Volume 4, No. 12 Desember 2023
p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356
DOI:�
https://doi.org/
OPTIMALISASI
PERAN HUKUM PERUSAHAAN PELAYARAN TERHADAP PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT OLEH
SAMPAH SESUAI MARINE POLLUTION (MARPOL) 73/78 ANNEX-V DARI KAPAL
Christine Astrid Aurora, Dhaniswara K. Harjono, Binoto Nadapdap
1,2Universitas Islam Negeri Siber Syekh
Nurjati Cirebon
Email:
Abstrak:
Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai penghasil
sampah plastik terbesar di laut. Sampah plastik memiliki dampak serius terhadap lingkungan laut, mengancam lebih dari 800 spesies laut, dan dapat mempengaruhi rantai makanan hingga pada manusia. Tujuan dari penelitian ini yaitu Pertama Untuk
mengetahui, menganalisis
dan menjelaskan persoalan
yang menyangkut bagaimana
strategi dalam penanganan pencegahan pencemaran laut oleh sampah dari kapal. Penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif yang mempertimbangkan penelitian kepada analisis, adapun tehnik analisis data yang digunakan melalui data-data terkumpul dari bahan hukum dengan
uraian melalui kalimat-kalimat yang efektif, teratur, dan logis sehingga menyederhanakan analisis hasil terhadap perumusan masalah.Hasil dari
penelitian ini, Regulasi MARPOL 73/78 Annex V merupakan
instrumen hukum internasional yang penting untuk mencegah pencemaran laut oleh sampah dari kapal.
Regulasi ini melarang pembuangan sampah ke laut,
kecuali dalam kondisi tertentu.Dalam penerapan dan pengelolaan sampah di atas kapal, aktivitas-aktivitas mulai dari penampungan
sampah sampai dengan pembuangan, semua harus dilakukan
sesuai prosedur yang telah diatur dalam
Annex V MARPOL 73/78, apabila pengelolaan
sampah tidak dilakukan sesuai prosedur yang telah ditentukan maka pembuangan sampah akan terjadi dimana
saja dan dimanapun kapal berada sehingga
nantinya sampah yang dibuang sembarangan tersebut dapat mengakibatkan pencemaran di laut.
�����������������������������������������������������������
Kata Kunci: Hukum Perusahaan, Marine
Pollution (Marpol) 73/78 Annex-V, dan Pencegahan Pencemaran� Laut.
Abstract:
Plastic waste has a serious impact on the marine
environment, threatening more than 800 marine species, and can affect the food
chain down to humans. The aim of this research is firstly to find out, analyze
and explain issues related to strategies for preventing marine pollution from
ship waste. This research is normative legal research which considers research
as analysis. The data analysis technique used is through data collected from
legal materials with descriptions in effective, orderly and logical sentences
so as to simplify the analysis of the results of the problem formulation.
Results of the research Currently, MARPOL Regulation 73/78 Annex V is an
important international legal instrument to prevent marine pollution by waste
from ships. This regulation prohibits the dumping of waste into the sea, except
under certain conditions. In the implementation and management of waste on
board ships, activities ranging from waste collection to disposal, must all be
carried out in accordance with the procedures regulated in Annex V MARPOL
73/78, if If waste management is not carried out
according to predetermined procedures, waste dumping will occur anywhere and
wherever the ship is located so that in the future waste that is thrown
carelessly can cause pollution in the sea.
Keywords: Company
Law, Marine Pollution (Marpol) 73/78 Annex-V, and
Marine Pollution Prevention.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai
sebuah Negara Kepulauan (Archipelagic States) dimana telah mendapatkan pengakuan secara internasional berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
1982, yang kemudian
diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the
Sea. Jika dilihat
secara geografis Indonesia merupakan sebuah negara maritim, yang memiliki luas laut
kurang lebih seluas 5,8 juta Km2, laut nusantara 3,2 juta Km2 dan Zona Ekslusif Ekonomi
(ZEE) 2,7 juta Km2. Kemudian Negara �Indonesia juga memiliki pulau sebanyak kurang lebih 17.480 pulau dan memiliki garis pantai 95.181 Km2 (Susetyorini, 2019).
Laut
adalah salah satu ekosistem perairan yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelestarian ekosistem yang berguna sebagai penampungan akhir dari segala
jenis limbah air yang dihasilkan dari aktivitas manusia (Najmi
et al., 2022). Laut menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air dari daerah�������� pertanian,
limbah rumah tangga, sampah, bahan buangan dari
kapal, tumpahan �minyak dan bahan buangan lainnya (Johan
et al., 2020).
Dalam
upaya memberdayakan Industri Pelayaran Nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 yaitu dengan menerapkan azas Cabotage dimana muatan dalam negeri wajib diangkut oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Manfaat yang diperoleh
dengan diberlakukannya azas cabotage adalah jumlah �armada kapal
yang semakin meningkat. Meningkatnya jumlah kapal juga mendapat dukungan pula dari Presiden Joko Widodo pada pidato di Konfrensi Tingkat
Tinggi (KTT) tanggal 13 November 2014 di Myanmar
dengan penegasan bahwa Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Dengan meningkatnya jumlah
armada kapal pada moda pengangkutan melalui laut, hal ini
berdampak pada lingkungan laut yaitu sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional kapal turut meningkat. Dimana dalam melaksanakan kegiatan operasional setiap harinya tentu menghasilkan
berbagai jenis sampah seperti sisa buangan rumah tangga seperti plastik, kertas, besi, kaca, sisa�������������� makanan dan sampah lainnya (Kuncowati,
2019).
Terdapat empat sumber utama pencemaran
laut, yang pertama kegiatan pencemaran laut yang dilakukan oleh perkapalan (shipping), yang kedua kegiatan pembuangan (dumping), yang ketiga
kegiatan di dasar laut (seabed activities), dan yang keempat kegiatan di darat dan udara (land-based
and atmospheric activities). Kegiatan di darat dan udara merupakan sumber terbesar pencemaran laut, terhitung sekitar tiga perempat pencemaran laut �adalah msalah polusi dari daratan yang memasuki lautan (Churchill
& Lowe, 1999).
Masyarakat moderen masa kini dengan berbagai aktivitasnya telah menghasilkan sejumlah besar materi yang berakhir sebagai limbah karena kurangnya infrastruktur pengolahan. Kondisi alam berubah
secara signifikan selama 30 hingga 40 tahun terakhir sejak dikenalkannya materi sintetis seperti plastik. Limbah masyarakat termasuk sintetis dan plastik yang tidak dapat terelakkan telah menemukan jalan menuju samudera-samudera di seluruh dunia.
Sampah-sampah yang berada
di samudera dan pantai disebut marine litter atau sampah lautan. Secara mengejutkan, hal tersebut menjadi bukti bahwa sampah lautan
adalah salah satu permasalahan pencemaran yang
paling luas pengaruhnya bagi lautan. Sifat menolak terhadap proses degradasi alam menjadikan plastik sebagai materi yang membahayakan bagi lingkungan (Azaria,
2014).
Dalam konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran dari kapal 1973 protokol 1978 pada Annex V tentang sampah (Garbage). Konvensi Internasional tentang pencegahan pencemaran dari kapal 1973 yang diperbaharui melarang pembuangan sampah plastik ke laut termasuk
kantong sampah yang terbuat dari plastik, tali
sintetis, dan jaring sintetis. Sampah makanan dan sampah lainnya tidak boleh dibuang
di laut dalam jarak hingga 12 mil dari daratan, kecuali jika telah digiling
dan dapat menembus saringan dengan kisi-kisi tidak lebih 25 mm.
Dalam jarak
25 mil dari daratan, pembuangan terap (dunnage), bahan
lapisan dan pembungkus yang
dapat mengapung tidak diperbolehkan. Tetapi walaupun terdapat ketentuan terkait pembuangan sampah dalam MARPOL (Marine Pollution) 73/78 namun masih pun dijumpai pembuangan sampah oleh penumpang kapal maupun awak kapal di laut dengan jarak dan ketentuan yang tidak sesuai MARPOL 73/78
Annex V.
Grup Penelitian Jambeck telah mengeluarkan hasil riset mereka mengenai fakta sampah plastik di laut pada tahun 2010. Dimana dalam jumlah angka di
wilayah laut China merupakan
penghasil jumlah sampah terbesar nomor satu di laut, yaitu
262,9 juta ton sampah per tahun nya. Selanjutnya menduduki posisi negara
penghasil sampah ke dua merupakan Indonesia dengan
total 187,2 juta ton sampah
per tahun, posisi ke tiga penghasil
sampah adalah Filipina dengan total 83,4
juta ton sampah per tahun, selanjutnya negara penyumbang
sampah pada urutan ke empat dan lima adalah Vietnam 55,9 juta ton, dan Sri Lanka 14,6 juta ton sampah per tahun (Jambeck
et al., 2015).
Pada
2016 lalu, World Economic
Forum melansir fakta lebih dari 150 juta ton plastik di perairan bumi. Jumlah itu bertambah
8 juta ton lagi setiap tahunnya. Bayangkan, ketika sampah plastik
belum habis terurai, sudah datang�� lagi sampah yang baru. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati (United Nations Convention on� Biologic Diversity) pada
2016, sampah di laut telah membahayakan lebih dari 800 spesies. Data itu
kemudian diperbaharui oleh Konfrensi Laut PBB di New York pada 2017 lalu. Konfrensi ini menyebut limbah
plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut,
kura-kura laut, dan ikan- ikan
yang dalam
jumlah besar setiap tahunnya.
Fakta sampah
plastik di laut berikutnya adalah, partikel-partikel sampah plastik (micro plastic) tidak
hanya memberikan dampak buruk bagi
biota laut saja. Dalam jangka panjang, manusia juga akan terkena dampaknya. Hal tersebut terjadi karena adanya pola rantai
makanan yang berakibat kepada manusia jika mengkonsumsi ikan dan produk-produk dari laut. Ikan/hewan laut yang telah menelan mikro
plastik ini akan menyerap racun.
Racun ini kemudian akan bermutasi secara tidak langsung kepada manusia yang memakannya (Sitorus
& Siahaan, 2021).
Di era globalisasi dunia maritim yang berkembang pesat dan semakin moderen, hal tersebut dapat di buktikan dari pertumbuhan jumlah armada angkutan laut yang beroperasi di perairan dunia. Adapun
yang menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan laut berasal dari limbah
yang dihasilkan oleh
kapal-kapal yang dibuang sembarangan ke laut. Tidak dapat dihindarkan bahwa dari setiap
kapal pasti akan memproduksi sampah, dimana sampah itu sendiri akan terus bertambah sehingga untuk menghindari hal ini, sampah yang ada harus dibuang ke laut. Masalah baru
yang akan timbul apabila penanganan sampah dari kapal
tidak dilakukan sesuai dengan aturan
yang ditetapkan
dalam regulasi International Maritime Organization (IMO)
yang tertuang
dalam Marine
Pollution (MARPOL) 73/78 Annex V Garbage mengakibatkan
pencemaran oleh sampah yang
dapat menggangu kehidupan laut.
Tidak
jarang mahluk hidup di laut dapat langsung mati ketika terkontaminasi dari sampah tersebut.
Namun dengan perkembangan moderen kapal saat ini, dimana pertumbuhan armada nya meningkat dengan cepat, ternyata belum dapat menjamin sejauh mana pengetahuan dan pemahaman awak kapal mengenai garbage management plan di atas kapal, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dan
penyuluhan terkait hal ini.
Dalam konteks penanganan pencegahan pencemaran laut oleh sampah dari kapal, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan
strategi yang terlibat. Fokus
utama melibatkan upaya pemahaman terhadap persoalan-persoalan yang
timbul seiring dengan bagaimana strategi dapat diterapkan efektif. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk menggali informasi terkait dengan optimalisasi peran hukum perusahaan dalam konteks kesadaran
awak kapal terhadap bahaya membuang sampah ke laut. Analisis
mendalam akan dilakukan untuk menjelaskan persoalan-persoalan
yang muncul dan mencari solusi yang tepat dalam upaya mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan laut.
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi signifikan bagi para teoritis yang berfokus pada pengembangan ilmu pelayaran. Terutama, penelitian ini terkait dengan
pengelolaan sampah kapal dan dampak pencemaran laut. Harapannya, hasil penelitian dapat menjadi landasan untuk pengembangan lebih lanjut dalam
bidang ini. Selain itu, diharapkan bahwa perwira pelayaran
niaga akan dapat mengaplikasikan dan meningkatkan kemampuan profesionalisme mereka. Hal ini diharapkan dapat mendorong mereka untuk mengambil
langkah-langkah kebijaksanaan
guna memberikan layanan unggul dalam industri pelayaran niaga kepada masyarakat.
Penelitian ini juga dianggap sebagai sumbangan pemikiran penulis bagi perusahaan
pelayaran tempat penelitian dilakukan dan perusahaan pelayaran lainnya. Pemahaman akan pentingnya Penegakan Hukum atas kapal diharapkan dapat memberikan wawasan yang berharga untuk menangani permasalahan pencemaran laut yang disebabkan oleh sampah kapal. Selain itu, penulis juga berharap bahwa kontribusi ini dapat menjadi tambahan
berharga untuk khasanah ilmu pelayaran
niaga secara umum. Terakhir, penelitian ini dianggap sebagai bentuk dukungan dan dedikasi penulis terhadap almamater, yaitu Program Studi Magister Hukum Pasca Sarjana
Universitas Kristen Indonesia.
METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang dipakai adalah penelitian yuridis empiris kualitatif dengan mengkombinasikan analisis hukum dengan data empiris yang diperoleh melalui pengamatan langsung atau penelitian
lapangan untuk menghasilkan informasi deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
yang berasal dari masyarakat atau perilaku yang diamati.
Pendekatan kualitatif yang diterapkan dalam penelitian ini didukung oleh dua jenis sumber data utama dan tambahan guna memvalidasi hasil yang dihasilkan. Sumber data utama, atau data primer, diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan partisipan. Dalam hal ini, sumber
data primer mencakup interaksi
langsung dengan responden terkait. Sedangkan sumber data tambahan, atau data sekunder, umumnya berasal dari sumber
tertulis seperti jurnal, buku, dan dokumen lainnya. Data sekunder digunakan untuk memberikan validitas tambahan terhadap temuan yang dihasilkan dari sumber data utama.
Data dalam penelitian adalah bahan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang telah dirumuskan. Untuk itu, data harus dikumpulkan agar permasalahan dalam penelitian dapat dipecahkan. Dalam penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan dibagi menjadi dua, yaitu data primer
dan data sekunder. Ada beberapa
teknik pengumpulan data
yang digunakan, yaitu, observasi, wawncara dan studi dokumen.
Analisis data merupakan aspek penting dalam metode
ilmiah karena melalui analisis tersebut, data dapat diberi arti dan makna yang relevan untuk memecahkan
masalah penelitian. Dalam penelitian kualitatif ini, setelah data terkumpul, peneliti akan menyusun tema
dan hipotesis untuk mencapai temuan yang berkaitan dengan fokus atau masalah
yang ingin dijawab.
Dalam tahap kondensasi data, peneliti melakukan seleksi, fokus, penyederhanaan, dan abstraksi
data dari berbagai sumber, termasuk catatan tertulis atau lisan, observasi,
wawancara, dokumentasi, dan
sumber empiris lainnya. Melalui rangkuman data ini, peneliti dapat menghubungkan antara satu data dengan yang lainnya sehingga saling menguatkan dan memudahkan analisis data.
Setelah tahap analisis selesai, peneliti akan menarik kesimpulan
yang singkat, padat, dan jelas agar mudah dipahami oleh pembaca. Penarikan kesimpulan ini bergantung pada banyaknya data yang ditemukan di lapangan dan proses penelitian
yang dilakukan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Strategi Dalam Penanganan Pencegahan Pencemaran Laut Oleh Sampah Dari Kapal
1. Urgensi pengaturan menurut Hukum Lingkungan
Lingkungan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) menggambarkan kompleksitas
hubungan antara manusia dan alam. Ini melibatkan unsur-unsur fisik dan manusia, dengan kondisi lingkungan berpengaruh signifikan pada alam, kelangsungan hidup manusia, dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya.
Manajemen lingkungan holistik diperlukan, melibatkan pendekatan hukum, regulasi, partisipasi masyarakat, dan pendidikan untuk mencapai keseimbangan ekologi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Prinsip-prinsip seperti kebersamaan, keadilan, dan keberlanjutan, sebagaimana diakui dalam Undang-Undang
Dasar 1945, mencerminkan keterkaitan
erat antara perekonomian nasional dan pelestarian lingkungan. Tantangan
lingkungan bersifat global
dan memerlukan kerjasama lintas negara, seperti terlihat dalam inisiatif internasional seperti Perjanjian Paris dan Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) Indonesia, terutama yang terakhir,
memberikan dasar bagi tata kelola pemerintahan yang baik dengan prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Lingkungan bukan hanya tanggung jawab hukum, tetapi
juga tanggung jawab moral
dan etika melibatkan seluruh masyarakat.
Pencemaran laut oleh sampah kapal menjadi
masalah serius global. Regulasi lingkungan diperlukan untuk melindungi lingkungan laut, kesehatan manusia, dan ekonomi. Strategi termasuk peraturan yang ketat, peningkatan kesadaran, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan pendidikan. Peraturan yang lebih ketat dapat
mengatur jenis dan cara pembuangan sampah kapal, sementara
peningkatan kesadaran dan edukasi masyarakat penting untuk menjaga
kebersihan laut. Peningkatan kapasitas kelembagaan mencakup penegakan hukum dan pengawasan efektif. Dengan menerapkan strategi ini, diharapkan dapat mencegah pencemaran laut oleh sampah kapal, menjaga
lingkungan laut yang sehat, dan memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia.
2.
Implementasi
MARPOL 73/78
Konvensi MARPOL 73/78 menetapkan tanggung jawab bagi negara-negara anggota dalam menjaga lingkungan
laut dari polusi. Berdasarkan UNCLOS, tanggung jawab ini terbagi menjadi
tiga entitas: negara bendera, negara pelabuhan, dan
negara pantai. Negara bendera
adalah negara di mana kapal
terdaftar, memiliki peran proaktif dalam menerapkan peraturan MARPOL 73/78, sesuai dengan preseden yang ditetapkan oleh keputusan Lotus.
Jika terjadi pelanggaran di
perairan internasional, tanggung jawab penegakan hukum sepenuhnya ditangani oleh negara bendera.
Negara pelabuhan, di mana kapal
singgah, juga memiliki peran penting. UNCLOS memberikan kewenangan kepada negara pelabuhan untuk melarang keberangkatan kapal yang tidak mematuhi persyaratan MARPOL setelah inspeksi. Negara pantai, yang terkait dengan wilayah laut yang dilintasi kapal, memiliki kewenangan hukum terkait Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE). Namun, negara pantai
hanya dapat memulai proses hukum jika pelanggar sampai di pelabuhan mereka.
Tugas negara-negara bendera melibatkan pemantauan dan inspeksi berkala terhadap kapal serta penerbitan
sertifikat yang diperlukan.
Negara pelabuhan diberikan kewenangan untuk menegakkan peraturan dan memberikan bantuan keuangan untuk mengurangi polusi. Sementara negara pantai memiliki kewenangan terkait ZEE, kemampuannya terbatas pada pemantauan.
Meskipun negara pantai
dapat melaporkan pelanggaran kepada negara bendera, inspeksi terhambat oleh ketidakakuratan dalam penilaian risiko dan biaya yang harus ditanggung oleh negara pelabuhan. Pemberlakuan denda oleh pelabuhan juga belum optimal. Dengan demikian, kerjasama dan pematuhan penuh terhadap peraturan perundang-undangan diperlukan untuk menjaga lingkungan
laut dan melindungi
negara-negara pesisir dari polusi akibat pelanggaran
peraturan.
3. Pencegahan Pencemaran laut dalam Marpol 73/78
Ratifikasi Konvensi MARPOL menunjukkan adopsi peraturan MARPOL melalui pembentukan kerangka peraturan nasional. Penerapan MARPOL 73/78 oleh negara-negara anggota merupakan keputusan yang disengaja dan diperhitungkan. Indonesia, sebagai
negara maritim, mengakui pentingnya terlibat dalam menjaga ekosistem
laut dari polusi akibat aktivitas
maritim.
Keputusan
ini didasarkan pada kepentingan lingkungan maritim yang merupakan kewenangan negara. Praktik ini juga bermanfaat bagi pemilik kapal,
memungkinkan kapal mereka memenuhi standar global. Keuntungan terkait upaya menjaga
ketertiban di pelabuhan
negara juga perlu dipertimbangkan.
Pemerintah Indonesia diyakini memiliki sumber daya keuangan
yang cukup untuk mengatur polusi dan menegakkan standar internasional. Negara-negara yang meratifikasi
MARPOL 73/78 mengakui kewajiban
untuk tidak membuang bahan pencemar ke lingkungan
laut dan memiliki hak untuk memastikan
perairan mereka bebas dari polusi
oleh kapal negara lain.
Penerapan MARPOL 73/78 Annex V pada kapal
melibatkan langkah-langkah konkret seperti Safety Committee
Meeting, pembagian tempat sampah berdasarkan jenis, pemasangan plakat peringatan, pembuatan Ships Garbages
Management Plan, dan pemeliharaan Ships Garbage
Record Book. Semua langkah ini bertujuan untuk
memastikan kapal mematuhi peraturan, memisahkan sampah, dan melaporkan tindakan pencegahan kepada otoritas pelabuhan.
4. Peran kelembangaan dalam upaya pencegahan pencemaran oleh kapal
Pencemaran wilayah perairan oleh kapal atau lembaga
pemerintah menuntut kehadiran Otoritas Pelabuhan atau Syahbandar, yang merupakan pemegang otoritas tertinggi dengan keahlian teknis. Mereka ditugaskan untuk mengawasi dan menegakkan peraturan, terutama terkait mitigasi pencemaran limbah laut oleh kapal tanker.
Syahbandar, sebagai
koordinator pemerintah daerah, memiliki tanggung jawab utama dalam mitigasi
pencemaran. Mereka membentuk
tim, Tier 1, yang fokus
pada manajemen dan pengurangan
polusi dalam situasi darurat limbah di pelabuhan. Di
Indonesia, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 (UU Pelayaran)
memberikan landasan hukum untuk pengaturan
transportasi laut, menekankan keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan.
Syahbandar, sebagai
bagian dari KSOP dan Otoritas Pelabuhan, berperan dalam penegakan regulasi pelayaran. Mereka juga terlibat dalam penanggulangan insiden pencemaran, bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan dan menjalankan kontrol peraturan. Administrator Pelabuhan atau
Kepala Pelabuhan bertugas mengawasi dan menegakkan peraturan keselamatan pelayaran di lingkungan pelabuhan.
Pentingnya peran Syahbandar
dalam mengatasi pencemaran limbah dan menjaga lingkungan laut tercermin dalam implementasi mekanisme struktural, termasuk sanksi perdata dan pidana. Mereka bekerja sama dengan
aparat penegak hukum untuk memastikan
penegakan hukum yang terpadu dan efektif. Dengan demikian, Syahbandar memainkan peran sentral dalam
sistem penegakan hukum maritim Indonesia, menjamin keselamatan, keamanan, dan keberlanjutan lingkungan perairan.
B. Optimalisasi Peran Hukum
Perusahaan Dalam Upaya Memberikan Kesadaran
Kepada Awak Kapal Terhadap Bahayanya Membuang Sampah Ke Laut
1. Peran Hukum
Perusahaan Kapal
Peraturan yang baik
tidak hanya memenuhi persyaratan formal dalam aturan perusahaan
dan perundang-undangan, tetapi
juga harus menciptakan rasa
keadilan dan kepastian dalam pelaksanaan dan penegakan praktiknya. Dalam konteks pelaksanaan peraturan MARPOL 73/78, terutama
pada Annex V, kampanye, pendidikan,
dan pelatihan diperlukan untuk memahami dan melaksanakan peraturan dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu.
Perusahaan
harus memiliki kebijakan dan prosedur yang mencakup wewenang yang ditentukan, keselamatan pekerja, pencegahan pencemaran, dan manajemen limbah. Keselamatan manajemen harus didasarkan pada common sense dan pemahaman
bersama, dengan penekanan pada pembagian tugas, tanggung jawab, serta hubungan
kerja yang baik.
Pengelolaan limbah
perusahaan harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti karakteristik kapal, lokasi geografis,
ketersediaan mesin pengolah limbah, dan jumlah awak kapal.
Proses pengelolaan limbah harus didokumentasikan dengan baik dalam
Buku Catatan Sampah, mencakup informasi seperti jenis dan jumlah limbah yang dibuang serta tanda tangan perwira
yang bertanggung jawab. Pentingnya peran Nahkoda dalam safety management, pencegahan pencemaran laut, dan pelaporan kekurangan harus diakui. Implementasi peraturan perundang-undangan, seperti Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1999,
juga harus diperhatikan.
Perusahaan
memiliki peran hukum yang signifikan dalam memastikan kepatuhan awak kapal terhadap aturan dan peraturan terkait pembuangan sampah. Ini melibatkan pengawasan, pelatihan, sanksi, dan kerjasama dengan otoritas terkait. Perusahaan juga menilai kesadaran dan kepatuhan awak kapal melalui
berbagai metode, termasuk assessment dan audit. Selanjutnya,
perusahaan berkomitmen untuk mendukung upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran laut oleh sampah. Ini melibatkan partisipasi dalam kegiatan CSR dan mendukung penegakan hukum internasional atau nasional terkait
pencemaran laut.
Dalam konteks pelaksanaan
tugas di kapal, penting untuk menekankan
pemahaman yang baik terhadap protokol pengelolaan limbah. Ketidakpatuhan terhadap protokol dapat berdampak buruk pada lingkungan laut, biota, dan ekosistemnya, sehingga pengelolaan yang efektif sangat diperlukan untuk mencegah dampak negatif tersebut.
2.
Marine Pollution (Marpol) 73/78 Annex V
Indonesia telah resmi mengesahkan
konvensi produk internasional International Maritime Organization (IMO) yang dikenal dengan MARPOL 73/78 Annex
I dan II melalui Keputusan Presiden
No.46 Tahun 1986. Yang menjadi
pembahasan adalah peraturan yang tertuang dalam Marpol Annex III, IV, V,
dan VI, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2013. Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 pada tanggal 7 Mei
2008 tentang peraturan dalam negeri di bidang industri pelayaran.
Pada bab kedua belas yang fokus pada pokok bahasan Perlindungan
Lingkungan Maritim. Norma tersebut
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengamanan Kepentingan Maritim. Menindaklanjuti
hal tersebut, Kementerian Perhubungan telah menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No.29 Tahun 2004
yang diundangkan pada tanggal
6 Agustus 2004. Peraturan ini
berkaitan dengan pencegahan pencemaran lingkungan laut. Peraturan mengacu pada seperangkat aturan atau pedoman yang ditetapkan oleh suatu otoritas atau pemerintahan
Permenhub ini
terdiri atas delapan bab dan 89 pasal yang mengatur beberapa aspek. Salah satu aspek tersebut
berkaitan dengan kapal berbendera Indonesia, baik di dalam negeri maupun internasional. Selain itu, langkah-langkah pengendalian polusi yang berkaitan dengan pengemasan kargo, pencegahan kontaminasi limbah, pengelolaan limbah untuk meminimalkan
polusi yang disebabkan oleh
sampah, dan mitigasi polusi udara akibat
aktivitas berperahu adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Perlindungan Lingkungan
Maritim berfokus pada pencegahan
dan mitigasi pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas terkait pelayaran. Hal ini mencakup pencemaran akibat kebocoran kapal, operasional kapal, aktivitas pelabuhan, dan pembuangan sampah ke badan air. Konvensi dan protokolnya yang dikenal dengan nama Marpol 73/78 ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 46 pada tahun
1986.
Ratifikasi ini
terjadi pada tanggal 9
September 1986 dan berkaitan dengan
Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal. , yang diterima di London, Inggris, pada
tanggal 2 November 1973 dan 17 Februari
1978 telah diterima
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 beserta Protokol (The Protocol
of1978 Relating to the International Convention for the Prevention of Pollution
from Ships, 1973), yang masing- masing sebagai hasil dari International
Conference on Marine Pollution from Ships and International Conference on
Tanker Safety and Pollution Prevention.
Penerapan peraturan
terkait keselamatan dan keamanan pelayaran diharapkan dapat dilaksanakan secara komprehensif dan terkoordinasi melalui pengaturan ini. Tujuannya untuk mencegah terjadinya duplikasi kewenangan dalam penegakan hukum maritim yang berpotensi menurunkan reputasi Indonesia di
dunia internasional.
Penyelenggaraan kegiatan
usaha pelabuhan masih dapat dilakukan,
meliputi kegiatan serupa dengan perolehan
delegasi dari otoritas pemerintah. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan keterlibatan badan usaha milik negara dalam mendukung pertumbuhan perekonomian negara. Untuk mengurangi terjadinya pencemaran laut yang disebabkan oleh kapal, Dari segi teknis, konvensi MARPOL mencakup peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan yurisdiksi otoritas pelabuhan. Dapat diuraikan sebagai berikut:
Memeriksa kapal
untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas ini hendaknya
dilakukan oleh petugas yang
berkualifikasi dan berkualitas
sesuai yang ditentukan oleh
kantor pusat Administrasi maritim. Inspeksi yang dilakukan oleh Syahbandar adalah bertujuan untuk mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan
peraturan. Investigasi dan penuntunan.Surveyor dan Inspector pelabuhan harus mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan konstruksi, peralatan dan pelanggaran yang terjadi.
Berdasarkan petunjuk
dari pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut
pihak-pihak yang melanggar.
Sedangkan apabila pencemaran telah terjadi baik dalam
hal kegitan rutin kapal ataupun kecelakaan
kapal, MARPOL 73/78 juga memuat
mengenai upaya penanggulangan pencemaran yang terjadi yaitu sebagai
berikut: Koordinasi antar instansi pemerintah dan kepolisian dalam menuntaskan suatu kasus. Koordinasi
ini sangat penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat diselesaikan.
Oleh karena itu diharapkan tidak terkesan penanggulangan pencemaran laut bersifat sektoral dimana hanya segelintir
pihak/instansi yang berfungsi.
Pemerintah melalui
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
KM 15/AL.506/ PHB-87 tentang Pengadaan
Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal telah mewajibkan kepada setiap pelabuhan
untuk menyediakan fasiltas penampungan limbah dari kapal.
Keputusan Menteri Perhubungan ini
merupakan upaya melindungi kelestarian lingkungan laut dan sebagai tindak lanjut atas ratifikasi
MARPOL 73/78. Hal ini dinyatakan
dalam pertimbangannya bahwa sebagai tindak
lanjut dari pengesahan atas Konvensi tersebut, perlu menetapkan peraturan tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal.
Keputusan ini kemudian
lebih dipertegas dalam PP 21/2010 tentang perlindungan lingkungan maritim, dalam pasal 17 ayat 1 dan 2 bahwa setiap pelabuhan
wajib memenuhi persyaratan untuk mencegah timbulnya pencemaran yang bersumber dari kegiatan di pelabuhan termasuk di terminal khusus. Persyaratan dimaksud antara lain tersedianya fasilitas penampungan limbah, dan penampungan sampah. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi setiap pelabuhan
dan terminal untuk menyediakan
fasilitas dimaksud dan karena itu pelu
langkah pengawasan dan penegakan peraturan.
Keterkaitan dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk perwujudan
perlindungan lingkungan maritim selain adanya sanksi yang tegas bagi kasus
pencemaran laut. Dengan demikian MARPOL 73/78 secara keseluruhan telah memuat
regulasi-regulasi yang strategis dalam mencegah terjadinya pencemaran dari
kapal khususnya limbah sampah pada kapal. Upaya
penanggulangan pencemaran juga telah tercantum dari regulasi MARPOL 73/78.
KESIMPULAN
Hukum perusahaan juga berperan penting
dalam pencegahan pencemaran laut oleh sampah dari kapal.
Hukum perusahaan dapat menjadi sarana untuk memberikan kesadaran kepada awak
kapal tentang bahayanya membuang sampah ke laut.
Dalam penerapan dan pengelolaan sampah di atas kapal,
aktivitas-aktivitas mulai dari penampungan sampah sampai dengan pembuangan, semua harus dilakukan sesuai prosedur yang
telah diatur dalam Annex V MARPOL 73/78, apabila pengelolaan sampah tidak
dilakukan sesuai prosedur yang telah ditentukan maka pembuangan sampah akan
terjadi dimana saja dan dimanapun kapal berada sehingga nantinya sampah yang
dibuang sembarangan tersebut dapat mengakibatkan pencemaran di laut.
Peran awak kapal dalam
mencegah pencemaran di laut hendaknya dalam setiap
kegiatan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan pengawasan yang ketat
mulai dari pengumpulan, pemprosesan,
penyimpanan, sampai pembuangan.
khususnya dalam hal ini Mualim I yang ditunjuk sebagai PIC dalam pengawasan
pencemaran dari kapal. Untuk hal yang menyangkut
masalah sampah maka dibutuhkan perwira dan awak kapal yang terampil dan
memahami prosedur atau tata cara dalam pengelolaan sampah
di atas kapal.
Azaria,
D. P. (2014). Perlindungan lingkungan laut Samudra Pasifik dari gugusan
sampah plastik berdasarkan hukum lingkungan internasional. Brawijaya
University.
Ali,
Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Toko Gunung Agung,
Jakarta, 2002.
Churchill,
R. R., & Lowe, A. V. (1999). The Law of the Sea, Third Editon. Juris
Publishing, Manchester University, UK.
Fitri Lestari, �Tingkat Kerusakan Laut di Indonesia dan Tanggung
Jawab Negara Terhadap Kerusakan
Ekosistem Laut Dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dan Konvensi Hukum
Laut 1982�, Jurnal Gema Keadilan
Edisi, vol 1 no 1, 2018.
Fiqri, S. 2019. Perawatan Dan Perbaikan Incinerator Untuk
Mengurangi
Pencemaran Di Laut PT. Janata Marina Indah. Karya Tulis. Semarang: Universitas Maritim AMNI.
Jambeck,
J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A.,
Narayan, R., & Law, K. L. (2015). Plastic waste inputs from land into the
ocean. Science, 347(6223), 768�771.
Johan,
Y., Renta, P. P., Muqsit, A., Purnama, D., Maryani, L., Hiriman, P., Rizky, F.,
Astuti, A. F., & Yunisti, T. (2020). Analisis sampah laut (marine debris)
di Pantai Kualo Kota Bengkulu. Jurnal Enggano, 5(2), 273�289.
Kuncowati,
K. (2019). Analisis Pengelolaan Sampah Di Kapal Dan Peran Awak Kapal Terhadap
Pencegahan Pencemaran Laut Dari Kapal Di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Majalah
Ilmiah Bahari Jogja, 17(1), 71�85.
Kusumoprojo, W. 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta: PT.
Mizan Publika. Mertokusumo, Sudikno. 2007. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Lestari, F. 2018. Tingkat Kerusakan Laut di Indonesia dan Tanggung
Jawab Negara Terhadap Kerusakan
Ekosistem Laut Dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dan Konvensi Hukum
Laut 1982, Jurnal Gema Keadilan Edisi, vol 1 no 1, 2018, hlm.
85.
Latukau, F., Syah A. U. 2021. Penerapan Prinsip Strict
Liability dalam Hukum Lingkungan
Internasional dan Nasional Terkait
Lingkungan Laut, Jurnal Ilmu Hukum Kyadjren
vol 3 No 1, 2021, hlm. 30
Najmi,
N., Rahma, E. A., Suriani, M., Hartati, R., Lubis, F., & Oktavinanda, G.
(2022). SOSIALISASI BAHAYA SAMPAH PLASTIK TERHADAP EKOSISTEM LAUT BAGI REMAJA
DESA UJONG PULAU RAYEUK, ACEH SELATAN. J-ABDI: Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 2(2), 3855�3862.
Sitorus,
R. H., & Siahaan, A. (2021). Analisis Pemahaman Anak Buah Kapal Tentang
Pengelolaan Sampah Di Atas Kapal Dalam Upaya Pencegahan Pencemaran Laut. Cybernetics:
Journal Educational Research and Social Studies, 151�156.
Susetyorini,
P. (2019). Kebijakan Kelautan Indonesia Dalam Perspektif Unclos 1982. Masalah-Masalah
Hukum, 48(2), 164�177.
Susetyorini, P. 2019.
Kebijakan Ke
lautan Indonesia Dalam Perspektif UNCLOS 1982.����� Masalah-Masalah�� Hukum,����������� 48(2):�� 164-177. https://doi.org/10.14710/mmh.48.2.2019.164-177.
Sutiyoso, Bambang. 2020. Metode Penelitian Yuridis Empiris: Pengertian, Langkah-Langkah, dan Keuntungannya. Jurnal Hukum Persada Indonesia, 4(2).
Christine Astrid Aurora, Dhaniswara
K. Harjono, Binoto Nadapdap (s) (2023) |
First publication right: |
This article is licensed under: |