JSA 2Volume 4, No. 12 Desember 2023

p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356

DOI:https://doi.org/


 

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN ANTARA PASIEN DENGAN TENAGA MEDIS DOKTER

 

Ardiansa Dwi Nanda Putra

Universitas Kristen Indonesia

Email:

 

 

Abstrak:

Tujuan penelitian ini untuk mengenali serta menganalisa ikatan antara dokter dengan penderita dalam perspektif hukum proteksi pelanggan Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan penelitian mengunakan perundang-undangan, konsep dan jenis sumber data dengan data sekunder serta teknik analisis data secara deskriptif kualitatif. Pembahasan: Penelitian ini mengkaji hubungan dokter dan pasien dalam perspektif undang-undang perlindungan konsumen, selanjutnya tentang kerugian pasien atas tindak medis secara umum, selanjutnya akan meninjau tentang tanggung jawab hukum dokter dari perlindungan konsumen secara perdata. Kesimpulan: Terdapat hubungan asimetris antara dokter dan pasien, dan dibutuhkan undang-undang yang dapat melindungi pihak konsumen. Tanggung jawab dokter, telah diatur dalam kode etik kedokteran, tanggung jawab pidana dapat muncul apabila dibuktikan adanya perbuatan yang tidak sesuai.

 

Kata kunci: Perlindungan konsumen, pelayanan kesehatan dan tenaga medis (dokter)

 

Abstract:

The purpose of this study is to recognize and analyze the bond between doctors and sufferers in the perspective of customer protection law The type of research used in writing this law is normative legal research, with a research approach using legislation, concepts and types of data sources with secondary data and qualitative descriptive data analysis techniques. Discussion: This study examines the relationship between doctors and patients in the perspective of consumer protection law, then about patient losses for medical acts in general, then will review the legal responsibility of doctors from consumer protection in civil terms. Conclusion: There is an asymmetric relationship between doctors and patients, and laws are needed that protect consumers. The responsibility of doctors, which has been regulated in the code of medical ethics, criminal responsibility can arise if it is proven that there are inappropriate acts.

 

Keywords: Consumer protection, healthcare and medical personnel (doctors)

 

 

PENDAHULUAN

Manusia selaku insan sosial menginginkan interaksi dengan sesamanya buat memberi rasa, beralih benak serta kemauan, bagus dengan cara langsung ataupun tidak langsung, lisan ataupun nonverbal. Perihal ini dengan cara natural tertancap dalam diri tiap orang, serta dengan cara natural pula dicoba semenjak lahir. Dengan berbicara orang bisa silih berkaitan satu serupa lain bagus selaku orang ataupun golongan dalam kehidupannya (Effendy, 2011).

Salah satu kehadiran orang dimana individu itu menginginkan sesamanya amat dialami kala orang itu dalam kondisi sakit. Keinginan yang penting untuk orang itu merupakan keinginan hendak terdapatnya orang lain yang bisa menolong menyembuhkan yang dideritanya serta alat yang digunakan buat prosedur pengobatan. Orang yang diartikan merupakan dokter serta alat yang diartikan yakni rumah sakit. Dokter selaku daya kesehatan merupakan orang yang mengabdikan diri didalam aspek kesehatan, yang mempunyai wawasan serta keahlian lewat pembelajaran dibidang medis yang membutuhkan wewenang buat membiarkan usaha kesehatan (Lumenta & Prawiranegara, 1989);(Hadiyanto, 2020).

Ikatan antara dokter serta penderita di satu pihak dokter yang membaik serta pakar di bidangnya tengah itu pihak pengidap yang dalam kondisi sakit serta biasa hal penyakit (Ishaq, 2019). Atas bawah inilah, hingga Wila Candrawila Supriadi mencatat kalua �Pada mulanya antara dokter serta penderita tercipta ikatan medik, dalam jalinan medik ini kedudukan dokter dan pengidap tidak proporsional. Selanjutnya dilaporkan, pada ikatan dokter dan pengidap terwujud jalinan sosial, karena antara dokter dan pengidap terangkai interaksi sosial yang diatur oleh kaidah- kaidah social non hukum. Kecuali itu seluruh, hubugan dokter serta penderita merupakan pula ikatan hukum. Pada jalinan hukum ini peran dokter serta pengidap ialah seimbang.

Dalam ikatan rumah sakit serta penderita, hingga rumah sakit berada selaku alat yang memiliki independensi buat melaksanakan ikatan hukum dengan penuh tanggung jawab (Turnip & Soewondo, 2022). Pada biasanya ikatan hukum yang terjalin di rumah sakit amat bermacam- macam serta lingkungan. Perihal ini diakibatkan kalau jalinan hukum yang terangkai dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit tetap menyangkutkan beragam pihak.

Ikatan antara dokter serta jasa kesehatan, legal selaku kewajiban dorongan. Maksudnya, juru rawat dalam aksi medik cuma hingga menolong dokter, oleh kerena itu yang wajib dicoba juru rawat cocok dengan perintah serta petunjuk dokter Ahli jaga tidak bertanggung mendakwa atas kelalaian dokter, di ayo sah legal verlengde arm van de artsdoctrine (anutan perpanjangan tangan dokter).

Kewajiban Rumah Sakit selaku Institusi jasa kesehatan adalah membagikan jasa kesehatan yang baik, serta bertanggungjawab kepada warga paling utama di area cakupannya. Sebaliknya guna rumah sakit merupakan menyelenggarakan jasa spesialistik ataupun medik inferior serta jasa subspesialistik ataupun medik tersier.

Salah satu tujuan hukum kesehatan merupakan mencegah kebutuhan penderita, disamping tujuan lain semacam meningkatkan mutu pekerjaan daya kesehatan. perihal ini bukan berarti kalau kebutuhan penderita kebutuhan penderita wajib senantiasa diunggulkan, maksudnya merupakan keserasian antara kebutuhan penderita serta kebutuhan daya kesehatan (misalnya dokter, juru rawat serta lain- lain) serta alat kesehatan (misalnya rumah sakit) (Subekti & Tjitrosudibio, 2002).

Hubungan dokter dan pasien berdasarkan kepercayaan, kini mulai goyah. Salah satu penyebabnya adalah perkembangan sains dan teknologi, perkembangan jaman, bertambahnya kecerdasan masyarakat, pandangan hidup dan sebagainya. Nilai dan norma mulai terpengaruh oleh budaya asing yang juga memberikan dampaknya kepada pandangan hidup masyarakat kita. Terlebih lagi globalisasi sehingga dapat dikatakan batas- batas negara seakan dihilangkan. Apa yang terjadi di suatu tempat dalam beberapa menit saja sudah diketahui negara lain. Saat ini kita dalam era pancaroba. Angka serta norma lama sedang belum dilepaskan segenap, sebaliknya poin serta norma terkini telah menekan masuk serta pengaruhi ke dalam aturan hidup serta pemikiran hidup warga (Dokter, 1996).

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumussan masalah yang terdiri dari: 1) Bagaimana ikatan hukum antara pasien dengan daya kedokteran (dokter) dalam perspektif hukum proteksi pelanggan? 2) wujud tanggung jawab daya kedokteran (dokter) kepada kehilangan penderita dari perspektif perlindungan konsumen?

Adapun tujuan penelitian ini bersumber pada kesimpulan permasalahan terbagi menjadi dua tujuan, yaitu: 1) Buat mengenali serta menganalisa ikatan antara dokter dengan penderita dalam perspektif hukum proteksi pelanggan; 2) Buat mempelajari serta menelaah tanggung jawab dokter kepada kehilangan penderita dari perspektif proteksi pelanggan serta gimana tanggung jawab dokter pada pengidap pada aksi kedokteran yang buruk. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: mampu bisa berguna untuk pengembangan ilmu wawasan di aspek ilmu hukum pada biasanya dan masalah Awas hal proteksi penderita pada spesialnya.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini yang digunakan dalam kategorisasi hukum ini merupakan studi hukum normatif yakni studi yang dicoba dengan metode menekuni modul pustaka atau data inferior yang terdiri dari modul hukum utama, modul hukum inferior, dan modul hukum tersier dari masing- masing hukum normatif. Materi- modul itu disusun dengan metode analitis, dikaji, sehabis itu dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan kasus yang diteliti.

Studi hukum ini apabila dicermati dari cirinya yakni riset diskriptif, yang dimaksud selaku sesuatu metode jalan keluar permasalahan yang diawasi pada dikala saat ini bersumber pada kenyataan yang nampak ataupun begitu juga terdapatnya. Dalam riset ini hendak diawasi hal proteksi penderita selaku pelanggan pelayanan aspek kedokteran dalam KUHPerdata, dan wujud perlindungannya. Dalam riset hukum diketahui terdapatnya sesuatu pendekatan riset. Pendekatan itu membolehkan diperolehnya balasan yang diharapkan atas kasus hukum yang terdapat. Pendekatan yang digunakan dalam riset hukum diantaranya: a) Pendekatan perundang- ajakan (statue approach). b) Pendekatan abstrak (conceptual approach)

Dalam riset ini hendak memakai pendekatan konseptual (conceptual approach) hal permasalahan permasalahan penguatan proteksi penderita dan dipakai pendekatan perundang-ajakan (statue approach) paling utama pengaturan dalam KUHPer serta Undang Undang yang mengatur proteksi pelanggan selaku instrumen hukumnya. Tipe pangkal informasi yang dipakai dalam riset thesis ini merupakan informasi inferior ialah informasi yang didapat dari materi pustaka berbentuk keterangan- penjelasan yang dengan cara tidak langsung didapat lewat riset daftar pustaka, materi- materi dokumenter, tulisan- catatan objektif serta sumber- sumber tercatat yang lain. Penafsiran informasi inferior merupakan informasi yang pada biasanya terdapat dalam kondisi sedia dibuat (readymade) serta wujud ataupun isi informasi inferior sudah dibangun serta diisi oleh peneliti- peneliti terdahulu.

Aktivitas yang hendak dicoba dalam pengumpulan informasi dalam riset ini ialah Riset Pustaka dengan metode pengenalan isi. Perlengkapan pengumpulan informasi dengan mengenali isi dari informasi inferior didapat dengan metode membaca, menelaah, serta menekuni materi pustaka bagus berbentuk peraturan perundang- undangan, postingan, dari internet, artikel kolokium nasional, harian, akta, serta data- data lain yang memiliki hubungan dengan informasi riset ini.

Metode analisa informasi yang dipakai dalam riset hukum ini memakai deskriptif analitis kualitatif, ialah pola pikir buat menarik kesimpulan dari kasus- kasus perseorangan jelas jadi kesimpulan yang bertabiat biasa. Pada dasarnya pengerjaan serta analisa informasi tergantung pada tipe informasinya. Pada riset hukum berjenis normatif, hingga dalam memasak serta menganalisa materi hukum pokok, materi hukum inferior serta materi hukum tersier tidak bisa bebas dari bermacam pengertian hukum yang diketahui dalam ilmu hukum.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum Pasien dan Tenaga Kesehatan

Rumah sakit selaku sarana jasa kesehatan pada prinsipnya berperan buat melakukan jasa kesehatan sempurna, yang mencakup usaha melindungi, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Dengan sedemikian itu dalam upaya pelayanan kesehatan sampai rumah sakit melakukan seluruh cara aktivitas jasa, yang senantiasa mengaitkan bermacam pekerjaan daya kesehatan. Dalam ikatan rumah sakit serta penderita, hingga rumah sakit berada selaku alat yang memiliki independensi buat melaksanakan ikatan hukum dengan penuh tanggung jawab.Pada biasanya ikatan hukum yang terjalin di rumah sakit amat bermacam- macam serta lingkungan. Perihal ini diakibatkan kalau ikatan hukum yang terjalin dalam jasa kesehatan di rumah sakit senantiasa mengaitkan bermacam pihak. Berikutnya, dalam hubungan ini butuh dikemukakan gimana ikatan hukum ataupun habitat dalam usaha jasa kesehatan yang mengaitkan dokter, juru rawat, rumah sakit serta penderita.

Hubungan keperdataan yang akan diperoleh, yakni Koeswadji (1998): 1) Hubungan antara dokter serta rumah sakit, bisa didasarkan pada akad kegiatan ataupun akad perburuhan untuk rumah sakit swasta, sebaliknya untuk rumah sakit penguasa legal hukum kepegawaian yang masuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negeri (HAN). 2) Ikatan antara rumah sakit dan pengidap, diatur melalui verzorgingsovereenkomst (akad keperawatan) yang digolongkan selaku akad buat melaksanakan pelayanan khusus (Artikel 1601 KUHPerdata). Rumah sakit membahu bobot tanggung memerkarakan bila jasa kesehatan yang diserahkan juru rawat di dasar standar pekerjaan, oleh karenannyadi mari legal ajaran corporate liability.

Ikatan hukum dokter- pasien serta rumah sakit bukan cuma terjalin disebabkan terdapat akad melainkan pula bersumber pada undang undang (ius delicto). Ikatan antara dokter dengan penderita berasal dari pola ikatan yang bertolak dari prinsip" father knows best" yang melahirkan ikatan bertabiat paternalistik. Dokter bersumber pada prinsip ini, dalam ikatan paternalistik hendak memperjuangkan buat berperan selaku" ayah yang bagus" dengan cara teliti serta hati- hati cocok dengan wawasan serta keterampilannya di perolehnya lewat pembelajaran yang susah serta jauh.

Pada prinsipnya dalam ikatan antara dokter serta penderita terdapat 2 perihal berarti yang wajib dicermati ialah gimana dokter menaruh independensi penderita selaku orang spesialnya dalam pengumpulan keputudan kedokteran serta gimana dokter membuat kemesraan itu lewat komunikasi yang efisien. Sepanjang ini dokter menaruh dirinya dalam ketetapan kedokteran selaku guardian serta yang sangat serba ketahui, alhasil independensi penderita kurang menemukan tempat. Pola ikatan dokter serta penderita semacam ini bisa diibaratkan selaku ikatan antara papa serta anak ataupun ikatan yang bertabiat paternalistik.

 

B. Kerugian Pasien Dari Perspektif Perlindungan Konsumen

Kerugian dalam UUPK dalam postingan 19 bagian 1 yang berkata pelakon usaha bertanggung jawab memberikan ganti luka atas kebangkrutan, dan atau kehabisan klien akibat komsumsi barang atau jasa yang diperdagangkan. Dengan begitu UUPK melainkan kehilangan pelanggan dengan kehancuran, kontaminasi dengan tutur lain, kehancuran serta kontaminasi produk belum dikira selaku kehilangan pelanggan.

Hak atas kehilangan ialah hak pelanggan buat mendapatkan ubah cedera kepada kehilangan yang dialami ataupun kendala kesehatannya. Hukum Nomor 8 Tahun 1999 hal Perlindungan Klien, Postingan 4 huruf h, menyebutkannya dengan hak untuk mendapatkan ubah cedera, ganti luka dan ataupun atau pengalihan, apabila barang dan ataupun atau jasa yang didapat tidak sesuai dengan akad atau tidak sedemikian itu pula mestinya.

Pengkelompokan kehilangan bagi Tilman sebagaiman diambil oleh samsul misalnya: awal, cidera pada konsumenm (perorangan injury); kedua, kegiatan pada produk itu sendiri serta kehancuran pada harta barang lain (injury to the product some other propert) serta kehilangan ekonomi (pure economic loss). Pure economic loss kemudian digolongkan dalam dua bentuk yaitu, direct economic close, dan indirect economic closedirect economic close meliputi loss of bargain, out of pocket economic dan cost of replacement and repair. Sedangkan yang termasuk indirect economic loss adalah loss of exppectation profit.

Jenis kerugian pertama dikategorikan sebagai kerugian langsung, sedangkan kedua adalah kerugian tidak langsung atau kerugian yang bersifat konsekuensial. Kerugian yang bersifat langsung melipiti loss of bargain yang diukur dengan beda antara angka produk pelayanan yang diperoleh serta angka produk pelayanan yang diarahkan out of pocket expenses yang diukur dengan beda angka antara harga jual produk (benda ataupun pelayanan) serta angka produk yang diterim, serta cost of replacement or repair ialah bayaran yang dikeluarkan buat membenarkan ataupun mengubah produk yang cacat.

Sebaliknya indirect economic loss ialah kehilangan yang berbentuk akibat serta kehabisan suatu yang telah diharapkan oleh pelanggan. Contohnya adalah penggunggat kehilangan atas kesempatan bisnis di masa mendatang (kehilngan keuntungan dan gaji) atau kerugian akibat tidak dapat menggantikan produk jasa. Disamping itu, Guido Calabresi sebagaimana dikutip oleh inosentus samsul, mengidentifikasi tiga biaya yang dihasilkan dari suatu kecelakaan, Pertama, biayayang berkaitan dengan kerusakan pada pihak yang menderita cidera janji atau kecelakaan. Biaya ini termasuk ongkos-ongkos untuk rumah sakit dan kehilangan kemampuan untuk memperoleh pendapatan.

Kedua adalah biaya yang disebut the societal cost resulting from accidents. Biaya ini bersifat relative karena tidaklah sama antara konsumen yang satu dengan konsumen lainnya, tergantung dari social yang serata social dan tingkat kehidupannya.

Ketiga adalah biaya atau ongkos yang berkaitan biaya dalam proses pengadilan. Cedera fisik dan/atau mental,cacat dan kematian sebagai akibat dariyang rusak atau dari pelayanan jasa kedokteran, merupakan kerugian paling dominan dialami oleh konsumen. Disamping itu, kerugian atau kerusakan terhadap harta lain juga merupakan bentuk kerugian yang banyak dialami oleh konsumen.

 

 

 

C. Tanggung Jawab dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen

Pengatuuran yang menata ikatan antara pelanggan serta pelakon upaya itu, pula bisa digunakan selaku bawah desakan penderita buat memohon ubah kehilangan pada dokter. Watak konsumeristik dari jasa kesehatan nampak dari terbentuknya perpindahan paradigma jasa kesehatan dari awal bertabiat sosial berganti jadi bertabiat menguntungkan dimana penderita wajib menghasilkan bayaran yang lumayan besar buat usaha kesehatannya (Hariyani, 2005).

Terdapat lima hak dasar konsumen yang disepakati Warga eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap ataupun EEG), ialah hak proteksi kesehatan serta keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), hak proteksi kebutuhan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), hak menemukan ubah cedera (recht op schadevergoeding), hak atas pencerahan (recht op voorlichting en vorming), serta hak buat didengar( recht om te worden gehord) (Miru & Yodo, 2008).

Ikatan dokter- pasien bisa dianalogikan selaku ikatan produsen- konsumen tertuang didalam artikel 19 hingga dengan 28 UndangUndang Proteksi Pelanggan yang menata mengenai tanggung jawab dokter ataupun dokter gigi selaku pelakon upaya. Bagi artikel 19 Hukum Proteksi Pelanggan, tanggung jawab pelakon upaya yakni membagikan ubah cedera pada pelanggan selaku imbas kebangkrutan, pencemaran, dan ataupun atau komsumsi barang dan ataupun atau jasa yang didapat atau diperdagangkan oleh pelakon upaya yang berhubungan. Ubah cedera itu tidak senantiasa berbentuk pembayaran beberapa duit, namun bisa pula berbentuk penyilihan barang dan ataupun atau jasa yang sejenis atau cocok nilainya, atau berupa perawatan kesehatan dan ataupun atau pemberian dorongan sesuai dengan peraturan perundang- ajakan yang sah (Nugroho, 2008).

 

D. Tanggung Jawab berdasarkan Keperdataan

Tanggung jawab perdata seorang dokter dari perpektif perlindungan terjadi pada tahap purna-transaksi. Konsumen (pasien) yang mengkonsumsi/ menggunakan jasa dokter akan mengetahui apakah upaya yang diberikan dokter tersebut menimbulkan dampak yang merugikan pasien atau dasar hukumnya pasal 19 ayat (1) serta (2).

Kehilangan yang dirasakan oleh pelanggan pelayanan medis( penderita) itu bisa disebabkan oleh kekeliruan ataupun kelengahan yang dicoba oleh dokter ataupun sebab wanprestasi. Kekeliruan, kelengahan serta kehilangan sudah jadi bagian dar� pencatatan Buku Hukum Hukum Awas (KUHPerdata) ialah Artikel 1365 dan Pasal 1366 ataupun Aksi Melawan Hukum, serta wanprestasi bersumber pada Artikel 1239 KUHPerdata. Aksi melawan hukum serta wanprestasi ialah bawah pengajuan gugatan.

Berdasarkan adanya kerugian secara materill, dalam hal ini Wanprestasi merupakan sesuatu kondisi dimana seorang ataupun subyek kurang ataupun tidak menaati syarat- syarat yang tercetak dalam sesuatu akad. Bagi ilmu hukum awas, seseorang bisa dibilang melaksanakan wanprestasi bila tidak melaksanakan yang disanggupi hendak dicoba, telanjur melaksanakan apa yang dijanjikan hendak dicoba, melakukan yang disepakatti, namun bukan cocok dengan yang dijanjikan, serta melaksanakan suatu yang bagi akad tidak bisa dicoba (Anny, 2006).

Maka seharusnya dibutuhkannya kontrak atau perjanjian terlebih antara dokter dengan pasien. UUPK juga mengatur mengenai kewajiban usaha beritikad baik dan bagikan ubah cedera, ganti luka, dan ataupun atau peng apabila barang dan ataupun atau jasa yang didapat atau dipakai oleh konsume sesuai dengan akad yang diklaim dalam merk, akhlak, uraian, advertensi penjualan barang dan ataupun atau jasa itu (Ameln, 1991).

 

F. Tanggung Jawab Secara Administratif

Tanggung jawab ini timbul bila pelaku usaha (dokter) melakukan kesalah kelalaian terhadap pasien (konsumen) kemudian digugat oleh pasien melalui Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana dijelaskan Pasal 60 UUP. BPSK merupakan pihak ketiga yang memfasilitasi upaya penyelesaian sengketa sengketa konsumen secara mediasi, konsiliasi dan arbitrase (Pasal 52 butir (a). BPSK hanya menjadi mediator, konsiliator atau arbitor dalam upayanya menyelesaikan sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK hanya menyelesaikan gugatan ganti kerugian secara perdata.

Istilah keputusan dipakai apabila penyelesaian sengketa konsumen dilakukan secara konsilasi atau mediasi yang merupakan kesepakatan para pihak yang dibuat dalam akad tercatat serta ditandatangani oleh pelanggan serta pelakon upaya yang berhubungan. Akad tercatat itu dikuatkan dengan ketetapan badan ditandatangani oleh Pimpinan serta Badan Badan. Ketetapan Badan dengan cara telak serta perantaraan tidak muat ganjaran administratif. Sebaliknya penanganan pelanggan dengan cara arbitrase oleh BPSK muat ganjaran administratif, sayangnya, hingga saat ini belum terdapat determinasi hal aturan metode penentuan administratif oleh BPSK begitu juga diamanatkan Artikel 60 ayat 3 UUPK.

 

G. Tanggung Jawab Secara Etika

Aksi dokter dikategorikan selaku aksi yang tidak benar bila berte dengan etika pekerjaan, bagus yang tercatat ataupun yang tidak tercatat. Etika profe tercatat diucap Isyarat Etik Medis (KODEKI) serta yang tidak tercatat merupakan pekerjaan dokter. Artikel 2 KODEKI menuntut seseorang dokter mempraktikkan dimensi. Penafsiran standar pekerjaan dituturkan pada Uraian Artikel 53 bagian (2) Undang Undang Kesehatan yang berkata kalau standar pekerjaan merupakan prinsip yang wajib dipergunakan selaku petunjuk dalam melaksanakan pekerjaan dengan cara bagus. Determinasi mmengenai standar pekerjaan begitu juga diartikan bagian (2) itu itu diresmikan dengan Peraturan Penguasa.Namun, sampai saat ini pemerintah dan organisasi profesi dokter belum membuat standar profesi dokter sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Kesehatan.

Perumusan standar (ukuran) profesi dokter yang dianggap paling lengkap adalah perumusan yang dibuat oleh Prof. HJJ Leenen. Menurut Leenen, aksi kedokteran diucap lege bintang film bila aksi itu sudah dicoba cocok dengan standar pekerjaan. Rumusannya merupakan selaku selanjutnya: Sesuatu aksi medik seseorang dokter cocok dengan standar pekerjaan kedokteran( medis) bila dicoba dengan cara cermat cocok dimensi kedokteran, selaku seseorang dokter yang mempunyai keahlian pada umumnya( average) dibandingkan dengan dokter dari kemampuan kedokteran yang serupa, dalam suasana serta situasi yang serupa, dengan alat usaha yang penuhi analogi yang alami( sepadan) dibandingkan dengan tujuan konkrit aksi kedokteran khusus.

Ketiadaan pengaturan mengenai standar profesi yang berbentuk perundang-undangan menyebabkan setiap pelanggaran terhadap standar (ukuran dokter diselesaikan oleh organisasi profesi (IDI) berdasarkan Kode Etik Kedokteran Undang Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sekaran menyebutkan kewajiban pelaku usaha (dokter) dalam memperdagangkan sesuai dengan standar yang berlaku. Untuk menentukan ada atau penyimpangan terhadap standar profesi dalam hal pembuktiannya terpaksa meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada IDI karena ketidaktahuan konsumen mengenai aturan standar (ukuran) mana yang dilanggar oleh dokter (pelaku usaha).

Secara Prosedur Penyelesaian Sengketa Medis Oleh MKDKI Dalam Upaya Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dewan Agung lewat Pesan Edarannya:( SEMA) tahun 1982 sudah membagikan bimbingan pada para Juri, kalau penindakan kepada permasalahan dokter ataupun daya kesehatan yang lain yang diprediksi: melaksanakan kelengahan ataupun kekeliruan dalam melaksanakan aksi ataupun jasa kedokteran supaya janganlah langsung diproses lewat rute hukum, namun dimintakan dahulu opini dari Badan Martabat Etik Medis( MKEK).

Dikala ini MKEK gunanya digantikan oleh Badan Martabat Patuh Medis Indonesia (MKDKI) sesuatu badan bebas yang terletak dibawah Konsil Medis Indonesia (KKI), dalam Artikel 29 Hukum Kesehatan berkata, kalau dalam perihal daya kesehatan diprediksi melaksanakan kelengahan dalam melaksanakan pekerjaannya, kelengahan itu wajib dituntaskan terlebih dulu lewat perantaraan (namun tidak disebut lembaga mediasinya).

 

H. Analisa Kasus Dokter sebagai Pemberi Jasa Pelayanan Medis atau Kesehatan atas tindakan medis yang buruk pada Putusan No. 34/Pdt.G/2014/PN.Atb

Pada umunya masing- masing orang wajib bertanggung jawab kepada tiap aksi ataupun aksi yang mereka jalani. Membagikan jasa pada penderita ialah tepercaya dari Tuhan Yang Maha Satu yang dipercayakan pada para dokter selaku pengemban pekerjaan agung yang wajib dipertanggungjawabkannya pada Si Inventor. Dalam hukum perlindungan pelanggan, terdapat ketergantungan aspek- aspek hukum publik (hukum kejahatan, hukum administrasi) dan hukum privat (hukum awas) Hal ini menunjukkan kalau hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi. Kaidah - kaidahdan putusan - putusan hukum yang dengan cara khusus mengatur kegiatan dalam kehidupan ekonomi ialah pengertian dari hukum ekonomi (Hartono, 1988).

Bahwa berdasarkan dalam duduk perkara pada tanggal 1 Desember 2014 Tuan Farquq Salim disebut Penggugat I sebagai pasien dan Bapak Salim Atubel sebagai Wali Pengampu pasien disebut sebagai Penggugat II telah mengajukan gugatan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Klas IB Atambua tertanggal 4 Desember 2014 terhadap Pemerintah Kabupaten Belu Cq. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua disebut sebagai Tergugat I dan Dr. Suroso, SpB disebut sebagai Tergugat II.

Petisi itu bermuatan hal asumsi malpraktek yang dicoba oleh Regu Dokter yang terletak di dasar tanggung jawab Tergugat I dengan telah berulang kali menunda, bahkan tidak pernah melakukan debridemen sesuai dengan ketentuan medis tanpa alasan yang patut, kelalaian berat (culpa lata) yang serius dan bersifat kriminal, serta penyimpangan dari kewajiban (direliction of duty).

Kelengahan kedokteran merupakan salah satu wujud dari malpraktik kedokteran, sekalian ialah wujud malpraktik kedokteran yang sangat kerap terjalin. Pada dasarnya kelengahan terjalin bila seorang dengan tidak terencana, melaksanakan suatu (komisi) yang sepatutnya tidak dicoba ataupun tidak melaksanakan suatu (omisi) yang sepatutnya dicoba oleh orang lain yang mempunyai kualifikasi yang serupa pada sesuatu kondisi serta suasana yang serupa (Ratman, 2014). Akibat dari tindakan medik para Tergugat tersebut bukan membuat pasien sembuh akan tetapi membuat keadaan Penggugat I cacat permanen pada tangan kanan dan kaki kiri, semata-mata adalah perbuatan dan tindakan dari Tergugat I dan Tergugat II. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa Penggugat I akan menderita seumur hidupnya.

Berdasarkan duduk perkara tersebut adanya posisi kasus yang menjelaskan awal mula terjadinya kelalaian dalam medik yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II yaitu pada tanggal 28 November 2013 Penggugat I mengalami luka bakar akibat terjatuh diapi saat terjadi serangan epilepsy. kemudian Penggugat II membawanya untuk mendapatkan perawatan medis di Rumah Sakit Umum Atambua. Pada tanggal yang sama pihak rumah sakit memberikan diagnosa bahwa Penggugat I mengalami luka bakar pada kulit dan daging tingkat derajat ke III dengan presentase kurang lebih 25% pada wajah, leher, dada, anggota gerak atas kanan dan kiri, dan anggota gerak kiri, sehingga Penggugat I menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Mgr. Gabriel, SVD. Atambua dan kemudian dilakukan Debridemen kepada Penggugat I.

Sejak tanggal 29 November 2013 sampai tanggal 21 Desember 2013, pihak rumah sakit menyodorkan formulir untuk ditandatangani oleh Penggugat II sebagai dasar bagi pihak rumah sakit dan Dr. Suroso, SpB untuk melakukan tindakan Debridemen untuk beberapa kali pada kulit dan atau lemak yang nekrosis dengan tanpa melakukan operasi dalam bentuk apapun terhadap bagian otot, tendon, atau tulang jari-jari ataupun tulang tempurung. Penggugat II diminta oleh pihak rumah sakit untuk menandatangani formulir-formulir persetujuan untuk melakukan Debridemen terhadap luka-luka yang dialami Penggugat I, namun pada kenyataannya tidak ada dan selalu terjadi penundaan untuk melakukan tindakan Debridemen sesuai dengan kewajiban profesi dokter. Hal itu menyebabkan Penggugat I mengalami kesakitan hingga terjadi pembusukan pada kulit dan pada jari-jari tangan kanan hingga rontok satu persatu sehingga menyebabkan cacat permanen untuk seumur hidup Penggugat I. Tindakan dari pihak rumah sakit dan dokter merupakan tindakan pembiaran dan kelalaian berat yang serius dan bersifat kriminal.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan dari tinjauan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan hukum antara pasien dengan tenaga kesehatan, dalam perspektif undang-undang perlindungan konsumen, dimana hubungan bersifat asimetris dan dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen, atas sebab itu, dibutuhkan perundang-undangan yang dapat melindungi pihak konsumen sebagai pengguna jasa rumah sakit (pasien) terhadap kerugian yang mungkin ditimbulkan atas penggunaan jasa rumah sakit. Pada tinjauan, undang-undang perlindungan konsumen tidak hanya semenamena melindungi pasien, tetapi juga melindungi pemberi jasa, jika ternyata pasien tidak bisa membuktikan kerugian yang terjadi adalah akibat dari pemberi jasa.

Berdasarkan dari tinjauan selanjutnya, terhadap tanggung jawab hukum dokter dari perspektif perlindungan konsumen, dimana undang-undang yang mengatur hubungan antara konsumen dan pelaku, dapat dipakai sebagai dasar tuntutan pasien untuk meminta ganti kerugian kepada dokter. Tanggung jawab seorang dokter, telah diatur dalam kode etik kedokteran yang disempurnakan oleh organisasi profesi (IDI). Tanggung jawab pidana dapat muncul apabila dibuktikan adanya perbuatan yang tidak sesuai, seperti perbuatan melawan hukum, kesalahan pihak dokter, dan kerugian pada pihak pasien. Sebaliknya, dokter juga dapat menuntut pasien atas dasar wanprestasi.

 

BIBLIOGRAFI

Ameln, Fred. (1991). Kapita selekta hukum kedokteran. Grafikatama Jaya.

Anny, Isfandyarie. (2006). Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta.

Dokter, Guwandi J. (1996). Pasien dan Hukum. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Effendy, Onong Uchjana. (2011). Ilmu komunikasi teori dan praktek.

Hadiyanto, Hadiyanto. (2020). Peran Dokter Di Layanan Primer Pada Era Pandemi Covid-19. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan: Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 7(3), 165�174.

Hariyani, Safitri. (2005). Sengketa medik: alternatif penyelesaian perselisihan antara dokter dengan pasien. (No Title).

Hartono, C. F. G. Sunaryati. (1988). Hukum ekonomi pembangunan Indonesia.

Ishaq, Yanuar. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER YANG DI DUGA MALPRAKTIK. Universitas Narotama.

Koeswadji, Hermien Hadiati. (1998). Hukum kedokteran: studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter sebagai salah satu pihak. Citra Aditya Bakti.

Lumenta, Benjamin, & Prawiranegara, Dradjat D. (1989). Pasien: citra, peran, dan perilaku: tinjauan fenomena sosial. Kanisius.

Miru, Ahmadi, & Yodo, Sutarman. (2008). Hukum perlindungan konsumen.

Nugroho, Susanti Adi. (2008). Proses penyelesaian sengketa konsumen ditinjau dari hukum acara serta kendala implementasinya.

Ratman, Desriza. (2014). Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malpraktek Medik. Bandung: Keni Media.

Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (2002). Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Turnip, Helena, & Soewondo, Prastuti. (2022). Analisis Manajemen Anggaran Pada Rumah Sakit Rujukan Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 7(2), 124�132.

 

Copyright holder:

Ardiansa Dwi Nanda Putra (s) (2023)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: