JSA 2Volume 4, No. 3 Maret 2023

p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356


 

PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM HAL PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA YANG BERDAMPAK PADA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

 

Enggartiasti Sherly Anggraini

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: [email protected]

 


 

Abstrak: ��������


Dalam setiap Perusahaan tentunya selalu berupaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang kooperatif dan nyaman bagi setiap pekerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran serikat pekerja dalam mengatasi perselisihan hubungan kerja yang dapat berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Metode Penelitian yang diangkat pada penelitian ini adalah penelitian Normatif. Penelitian Hukum Normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder�.� Hasil penelitian menunjukkan bahwa serikat pekerja memiliki peran yang sangat penting dalam menangani perselisihan hubungan kerja yang dapat berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Peran serikat pekerja antara lain adalah sebagai mediator dalam penyelesaian perselisihan, memberikan pendapat hukum dan nasihat kepada anggota, dan melindungi hak-hak pekerja melalui negosiasi dan aksi protes. Penelitian ini merekomendasikan perlunya peningkatan peran serikat pekerja dalam mengatasi perselisihan hubungan kerja yang dapat berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan dan pendidikan kepada anggota serikat pekerja mengenai hukum hubungan kerja dan peran serikat pekerja dalam menyelesaikan perselisihan. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan kerja yang lebih stabil dan kondusif bagi pekerja.

�����������������������������������������������


Kata Kunci: Hubungan Kerja; Perselisihan; Pekerja; Pemutusan Hubungan Kerja; Serikat Pekerja.

 

Abstract:

In every company, of course, always strive to create a cooperative and comfortable work environment for each worker. This study aims to analyze the role of trade unions in overcoming labor relations disputes that can have an impact on termination of employment. The research method raised in this study is Normative research. Normative Law Research is legal research conducted by examining library materials or secondary data".� The results showed that trade unions have a very important role in handling labor relations disputes that can have an impact on termination of employment. The role of trade unions includes being a mediator in dispute resolution, providing legal opinions and advice to members, and protecting workers' rights through negotiations and protests. The study recommends the need to increase the role of trade unions in addressing labor disputes that can have an impact on termination. This can be done through providing training and education to union members on labor relations law and the role of unions in resolving disputes. Thus, it is expected to create a more stable and conducive work environment for workers.

 

Keywords: employment relations; Conflict; Worker; Termination of employment; Trade Union.���

 

Article History�����������

Diterima��������� : 05 Maret 2023

Direvisi����������� :

Publish������������ :

�����������


 

PENDAHULUAN

Pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertujuan agar tenaga kerja didayagunakan secara optimal/manusiawi dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja sesuai dengan kebutuhan pembangunan serta mempertimbangkan aspek perlindungan guna mewujudkan serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya (Podungge et al., 2021; Wijaya & Subekti, 2021).

Secara filosofis tenaga kerja dan pengusaha merupakan pihak-pihak yang menjalin suatu hubungan kerja dan turut bersinergi satu sama lain guna meningkatkan pertumbuhan industri maupun ekonomi (Fahrunnisa et al., 2017). Salah satu sarana dalam mewujudkan amanat UUD 1945, yakni eksistensi serikat pekerja dalam melaksanakan fungsi hubungan industrial, selain menjalankan segi pengawasan menjaga kelangsungan produksi, tertib, aspiratif, memperjuangkan kesejahteraan anggota dan keluarga (R. Sinaga, 2018). Hal ini selaras dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, yang menyatakan bahwa serikat pekerja merupakan alat untuk memperjuangkan, melindungi, membela kepentingan. serta kesejahteraan pekerja serta keluarga. Selain mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan (Fikriyah, 2021).

Serikat pekerja harus berpihak terhadap pekerja, bukan pengusaha, namun keperpihakannya mempunyai sifat obyektif, terbuka, serta bertanggungjawab (Agung, 2021). Hal ini sesuai amanat Undang Undang No. 21 Tahun 2000, jo. Pasal 28D (ayat 1), seperti jaminan perlindungan, kepastian hukum, perlakuan yang adil serta sama di hadapan hukum, jo. Pasal 28D (ayat 2), seperti berhak mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang semuanya tersurat dalam UUD 1945.

Tuntutan pekerja/buruh untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, seperti kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, dapat dipandang sebagai tuntutan yang dapat dipahami mengingat tingkat daya beli pekerja/buruh tidak banyak beranjak dari kondisi sebelum krisis (Wibowo & Herawati, 2021). Juga, kebijakan dan peraturan perundangan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan ekonomi pekerja/buruh juga ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya sejumlah aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh yang cenderung meningkat dan disertai kekerasan sejak pertengahan tahun 2001.

Namun perlu diperhatikan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industri di Indonesia sejak lama telah menjadi masalah yang pelik dan berkepanjangan yang turut menyumbang terhadap timbulnya keresahan industri akhir-akhir ini. Penyelesaian kasus-kasus tersebut sering dilakukan di luar upaya hukum, misalnya dengan melibatkan aparat kepolisian, militer, atau bahkan �preman� dengan cara represif. Di lain pihak, pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi yang berjalan lambat, ditambah dengan adanya gejala resesi global yang cenderung berdampak negatif terhadap pangsa pasar, merupakan suatu dilema tersendiri bagi pengusaha dalam menghadapi tuntutan para pekerja/buruhnya.

Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh Podungge (2021), dalam penelitiannya yang berjudul "Peran Serikat Pekerja/Buruh dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak yang Dilakukan oleh Perusahaan terhadap Pekerja/Buruh." dalam penelitiannya menghasilkan peran Serikat Pekerja/Buruh dalam penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja/buruh.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran serikat pekerja dalam mengatasi perselisihan hubungan kerja yang dapat berdampak pada pemutusan hubungan kerja.

 

METODE

 

Metode Penelitian yang diangkat pada penelitian ini adalah penelitian Normatif. Penelitian Hukum Normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder�.� Penelitian hukum normatif mengacu konsep hukum sebagai kaidah dengan metodenya yang doktrinal-nomologik yang bertitik tolak pada kaidah ajaran yang mengkaidai perilaku. Berdasarkan pendapat tersebut penelitian hukum berupaya menemukan kebenaran koherensi yaitu apakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan apakah norma hukum yang berisi mengenai kewajiban dan sanksi tersebut sesuai dengan prinsip hukum, dan juga apakah tindakan sesorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum. Dalam hal ini, penelitian hukum yang dilakukan akan menggunakan bahan hukum seperti bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa buku hukum, jurnal, dan lain sebagainya, serta didukung bahan hukum tersier seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan kamus hukum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

A.     Peran Serikat Pekerja di Indonesia

Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian tersebut belum jelas menunjukan status hubungan kerjanya. Secara khusus Ridwan Halim memberikan pengertian buruh/pegawai adalah: (a) Bekerja pada atau untuk majikan/ Perusahaan. (b) Imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/ Perusahaan. (c) Secara resmi terang-terangan dan kontinu mengadakan hubungan kerja dengan majikan/ perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk jangka waktu tidak tertentu lamanya.

Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha tidak selamanya harmonis, ada saja ketidaksepahaman dalam menyikapi hukum ketenagakerjaan (Angelia & Yurikosari, 2020). Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Ada beberapa cara yang dapat mengakibatkan berakhirnya/ putusnya hubungan kerja, yaitu: (a) Putus demi hukum. (b) Diputuskan oleh pengusaha. (c) Diputuskan oleh pihak tenaga kerja. (d) Karena putusan pengadilan.

Menurut Pasal 1 huruf q Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaa, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya.

Di dalam penjelasan umum Pasal 25 UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja, dikatakan bahwa Pekerja/ butuh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam satu organisasi serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh.

Menurut Abdul R. Budiono Serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, tebuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan dan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya.

Pembentukan serikat pekerja adalah hak yang melekat pada pekerja, worker rights is human rights juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 Pasal 23 dengan jelas menyatakan hal tersebut: (a) ayat (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan akan pengangguran; (b) ayat (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama; (c) ayat (3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya; (d) ayat (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Peran serikat pekerja, selain membangun hubungan industrial, mempunyai fungsi sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial; Sebagai wakil pekerja dalam lembaga kerja sama bipartit Sebagai perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan pekerja; dan wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.

Dengan� adanya� serikat� pekerja� di� perusahaan� peran� dan� fungsi� LKS� Bipartit� di� perusahaan� sudah� dapat dilaksanakan� oleh� Serikat� pekerja/serikat� buruh� karena� tugas� dan� fungsi� serikat� pekerja� adalah� menampung aspirasi�� dan�� keluhan�� pekerja/buruh,�� menyalurkan�� aspirasi�� dan�� keluhan�� tersebut�� kepada�� pengusaha, memperjuangkan�� realisasi�� hak�� dan�� kepentingan�� anggota�� kepada�� pengusaha,�� membantu�� menyelesaikan perselisihan� industrial,� meningkatkandisiplin� dan� semangat� kerja� anggota,� aktif� mengupayakan� menciptakan atau� mewujudkan HIyang� aman,� harmonis,� dinamis� dan� berkeadilan� dan� menyampaikan� saran� kepada pengusaha� baik� untuk� penyelesaian� keluh� kesah� pekerja� maupun� untuk� penyempurnaan� sistem� kerjadan peningkatan produktifitas perusahaan (Putri et al., 2022).

Serikat pekerja dapat dibentuk sekurang-kurangnya oleh 10 orang pekerja, dan serikat pekerja yang telah terbentuk berhak membentuk dan berpayung sebagai anggota federasi/ konfederasi serikat pekerja. Keberadaan pekerja yang membentuk serikat pekerja tidak dapat dihalang-halangi oleh pengusaha, pemerintah, atau pihak manapun yang akan memaksa dan menekan pekerja untuk tidak membentuk serikat pekerja, diancam dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan terlama 5 (lima) tahun, dan/ atau denda paling sedikit Rp.100.000.000- (Seratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah). Demikian pula, jika pekerja ketika melaksanakan kegiatan organisasi mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pemutusan hubungan kerja, pemberhentian sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi, tidak membayar upah atau mengurangi upah pekerja, intimidasi, serta melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja, maka bagi pihak yang menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja, diancam dengan ketentuan tersebut.

Di Indonesia sendiri terdapat banyak serikat pegawai yang sudah terdaftar resmi di Kementerian Tenaga Kerja. Jika mengacu pada data Kemnaker, jumlah serikat pegawai di tahun 2017 sendiri sudah mencapai sekitar 7.000 organisasi. Beberapa contoh serikat pekerja yang ada di Indonesia, yaitu: (a) ILO (International Labour Organization). (b) PPMI (Persatuan Pekerja Muslim Indonesia). (c) FSPS (Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa). (d) SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). (e) KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). (f) KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia

Dengan adanya lebih dari satu serikat buruh, dapat muncul konflik antar SB. Tidak saja antara SB yang baru dengan SB yang lama akan tetapi juga antar SB yang lahir pada masa sesudah orde baru runtuh. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang misalnya strategi perjuangan, rekrutmen anggota, pola kepemimpinan dan ideologi, ditambah dengan kemungkinan adanya-friksi yang terus menerus, dan dengan dimungkinkannya SB-SB ini berada dalam satu perusahaan, sehingga friksi tersebut pada tingkatan tertentu dapat berubah menjadi konflik.

Serikat pekerja memiliki beberapa fungsi yang mana diatur pada Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2000. Diantaranya adalah sebagai berikut (Pujiastuti, 2010): (1) Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial. (2) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya. (3) Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak kepentingan anggotanya. (5) Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.

Selain memiliki fungsi yang memihak para pekerja jika terjadi permasalahan, serikat pekerja juga memiliki beberapa tujuan yang penting, beberapa diantaranya yaitu:

1. Membela Hak Para Pekerja

Salah satu fungsi dan manfaat serikat pekerja adalah untuk mendukung karyawan yang memiliki masalah terkait hak dan kewajiban mereka ketika bekerja. Sehingga mereka mendapat kesempatan untuk hidup sejahtera.

2. Memperbaiki Aturan di Perusahaan Karyawan

Bisa saja satu hal atau aturan tertentu di perusahaan baru terlihat menjadi masalah seiring berjalannya waktu. Ketika permasalahan tersebut justru menyebabkan kerugian pada karyawan, serikat pekerja dapat berperan sebagai penengah antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Bukan hal yang tidak mungkin setelah terjadinya perundingan ini, akan ada penyesuaian aturan yang berlaku agar kedua belah pihak sama-sama tidak merugi.

3. Menyampaikan Aspirasi Karyawan kepada Perusahaan

Sebisa mungkin karyawan harus menghindari keputusan-keputusan sepihak yang dilakukan perusahaan.Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini sering terjadi. Fungsi dan manfaat serikat pekerja adalah untuk bisa membantu karyawan agar pendapat mereka juga turut didengarkan oleh perusahaan. Karena idealnya, perusahaan harus melibatkan karyawan ketika ingin mengambil sebuah keputusan.

Dalam pasal 25 UU No.21 Tahun 2000 dikatakan bahwa Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang telah memiliki nomor bukti, mempunyai hak:(a) Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha. (b) Mewakili pekerja/ buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial (c) Mewakili pekerja/ buruh dalam Lembaga ketenagakerjaan. (d) Membentuk Lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/ buruh, seperti mendirikan koperasi, Yayasan, atau bentuk usaha lain. (e) Melakukankegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan di dalam pasal 27 menjelaskan mengenai kewajiban dari Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, Federasi dan Kofederasi yang sudah memiliki nomor bukti (Soewono, 2019), yaitu: (a) Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya. (b) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya. (c) Mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. (d) Membayar iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau dalam anggaran rumah tangga.

 

 

 

B.      Peran Serikat Pekerja dalam Perselisihan Hubungan Kerja

Dalam era industralisasi di atas kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi, perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk penyelesaiannya diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah. UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan perkermbangan keadaan dan kebutuhan tersebut di atas. Perselisihan hubungan industrial umumnya terjadi karena terdapat ketidaksepahaman dan perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan pekerja (Yuditia et al., 2021).

Dalam melaksanakan hubungan industrial setiap pekerja diarahkan untuk memiliki sikap merasa ikut memiliki serta mengembangkan sikap memelihara dan mempertahankan kelangsungan usaha dari perusahaan. Demikian juga setiap pengusaha dalam hubungan industrial diharapkan mampu mengembangkan sikap memperlakukan pekerja atas dasar kemitraan yang sejajar serta mampu meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pekerja. Namun pada kenyataannya perbedaan pendapat dalam hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan dapat dengan mudah terjadi dan mampu mengakibatkan perselisihan.

Hubungan Industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi, konsultasi musyawarah serta berunding ditopang oleh kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada dalam perusahaan (Afifah & Paruntu, 2015). Undang-Undang ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita kembangkan dalam bidang hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal, sehingga tercipta kondisi kerja yang produktif, harmonis, dinamis dan berkeadilan (Chumaida et al., 2016; Vandawati et al., 2016).

Hubungan�� industrial�� ini�� juga�� dikaitkan dengan� interaksi� pekerja� di� tempat� kerja.� Hal tersebut akan terasa apabila terdapat permasalahan atau gejolak. Suasana kerja akan berubah� dan� berakibat� pada� penurunan� kinerja serta� produktivitas� di� tempat� kerja.� Semua �itu tergantung� pada� berhasil� atau� gagalnya� dalam mengelola hubungan industrial dalam perusahaan.

Berdasarkan pengertian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, maka dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi Jenis Perselisihan Hubungan Industrial menjadi:

a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibatnya adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, berdasarkan pengertian di atas jelas bahwa perselisihan hak merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak, termasuk didalamnya halhal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan dan perundangundangan yang berlaku.

b. Perselisihan Kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) Menurut Iman Soepomo, berdasarkan pengertian diatas perselisihan kepentingan terjadi ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran pemutusan hubungan kerja oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Perselisihan PHK ini merupakan jenis perselisihan yang paling banyak terjadi, pihak pengusaha dengan berbagai alasan mengeluarkan surat PHK kepada pekerja tertentu jika pengusaha menganggap bahwa pekerja tidak dapat lagi bekerja sesuai kebutuhan perusahaan, tetapi PHK juga dapat dilakukan atas permohonan pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada pekerja.

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, yaitu perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selanjutnya disebut UU PPHI).

Perselisihan Pemutusan� hubungan� Kerja� (PHK) merupakan� hal� paling� sensitif� bagi� pekerja (Fatimah, 2015; Handayani, 2017). Apabila PHK tidak� sesuai� aturan� yang� berlaku,� maka� dapat� menimbulkan� perselisihan.� Sebagai contoh, PHK dilakukan secara sepihak oleh pengusaha kepada pekerjanya tanpa suatu sebab yang jelas. Perselisihan antar serikat Pekerja/serikat Buruh dalam Satu Perusahaan dapat terjadi apabila timbul�� perbedaan�� pendapat�� dan�� pandangan�� terhadap�� aturan�� perserikatan.�� Sebagai�� contoh, sengketa� antara� Serikat� Pekerja� A� dan� Serikat� Pekerja� B� di� dalam� suatu� perusahaan� karena adanyanya� keanggotaan� rangkap� dari� anggotanya.� Akibatnya,� anggota� terpecah� menjadi� dua bagian. Inilah yang menjadi pemicu perselisihan di internal serikat pekerja tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Menurut Pasal 61 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila: (a) Pekerja meninggal dunia. (b) Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir.

Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Ridwan & Nurhakim, 2020). Jadi pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebessar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui pengadilan hubungan industrial atau di luar pengadilan hubungan industrial yaitu:

1. Penyelesaian Melalui Bipartit Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pengertian perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Upaya perundingan bipartit diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

2. Penyelesaian Melalui Tripartit Penyelesaian melalui Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. Tugas pokok dari penyelesaian Triparti ini adalah memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan masalah ketenagakerjaan.

3. Penyelesaian Melalui Mediasi Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

4. Penyelesaian melalui Konsoliasi, Penyelesaian konsiliasi dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan yang disebut sebagai konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja, dimana konsiliator tersebut akan menengahi pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai. Jenis Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui konsiliasi antara lain: untuk perselisihan kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.

5. Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Menurut pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004, Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus (T. M. Sinaga et al., 2023) : (a) Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak. (b) Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan. (c) Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja. (d) Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Sarana hubungan industrial diwujudkan dengan menggunakan model, yaitu keberadaan serikat pekerja di lingkungan perusahaan, organisasi pengusaha dalam ranah bipartit, bersama pemerintah melalui forum tripartit, berbagai peraturan hukum positif, perjanjian kerja bersama, serta lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Semua sarana yang tersedia dipergunakan untuk mewujudkan kemitraan, namun demikian ketersediaan sarana tersebut, tidak menjamin secara mulus bahwa dalam perjalanan proses produksi tanpa mengalami hambatan, sekurang-kurangnya dengan pelbagai sarana tersebut, dapat menekan tingkat perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian hubungan kemitraan dapat terbangun/tercipta dalam suasana kesejukan dalam koridor hukum, keadilan dan memberi kemanfaatan bagi semua pihak dengan tetap patuh ternadap hak dan kewajiban masing-masing. Dalam rangka membangun hubungan kerja yang bermotif kemitraan dapat diketengahkan model partisipasi versi Swedia, yakni peran serikat pekerja di tempat kerja, seperti perencanaan produksi, kepastian/kelayakan kerja, kondisi kerja (syarat syarat kerja, kesehatan, keselamatan kerja, kesejahteraan), dan partisipasi di bidang pengelolaan keuangan perusahaan.

 

KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan serikat pekerja dalam menyampaikan aspirasi, serta upaya memperjuangkan kesejahteraan kesehatan, keselamatan kerja mempunyai makna signifikan. Model negoisasi dalam upaya mencapai mufakat lebih diutamakan. Serikat pekerja tingkat cabang berperan aktif sebagai pendampingan (advokasi-stakeholders) serta peran pemerintah selaku mediator memberi makna positif dalam rangka penegakan hukum, walaupun serikat pekerja menyadari adanya kendala maupun tantangan yang selalu menghadangnya. Namun demikian kontribusi serikat pekerja dalam melaksanakan fungsi dan peranan untuk membangun jalinan hubungan kerja yang kondusif serta proporsional memberi warna tersendiri dalam pembangunan nasional dibidang ketenagakerjaan.

 

BIBLIOGRAFI


Afifah, W., & Paruntu, D. N. (2015). Perlindungan Hukum Hak Kesehatan Warga Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Mimbar Keadilan, 150�169.

 

Agung, A. P. W. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Dengan Alasan Efisiensi Akibat Pandemi Covid 19. To-Ra, 7(1), 135�153.

 

Angelia, G., & Yurikosari, A. (2020). Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 211/PDT. SUS-PHI/2018/PN. BDG). Jurnal Hukum Adigama, 3(1), 578�602.

 

Chumaida, Z. V., Sabrie, H. Y., Dian, W., & Amalia, R. (2016). Aspek Hukum Kartu Indonesia Sehat. Yuridika, 31(3), 498�520.

 

Fahrunnisa, F., Razak, R., & Said, A. (2017). Peran Pemerintah Dalam Menangani Konflik Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan Pt Gunung Mas Di Kabupaten Pangkep. Kolaborasi: Jurnal Administrasi Publik, 3(3), 310�325.

 

Fatimah, Y. N. (2015). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan Hubungan Industrial dalam Pemenuhan Hak Pekerja/Buruh Yang di Putus Hubungan Kerja. Pandecta Research Law Journal, 10(2), 215�232.

 

Fikriyah, K. (2021). Peran Mediator Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Inovasi Penelitian UIN, 1(8).

 

Handayani, P. (2017). Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Di Kota Batam. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1).

 

Podungge, I. P., Patiolo, D., Silvya, V., & Hanifa, I. (2021). Peran Serikat Pekerja/Buruh dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak yang Dilakukan oleh Perusahaan terhadap Pekerja/Buruh. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(5), 384�399.

 

Pujiastuti, D. (2010). Peranan serikat pekerja dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis di PT. Air Mancur Karanganyar tahun 2008.

 

Putri, S. A., Karsona, A. M., & Singadimedja, H. (2022). Dirumahkannya Pekerja yang Berujung Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Masa Pandemi Covid-19 secara Sepihak Berdasarkan Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Secara Non Litigasi. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 8(1), 167�182.

 

Ridwan, M., & Nurhakim, L. I. (2020). Optimalisasi Perundingan Bipatrit Sebagai Master Mind Penyelesaian Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sebagai Akibat Dari Pandemi Corona. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 6(1), 87�108.

 

Sinaga, R. (2018). Peran Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Padang Kelas IA Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja. Soumatera Law Review, 1(2), 360�379.

 

Sinaga, T. M., Kom, S., & SM, M. M. (2023). SISTEM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA, 203.

 

Soewono, D. H. (2019). Peran Serikat Pekerja Dalam Menciptakan Hubungan Industrial Di Perusahaan. Jurnal Hukum Unik Kediri (2019)(21), 1�13.

 

Vandawati, Z., Sabrie, H. Y., Pawestri, W. D., & Amalia, R. (2016). Aspek Hukum Kartu Indonesia Sehat. Yuridika, 31(3), 498�520.

 

Wibowo, R. F., & Herawati, R. (2021). Perlindungan bagi pekerja atas tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(1), 109�120.

 

Wijaya, A. T., & Subekti, R. (2021). Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pada Masa Pandemi Covid-19 Melalui Mediator. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(2), 474�485.

 

Yuditia, A., Hidayat, Y., & Achmad, S. (2021). PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL OLEH BPJS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Jurnal Magister Ilmu Hukum, 6(1), 43�61.

 

Podungge, I. P., Patiolo, D., Silvya, V., & Hanifa, I. (2021). Peran Serikat Pekerja/Buruh dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak yang Dilakukan oleh Perusahaan terhadap Pekerja/Buruh. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(5), 384�399.


Copyright holder:

Enggartiasti Sherly Anggraini (2023)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: