Volume 4, No. 6 June 2023
p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356
DOI:� https://doi.org/ 10.46799/jsa.v4i6.627
GEJALA PROMISKUITAS DI KALANGAN
ANAK PADA ERA DIGITAL YANG MENYEBABKAN PERKAWINAN USIA ANAK� (STUDI TERHADAP KEHAMILAN ANAK DI LUAR
NIKAH, DI PONOROGO)
Agustino Crisna
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dispensasi kawin merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Kewenangan pengadilan untuk memberikan dispensasi kawin tersebut diatur dalam Pasal
7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Penelitian ini melihat dari
sudut pandang kriminologis yang dimaksudkan untuk dapat mengeksplorasi
serta� menganalisis
rasionalitas dan efektifitas
pengendalian sosial yang terjadi akibat dari perkawinan usia dini. Selain
itu, studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemangku kepentingan terkait dalam hal
kebijakan penanganan dalam pencegahan perkawinan usia dini. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan narasumber terkait di Ponorogo, serta berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama di Ponorogo.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa gejala promiskuitas berpengaruh terhadap lonjakan kasus perkawinan usia dini di daerah
Ponorogo akibat dari peran kemajuan
teknologi digital yang tidak
disertai dengan pengawasan serta regulasi yang perlu diperbaiki dalam beberapa aspek pencegahan..
Kata kunci: Promiskuitas anak,
Era digital, Perkawinan usia
anak
Abstract
Dispensation of marriage is the granting of permission
to marry by the court to a prospective husband/wife who is not yet 19 years old
to enter into marriage. The authority of the court to grant marriage
dispensation is regulated in Article 7 paragraph 2 of Law Number 16 of 2019
concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. This study
looks from a criminological point of view which is intended to be able to
explore and analyze the rationality and effectiveness
of social control that occurs as a result of early marriage. In addition, this
study is expected to contribute to relevant stakeholders in terms of handling
policies in preventing early marriage. The research method used in this study
is a qualitative method with relevant resource persons in Ponorogo,
as well as based on data obtained from the Religious Courts in Ponorogo. The results show that the promiscuity symptom
affects the spike in early marriage cases in the Ponorogo
area due to the role of digital technological advances that are not accompanied
by supervision and regulations that need to be improved in several aspects of
prevention.
Keywords:
Child
promiscuity, Digital era, Child marriage
PENDAHULUAN
Dispensasi kawin
merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri
yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan
perkawinan. Kewenangan pengadilan untuk memberikan dispensasi kawin tersebut diatur dalam Pasal
7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Hidayatulloh &
Janah, 2020).
Dari
tahun 2019 sampai akhir tahun 2021 kasus pernikahan dini di Indonesia terus meningkat menurut data Kementrian PPPA dan BKKBN naik 30 % setiap
tahunnya. Di Jawa Tengah saja di Tahun 2021 data oleh Kemenag Provinsi Jawa Tengah ada 8.700 kasus pernikahan dini yang mana ketika ingin melaksanakan pernikahan dan mendapatkan buku nikah harus melalui persidangan atau perkara Dispensasi
Kawin di Pengadilan Agama. Meningkatnya
kasus pernikahan dini ini terjadi
selama pandemi Covid-19,
dan yang mengalami pernikahan
usia di bawah 19 tahun banyak dialami
oleh perempuan. Adapun Pernikahan
dini di Kalimantan Tengah (Kalteng)
juga masih tinggi. Data ini berdasarkan data BPS tahun 2019, angka perkawinan perempuan diatas umur 10 tahun keatas, diantaranya
diusia 16 tahun (18,42%), usia 17-18 (22,55%), sedangkan usia 19-20 (23,34%), dan usia 21
(35,69%) (Peni, Lestari, &
Prasida, 2023).
Kawin di usia muda diperkirakan terus melonjak jumlahnya di masa pandemi corona ini. Di tahun 2021 sampai bulan Agustus 300 anak usia dini
yang sudah menikah, di Tahun 2020 Kalimantan Tengah menduduki
urutan kelima setelah Sulawesi Barat. Sepanjang
Januari hingga Juni 2020, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah mencatat 34 ribu permohonan dispensasi pernikahan dini. Dari jumlah tersebut, 97 persen permintaan dikabulkan dengan 60 persennya adalah pernikahan anak perempuan di bawah 18 tahun (Badan Pengadilan
Agama Mahkamah Agung, 2022) (Yazid, Adly, &
Tamami, 2022).
Dengan perubahan
usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi
19 tahun sebagai hasil pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perkara permohonan dispensasi kawin dapat dipastikan
meningkat secara signifikan. Selama kurun waktu 3 tahun
terakhir 2019 s.d 2021 angka permohonan dispensasi nikah pada PA Ponorogo
meningkat. Walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2021 (266) jumlah perkara dispensasi kawin masih tetap tinggi
di Tahun 2022 yaitu 184 perkara (Pengadilan Agama Ponorogo,
2022) (Kusna, 2023).
Kewenangan pengadilan
untuk memberikan dispensasi kawin seringkali menjadi sorotan karena seolah-olah pengadilan dapat membuka pintu
bagi perkawinan usia anak. Sementara
untuk mencegah perkawinan usia anak tidak dapat
semata-mata hanya dibebankan kepada pengadilan. Perkawinan anak merupakan masalah yang kompleks, yang meliputi berbagai faktor sehingga memerlukan kerja sama dan sinergi dari semua pemangku
kepentingan, terutama faktor kemisikinan yang berpengaruh pada tingkat pendidikan anak. Seandainya jaminan pendidikan dengan program wajib belajar 12 tahun dapat berjalan
dengan baik, setidaknya setiap anak akan dapat
mengikuti pendidikan hingga usia 18 tahun, dan akan secara signifikan mengurangi tingkat perkawinan usia anak (Samad, 2016).
Secara global, praktik
perkawinan usia anak terus menurun
di berbagai negara di dunia. UNICEF pada tahun 2018 memperkirakan sekitar 21 persen perempuan muda (usia 20 hingga 24 tahun) melangsungkan perkawinan pada usia anak (Child Marriage: Latest trends and future prospects
,UNICEF, 2018) (Anwar, Iqbal, &
Huda, 2021).
Gambar 1
Persentase wanita umur 20�24 tahun yang pertama kali
kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun,berdasarkan
wilayah
Sumber: Child Marriage: Latest
trends and future prospects ,UNICEF, 2018.
Kekhawatiran
masyarakat dunia mengenai praktik perkawinan usia anak berkaitan
dengan fakta bahwa perkawinan usia anak melanggar
hak asasi anak, membatasi pilihan dan peluang mereka, dan membuat mereka rentan terhadap
kekerasan, eksploitasi, dan
pelecehan (Ending Child Marriage in Bangladesh,
UNICEF & UNFPA, 2017) (Siregar, Simbolon,
& Sitompul, 2020).
Selain itu,
menurut data perkawinan usia anak dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai
1,2 juta kejadian (Tim
Indonesiabaik.id, 2020) (Islam & Agama,
n.d.). Angka tersebut terus bergerak hingga tahun di 2022 mencapai 0,46% (Statistik, Incicx,
Model, & Consulinclo, 2021)
Gambar 2
Persentase Perempuan Umur 20-24
Tahun Yang Berstatus Kawin Atau Berstatus Hidup Bersama Sebelum Umur 15 Tahun
����������������������������������������� Sumber: Susenas, Badan Pusat Statistik
Gejala ini
merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan
sosial yang terjadi dimasyarakat. Sutherland didalam Teori Belajar Sosial
(Differential Association Theory) menyatakan bahwa perilaku menyimpang individu terjadi karena adanya proses pembelajaran (sosialisasi), bukan karena warisan biologis. Sutherland membantah jika dikatakan bahwa perilaku menyimpang merupakan warisan biologis secara genetik. Bahkan sebaliknya Sutherland meyakini bahwa perilaku menyimpang bukan merupakan pengaruh genetik, tetapi karena adanya
proses pembelajaran (Eleanora &
Wijanarko, 2022).
Penelitian terdahulu
yang telah dilakukan juga memberikan konfirmasi terhadap kasus tersebut. Penyimpangan terjadi karena kurangnya pembelajaran mengenai bahaya promiskuitas di Indonesia menjadi
penyebab maraknya pernikahan usia dini. Hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan anak mengenai pendidikan seksualitas. Faktor ketidaktahuan dikarenakan pendidikan seksualitas belum menjadi pelajaran
baku di Indonesia (Ramadhaniah Safitri,
2018).
METODE
Penelitian ini
memiliki keberpihakan pada anak yang menjadi korban dalam gejala sosial
yang terjadi dimasyarakat sehingga menyebabkan perkawinan usia anak. Oleh karena itu, peneliti juga mewawancarai salah seorang pasangan perkawinan usia anak. Namun
peneliti lebih mendalami wawancara terhadap orang tua maupun stakeholder terkait guna menggali lebih
dalam fokus penelitian. Keberpihakan pada
korban tentu tidak mengurangi objektivitas dalam penelitian. Oleh karena itu, hal
yang disampaikan oleh korban maupun
narasumber kembali dianalisis oleh peneliti.
Pendekatan dalam
penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif (qualitative
research), hal ini karena pendekatan kualitatif secara umum digunakan untuk memahami, menggambarkan, serta menjelaskan fenomena sosial atau konstruksi
realitas sosial (construct
social reality) dalam beberapa
cara seperti: 1) analisis pengalaman individu maupun kelompok; 2) proses interaksi dan
komunikasi; 3) maupun menganalisis dokumen (teks, film, gambar) atau jejak yang serupa dari pengalaman
atau interaksi sosial. Pendekatan ini dinilai tepat
untuk menjelaskan fenomena perkawinan usia anak. Selain
itu, studi ini turut berupaya
melihat bagaimana upaya pengendalian yang ada untuk mencegah
adanya dampak di kemudian hari yang disebabkan oleh perkawinan usia anak. Oleh karena fenomena ini merupakan pengalaman
yang bersifat khas dan terbatas, sehingga untuk memahaminya diperlukan sudut pandang pihak/subjek
yang bersangkutan secara langsung.�
Tipe penelitian
berdasarkan tujuan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Studi deskriptif umumnya ditujukan untuk memberikan� gambaran
detail spesifik dari suatu situasi, setting sosial, atau hubungan
sosial. Dalam sebagian besar penelitian sosial yang ditemukan di jurnal ilmiah atau digunakan
untuk membuat usulan yang bersifat deskriptif. Sebuah studi deskriptif menyajikan gambaran tentang tipe orang atau aktifitas sosial dan berfokus pada pertanyaan �bagaimana� atau �siapa�. Tipe
penelitian ini digunakan oleh penulis untuk menjelaskan fenomena dengan berfokus pada penggambaran/ penemuan fakta terkait keadaan sebenarnya, termasuk melihat aspek-aspek sosial yang turut berpengaruh pada pelibatan orang tua serta stake holder dalam perkawinan usia anak, serta
dugaan awal adanya viktimisasi struktural yang menyertai proses pelibatan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Promiskuitas
merupakan aktifitas seksual yang dilakukan dengan banyak atau
lebih dari satu pasangan yang telah dikenal ataupun
baru dikenal. Fenomena promiskuitas pada sebagian remaja seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, tidak terlepas dari minimnya pendidikan
seks yang diterima remaja di lingkungan keluarga maupun di sekolah. Kurangnya pendidikan seks yang diterima remaja, mengakibatkan remaja mencari informasi tentang hal yang berhubungan dengan seks dengan orang lain di luar rumah seperti
pada teman (Rinta, 2015).
Dampak yang ditimbulkan
dalam fenomena promiskuitas pada remaja diantaranya adalah pernikahan usia dini yang marak terjadi saat ini.
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki usia di bawah umur
yang biasanya di bawah umur 17 tahun. Baik pria dan wanita
jika belum mencapai umur 17 tahun jika melangsungkan
pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan dini. Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini antara lain (Tsany, 2017) :
1.
Faktor pendidikan
2.
Faktor keluarga atau orang tua
3.
Faktor lingkungan, masyarakat dan adat istiadat
4.
Faktor ekonomi
5.
Hamil diluar nikah.
Perkawinan usia
anak tersebut dapat berdampak pada beberapa aspek, yaitu kesehatan, pendidikan, dan psikologis. Pada kesehatan perempuan usia 10-14 tahun beresiko lima kali lebih besar meninggal dalam persalinan. Selanjutnya pada pendidikan di
Indonesia ada 85% anak perempuan mengakhiri pendidikan mereka setelah perkawinan. Sedangkan pada psikologis beresiko tinggi mengalami depresi akibat kekerasan fisik, seksualitas, psikologis, dan isolasi sosial (Wardani & Saleh,
2021).
Dinamika hukum
perkawinan Indonesia memperlihatkan
bagaimana kekuasaan politik (negara), mendapatkan pengaruh sangat besar dari episteme lapis pertama yakni agama (tafsir agama) yang membolehkan
perkawinan usia anak. Pada lapis pertama, pertimbangan-pertimbangan pengambilan
keputusan selalu dikembalikan pada pandangan agama
yang memperbolehkan perkawinan
anak dan bias gender. Hal ini
berperan membangun perilaku yang �dianggap benar� oleh masyarakat. Dalam istilah Foucault, secara epistemik perkawinan anak dianggap benar oleh kesadaran masyarakat secara umum (Sexuality and the
State: Dispensation of Child Marriage in Indonesia, 2022) (Wahyudi &
Prastiwi, 2022).
Promiskuitas
merupakan aktifitas seksual yang dilakukan dengan banyak atau
lebih dari satu pasangan yang telah dikenal ataupun
baru dikenal. Fenomena promiskuitas pada sebagian remaja seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, tidak terlepas dari minimnya pendidikan
seks yang diterima remaja di lingkungan keluarga maupun di sekolah. Kurangnya pendidikan seks yang diterima remaja, mengakibatkan remaja mencari informasi tentang hal yang berhubungan dengan seks dengan orang lain di luar rumah seperti
pada teman (Isnugroho,
Triratnawati, & Supriyati, 2017).
Perilaku permisif
seksual banyak dilakukan oleh anak remaja. Hal ini disebabkan kecenderungan untuk secara langsung
terlibat didalamnya. Pada umumnya pria khususnya
anak muda. Perilaku seksual adalah manifestasi dorongan hidup manusia yang bersifat naluriah bahwa perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan
lawan jenis maupun dengan sesama
jenis. Bentuk tingkah laku ini
biasanya dimulai dari sikap yang bermacam-macam mulai dari tertarik, berkencan dan bersanggama (Isnugroho et al.,
2017).
Perilaku promiskuitas
dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja, diantaranya sebagai berikut:
1. Dampak Psikologis
Dampak psikologis
dari perilaku promiskuitas pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas,
depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa.
2. Dampak Fisiologis
Dampak fisiologis
dari perilaku promiskuitas tersebut diantaranya menurunnya konsentrasi sehingga perstasi akan menurun.
3. Dampak Sosial
Dampak sosial
yang timbul akibat perilaku seksual promiskuitas yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan. Belum lagi tekanan dari
masyarakat yang mencela dan
menolak keadaan tersebut. Untuk menekan dan menghindari masalah ini diperlukan
keterlibatan semua pihak, baik keluarga,
pendidik, maupun pemerintah. Oleh karena itu, ada kecenderungan
perilaku seksual tidak sehat di kalangan remaja semakin meningkat. Disinilah peranan keluarga dan pendidik sangat penting.
4. Dampak Fisik
Dampak fisik
perilaku seks bebas adalah berkembangnya
penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan
kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan
risiko terkena PMS (Yulia Putri &
Sureskiarti, 2021).
�� Selain hal tersebut dampak
promiskuitas pada anak juga
dapat mengakibatkan perkawinan usia dini seperti yang marak terjadi di Indonesia saat ini. Salah satu yang menjadi perhatian dikutip dari data pengadilan agama ponorogo yaitu terdapat 184 perkara dispensasi perkawinan di Ponorogo.
Kasus dispensasi
yang dilakukan para remaja ini dilatarbelakangi oleh adanya kehamilan di luar menikah, maupun
adanya keresahan orang tua yang melihat pergaulan anak yang semakin melampaui batas. Ketidaktahuan remaja terkait seks bebas,
serta maraknya seks bebas yang dilakukan para remaja menjadi juga menjadi faktor yang mengakibatkan terjadinya fenomena ini.
Pada
Hakikatnya pernikahan dini berarti pernikahan
yang dilangsungkan dalam usia calon suami
atau calon isteri belum memiliki
kematangan fisik atau jasmani dan psikis atau rohani
karena pernikahan yang
normal dan wajar adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam kondisi adanya
kemampuan fisik dan kesiapan mental untuk membangun mahligai rumah tangga atas
dasar cinta kasih dan sayang. Dengan usia pernikahan
yang cocok dan telah memiliki kematangan psikologis dapat diharapkan terwujud rumah tangga sakinah
yang didambakan dapat mencerminkan suatu kehidupan masyarakat yang damai, sejahtera dan dinamis (Fatmawati, 2020).
Dilihat dari
sisi sosiologis, pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama
kehidupan antara pria dan wanita dalam kehidupan suatu masyarakat di bawah suatu peraturan
khas (khusus) yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu pria bertindak sebagai suami, dan perempuan bertindak sebagai istri, yang keduanya dalam ikatan yang sah (Jamaludin, 2015).
Fenomena perkawinan
anak adalah praktik-praktik sosial yang berkembang, serta alasan di balik praktik sosial tersebut. Praktik sosial yang dimaksud berbasis pada tiga hal; tradisi (termasuk
yang bersumber dari praktik keagamaan), ekonomi (kemiskinan) dan pendidikan (kesadaran akan kesehatan). Akan tetapi yang perlu diingat pada lapis ketiga ini, bukanlah lapis yang berdiri sendiri dan setara dengan lapis pertama dan kedua. Melainkan sangat dipengaruhi oleh
episteme yang berkembang
Secara normatif,
pertimbangan-pertimbangan hakim pengadilan
agama dalam memutuskan perkara permohonan dispensasi kawin telah diatur detail dalam Perma 5/2019. Dalam peraturan tersebut pertimbangan hukum yang mendasarkan pada tujuan pernikahan yang ideal telah disebutkan, di antaranya memastikan adanya perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak,
serta meng-indahkan konvensi internasional tentang perlindungan anak. Persetujuan hakim pengadilan agama atas mayoritas permohonan pengajuan dispensasi, menunjukkan bahwa kesadaran hakim dalam memutuskan perkara juga dipengaruhi oleh episteme yang sama
yang dijadikan dasar masyarakat dalam menga jukan permohonan
dispensasi kawin bagi anak. Tepat
di sinilah mengapa permohonan dispensasi kawin bagi anak
disetujui hakim pengadilan
agama, sehingga tujuan undang-undang untuk melindungi anak dari perkawinan tidak tercapai.
Sebagai jalan
keluar yang bisa dijadikan bahan perbaikan adalah memperluas pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memutuskan permohonan dispensasi kawin. Perlu pula adanya peninjauan atas persetujuan/penolakan dari alasan yang diajukan pemohon. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, terdapat tujuh alasan utama
pemohon dalam mengajukan dispensasi kawin. Dari ketujuh alasan tersebut, perlu kiranya meninjau
satu-persatu urgensi untuk menolak/mengabulkan
permohonan dispensasi kawin, serta mencari
alternatif putusan yang mengedepankan asas perlindungan anak, khususnya anak perempuan. Karena tidak semua alasan sejalan
dengan upaya perlindungan anak perempuan dalam perkawinan.
Temuan penelitian
ini menunjukkan bahwa perubahan yang telah dilakukan pemerintah terhadap UU Perkawinan, ternyata tidak berhasil mencegah atau menurunkan
terjadinya tren perkawinan anak di Indonesia. Hal
ini makin menguatkan teori kekuasaan dalam pandangan Foucault, bahwa kekuasaan bekerja secara holistik melalui kesadaran epistemik. Perubahan regulasi saja tidak
akan mampu mengubah perilaku masyarakat dan kesadaran aparatur negara dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Mengubah satu aspek
saja dari tiga lapis kekuasaan (agama, hukum, dan tradisi masyarakat), tidak akan bisa mengubah
episteme yang berlaku dalam
masyarakat perihal perkawinan anak.
Secara ringkas,
tiga lapis fenomena perkawinan anak yang telah diuraikan di atas (agama, hukum, dan tradisi masyarakat) tidaklah berdiri sendiri dan independen satu sama lain, melainkan diikat oleh benang merah yang bernama relasi kuasa. Kuasa bukan dalam arti otoritas politik yang mutlak, melainkan kekuasaan yang bekerja dalam kerangka
mendisiplinkan kesadaran masyarakat (termasuk di dalamnya aparatur hukum). Kekuasaan ini tidak bekerja
dengan mengandalkan kekerasan dan ancaman hukuman fisik, melainkan mencanangkan standar kebenaran tertentu, yang bahkan bisa bertentangan dengan hukum negara. Kekuasaan yang bekerja secara personal mendisiplinkan kesadaran masyarakat, menjadikan setiap orang bahkan tidak memiliki
celah untuk membuat pilihan lain.
Pada
kasus ini, kekuasaan yang dimaksud bersumber pada klaim kebenaran (salah satu tafsir)
agama tentang perkawinan anak, yang membolehkan anak menikah di usia kurang dari
18 tahun untuk menghindari perbuatan dosa. Padahal, klausul ini tidak terdapat
dalam UU Perkawinan, maka muncullah perkecualian yang diistilahkan dengan dispensasi kawin. Namun demikian,
pengecualian yang semestinya
bersifat darurat ini justru menjadi
pintu masuk masyarakat dalam mengajukan dispensasi kawin, dan celakanya disambut hakim dalam memutuskan perkara dispensasi kawin. Jika mengacu pada Tabel 3, mayoritas alasan pengajuan dispensasi kawin adalah pertimbangan
agama, mengabaikan pertimbangan
kesehatan, ekonomi, dan perlindungan reproduksi anak. Di sisi lain, mayoritas (99 persen) permohonan dispensasi yang diajukan disetujui oleh hakim pengadilan agama, yang berarti alasan pengajuan tersebut diafirmasi oleh hakim.
KESIMPULAN
Sikap permisif
terhadap perilaku seksual yang dimiliki remaja akan membawa
dampak, mudah terpengaruh ajakan perilaku promiskuitas. Pengaruh dari rekan
satu group atau rekan sebaya sangat dominan dalam perilaku
promiskuitas remaja. Kurangnya keadaran remaja tentang bahaya perilaku promiskuitas, orientasi mencari kesenangan dan rasa ingin tahu yang besar menjadi pemicu
perilaku promiskuitas remaja dengan memanfaatkan
celah aturan dan lengahnya kontrol. Keyakinan diri dan pengalaman akan dampak dari perilaku
promiskuitas menjadi faktor dominan agar remaja tidak yang berperilaku promiskuitas tidak mengulangi perilaku tersebut. Dampak perilaku promiskuitas remaja antara lain dikucilkan, gonnorhea, sifilis, chlamydia,
dan herpes genitalis, HIV/AIDS dan penyakir menular seksual lainya. Perlunya pendidikan seksual dan pengawasan kepada remaja terhadap
aturan sehingga meminimalisir celah waktu dan tempat terjadinya perilaku promiskuitas.
Selain dari
hal tersebut dampak utama yang ditimbulkan ialah perkawinan usia dini yang dapat memberikan dampak berkelanjutan pada anak tersebut. Maka dari itu perlu
adanya perbaikan dalam Pendidikan seksual sejak dini serta
peran serta pemerintah dalam melakukan pencegahan terjadinya gejala tersebut dimasyarakat.
KESIMPULAN
Anwar,
Aslamia, Iqbal, Muhammad, & Huda, Nurul. (2021). Kabupaten Muaro Jambi
Dalam Angka 2021. Sengeti: Badan Pusat Statistik Muaro Jambi.
Eleanora, Fransiska
Novita, & Wijanarko, Dwi Seno. (2022). Buku Ajar Mata Kuliah
�Kriminologi.�
Fatmawati, Erma.
(2020). Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan
Dini Komunitas Muslim Madura Di Kabupaten Jember. Pustaka Ilmu.
Hidayatulloh, Haris,
& Janah, Miftakhul. (2020). Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum
Islam. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 5(1), 34�61.
Islam, Ditjen
Pendidikan, & Agama, Kementerian. (N.D.). Pernikahan Belia Dalam Setting
Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Di Sulawesi Tenggara.
Isnugroho, Hernawan,
Triratnawati, Atik, & Supriyati, Supriyati. (2017). Perilaku Seksual
Promiskuitas Pada Remaja Laki-Laki Di Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Berita
Kedokteran Masyarakat, 33(1), 37�42.
Jamaludin, Adon
Nasrullah. (2015). Sosiologi Perdesaan. Pustaka Setia.
Kusna, Nur Laela.
(2023). Analisis Efektivitas Hukum Atas Penanganan Dispensasi Kawin Pasca
Berlakunya Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 (Studi Pada Pengadilan Agama
Ponorogo). Iain Ponorogo.
Peni, Gracia,
Lestari, Rizki Muji, & Prasida, Dita Wasthu. (2023). Hubungan Tingkat
Pengetahuan Remaja Terhadap Kejadian Pernikahan Dini Di Wilayah Kelurahan
Kereng Bangkirai Rt 01/Rw 01 Kota Palangka Raya Tahun 2022: Corellation Of
Adolescent Knowledge Level To The Incidence Of Early Marriage In The Village
Area Kereng Bangkirai Rt 01/Rw 01 Palangka Raya City Year 2022. Jurnal Surya
Medika (Jsm), 9(1), 88�95.
Ramadhaniah Safitri,
Suci. (2018). Suci Ramadhaniah Safitri Nim S. 14.1527 Gambaran Penggunaan Media
Sosial Dan Perilaku Seksual Remaja Pada Kejadian Penyakit Menular Seksual Di
Smkn 2 Banjarmasin. Kti Akademi Kebidanan Sari Mulia.
Rinta, Leafio.
(2015). Pendidikan Seksual Dalam Membentuk Perilaku Seksual Positif Pada Remaja
Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Psikologi Remaja. Jurnal Ketahanan Nasional,
21(3), 163�174.
Samad, Duski. (2016).
Pendidikan Kependudukan Dalam Islam Modul Pesantren Ramadhan Tingkat
Sma/Smk/Ma. Direktorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan (Ditpenduk) Badan
Kependudukan �.
Siregar, Marni,
Simbolon, Juana Linda, & Sitompul, Emilia Silvana. (2020).
Pemberdayaan Anak
Remaja Dalam Pencegahan Kehamilan Usia Dini Di Sma Swasta Santa Maria Tarutung.
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (Kesehatan), 2(2), 95�99.
Statistik, Badan Pusat,
Incicx, Consumer Price, Model, Maintcixincc, & Consulinclo, Mitra Pacific.
(2021). Brs. Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret, 202.
Tsany, Fitriana.
(2017). Trend Pernikahan Dini Di Kalangan Remaja (Studi Kasus Di Kabupaten
Gunung Kidul Yogyakarta Tahun 2009-2012). Jurnal Sosiologi Agama, 9(1),
83�103.
Wahyudi, Tri Hendra,
& Prastiwi, Juwita Hayyuning. (2022). Seksualitas Dan Negara: Permasalahan
Dispensasi Perkawinan Anak Di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah
Sosial, 13, 205�255.
Wardani, Ria, &
Saleh, Lita Lyvia. (2021). Memeluk Bumi: Membangun Kesejahteraan Emosional
Dengan Media Semak-Semak. Memeluk Bumi, Menebarkan Kebaikan, 93.
Yazid, Imam, Adly, M.
Amar, & Tamami, Ahmad. (2022). Kesejahteraan Keluarga Pasangan Hasil
Dispensasi Kawin Di Kota Medan: Perspektif Maslahah Mursalah. Al-Mashlahah
Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial, 10(02).
Yulia Putri, Naida,
& Sureskiarti, Enok. (2021). Gambaran Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang
Dampak Negatif Seks Bebas.
��������
Copyright
holder: Agustino Crisna (2023) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |