Jurnal Syntax Admiration

Vol. 1 No. 4 Agustus 2020

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik

 

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEKERJA SEKS KOMERSIAL TERHADAP PROSTITUSI MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

 

Novrianti dan Padrisan Jamba

Universitas Putera Batam, Indonesia

Email: [email protected] dan [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

17 Juli 2020

Diterima dalam bentuk revisi

10 Agustus 2020

Diterima dalam bentuk revisi

Prostitusi terutama Prostitusi yang menggunakan media sosial melibatkan beberapa pihak, antara lain penyedia jasa, pengguna jasa dan pekerja seks komersial selaku pihak yang menjajakan diri. Dari ketiga pihak yang terlibat tersebut tidak semuanya dapat dikenakan aturan mengenai kejahatan prostitusi. Hal inilah yang menjadi kelemahan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan prostitusi. Sebagai contoh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur mengenai larangan terhadap mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya hanya penyedia jasa saja yang dapat dikenakan sanksi pidana sementara pengguna jasa dan pekerja seks komersial tidak dapat dikenakan sanksi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Tujuan penelitian ini adalh untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pekerja seks komersial terhadap tindak pidana prostitusi yang menggunakan media sosial dan untuk mengetahui penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana prostitusi menggunakan media sosial yang melibatkan pekerja seks komersial. Hasil penelitian adalah Pertanggungjawaban pidana pekerja seks komersial dalam tindak pidana prostitusi yang menggunakan media sosial dapat diberikan dengan menggunakan aturan hukum yang dapat mengakomodir hal tersebut. Adapun pidana penjara yang dapat diterapkan dalam menjatuhkan sanksi adalah pidana penjara minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 6 (enam) tahun dengan denda minimal Rp. 250.000.000,-dan denda maksimal Rp. 3.000.000.000,-. Aturan hukum yang dapat mengakomodir mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut adalah berdasarkan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Kata kunci:

Pekerja sex komersial; media sosial dan pertanggungjawaban pidana



 

Pendahuluan

Pertumbuhan dan perkembangan teknologi dewasa ini semakin pesat hal ini didukung dengan adanya globalisasi secara umum disemua lini kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan teknologi tersebut secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan perubahan dan pergeseran terhadap pola hidup dan kaidah yang berada di masyarakat. Pertumbuhan dan pekembangan teknologi juga dirasakan oleh negara Indonesia. Sebagai salah satu efek dari pembangunan disegala bidang, perkembangan teknologi telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang tingkat pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan informasinya lumayan tinggi.

Perkembangan teknologi informasi sebagai bagian dari pembangunan nasional tidak hanya dirasakan oleh negara saja melainkan juga oleh warga negara Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap warga negara juga seharusnya dan sepantasnya merasakan manfaat dari pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Manfaat dari pembangunan nasional tersebut diharapkan akan menciptakan sebuah keseimbangan dalam bidang sosial (Dwi Yanto, 2018).

Perkembangan teknologi dan informasi yang mengakibatkan perubahan pola perilaku manusia pada akhirnya menciptakan masyarakat modern (Saraswati & Subawa, 2019). Hasil teknologi modern dewasa ini dalam pelaksanaannya mengakibatkan timbulnya perubahan pola dalam masyarakat yang pada akhirnya hal tersebut menjadi salah satu alasan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat (Dewi, 2012). Perubahan sosial tersebut dapat berupa hal yang positif dan negatif tergantung bagaimana masyarakat memahami dan mencermati perkembangan teknologi dan informasi itu. Positif atau negatifnya perubahan sosial tersebut memang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Seperti contoh, dengan berkembanganya teknologi secara langsung maupun tidak langsung mempermudah pekerjaan manusia. Dalam hal ini perkembangan teknologi dan informasi memiliki pengaruh positif selama perkembangan teknologi tersebut memang diperuntukkan bagi hal-hal yang baik. Sementara sisi negatif akan muncul apabila manusia tersebut memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi untuk melakukan sesuatu yang buruk seperti mengancam orang, mencuri dan lain sebagainya.

Perubahan sosial dimasyarakat tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada dimensi hukum. Perubahan sosial tersebut mengakibatkan semakin dinamisnya hukum dalam rangka menertibkan manusia. Kedinamisan hukum ini membawa hukum pada level tidak lagi sebagai sarana represif akan tetapi juga sebagai sarana preventif. Kedinamisan hukum ini juga diuji dengan semakin banyak muncul kejahatan-kejahatan dengan pola pola yang baru seperti contoh prostitusi yang menggunakan media sosial. Prostitusi iniadalah prostitusi yang memanfaatkan sarana media sosial dalam melakukan transaksinya.

Prostitusi di Indonesia memang dianggap sebagai sebuah tindak kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah mengaturnya. Selain daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pemerintah juga telah menerbitkan aturan-aturan seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Keberadaan aturan-aturan tersebut memang sedikit mengurangi tindak kejahatan yang diakibatkan oleh prostitusi. Akan tetapi keberadaan aturan tersebut tidaklah maksimal karena masih banyak celah-celah hukum yang terdapat dalam tiap aturan tersebut. Dengan banyak celah-celah hukum dalam aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengakibatkan adanya anggapan bahwa pemerintah tidak tegas dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap kejahatan prostitusi.

Prostitusi terutama Prostitusi yang menggunakan media sosial melibatkan beberapa pihak, antara lain penyedia jasa, pengguna jasa dan pekerja seks komersial selaku pihak yang menjajakan diri. Dari ketiga pihak yang terlibat tersebut tidak semuanya dapat dikenakan aturan mengenai kejahatan prostitusi. Hal inilah yang menjadi kelemahan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan prostitusi. Sebagai contoh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur mengenai larangan terhadap mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya hanya penyedia jasa saja yang dapat dikenakan sanksi pidana sementara pengguna jasa dan pekerja seks komersial tidak dapat dikenakan sanksi.

Tidak dikenakanya sanksi terhadap pekerja seks komersial dapat mengakibatkan semakin tingginya tindak kejahatan prostitusi yang dilakukan. Padahal bila merujuk kembali kepada aturan hukum yang ada maka keberadaan sanksi sebenarnya telah diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang dapat mengakomodir penanggulangan penggunaan tindak kejahatan prostitusi secara keseluruhan.

Kasus prostitusi online yang pertama kali terungkap adalah kasus Ramdoni dan Yunita Sari selaku mucikari pada bulan Mei tahun 2003. Pada saat itu prostitusi online merupakan sebuah cara baru yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk mengelabui kejahatan prostitusi yang dilakukan. Cara yang digunakan adalah menjajakan para wanita melalui sebuah situs. Mereka memasang foto wanita-wanita tersebut lalu kemudian mereka dapat memesan jasa wanita tersebut melalui nomor telepon yang tertera pada halaman situs tersebut (Yanto, 2016). Pada kasus tersebut yang dapat dipidana adalah mucikarinya saja sementara pengguna jasa dan pekerja seks komersial tidak dijatuhi sanksi pidana. Kemudian kasus prostitusi menggunakan media sosial di bulan Januari 2019 yang melibatkan artis Vanessa Angel. Dalam kasus tersebut Vanessa angel tidak dinyatakan memenuhi unsur prostitusi yang menggunakan media sosial sebagai sarana melakukan tindak kejahatan tersebut, karena tidak ada pasal yang memadai dan menyatakan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam kasus prostitusi dengan menggunakan media sosial. Pasal yang dikenakan kepada terdakwa Vanessa Angel adalah Pasal 27 Ayat (1) jo. Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Selain itu adapula kasus prostitusi yang menggunakan media sosial terjadi di gresik pada Tahun 2019 melibatkan Pekerja Seks Komersial. dari kasus tersebut yang ditetapkan sebagai tersangka adalah mucikarinya sementara pekerja seks komersial hanya dijadikan saksi. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan stagnansi terhadap upaya pemberantasan tindak pidana prostitusi.

Jurnal Saudara Yanto Oksidelfa yang dimuat pada Ahkam Jurnal Ilmu Syariah Volume XVI Nomor 2 Tahun 2016 ISSN 2407-8646 dengan judul Prostitusi Online Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak : Telaah Hukum Islam Dan Hukum Positif.

Hasil penelitian pada jurnal ini adalah bahwa tindakan prostitusi yang dilakukan sangat bertentangan dalam hukum islam maupun hukum nasional. Menurut sudut pandang hukum islam tindakan prostitusi dalam bentuk apapun merupakan sebuah tindakan yang mengakibatkan celaan dan amoral walaupun dilakukan karena banyak alasan. Prostitusi baik secara konvensional maupun modern merupakan bentuk dari perbuatan dosa. Penggunaan anak sebagai pekerja seks komersial merupakan sebuah bentuk terhadap perampasan hak anak atas hidupnya sendiri. Selain memperkerjakan anak sebagai pekerja seks komersial juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dikarenakan anak masih berada dalam perlindungan negara dan mereka memiliki hak asasi yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain (Yanto, 2016).

 

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum. Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum doctrinal. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Kedua pendekatan ini digunakan karena dengan mengetahui keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada terutama terkait dengan hukum pidana di Indonesia dan kaidah hukum yang digunakan dalam praktik hukum terkait yurisprudensi terhadap permasalahan yang yang ada terutama permasalahan mengenai tindak pidana prostitusi online.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini :

a.    Studi Kepustakaan

b.    Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan oleh Penulis berdasarkan hasil interaksi yang terjadi ditengah masyarakat terkait dengan adanya tindak pidana prostitusi. Dalam pengamatan ini, Penulis juga melakukan pengamatan tidak hanya ditengah masyarakat akan tetapi melakukan pengamatan melalui sarana-sarana lain seperti berita-berita baik melalui internet maupun media cetak.

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Adapun alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah: studi kepustakaan dan pengamatan.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data deskriptif kualitatif.

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Pertanggungjawaban Pidana Pekerja Seks Komersial Terhadap Pidana Prostitusi Yang Menggunakan Media Sosial

Secara umum tindak pidana prostitusi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hukum pidana merupakan bagian daripada hukum publik yang mengatur mengenai aturan umum terkait hukum pidana dan/atau yang berhubungan denganlarangan untuk melakukan tindakan-tindakan baik secara aktif maupun pasif dan juga adanya pemberian sanksi terhadap tindakan-tindakantersebut, ketentuan-ketentuan yang menyatakan dapat diberikannya sanksi terhadap pelaku perbuatan terlarang tersebut, serta upaya-upaya lainnya yang dapat dilakukan oleh negara melalui alat kelengkapan (dalam hal ini aparat penegak hukum) untuk melakukan penahanan, penuntutan dan penjatuhan sanksi terhadap pelaku perbuatan terlarang maupun upaya yang dapat dilakukan oleh pelaku perbuatan terlarang tersebut guna melindungi hak asasinya. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat aturan yang mengikat, berisi sanksi serta perintah dan larangan (Ali, 2017).

Hukum pidana sendiri dibagi dibagi menjadi 2 bagian yaitu pidana formil dan pidana materiil. Dalam hukum pidana materiil berkaitan denganperbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana itu sendiri. Dalam hukum pidana juga dianut asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa �tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-udang, yang ada terdahulu darpada perbuatan itu� (Soesilo, 1995). Asas legalitas tersebut juga sering disebut dalam istilah latin sebagai nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur mengenai prostitusi sebagai kejahatan terdapat dalam Pasal 282 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Pasal 296, serta Pasal 506, Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 4, 8, 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Selain pasal-pasal yang telah disebutkan terdapat juga peraturan daerah yang mengatur mengenai prostitusi. Adapun salah satunya adalah Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 6 Tahun 2002 tentang Ketertiban Sosial. Akan tetapi keberadaan peraturan daerah yang merupakan hasil legislasi antara Dewan Perwakilan Daerah Tingkat II dan/atau pemerintah daerah dalam hal ini walikota/bupati tidaklah dapat dikatakan sebagai peraturan khusus yang mengatur mengenai prostitusi. Hal ini dikarenakan adanya beberapa kelemahan yang mendasar.

Peraturan daerah walau pembuatannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah akan tetapi banyak terdapat pertentangan dengan aturan yang ada diatasnya. Pertentangan ini disebabkan karena adanya ketentuan-ketentuan yang terdapat peraturan daerah yang multitafsir (Nasrullah & Rosadi, 2017). Ketentuan-ketentuan yang multitafsir tersebut akan menimbulkan inkonsistensi terhadap aturan hukum terutama terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai aturan yang lebih tinggi. Dalam hukum pidana dikenal adanya asas legalitas, dengan keadaan multitafsir maka asas legalitas tersebut akan menjadi bias.

Kelemahan lain yang terdapat dalam peraturan daerah adalah penggunaan polisi pamong praja sebagai penegak hukum terhadap peraturan daerah. Sebagai penegak hukum, keberadaan polisi pamong praja dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan juga telah melampaui batasan. Padahal berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dapat melakukan penyidikan adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Angka (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dapat melakukan penyelidikan adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan.

Penangkapan yang dilakukan oleh penegak hukum peraturan daerah juga dapat dikatakan sebagai bentuk dari penyimpangan terhadap hak asasi manusia. Dalam hal penangkapan berdasarkan subjektifitas penegak hukum peraturan daerah. Dalam hal penangkapan sesuai dengan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana harus dilakukan atas dasar adanya bukti permulaan yang cukup (Nasrullah & Rosadi, 2017). Bukti permulaan yang cukup adalah dua alat bukti atau lebih.Sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan peraturan daerah tidaklah dapat menggunakan asas lex specialis derogate legi generali.

Prostitusi menggunakan media sosial semakin marak terjadi hal ini dikarenakan kurang mampunya aturan hukum menjerat semua orang yang terlibat didalamnya. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ada beberapa pihak yang terlibat dalam prostitusi ini yaitu: pekerja seks komersial, mucikari dan pengguna jasa pekerja seks komersial. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa hukum hanya dapat menjerat mucikari sebagai pelaku tindak pidana prostitusi. Sementara pekerja seks komersial dan pengguna jasanya tidak dapat dijerat. Pekerja seks komersial dan pengguna jasa pekerja seks komersial dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam tindak pidana prostitusi.

Aturan hukum yang berlaku tidak secara tegas dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada pekerja seks komersial. Dalam tindak pidana unsur actus rea dan mens rea merupakan unsur yang menentukan apakah tindak pidana tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Sejalan dengan pernyataan tersebut maka muncul dua aliran dalam hal dipisah atau tidaknya tindak pidana maupun pertanggungjawaban pidana.

Aturan tentang tindak pidana pada mulanya memang tidak dimaksudkan untuk melindungi negara dan masyarakat dari kejahatan atau pelaku kejahatan, baik yang telah nyata maupun berpotensi (Huda, 2015). Perspektifnya tidak positif, tetapi justru negatif., yaitu bukan negara yang berada dalam keadaan terancam dengan adanya berbagai tindak pidana, tetapi justru sebaliknya masyarakat ataupun orang yang berpotensi untuk melakukan kejahatan yang apabila tidak adanya pelarangan terhadap perbuatannya yang menyimpang maka akan terjadi pola main hakim sendiri.

Sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana ditujukan untuk menentukan apakah seseorang dapat dikenakan pidana atau tidak. Penentuan mengenai dapat dipidananya atau tidak dapat dipidananya seseorang akibat perbuatannya merupakan salah satu unsur yang dapat menentukan bagaimana sanksi pidana tersebut diterapkan kepada yang bersangkutan (Huda, 2015). Dalam hal ini keberadaan pertanggungjawaban pidana menekankan pada titik mengenai pemidanaan. Pemidanaan yang dimaksudkan adalah tetap berdasarkan pada tindak pidana yang telah dibuat oleh seseorang, dengan kata lain pemidanaan terhadap pelaku perbuatan haruslah disesuaikan dengan perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana ditujukan untuk menciptakan sebuah pemikiran yang baru dari tindak pidana. Apabila pada tindak pidana sudut pandangnya adalah sudut pandang negatif maka pada pertanggungjawaban pidana sudut pandangnya adalah sudut pandang positif. Dalam hal ini aparat Negara yang berwenang mengkualifikasi adanya kesalahan pada diri seseorang. Apabila aturan tindak pidana bukan hanya tertuju terhadap para pelaku kejahatan, tetapi juga anggota masyarakat yang berpotensi melakukannya, maka aturan tentang pertanggungjawaban pidana hanya berkenaan dengan mereka yang ternyata telah melakukan tindak pidana tersebut. Kenyataan bahwa yang bersangkutan tleah melakukan tindak pidana bersambungan dengan penilaian kesalahan pada dirinya karena perbuatannya itu. Dominasi aparatur hukum untuk menentukan kesalahan ini yang berda dalam substansi regulasi tentang pertanggjawaban pidana (Huda, 2015).

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan, mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Berdasarkan rumusan pasal tersebut maka kedudukan pekerja seks komersial dan pengguna jasa prostitusi dapat dikategorikan sebagai turut serta melakukan perbuatan. Secara umum gambaran mengenai Pasal 282 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Pasal 296 maupun 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat juga diterapkan terhadap pekerja seks komersial dan pengguna jasa prostitusi. Apabila mengacu kepada pertanggungjawaban pidana terhadap pekerja seks komersial maka unsur kesalahan yang terdapat dalam tindak pidana tersebut telah dipenuhi. Hal ini merujuk pada Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan unsur pertanggungjawaban pidananya juga sudah dapat dipenuhi.

Akan tetapi pada kenyataan dilapangan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut tidaklah diterapkan dalam hal menjerat pekerja seks komersial terhadap tindak pidana prostitusi yang dilakukannya. Alasan yang digunakan oleh aparat penegak hukum adalah tidak terpenuhinya delik dalam rumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan tidak pidana prostitusi. Penggunaan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 terhadap tindak pidana prostitusi yang menggunakan media sosial sangatlah sulit untuk dilakukan dikarenakan muatan dalam Pasal 27 Ayat (1) tersebut hanya menyebutkan muatan yang melanggar kesusilaan.

Penggunaan Pasal 27 Ayat (1) ini dirasakan masih terlalu umum dan tidak menitikberatkan kepada prostitusi saja akan tetapi kepada semua tindakan yang melanggar kesusilaan seperti foto, video, maupun tulisan yang melanggar kesusilaan. Pengkategorian melanggar kesusilaan ini tidak serta merta dikategorikan sebagai prostitusi. Seperti pada contoh kasus Vanessa Angel, Vanessa Angel dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 Ayat (1) dengan hukuman penjara 6 bulan. Penggunaan Pasal 27 Ayat (1) ini tidak berkaitan dengan tindak pidana prostitusi yang dilakukan oleh Vanessa Angel. Pasal 27 Ayat (1) ini dikenakan terhadap Vanessa Angel dikarenakan adanya foto-foto telanjang Vanessa Angel yang disebarkan oleh Nindy. Keberadaan foto-foto telanjang tersebut yang menjadi alasan bahwa Vanessa Angel dikenakan Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Apabila tidak terdapat foto tersebut maka Vanessa Angel akan bebas dari tuntutan hukum. Hal ini semakin menegaskan bahwa pekerja seks komersial tidak dapat dijatuhi sanksi pidana terhadap tindak pidana prostitusi.

Pasal yang seyogyanya diterapkan terhadap tindakan prostitusi melalui media sosial adalah Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, mengekploitasi atau memamerkan aktivitas seksual, menawarkan atau mengiklankan secara langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pasal ini secara tegas melarang adanya layanan seksual. Layanan seksual yang dimaksud pada pasal ini adalah layanan terhadap kebutuhan seksual atau dengan kata lain prostitusi. Ancaman pidana terhadap pasal ini adalah pidana penjara minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda minimal Rp. 250.000.000,- dan maksimal Rp. 3.000.000.000,- .

B.  Penjatuhan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Menggunakan Media Sosial Yang Melibatkan Pekerja Seks Komersial

Penjatuhan sanksi atau secara umum orang mengatakan sebagai pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana (Huda, 2015). Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan memmpunyai pengaruh yang signifikan terhadap penganaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai dapat dicela, maka disini pemidanaan merupakan perwujuaan dari celaan tersebut.

Tujuan pemidanaan pada umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar yaitu teori pembalasan dan teori tujuan. Sekalipun kedua teori tersebut umumnya diikuti dan kemudian dikembangkan dalam tradisi masing-masing, tetapi baik Negara-negara yang menganut anglo saxon dan eropa kontinental selalu menjadikan kedua teori ini sebagai landasan untuk menentukan tujuan penjatuhan sanksi pidana atau pemidanaan.

Teori pembalasan ialah teori yang mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah pembalasan perbuatan pelaku. Teori ini mengedepankan bahwa sebagai sebuah bentuk mengatur dalam hal memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan maka pemidanaan dilakukan dalam rangka membalaskan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan sehingga dikemudian hari pelaku kejahatan tidak akan melakukan perbuatan yang sama.

Berbeda dengan teori manfaat, teori ini berpandangan bahwa dalam melakukan pemidanaan maka tujuan yang ingin dicapai adalah adanya manfaat tertentu bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Manfaat terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan dilakukannya tindak pidana. Baik pecegahan atas pengulangan oleh pembuat, maupun pencegahan mereka yang sangat mungkin melakukan tindak pidana tersebut (Huda, 2015).

Pada pokoknya menurut teori pembalasan, tujuan pemidanaan adalah membalas atas tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat, sedangkan menurut teori manfaat, tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah pembuat atau masyarakat mengulangi melakukan tindak pidana tersebut. Kedua tujuan pemidanaan tersebut oleh para ahli hukum pidana kerap kali ditempatkan secara berhadap-hadapan. Hal ini menyebabkan seolah-olah keduanya saling bertentangan. Tujuan-tujuan tersebut diapandang sebagai tidak dapat bersinergi, sehingga seolah-olah mengakui kebenaran yang satu berarti menyangkal kebenaran yang lainnya.

Teori pembalasan dan teori manfaat merupakan wacana yang berbeda tentang penganaan pidana atau pemidanaan. Hal ini menyebabkan pembalasan dan pencegahan ditempatan sebagai dua tujuan pemidanaan yang masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Dengan kata lain, baik pembalasan maupun pencegahan, keduanya merupakan tujuan pengenaan pidana, tetapi mempunyai peran yang berbeda (Huda, 2015). Akibatnya, kesalahan mendapat tempat yang berbeda pula dalam penjatuhan pidana. Hanya dengan menerima pengertian kesalahan yang normatif maka kedua tujuan pemidanaan sebagaimana tersebut dapat diterima sebagai suatu kesatuan.

Penentuan bentuk pidana juga merupakan pilihan atas berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Sebagaimana diketahui bentuk-bentuk pidana disusun secara hierarkis (Huda, 2015). Berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana disusun menurut urutan berat ringannya. Pidana yang berbentuk perampasan terhadap nyawa lebih berat apabila dibandingkan dengan pidana yang berbentuk perampasan kemerdekaan. Pidana yang berbentuk perampasan kemerdekaan lebih berat daripada pidana denda. Sebagaimana seterusnya. Belum lagi pada pidana perampasan terhadap kemerdekaan masih dibedakan ke dalam jenis-jenis yang juga menunjukkan hierarkis. Penjara lebih berat dari kurangan misalnya. Selain itu, pidana lebih berat daripada tindakan.

Aparat penegak hukum dalam hal ini hakim, jaksa maupun polisi tidak mendalami lebih lanjut mengenai pasal apa saja yang sekiranya dapat dijatuhkan terkait dengan tindak pidana prostitusi yang dilakukan oleh pekerja seks komersial. terkait dengan kasus prostitusi yang melibatkan Vanessa Angel, penjatuhan sanks pidana terhadap Vanessa Angel didasarkan kepada tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya memasukkan Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Penggunaan Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 Ayat (1) menurut penulis kuranglah tepat karena selain pasal tersebut seharusnya dituntut juga dengan menggunakan Pasal 4 Ayat (2), Pasal 8, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008. Dengan masuknya pasal tersebut maka memungkinkan hakim untuk memberikan putusan yang sekiranya dapat menjadi acuan yang lebih baik lagi sehingga kedepannya putusan tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah yurisprudensi.

Terhadap kasus prostitusi yang menggunakan media sosial di Jember penggunaan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (1) tidak diterapkan. Hal ini menimbulkan inkonsistensi dari aparat penegak hukum terutama kepolisian untuk mendukung program pemerintah dalam hal meminimalisir terjadinya tindak pidana prostitusi yang pada akhirnya akan merusak moralitas dan metalitas masyarakat Indonesia kedepannya.

Penjatuhan pidana yang dapat mengakibatkan tercapainya upaya preventif maupun upaya represif tidaklah terpenuhi. Sebagaimana tujuan pemidanaan yang berupaya meniminimalisir terjadinya kembali tindak pidana prostitusi maupun upaya paksa Negara dalam mengatasi permasalahan ini. Fleksibilitas dalam menjalankan aturan hukum demi tercapainya kondisi masyarakat yang stabil, aman serta tentram tidak akan pernah terpenuhi dengan tindakan yang seperti disebutkan diatas.

Sejalan dengan permasalahan tersebut, apabila mengacu pada teori hukum progresif yang menyatakan bahwa dalam menegakkan hukum hendaknya hakim maupun aparat penegak hukum lainnya melakukan upaya penemuan hukum apabila tidak terdapat aturan hukum yang tidak memadai terhadap sebuah permasalahan hukum. Berdasarkan teori hukum progresif maka intelektualitas aparat hukum memegang peranan penting dalam mengatasi kondisi saat ini.

Walaupun menurut aturan tertulis tidak ada undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai prostitusi melalui media sosial bukan tidak berarti bahwa dengan alasan tersebut menjadi alasan peniadaan pidana. Stagnansi dalam penarapan hukum terkait dengan tindak pidana prostitusi akan mengakibatkan semakin maraknya tindak pidana tersebut.

Aparat penegak hukum selaku pengemban amant undang-undang dalam menegakkan hukum hendaknya memberikan sumbangsih yang besar terhadap penegakkan hukum yang terjadi di Indonesia. Konsep rule breaking dalam menghadapi kekakuan hukum sangat diperlukan. Rule breaking yang dimaksudkan adalah adanya upaya yang nyata dari penegak hukum untuk merobohkan kondisi hukum yang kaku (Tanya, B. L., Simanjuntak, Y. N., & Hage, 2013). Sejalan dengan teori manfaat tujuan pemidanaan maka penemuan hukum dalam tindak pidana prostitusi yang menggunakan media sosial memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menggunakan konsep teori progresif dalam menyikapi tindak pidana prostitusi yang dilakukan oleh pekerja seks komersial menurut penulis perlu untuk diperhatikan sehingga mendobrak tembok-tembok kekakuan hukum. Pendobrakan ini dimaksudkan agar upaya pemerintah menciptakan masyarakat yang aman dan damai dapat terwujud. Dengan kondisi tersebut maka semakin nyatalah peran pemerintah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke empat.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap pekerja seks komersial yang menggunakan media sosial dalam tindak pidana prostitusi masih dalam keadaan inkonsistensi. Inkonsistensi ini dikarenakan tidak adanya kesamaan pemikiran dalam penemuan hukum terkait tindak pidana prostitusi. Ketiadaan kesamaan pemikiran ini dikarenakan penerapan pasal yang dikenakan terhadap pekerja seks komersial dalam penanganannya tidaklah memiliki kesamaan yang dapat menimbulkan stagnansi hukum pidana itu sendiri.

Hukum pidana seharusnya dapat memberikan jaminan sebagai sarana ultimum remidium yang berarti sebagai senjata pamungkas yang dapat menyelesaikan permasalahan pidana. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah sebagaimana yang diharapkan. Keengganan dalam melakukan pendrobakan terhadap hukum pidana yang kaku mengakibatkan kondisi masyarakat menjadi tidak stabil. Pada akhirnya mengakibatkan masyarakat tidak lagi percaya bahwa hukum menjadi panglima dalam menyelesaikan perkara pidana.

 

Kesimpulan

Pertanggungjawaban pidana pekerja seks komersial dalam tindak pidana prostitusi yang menggunakan media sosial dapat diberikan dengan menggunakan aturan hukum yang dapat mengakomodir hal tersebut. Adapun aturan hukum yang dapat mengakomodir hal tersebut adalah dengan menggunakan beberapa peraturan undang-undang terkait yaitu dengan menggunakan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 27 Ayat (1), Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, kemudian Pasal 4 Ayat (2), Pasal 8, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008. Akan tetapi dalam kenyataan dilapangan ternyata aparat penegak hukum tidak menggunakan pasal-pasal tersebut dalam menangani tindak pidana prostitusi.

Penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana prostitusi menggunakan media sosial yang melibatkan pekerja seks komersial adalah dengan memberikan pidana penjara dan denda atas tindak pidana prostitusi tersebut. Adapun pidana penjara yang dapat diterapkan dalam menjatuhkan sanksi adalah pidana penjara minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 6 (enam) tahun dengan denda minimal Rp. 250.000.000,-dan denda maksimal Rp. 3.000.000.000,-. Akan tetapi pada pelaksanaanya hal tersebut tidaklah terpenuhi dikarenakan dasar dalam melakukan penuntutan tidak ada.

 


Bibliografi

 

Ali, M. (2017). Dasar-Dasar Hukum Pidana (IV). Jakarta: Sinar Grafika.

 

Bachtiar, R., & Purnomo, E. (2007). Bisnis Prostitusi Profesi Yang Menguntungkan. Yogyakarta: Pinus.

 

Dewi, B. (2012). Cyber Prostitusi. Bali: University Udayana Press,.

 

Dwi Yanto, F. (2018). Analisis Yuridis Ketentuan Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Prostitusi Online Di Indonesia. Legal Spirit, 2.

 

Fajar, M., & Achmad, Y. (2010). Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Huda, C. (2015). Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Prenadamedia Group.

 

Ibrahim, J. (2006). Teori dan Metodologi Penelitian Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

 

Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum (11th ed.). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

 

Muhammad, A. K. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bandung.

 

Nasrullah, & Rosadi, A. (2017). Kritik Hukum Islam Atas Sanksi Pidana Pelaku Prostitusi Dalam Peraturan Daerah. Al-Adalah, 14.

 

Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

Saraswati, N. K. A. G., & Subawa, M. (2019). Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Online Menurut Hukum Positif Di Indonesia. Kertha Wicara, 8.

 

Soekanto, S. (2014). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

 

Soesilo, R. (1995). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogir: Politea.

 

Sunggono, B. (2002). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Tanya, B. L., Simanjuntak, Y. N., & Hage, M. Y. (2013). Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan GenerasiTeori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (IV). Yogyakarta: Genta Publishing.

 

Wahid, A., & Labib, M. (2010). Kejahatan Mayantara. Bandung: Refika Aditama.

 

Yanto, O. (2016). Prostitusi Online Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak: Telaah Hukum Islam Dan Hukum Positif. Ahkam Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, XVI.