Jurnal Syntax Admiration | Vol. 3 No. 3 Maret 2022 |
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 | Sosial Teknik |
Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia Email: [email protected], [email protected],
[email protected], [email protected]om, [email protected]
INFO ARTIKEL | ABSTRAK |
Diterima 10 Februari 2022 Direvisi 13 Februari 2022 Disetujui 20 Februari 2022 | Penelitian ini mengkaji tentang persepsi masyarakat terhadap upaya pencegahana dan penanganan Covid-19 di Kabupaten Lombok Timur. Data menunjukkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi dengan angka penyebaran kasus covid-19 yang tergolong masih relatif tinggi di Indonesia. Salah satu kabupaten di Provinsi NTB yang menjadi daerah dengan persebaran kasus Covid-19 tertinggi adalah Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan data dari websitePemerintah provinsi NTB, per tanggal 8 Februari 2021, tercatat angka kasus positif Covid-19 mencapai 939 kasus dan dalam waktu satu bulan terjadi penambahan angka positif sampai 211 kasus (corona.ntbprov.go.id). Hal ini membuat kabupaten Lombok Timur masuk kedalam 5 besar daerah dengan persebaran kasus Covid-19 tertinggi di NTB. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan studi fenomenologi, yaitu studi yang berupaya untuk menginterpretasikan tindakan individu yang menjadi bagian dari fenomena sosial menjadi sesuatu yang memiliki makna. Pemilihan informan dilakukan melalui teknik purposive sampling, yaitu penentuan informan dengan kriteria-kriteria tertentu. Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 30 informan yang tersebar di tiga desa yang ada di Kabupaten Lombok Timur, yaitu Desa Masbagik Selatan, Desa Masbagik Utara, dan Desa Paok Motong. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Lombok Timur memiliki persepsi yang berbeda-beda tekait dengan keberadaan Covid-19 yang kemudian dikategorikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu kelompok yang percaya, ragu, dan tidak percaya. |
Kata Kunci: Persepsi; Pencegahan; Penanganan; Covid-19 |
How to cite:
E-ISSN:
Published by:
Rahmawadi, I., Lalu Muhammad Alditia, Ahmad Abdan Syukron, Lili Kurnia Sapitri, Hafizah Awalia (2022) Persepsi Masyarakat Terhadap Upaya Pencegahan Dan Penanganan Covid-19 Di Kabupaten Lombok Timur, Jurnal Syntax Admiration 3(3)
https://doi.org/10.46799/jsa.v3i3.415 2722-5356
Keywords: Perception; Prevention; Handling; Covid-19 | ABSTRACT This study examines public perceptions of efforts to prevent and handle Covid-19 in East Lombok Regency. Data shows that the Province of West Nusa Tenggara (NTB) is one of the provinces with a relatively high number of Covid-19 cases in Indonesia. One of the districts in NTB Province which is the area with the highest spread of Covid-19 cases is East Lombok Regency. Based on data from the NTB provincial government website , as of February 8, 2021, the number of positive cases of Covid-19 reached 939 cases and within one month there was an increase in positive numbers to 211 cases (corona.ntbprov.go.id). This makes East Lombok regency into the top 5 regions with the highest spread of Covid-19 cases in NTB. This study uses a qualitative method using a phenomenological study, which is a study that seeks to interpret the actions of individuals who are part of a social phenomenon into something that has meaning. The selection of informants was done through a purposive sampling technique, namely the determination of informants with certain criteria. The number of informants in this study were 30 informants spread over three villages in East Lombok Regency, namely South Masbagik Village, North Masbagik Village, and Paok Motong Village. The results of this study indicate that the people of East Lombok Regency have different perceptions regarding the existence of Covid-19 which are then categorized into three main groups, namely groups who believe, doubt, and do not believe. |
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi dengan angka penyebaran Covid-19 yang cukup tinggi, berdasarkan data website milik pemerintah NTB yang menjelaskan tentang Covid-19 menyebutkan bahwa per tanggal 8 Februari 2020 jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 8.219 orang, dan hanya dalam jangka waktu satu bulan terhitung tanggal 8 Januari sampai 8 Februari terjadi penambahan kasus sebanyak 2.151 kasus (Corona.Ntbprov.go.id). Dari beberapa kabupaten yang ada di NTB, salah satu kabupaten yang mengalami penambahan kasus positif Covid-19 terbanyak adalah Kabupaten Lombok Timur. Per tanggal 8 Februari, angka positif Covid-19 di Lombok Timur telah mencapai 939 kasus dengan peningkatan 211 kasus dari bulan sebelumnya. Lombok Timur masuk ke dalam 5 besar kabupaten dengan angka positif Covid-19 tertinggi di Provinsi NTB.
Pihak Pemprov NTB bersama pemerintah di tingkat kabupaten telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan untuk menekan angka penyebaran Covid-19 di NTB, mulai dari adanya pembatasan kegiatan masyarakat di tempat umum sampai sosialisasi pola hidup sehat 3M, namun segala bentuk usaha yang dilakukan pemerintah ini masih jauh dari kata berhasil.Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat terhadap bahaya Covid-19 serta kepedulian untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan masih sangat rendah.Faktor ini merupakan faktor utama yang menjadi penyebab tingginya angka penyebaran Covid-19 di Kabupaten Lombok Timur. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh AC Nielsen dan Unicef kepada 2.000 responden di 6 kota besar yang ada di Indonesia untuk menggali sikap masyarakat terkait praktik pencegahan Covid-19. Dari hasil survei ini, dihasilkan data yakni hanya 31,5% responden yang disiplin melaksanakan 3M, kemudian terdapat sekitar 9,3 % masyarakat yang sama sekali tidak melaksanakan 3M. Dengan demikian, terlihat jelas dari keseharian masyarakat, terutama dalam beraktivitas di tempat umum, penggunaan masker hanya dilakukan untuk menghindari razia dan dilakukan secara asal-asalan. Kemudian kebiasaan mencuci tangan yang masih sulit untuk dibiasakan, terbukti dengan minimnya fasilitas cuci tangan di tempat umum dan kondisinya yang tidak terawat, dan juga terkait adanya anjuran untuk menjaga jarak saat beraktivitas di tempat umum yang masih sulit untuk dilaksanakan, bisa dilihat dengan masih ramainya objek-objek wisata di hari-hari libur.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh kinten Nafa Aulia yang berjudul “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat untuk Memperhatikan Protokol Kesehatan dalam Beraktivitas di Era New Normal dengan Media PEPC Melalui Media Sosial di Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan”, ditemukan data bahwa sekitar 54% masyarakat tidak paham terkait pelaksanaan protokol kesehatan dan sekitar 80% masyarakat tidak mengetahui apa itu pola hidup new normal . Hal ini seakan semakin memperjelas rendahnya kepedulian masyarakat terkait pentingnya edukasi tentang pencegahan dan penanganan Covid-19.Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Lombok timur, kebanyakan masyarakat cenderung acuh tak acuh terhadap permasalahan Covid-19 ini.Selain itu, persepsi masyarakat yang berbeda mempengaruhi rendahnya upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 di kabupaten Lombok Timur, seperti dalam hasil survei yang dilakukan oleh BPS yang menunjukkan bahwa ada sekitar 44 juta atau sekitar 16% dari penduduk Indonesia yang meyakini bahwa Covid-19 itu tidak ada (beritasatu.com). Oleh karena permasalahan di atas, peneliti ingin menggali mengenai persepsi masyarakat terhadap Covid-19 serta mengkaji bagaimana upaya dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 pada level individu dan masyarakat di Kabupaten Lombok Timur.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati sehingga
bisa memformulasikan pertanyaan penelitian yang lebih tepat sehingga hasil penelitian lanjutan deskriptif maupun nanti dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang diadakan di masa yang akan datang (Sugiyono, 2009).
Untuk memahami fenomena yang berkembang saat ini terkait persepsi masyarakat Lombok Timur di tengah meningkatnya kasus pandemi Covid-19, maka peneliti mengunakan teori konstruksi sosial. Bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui tahap observassi, dokumentasi, dan wawancara.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan pertimbangan tertentu. Penelitian dilakukan terhadap 30 (tiga puluh) informan yang tersebar di 3 (tiga) desa pada Kecmatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur. Desa-desa tersebut ialah Desa Masbagik Utara, Desa Masbagik Selatan, dan Desa Paok Motong. Adapun proses analisis data dilakukan dengan menjabarkan berbagai hasil wawancara, catatan lapangan, maupun dokumentasi sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Penelitian ini menggunakan aplikasi NVivo sebagai media untuk menganalisis data yang telah di reduksi. Proses penarikan kesimpulan dilakukan ketika semua proses penelitian telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga ditemukan satu kesimpulan dari berbagai data yang telah dikumpulkan dalam penelitian.
Untuk memahami fenomena yang berkembang saat ini terkait persepsi masyarakat Lombok Timur di tengah meningkatnya kasus pandemi Covid-19, maka peneliti mengunakan teori konstruksi sosial. Bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik Berger dalam (Manuaba, 2008). Konstruksi sosial juga disamakan dengan sosiologi pengetahuan sebagaimana yang dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kenyataan (Moesa, 2007). Bagi mereka (1990:31-32), kenyataan kehidupan sehari-hari dianggap menampilkan diri sebagai kenyataan par excellence sehingga disebutnya sebagai kenyataan utama (paramount). Berger dan Luckmann (1990:28) menyatakan dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia. Oleh karena itu, apa yang menurut manusia nyata ditemukan dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu kenyataan seperti yang dialaminya.
Di mana kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi manusia (Rifai, 2020). Misalnya, seperti yang terjadi saat ini yang melanda seluruh dunia salah satunya Indonesia lebih khusunya masyarakat Lombok Timur dengan kasus Covid-19. Berbagai macam persepsi yang
terjadi, itulah kenyataannya yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Rahmayanti, 2016). Maka penting bagi peneliti untuk memahami lebih jauh lagi bagaimana kondisi yang terjadi dan bagaimana persepsi masyarakayat Lombok Timur di tengah meningkatnya kasus Covid-19 sebagai bahan acuan dan pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan serta mayarakat bisa mengetahui fenomana yang terjadi.
Eksternalisasi
Segala produk masyarakat yang berupa produk sosial kultural pada dasarnya terlahir dari proses eksternalisasi yang dilakukan oleh setiap individu yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Eksternalisasi dapat dimaknai sebagai suatu proses pencurahan diri yang dilakukan oleh manusia terhadap sesuatu yang berada pada luar dirinya atau biasa disebut sebagai lingkungan sosial kulturalnya secara terus-menerus. Sudah merupakan suatu keharusan antropologis, manusia selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada (Mutaafi, 2015). Proses pencurahan kedirian yang dilakukan oleh manusia sejak awal dalam proses eksternalisasi ini karena manusia sejak dilahirkan belum menjadi organisme yang lengkap. Keadaan manusia yang belum selesai pada saat dilahirkan, membuat dirinya tidak terspeialisasi dari struktur instinktualnya, atau dunianya tidak terprogram. Dunia manusia adalah dunia yang dibentuk (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri, ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia (Manuaba, 2008).
Proses pembentukan dunia yang dimaksud adalah kehidupan sosial budaya yang bertujuan untuk membentuk struktur-struktur yang dibutuhkan yang tidak didapatkan oleh manusia secara biologis. Proses pembentukan dunia ini dimungkinkan jika manusia menjalin hubungan dengan lingkungan yang berada di luar dirinya itu, atau dengan kata lain untuk membentuk dunia maka manusia harus menjalin hubungan dengan dunia. Karena struktur-struktur yang ada pada lingkungan sosial dan budaya merupakan hasil ciptaan dari manusia yang dilakukan dalam proses eksternalisasi secara terus-menerus, maka struktur tersebut akan terus mengalami perubahan seiring dengan berjalannya proses eksternalisasi tersebut. Dengan kata lain, dunia manusia yang mencakup kehidupan sosial dan budaya selalu diciptakan oleh manusia dan dihasilkan kembali oleh manusia itu sendiri.
Objektivasi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa masyarakat adalah produk dari manusia, dalam arti segala kebudayaan dan kehidupan sosial yang ada di masyarakat merupakan hasil dari konstruksi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Meskipun demikian, masyarakat sebagai hasil produk manusia tersebut bukan berarti menjadi milik manusia (individu) sebagai satu kesatuan dengan dirinya, melainkan menjadi sebuah realitas yang berada pada luar diri masing-masing individu. Artinya, berbagai realitas yang kemudian muncul dan diakui secara bersama oleh masyarakat luas yang pada dasarnya berakar dari masing-
masing individu, tidak serta-merta menjadikannya dapat diserap kembali oleh individu yang menciptakannya itu. Sehingga, menurut Berger dalam (Manuaba, 2008), Dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif. Keadaan realitas yang bersifat objektif ini yang kemudian disebut sebagai objektivasi.
Objektivasi sebagai suatu bagian dari konstruksi sosial dimungkinkan terjadi ketika proses eksternalisasi telah terjadi, di mana masing-masing individu akan mencurahkan kediriannya atau berinteraksi dengan dunia (masyarakatnya) yang kemudian akan menciptakan dunianya sendiri. Dunia baru yang diciptakan oleh masing-masing individu tersebut kemudian menjadi sesuatu yang bersifat objektif, yaitu telah terlepas dari sifat-sifat subjektif individu yang menciptakannya. Sehingga, dalam keadaan ini akan tercipta dua realitas, yaitu realitas individu yang subjektif dan realitas masyarakat yang objektif. Dua realitas itu membentuk jaringan interaksi intersubjektif melalui proses pelembagaan institusional. Pelembagaan atau institusional, yaitu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan (Fatmahandayani et al., 2019).
Internalisasi
Setelah berbagai realitas yang ada di masyarakat diakui sebagai sesuatu yang bersifat objektif (setelah melewati tahap eksternalisasi dan objektivasi), maka realitas tersebut kemudian akan diserap oleh individu ke dalam dirinya menjadi sesuatu yang subjektif. Sehingga, pemaknaan berbagai realitas yang ada di masyarakat bisa saja akan berbeda-beda antara masing-masing individu, meskipun berasal diserap dari realitas sosial yang sama. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan terindentifikasi di dalam dunia sosio kultural (Mutaafi, 2015).
Beragam unsur yang telah menjadi hal objektif ditangkap sebagai gejala realitas sosial di luar kesadaran manusia, serta sebagai gejala intenal bagi kesadaran. Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat (Mustakim et al., 2020). Manusia dikatakan sebagai hasil dari masyarakat dikarenakan berbagai realitas objektif yang ada di tengah masyarakat akan diserap kembali oleh manusia di dalam proses internalisasi. Sehingga, apa yang menjadi pengakuan masyarakat terhadap sesuatu yang dianggap objektif akan diinternalisasikan oleh individu ke dalam dirinya menjadi sesuatu yang subjektif. Pada akhirnya, individu akan menyerap kembali realitas sosial objektif yang ia ciptakan dalam dunianya sendiri. Oleh karena itu, ketiga konsep proses ini (eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi) akan terus berjalan dan berlangsung secara berulang-ulang, serta selama itu pula struktur masyarakat yang dibangun oleh manusia juga akan terus mengalami perubahan.
Secara umum, untuk mengetahui tanggapan atau persepsi masyarakat terhadap Covid-19, maka perlu digali beberapa hal yang akan mampu menjawab dan memberikan penjelasan bagaimana konstruksi sosial yang terbangun di tengah
masyarakat dalam menanggapi fenomena pandemi Covid-19. Untuk mendapatkan jawaban terkait persepsi masyarakat, maka peneliti merumuskan tiga landasan pokok yang dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap Covid-19, yaitu: 1) tanggapan masyarakat terhadap keberadaan Covid-19;
2) upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 yang dilakukan pada tingkat individu; serta 3) upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 pada tingkat masyarakat.
Berdasarkan data di lapangan, terdapat tiga kelompok utama di tengah masyarakat yang memiliki tanggapan berbeda terkait keberadaan Covid-19 ini. Tiga kelompok utama ini cenderung memberikan tanggapan yang mencerminkan kepercayaan mereka terhadap adanya Covid-19. Tiga kelompok utama tersebut antara lain:
Masyarakat yang percaya terhadap Covid-19
Masyarakat Lombok Timur percaya dengan keberadaan Covid-19 didasarkan pada internalisasi nilai, pengetahuan, dan informasi yang didapatkan selama pandemi berlangsung. Hal ini ini dikuatkan dengan kutipan wawancara sebagai berikut : “Saya percaya adanya virus corona ini”. Memang benar- benar bahaya ketika kita sudah terkena dan mengalami masa kritis akibat virus ini”
Masyarakat yang tidak percaya terhadap Covid-19
Kelompok kedua merupakan kelompok yang memiliki persepsi bahwa Covid-19 itu tidak ada. Asumsi ketidakpercayaan kelompok ini cenderung didasarkan oleh pengalaman dan hal-hal yang mereka saksikan secara langsung (realitas sosial yang mereka alami), serta adanya pengaruh media dalam menggiring opini masyarakat. Terlepas dari kebenaran berita tersebut, tetap saja keberadaannya sedikit tidak telah berpengaruh terhadap munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap adanya Covid-19. Hal ini ini dikuatkan dengan kutipan wawancara sebagai berikut : “Saya tidak percaya karena penyakit batuk, filek dan demam sudah biasa, sudah ada sejak zaman dulu. Tapi di besar-besarkan oleh publik dan media”
Masyarakat yang masih ragu-ragu
Masyarakat yang termasuk ke dalam kategori kelompok ketiga ini di satu sisi percaya terhadap keberadaan Covid-19, namun di sisi lain juga terdapat hal-hal yang menurut mereka tidak masuk akal sehingga muncul sebuah keraguan. Keraguan tersebut didasarkan atas adanya benturan antara informasi dan himbauan yang mereka terima dari pemerintah maupun pihak terkait dengan realitas sosial yang mereka saksikan, di mana berbagai berita tentang bahaya Covid-19 yang mereka saksikan di media ternyata tidak dapat dibuktikan dengan fakta empiris pada lingkungan sosial mereka. Artinya, mereka masih belum menemukan pembuktian secara langsung terkait adanya Covid-19 di dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini dikuatkan dengan
kutipan wawancara sebagai berikut: “Terkait virus covid-19 ini antara percaya dan tidak percaya saya percaya. saya percaya karena penyakit itu memang ada dan saya tidak percaya Karena klaster data yang tidak sesuai dan stigma stigma yang muncul di permukaan.”
Upaya pencegahan terhadap penularan Covid-19 dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan di antaranya dengan mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker (3M). Sementara itu, upaya penanganan berkaitan dengan hal-hal yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk responnya ketika gejala atau hal-hal yang berkaitan dengan Covid-19 muncul, yaitu berupa upaya mereka untuk melakukan penanganan/pengobatan pada tempat/fasilitas kesehatan yang disediakan atau melakukan upaya penanganan sendiri secara mandiri. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, upaya pencegahan yang dilakukan pada tingkat individu didasarkan atas dua hal, yaitu:
Upaya pencegahan dilakukan atas dasar pengetahuan dan kesadaran sendiri Pada tingkat individu, masyarakat Lombok Timur melakukan upaya
pencegahan terhadap Covid-19 berdasarkan pengetahuan yang dimiliki serta adanya inisiatif masing-masing.
Upaya pencegahan dilakukan karena mengikuti aturan yang ada
Berbeda dengan yang pertakma, motif masyarakat dalam melakukan upaya pencegahan terhadap Covid-19 tidak didasarkan atas pengetahuan dan inisiatif sendiri, melainkan hanya sebagai bentuk ketaatannya terhadap aturan formal atau hanya sekedar mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Penanganan pada tingkat individu dilakukan dengan dua cara, yaitu sebagai berikut:
Berobat langsung ke Instansi kesehatan
Pada tingkat individu, masyarakat Lombok Timur melakukan penanganan virus Covid-19 dengan langsung memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat. Umumnya, kelompok masyarakat yang melakukan tindakan untuk berobat secara langsung ke instansi kesehatan adalah kelompok yang percaya terhadap Covid-19 serta memiliki kesadaran terhadap kesehatan.
Melakukan penanganan secara mandiri
Pada tingkat individu, masyarakat Lombok Timur melakukan penanganan virus Covid-19 dengan melakukan langkah-langkah preventif dalam lingkungan keluarga. Masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang cenderung tidak percaya terhadap adanya Covid-19. Alasan mereka untuk melakukan penanganan secara mandiri salah satunya adalah adanya rasa ketakutan apabila nanti dinyatakan positif Covid-19 atau sengaja “dicovidkan”. Selain itu, ketidakpercayaan mereka terhadap Covid-19 juga menyebabkan mereka
tidak terlalu khawatir dengan gejala-gejala yang mereka alami, sehingga lebih memilih untuk melakukan pengobatan secara mandiri.
Indikator pelaksanaan pencegahan Covid-19 pada tingkat masyarakat didasarkan atas ketersediaan berbagai fasilitas yang mendukung upaya untuk mencegah penularan Covid-19. Ketersediaan fasilitas tersebut umumnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Tersedia hanya di pandemi namun tidak berjalan efektif
Penyedian fasilitas pencegahan Covid-19 tidak diikuti dengan keberlanjutan dan efektifitas pelaksanaanya. Hal ini dikuatkan dengan kutipan wawancara sebagai berikut: “Fasilitas pencegahan covid-19 di lingkungan di awal-awal ada sekarang sudah tidak ada lagi. Pelaksanaannya tidak berjalan maksimal.”
Tetap tersedia dan berjalan efektif
Penyediaan fasilitas pencegaha virus Covid-19 telah disediakan dan dinilai telah berjalan secara efektif. Hal ini dikuatkan dengan kutipan wawancara sebagai berikut: “Untuk fasilitas pencegah Itu memang ada karena memang dari desa sudah ada program tentang memberikan fasilitas untuk pecegahan, Dan Saya kira untuk sarana pencegahan ini sudah berjalan dengan baik.”
Upaya penanganan Covid-19 pada tingkat masyarakat didasarkan atas ketersediaan fasilitas kesehatan maupun pelayanan ketika ada masyarakat yang terpapar Covid-19 atau mengalami gejala serupa.
Pelayanan kesehatan sudah baik
Pemberian layanan kesehatan pada tingkat masyarakat telah berjalan dengan baik dan maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan ketersediaan fasilitas-fasilitas kesehatan publik yang mudah diakses dan tenaga kesehatan yang baik secara kualitas dan kuantitasnya.
Masyarakat yang tidak tahu
Pelaksanaan penanganan Covid-19 di tingkat masyarakat tidak sepenuhnya diketahui oleh masyarakat luas. Hal ini dikarenakan masyarakat tersebut tidak pernah berobat ke instansi kesehatan.
Untuk menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat terhadap Covid-19 dari perspektif Konstruksi Sosial, maka perlu digambarkan bagiamana pandangan atau pemaknaan masyarakat dari berbagai lapisan (kriteria) terkait Covid-19 itu sendiri. Terdapat 6 kelompok masyarakat dari berbagai kriteria/lapisan, yaitu:
Tenaga Kesehatan
Wawancara yang dilakukan terhadap 2 orang informan yang berasal dari Desa Masbagik Utara dan Desa Paok Motong didapati bahwa informan percaya terhadap keberadaan dan bahaya dari Covid-19. Hal ini dapat dilihat dari jawaban yang diberikan oleh informan. Persepsi informan mempengaruhi upaya
pencegahan dan penanganan Covid-19 yang dilakukannya, seperti menerapkan protokol kesehatan karena pengetahuan dan kemauannya sendiri serta melakukan penanganan, seperti melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan yang ada. Untuk upaya pencegahan dan penanganan di tingkat masyarakat, terdapat perbedaan jawaban dari kedua informan terkait efektifitas fasilitas pencegahan Covid-19. Informan pertama memaparkan bahwa fasilitas pencegahan berjalan kurang efektif dan tidak berkelanjutan. Sedangkan informan lainnya memaparkan bahwa telah berjalan secara efektif. Perbedaan ini terjadi dikarenakan kedua informan berasal dari desa yang berbeda. Selain itu, untuk fasilitas penanganan pada tingkat masyarakat dinilai sudah berjalan dengan baik.
Tenaga Pendidik
Wawancara yang dilakukan kepada 4 orang informan yang berasal dari Desa Masbagik Utara, Desa Masbagik Selatan dan Desa Paok Motong didapati bahwa terdapat dua orang informan yang percaya terhadap keberadaan dan bahaya dari Covid-19, sedangkan yang lainnya menyatakan antara percaya dan tidak dengan keberadaan dan bahaya Covid-19. Untuk pencegahan dan penanganan pada tingkat individu diketahui bahwa 3 orang informan mengikuti protokol kesehatan yang didasari oleh kemauan dan pengetahuannya. Sedangkan yang lainnya menerapkan protokol kesehatan karena mengikti aturan yang ada. Sementara itu, untuk penanganan yang dilakukan sebagian informan menyatakan melakukan penanganan ke fasilitas kesehatan dan sebagian lainnya memilih untuk melakukan penanganan secara mandiri. Upaya pencegahan dan penanganan pada tingkat masyarakat diketahui bahwa sebagian besar informan menyatakan fasilitas pencegahan yang ada tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Sedangkan yang lainnya, menyatakan sudah berjalan efektif. Untuk penanganannya, sebagian informan memaparkan bahwa telah berjalan dengan baik, sedangkan yang lainnya tidak mengetahui seperti apa proes dan fasilitas penanganan yang ada.
Pegawai Pemerintah
Wawancara terhadap dua orang pegawai pemerintah yang berasal dari Desa Masbagik Selatan dan Desa Paok Motong didapati bahwa informan percaya dengan keberadaan dan bahaya Covid-19. Hal ini diketahui dari jawaban yang diberikan oleh informan. Persepsi tersebut mempengaruhi upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan. Pada tingkat individu dibuktikan dengan informan selalu menerapkan protokol kesehatan didasari karena aturan yang berlaku. Sementara untuk penanganannya informan melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan yang tersedia. Pada tingkat masyarakat, informan memaparkan bahwa fasilitas pencegahan Covid-19 sudah berjalan efektif dan penanganan yang diberikan juga sudah baik.
Pelajar/Mahasiswa
Wawancara terhadap pelajar/mahasiswa dilakukan kepada lima orang informan yang berasal dari tiga desa yang menjadi lokasi penelitian. Pada Kriteria ini jawaban yang diberikan oleh informan cukup beragam. Sebagian besar
informan percaya dengan keberadaan dan bahaya dari Covid-19. Sebagian lainnya menyatakan bahwa antara percaya dan tidak dengan keberadaan dan bahaya Covid-19 juga menyatakan tidak percaya terhadap covid-19. Kemudian untuk tindakan pencegahan sendiri sebagian besar informan mengaku melaksanakan protokol kesehatan didasari oleh pengetahuan dan kemauannya dan sisanya menjawab menerapkan protokol kesehatan karena mengikuti aturan yang ada. Untuk langkah penanganan sendiri, mayoritas informan memilih melakukan penanganan mandiri dan sisanya memilih melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan yang ada. Sedangkan untuk upaya pencegahan dan penanganan pada tingkat masyarakat mayoritas informan mengatakan fasilitas pencegahan yang ada tidak berjalan efektif dan tidak perkelanjutan, sementara sisanya mengatakan berjalan cukup efektif. Untuk upaya penanganan sendiri dinilai oleh mayoritas informan terlah berjalan baik dan sisanya mengaku tidak mengetahui.
