JSA 2Volume 4, No. 12 Desember 2023

p-ISSN 2722-7782 | e-ISSN 2722-5356

DOI:https://doi.org/


��������� HUBUNGAN REGULASI EMOSI DENGAN GEJALA DEPRESI PADA REMAJA SMA YANG ORANG TUA BERCERAI

 

Cut Fahira Putri Rania, Roswiyani

Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara, Jakarta

Email:

 

Abstrak:

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami hubungan antara kemampuan regulasi emosi remaja dan tingkat gejala depresi yang mereka alami setelah orang tua mereka bercerai. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel non-probability sampling dengan penarikan jumlah sampel menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian ini menggunakan strategi penelitian korelasional dan jenis penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner offline yang disebarkan kepada remaja kelas 10 hingga kelas 12 SMA di salah satu wilayah Jawa Barat dan berusia antara 12 hingga 18 tahun. Hasil analisis dengan korelasi pearson data menunjukkan bahwa, terdapat hubungan yang negatif antara regulasi emosi dengan gejala depresi pada remaja setelah perceraian orang tua (r = -0.634, p = .000 < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa apabila regulasi emosi rendah maka gejala depresi akan tinggi, begitu pula sebaliknya.

 

Kata Kunci: Regulasi Emosi, Gejala Depresi, Remaja, Perceraian Orang Tua.

 

Abstract:

The aim of the study was to understand the relationship between adolescents' emotion regulation abilities and the level of depressive symptoms they experienced after their parents divorced. This study used a non-probability sampling technique by drawing the number of samples using purposive sampling techniques. This study used correlational research strategies and quantitative research types. The data collection method was carried out through offline questionnaires distributed to adolescents in grade 10 to grade 12 of high school in one of the West Java regions and aged between 12 to 18 years. The results of the analysis with pearson correlation data showed that there was a negative relationship between emotional regulation and depressive symptoms in adolescents after parental divorce (r = -0.634, p = .000 < 0.05). This shows that if emotional regulation is low, depressive symptoms will be high, and vice versa.

 

Keywords: emotional regulation, depressive symptoms, adolescence, parental divorce.

 

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan saat dimana manusia berada dalam periode yang cenderung labil karena krisis identitas atau pencarian jati diri. World Healrth Organization (WHO) Yasamy (2012) menyatakan bahwa masalah mengenai kesahatan mental sering di masa kanak-kanak atau dewasa awal yaitu remaja. Arnett dalam Kharisma (2023) menyatakan masa remaja dianggap sebagai periode yang menantang karena melibatkan tiga elemen kunci, yaitu konflik dengan orang tua, fluktuasi suasana hati, dan perilaku beresiko. Ketiga elemen ini muncul pada tahapan berbeda dalam masa remaja. Pertengkaran dengan orang tua terjadi pada masa remaja awal, sementara fluktuasi suasana hati menjadi lebih mencolok di masa remaja tengah, dan perilaku beresiko cenderung muncul pada masa remaja akhir hingga dewasa muda.

Hubungan orang tua dan anak dinilai amat penting untuk perkembangan dan kesehatan mental anak sebab orang tua mempunyai pengaruh paling kuat dibanding lingkungan sebaya seorang remaja ataupun lingkungan sosialnya. Hubungan keluarga, pola komunikasi, dukungan emosional, dan nilai-nilai yang diajarkan di rumah dapat memengaruhi cara remaja memandang diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan pandangan mereka terhadap dunianya. Kesehatan mental dan fisik seorang remaja dapat dipengaruhi oleh latar belakangnya Faktor-faktor seperti ketidakstabilan keluarga, tekanan akademis, atau gaya hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan masalah kesehatan mental dan fisik Arnett dalam (Kharisma, 2023).

Tidak sedikit ditemui orang tua yang menyandang status �single parent�, fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bisa terjadi yaitu seperti karena perceraian, kematian salah satu orang tua, dan kehamilan di luar nikah. Adanya kasus perceraian ini menyebabkan terjadinya suatu masalah besar sehingga terjadi perubahan peran dan tanggung jawab (Syahbani, 2023).

Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2022 dalam Rizaty (2023), terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat 15,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2021 sebanyak 447.743 kasus.Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan jumlah anak yang menjadi korban perceraian orang tua semakin meningkat. Jumlah remaja yang tumbuh dalam keluarga yang bercerai mungkin berbeda-bedamenurut negara, budaya, tingkat perceraian di masyarakat, dan tahun penelitian. Namun, secara umum, perceraian dalam keluarga dapat berdampak signifikan terhadap perkembangan dan kesejahteraan remaja yang terlibat.

Dampak perceraian orang tua kepada anak-anak adalah menurunnya prestasi akademis, ketidakaturan dalam pola makan dan tidur, perilaku kenakalan remaja, tingkat kecemasan yang tinggi, peningkatan rasa marah, penyalahgunaan narkoba, dan bahkan potensi tindakan bunuh diri. Hal-hal tersebut merupakan beberapa bentuk gejala depresi (Farahdika & Listiyandini, 2018).

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-V), lima dari sembilan kriteria yang tercantum di bawah ini harus dipenuhi selama dua minggu untuk seseorang didiagnosis dengan depresi: (1) suasana hati depresi yang konsisten hampir setiap hari, (2) hilangnya minat dan kesenangan dari hampir semua kegiatan yang terkait dengan hampir kehidupan sehari-hari, (3) perubahan minimal dalam berat badan atau nafsu makan, (4) gangguan dalam pola tidur, (5) perubahan dalam tingkat aktivitas, (6) perasaan kelelahan yang intens dan hilangnya vitalitas, (7) pikiran malu dan tidak penting, (8) kurangnya fokus, dan (9) pikiran yang berulang tentang kematian atau bahkan keinginan untuk menyakiti diri sendiri (Sitompul et al., 2021).

Regulasi emosi adalah tentang kemampuan individu dalam mengenali, memahami, mengelola, dan merespons emosi secara sehat dan adaptif. Ketika remajakesulitanmengatur emosinya, mereka cenderung menekan emosinegatif, sulit merasa bahagia, dan menjadi bingung dengan emosinya. Hal ini menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan, yang dapat menjadi beban serius dan berkontribusi terhadap depresi (Domino, 2023). Menurut Gross dalam Angelia et al. (2020), ada beberapa hal yang perlu diketahui untuk melakukan proses pengaturan emosi. Hal ini adalah identifikasi, seleksi, implementasi, dan pemantauan.

Proses identifikasi melibatkan individu mengidentifikasi emosi individu dan mengenali apakah mereka dapat mengendalikan emosi tersebut. Dalam proses seleksi, individu memilih strategi yang membantu mereka mengendalikan emosinya. Selanjutnya, proses eksekutif mempertimbangkan bagaimana individu dapat melakukan proses regulasi emosi. Proses pemantauan akhir memungkinkan individu untuk mengamati seluruh proses dan hasil pengaturan emosinya. Selain itu, alasan mengapa remaja menderita depresi adalah karena remaja yang tidak memiliki keterampilan mengatasi stres dan tekanan yang efektif lebih besar kemungkinannya untuk mengalami depresi.

Beberapa remaja kesulitan mengendalikan emosinya dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas emosinya. Merasa sedih atau cemas mungkin terasa �salah�, namun dapat meningkatkan emosi negatif dan berujung pada depresi. Ketidakmampuan mengelola emosi dapat menyebabkan pola pikir negatif. Remaja mungkin merasa tidak mampu mengatasi masalah atau menghadapi situasi sulit, sehingga dapat menimbulkan pikiran depresi.

Dalam rangka menghindari terjadinya gejala depresi pada remaja perlu diterapkan regulasi emosi. Regulasi emosi ini mencakup melarang remaja untuk menekan atau menolak merasakan emosi mereka. Sebagai gantinya, remaja diajarkan untuk mengenali dan mengatasi emosi dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain di sekitar Hasmarlin dalam (Ramadhana et al., 2023). Selain itu trauma atau pengalaman kekerasan masa lalu juga dapat memengaruhi kemampuan remaja dalam meregulasi emosi.

Pengalaman traumatis bisa menyebabkan disfungsi dalam mekanisme regulasi emosi dan meningkatkan risiko depresi. Interaksi sosial yang buruk atau kurangnya dukungan sosial dapat mempengaruhi cara remaja meregulasi emosi mereka. Kekurangan dukungan sosial dapat meningkatkan risiko isolasi sosial dan kesulitan dalam mengatasi perasaan. Beban akademis yang tinggi dan tekanan sosial dari teman sebaya, keluarga, atau media sosial juga dapat memicu kesulitan dalam mengatur emosi. Remaja mungkin merasa terbebani oleh ekspektasi dan merasa kesulitan untuk mengatasi tekanan tersebut. Meskipun ketidakmampuan meregulasi emosi tidak langsung bersifat genetik, faktor-faktor genetik dan biologis dapat memainkan peran dalam rentan seseorang terhadap kesulitan dalam regulasi emosi dan depresi (Peltzer, & Pengpid, 2012).

Penelitian Farahdika dan Arruum Listiyandini (2018) menegenai peran strategi regulasi emosi terhadap gejala depresi pada remaja dengan orangtua bercerai menjelaskan bahwa inhibisi ekspresif dan reevaluasi kognitif tidak terkait secara signifikan dengan gejala depresi pada remaja yang mengalami perceraian orang tua. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tania dan Ratih (2018) mengenai peran strategi regulasi emosi terhadap gejala depresi pada remaja dengan orangtua berceraimenemukan bahwa strategi regulasi emosi melalui cognitive reappraisal dan expressive suppression tidak berperan secara signifikan terhadap gejala depresi pada remaja dengan orangtua bercerai.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Vira, et al (2021)tentang Pengaruh regulasi emosi kognitif terhadap depresi pada mahasiswa tingkat akhir dimasa pandemi covid-19 menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara regulasi emosi kognitif dan depresi pada mahasiswa tingkat akhir. Adapun pengaruh regulasi emosi kognitif yang ditunjukkan sebesar 4,2%. Selain itu, Ade dan Muhana (2020) menemukan bahwa regulasi emosi cognitive-reappraisal berfungsi sebagai mediator parsial atas peran hubungan self-compassion terhadap munculnya gejala depresi. Penelitian ini mengkaji peran self-compassion terhadap gejala depresi pada remaja yang dimediasi oleh regulasi emosi.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapati bahwa penelitian-penelitian sebelumnya memiliki fokus dan temuan hasil yang berbeda-beda meskipun sama-sama mengkaji regulasi emosi dan gejala depresi. Beberapa hanya meneliti dimensi tertentu dari regulasi emosi, ada yang menguji hubungan tidak langsung melalui analisis mediasi, dan sebagian besar penelitian yang dilakukan tidak menemukan hubungan yang signifikan. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis korelasi antara kemampuan regulasi emosi remaja dan tingkat gejala depresi yang mereka alami setelah orang tua mereka bercerai.

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan penelitian Apakah ada hubungan antara regulasi emosi dan gejala depresi pada remaja SMA yang mengalami perceraian orang tua? Tujuan penelitian untuk memahami hubungan antara kontrol emosional dan gejala depresi pada remaja SMA yang mengalami perceraian orang tua.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan strategi penelitian korelasional dan jenis penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang ditautkan pada link dan berbentuk barcode yang akan di scan oleh siswa-siswi kelas 10 hingga kelas 12 yang memiliki orangtua bercerai bersekolah di SMA dan berusia antara 12 hingga 18 tahun. Setelah data terkumpul, dilakukan proses pengolahan dan analisis data.

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel non-probability sampling dengan penarikan jumlah sampel menggunakan Teknik purposive sampling yang bertujuan membentuk metodologi sampel penelitian. Dengan sampling non-probabilitas, tidak setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Teknik Purposive sampling, di sisi lain, adalah metode pemilihan sampel berdasarkan faktor-faktor spesifik yang memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi fitur yang relevan dengan penelitian ini, menurut (Sugiyono, 2011).

Penelitian ini dilaksanakan secara luring di Sekolah Menengah Atas (SMA). Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan yang bertujuan untuk mendukung dan memudahkan peneliti dalam proses penelitian, peralatan-peralatan yang dimaksud adalah, (1) Laptop, (2) Kuisioner dan informed consent, (3) alat ukur yang pakai pada penelitian, dan (4) aplikasi SPSS. Kuesioner digunakan untuk memudahkan dalam proses pengumpulan data dengan membagikan kuesioner secara luring menggunakan media google form kepada banyak subjek responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.

Informed consent secara online digunakan sebagai pernyataan tertulis bahwa subjek bersedia membantu peneliti untuk menjadi narasumber selama proses penelitian berlangsung. Laptop digunakan untuk mencatat pengumpulan data dan melakukan analisis data menggunakan aplikasi SPSS. Dalam penelitian ini, digunakan alat ukur Difficulties Emotional Regulation Scale (DERS-16) sebagai instrumen untuk mengukur regulasi emosi dan Center for Epidemiologic Studies Depression Scale Revised- 10 (CESDR-10) untuk mengukur gejala depresi.Variabel yang terdapat pada penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu regulasi emosi sebagai variabel bebas (independent variable) ditandai dengan huruf (X) dan gejala depresi sebagai variabel terikat (dependent variable) ditandai dengan huruf (Y).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Uji Asumsi

Uji Normalitas

Berdasarkan hasil uji menggunakan one sample kolmogorov-smirnov, hasil menunjukkan skala regulasi emosi dan gejala depresi memiliki nilai asymp sig sebesar 0.051 > 0.05. Sehingga dapat disimpulkan data berdistribusi normal. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 1.

 

Tabel 1

Hasil Uji Normalitas Regulasi Emosi dan Gejala Depresi

Variabel

P Value

Keterangan

Regulasi Emosi dan

Gejala Depresi

0.051

Data berdistribusi normal

 

 

Uji Linearitas

Berdasarkan hasil uji linearitas menunjukkan nilai sig sebesar 0.145 > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel memiliki hubungan yang linear. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Hasil Uji Linearitas

Variabel

P Value

Keterangan

Regulasi Emosi dan

Gejala Depresi

0.145

Memiliki hubungan yang linear

 

Uji Hipotesis

Uji Korelasi Pearson Regulasi Emosi dan Gejala Depresi

Uji korelasi pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan regulasi emosi dengan gejala depresi. Jika hasil uji korelasi menunjukkan nilai sig yang kurang dari 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi antar variabel. Sedangkan jika nilai sig yang lebih dari 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan korelasi antar variabel. Pada penelitian ini memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.634, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara regulasi emosi dengan gejala depresi. Hali ini menunjukkan apabila regulasi emosi rendah maka gejala depresi akan tinggi. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 3.

 

Tabel 3

Hasil Uji Korelasi Pearson Regulasi Emosi dan Gejala Depresi

Variabel

R hitung

P Value

Keterangan

Regulasi Emosi dan Gejala

Depresi

-0.634

0.051

Memiliki korelasi negatif yang signifikan

 

Uji Korelasi Pearson Dimensi Regulasi Emosi dengan Gejala Depresi

Berdasarkan hasil uji korelasi pearson regulasi emosi dengan gejala depresi yaitu clarity, goals, impulse, strategies, nonacceptance. Pada dimensi clarity ini memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.595, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi negatif antara clarity dengan gejala depresi. Hal ini menunjukkan apabila clarity rendah maka gejala depresi akan tinggi. Pada dimensi goals memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.630, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara goals dengan gejala depresi.

Hal ini menunjukkan apabila goals rendah maka gejala depresi akan tinggi. Pada dimensi impulse memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar 0.558, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi negatif antara impulse dengan gejala depresi. Hal ini menunjukkan apabila impulse rendah maka gejala depresi akan tinggi. Pada dimensi strategies memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.537, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi negatif antara strategies dengan gejala depresi.

Hal ini menunjukkan apabila strategies rendah maka gejala depresi akan tinggi. Pada dimensi nonacceptance memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r -0.383, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara nonacceptance dengan gejala depresi. Hal ini menunjukkan apabila nonacceptance rendah maka gejala depresi akan tinggi, Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 4.

 

Tabel 4

Hasil Uji Korelasi Dimensi Regulasi Emosi dan Gejala Depresi

Dimensi

R hitung

P Value

Keterangan

Clarity

-0.595

0.000

Signifikan

Goals

-0.63

0.000

Signifikan

Impulse

-0.558

0.000

Signifikan

Strategies

-0.537

0.000

Signifikan

Nonacceptance

-0.383

 0.000

Signifikan

 

Uji Korelasi Pearson Dimensi Gejala Depresi dengan Regulasi Emosi

Berdasarkan hasil uji korelasi dimensi gejala depresi dan regulasi emosi yaitu depressed affect, positive affect, somatic and retarded activity, interpersonal. Pada dimensi depressed affect memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r -0.485, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara depressed affect dengan regulasi emosi. Hal ini menunjukkan apabila regulasi emosi rendah maka depressed affect akan tinggi. Pada dimensi positive affect memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.585, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara positive affect dengan regulasi emosi. Hal ini menunjukkan apabila regulasi emosi rendah maka positive affect akan tinggi.

Pada dimensi somatic and retarded activity memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.564, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara somatic and retarded activity dengan regulasi emosi. Hal ini menunjukkan apabila regulasi emosi rendah maka somatic and retarded activity akan tinggi. Pada dimensi interpersonal memiliki hasil signifikan sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai r sebesar -0.338, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi yang negatif antara interpersonal dengan regulasi emosi. Hal ini menunjukkan apabila regulasi emosi rendah maka interpersonal akan tinggi. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 5.

 

Tabel 5

Hasil Uji Korelasi Regulasi Emosi dan Dimensi Gejala Depresi

Dimensi

R hitung

P Value

Keterangan

Depressed Affect

-0.485

0.000

Signifikan

Positive Affect

-0.585

0.000

Signifikan

Somatic and Retarded Activity

-0.564

0.000

Signifikan

Interpersonal

-0.338

 0.000

Signifikan

 

 

Analisis Data Tambahan

Uji Beda Regulasi Emosi dilihat dari Jenis Kelamin

Berdasarkan uji beda regulasi emosi dilihat dari jenis kelamin menggunakan independent sample test memperoleh hasil yaitu nilai mean dan standar deviasi perempuan lebih tinggi dari laki-laki dan hasil nilai sig 0.236 > 0.05 sehingga tidak ada perbedaan signifikan regulasi emosi dilihat dari jenis kelamin. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 6.

 

Tabel 6

Hasil Uji Beda Regulasi Emosi Ditinjau Dari Jenis Kelamin

Variabel

Jenis Kelamin

N

Mean

Std. Deviasi

P Value

Regulasi Emosi

Laki-laki

45

43.18

11.925

.236

Perempuan

63

45.38

13.381

 

Uji Beda Gejala Depresi dilihat dari Jenis Kelamin

Berdasarkan uji beda gejala depresi dilihat dari jenis kelamin menggunakan independent sample test memperoleh hasil yaitu nilai mean dan standar deviasi perempuan lebih tinggi dari laki-laki dan hasil nilai sig 0.182 > 0.5 sehingga tidak ada perbedaan signifikan gejala depresi dilihat dari jenis kelamin. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 7.

 

Tabel 7

Hasil Uji Beda Gejala Depresi Dilihat Dari Jenis Kelamin

Variabel

Jenis Kelamin

N

Mean

Std. Deviasi

P Value

Gejala Depresi

Laki-laki

45

36.20

8.740

.182

Perempuan

63

34.43

10.040

 

Uji Beda Regulasi Emosi Dilihat Dari Usia

Berdasarkan uji beda regulasi emosi dilihat dari usia menggunakan oneway anova memeroleh hasil yaitu nilai mean dan standar deviasi umur 16 tahun lebih tinggi dibandingkan rentang umur lainnya dan diperoleh nilai F = .803 dengan nilai sig 0.104 > 0.05 sehingga tidak ada perbedaan signifikan regulasi emosi dilihat dari usia. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 8.

 

Tabel 8

Hasil Uji Beda Regulasi Emosi Dilihat dari Usia

Variabel

Usia

N

Mean

Std. Deviasi

df

Mean Square

F

P Value

Regulasi Emosi

15 tahun

18

43.17

11.031

3

131.891

.803

.495

16 tahun

46

46.67

12.412

104

164.319

 

 

17 tahun

42

42.71

14.046

 

 

 

 

 

18 tahun

2

42.00

.000

 

 

 

 

 

 

 

Uji Beda Gejala Depresi Dilihat Dari Usia

Berdasarkan uji beda regulasi emosi dilihat dari usia menggunakan one way anova memeperoleh hasil yaitu nilai mean dan standar deviasi umur 18 tahun lebih tinggi dibandingkan rentang umur lainnya dan diperoleh nilai F = 1.976 dengan nilai sig 0.122 > 0.05 sehingga tidak ada perbedaan signifikan gejala depresi ditinjau dari usia. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 9.

 

Tabel 9

Hasil Uji Beda Gejala Depresi Ditinjau Dari Usia

Variabel

Usia

N

Mean

Std. Deviasi

df

Mean Square

F

P Value

Gejala Depresi

15 tahun

18

34.39

9.648

3

174.222

1.976

.122

16 tahun

46

33.09

9.596

104

88.176

 

 

17 tahun

42

37.45

9.163

 

 

 

 

 

18 tahun

2

42.00

1.414

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis terkait hubungan regulasi emosi dengan gejala depresi pada remaja setelah perceraian orang tua. Dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara regulasi emosi dengan gejala depresi pada remaja setelah perceraian orang tua. Hal ini menunjukkan mayoritas remaja memiliki regulasi emosi yang cukup rendah yang dapat menimbulkan gejala depresi yang tinggi. Semakin rendah regulasi emosi maka semakin tinggi gejala depresi pada remaja setelah perceraian orang tua.

Hasil analisis data utama pada uji normalitas menunjukkan bahwa regulasi emosi memiliki data yang berdistribusi normal terhadap gejala depresi. Kemudian pada uji linearitas juga menunjukkan terdapat hubungan yang linear antara regulasi emosi dengan gejala depresi. Pada uji korelasi pearson juga ditunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara regulasi emosi dengan gejala depresi. Pada hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tiap aspek dari regulasi emosi maupun gejala depresi memiliki korelasi yang negatif. Sedangkan pada analisis tambahan yaitu uji beda menggunakan independent sample t test dan oneway anova menunjukkan tidak ada perbedaan dari regulasi emosi maupun gejala depresi yang ditinjau dari usia dan jenis kelamin.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Angelia, M., Tiatri, S., & Heng, P. H. (2020). Hubungan religiusitas dan regulasi emosi siswa sekolah dasar. Jurnal muara ilmu sosial, humaniora, dan seni, 4(2), 451�457. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v4i2.8252

Dewi, M. P., & Widyastuti, W. (2023). Hubungan keterlibatan ayah dengan regulasi emosi pada remaja peserta didik di MTS pamotan. UMSIDA preprints server, 1�6. https://doi.org/10.21070/ups.3576

Dianovinina, K. (2018). Depresi pada remaja: Gejala dan permasalahannya. Jurnal psikogenesis, 6(1), 69�78. https://doi.org/10.24854/jps.v6i1.634

Dirgayunita, A. (2016). Depresi ciri, penyebab, dan penangannya. Journal an-nafs: Kajian penelitian psikologi, 1(1), 1�14. https://doi.org/10.33367/psi.v1i1.235

Domino, P. (2023). Ketrampilan meregulasi emosi dalam perkembangan anak. Jurnal lonto leok pendidikan anak usia dini, 5(2), 61�68. http://jurnal.unikastpaulus.ac.id/index.php/jllpaud/article/download/2091/930

Faizah, S. K. (2022). Pemahaman kebahagiaan oleh remaja broken home. taqorrub: Jurnal bimbingan konseling dan dakwah, 3(1), 28�39. https://doi.org/10.55380/taqorrub.v3i1.188

Farahdika, T., & Listiyandini, R. A. (2018). Peran strategi regulasi emosi terhadap gejala depresi pada remaja dengan orangtua bercerai. Prosiding seminar nasional dan temu ilmiah positive psikologi, 248�258. https://www.researchgate.net/profile/Ratih-Arruum-Listiyandini/publication/329041623_Peran_strategi_regulasi_emosi_terhadap_gejala_depresi_pada_remaja_dengan_orangtua_bercerai/links/5bf2d2b1a6fdcc3a8de22dae/Peran-strategi-regulasi-emosi-terhadap-gejala-depresi-pada-remaja-dengan-orangtua-bercerai.pdf

Fitriani, A., & Hidayah, N. (2012). Kepekaan humor dengan depresi pada remaja ditinjau dari jenis kelamin. Humanitas, 9(1), 76. https://doi.org/10.26555/humanitas.v9i1.351

Gloriabarus. (2023). Hasil survei I-NAMHS: Satu dari tiga remaja indonesia memiliki masalah kesehatan mental. UGM berita. Retrieved november 11, 2023, from https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah-kesehatan-mental/

Indrika, S. N., & Chris, A. (2022). Hubungan tingkat depresi dengan kekuatan genggaman tangan ada mahasiswa fakultas kedokteran universitas tarumanagara. ebers papyrus, 28(1), 74�82. https://journal.untar.ac.id/index.php/ebers_papyrus/article/view/19423

Ismiati, I. (2018). Perceraian orangtua dan problem psikologis anak. At-taujih: Bimbingan dan konseling islam, 1(1). http://dx.doi.org/10.22373/taujih.v1i1.7188

Kharisma, R. (2023). Studi fenomenologi dalam menghadapi quarter-life crisis pada fresh graduate psikologi universitas jambi. [Doctoral dissertation, Universitas Jambi].

Mandasari, L., & Tobing, D. L. (2020). Tingkat depresi dengan ide bunuh diri pada remaja. Jurnal keperawatan, 2(1), 1�7. https://doi.org/10.52021/ijhd.v2i1.33

Marcus, M., Yasamy, M. T., Ommeren, M. van, Chisholm, D., & Saxena, S. (2012). Depression: A global public health concern. Research gate, 6�8. https://www.researchgate.net/publication/285075782_Depression_A_global_public_health_concern

Maulida, A. (2012). Gambaran tingkat depresi pada mahasiswa program sarjana yang melakukan konseling di badan konseling mahasiswa universitas indonesia. [Doctoral dissertation, universitas indonesia].

Mondi, C. F., Reynolds, A. J., & Ou, S. R. (2017). Predictors of depressive symptoms in emerging adulthood in a low-income urban cohort. Journal of applied developmental psychology, 50, 45�59. https://doi.org/10.1016/j.appdev.2017.03.009

Ramadhana, F. F., Widyastuti, W., & Ridfah, A. (2023). Gambaran regulasi emosi pada remaja laki-laki korban tindakan body shaming. Ulil albab: Jurnal ilmiah multidisiplin, 3(1), 222�228. https://doi.org/10.56799/jim.v3i1.2571

Rizaty, M. A. (2023, Mar 1). Jumlah kasus perceraian di Indonesia. DataIndonesia.Id. Diakses dari https://dataindonesia.id/varia/detail/ada-516344-kasus-perceraian-di-indonesia-pada-2022

Rosyanti, L. (2018). E-book: Memahami gangguan depresi mayor (Major depressive disorder). [Doctoral dissertation, Poltekkes Kendari].

Rush, B. (2013). Diagnostic and statistical manual of DSM-5 TM (5th ed.). American psychiatric publishing.

Rusmaladewi, D. R. I., Kamala, I., & Anggraini, H. (2020). Regulasi emosi pada mahasiswa selama proses pembelajaran daring di program studi PG-PAUD FKIP UPR. Jurnal pendidikan dan psikologi pintar harati, 16, 33�46. https://doi.org/10.36873/jph.v16i2.2242

Sitompul, A., Nainggolan, B. D., & Hutagalung, S. (2021). Menjangkau orang gangguan jiwa dengan konsep daud dalam 1 samuel 16:23. Jurnal gamaliel: Teologi praktika, 3(2), 86�99. https://doi.org/10.38052/gamaliel.v3i2.68

Syahbani, S. R. (2023). Problematika dan solusi pada ibu single parent akibat perceraian di desa alangamba binangun cilacap. [Doctoral dissertation, UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri].

 

Copyright holder:

Cut Fahira Putri Rania, Roswiyani (s) (2023)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

 

This article is licensed under: