Jurnal Syntax Admiration

Vol. 3 No. 3 Maret 2022

p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356

Sosial Teknik


TANGGUNGJAWAB NEGARA TERHADAP KEBEBASAN DI PAPUA SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA “PERSFEKTIF KITAB SUCI DAN TEORI KEBEBASAN”

Petrus Tekege

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, Indonesia

Email: [email protected]


INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

15 Februari 2022 Direvisi

23 Februari 2022 Disetujui

25 Februari 2022  

Tujuan Penulisan dalam artikel ini adalah untuk mengaanalis dan mengemukakan apa kata Kitab Cuci dan apa kata Teori tentang kebebasan manusia dan bagaimana Negara berperan melaksanakan kewajiban pokoknya sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dalam menegakkan Hukum dan HAM. Dalam kenyataanya Negara belum berperan maksimal dalam melindungi, menghormati dan memenuhi hak dasar setiap manusia karena terlihat disana-sini begitu banyak pelanggaran HAM terjadi dan belum terselesaikan seperti di Papua pada kabupaten Nguga, Intan Jaya, Puncak Jaya dan pelanggaran HAM masa lalu seperti Wasior Tahun 2001, Wamena Tahun 2003 dan Paniai tahun 2014. Agar harkat dan martabat manusia dijungjung tinggi maka Negara diharapkan berperan kongkrit untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM sesuai hukum yang berlaku dengan menempatkan nilai, harkat dan martabat setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan diatas kekuasaan Negara dan kekuasaan Negara harus dipakai untuk melindungi, menghormati dan memenuhi kebutuhan setiap warga Negara sesuai amanah Kitab suci dan dasar hukum kodrat yang ada dalam mengembang kebebasan ekspresia orang Papua sebagai bagian dari Indonesia.


ABSTRACT

The purpose of writing in this article is to analyze and present what the Washbook says and what the theory says about human freedom and how the state plays a role in carrying out its main obligations as the highest authority organization in upholding law and human rights. In reality, the State has not played a maximum role in protecting, respecting and fulfilling the basic rights of every human being because it can be seen here and there that so many human rights violations have occurred and have not been resolved, such as in Papua in the districts of Nguga, Intan Jaya, Puncak Jaya and past human rights

            violations such as Wasior in 2001. , Wamena in 2003 and

Kata Kunci: Tanggungjawab; Kebebasan; Hak; Manusia


How to cite:


E-ISSN:

Published by:

Tekege, P. (2022) Tanggungjawab Negara Terhadap Kebebasan Di Papua Sebagai Hak Asasi Manusia “Persfektif Kitab Suci Dan Teori Kebebasan”, Jurnal Syntax Admiration 3(3) https://doi.org/10.46799/jsa.v3i3.414

2722-5356

Ridwan Institute



Keywords: Responsibility; Freedom; Right; Man

Paniai in 2014. In order for human dignity to be upheld, the State is expected to play a concrete role in resolving various human rights violations in accordance with applicable law by placing the value, dignity and worth of every human being as God's creation above the power of the State and the power of the State must be used. to protect, respect and fulfill the needs of every citizen in accordance with the mandate of the holy book and the existing natural law basis in developing the freedom of expression of the Papuan people as part of Indonesia.


Pendahuluan

Hak asasi manusia itu bersifat universal, melampaui semua batas primordial manusia. Itu sebabnya membeda-bedakan manusia dalam kehidupan manusia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang akibatnya menimbulkan konflik dan ketidakadilan terhadap manusia satu dengan manusia lain sebagai kodrat yang sama diciptakan Tuhan. Jadi bilamana terjadi perbedaan dalam berperilaku dengan sesama manusia maka itu adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Demikian juga manusia itu pada dasarnya memiliki hak dasar kemerdekaan atau kebebasan sebagaimana termuat dalam alenea pertama pembukaan UUD 1945. Karena manusia tanpa kemerdekaan sama seperti manusia belum lahir. Untuk itu kemerdekaan sebagai hak segala bangsa senatiasa dijuntung tinggi sebagai manusia yang ada di seluruh bangsa-bangsa dunia baik manusia yang ada di barat, di Timur, di Selatan maupun di Utara bumi ini. Manusia sebagai makluk yang bebas tidak hanya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetapi jauh sebelum itu sudah ada dalam kitab suci dimana manusia itu lahir serupa dengan gambar Allah. Kaitannya dengan itu maka yang menjadi permasalahan dalam kehidupan dunia saat ini khususnya di Tanah Papua adalah Bagaimana arti kemerdekaan bagi manusia menurut Kitab Suci? Bagaimana hak Kemerdekaan menurut para Filsufis? Bagaimana Realitas pemenuhan Hak Kebebasan orang Asli Papua di atas tanahnya sendiri?


Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode, berikut di jelaskan metode-metode yaitu :

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis (Koentjaraningrat, 1983) yaitu suatu penelitian yang di dasarkan pada, ilmu-ilmu hukum baik Nasional maupun Internasional, yang tidak saja sekedar masalah normatif tetapi juga termasuk masalah-masalah sosio-politiknya, sesuai dengan fenomena dan kenyataan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Papua berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat sebagai Hak Asasi Manusia.


Jurnal Syntax Admiration, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 627

Penelitian ini di lakukan dengan pendekatan studi kasus yang bersifat deskriptif-analitis yaitu hanya memberikan gambaran secara menyeluruh, sistematis mengenai segi-segi hukum nasional juga hukum Internasional, dikaitkan dengan teori-teori hukum menyangkut permasalahan di atas dan memberikan gambaran tentang pokok-pokok permasalahan di Papua, serta upaya kesediaan pemerintah memberikan kebebasan kepada rakyat Papua untuk berekpresi menyampaikan pendapat.

Di dalam Penulisan ini penulis menggunakan metode kombinasi antara kajian pustaka dan kajian empiric sesuai dengan situasi yang berkembang di Papua saat ini. Dalam mengumpulkan data-data atau bahan-bahan, maka penulis melakukan penelitian kepustakaan atau studi kepustakaan. Data-data tersebut terdiri dari data utama dan data tambahan ;

Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder. Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh informasi dan data-data yang di perlukan sebagai landasan teori. Studi kepustakaan dalam penelitian ini meliputi : (Hannitio, 1981)

  1. Bahan Hukum Primer.

    Ada beberapa sub bahan primer tetapi dalam penelitian ini hanya akan di pilih sub tentang ketentuan-ketentuan hukum nasiona maupun internasional yang relevan.

  2. Bahan Hukum Sekunder.

    Bahan hukum sekunder yang akan diteliti meliputi hasil karya ilmiah ( pendapat/ tulisan para ahli hukum) dan laporan-laporan resmi seperti Komnas HAM. yang semuanya berhubungan erat dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini mengutamakan data sekunder dengan alasan ;

    1. Data tentang obyek yang di teliti telah banyak tersebar dalam berbagai sumber buku.

    2. Dengan menggunakan data sekunder maka akan di dapatkan data yang ilmiah.

    3. Bisa mendapatkan data secara mudah,cepat dan pasti. Mudah artinya, sumber data mudah di dapatkan dari perpustakaan,tokoh-tokoh buku yang ada. Cepat artinya, dalam waktu yang tidak lama dan tidak mengeluarkan biaya yang lebih besar data sudah bisa di kumpulkan. Pasti artinya,data yang dikumpulkan merupakan data-data yang dapat di percaya karena data tersebut telah di lakukan dengan penelitian dan kemudian sudah dikaji secara ilmiah serta banyak diketahui oleh masyarakat luas.


Dalam penelitian ini yang di maksud dengan data tambahan adalah data yang bersifat primer yaitu data yang di dapatkan dari penelitian lapangan sebagai pendukung data sekunder. Studi ini bertujuan untuk, mencari informasih dan membandingkan dengan data yang telah di peroleh lewat sumber tertulis (data sekunder). Data tambahan ini penulis melakukan dengan cara tanya jawab (wawancara) seperlunya dengan nara sumber yang paham masalah Papua baik dari persfektif Kitab suci maupun teori HAM.

Metode analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif yaitu data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis untuk selanjutnya di analisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang di bahas.

Data yang di peroleh sudah di lakukan editing, yaitu memeriksa atau meneliti data yang di peroleh, melengkapi data-data yang belum lengkap atau bagian-bagian yang kurang untuk selanjutnya data tersebut disusun secara sistematis sebagai suatu tulisan dalam bentuk jurnal.


Hasil dan Pembahasan

  1. Kebebasan Menurut Kitab suci dan Teori kebebasan menurut para Filsufis

    a. Arti Penting Kemerdekaan bagi manusia Menurut Kitab Suci

    Konsep hak asasi manusia sebagai hak kodrat mendapat tempatnya secara tertulis (hukum positif) pertama dan utama adalah dalam Sepuluh Perintah Allah yang diterima oleh Nabi Musa di gunung Sinai yang kemudian Nabi Musa menuliskannya dalam Kitab “Taurat Musa”. (Kej.20:2-17 dan Ul.5:6-21). Hukum yang semula diwahyukan Tuhan kepada bangsa Israel sebagai “Way of life” bagi mereka, kemudian diangkat menjadi Hukum Internasional dan Hukum Universal (Hafidhuddin, 1998). Karena dalam Sepuluh Perintah Allah ini terkandung tuntutan suara hati atau hukum kodrat bagi seluruh umat manusia dimana saja, kapan saja dan sepanjang zaman (Budyapranata, 1991).

    Sepuluh perintah Allah itu tidak satu pun manusia yang berani katakan bahwa itu bukan hukum (Indonesia, 1996), karena hal itu merupakan pernyataan secara langsung oleh Allah untuk pengakuan dan jaminan hukum atas hak asasi manusia yang wajib dihormati oleh manusia yang adalah juga ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan-Nya maka manusia harus mendasarkan sepuluh perintah Allah sebagai cermin dalam bertindak dan perumusan dalam peraturan perundangan-undangan dengan implementasinya.

    Dalam Al-Quran (5:8; dan 4:135) dikatakan bahwa adil bukan saja terhadap sahabat-sahabatnya saja melainkan juga terhadap musuh-musuhnya. Dengan perkataan lain, keadilan yang diperintahkan Islam kepada para penganutnya tidak dibatasi kepada warga negaranya sendiri, atau kepada keseluruhan umat Muslin, melainkan keadilan itu diberikan kepada segenap umat manusia di dunia (Budiardjo, 2003).

    Bila direfleksikan dengan kitab “Taurat Musa” maka Cicero lebih lanjut mengatakan bahwa kalau manusia telah menerima hukum kodrat, manusia dengan sendirinya telah menerima hukum keadilan karena bagi Cicero dan juga bagi ahli hukum kodrat sesudahnya, asal usul hukum keadilan harus ditemukan dalam hukum kodrat yang universal; dan dengan demikian keadilan mengikat semua umat manusia dan masyarakat. Keadilan merupakan suatu keutamaan moral universal yang tidak dicari dan ditegakkan hanya demi kemaslahatan tertentu, melainkan” harus dicari dan dipelihara demi keadilan itu sendiri” (Budiardjo, 2003).

    Dalam hubungan sesama manusia maka perlu saling menghargai. Saling menghargai ini termanifestasi dalam isi sebuh kewajiban menghargai,

    menghormati manusia satu kepada manusia lain yang lebih tepat bila disebut kewajiban asasi manusia kepada manusia lainnya. Manusia satu sama nilainya dengan manusia lainnya. Kewajiban asasi manusia merupakan supstansi atau dasar dari nilai kodrat manusia yang tidak lain sumbernya adalah Maha Pencipta, yaitu Allah.

    Menurut Samuel Pufendorf bahwa manusia itu ditakdirkan oleh kodratnya untuk (hidup dalam) masyarakat yang terdiri atas orang-orang yang serupa dengan dirinya, dan masyarakat ini sampai tinggkat yang cocok dan berguna baginya. Disimpulkannya bahwa;

    ”Ada dua hukum kodrat yang mendasar. Dari kedua hukum kodrat itulah segalah yang lain bersumber:(1). Bahwa siapa pun juga dan bagaimana pun juga harus melindungi kehidupan dan anggota tubuhnya sebisa mungkin dan mempertahankan hidupnya sendiri dan segalah miliknya.(2). Bahwa ia tidak boleh mengganggu masyarakat manusia, yaitu ia tidak boleh melakukan apa pun yang menyebabkan masyarakat manusia menjadi kurang tenteram.”Hukum-hukum ini harus sejalan satu dengan yang lainnya dan sebagaimana adanya, sedemikian terkait satu dengan yang lainnya sehingga keduanya berkembang, sebagaimana adanya, menjadi satu hukum,yaitu ‘Bahwa setiap orang harus berusaha untuk mempertahankan dirinya sedemikian rupa sehingga masyarakat manusia tidak terganggu’ (Budiardjo, 2003).

    Atas dasar hukum ini, selain kewajiban utama manusia kepada Tuhan, Pufendorf sependapat dengan Grotius bahwa hukum kodrat menggariskan serangkaian kewajiban mendasar dan mengikat bagi semua manusia atas dasar kodrat mereka, yaitu kewajiban terhadap satu sama lain, sebagai contoh Simon tidak boleh membunuh Hasanuddin temannya karena mereka sama-sama manusia yang memiliki hak asasi untuk hidup, bebas berekpresi dan berhak membela dirinya untuk hidup. Itulah prinsip hak dasar manusia sebagaimana diatur dalam pasal 3 Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa Tahun 1948.

    Dasar dari ulasan ini adalah kewajiban manusia satu kepada manusia lainnya untuk harus menghargai, menghormati nilai manusianya dengan tidak memperlakukan sebagai bukan manusia seperti (Triputra, 2017); membunuh, membantai, mengintimidasi, memenjarahkan, perlakukan tidak adil dalam hubungan sesama manusia yang masing-masing memiliki kodrat yang sama dihadapan Allah. Manusia memiliki kodratnya sama, tidak berbeda satu sama lain yang pada hakehatnya segambar dengan Allah sendiri.

    Dalam Kitab Kejadian 1: 6-27 dinyatakan bahwa berfirmanlah Allah “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan seluruh bumi atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”.

    Manusia yang merupakan ciptaan Tuhan sendiri dalam hidupnya ternyata banyak melakukan penyangkalan terhadap Tuhan dan sesama manusia semata-mata untuk kekuasaan dunia atas alam seisinya. Penyangkalan itu dilakukan melalui kekerasan, intimidasi, pembunuhan, diskriminasi dan sebagainya terhadap manusia yang merupakan tindakan tidak manusiawi yang diciptakan dalam kehidupan di dunia ini. Manusia atau negara yang melakukan tindakan penyangkalan tidak sadar bahwa manusia adalah bagian dari gambar Allah sendiri, manusia adalah serupa, mirip, sama dengan Allah sendiri yang jika manusia dibunuh, dianiaya, diperkosa, diintimidasi dan didiskriminasi merupakan tindakan kejahatan terhadap Allah sendiri. Jika diperlakukan demikian sebenarnya nafas kehidupan yang ada dalam diri manusia adalah Roh Allah sebagaimana dikatakan dalam 2 Korintus 3:17, yang mengatakan bahwa,Tuhan adalah Roh yang memberi kehidupan dan dimana ia berada disitu ada kebebasan (dari usaha mencari keselamatan dengan jalan mentaati hak-hak Allah). Dalam Galatia 5:13,14 mengatakan bahwa; saudara-saudara sekalian yang saya kasihi saudara telah diberi kemerdekaan, bukan kemerdekaan untuk melakukan yang salah melainkan kemerdekaan untuk saling mengasihi dan saling melayani. Sebab seluruh hukum Taurat dapat disimpulkan dalam perintah:Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri.