Penyintas Covid-19
Wawancara terhadap penyintas Covid-19 ini dilakukan terhadap informan yang tersebar di ketiga desa, keempat informan mengatakan mempercayai adanya Covid-19 dikarenakan pernah mengalami sendiri, hal ini mempengaruhi upaya pencegahan yang informan lakukan di mana semua informan menjawab melakukan upaya pencegahan seperti menerapkan protokol kesehatan didasari atas pengetahuan dan kemauannya sediri. Kemudian, untuk upaya penanganan mayoritas informan memilih untuk melakukan pengobatan di fasilitas kesehatan yang ada dan sisanya memilih melakukan penanganan secara mandiri. Sementara itu, untuk fasilitas pencegahan pada tingkat masyarakat sebagian informan mengatakan telah berjalan efektif dan sebagian lainnya mengatakan tidak berjalan efektif dan berkelanjutan. Selanjutnya, untuk penanganan pada tingkat individu semua informan berpendapat telah berjalan dengan baik .
Masyarakat Umum
Wawancara terhadap kelompok masyarakat umum dilakukan di ketiga desa terhadap 12 orang informan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa Mayoritas informan mengaku masih ragu-ragu terhadap keberadaan dan bahaya Covid-19, serta sisanya mengaku mempercayai adanya Covid-19. Untuk pelaksanaan upaya pencegahan pada tingkat individu mayoritas informan mengaku melaksanakannya dikarenakan mengikuti aturan yang ada, serta sisanya menyatakan tidak melakukan atau menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Selanjutnya untuk upaya penanganan, mayoritas informan memilih melakukan penanganan secara mandiri dan sisanya memilih melakukan penanganan di fasilitas kesehatan yang ada. Untuk keadaan fasilitas pencegahan padatingkat masyarakat keseluruhan informan mengatakan belum maksimal dan berkelanjutan, kemudian untuk jalannya fasilitas penanganan Mayoritas informan mengatakan tidak mengetahui dan sisanya mengatakan bahwa fasilitas penanganan telah berjalan dengan baik.
Dari temuan-temuan di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Lombok Timur khususnya 3 desa yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar memiliki
persepsi bahwa Covid-19 itu memang ada dan memiliki bahaya terhadap kesehatan. Namun kelompok masyarakat ini memiliki perbedaan pandangan terkait bahayanya. Ada yang beranggapan sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kematian. namun lebih banyak yang beranggapan bahwa Covid-19 tidak akan mampu menimbulkan efek kematian terhadap semua orang karena efek yang ditimbulkan berbeda-beda pada tiap orang.
Persepsi masyarakat yang menganggap Covid-19 sebagai sesuatu yang sangat berbahaya maupunsebaliknya tidak terlepas dari konstruksi sosial yang dibangun. Di mana, kelompok masyarakat ini telah menyesuaikan pencurahan kediriannya dengan realitas sosial yang ada, yakni proses penyesuaian antara dirinya dengan dunia yang berada di luar dirinya. Penyesuaian diri dengan dunia di luar dirinya tersebut dilakukan dengan melakukan adaptasi terkait kebiasaan dan sebagainya di tengah realitas sosial beupa keadaan pandemi Covid-19. Kemudian, dari proses tersebut, muncul sebuah pemahaman yang dianggap sebagai sesuatu yang objektif dan diakui bersama, yaitu bahwa apa yang terjadi saat ini berupa penyebaran Covid-19 yang sangat masif merupakan sesuatu yang berbahaya dan menjadi ancaman bersama. Pandangan objektif masyarakat tentang bahaya Covid-19 ini kemudian diinternalisasikan kembali oleh masing-masing individu secara subjektif. Artinya, kenyataan yang dianggap objektif itu dinilai dan diserap kembali secara subjektif oleh individu. Karena penyerapan kembali realitas objektif tersebut dilakukan secara subjektif, maka masing-msing individu merealisasikan apa yang ia internalisasikan tersebut ke dalam suatu tindakan nyata. Tindakan tersebut dapat direalisasikan ke dalam sebuah upaya pencegahan dan penanganan pada tingkat individu maupun masyarakat, misalnya seperti penerapan 3 M, serta upaya pencegahan dan penanganan lainnya.
Peningkatan angka kasus positif covid-19 di kabupaten lombok timur tidak terlepas dari adanya persepsi masyarakat yang berbeda dan kurang meyakini bahaya covid-19 ini. Sebab pada akhirnya, persepsi yang dibangun dalam konstruksi sosial masyarakat melalui tahap eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi itulah yang akan mempengaruhi upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan oleh masing-masing individu dan berkembang sebagai suatu tindakan masyarakat secara umum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat kabupaten lombok timur secara garis besar dikategorikan ke dalam tiga kelompok utama. Pertama, kelompok masyarakat yang percaya terhadap covid-19 dan berupaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan dengan pengetahuan dan inisiatif masing-masing secara maksimal. Kedua, kelompok yang ragu terhadap adanya covid-19 sehingga upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan masih tergolong setengah-setengah. Ketiga, kelompok masyarakat yang tidak percaya terhadap covid-19, di mana mereka tidak melakukan upaya pencegahan dan penanganan covid-19 berdasarkan pengetahuan dan inisiatif, melainkan hanya sebagai bentuk ketaatan terhadap regulasi yang ada, atau dengan kata
lain untuk menghindari konsekuensi berupa sanksi yang yang melekat pada regulasi tersebut.
Aulia, K.N. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Untuk Memperhatikan Prokes (Protokol Kesehatan) Dalam Beraktivitas Di Era Neno (New Normal) Dengan Media PEPC (Poster Edukasi Pencegahan Covid-19) Melalui Media Wafagram (WA, Facebook, Dan Instagram) Di Kampung Padang Laban, Nagari Pasia Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Jurusan Kimia Universitas Negeri Padang.
Fatmahandayani, S. I., Anggraeni, P., Haromain, N., & Komalasari, M. A. (2019). Konstruksi Solidaritas Sosial Besiru Masyarakat Di Desa Sembalun Bumbung. Jurnal Warta Desa (JWD), 1(2). Google Scholar
Helaluddin. 2018. Mengenal Lebih Dekat Dengan Pendekatan Fenomenologi: Sebuah Penelitian Kualitatif.1-15.
Larasati, A. 2020. Hasil Survei Tunjukkan Kesadaran Masyarakatssoal Pencegahan Covid-19. Https: //News.Detik.Com/Berita/D- 5243808/Hasil-Survei-Tunjukkan-Kesadaran-Masyarakat-Memutus-Rantai-Penularan-Covid19. Diakses Pada 8 Februari 2021.
Lomboan, M. 2020. Gambaran Persepsi Masyarakat Tentang Pencegahan Covid-19.
Jurnal KESMAS.
Manuaba, I. B. P. (2008). Memahami Teori Konstruksi Sosial. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 21(3), 221–230. Google Scholar
Moesa, A. M. (2007). Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial Berbasis Agama. LKIS PELANGI AKSARA. Google Scholar
Mustakim, M., Ishomuddin, I., Winarjo, W., & Khozin, K. (2020). Konstruksi Kepemimpinanan Atas Tradisi Giri Kedaton Sebagai Identitas Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Gresik. Media Komunikasi FPIPS, 19(1), 11–27. Google Scholar
Mut’afi Dan Handoyo. 2015. Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Penderita Kusta.
Paradigma. 3 (3):1-7.
Mutaafi, F. (2015). Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Penderita Kusta.
Paradigma, 3(3). Google Scholar
Pandowo, A. 2020. Persepsi Sosial Masyarakat Sulawesi Utara Di Saat Pandemi Covid-
19. Jurnal Inovasi Bisnis Dan Manajemen Indonesia.
Rahmayanti, V. (2016). Pengaruh Minat Belajar Siswa Dan Persepsi Atas Upaya Guru Dalam Memotivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Bahasa Indonesia Siswa SMP Di Depok. SAP (Susunan Artikel Pendidikan), 1(2). Google Scholar
Rifai, M. (2020). KONSTRUKSI SOSIAL DA’I SUMENEP ATAS PERJODOHAN
DINI DI SUMENEP. Jurnal Dakwah Tabligh, 21(1), 58–70. Google Scholar
Saragih, R. 2020. Menggugah Kesadaran Masyarakat Memutus Rantai Penularan Covid-19? Https: //Berita Satu-Com.Cdn.Amperoject.Org/V/S/Www.Beritasatu.Com/AMP/Nasional/6949987/M enggugah-Kesadaran-Masyarakat- Memutus –Rantai Penularan-Covid19? Diakses Pada Pada 8 Februari 2021.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Alfabeta:Bandung Sugiyono, P. D. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R &D, Alfabeta.
Denzin, NK, & Lincoln, S. Yvonna. Google Scholar
Wiranti. 2020. Determinan Kepatuhan Masyarakat Kota Depok Terhadap Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Kebijakan Kesehatan Indonesia.
Copyright holder: Ihfan Rahmawadi, Lalu Muhammad Alditia, Ahmad Abdan Syukron, Lili Kurnia Sapitri, Hafizah Awalia (2022) |
First publication right: |
This article is licensed under: |