Volume
4, No. 12 Desember 2023
p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356
DOI:�
https://doi.org/
PERLINDUNGAN
KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN ANTARA PASIEN DENGAN TENAGA MEDIS DOKTER
Ardiansa Dwi Nanda Putra
Universitas
Kristen Indonesia
Email:
Abstrak:
Tujuan penelitian ini untuk mengenali serta menganalisa ikatan antara dokter
dengan penderita dalam perspektif hukum proteksi pelanggan Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian
hukum normatif, dengan pendekatan penelitian mengunakan perundang-undangan, konsep dan jenis sumber data dengan data sekunder serta teknik analisis
data secara deskriptif kualitatif. Pembahasan: Penelitian ini mengkaji hubungan dokter dan pasien dalam perspektif undang-undang perlindungan konsumen, selanjutnya tentang kerugian pasien atas tindak
medis secara umum, selanjutnya akan meninjau tentang
tanggung jawab hukum dokter dari
perlindungan konsumen secara perdata. Kesimpulan: Terdapat hubungan asimetris antara dokter dan pasien, dan dibutuhkan undang-undang yang dapat melindungi pihak konsumen. Tanggung jawab dokter, telah diatur
dalam kode etik kedokteran, tanggung jawab pidana dapat muncul
apabila dibuktikan adanya perbuatan yang tidak sesuai.
Kata kunci: Perlindungan
konsumen, pelayanan kesehatan dan tenaga medis (dokter)
Abstract:
The purpose of this
study is to recognize and analyze the bond between
doctors and sufferers in the perspective of customer protection law The type of
research used in writing this law is normative legal research, with a research
approach using legislation, concepts and types of data sources with secondary
data and qualitative descriptive data analysis techniques. Discussion: This
study examines the relationship between doctors and patients in the perspective
of consumer protection law, then about patient losses for medical acts in
general, then will review the legal responsibility of doctors from consumer
protection in civil terms. Conclusion: There is an asymmetric relationship
between doctors and patients, and laws are needed that protect consumers. The
responsibility of doctors, which has been regulated in the code of medical
ethics, criminal responsibility can arise if it is proven that there are
inappropriate acts.
Keywords: Consumer protection,
healthcare and medical personnel (doctors)
PENDAHULUAN
Manusia selaku insan sosial
menginginkan interaksi dengan sesamanya buat memberi rasa, beralih benak serta
kemauan, bagus dengan cara langsung
ataupun tidak langsung, lisan ataupun nonverbal. Perihal ini dengan cara
natural tertancap dalam diri tiap orang, serta dengan cara
natural pula dicoba semenjak
lahir. Dengan berbicara orang bisa silih berkaitan satu serupa lain bagus selaku orang ataupun golongan dalam kehidupannya (Effendy, 2011).�
Salah satu kehadiran orang dimana individu itu menginginkan sesamanya amat dialami kala orang itu dalam kondisi sakit.
Keinginan yang penting untuk orang itu merupakan keinginan hendak terdapatnya orang lain
yang bisa menolong menyembuhkan yang dideritanya serta alat yang digunakan buat prosedur pengobatan. Orang yang diartikan merupakan dokter serta alat
yang diartikan yakni rumah sakit. Dokter selaku daya kesehatan
merupakan orang yang mengabdikan
diri didalam aspek kesehatan, yang mempunyai wawasan serta keahlian lewat pembelajaran dibidang medis yang membutuhkan wewenang buat membiarkan usaha kesehatan (Lumenta & Prawiranegara, 1989);(Hadiyanto, 2020).
Ikatan antara dokter serta penderita
di satu pihak dokter yang membaik serta pakar di bidangnya tengah itu pihak pengidap
yang dalam kondisi sakit serta biasa
hal penyakit (Ishaq, 2019). Atas bawah inilah, hingga Wila Candrawila Supriadi mencatat kalua
�Pada mulanya antara dokter serta penderita
tercipta ikatan medik, dalam jalinan
medik ini kedudukan dokter dan pengidap tidak proporsional. Selanjutnya dilaporkan, pada ikatan dokter dan pengidap terwujud jalinan sosial, karena antara dokter dan pengidap terangkai interaksi sosial yang diatur oleh kaidah- kaidah social non hukum. Kecuali itu seluruh,
hubugan dokter serta penderita merupakan pula ikatan hukum. Pada jalinan hukum ini peran
dokter serta pengidap ialah seimbang.
Dalam ikatan rumah sakit
serta penderita, hingga rumah sakit
berada selaku alat yang memiliki independensi buat melaksanakan ikatan hukum dengan penuh
tanggung jawab (Turnip &
Soewondo, 2022).
Pada biasanya ikatan hukum yang terjalin di rumah sakit amat
bermacam- macam serta lingkungan. Perihal ini diakibatkan
kalau jalinan hukum yang terangkai dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit tetap menyangkutkan
beragam pihak.
Ikatan antara dokter serta jasa
kesehatan, legal selaku kewajiban dorongan. Maksudnya, juru rawat dalam aksi
medik cuma hingga menolong dokter, oleh kerena itu yang wajib dicoba juru rawat
cocok dengan perintah serta petunjuk dokter Ahli jaga tidak bertanggung mendakwa atas kelalaian
dokter, di ayo sah legal verlengde arm van de artsdoctrine (anutan perpanjangan tangan dokter).
Kewajiban Rumah Sakit selaku Institusi jasa kesehatan adalah membagikan jasa kesehatan yang baik, serta bertanggungjawab kepada warga paling utama di area cakupannya. Sebaliknya guna rumah sakit merupakan
menyelenggarakan jasa spesialistik ataupun medik inferior serta jasa subspesialistik ataupun medik tersier.
Salah satu tujuan hukum
kesehatan merupakan mencegah kebutuhan penderita, disamping tujuan lain semacam meningkatkan mutu pekerjaan daya kesehatan. perihal ini bukan berarti
kalau kebutuhan penderita kebutuhan penderita wajib senantiasa diunggulkan, maksudnya merupakan keserasian antara kebutuhan penderita serta kebutuhan daya kesehatan (misalnya dokter, juru rawat serta
lain- lain) serta alat kesehatan (misalnya rumah sakit) (Subekti & Tjitrosudibio, 2002).
Hubungan dokter dan pasien berdasarkan kepercayaan, kini mulai goyah. Salah satu penyebabnya adalah perkembangan sains dan teknologi, perkembangan jaman, bertambahnya kecerdasan masyarakat, pandangan hidup dan sebagainya. Nilai dan
norma mulai terpengaruh
oleh budaya asing yang juga
memberikan dampaknya kepada pandangan hidup masyarakat kita. Terlebih lagi globalisasi sehingga dapat dikatakan batas- batas negara seakan
dihilangkan. Apa yang terjadi di suatu tempat dalam beberapa
menit saja sudah diketahui negara lain. Saat
ini kita dalam era pancaroba. Angka serta norma lama sedang belum dilepaskan segenap, sebaliknya poin serta norma terkini telah menekan
masuk serta pengaruhi ke dalam
aturan hidup serta pemikiran hidup warga (Dokter, 1996).
Berdasarkan latar belakang
diatas maka rumussan masalah yang terdiri dari: 1) Bagaimana ikatan hukum antara pasien
dengan daya kedokteran (dokter) dalam perspektif hukum proteksi pelanggan? 2) wujud tanggung jawab daya kedokteran (dokter) kepada kehilangan penderita dari perspektif perlindungan konsumen?
Adapun tujuan penelitian ini bersumber pada kesimpulan permasalahan terbagi menjadi dua tujuan, yaitu: 1) Buat mengenali serta menganalisa ikatan antara dokter
dengan penderita dalam perspektif hukum proteksi pelanggan; 2) Buat mempelajari serta menelaah tanggung jawab dokter kepada
kehilangan penderita dari perspektif proteksi pelanggan serta gimana tanggung
jawab dokter pada pengidap pada aksi kedokteran yang buruk. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: mampu bisa berguna
untuk pengembangan ilmu wawasan di aspek ilmu hukum
pada biasanya dan masalah
Awas hal proteksi penderita pada spesialnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini yang digunakan dalam kategorisasi hukum ini merupakan studi
hukum normatif yakni studi yang dicoba dengan metode
menekuni modul pustaka atau data inferior yang terdiri dari modul
hukum utama, modul hukum inferior, dan modul hukum tersier
dari masing- masing hukum normatif. Materi- modul itu disusun dengan
metode analitis, dikaji, sehabis itu dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan
dalam hubungannya dengan kasus yang diteliti.
Studi hukum ini apabila dicermati
dari cirinya yakni riset diskriptif,
yang dimaksud selaku sesuatu metode jalan keluar permasalahan
yang diawasi pada dikala saat ini bersumber
pada kenyataan yang nampak ataupun begitu juga terdapatnya. Dalam riset ini hendak diawasi
hal proteksi penderita selaku pelanggan pelayanan aspek kedokteran dalam KUHPerdata, dan wujud perlindungannya. Dalam riset hukum diketahui
terdapatnya sesuatu pendekatan riset. Pendekatan itu membolehkan diperolehnya balasan yang diharapkan atas kasus hukum
yang terdapat. Pendekatan
yang digunakan dalam riset hukum diantaranya:
a) Pendekatan perundang- ajakan (statue approach). b) Pendekatan
abstrak (conceptual approach)
Dalam riset ini hendak memakai
pendekatan konseptual
(conceptual approach) hal permasalahan
permasalahan penguatan proteksi penderita dan dipakai pendekatan perundang-ajakan (statue approach) paling utama pengaturan dalam KUHPer serta
Undang Undang yang mengatur proteksi pelanggan selaku instrumen hukumnya. Tipe pangkal informasi
yang dipakai dalam riset thesis ini merupakan informasi inferior ialah informasi yang didapat dari materi
pustaka berbentuk keterangan- penjelasan yang dengan cara tidak
langsung didapat lewat riset daftar pustaka, materi- materi dokumenter, tulisan- catatan objektif serta sumber- sumber
tercatat yang lain. Penafsiran
informasi inferior merupakan
informasi yang pada biasanya
terdapat dalam kondisi sedia dibuat
(readymade) serta wujud ataupun isi informasi
inferior sudah dibangun serta diisi oleh peneliti- peneliti terdahulu.
Aktivitas yang hendak dicoba dalam pengumpulan
informasi dalam riset ini ialah
Riset Pustaka dengan metode
pengenalan isi. Perlengkapan pengumpulan informasi dengan mengenali isi dari
informasi inferior didapat dengan metode membaca,
menelaah, serta menekuni materi pustaka bagus berbentuk
peraturan perundang- undangan, postingan, dari internet, artikel kolokium nasional, harian, akta, serta
data- data lain yang memiliki hubungan
dengan informasi riset ini.
Metode analisa informasi yang dipakai dalam riset hukum
ini memakai deskriptif analitis kualitatif, ialah pola pikir buat
menarik kesimpulan dari kasus- kasus
perseorangan jelas jadi kesimpulan yang bertabiat biasa. Pada dasarnya pengerjaan serta analisa informasi
tergantung pada tipe informasinya. Pada riset hukum berjenis normatif, hingga dalam memasak serta
menganalisa materi hukum pokok, materi
hukum inferior serta materi hukum tersier
tidak bisa bebas dari bermacam
pengertian hukum yang diketahui dalam ilmu hukum.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum Pasien
dan Tenaga Kesehatan
Rumah sakit selaku sarana jasa kesehatan pada prinsipnya berperan buat
melakukan jasa kesehatan sempurna, yang mencakup usaha melindungi, promotif,
kuratif dan rehabilitatif. Dengan sedemikian itu dalam upaya pelayanan
kesehatan sampai rumah sakit melakukan seluruh cara aktivitas jasa, yang
senantiasa mengaitkan bermacam pekerjaan daya kesehatan. Dalam ikatan rumah
sakit serta penderita, hingga rumah sakit berada selaku alat yang memiliki
independensi buat melaksanakan ikatan hukum dengan penuh tanggung jawab.� Pada biasanya ikatan hukum yang terjalin di
rumah sakit amat bermacam- macam serta lingkungan. Perihal ini diakibatkan
kalau ikatan hukum yang terjalin dalam jasa kesehatan di rumah sakit senantiasa
mengaitkan bermacam pihak. Berikutnya, dalam hubungan ini butuh dikemukakan
gimana ikatan hukum ataupun habitat dalam usaha jasa kesehatan yang mengaitkan
dokter, juru rawat, rumah sakit serta penderita.
Hubungan keperdataan yang akan diperoleh, yakni Koeswadji (1998): 1) Hubungan antara dokter serta
rumah sakit, bisa didasarkan pada akad kegiatan ataupun
akad perburuhan untuk rumah sakit
swasta, sebaliknya untuk rumah sakit
penguasa legal hukum kepegawaian yang masuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negeri (HAN). 2) Ikatan
antara rumah sakit dan pengidap, diatur melalui verzorgingsovereenkomst (akad keperawatan) yang digolongkan selaku akad buat melaksanakan pelayanan khusus (Artikel 1601 KUHPerdata).
Rumah sakit membahu bobot tanggung memerkarakan bila jasa kesehatan yang diserahkan juru rawat di dasar standar pekerjaan, oleh karenannyadi mari legal ajaran corporate liability.
Ikatan hukum dokter- pasien serta rumah
sakit bukan cuma terjalin disebabkan
terdapat akad melainkan pula bersumber pada undang undang (ius delicto). Ikatan antara dokter dengan
penderita berasal dari pola ikatan
yang bertolak dari prinsip" father knows best" yang melahirkan ikatan bertabiat paternalistik. Dokter bersumber pada prinsip ini, dalam ikatan
paternalistik hendak memperjuangkan buat berperan selaku" ayah yang bagus"
dengan cara teliti serta hati-
hati cocok dengan wawasan serta keterampilannya di perolehnya lewat pembelajaran yang susah serta jauh.
Pada prinsipnya dalam ikatan antara dokter
serta penderita terdapat 2 perihal berarti yang wajib dicermati ialah gimana dokter menaruh
independensi penderita selaku orang spesialnya dalam pengumpulan keputudan kedokteran serta gimana dokter
membuat kemesraan itu lewat komunikasi
yang efisien. Sepanjang ini dokter menaruh
dirinya dalam ketetapan kedokteran selaku guardian serta yang sangat
serba ketahui, alhasil independensi penderita kurang menemukan tempat. Pola ikatan dokter serta
penderita semacam ini bisa diibaratkan
selaku ikatan antara papa serta anak ataupun ikatan
yang bertabiat paternalistik.
B. Kerugian Pasien Dari Perspektif Perlindungan Konsumen
Kerugian dalam UUPK dalam postingan 19 bagian 1 yang berkata pelakon usaha bertanggung
jawab memberikan ganti luka atas
kebangkrutan, dan atau kehabisan klien akibat komsumsi barang atau jasa
yang diperdagangkan. Dengan
begitu UUPK melainkan kehilangan pelanggan dengan kehancuran, kontaminasi dengan tutur lain, kehancuran
serta kontaminasi produk belum dikira
selaku kehilangan pelanggan.�
Hak atas kehilangan ialah hak pelanggan buat
mendapatkan ubah cedera kepada kehilangan
yang dialami ataupun kendala kesehatannya. Hukum Nomor 8 Tahun 1999 hal Perlindungan Klien, Postingan 4 huruf h, menyebutkannya dengan hak untuk mendapatkan
ubah cedera, ganti luka dan ataupun atau pengalihan,
apabila barang dan ataupun atau jasa
yang didapat tidak sesuai dengan akad
atau tidak sedemikian itu pula mestinya.
Pengkelompokan kehilangan bagi Tilman sebagaiman diambil oleh samsul misalnya: awal, cidera pada konsumenm (perorangan injury); kedua, kegiatan pada produk itu sendiri serta
kehancuran pada harta barang lain (injury to the product some other propert) serta kehilangan ekonomi (pure economic
loss). Pure economic loss kemudian digolongkan dalam dua bentuk yaitu, direct economic
close, dan indirect economic closedirect economic
close meliputi loss of bargain, out of pocket
economic dan cost of replacement and repair. Sedangkan
yang termasuk indirect economic loss adalah loss of exppectation
profit.
Jenis kerugian pertama dikategorikan sebagai kerugian langsung, sedangkan kedua adalah kerugian
tidak langsung atau kerugian yang bersifat konsekuensial. Kerugian yang bersifat langsung melipiti loss of bargain
yang diukur dengan beda antara angka
produk pelayanan yang diperoleh serta angka produk pelayanan
yang diarahkan out of pocket expenses yang diukur dengan beda
angka antara harga jual produk
(benda ataupun pelayanan) serta angka produk yang diterim, serta cost of
replacement or repair ialah bayaran
yang dikeluarkan buat membenarkan ataupun mengubah produk yang cacat.
Sebaliknya indirect economic loss ialah
kehilangan yang berbentuk akibat serta kehabisan
suatu yang telah diharapkan oleh pelanggan. Contohnya adalah penggunggat kehilangan atas kesempatan bisnis di masa mendatang (kehilngan keuntungan dan gaji) atau kerugian
akibat tidak dapat menggantikan produk jasa. Disamping
itu, Guido Calabresi sebagaimana
dikutip oleh inosentus samsul, mengidentifikasi tiga biaya yang dihasilkan dari suatu kecelakaan, Pertama, biayayang berkaitan dengan kerusakan pada pihak yang menderita cidera janji atau kecelakaan.
Biaya ini termasuk ongkos-ongkos untuk rumah sakit
dan kehilangan kemampuan untuk memperoleh pendapatan.
Kedua adalah biaya yang disebut the societal
cost resulting from accidents. Biaya ini bersifat relative karena tidaklah sama antara konsumen
yang satu dengan konsumen lainnya, tergantung dari social yang serata social dan tingkat kehidupannya.
Ketiga adalah biaya atau ongkos
yang berkaitan biaya dalam proses pengadilan. Cedera fisik dan/atau mental,cacat
dan kematian sebagai akibat dari� yang rusak atau dari pelayanan
jasa kedokteran, merupakan kerugian paling dominan dialami oleh konsumen. Disamping itu, kerugian atau
kerusakan terhadap harta lain juga merupakan bentuk kerugian yang banyak dialami oleh konsumen.
C. Tanggung Jawab dalam Undang Undang
Perlindungan Konsumen
Pengatuuran yang menata ikatan antara pelanggan
serta pelakon upaya itu, pula bisa digunakan selaku bawah desakan
penderita buat memohon ubah kehilangan
pada dokter. Watak konsumeristik dari jasa kesehatan nampak dari terbentuknya
perpindahan paradigma jasa kesehatan dari awal bertabiat
sosial berganti jadi bertabiat menguntungkan dimana penderita wajib menghasilkan bayaran yang lumayan besar buat
usaha kesehatannya (Hariyani,
2005).
Terdapat lima hak dasar konsumen yang disepakati Warga eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap ataupun EEG), ialah hak proteksi
kesehatan serta keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid),
hak proteksi kebutuhan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), hak menemukan ubah cedera (recht op schadevergoeding), hak atas pencerahan (recht op voorlichting en vorming), serta
hak buat didengar( recht om te worden gehord)
(Miru
& Yodo, 2008).�
Ikatan dokter- pasien bisa dianalogikan
selaku ikatan produsen- konsumen tertuang didalam artikel 19 hingga dengan 28 UndangUndang Proteksi Pelanggan yang menata mengenai tanggung jawab dokter ataupun dokter gigi selaku
pelakon upaya. Bagi artikel 19 Hukum Proteksi Pelanggan, tanggung jawab pelakon upaya
yakni membagikan ubah cedera pada pelanggan selaku imbas kebangkrutan, pencemaran, dan ataupun atau komsumsi barang
dan ataupun atau jasa yang didapat atau diperdagangkan oleh pelakon upaya yang berhubungan. Ubah cedera itu tidak senantiasa
berbentuk pembayaran beberapa duit, namun bisa pula berbentuk penyilihan barang dan ataupun atau jasa yang sejenis atau cocok
nilainya, atau berupa perawatan kesehatan dan ataupun atau pemberian dorongan sesuai dengan peraturan perundang- ajakan yang sah (Nugroho,
2008).�
D. Tanggung Jawab berdasarkan Keperdataan
Tanggung jawab perdata seorang dokter dari perpektif
perlindungan terjadi pada tahap purna-transaksi. Konsumen (pasien) yang mengkonsumsi/ menggunakan jasa dokter akan
mengetahui apakah upaya yang diberikan dokter tersebut menimbulkan dampak yang merugikan pasien atau dasar hukumnya
pasal 19 ayat (1) serta (2).
Kehilangan yang dirasakan
oleh pelanggan pelayanan medis( penderita) itu bisa disebabkan oleh kekeliruan ataupun kelengahan yang dicoba oleh dokter ataupun sebab wanprestasi. Kekeliruan, kelengahan serta kehilangan sudah jadi bagian
dar� pencatatan Buku Hukum Hukum Awas (KUHPerdata) ialah Artikel 1365
dan Pasal 1366 ataupun Aksi Melawan
Hukum, serta wanprestasi bersumber pada Artikel 1239 KUHPerdata.
Aksi melawan hukum serta wanprestasi ialah bawah pengajuan
gugatan.�
Berdasarkan adanya kerugian secara materill, dalam hal ini Wanprestasi
merupakan sesuatu kondisi dimana seorang ataupun subyek kurang ataupun
tidak menaati syarat- syarat yang tercetak dalam sesuatu akad. Bagi ilmu hukum awas,
seseorang bisa dibilang melaksanakan wanprestasi bila tidak melaksanakan yang disanggupi hendak dicoba, telanjur melaksanakan apa yang dijanjikan hendak dicoba, melakukan yang disepakatti, namun bukan cocok dengan
yang dijanjikan, serta melaksanakan suatu yang bagi akad tidak
bisa dicoba (Anny,
2006).�
Maka seharusnya dibutuhkannya kontrak atau perjanjian terlebih antara dokter dengan pasien.
UUPK juga mengatur mengenai
kewajiban usaha beritikad baik dan bagikan ubah cedera,
ganti luka, dan ataupun atau peng apabila barang dan ataupun atau jasa
yang didapat atau dipakai oleh konsume sesuai dengan akad
yang diklaim dalam merk, akhlak, uraian, advertensi penjualan barang dan ataupun atau jasa itu
(Ameln,
1991).�
F. Tanggung Jawab Secara Administratif
Tanggung jawab ini timbul bila
pelaku usaha (dokter) melakukan kesalah kelalaian terhadap pasien (konsumen) kemudian digugat oleh pasien melalui Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana dijelaskan Pasal 60
UUP. BPSK merupakan pihak ketiga yang memfasilitasi upaya penyelesaian sengketa sengketa konsumen secara mediasi, konsiliasi dan arbitrase (Pasal 52 butir (a).
BPSK hanya menjadi
mediator, konsiliator atau arbitor dalam upayanya
menyelesaikan sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK hanya menyelesaikan gugatan ganti kerugian secara perdata.
Istilah keputusan dipakai apabila penyelesaian sengketa konsumen dilakukan secara konsilasi atau mediasi yang merupakan kesepakatan para pihak yang dibuat dalam akad tercatat
serta ditandatangani oleh pelanggan serta pelakon upaya yang berhubungan. Akad tercatat itu dikuatkan
dengan ketetapan badan ditandatangani oleh Pimpinan serta Badan Badan. Ketetapan Badan dengan cara telak serta
perantaraan tidak muat ganjaran administratif.
Sebaliknya penanganan pelanggan dengan cara arbitrase oleh BPSK muat ganjaran administratif,
sayangnya, hingga saat ini belum
terdapat determinasi hal aturan metode
penentuan administratif
oleh BPSK begitu juga diamanatkan
Artikel 60 ayat 3 UUPK.
G. Tanggung Jawab Secara Etika
Aksi dokter dikategorikan selaku aksi yang tidak benar bila berte
dengan etika pekerjaan, bagus yang tercatat ataupun yang tidak tercatat. Etika profe tercatat diucap Isyarat Etik Medis (KODEKI) serta yang tidak tercatat merupakan pekerjaan dokter. Artikel 2
KODEKI menuntut seseorang dokter mempraktikkan dimensi. Penafsiran standar pekerjaan dituturkan pada Uraian Artikel 53
bagian (2) Undang Undang Kesehatan yang berkata kalau standar pekerjaan
merupakan prinsip yang wajib dipergunakan selaku petunjuk dalam melaksanakan pekerjaan dengan cara bagus. Determinasi
mmengenai standar pekerjaan begitu juga diartikan bagian (2) itu itu diresmikan
dengan Peraturan Penguasa.� Namun, sampai saat
ini pemerintah dan organisasi profesi dokter belum membuat
standar profesi dokter sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Kesehatan.
Perumusan standar (ukuran) profesi dokter yang dianggap paling lengkap adalah perumusan yang dibuat oleh Prof.
HJJ Leenen. Menurut Leenen, aksi kedokteran
diucap lege bintang film bila aksi itu sudah
dicoba cocok dengan standar pekerjaan. Rumusannya merupakan selaku selanjutnya: Sesuatu aksi medik seseorang
dokter cocok dengan standar pekerjaan kedokteran( medis) bila
dicoba dengan cara cermat cocok
dimensi kedokteran, selaku seseorang dokter yang mempunyai keahlian pada umumnya( average) dibandingkan dengan dokter dari kemampuan
kedokteran yang serupa, dalam suasana serta
situasi yang serupa, dengan alat usaha
yang penuhi analogi yang alami( sepadan) dibandingkan dengan tujuan konkrit aksi kedokteran khusus.
Ketiadaan pengaturan mengenai standar profesi yang berbentuk perundang-undangan menyebabkan setiap pelanggaran terhadap standar (ukuran dokter diselesaikan
oleh organisasi profesi
(IDI) berdasarkan Kode Etik
Kedokteran Undang Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sekaran menyebutkan kewajiban pelaku usaha (dokter) dalam memperdagangkan sesuai dengan standar
yang berlaku. Untuk menentukan ada atau penyimpangan terhadap standar profesi dalam hal
pembuktiannya terpaksa meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada IDI karena ketidaktahuan konsumen mengenai aturan standar (ukuran) mana yang dilanggar oleh dokter (pelaku usaha).
Secara Prosedur Penyelesaian Sengketa Medis Oleh MKDKI Dalam Upaya Memberikan
Perlindungan Hukum Terhadap
Dokter Dewan Agung lewat Pesan
Edarannya:( SEMA) tahun
1982 sudah membagikan bimbingan pada para Juri, kalau penindakan kepada permasalahan dokter ataupun daya kesehatan
yang lain yang diprediksi: melaksanakan
kelengahan ataupun kekeliruan dalam melaksanakan aksi ataupun jasa kedokteran
supaya janganlah langsung diproses lewat rute hukum,
namun dimintakan dahulu opini dari
Badan Martabat Etik Medis( MKEK).�
Dikala ini MKEK gunanya digantikan oleh Badan Martabat Patuh Medis Indonesia (MKDKI) sesuatu
badan bebas yang terletak dibawah Konsil Medis Indonesia (KKI), dalam
Artikel 29 Hukum Kesehatan berkata, kalau dalam perihal
daya kesehatan diprediksi melaksanakan kelengahan dalam melaksanakan pekerjaannya, kelengahan itu wajib dituntaskan terlebih dulu lewat
perantaraan (namun tidak disebut lembaga
mediasinya).
H. Analisa Kasus
Dokter sebagai Pemberi Jasa
Pelayanan Medis atau Kesehatan atas tindakan medis yang buruk pada Putusan No. 34/Pdt.G/2014/PN.Atb
Pada umunya masing-
masing orang wajib bertanggung
jawab kepada tiap aksi ataupun
aksi yang mereka jalani. Membagikan jasa pada penderita ialah tepercaya dari Tuhan Yang Maha Satu yang dipercayakan
pada para dokter selaku pengemban pekerjaan agung yang wajib dipertanggungjawabkannya
pada Si Inventor. Dalam hukum perlindungan
pelanggan, terdapat ketergantungan aspek- aspek hukum publik
(hukum kejahatan, hukum administrasi) dan hukum privat (hukum
awas) Hal ini menunjukkan kalau hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum
ekonomi. Kaidah - kaidahdan putusan - putusan hukum yang dengan cara khusus
mengatur kegiatan dalam kehidupan ekonomi ialah pengertian
dari hukum ekonomi (Hartono,
1988).
Bahwa berdasarkan dalam duduk perkara pada tanggal 1 Desember 2014 Tuan Farquq Salim disebut Penggugat I sebagai pasien dan Bapak Salim Atubel sebagai Wali Pengampu pasien disebut sebagai Penggugat II telah mengajukan gugatan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Klas IB Atambua tertanggal
4 Desember 2014 terhadap Pemerintah Kabupaten Belu Cq. Direktur Rumah Sakit Umum
Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua disebut sebagai Tergugat I dan Dr. Suroso, SpB disebut sebagai Tergugat II.
Petisi itu bermuatan hal asumsi
malpraktek yang dicoba oleh
Regu Dokter yang terletak
di dasar tanggung jawab Tergugat I dengan telah berulang
kali menunda, bahkan tidak pernah melakukan
debridemen sesuai dengan ketentuan medis tanpa alasan
yang patut, kelalaian berat (culpa lata) yang serius dan bersifat kriminal, serta penyimpangan dari kewajiban (direliction of duty).
Kelengahan kedokteran merupakan salah satu wujud dari malpraktik
kedokteran, sekalian ialah wujud malpraktik
kedokteran yang sangat kerap
terjalin. Pada dasarnya kelengahan terjalin bila seorang dengan
tidak terencana, melaksanakan suatu (komisi) yang sepatutnya tidak dicoba ataupun
tidak melaksanakan suatu (omisi) yang sepatutnya dicoba oleh orang lain
yang mempunyai kualifikasi
yang serupa pada sesuatu kondisi serta suasana
yang serupa (Ratman,
2014). Akibat dari tindakan medik
para Tergugat tersebut bukan membuat pasien
sembuh akan tetapi membuat keadaan Penggugat I cacat permanen pada tangan kanan dan kaki kiri, semata-mata adalah perbuatan dan tindakan dari Tergugat
I dan Tergugat II. Sehingga
sudah dapat dipastikan bahwa Penggugat I akan menderita seumur hidupnya.
Berdasarkan duduk perkara tersebut adanya posisi kasus yang menjelaskan awal mula terjadinya kelalaian dalam medik yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II yaitu pada tanggal 28 November
2013 Penggugat I mengalami luka bakar akibat
terjatuh diapi saat terjadi serangan
epilepsy. kemudian Penggugat
II membawanya untuk mendapatkan perawatan medis di Rumah Sakit Umum Atambua.
Pada tanggal yang sama pihak rumah sakit
memberikan diagnosa bahwa Penggugat I mengalami luka bakar pada kulit dan daging tingkat derajat ke III dengan presentase kurang lebih 25% pada wajah, leher, dada, anggota gerak atas
kanan dan kiri, dan anggota gerak kiri,
sehingga Penggugat I menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Mgr. Gabriel, SVD. Atambua dan kemudian dilakukan Debridemen kepada Penggugat I.
Sejak tanggal 29
November 2013 sampai tanggal
21 Desember 2013, pihak rumah sakit menyodorkan
formulir untuk ditandatangani oleh Penggugat II sebagai dasar bagi
pihak rumah sakit dan Dr. Suroso, SpB untuk melakukan tindakan Debridemen untuk beberapa kali pada kulit dan atau lemak yang nekrosis dengan tanpa melakukan operasi dalam bentuk
apapun terhadap bagian otot, tendon, atau tulang jari-jari
ataupun tulang tempurung. Penggugat II diminta oleh pihak rumah sakit untuk
menandatangani formulir-formulir
persetujuan untuk melakukan Debridemen terhadap luka-luka yang dialami Penggugat I, namun pada kenyataannya tidak ada dan selalu
terjadi penundaan untuk melakukan tindakan Debridemen sesuai dengan kewajiban
profesi dokter. Hal itu menyebabkan Penggugat I mengalami kesakitan hingga terjadi pembusukan pada kulit dan pada jari-jari tangan kanan hingga
rontok satu persatu sehingga menyebabkan cacat permanen untuk seumur hidup Penggugat
I. Tindakan dari pihak rumah sakit dan dokter merupakan tindakan pembiaran dan kelalaian berat yang serius dan bersifat kriminal.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari tinjauan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan hukum antara pasien dengan
tenaga kesehatan, dalam perspektif undang-undang perlindungan konsumen, dimana hubungan bersifat asimetris dan dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan
dengan konsumen, atas sebab itu,
dibutuhkan perundang-undangan
yang dapat melindungi pihak konsumen sebagai pengguna jasa rumah sakit
(pasien) terhadap kerugian yang mungkin ditimbulkan atas penggunaan jasa rumah sakit. Pada tinjauan, undang-undang perlindungan konsumen tidak hanya semena
� mena melindungi pasien, tetapi juga melindungi pemberi jasa, jika ternyata
pasien tidak bisa membuktikan kerugian yang terjadi adalah akibat dari
pemberi jasa.
Berdasarkan dari tinjauan selanjutnya, terhadap tanggung jawab hukum dokter dari
perspektif perlindungan konsumen, dimana undang-undang yang mengatur hubungan antara konsumen dan pelaku, dapat dipakai sebagai
dasar tuntutan pasien untuk meminta
ganti kerugian kepada dokter. Tanggung jawab seorang dokter, telah diatur dalam
kode etik kedokteran yang disempurnakan
oleh organisasi profesi
(IDI). Tanggung jawab pidana dapat muncul
apabila dibuktikan adanya perbuatan yang tidak sesuai, seperti
perbuatan melawan hukum, kesalahan pihak dokter, dan kerugian pada pihak pasien. Sebaliknya, dokter juga dapat menuntut pasien atas dasar wanprestasi.
Ameln,
Fred. (1991). Kapita selekta hukum kedokteran. Grafikatama Jaya.
Anny,
Isfandyarie. (2006). Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Penerbit
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Dokter,
Guwandi J. (1996). Pasien dan Hukum. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Effendy,
Onong Uchjana. (2011). Ilmu komunikasi teori dan praktek.
Hadiyanto,
Hadiyanto. (2020). Peran Dokter Di Layanan Primer Pada Era Pandemi Covid-19. Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan: Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 7(3), 165�174.
Hariyani,
Safitri. (2005). Sengketa medik: alternatif penyelesaian perselisihan antara
dokter dengan pasien. (No Title).
Hartono,
C. F. G. Sunaryati. (1988). Hukum ekonomi pembangunan Indonesia.
Ishaq,
Yanuar. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER YANG DI DUGA MALPRAKTIK.
Universitas Narotama.
Koeswadji,
Hermien Hadiati. (1998). Hukum kedokteran: studi tentang hubungan hukum
dalam mana dokter sebagai salah satu pihak. Citra Aditya Bakti.
Lumenta,
Benjamin, & Prawiranegara, Dradjat D. (1989). Pasien: citra, peran, dan
perilaku: tinjauan fenomena sosial. Kanisius.
Miru,
Ahmadi, & Yodo, Sutarman. (2008). Hukum perlindungan konsumen.
Nugroho,
Susanti Adi. (2008). Proses penyelesaian sengketa konsumen ditinjau dari
hukum acara serta kendala implementasinya.
Ratman,
Desriza. (2014). Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malpraktek
Medik. Bandung: Keni Media.
Subekti,
R., & Tjitrosudibio, R. (2002). Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Turnip,
Helena, & Soewondo, Prastuti. (2022). Analisis Manajemen Anggaran Pada
Rumah Sakit Rujukan Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Ekonomi Kesehatan
Indonesia, 7(2), 124�132.
Ardiansa Dwi Nanda Putra
(s) (2023) |
First publication right: |
This article is licensed under: |