    Di dalam Alkitab pun diakui bahwa Allah berdaulat tetapi kedaulatan Allah yang diakui Alkitab itu adalah juga kedaulatan kasih-Nya, hikmat-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya. Allah tidak menghendaki segalah-galahnya. Allah tidak dapat menyangkal diri sendiri. Ia tidak dapat tersesat, tidak dapat menyesatkan atapun menjatuhkan ke dalam dosa. Ia tidak dapat dan juga tidak menjadikan kejahatan di dalam manusia. Ini bertentangan dengan sifat-sifat-Nya semua. Kejahatan yang dilakukan seluruhnya menjadi tanggunggan makhluk itu sendiri dan bukan tanggungan Pencipta, yang hanya menghendaki yang baik.7 Ini berarti bahwa semua jenis pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan manusia merupakan tanggung jawab penuh pelaku pelanggaran dan kejahatan yaitu manusia kepada Tuhan


  2. Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa

    Tuntutan kemerdekaan merupakan satu hak asasi fundamental yang terkait dengan hak politik (kemerdekaan), yaitu hak untuk menentukan nasib sendri (the right to self-determination. Kalimat tersebut menegaskan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaannya adalah suatu keniscayaan (keharusan) yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang merasa dirinya senasib.

    Menyadari kemerdekaan adalah hak segala bagasa, maka menurut Ali Alatas keterlibatan Indonesia sebagai pemerkarsa Konfensi Asia-Afrika di Bandung 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok pertama di Beograd tahun 1961 adalah merupakan dua peristiwa besar yang telah mengukuhkan peran bersejarah RI dalam perjuangan “Dunia Ketiga”, untuk membangun suatu tatanan dunia baru yang

    berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan dan keadilan (Inayati, 2016). Lebih lanjut dikatakan oleh Ali Alatas bahwa kepatuhan dan konsistensi dipolomasi Indonesia memperjuangan kemerdekaan suatu bangsa terus dilakukan sesuai amanat konstitusi Indonesia sebagaima telah dicantumkan pada alinea pertama UUD 1945 dengan memperjuangan dan keikutsertaan Indonesia dalam lahirnya Resolusi MU-PBB No.1514 (XV) dan No.1541 (XV) pada tahun 1960. Kedua Resolusi tersebut yang mengatur hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang masih dijajah dan merupakan pengejawatahan amanat yang terkandung dalam kalimat pertama Pembukaan UUD 1945 yang telah memacu proses pencapaian kemerdekaan bagi sejumlah besar Negara baru di Afrika, Asia dan Kariabia. Pernyataan kemerdekaan adalah hak segala bangsa itu juga dapat ditafsirkan oleh berbagai bangsa atau Negara seperti Palestina termasuk juga wilayah Papua di Indonesia sebagai dasar perjuangan kebebasan dalam arti hak asasi manusia.


  3. Realitas Pemenuhan Hak Kebebasan orang Asli Papua sebagai Hak Asasi Manusia

Begitu lama pergulatan HAM di tanah Papua yang terus diperjuangkan, tidak hanya oleh orang Papua sendiri tetapi juga oleh para penggiat HAM, seperti KONTRAS, YLBHI, LBH- Papua, LP3BH Manokwari dan lain-lain. Ada tiga peristiwa berdarah yang sampai Tahun 2021 ini belum diselesaikan. Tiga peristiwa ini adalah Wasior berdarah tahun 2001 ( sudah 20 tahun), Peristiwa Wamena tahun 2003 ( sudah 18 tahun ) dan peristiwa Paniai tahun 2014 ( sudah 6 Tahun). Ketiga Peristiwa ini pelanggaran HAM ini masih diingat (memoria passionis) oleh seantero orang Papua karena terjadi pembunuhan, penangkapan, penganiayaan, proses hukum tidak sesuai prosedur, pembatasan menyampaikan pendapat dimuka umum dan lain sebagainya. Ketiga peristiwa berdarah ini belum tuntas dan diselesaikan oleh negara, dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Peristiwa pelanggaran HAM di Kampung Wonoboi, Wasior, Manokwari, Provinsi Papua Barat pada tanggal 13 Juni Tahun 2001 yang menelan korban pembunuhan di luar proses hukum terhadap 4 orang penduduk sipil yaitu atas nama Daud Yomaki, Felix Urban, Henok Marani, dan Guntur Samberi; selain itu 39 orang mengalami penyiksaan dalam peristiwa ini, 5 orang dihilangkan secara paksa, dan 1 orang mengalami pelecehan seksual. Hasil penyelidikan pro-justisia Komnas HAM menyatakan bahwa Tragedi Wasior merupakan pelanggaran HAM berat. Sampai dengan dua puluh tahun pada tahun 2021 ini negara terus mengingkari untuk bertanggungjawab atas persistiwa ini.

  2. Adapun peristiwa Wamena terjadi pada 4 April 2003 saat masyarakat sipil Papua sedang merayakan perayaan Paskah. Namun saat itu aparat melakukan penyisiran di 25 kampung. Kasus Wamena berdara Penyisiran berawal dari sekelompok masa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Kemudian Saat penyerangan itu dua anggota Kodim tewas. Adapun setelah penyisiran 25 kampung, dilaporkan 9 tewas dan 38 orang luka berat yang saat ini belum

    diselesaikan oleh Negara walaupun KOMNAS HAM menyebutnya peristiwa pelanggaran HAM berat.

  3. Pembunuhan terhadap masyarakat Paniai pada tanggal 8 Desember 2014, yang oleh KOMNAS-HAM menyatakan Pelanggaran HAM berat tetapi sampai tahun 2021 belum diselesaikan, Dalam kejadian pelanggaran HAM di Paniai yang menjadi korban adalah: (1). Yulian Yeimo 15 Tahun Pelajar SMA N 1 Paniai Timur, mati ditemapt di lapangan Karel Gobai tali perutnya keluar, ( 2). Oktopianus Gobai 17 Tahun Pelajar SMA N 1 Paniai Timur Belakang Lapangan Karel Gobai Mati Tempat. (3). Alpius You 24 Tahun Pelajar SMA YPPGI Wissel Merren Enarotali kena di perut, di Lapangan Karel Gobai Mati Tempat. (4). Simon Degei 19 Tahun Pelajar SMA YPPGI Wissel Merren Enarotali, kena di lengan di Lapangan Karel Gobai Mati Tempat. (5). Yulianus Tobai 29 Tahun Satpam RSUD Paniai Pinggag kanan di Lapangan Karel Gobai Mati dari RSUD Paniai. (6). Naftali Neles Gobai 44 Tahun PNS Distrik Paniai Timur Lengan/Tangan Kanan depan di Gapura Kantor Distrik Paniai Timur Luka-luka. (7). Natalia Edowai 32 Tahun Petani/ ibu rumah tangga Lengan/tangan kiri di Lapangan Karel Gobai/ samping kios Luka-luka. (8). Andreas Degei 20 Tahun Pemuda Lengan/tangan di Lapangan Karel Gobai Luka-luka. (9). Oni Yeimo 21 Tahun Pelajar SMK Karel Gobai Bahu kanan Lapangan Karel Gobai Luka-luka. (10). Noakh Gobai 25 Tahun Pemuda Lengan/tangan kanan Lapangan Karel Gobai Luka-luka.

  4. Orang Papua masih mencatat begitu banyak pembatasan ruang ekpresi yang mengakibatnya penangkapan dan penahan sejumlah tokoh, antaranya adalah Filep Karma, Yusak Pakage, Benny Wenda, Selfius Bobi, Buktar Tabuni, Vicktor Yeimo, Edison Waromi, Forkorus Yaboisembut, Alex Gobai dan kawan-kawannya setelah aksi rasisme Tahun 2020, Devio Tekege, Melvin Yobe, Maksimus You dan kawan-kawan pada 1 Desember 2021 juga ada beberapa pimpinan politik lainnya.


Tahun 2021 adalah tahun berakhirnya pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU ini berlaku selama 20 tahun. Bagi sebagian besar orang Asli Papua menganggap otonomi khusus gagal dengan beragam perfektif sehingga penolakan jilid II pun berlangsung dimana-mana melalui demostrasi, seminar dan diskusi publik. Kebebasan menyampaikan pendapat itupun tidak semulus harapan. Bamyak masyarakat dan mahasiswa ditangkat dan di tahan. Semua aktifitas demostrasi dan diskusi di batasi dan dihalangi. Belum lagi Jakarta secara sepihak merubah UU Otsus tanpa keterlibatan aktif orang Asli Papua. Pasal krusial dan symbol kekususan tentang Majelis Rakyat Papua dicabut hak dan kewenangannya terutama terkait dengan hak pengusulan pemekaran-pemekaran di tanah Papua. Justru pemekaran dipaksakan pemerintah pusat sebagai penguasa dan mengabaikan hak eksklusif daripada substansi otono khusus itu sendiri.

Tidak berhenti disitu pemerintah pusat paskah UU nomor 02 tahun 2021 tentang Otonomi khusus Papua jilid II terus memaksakan pemekaran-pemakaran di

tanah Papua meskipun dimana-mana akar rumpu orang Asli Papua menolak adanya pemekaran. Justru masyarakat terus dihadang, dibatasi, ditangkap, di tahan bahkan ditembat untuk menyalurkan aspiranya sebagai bagian dari kebebasan berekpresi. Pembatasan terhadap kebebasan berekpresi itu bukan hal baru artinya sudah berlangsung lama. Tidak lupa dalam ingat orang Papua banyak tokoh menjadi korbannya.

Sebagian pemimpin politik dibunuh, seperti; Theys Eluay, Kelly Kwalik, Mako Tabuni, Hubertus Mabel, Danny Kogoya, Yawan Wayeni dan masih banyak lagi aktivis Papua merdeka dan warga sipil lainnya. Sementara tentang Kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat di muka umum dijamin melalui UUD 1945 Pasal 28, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Ketentuan hukum ini juga mengatur dan melindungi hak-hak warga Papua sebagai bagian dari manusia yang memilki hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh negara tanpa dikurangi sedikitpun dalam keadaan apapun. Akan tetapi seolah-olah ketentuan hukum ini tidak berlaku di Papua, diabaikan dan sebaliknya pembungkaman terhadap ruang demokrasi dan represi terhadap kebebasan menyampaikan pendapat rakyat Papua terus meningkat di tanah Papua. Kontras dalam catatannya pada pada tanggal 10 Desember 2019 menyatakan bahwa ada 187 peristiwa pembatasan kebebasan ekpresi (Ramaida Hamada, 2019). Tidak terhitung jumlah aksi menyampaikan pendapat di muka umum di Papua yang selalu dibubarkan paksa, para demonstran di tangkap dan ditembak. Begitu sulitnya orang asli Papua menyampaikan pendapat di depan umum belum lagi pembatasan wartawan asing masuk Papua.

Berdasarkan tiga pelanggaran HAM Berat yang ada di tanah Papua yang sampai saat ini belum diselesaikan tersebut dan pembatasn kebebasan ekpresi ini dapat dipahami dan dimaknai bahwa pemerintah Jakarta menunjukan kesungguhan tidak memiliki niat baik ( bona fines/good fait ) terhadap nilai, harkat dan martabat orang asli Papua. Tidak memiliki etiket yang baik untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak dasar orang Asli Papua yang juga sebagai manusia.

Dalam catatan KOMNAS HAM RI, KOMNAS HAM telah menangani penyelidikan 13 kasus pelanggaran HAM berat masa lampau. Baru tiga di antaranya yang sudah menempuh penyelesaian secara yudisial, yaitu kasus Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Tanjung Priok 1984. Pemerintah terus melanggengkan impunitas di Papua yang berdampak pada berulangnya kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua dan masih banyak pelanggaran HAM daerah lainnya di Indonesia yang perlu didalami.

Tidak terkecuali bahwa semua pelanggaran yang telah terjadi atas diri manusia tentu selain bertanggungjawab secara hukum manusia juga tanggung jawab secara hukum Tuhan sebagaimana dijelaskan diatas. Bagaimana Hak asasi manusia dapat dijaga dan dilestarikan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi kekuasaan atas wilayah, penduduk dan pemerintahan. Demikian pula dijelaskan dalam Pasal 77

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Ini semuanya memberikan gambaran bahwa yang ditulis dalam UU perlu di praktikkan secara kongrit oleh pemerintah yang sebagai eksekutor tanggagjawab Negara dalam penegakkan kebutuhan hak asasi manusia tanpa diskriminasi dan eliminasi dalam penerapan undangundang.


Kesimpulan

Pada prinsipnya manusia lahir memiliki harkat dan martabat yang sama. Sebagai makluk bebas bukan berarti bebas tanpa batas melainkan kebebasan seseorang dibatasi oleh hak dasar orang lain sehingga peluang untuk melakukan pelanggaran menjadi tidak ada. Dalam Kitab Suci juga telah tertulis tentang kemerdekaan setiap manusia. Dengan pernyataan bahwa jika diperlakukan demikian sebenarnya nafas kehidupan yang ada dalam diri manusia adalah Roh Allah sebagaimana dikatakan dalam 2 Korintus 3:17, yang mengatakan bahwa, Tuhan adalah Roh yang memberi kehidupan dan dimana ia berada disitu ada kebebasan (dari usaha mencari keselamatan dengan jalan mentaati hak-hak Allah). Dalam Galatia 5:13,14 mengatakan bahwa; saudara-saudara sekalian yang saya kasihi saudara telah diberi kemerdekaan, bukan kemerdekaan untuk melakukan yang salah melainkan kemerdekaan untuk saling mengasihi dan saling melayani. Sebab seluruh hukum Taurat dapat disimpulkan dalam perintah:Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri. Orang Asli Papua sebagai manusia juga memilki hak asasi yang sama dengan hak asasi yang dimiliki oleh orang lain yang ada di Jawa, Sumatera, Kalimantan atau Sulewesi sebagai sesama warga negara Republik Indonesia. Dengan begitu maka Orang Asli Papua juga memiliki hak untuk hidup, hak untuk bebas dan hak atas keselamatan pribadi yang harus dilindungi, dihormati dan dipenuhi HAM oleh negara sesuai peratuan perundang-undangan yang berlaku.

BIBLIOGRAFI


Ali Alatas.,2003. Upaya Diplomasi Indonesia Untuk Mewijudkan Keterlibatan Dunia Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian dan Keadilan Sosial., Dalam Dinamika Diplomasi Indonesia Dalam Praktik., Kesaint Blanc. Jakarta.


Bernard L.Tanya, Dkk. 2010. Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi)., Yogjakarta: Genta Publishing.


Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia pustaka utama. Google Scholar


Budyapranata, A. (1991). Etika Praktis Berdasarkan Sepuluh Perintah Allah.,Yayasan Andi (p. hal :2-5).


Hafidhuddin, D. (1998). Dakwah aktual. Gema Insani.


Hannitio, R. S. (1981). Metodologi Penelitian Hukum (p. hal. 44).


Inayati, R. S. (2016). Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia. Jurnal Penelitian Politik, 2(1), 35–49. Google Scholar


Indonesia, K. W. G. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. PT Kanisius.

Google Scholar


Koentjaraningrat. (1983). Metode-Metode Penelitian Masyarakat (p. hal.16). PT. Gramedia.


Keraf. A. Sonny,2001.Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi.kanisius Yogyakarta


Meriam Budiardjo.1980.Dasar-dasar Ilmu Politik., PT.Gramedia.,Jakarta.


Nasution, Buyung, Iur.2007.Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.Jakarta. Kata Hasta Pustaka.


Ramaida Hamada, G. (2019). DINAMIKA PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA

DI INDONESIA. Google Scholar


Triputra, Y. A. (2017). Implementasi Nilai-Nilai HAM Global Ke Dalam Sistem Hukum Indonesia Yang Berlandaskan Pancasila. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(2), 279–300. Google Scholar


Tumpa, Harin A.,2010. Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia., Prenada Media Group., Jakarta


Verkuyl,J.,2007. Etika Kristen Bagian Umum., BPK. Gunung Mulia.,Jakarta Wattimena,A.A.Reza., 2010.Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-

Habermas., Kanisius., Yogyakarta.


Yoman, Sofyan Socratez.,2005. Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM., Lembaga Rekonsiliasi Hak-hak Asasi Masyarakat Koteka (Lerhamkot) Papua Barat., Jakarta


Copyright holder:

Petrus Tekege (2022)

First publication right:

Jurnal Syntax Admiration

This article is licensed under: