Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 3 Juli 2020

p-ISSN :2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

INTERVENSI GOOD AGRICUTURAL PRACTICES (GAP) TERHADAP PREFERENSI PETANI TOMAT (SOLANUM LYCOPERSICUM) DI KECAMATAN CIKAJANG KABUPATEN GARUT

 

Siti Rahayu Salsabila, Dayat dan Nawangwulan Widyastuti

Politeknik Pembangunan Pertanian Bogor

Email: [email protected], [email protected] dan [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

03 Juni 2020

Diterima dalam bentuk revisi

13 Juli 2020

Diterima dalam bentuk revisi

 

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran keadaan preferensi petani mengenai GAP, mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap intervensi GAP sebagai upaya peningkatan preferensi petani dan untuk menetapkan strategi penyuluhan di Desa Margamulya. Data penelitian ini diperoleh dari instrumen kuesioner dan wawancara. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin sehingga didapat responden sebanyak 48 orang, untuk teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis regresi linier berganda dan analisis Kendall�s W. Berdasarkan hasil penelitian dapat di tarik kesimpulan bahwa intervensi GAP pada petani tomat di Desa Margamulya berada dalam kategori kurang baik. Sedangkan untuk preferensi petani tomat terhadap GAP masuk dalam kategori tinggi. Faktor internal, faktor eksternal, dan intervensi GAP menunjukkan memiliki pengaruh yang kuat dan bernilai positif terhadap preferensi petani secara simultan dan umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, ketersediaan sarana produksi dan kemudahan akses informasi beperngaruh secara simultan. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan preferensi petani khususnya dalam implementasi dan men-difusikan GAP pada budidaya tomat adalah dengan cara memberikan penyuluhan daring dengan membagikan video dan materi mengenai GAP serta dengan memberikan gambaran melalui petak percontohan dengan penerapan prinsip GAP. Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah bagi BPP Kecamatan Cikajang dilaksanakannya kegiatan pembinaan dan penyuluhan yang lebih efektif, setelah pandemi ini berakhir dapat melakukan penyuluhan secara tatap muka dan lebih intensif tentang teknologi GAP dan melibatkan beberapa stakeholder.

Kata kunci:

Penyuluhan pertanian; intervensi; preferensi dan GAP

 


Pendahuluan

Pendidikan memegang peran penting dalam membentuk karakter suatu bangsaK-emajuan pendidikan di suatu Negara selalu berkorelasi positif terhadap kemajuan peradaban bangsa tersebut (Tane, 2020). Dengan demikian diharapkan proses pembelajaran yang dilaksanakan semakin baik yang pada akhirnya akan terjadi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia (Cholik, 2017). Salah satunya penyuluhan pertanian, penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (INDONESIA, 2006).Melalui adanya kegiatan penyuluhan, selain penyuluh juga diharapkan preferensi yang tinggi dari petani.���

Pengertian intervensi secara umum adalah suatu tindakan yang dilakukan sebuah badan untuk memasukkan �pahamnya� layaknya seseorang yang ingin membantu. Dapat dikatakan bahwa pengintervensi merupakan pihak ketiga. Pada kegiatan penyuluhan, pihak pengintervensi adalah penyuluh dan pihak yang diintervensi adalah petani. Ketika sebuah teknologi pertanian menjadi objek yang diintervensi oleh penyuluh dan teknologi tersebut dilaksanakan petani maka akan terjadi peningkatan maupun perubahan yang dapat digambarkan misalnya produktivitasnya tinggi. Maka dari itu dengan tingginya tinkgat Preferensi dari petani, secara khusus dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan secara umum terhadap pembangunan daerah, khususnya yaitu Jawa Barat.

Kabupaten Garut merupakan produsen tomat terbanyak di Jawa Barat dengan produksi 125.302 ton atau 35,46% dari total produksi di Jawa Barat (Direktorat Jendral Hortikultura Jawa Barat, 2018). Hal ini diperjelas dari hasil produksi pada tahun 2013-2017 di Kabupaten Garut menurut Dinas Pertanian setempat pada Tahun 2018 yakni mengenai jumlah produksi dan produktivitas tanaman tomat di Kabupaten Garut menunjukkan hasil produksi yang relatif sama dengan rata-rata produksi sebanyak 127.727 ton dengan rata-rata produktivitas 27,8 ton/Ha. Jumlah ini masih bisa ditingkatkan melalui pembinaan dengan kegiatan penyuluhan.

Salah satu penyebab terjadinya jumlah produksi yang relatif sama tiap tahunnya adalah tanaman tomat yang dibudidayakan masih secara konvensional dan kurang memerhatikan aspek teknis budidaya mulai dari persiapan lahan hingga pemanenan. Hal ini sesuai dengan adanya data pada Programa Kecamatan Cikajang tahun 2020, bahwa penerapan prinsip GAP (Good Agricultural Practices) selanjutnya disebut dengan GAP, baru mencapai 24%, sedangkan 76% petani lainnya masih belum menerapkan.Masih rendahnya tingkat preferensi petani mengenai GAP dibuktikan dengan: (1) preferensi petani masih rendah mengenai GAP; (2) Baru sebagian petani yang melakukan penerapan GAP; (3) Baru sebagian petani yang mengetahui apa itu GAP. Belum optimalnya penerapan teknologi GAP karena preferensi petani yang masih rendah mengenai teknologi tersebut.

Sebuah program akan berjalan dengan baik dan tujuannya dapat tercapai jika masyarakat atau petani telah memiliki tingkat preferensi (preference) yang tinggi untuk melaksanakan program tersebut secara aktif dan berkelanjutan kemudian memperoleh perasaan senang atau puas. Sehingga dengan adanya uraian permasalahan yang ada di Kecamatan Cikajang khususnya dalam budidaya tomat peneliti ingin mengadakan penulisan lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh intervensi GAP terhadap tingkat Preferensi petani. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis secara deskriptif preferensi petani terhadap GAP, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi petani, dan (3) menetapkan strategi untukmeningkatkanpreferensi petani terhadap GAP pada budidaya tomat.

 

Metode Penelitian

Data penelitian diambil menggunakan instrument berupa kuesioner yang telah valid dan reliabel melalui uji validitas dan reliabilitas. Hasil uji coba kuesioner yang sudah dilakukan, diperoleh nilai koefisien reliabilitas Alpha Cronbach untuk peubah karakteristik internal petani sebesar 0.875, untuk peubah karakteristik eksternal petani sebesar 0.898, untuk peubah intervensi sebesar0,942 yang artinya sangat reliabel dan untuk tingkat preferensi petani sebesar 0,862 yang artinya sangat reliabel. Untuk pengolahan data, dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan inferensial, serta analisis non parametrik konkordansi Kendall�s W. Analisis statistik deskriptif adalah statistik yang memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata kemudian dikelompokkan dalam empat kategori (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi dan (4) sangat tinggi. Analisis statistik inferensial melalui uji regresi berganda dilakukan untuk mengujifaktor-faktor yang mempengaruhi intervensi sebagai upaya peningkatan preferensi. Analisis Kendall�s W digunakan untuk menyusun strategi peningkatan preferensi petani terhadap GAP.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Karakteristik Responden

Rata�rata umur petani berusia 48,3 tahun. Sebanyak 29 orang petani tomat berusia dewasa dan tergolong dalam usia produktif dengan usia antara 37-55 tahun, namun masih terdapat petani lanjut usia sebanyak 16 orang. Hal ini selaras bahwa pertanian masih didominasi oleh lanjut usia. Banyaknya petani dengan usia non produktif (lansia), dikarenakan merasa masih kuat, harus bekerja untuk memperoleh penghasilan, dan tidak ada regenerasi petani (Dewi, Andayani, & Suryanto, 2018). Jumlah petani berusia tuapun (lebih dari 55 tahun) jumlahnya semakin meningkat, sementara tenaga kerja usia muda semakin berkurang (Susliansyah, Aria, & Susilowati, 2019). Hasil penelitian sejalan dengan Yono et al. (2015), (Anwarudin & Maryani, 2017), (Warya & Anwarudin, 2018) bahwa mayoritas petani saat ini berumur tua. Wardani dan Anwarudin (2018), Anwarudin dan Haryanto (2018), Harniati dan Anwarudin (2018) melaporkan bahwa generasi muda belum banyak yang terlibat sebagai petani dan lebih senang melakukan pekerjaan yang lain (Wardani & Anwarudin, 2018), (Anwarudin & Maryani, 2017) dan (Harniati & Anwarudin, 2018).

Tabel 1. Sebaran petani berdasarkan faktor internal

Peubah

Kriteria

Rata-rata

Jumlah (orang)

Presentase (%)

Umur (tahun)

 

 

 

 

17 � 25

Muda

 

4

8,4

26 � 35

Muda 2

 

7

14,5

36 � 45

Dewasa

48,3 tahun

21

43,7

55 � 65

Lanjut

 

16

33,4

Luas Garapan (m�)

 

 

 

 

200 � 17.800

Sempit

 

33

68,7

17.801 � 35.400

Cukup

4.352,87 m�

10

20,8

> 35.401

Luas

 

5

10,5

 

Sangat luas

 

0

0

Pendidikan formal (tahun)

 

 

 

 

SD

Sangat rendah

 

10

20,8

SMP

Rendah

 

22

45,8

SMA

Tinggi

6,42 tahun

13

27,1

Diploma � Perguruan Tinggi

Sangat tinggi

 

3

6,3

Pendidikan Nonformal

 

 

 

 

1 � 2

Sangat Jarang

 

23

47,9

3 � 5

Jarang

2 kali

14

29,1

6 � 7

Sering

 

11

23

8 -9

Sangat sering

 

0

0

 

 

 

n = 48

 

Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa luas lahan garapan petani rata-rata 4.352,87 m� dengan kisaran 250 � 10.000 m�. Hasil penelitian inipun sesuai dengan (Manyamsari et al., 2014) umumnya petani di daerah adalah petani berlahan sempit yang lahannya kurang dari 0,5 hektar dan selebihnya adalah petani yangmengelola 0,5 ha lebih (Manyamsari & Mujiburrahmad, 2014). Hal tersebut juga sesuai dengan laporan bahwa lahan yang semakin besar dirasa akan membebani karena semakin tinggi luas lahan, biaya perawatan, dan jumlah keluarga dari responden maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperolehnya (Maryoni, 2015).

Rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh oleh para petani mempengaruhi tingkat berpikir dan penalarannya. Ditunjukkan oleh data tahun 2016 rata-rata penduduk Desa Margamulya baru dapat menamatkan sekolah hingga jenjang pendidikan SMP/sederajat kelas 8, atau bersekolah delapan tahun. Dengan kata lain, rata-rata penduduk Desa Margamulya belum menuntaskan program wajib belajar pendidikan sembilan tahun karena belum menamatkan jenjang pendidikan SMP/sederajat (Saparinto, C., Hidayati, 2010)

Rata-rata para petani pernah mengikuti pendidikan nonformal 2 kali dalam kurun waktu dua tahun. Untuk pendidikan nonformal yang pernah diikuti oleh petani didominasi pada kategori sangat jarang. Padahal, kegiatan pendidikan nonformal masih menjadi tumpuan dalam menyebarkan inovasi teknologi pertanian. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian (Tahitu, 2015), (Wahyuni, 2016), dan (Herawati, Hubeis, Amanah, & Fatchiya, 2018). Sedangkan pada kategori sering sebanyak 23 persen dengan kuantitas 3-5 kali dalam dua tahun terakhir. Mereka mengikuti kegiatan nonformal yang biasa dilakukan oleh lembaga penyuluh seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Garut, BPP Cikajang, Perguruan Tinggi ataupun lembaga pelatihan lainnya.

 

B.  Dukungan Kelembagaan

Rata-rata disana petani menilai kelembagaan yang ada masih memberi dukungan yang kurang. Hal itu disebabkan karena petani menilai bahwa kelembagaan yang ada di Desa hanya memberi dukungan pada kegiatan tertentu saja. Meskipun demikian sebagian petani berada pada golongan sedang yaitu sebanyak 16 orang. Hal tersebut menunjukkan dukungan kelembagaan yang terlihat oleh petani dirasa tidak terlalu mendukung tetapi dilihat dari jawaban para petani bahwa dalam setiap kegiatan penyuluhan menilai bahwa sebagai anggota kelompoktani mendapat dukungan Besar seperti dari perangkat desa dan BPP. Berbagai kelembagaan ada di Desa Margamulya seperti desa, Koperasi dan Kios saprotan. Meskipun menurut petani di Desa Margamulya hanya beberapa kelembagaan di desa yang membantu petani baik produksi maupun kegiatan penyuluhan pertanian. Hasil analisis rataan skor masing-masing indikator tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan skor penilaian terhadap Faktor Eksternal Petani

Peubah/Indikator

Rataan skor*

Dukungan Kelembagaan

2,43

Ketersediaan Sarana Produksi

2,55

Kemudahan Akses Informasi

2,35

Proses Komunikasi Petani dan Penyuluh

2,29

Total

2,40

*Kisaran skor = Sangat kurang: 1-1.75; Kurang: 1.76-2.50; Baik: 2,51-3.25; Sangat baik: 3,26-4.00

C.  Ketersediaan Sarana Produksi

Penilaian responden terhadap sarana dan prasarana produksi ini tergolong baik dengan skor 2,84 pada kisaran skor 2,51�3,25. Jalan sebagai prasarana produksi yang menghubungkan antara lahan yang satu dengan yang lainnya saat ini sudah cukup berfungsi dengan baik. Para petani biasa mengangkut hasil panennya dengan cukup lancar dengan roda dua. Hampir seluruh petani di mengangkut hasil panen menggunakan roda dua atau roda empat, karena akses ke lahan masih dapat dilewati oleh kendaraan. Benih tanaman, obat-obatan, pupuk, dan alat-alat pertanian sebagai sarana produksi dapat dijumpai dengan mudah di pasar dan toko tani. Oleh sebab itu, hal ini sejalan dengan pendapat (Dewandini, 2010), yang menyatakan bahwa ketersediaan saprodi yaitu tersedianya input produksi pertanian yang mendukung budidaya, diukur dengan melihat sumber input ketersediaan input. Adanya ketersediaan sarana dan prasarana produksi yang akan mendukung petani berusahatani. Sarana produksi merupakan salah satu faktor yang penting terutama untuk mencapai tujuan terciptanya ketahanan pangan. Selain itu terjalin juga komunikasi antara pemilik kios dengan distributor, sedangkan transportasi yang dimaksud adalah ketersediaan moda transportasi (Prihantini & Lutfiyanto, n.d.).

D.  Kemudahan Akses Informasi

Informasi diperlukan oleh para petani di Desa Margamulya. Namun, sejumlah responden menilai bahwa dukungan sumber informasi selama ini tergolong masih jelek (rendah) dengan skor 2,35 pada kisaran skor 1,76�2,50. Para petani merasa kurang mendapat informasi yang cukup mengenai segala kejadian yang terjadi di luar wilayahnya. Beberapa alasannya adalah dinamika informasi di perdesaan yang lambat dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Selaras dengan hasil penelitian bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi dalam pembangunan pertanian memerlukan kompetensi dari pengguna teknologi informasi dan komunikasi tersebut (Elian, Lubis, & Rangkuti, 2014).

E.  Proses Komunikasi Petani dan Penyuluh

Secara umum, terlihat bahwa komunikasi yang dilakukan oleh petani cenderung sedang berdasarkan skor rerataan sebesar 2,29. Namun jika dibandingkan antara petani yang menilai kemudahan akses informasi dengan tinggi menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan karena petani menilai penyuluh terbilang cukup sering berkeliling sehingga dapat bertemu dengan para petani dan para petani tanpa sungkan menceritakan segala sesuatu dan tidak segan berkomunikasi dengan penyuluh. Komunikasi yang biasa terjadi antara petani dan penyuluh adalah dialog singkat mengenai kondisi lahan dan hal yang berkaitan dengan penanaman, pemeliharaan, hingga panen mengajukan berbagai pertanyaan tentang pengalaman penyuluh dalam menangani tanaman tomat.

F.   Intervensi Penyuluhan GAP

Hasil penelitian terhadap intervensi GAP pada petani tomat ini berada dalam kategori kurang baik dengan total rataan skor sebesar 2,1 pada kisaran skor 1,76�2,50.

Tabel 3. Rataan skor proses intervensi GAP pada petani tomat

Peubah/Indikator

Rataan skor*

Tingkat Adopsi

2,3

Akses Teknologi

2,1

Keputusan Adopsi inovasi

1,9

Total

2,1

*Kisaran skor = Sangat kurang: 1-1.75; Kurang; 1.76-2.50; Baik: 2,51-3.25; Sangat baik: 3,26-4.00

G. Tingkat Adopsi Inovasi

Secara keseluruhan tingkat adopsi inovasi berada pada golongan kurang dengan skor rata-rata 2,3, hal ini terjadi karena petani merasa perlu mengikuti dalam kegiatan intervensi ini meski masih terdapat petani yang berada pada kategori rendah. Maka dari itu perlu ada tindak lanjut agar seluruh petani mau untuk mau mengadopsi sebuah teknologi baru demi meningkatkan produksi dan kualitas tomat. Faktanya petani yang berada pada golongan rendah hanya turut berpartisipasi saat tertentu saja dan tidak lebih dari tiga kali pertemuan.

H.  Akses Teknologi

Hasil pengamatan, akses teknologi petani terhadap sebuah teknologi atau informasi baru berada pada berkategori kurang dengan rataan skor 2,1 pada kisaran skor 1,76-2,50. Petani yang berada pada kategori kurang telah diidentifikasi bahwa petani tersebut sudah berusia lanjut sehingga dalam mengajarkan atau menyampaikan tata cara penggunaan teknologi membutuhkan kesabaran dan ketelitian karena agar membuat petani mampu mengakses membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat keterbatasan yang telah dimiliki oleh petani tersebut.

I.     Keputusan Adopsi Inovasi

Diketahui bahwa mayoritas petani dengan skor rataan 1,9 petani cenderung tidak sepenuhnya mengadopsi teknologi baru yang diberikan oleh penyuluh. Hal ini disebabkan karena petani tetap menggunakan cara lama karena sudah teruji secara pribadi melalui pengalaman-pengalaman sebelumnya. Meskipun petani cukup percaya dengan penyuluh tetapi tetap saja muncul kekhawatiran dari dalam diri petani akan kegagalan apabila secara spontan mengadopsi keseluruhan teknologi yang diajarkan(Amanda, 2017), selain tu petani beranggapan prinsip GAP ini sulit untuk diterapkan. Jadi para petani cenderung mengadopsi dan menginovasi beberapa yang menurut petani itu mudah dan murah.

J.    Preferensi Petani

a)   Implementasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat minat implementasi petani tomat di Desa Margamulya berada pada kategori tinggi dengan skor 3,24. Namun, masih terdapat petani yang masih berada pada kategori rendah. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pengetahuan yang disebabkan oleh pendidikan formal yang dimiliki para petani dan terbatasnya informasi yang bisa didapat sehingga pengetahuan petani juga cenderung terhambat di era milenial ini. Dari 48 orang petani yang dijadikan sampel masih terdapat 18 orang yang teridentifikasi memiliki minat implementasi yang rendah dikarenakan tingkat pengetahuan yang sangat lemah.

Tabel 4. Rataan preferensi petani

Peubah/Indikator

Rataan skor*

Implementasi

3,24

Difusi

3,18

Total

3,21

*Kisaran skor = Sangat rendah: 1-1.75; Rendah; 1.76-2.50; Tinggi: 2,51-3.25; Sangat tinggi: 3,26-4.00

b)   Difusi

Secara keseluruhan proses difusi yang terjadi dalam usahatani komoditas tomat setelah mengikuti intervensi penyuluhan pertanian berada pada kategori tinggi dengan skor sebesar 3,18. Masih terdapat 15 orang petani pada kategori sangat rendah. Hal ini terjadi karena lebih banyak petani dapat menyikapi apa yang harus dilakukan terhadap usahataninya karena bantuan informasi dari petani lain yang telah berhasil atas pengalamanya dalam bertani, kemudian ia baikan ke petani yang lain lalu diterapkan (berdasarkan kepercayaan). Oleh karena itu proses difusi ini memengaruhi penyebaran informasiagar merata di kalangan petani.

K. Pengaruh Faktor Internal, Eksternal dan Intervensi terhadap Preferensi

Hasil uji pengaruh faktor internal, faktor eksternal, dan intervensi GAP terhadap preferensi petani menunjukkan memiliki pengaruh secara simultan dan bernilai positif terhadap preferensi petani, secara statistik nyata dimana pengaruh faktor internal, eksternal dan intervensi penyuluhan pertanian meningkatkan preferensi petani. Hasil dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Koefisien regresi faktor internal dan eksternal terhadap intervensi GAP

Variabel

Nilai

Sign.

Keterangan

R�

0,619

 

 

Konstanta

1,783

0,000

Signifikan

Faktor internal

 

 

 

Umur (X1.1)

-0,029

0,000

Signifikan

Luas Garapan (X1.2)

0,000

0,772

Tidak Signifikan

Pendidikan Formal (X1.3)

0,138

0,000

Signifikan

Pendidikan Nonformal (X1.4)

0,001

0,000

Signifikan

Faktor eksternal

 

 

 

Dukungan Kelembagaan (X2.1)

-0,001

0,549

Tidak Signifikan

Ketersediaan Sarana Produksi (X2.2)

0,102

0,000

Signifikan

Kemudahan Akses Informasi (X2.2)

1,690

0,000

Signifikan

Proses Komunikasi Petani dan Penyuluh (X2.4)

0,003

0,399

Tidak Signifikan

Intervensi GAP (X3)

0,004

0,000

Signifikan

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor internal, eksternal dan intervensi berpengaruh (𝛽 = 0,00, 0,00 dan 0,004) positif signifikan terhadap preferensi petani. Hal ini berarti setiap kenaikan satu satuan tingkat kemudahan akses informasi maka akan menaikkan kerja dengan nilai sebanyak 1,783 poin. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa dari faktor internal, eksternal dan intervensi mempengaruhi preferensi secara nyata pada taraf 0.000 berikut persamaan yang digunakan:

Y� = 0.366 +(-0,029) X1.1 + (0,138) X 1.3 + (0,001) X 1.4 +
(0,102) X2.2 + (1,690) X2.3 + X3 (0,004)

Koefisien determinasi (R-square) menunjukkan nilai sebesar 0.619 yang berarti tingkat preferensi sebesar 64,9 persen dipengaruhi adopsi inovasi, akses teknologi, umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, ketersediaan sarana produksi, kemudahan akses informasi. Sedangkan sisanya yaitu 35,1 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini. Salah satunya mempengaruhi perilaku dalam bertani, pengetahuan, sikap dan kemampuan petani dalam mengelola berbagai macam persoalan dalam kegiatan pertaniannya. Apabila dulunya hanya bersumber dari pengalaman turun temurun, lambat laun saat para petani berperilaku berdasarkan hasil pembelajaran yang didapatkan dari kegiatan penyuluhan dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan baru. Selain itu adanya rasa ingin maju dan tahu dari dalam diri petani, bahwa ingin menjadi petani sukses dan menjadi contoh bagi yang lain.

Sebagian besar petani yang ada di Desa Margamulya berkat proses intervensi (penyuluhan) serta didukung berbagai hal dan paling banyak disampaikan karena tata cara, minimnya biaya yang dikeluarkan dan melalui penerapan GAP produksi tanaman bisa tinggi, minat dan antusiasme petani terhadap GAP semakin tinggi. Hal tersebut didukung dengan pernyataan salah seorang petani mengikuti proses intervensi GAP.

�� awalnya saya gatau harus kaya gimana biar kalo bertani teh ga gitu-gitu aja neng, tapi Alhamdulillah semenjak saya tau GAP ini saya jadi semakin pengen tahu lebih banyak, apalagi kalo saya udah tau manfaat dari GAP ini ternyata banyak pisan neng�� (AC, 39 tahun. Petani Desa Margamulya)

L.  Strategi Meningkatkan Preferensi

Dalam menentukan strategi peningkatan preferensi petani terhadap GAP sebelumnya telah dinalisis faktor apa saja yang berpengaruh. Faktor tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan Analisis Kendall�s W Test. Setelah dilakukan analisis variabel preferensi hasilnya adalah variabel difusi yang harus segera ditingkatkan.Dari variabel difusi selanjutnya dilakukan analisis indikator GAP. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Analisis Kendall�s W Difusi - Indikator GAP

No

Indikator

Mean Rank

Ranking

1.

Pra Tanam

2.92

II

2.

Budidaya sehat

1,69

V

3.

Pengendalian OPT

1.99

III

4.

Panen

1.92

IV

5.

Pascapanen

3.18

I

Dari data diatas dapat simpulkan bahwa indikator budidaya sehat memiliki nilai paling rendah. Sesuai dengan kondisi dilapangan bahwasannya teknis dalam berbudiaya masih belum berdasarkan tata cara yang baik dan benar. Dengan melihat data tersebut sehingga kegiatan penyuluhan dijadikan sebagai faktor prioritas yang perlu tingkatkan dan dijadikan sebagai strategi peningkatan preferensi petani terhadap GAP.

M.               Rancangan dan Pelaksanaan Peyuluhan

Kegitan penyuluhan pada kajian ini merupakan suatu upaya tindak lanjut dari strategi yang telah dirumuskan. Namun karena berbagai keterbatasan akibat pandemi Covid-19 yang terjadi, pada kajian ini beberapa strategi yang tetap dapat dilaksanakan adalah: (1) Pemilihan materi penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan analisis data Kendall�s W menggunakan program SPSS versi 2.0. Hasil yang didapatkan pada analisis data menunjukkan bahwa indikator budidaya sehat dan panen memiliki ranking rendah karena memang indikator tersebut belum diketahui secara jelas dan lengkap oleh para petani mengenai bagaimana pelaksanaannya yang tepat; (2) Media. Pada kajian ini media yang digunakan adalah tayangan slide PowerPoint, folder dan video. Media video telah diupload di channel YouTube penulis, folder penyuluhan dibagikan dalam bentuk gambar JPEG dan juga slide PowerPoint diupload dan dibagikan, sehingga dapat diakses oleh petani. Media ini menjadi salah satu solusi yang dapat diambil agar petani tetap dapat mengakses informasi meskipun di tengah pandemi seperti sekarang ini; dan (3) Metode. Pada kajian ini metode penyuluhan yang digunakan adalah secara daring atau dalam jaringan. Mahasiswa membuat group whatsapp dengan para stake holder dan petani yang memiliki android. Dalam group tersebut dilakukan diskusi dan tanya jawab. Selain itu dilakukan juga demonstrasi plot dalam skala kecil atau disebut peta percontohan. Metode yang digunakan pada kajian ini merupakan gabungan dari beberapa metode guna memaksimalkan penyampaian materi agar dapat dipahami dan diterapkan oleh petani sasaran.

N.  Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian

Pelaksanaan penyuluhan berdasarkan strategi yang telah disusun dari hasil analisis sebelumnya, dilakukanlah penyebaran berbagai media penyuluhan melalui whatsapp, selain itu materi penyuluhan di upload dalam bentuk PPT dan video yang diupload di channel Youtube penulis. Masing-masing kelompok ini dapat mengakses melalui link yang telah disediakan oleh penulis. Materi penyuluhan yang diberikan adalah hasil dari analisis Kendall�s W, yakni indikator budidaya tanaman sehat dan panen yang merupakan ranking paling rendah. Meskipun bukan merupakan pembahasan baru, hanya saja belum adanya pemerataan informasi pada indikator tersebut, maka dari itu perlunya tindak lanjut atas kondisi di lapangan. Materi yang disampaikan adalah pemangkasan tanaman tomat dan apa itu GAP, penekanan materi diantaranya adalah manfaat dari pemangkasan, teknik-teknik pemangkasan, alat apa saja yang dapat digunakan dalam proses pemangkasan dan juga apa itu GAP serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan GAP.

 

Kesimpulan

Tingkat preferensi petani terhadap GAP pada budidaya tomat di Desa Margamulya tergolong kedalam kategori tinggi untuk terhadap GAP. Faktor internal, faktor eksternal, dan intervensi GAP menunjukkan memiliki pengaruh dan bernilai positif terhadap preferensi petani, dimana pengaruh intervensi penyuluhan pertanian meningkatkan preferensi petani. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan preferensi petani khususnya dalam implementasi dan mendifusikan GAP pada budidaya tomat adalah dengan cara memberikan penyuluhan dengan penguatan media elektronik melalui daring dengan membagikan video dan materi mengenai GAP serta dengan memberikan gambaran melalui petak percontohan dengan penerapan prinsip GAP. Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah bagi BPP Kecamatan Cikajang dilaksanakannya kegiatan pembinaan dan penyuluhan yang lebih efektif, setelah pandemi ini berakhir dapat melakukan penyuluhan secara tatap muka dan lebih intensif tentang teknologi GAP dengan melibatkan beberapa stakeholder. Dilihat dari potensi yang sangat besar untuk terus mengembangkan kualitas tanaman dan teknik budidaya di Desa Margamulya, maka sayang sekali jika potensi tersebut kurang optimal dalam pengembangan budidaya berbasis GAP.


Bibliografi

 

Amanda, L. H. (2017). Pengaruh Penyuluhan Pertanian terhadap Tingkat Produktivitas Padi Sawah di Desa Bojongsari, Kecamatan Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi IPB. Sukabumi.

 

Anwarudin, O., & Maryani, A. (2017). The effect of Institutional Strengthening on Farmers Participation and Self-Reliance in Bogor Indonesia. International Journal of Research in Social Sciences, 7(4), 409�422.

 

Cholik, C. A. (2017). Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Untuk Meningkatkan Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(6), 30.

 

Dewandini, S. K. (2010). Motivasi petani dalam budidaya tanaman mending di Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret: Surakarta, 131.

 

Dewi, I. N., Andayani, W., & Suryanto, P. (2018). Karakteristik petani dan kontribusi hutan kemasyarakatan (HKm) terhadap pendapatan petani di Kulon Progo. Jurnal Ilmu Kehutanan, 12(1), 86�98.

 

Direktorat Jendral Hortikultura Jawa Barat. (2018). Produk Domestik Bruto Hortikultura 2011- 2017. Jakarta: Jakarta: Direktorat Jendral Hortikultura.

 

Elian, N., Lubis, D. P., & Rangkuti, P. A. (2014). Penggunaan internet dan pemanfaatan informasi pertanian oleh penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor Wilayah Barat. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 12(2), 104�109.

 

Harniati, H., & Anwarudin, O. (2018). The interest and action of young agricultural entrepreneur on agribusiness in Cianjur Regency, West Java. Jurnal Penyuluhan, 14(2).

 

Herawati, H., Hubeis, A. V., Amanah, S., & Fatchiya, A. (2018). Kapasitas Petani Padi Sawah Irigasi Teknis dalam Menerapkan Prinsip Pertanian Ramah Lingkungan di Sulawesi Tengah.

 

INDONESIA, U. U. R. (2006). Nomor 16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan.

 

Manyamsari, I., & Mujiburrahmad, M. (2014). Karakteristik Petani Dan Hubungannya Dengan Kompetensi Petani Lahan Sempit (Kasus: Di Desa Sinar Sari Kecamatan Dramaga Kab. Bogor Jawa Barat). Jurnal Agrisep, 15(2), 58�74.

 

Maryoni, H. S. (2015). Identifikasi pengaruh luas lahan, biaya pemeliharaan, dan jumlah keluarga terhadap pendapatan petani (studi kasus Desa Kepenuhan Raya). Jurnal Sungkai, 3(2).

 

Prihantini, C. I., & Lutfiyanto, L. (n.d.). Analisis Persepsi Stakeholder Distribusi Sarana Produksi Pertanian (Saprotan) Pupuk Di Kabupaten Pamekasan. Agroland: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, 26(3), 294�307.

 

Saparinto, C., Hidayati, D. (2010). Bahan Tambah Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

 

Susliansyah, S., Aria, R. R., & Susilowati, S. (2019). Sistem Pemilihan Laptop Terbaik Dengan Menggunakan Metode Weighted Product (Wp). Jurnal Techno Nusa Mandiri, 16(1), 15�20.

 

Tahitu, M. E. (2015). Pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku.[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

 

Tane, M. (2020). Pengembangan Model Pembelajaran Reciprocal Berbasis K3 Untuk Meningkatkan Kegiatan Praktek Siswa Pertanian Di SMK. Syntax, 2(2).

 

Wahyuni, S. (2016). Jaringan komunikasi, dinamika kelompok dan peningkatan kapasitas petani dalam agribisnis padi organik.[disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

 

Wardani, W., & Anwarudin, O. (2018). Peran penyuluh terhadap penguatan kelompok tani dan regenerasi petani di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Journal TABARO Agriculture Science, 2(1), 191�200.

 

Warya, A., & Anwarudin, O. (2018). Factors Affecting Farmer Participation In Paddy-Special Efforts Program At Karawang, Indonesia. International Journal of Social Science and Economic Research, 3(8), 3857�3867.