimplementasikan aturan mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja. Disamping itu, terdapat kurangnya kesadaran hukum yang dimiliki pekerja. Hal ini dapat memicu pelanggaran atas hak-hak yang seharusnya dimiliki yang disebabkan karena ketidaktahuan seorang pekerja atas suatu aturan mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan.

Selanjutnya, dalam praktik implementasi PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X, pihak perusahaan telah mengetahui adanya aturan baik aturan umum maupun aturan internal yang mengatur mengenai pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja, namun pihak perusahaan tidak memiliki pemahaman yang jelas dan pasti atas subtansi aturan tersebut. Hal itu selaras dengan fakta yang terjadi PT. X masih melakukan pelanggaran terhadap kebijakan lembur tersebut dengan berbagai alasan. Hal itu juga diakui oleh keterangan salah satu atasan di PT X yang menyatakan bahwa kurangnya kesadaran hukum perusahan selaku pelaku industri untuk mematuhi yang diperintahkan atau dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain ketidaktahuan atasan sebagai pihak perusahaan atas aturan yang berlaku, terdapat hal-hal yang termasuk dalam faktor masyarakat, yaitu adanya unsur subyektif atau like-dislike secara personal dari atasan kepada pekerja yang melanggar ketentuan. Unsur subyektifitas atasan terhadap pekerja sangat berpengaruh dan berimplikasi pada ketidakadilan yang terjadi dalam hubungan kerja, karena apabila seorang atasan melakukan penilaian secara subyektif, hasil atas penilaian tersebut memiliki kecenderungan rasionalisasi atas penilaian yang tidak sesuai dengan fakta atau prosedur yang terjadi dan berlaku di lapangan.

Menurut peneliti berdasarkan hasil analisis, faktor masyarakat dapat menjadi faktor pendukung dan penghambat. Jika ditinjau dari faktor penghambat, faktor masyarakat didasarkan karena kesadaran hukum subyek hukum itu sendiri, dalam hal ini adalah pengusaha atau perusahaan selaku pelaku industri atas implementasi peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap aktivitas perusahaan. Namun, dalam segi faktor pendukung, adanya usaha perusahaan untuk mengikuti pelatihan dan/atau seminar yang bekaitan dengan implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, dan PHK khususnya mengenai penyelenggaraan hubungan industrial dan hubungan kerja yang sesuai dengan aturan berupa pemberian surat peringatan secara berurutan oleh perusahaan kepada pekerja.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai pemberian surat sanksi berupa surat peringatan kepada pekerja di PT X, maka didapatkan kesimpulan bahwa Pengaturan mengenai pemberian surat sanksi berupa surat peringatan secara berurutan kepada pekerja di PT. X pada dasarnya telah diatur dalam hukum positif dan disusun sebaik mungkin dalam beberapa instrumen hukum berupa peraturan perundang-undang berupa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan telah diubah dalam Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK. Sedangkan instrumen hukum secara internal perusahaan hal tersebut diatur dalam peraturan perusahaan PT. X, Surat Keputusan Direksi tentang Kriteria dan Penanganan Pelanggaran. Subtansi dalam ketentuan perusaahaan tersebut pasti berhubungan dengan perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan. Hal ini telah menjadi upaya untuk menghindari terjadinya PHK guna meningkatkan penghidupan pekerja yang layak serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup pekerja dan keluarganya sebagaimana bagian dari tujuan hukum ketenagakerjaan itu sendiri.

Tolak ukur efektivitas hukum berada pada taraf ketaatan subyek hukum terhadap aturan hukum yang berlaku. Sebagai turunan PP No. 35 Tahun 2021 perusahaan membentuk suatu Peraturan Perusahaan, yang mana dalamPeraturan Perusahaan PT. X telah diatur bahwasannya pemberian surat sanksi berupa surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga wajib dilakukan secara berurutan atau berjenjang guna menghindari terjadinya PHK sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 35 Tahun 2021. Berdasarkan permasalahan yang terjadi di PT. X, yang didasarkan pada hasil wawancara dengan beberapa narasumber di atas dapat dikatakan efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 dan Peraturan Perusahaan PT. X terhadap pelaksanaan pemberian surat sanksi berupa surat peringatan secara berurutan kepada pekerja belum dilaksanakan secara maksimal atau dapat dikatakan belum berjalan efektif sebagaimana mestinya karena terdapat beberapa unsur yang mempengaruhi pelaksanaan pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja. Apabila hal ini terjadi, dapat menimbulkan menyimpangnya tujuan hukum ketenagakerjaan yang seyogyanya sebagai bentuk perlindungan hukum atas keadilan dan kesejahteraan dan kelangsungan hidup pekerja beserta keluarganya dalam hubungan kerja. Selain itu tujuan hukum dari segi kemanfaatan, permasalahan ini membuat tujuan dasar hukum ketenagakerjaan menjadi tidak terpenuhi secara absolut. Selain itu, faktor yang berperan dalam efektivitas PP No. 35 Tahun 2021 terhadap pelaksanaan pemberian surat peringatan secara berurutan kepada pekerja di PT adalah faktor penegak hukum dan faktor masyarakat. Kedua faktor ini memiliki peranannya masing-masing dalam keefektivitas PP No. 35 Tahun 2021.

 

BIBLIOGRAFI


Arliman, L. (2017). Perkembangan Dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia. Jurnal Selat, 5(1), 74�87.

 

Asyhadie, Z. (2007). Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.

 

Azhar, M. (2015). Hukum Ketenagakerjaan. Universitas Diponegoro.

 

Harahap, A. M. (2020). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan.

 

Nurrohim, H., & Anatan, L. (2009). Efektivitas komunikasi dalam organisasi. Jurnal Manajemen Maranatha, 8(2), 11�20.

 

Putra, A. E. (2015). Peranan Pengawasan Dalam Meningkatkan Efektivitas Kerja Karyawan Pada Pt. Kereta Api (Persero) Divisi Regional Iii Sumatera Selatan. Jurnal Media Wahana Ekonomika, 12(1).

 

Ramli, L. (2020). Hukum ketenagakerjaan. Airlangga University Press.

 

Sipayung, P. D., Manullang, S. O., Gelong, H. R., Nasrin, N., Hijriani, H., Anggusti, M., & Faried, A. I. (2022). Hukum Ketenagakerjaan. Yayasan Kita Menulis.

 

Sulaiman, A., & Walli, A. (2019). Hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM Jakarta).

 

Telaumbanua, D. (2019). Hukum Ketenagakerjaan. Deepublish.

 

Wahyuni, S. (2021). Efektivitas Reward Terhadap Peningkatan Kinerja Pada Karyawan PT. Bank Syariah Indonesia KCP Batusangkar.

 

Wahyuni, T. (2020). Efektivitas Peraturan Kepala Daerah Tentang Peningkatan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Di Lingkungan Pemerintah Daerah. Jurnal Administrasi Publik, 16(2), 167�183.

 

Whimbo Pitoyo, S. E., & Sh, M. B. A. (2010). Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan. Visimedia.

 

Wijaya, A. T., & Subekti, R. (2021). Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pada Masa Pandemi Covid-19 Melalui Mediator. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(2), 474�485.

 

Zubi, M., Marzuki, M., & Affan, I. (2021). Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak-Hak Normatif Tenaga Kerja Setelah Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Jurnal Ilmiah METADATA, 3(3), 1171�1195.

 


Copyright holder:

Ayu Aulia Rahmitasari, Siti Hajati Hoesin (2023)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: