JSA 2Volume 4, No. 5 Mei 2023

p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356

DOI: �https://doi.org/


 

MENGAPA PEMERINTAH DAERAH BELUM BERHASIL MENERBITKAN OBLIGASI DAERAH

 

Arima Khurria

Universitas Indonesia

Email: [email protected]

 


 

Abstrak: �����

Obligasi daerah merupakan salah satu alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur yang perlu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah. Walaupun masih ada pro dan kontra mengenai obligasi daerah, namun obligasi daerah masih dipandang sebagai opsi pembiayaan yang baik dan rasional. Namun demikian, sampai saat ini belum ada Pemerintah Daerah yang menerbitkan obligasi daerah. Hal ini tentunya disebabkan oleh berbagai macam faktor. Adapun faktor-faktor yang menghambat penerbitan obligasi daerah di Indonesia antara lain adanya kendala kesiapan pemerintah daerah (kendala kesiapan sumber daya manusia, belum adanya unit pengelola obligasi daerah, dan belum adanya regulasi daerah), kendala regulasi (regulasi yang terfragmentasi, prosedur penerbitan obligasi daerah yang rumit dan persyaratan penerbitan obligasi daerah yang sulit), kendala politik (adanya izin prinsip dari DPRD dan keterbatasan waktu periode jabatan Kepala Daerah dan DPRD), kendala transparansi, persepsi yang negatif tentang utang, keengganan pemerintah daerah untuk berhutang, dan kurangnya pemahaman mengenai obligasi daerah. Untuk mengatasi berbagai faktor penghambat tersebut, maka berikut ini hal-hal yang diidentifikasikan dapat mendorong penerbitan obligasi daerah, antara lain: peningkatan kapasitas SDM Pemerintah Daerah, perbaikan regulasi (kerangka regulasi yang bersifat menyeluruh, penyederhanaan prosedur penerbitan dan persyaratan obligasi daerah), pengungkapan, dan pemberian dukungan oleh pemerintah pusat.�������������������������������������������������

Kata Kunci: Infrastruktur; Obligasi Daerah; Pembiayaan.

 

Abstract:

Regional bonds are an alternative to infrastructure development financing that needs to be utilized by regional governments. Even though there are still pros and cons regarding regional bonds, regional bonds are still seen as a good and rational financing option. However, until now, no Regional Government has issued regional bonds. The factors that hinder the issuance of regional bonds in Indonesia include obstacles to the readiness of local governments (constraints on the readiness of human resources, the absence of a regional bond management unit, and the absence of regional regulations), regulatory constraints (fragmented regulations, procedures for issuing regional bonds complicated regulations and complex regional bond issuance requirements), political constraints (the existence of an in-principle permit from the DPRD and limited terms of office for Regional Heads and DPRDs), transparency constraints, negative perceptions of debt, local government reluctance to take on debt, and a lack of understanding about bonds area. To overcome these various obstacles, the following factors can encourage the issuance of regional bonds, as encouraging the issuance of regional bonds, including increasing the capacity of local government human resources, improving regulations (a comprehensive regulatory framework), and simplifying issuance procedures and requirements for regional bonds), disclosure, and provision of support by the central government.

 

Keywords: Regional Bond; Financing; Infrastructure.

�����������������������������������

 

Article History�����������

Diterima��������� :

Direvisi����������� :

Publish������������ :

�����������


PENDAHULUAN

Desentralisasi memberikan lebih banyak tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah dituntut untuk mandiri dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka memberikan pelayanan pada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat melakukan pembangunan di berbagai sektor. Salah satu bentuk pembangunan tersebut adalah pembangunan infrastruktur. Palei (2015) menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing produsen dalam negeri dengan cara memberikan multiplier effect dalam menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan konsumsi masyarakat dan pemerintah.

Namun demikian, pembangunan infrastruktur daerah membutuhkan pendanaan yang relatif besar dan berimplikasi terhadap ketidakmampuan ruang fiskal pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut (Ginting, 2016). Saat ini, sebagian besar pemberian pelayanan di daerah dibiayai dengan dana perimbangan dari Pemerintah Pusat (ADB, 2020). Pemerintah Daerah masih sangat bergantung pada dana perimbangan yang diberikan Pemerintah Pusat, baik itu Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Adapun sumber penghasilan lain yaitu Pendapatan Asli Daerah juga sangat terbatas jumlah nya (Okta & Kaluge, 2011). Dengan demikian upaya-upaya untuk mencari alternatif sumber pembiayaan infrastruktur menjadi sangat penting.

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan sebuah peluang kepada pemerintah daerah untuk menggali dana (Fund Raising) dalam rangka pembangunan dan pengembangan daerah melalui penerbitan obligasi daerah. Obligasi daerah merupakan praktek yang sangat umum dilaksanakan di dunia. OECD (2018), menyatakan bahwa obligasi daerah telah meningkat selama beberapa tahun terakhir dari sekitar 17 persen dari total utang publik pada tahun 2013 menjadi hampir 21 persen pada tahun 2017.

Meskipun obligasi daerah merupakan alternatif pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan daerah, namun sejauh ini belum ada daerah yang telah menerbitkan obligasi daerah (Sofi & Pusat, 2020). Pemerintah daerah yang paling gencar dalam rencana penerbitan obligasi daerah adalah Pemda Jateng dan Pemda Jabar. Pemda Jateng menyatakan telah menyiapkan berbagai aspek yang diperlukan untuk penerbitan skema pembiayaan melalui obligasi daerah.� Sementara itu Pemda Jabar sudah membentuk Tim Percepatan Obligasi Daerah yang bertugas mengawal seluruh proses penerbitan obligasi daerah. Namun demikian, rencana penerbitan obligasi daerah di Pemda Jawa Tengah dan Pemda Jawa Barat tak kunjung terealisasi karena belum adanya persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Berbagai penelitian terkait obligasi daerah telah menemukan bahwa secara finansial banyak Pemerintah Daerah yang layak untuk menerbitkan obligasi daerah, misalnya: Pemda Jawa Tengah, Pemda Sumatra Barat, Pemda Kalimantan Barat, Pemda Sumatera barat (Aini et al., 2020; Yulianti, 2018; Yusesa & Arza, 2020). Namun demikian ternyata sampai sekarang belum ada obligasi daerah yang diterbitkan di Indonesia karena selain harus memenuhi aspek aspek finansial, masih banyak persyaratan lain yang harus dipenuhi daerah dalam rangka menerbitkan obligasi daerah. Selain itu, Pemerintah Daerah juga menghadapi berbagai kendala dalam penerbitan obligasi daerah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menghambat penerbitan obligasi daerah di Indonesia dan mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong penerbitan obligasi daerah.

 

METODE

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif mengacu pada apa, bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa dari suatu hal (Firmansyah & Masrun, 2021). Dengan demikian penelitian kualitatif mengacu pada makna, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi sesuatu. Adapun data yang digunakan diambil dari buku, artikel, jurnal, serta website yang berkaitan dengan obligasi daerah.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembiayaan pembangunan infrastruktur merupakan komponen penting dalam pengeluaran pemerintah. Pembangunan infrastruktur mungkin bisa didanai dengan menggunakan pendapatan yang diperoleh sekarang. Namun, ada baiknya jika pembangunan infrastruktur dibiayai dengan menggunakan pinjaman. Penggunaan pinjaman dapat membantu menjaga kapasitas fiskal daerah (Boadway & Shah, 2009).

A.     Obligasi Daerah di Indonesia

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah mendefinisikan obligasi daerah sebagai pinjaman daerah �yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Obligasi daerah merupakan salah satu jenis dari pinjaman daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan di daerah tersebut (Sampeallo & Anggraini, 2020).

Dalam panduan penerbitan obligasi daerah yang dipublikasikan di website DJPK Kementerian keuangan, disebutkan beberapa prinsip umum obligasi daerah, yaitu: (a) Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah. (b) Obligasi Daerah merupakan �efek �yang� diterbitkan �oleh �Pemerintah �Daerah dan �tidak dijamin oleh Pemerintah. (c) Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah hanya untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan �penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan Pemerintah Daerah. (d) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.

Adapun persyaratan penerbitan obligasi daerah mencakup aspek kelembagaan dan aspek finansial yaitu: (a) Mendapat persetujuan prinsip dari DPRD. (b) Mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. (c) Audit �terakhir �Laporan �Keuangan �Pemerintah �Daerah �mendapat opini �Wajar �Dengan Pengecualian (WDP) atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). (d) Jumlah sisa pinjaman daerah + jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. (e) Memenuhi rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (DSCR) yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar minimal 2,5. (f) Mendapat izin pelampauan defisit APBD dari Menteri Keuangan dalam hal jumlah nominal Obligasi Daerah yang diterbitkan melebihi batas maksimal defisit APBD sebagaimana diatur dalam PMK mengenai Batas Defisit dan Pinjaman Daerah.

Tahapan penerbitan obligasi daerah cukup panjang dan melibatkan berbagai pihak, sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini.

 

Gambar 1 Tahap Penerbitan Obligasi Daerah

���������� Sumber: Website DJPK Kementerian Keuangan

 

 

 

 

B.      Obligasi Daerah di Berbagai Negara

1.      Amerika Serikat

Angelis (2017) menyatakan bahwa penerbitan obligasi daerah pada dasarnya rumit dan melibatkan banyak pihak yang terdiri dari penasihat keuangan, penasihat obligasi, wali amanat, dan penjamin emisi. Penerbitan obligasi daerah juga melibatkan berbagai macam kegiatan yaitu menyiapkan dokumen obligasi sebelum penjualan obligasi, memilih metode penjualan, menyusun struktur obligasi, menarik investor, memperoleh peringkat kredit, memberikan pengungkapan yang memadai kepada investor, dan mematuhi berbagai persyaratan. Selain itu, penerbitan obligasi juga menimbulkan berbagai biaya yang meliputi biaya hukum, biaya penjamin emisi, dan peringkat kredit. Proses penerbitan obligasi yang rumit dan adanya biaya penerbitan obligasi menimbulkan tantangan khusus bagi pemda kecil bahkan dalam pasar modal yang berkembang dengan baik.

Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa negara beberapa negara bagian di Amerika Serikat membentuk pooled financing mechanism pada tahun 1970-an. Negara dapat membentuk badan pembiayaan publik (misalnya State Bond Bank) yang berfungsi sebagai perantara keuangan antara pasar modal dan Pemerintah Daerah yang membutuhkan pembiayaan untuk belanja modal. State Bond Bank akan menggabungkan beberapa obligasi daerah yang kecil menjadi satu penerbitan obligasi yang lebih besar, menyusun persyaratan penerbitan obligasi, serta menangani persyaratan hukum, keuangan, dan pemrosesan dari penerbitan tersebut. Hasil penerbitan obligasi dari State Bond Bank tersebut kemudian dipinjamkan ke pemerintah daerah untuk membiayai proyek infrastruktur daerah mereka. Pooled financing mechanism telah berhasil mempermudah pemerintah daerah dengan cara memberikan akses ke pasar modal dan menurunkan biaya pembiayaan penerbitan obligasi. State Bond Bank juga berhasil mempertahankan peringkat kredit yang kuat tanpa adanya jaminan pemerintah dan hampir tidak ada default dari daerah yang meminjam.

Pooled financing beroperasi dalam kerangka hukum dan peraturan serta fungsi dari pasar modal daerah, yaitu: (a) pasar modal yang matang dan kompetitif. (b) identifikasi yang jelas dari sumber pendapatan yang menjamin pembayaran pinjaman. (c) batas hutang untuk pemerintah daerah. (d) persyaratan audit dan pengungkapan keuangan. (e) manajemen yang profesional dan independen. (f) membatasi tanggung jawab negara atas pinjaman daerah dan jaminan negara. (g) pemulihan yang efektif dan dapat ditegakkan jika terjadi gagal bayar dan kebangkrutan. (h) pooled financing hanyalah sebagai opsi pembiayaan (tidak wajib).

Untuk menjamin keberhasilan pooled financing, pemerintah harus terlebih dulu menyelesaikan permasalahan terkait tata kelola, manajemen, persyaratan hukum, pedoman operasional, penilaian proyek, struktur pinjaman, pemulihan apabila terjadi gagal bayar, regulasi, hingga struktur pasar modal.

Pooled financing dapat berhasil di Amerika Serikat karena didukung dengan pasar modal yang berkembang dengan baik dan kompetitif dengan kerangka peraturan yang baik, State Bond Bank yang berfungsi dalam struktur federal yang matang dan berkembang, serta profesionalisme dan sistem peradilan yang berfungsi dengan baik. Dengan demikian pooled financing harus didukung dengan reformasi intergovernmental system, penguatan manajemen dan akuntansi keuangan publik, pengembangan peraturan, serta pengawasan dan pengaturan di pasar modal.

 

2.      China

Lam and Wang (2018) menunjukkan bahwa pemerintah daerah di China merupakan pemain kunci dalam pembangunan daerah dan penyediaan layanan sosial di daerah. Pemerintah daerah menyumbang 50% pendapatan umum pemerintah dan menyumbang lebih dari 80% dari pengeluaran umum pemerintah. Utang pemerintah daerah juga meningkat secara signifikan sebesar 20% dari PDB selama tahun 2013-2017. Pasar obligasi pemerintah China telah berkembang pesat menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Obligasi pemerintah daerah di China mencakup 20% dari pasar pendapatan tetap pada tahun 2017 atau mencapai lebih dari 90% dari PDB, terbesar ketiga secara global setelah Amerika Serikat dan Jepang.

Sebagian besar pertumbuhan obligasi daerah didorong oleh debt-swap program dan perubahan regulasi yang terjadi pada tahun 2014. Perubahan regulasi tersebut memungkinkan pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi daerah yang dikenakan pembatasan tahunan untuk mengendalikan resiko fiskal yang timbul akibat adanya pinjaman off-budget pemerintah daerah. Sebelum tahun 2015, penerbitan obligasi daerah sangat dibatasi oleh pemerintah pusat. Pemerintah Daerah umumnya menghadapi kesulitan keuangan terkait kebutuhan belanja mereka. Selain itu pemerintah daerah juga sangat bergantung pada bagi hasil dan transfer tax-rebate. Dengan demikian, pemerintah daerah berusaha mencari jalan keluar dengan cara membentuk local government financing vehicles (LDFV) untuk dapat meminjam dari bank dan pasar modal.

Meskipun obligasi daerah dapat dikatakan berkembang jika dilihat dari jumlahnya, namun pasar obligasi pemerintah daerah tetap terbelakang. Obligasi daerah sebagian besar dipegang oleh bank sehingga perdagangannya menjadi terbatas. Sementara itu, bunga obligasi yang kecil menunjukkan bahwa terdapat sedikit resiko kredit terkait kemampuan fiskal daerah. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi bahwa obligasi daerah didukung oleh pemerintah pusat. Pinjaman off-budget juga terus meningkat karena besaran emisi obligasi tahunan dalam anggaran tidak cukup besar untuk mengakomodasi kebutuhan belanja pemerintah daerah.

Pasar obligasi pemerintah daerah masih terbelakang karena likuiditas rendah, basis investor sempit, disiplin kredit yang lemah (pemberian peringkat kredit obligasi daerah yang nyaris seragam, tidak sesuai dengan kondisi keuangan pemerintah daerah), kerangka regulasi yang terfragmentasi, kurangnya pengungkapan keuangan oleh pemerintah daerah, dan kapasitas pengelolaan hutang yang terbatas. Untuk itu pemerintah China harus melakukan reformasi untuk mengembangkan pasar obligasi dengan cara menyeleraskan peraturan, membangun likuiditas dan mendorong reformasi fiskal untuk mengurangi pinjaman off-budget. Pemerintah China telah melakukan berbagai langkah-langkah untuk mengembangkan pasar obligasi daerah dan mengurangi pinjaman off-budget, yaitu: (a) Merevisi UU Anggaran untuk memberikan tanggung jawab fiskal ke pemerintah daerah. (b) Biro keuangan provinsi bertanggung jawab atas keuangan daerah. Jika risiko fiskal naik di atas ambang tertentu, pemerintah pusat dapat merestrukturisasi hutang pemerintah daerah dan meminta pertanggungjawaban pejabat terkait. (c) Mengumumkan sistem peringatan dini dan panduan manajemen risiko. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko fiscal dan memungkinkan penyelesaian awal masalah fiskal. (d) Memungkinkan pemerintah daerah menerbitkan obligasi terhadap pengembangan lahan dan pendapatan dari jalan tol. (e) Rencana intergovernmental reform yang bertujuan untuk menyelaraskan kembali keuangan pemerintah daerah, termasuk melalui peningkatan basis pajak dan pendapatan pemerintah daerah.

 

3.      Eropa Tengah dan Timur

Haldeda, Brahimi, and Merkaj (2013) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat utang pemerintah daerah di Eropa Tengah danTimur masih jauh di bawah negara-negara Eropa lainnya. Rata-rata utang pemerintah daerah di negara-negara Uni Eropa adalah 5% dari PDB dan 9,5% dari utang pemerintah.

Sedangkan utang pemerintah daerah di negara Eropa Tengah dan Timur sangat jarang mencapai 2% dari PDB walaupun kinerja ekonominya setara dengan negara-negaraEropa Barat. Penyebab rendahnya tingkat hutang dalam negeri di negara-negara Eropa Tengah dan Timur diantaranya: (a) Kurangnya kapasitas teknis dan administrasi untuk pengelolaan hutang. (b) Perkiraan arus pendapatan saat ini tidak akurat (karena alasan makroekonomi dan kelembagaan). (c) Sudut pandang yang tidak menguntungkan terhadap utang (utang dipandang sebagai tanda ketidakstabilan keuangan, cara yang berisiko untuk pembiayaan, dan beban berat bagi generasi mendatang). (d) Kebijakan yang tidak mendukung peminjaman dan utang. (e) Kurangnya pasar keuangan yang matang. (f) Suku bunga yang tinggi akibat inflasi. (g) Terbatasnya peran pemerintah daerah dalam investasi sektor public.

Dalam beberapa kasus, negara-negara Eropa Tengah dan Timur memilih untuk tidak menyelesaikan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Hal ini dikarenakan kendala pembiayaan melalui utang makin menumpuk dan sangat mempengaruhi pemerintah daerah yang memiliki kapasitas keuangan dan administrasi yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah daerah lebih suka memanfaatkan transfer bersyarat dan hibah investasi dari pemerintah pusat, pendapatan dari privatisasi aset, atau pendapatan dari sumber mereka sendiri (tarif dan pajak daerah).

Walaupun demikian, penggunaan hutang oleh pemerintah daerah di beberapa negara Eropa Tengah dan Timur telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, meskipun volumenya masih kecil secara absolut. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan pesat dalam keterampilan dan kapasitas otoritas lokal dalam pengelolaan utang dalam negeri (karena adanya bantuan teknis yang diberikan oleh donor bilateral dan organisasi internasional) serta adanya penguatan ekonomi lokal sebagai prasyarat penting dalam pengembangan pendapatan asli daerah.

 

C.      Faktor-Faktor Yang Menghambat Penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia

1.      Kendala Kesiapan Pemerintah daerah

a.      Kendala Kesiapan Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting yang menentukan terlaksananya penerbitan obligasi daerah. Proses penerbitan obligasi daerah memerlukan kualifikasi SDM yang memiliki kompetensi dan memiliki pengalaman di bidang investasi dan pasar modal. Walaupun nantinya penerbitan obligasi daerah akan didampingi oleh pihak terkait seperti Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pasar Modal, tentunya Pemerintah Daerah tetap harus mempersiapkan sumber daya yang kompeten yang mampu bekerja dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait tersebut.

Obligasi daerah di Indonesia belum ada yang diterbitkan karena kurangnya kapasitas pegawai Pemda. Hambatan terkait sumber daya manusia ini� adalah hambatan terbesar yang dialami oleh Pemda. Penelitian Yusesa (2020) di Pemda Sumatera Barat dan Aini (2020) di Pemda Kalimantan Barat juga menemukan hal yang serupa. Mereka menemukan bahwa walaupun Pemda Sumatera Barat dan Pemda Kalimantan Barat telah layak menerbitkan obligasi daerah dari aspek finansial, namun kedua Pemda tersebut masih belum memiliki sumber daya manusia yang mempunyai pengetahuan mengenai obligasi daerah dan pasar modal. Selain itu, Pemda Sumatera Barat juga mengalami kekurangan pegawai yang berlatar belakang pendidikan ekonomi atau akuntansi.

 

b.      Belum Adanya Unit Pengelola Obligasi Daerah

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara dan Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah, pengelolaan obligasi daerah dilaksanakan oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Unit tersebut bertugas mengelola obligasi� daerah� yang� meliputi� persiapan,� perencanaan,� penerbitan,� penjualan,� pembelian kembali, pelunasan, hingga pertanggungjawaban obligasi daerah. Unit tersebut juga harus memiliki struktur organisasi, perangkat kerja, dan kapasitas sumber daya manusia untuk melaksanaan fungsi pengelolaan obligasi daerah. Unit ini diharapkan akan fokus pada pengelolaan obligasi daerah saja sehingga tidak menganggu pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembentukan unit kerja pengelolaan obligasi daerah ini dapat dikatakan sebagai langkah awal dalam tahap persiapan penerbitan obligasi daerah.

Sesuai dengan fakta yang ditemukan Yusesa (2020) Pemda Sumatera Barat mengalami kekurangan pegawai yang berlatang belakang pendidikan ekonomi dan akuntansi. Padahal PMK 111/PMK.07/2012 mensyaratkan bahwa unit pengelola obligasi daerah harus memiliki kapasitas sumber daya untuk melaksanakan fungsi pengelolaan obligasi daerah. Oleh karena itu, Pemda Sumatera Barat belum dapat membentuk unit pengelola obligasi daerah.

 

c.       Belum Adanya Regulasi Daerah

Penerbitan obligasi daerah tentunya harus dilengkapi dengan payung hukum yang menaungi pelaksanaan penerbitan obligasi daerah. Walaupun telah ada payung hukum berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dll, pemerintah daerah tetap harus mempersiapkan regulasi daerah yang menjadi dasar penerbitan obligasi daerah. Yusesa (2020) dan Aini (2020) menemukan bahwa Pemda Sumatra Barat dan Pemda Kalimantan Barat berpandangan bahwa terdapat tantangan dalam menyiapkan perangkat peraturan daerah mengenai penerbitan obligasi daerah. Hal ini juga senada dengan penelitian (Okta & Kaluge, 2011).

 

2.      Kendala Regulasi

Prosedur penerbitan obligasi daerah dan persyaratan penerbitan obligasi daerah disusun oleh pemerintah pusat dengan ketat dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko gagal bayar obligasi daerah. Namun di sisi lain, hal ini akan menjadi disinsentif bagi pemerintah daerah.

a.      Regulasi yang terfragmentasi

Regulasi mengenai penerbitan obligasi di daerarah saat ini masih terfragmentasi. Beberapa kementerian dan lembaga mengatur dan mengawasi pasar obligasi pemerintah daerah, masing-masing menangani aspek yang berbeda, dan diatur dengan regulasi yang berbeda pula.

 

b.      Prosedur Penerbitan Obligasi Daerah yang Rumit

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah, sebelum obligasi daerah dapat diterbitkan di pasar modal, terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Tahap-tahap tersebut meliputi persiapan di daerah, persetujuan Menteri Keuangan, tahap pra-registrasi dan registrasi, hingga tahap penawaran umum. Tahapan tersebut merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh secara berurutan oleh Pemerintah Daerah. Dalam masing-masing tahapan tersebut, terdapat langkah-langkah yang cukup detil dan banyak. Tahapan penerbitan obligasi daerah juga melibatkan berbagai lembaga di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Tahapan-tahapan yang dijalani Pemda tersebut memang cukup rumit dibandingkan perusahaan. Sehingga dalam hal ini daerah harus memposisikan diri sebagai emiten.

Aini (2020) menemukan bahwa Pemda Sumatra Barat masih beranggapan bahwa penerbitan obligasi daerah masih masih sangat rumit, sehingga pemerintah daerah Provinsi Sumatra Barat belum mempersiapkan penerbitan obligasi daerah secara lebih lanjut. Pandangan Pemda Sumatra Barat ini senada dengan pandangan Pemda Kalimantan Barat. Salah satu kendala Pemda Kalimantan barat dalam penerbitan obligasi adalah proses penerbitan obligasi yang lumayan panjang dan aspek kehati-hatian.

c.       Persyaratan Penerbitan Obligasi Daerah yang Sulit

Merujuk pada berbagai regulasi yang ada, syarat yang harus dipenuhi oleh Pemda untuk menerbitkan obligasi daerah cukup banyak. Syarat yang harus dipenuhi oleh Pemda dalam rangka menerbitkan obligasi daerah terlampir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, POJK Nomor 61/POJK.04/2017 Tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah Dan/Atau Sukuk Daerah, POJK Nomor 62/POJK.04/2017 Tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah Dan/Atau Sukuk Daerah, POJK 63/POJK.04/2017 Tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Aini (2020) menemukan bahwa Pemda Provinsi Sumatra Barat masih beranggapan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi pemerintah daerah dalam menerbitkan obligasi daerah masih sangat sulit. Aini (2020) juga menemukan bahwa menurut Pemda Kalimantan Barat, salah satu tantangan dalam penerbitan obligasi daerah adalah pemilihan proyek. Karena proyek yang akan dibiayai harus diyakini akan kelayakan investasinya agar dapat menjamin tingkat pengembalian kepada para investor.

Obligasi daerah di Indonesia perlu dikaitkan dengan sebuah proyek. Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemda untuk dapat memilih proyek yang baik dan layak didanai oleh obligasi. Prasyarat tersebut relatif sulit dipenuhi oleh Pemda karena proyek yang dibangun tidak seluruhnya mengahasilkan pendapatan. Jadi Pemda telah mempunyai proyek yang ditawarkan sebagai aset dasar (underlying), tetapi tidak dapat menjamin adanya arus pendapatan (revenue stream). Masalah lainnya adalah terkait kriteria penentuan proyek yang akan dibiayai dengan obligasi daerah. Obligasi daerah mensyaratkan penerimaan sehingga output yang dihasilkan adalah barang atau jasa semi publik.

 

3.      Kendala politik

a.      Adanya Izin Prinsip dari DPRD

Salah satu persyaratan penerbitan obligasi daerah adalah adanya izin prinsip dari DPRD. Jadi penerbitan obligasi daerah tergantung dengan kesepakatan antara Pemda dan DPRD. Penelitian Aini (2020) menemukan bahwa Pemda Jawa Tengah, Pemda Sumatra Barat, dan Pemda Kalimantan Barat memiliki kendala utama yang sama dalam penerbitan obligasi daerah, yaitu belum adanya persetujuan atau ijin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pemda-pemda tersebut sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan DPRD. Pemda Jawa tengah telah meminta bantuan Otoritas Jasa Keuangan untuk menjelaskan secara rinci mengenai obligasi daerah supaya DPRD Jateng dapat memahami manfaat penerbitan obligasi daerah. Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah, karena DPRD lebih mengerti bidang politik daripada ekonomi.

b.      Keterbatasan Waktu Periode Jabatan Kepala Daerah dan DPRD

Periode Jabatan Kepala Daerah dan DPRD adalah 5(lima) tahun. Setelah periode jabatan tersebut berakhir, besar kemungkinan akan terjadi penggantian Kepala Daerah dan/atau DPRD. Ketika Kepala Daerah atau DPRD baru dilantik, proses penerbitan obligasi daerah yang sedang dilakukan oleh Pemda bisa jadi kembali ke titik awal lagi.

 

4.      Kendala Transparansi

Penerbitan obligasi daerah hanya dapat dilakukan oleh daerah yang telah memiliki kesiapan yang tinggi dan tingkat transparansi yang baik. Dengan menerbitkan obligasi daerah, berarti daerah membuka dirinya dan harus siap membuka keadaan perekonomian dan keuangan daerah. Hal ini perlu dilakukan agar daerah dapat dipercaya oleh para investor dan obligasi daerah dapat menarik minat investor. Lebih lanjut, daerah yang akan menerbitkan obligasi harus mampu membuka akses publik terhadap laporan keuangan daerah, karena keterbukaan keuangan serta informasi menjadi hal yang sangat diperlukan untuk pemberian rating obligasi dari lembaga pemeringkat nantinya (Aini et al., 2020).

 

5.      Persepsi yang Negatif Tentang Utang

Banyak pemerintah daerah, termasuk DPRD yang menganggap bahwa utang merupakan hal yang kurang baik. Utang dipandang sebagai tanda ketidakstabilan keuangan, cara yang berisiko untuk pembiayaan, dan akan menimbukan beban berat bagi generasi mendatang.

 

6.      Kengganan Pemerintah Daerah

Pemda mengalami ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Pemerintah daerah lebih suka memanfaatkan dana transfer daerah dan PAD daripada harus menerbitkan obligasi daerah yang sifatnya relatif rumit. Selain itu beberapa daerah juga mengendapkan SiLPA di perbankan. Hal ini membuat pemerintah daerah enggan untuk bersusah payah menerbitkan obligasi daerah karena masih memiliki cadangan dana. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar pemerintah daerah lebih memilih untuk �bussiness as usual� dan menghindari resiko.

 

7.      Kurangnya Pemahaman Mengenai Obligasi Daerah

Tingkat pemahaman daerah yang masih minim mengenai obligasi daerah menjadi salah satu sebab terhambatnya penerbitan obligasi daerah. Masih banyak daerah yang belum memahami penerbitan obligasi daerah secara komprehensif sehingga tidak siap untuk melakukan skema pembiayaan melalui obligasi daerah. Pemahaman yang komprehensif terkait obligasi daerah wajib dimiliki oleh Kepala Daerah, DPRD, maupun para pemangku kepentingan lain.

Upaya-upaya Untuk Mendorong Penerbitan Obligasi Daerah sebagai berikut:

1)      Peningkatan kapasitas SDM Pemerintah daerah

Langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah terkait SDM adalah meningkatkan kapasitas SDM Pemerintah Daerah. Misalnya dengan memberikan pelatihan pada sumber daya manusia di daerah mengenai pengelolaan Obligasi Daerah dan melakukan perekrutan SDM yang mempunyai kompetensi dan memiliki pengalaman di bidang investasi dan pasar modal.

2)      Perbaikan Regulasi

a.      Kerangka regulasi yang bersifat menyeluruh

Selama ini kerangka regulasi yang ada bersifat terfragmentasi. Beberapa kementerian dan lembaga mengatur dan mengawasi pasar obligasi pemerintah daerah, masing-masing menangani aspek yang berbeda. Dengan adanya kerangka regulasi yang bersifat menyeluruh dan terharmonisasi, maka penrbitan obligasi daerah dapat lebih mudah dipahami. Selain itu, peran dan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan juga akan lebih jelas sehingga dapat meningkatkan koordinasi pemerintah dan lembaga-lembaga tersebut.

 

b.      Penyederhanaan prosedur penerbitan obligasi daerah

Salah satu kendala yang banyak dialami oleh daerah yang ingin menerbitkan obligasi daerah adalah belum adanya persetujuan dari DPRD. Untuk menghilangkan kendala ini, pemerintah telah merevisi UU No 23 Tahun 2014 melalui pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa "Kepala Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi berupa kegiatan penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintah Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri dan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.". Dengan demikian, ke depannya �pemerintah� daerah� tidak� perlu� lagi� meminta persetujuan� dari� DPRD untuk menerbitkan obligasi daerah.

 

c.       Penyederhanaan persyaratan penerbitan obligasi daerah

Selain mengatur mengenai persetujuan penerbitan obligasi daerah, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja juga memperluas penggunaan dana obligasi daerah. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja memperbolehkan Pemda menghimpun dana untuk keperluan-keperluan yang tidak menghasilkan penerimaan seperti jalan raya provinsi atau kota.

 

 

 

3)      Pengungkapan

Untuk meningkatkan transaransi, maka perlu adanya pengungkapan keuangan pemerintah daerah yang tepat waktu dan kredibel. Pengungkapan ini juga harus mencakup informasi tentang neraca pemerintah daerah, beban utang, dan risiko fiskal. Adanya pengungkapan in diharapkan dapat meningkatkan pengawasan, mempermudah pemberian credit rating, dan menarik investor.

 

4)      Pemberian dukungan oleh pemerintah pusat

Apabila terdapat pemerintah daerah yang ingin menerbitkan obligasi daerah, maka pemerintah pusat harus memberikan dukungan teknis dan layanan konsultasi dalam proses penerbitan obligasi, yang dimulai dari proses penyiapan penerbitan obligasi. Bentuk dukungan teknis yang diberikan dapat berupa asistensi, atau bahkan menyediakan tenaga ahli untuk Pemda.

 

KESIMPULAN

Obligasi daerah merupakan salah satu alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur yang perlu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah. Walaupun masih ada pro dan kontra mengenai obligasi daerah, namun obligasi daerah masih dipandang sebagai opsi pembiayaan yang baik dan rasional. Obligasi daerah juga merupakan praktek yang sangat umum dilaksanakan di dunia.

Namun demikian, sampai saat ini belum ada Pemerintah Daerah yang menerbitkan obligasi daerah. Hal ini tentunya disebabkan oleh berbagai macam faktor. Adapun faktor-faktor yang menghambat penerbitan obligasi daerah di Indonesia antara lain adanya kendala kesiapan pemerintah daerah (kendala kesiapan sumber daya manusia, belum adanya unit pengelola obligasi daerah, dan belum adanya regulasi daerah), kendala regulasi (regulasi yang terfragmentasi, prosedur penerbitan obligasi daerah yang rumit dan persyaratan penerbitan obligasi daerah yang sulit), kendala politik (adanya izin prinsip dari DPRD dan keterbatasan waktu periode jabatan Kepala Daerah dan DPRD), kendala transparansi, persepsi yang negatif tentang utang, keengganan pemerintah daerah untuk berhutang, dan kurangnya pemahaman mengenai obligasi daerah.

Untuk mengatasi berbagai macam faktor-faktor yang menghambat penerbitan obligasi daerah, maka berikut ini hal-hal yang diidentifikasikan dapat mendorong penerbitan obligasi daerah, antara lain: peningkatan kapasitas SDM Pemerintah Daerah, perbaikan regulasi (kerangka regulasi yang bersifat menyeluruh, penyederhanaan prosedur penerbitan dan persyaratan. obligasi daerah), pengungkapan, dan pemberian dukungan oleh pemerintah pusat.

Saat ini pemerintah pusat juga terus berusaha mendorong penerbitan obligasi daerah, diantaranya dengan menerbitkan UU Cipta Kerja yang lebih memberikan keleluasaan pada daerah untuk menerbitkan obligasi daerah. Selain itu, pasar modal juga telah memberikan insentif berupa potongan listing fee sebesar 50%. Sehingga keedepannya, diharapkan ada Pemerintah Daerah yang dapat segera menerbitkan obligasi daerah.

 

BIBLIOGRAFI

 


Aini, N., Triyansyah, T., & Hana, K. F. H. (2020). Obligasi Daerah Yang �Tak Kunjung� Terbit Sebagai Salah Satu Faktor Perkembangan Daerah. Mabsya: Jurnal Manajemen Bisnis Syariah, 2(1).

 

Bank, A. D. (2020). Indonesia: strengthening the local government bond market. 48169�001(January).

 

Boadway, R., & Shah, A. (2009). Fiscal federalism: Principles and practice of multiorder governance. Cambridge University Press.

 

De Angelis, M. A., Torbert, S., & Liu, L. (2017). Municipal pooled financing of infrastructure in the United States: Experience and lessons. World Bank Policy Research Working Paper, 8212. https://doi.org/10.1596/1813-9450-8212

 

Firmansyah, M., & Masrun, M. (2021). Esensi Perbedaan Metode Kualitatif Dan Kuantitatif. Elastisitas-Jurnal Ekonomi Pembangunan, 3(2), 156�159.

 

Ginting, A. M. (2016). Kendala pembangunan provinsi daerah kepulauan: Studi kasus Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 4(1).

 

Haldeda, N., Brahimi, F., & Merkaj, E. (2013). Local Government Borrowing Issues in Central and Eastern Europe. The case of Albania. EuroEconomica, 32(1), 43�54.

 

Lam, W. R., & Wang, J. (2018). China�s Local Government Bond Market. IMF Working Papers, 18(219), 1. https://doi.org/10.5089/9781484378410.001

 

OECD. (2018). Subnational Government in OECD Countries: Key Data.

 

Okta, D., & Kaluge, D. (2011). Analisis Peluang Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah. Journal of Indonesian Applied Economics, 005(02), 157�171. https://doi.org/10.21776/ub/jiae/2016/005.02.7

 

Palei, T. (2015). Assessing the Impact of Infrastructure on Economic Growth and Global Competitiveness. Procedia Economics and Finance, 23(March), 168�175. https://doi.org/10.1016/s2212-5671(15)00322-6

 

Sampeallo, Y. G., & Anggraini, N. (2020). Analisis Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Daerah Kutai Karta-Negara. JAMDI (Jurnal Akuntansi Multi Dimensi), 1(1).

 

Sofi, I., & Pusat, A. K. (2020). Analisis Kelayakan Penerbitan Obligasi Daerah Provinsi Jawa Tengah untuk Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Daerah. Jurnal Manajemen Keuangan Publik, Https://Doi. Org/10.31092/Jmkp. V4i2, 984.

 

Yulianti, A. D. (2018). Strategi Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Sumber Penerimaan Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Economics Development Analysis Journal, 7(3), 268�275. https://doi.org/10.15294/edaj.v7i3.25260

 

Yusesa, G., & Arza, F. I. (2020). Analisis Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Wahana Riset Akuntansi, 8(1), 50. https://doi.org/10.24036/wra.v8i1.109021

 


Copyright holder:

Arima Khurria (s) (2023)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: