How to cite:
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah (2022) Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak
Pasca Perceraian Kepada Ayah, Jurnal Syntax Admiration 3(7)
https://doi.org/10.46799/jsa.v3i7.453
E-ISSN:
2722-5356
Published by:
Ridwan Institute
Jurnal Syntax Admiration
Vol. 3 No. 7 Juni 2022
p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356
Sosial Teknik
PUTUSAN HAKIM DALAM PENYELSAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK
PASCA PERCERAIAN KEPADA AYAH
Alex Kusmardani, Siah Khosyiah
Univeristas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, Indonesia
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
18 Juni 2022
Direvisi
15 Juli 2022
Disetujui
23 Juli 2022
Artikel ini dilatar belakangi dasar putusan hakim terhadap
Putusan Perceraian dengan Pemberian Hak Asuh Anak
kepada ayah pasca perceraian, Penelitian ini merupakan
penelitian hukum yuridis normatif pendekatan kualitatif.
Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik
pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau
studi pustaka adapun Hasil dari putusan 906/Pdt.G/
2012/PN.SBY dan Putusan Nomor 433/Pdt G/ PA Mdn.
yang menetapakan hak asuh anak jatuh ketangan ayah.
Perlindungan dan pemeliharaan anak ini menjadi penting
karena anak merupakan aset yang amat sangat berharga bagi
masa depan bangsa. Oleh karena itu anak harus memperoleh
jaminan pemeliharaan dari orang yang berhak dengan pola
pengasuhan yang terbaik semata-mata untuk kepentingan
anak.
Kata kunci:
Perceraian, Hak Asuh
Anak, Pengadilan.
Keywords :
Divorce, Child Custody,
Judge's Decision
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 881
Pendahuluan
Keluarga adalah suatu institusi masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak, atau yang disebut dengan keluarga inti (nuclar family) (Brainer Rukhmana, 2021).
Masing-Masing unsur dari keluarga tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing
yang jika berjalan dengan baik maka akan terbentuklah keluarga yang harmonis, atau biasa
dikenal dengan keluarga sakinah mawaddah warrahmah tersebut. Pasangan suami istri
mengikat diri sehidup semati mengarungi kehidupan bersama. Rasa saling toleransi dan
saling melengkapi senantiasa tercipta dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya sering
kali idealitas perkawinan tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di kalanganmasyarakat.
Retaknya rumah tangga yang mengarah pada perceraian terus meningkat jumlahnya di
berbagai wilayah di Indoensia (Dinata, 2015).
Keluarga yang di bangun dengan susah payah pada akhirnya terputus bubar karena
kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Ikatan pernikahan yang di bangun dalam
alunan cinta dan kasih sayang dapat terputus karena ketidak cocokan anatara suami istri
seiring berjalannya waktu (Andri, 2021). Dalam suatu keluarga yang berakhir dengan
perceraian didasari dengan berbagai macam alasan, mulai dari persoalan Ekonomi,
Perselingkuhan, Poligami, Pindah agama (Murtad) perbedaan pendapat yang tidak
terelakan sampai masalah kesehatan pasangan. Harmonisasi antara suami dan istri yang
telah pudar dan seiring berkembangnya zaman, pemaknaan akan hak dan kewajiban antar
keduanya terabaikan.
Hal ini terjadi di Indonesia. Perceraian juga harus dipandang sebagai sebagai suatu
pengaman ketika ketegangan muncul dalam perkawinan itu sendiri Perceraian terjadi
bukan hanya karena timbulnya masalah dalam rumah tangga. Namun, status cerai juga
dapat melekat pada suami atau istri yang ditinggal pasangannya karena kematian. Di
dalam Hukum Keluarga di Indonesia bila dalam Implimentasinya di tengah masyarakat
terdapat permasalahan dan sengketa, maka penyelsaianya diajukan Kepengadilan,
Sebagaimana fungsi dari Peradilan yaitu untuk menerima, memeriksa dan memutuskan
ketetapan hukum antara pihak yang berperkara dengan putusan itu dapat menghilangkan
permusuhan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan
dalil shara (Ardani, 2013).
Tanpa adanya peradilan akan menyebabkan suatu masyarakat menjadi tidak teratur
dan terus terjadi pertikaian karena tidak ada lembaga yang menyelsaikannya. Karena itu
hakim sangat berperan dalam menentukan suatu hukum terhadap para pencari keadilan
dengan mengadakan langkah-langkah yang lebih jelas. Begitu juga keputusan hakim dapat
berpengaruh dalam penentuan status cerai. Apabila Hakim tidak menghendaki atau tidak
memutus cerai maka perkawinan tersebut tidak bisa dikatakan bubar. maka dari itu ,
perceraian diartikan sebagai penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau
tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan tersebut. Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa perceraian dikenal dengan dua jenis
yaitu talak dan gugat. Di dalam Undang-Undang Ini, yang dimaksud dengan perceraian
adalah bisa terjadi karena dua hal yaitu talak dan gugat (Gunawan, 2016).
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
882 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
Perceraian dan Perpisahan Orang Tua memberikan dampak yang kurang baik
terhadap anak khususnya terhadap perkembangan sosial dan emosional anak. Perceraian
tersebut lebih besar pengaruhnya terhadap masalah-masalah kejiawaan bahkan sekalipun
jika dibandingkan dengan pengaruh kematian orang tua. Karena anak-anak sebenarnya
tetap berhak mendapatkan perhatian, kasih sayang dan dorongan orang tua meskipun kedua
orang tuanya berpisah (De Claire) Bahkan tak hanya itu melainkan menjadi sengketa hak
asuh anak problematika inilah yang tercermin dalam pelaksanaan hak asuh anak dalam
putusan Hakim : Nomor 433/Pdt G/ PA Mdn dan 906/Pdt.G/ 2012/PN.SBY, yang
menetapakan hak asuh anak jatuh ketangan ayah. Perlindungan dan pemeliharaan anak ini
menjadi penting karena anak merupakan aset yang sangat berharga bagi masa depan
bangsa. Oleh karena itu anak harus memperoleh jaminan pemeliharaan dari orang yang
berhak dengan pola pengasuhan yang terbaik semata-mata untuk kepentingan anak (Mulia,
2018). Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut Hak Asuh Anak Tunggal telah
mengatur bagaiman hak asuh atas anak-anak akibat perceraian orang tuanya. Sebagai
contoh, di di dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dikatakan "Pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya". Namun daripada
itu, meskipun dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemeliharaan anak (hadhanah) yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun hakim dapat
melakukan diskresi bahwa tidak selamanya seorang Ibu yang menjadi pemegang hak asuh
terhadap anak. Jika dalam fakta persidangan terungkap bahwa si Ibu adalah seorang
pemabuk, penjudi, suka memukul, kerap menelantarkan anak atau tidak cakap untuk
memelihara anak, bisa saja hak asuh diserahkan kepada pihak ayah. Di satu sisi, adanya
pasal 105 Kompilasi Hukum Islam adalah untuk memberikan kepastian hukum dengan
penegasan atas hak asuh anak paksa perceraian kedua orang tuanya. Namun di sisi lain,
anak berhak untuk mendapatkan pengasuhan dan pemeliharan, pendidikan dan
perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 14 ayat 2 Undang-
Undang nomer 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dari kedua "orang tuanya",
bukan hanya salah satu dari keduanya. Namun fakta dan realita yang terjadi malah tidak
demikian, sehingga saat orang tua berpisah anak menjadi korban dari perpisahan tersebut
sehingga sengketa hak asuh anak tidak terselsaikan diakibatkan karena kedua orang tua
tersebut mempertahankan ego masing-masing. Sehingga tidak dapat menemukan titik temu
dalam perdamaian akibat dari perceraian tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitin ini merupakan penelitian pustaka (Library Reasearch) yang bahannya
dikumpulkan berdasarkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material
yang terdapat dalam ruang perpustakaan, baik berupa buku, perundang-undangan, berbagai
literatur, jurnal, majalah dan lain-lain (Adlini et al., 2022). Mengingat kajian ini berdasarkan
Library Reasearch, maka datanya berasal dari kepustakaan baik bersumber dari peraturan
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 883
perundang-undangan, buku hukum dan non hukum, dan berbagai literatur serta jurnal yang
berkaitan kajian ini. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan Undang-undang.
Hasil Dan Pembahasan
Pemeliharaan anak (hadhanah) dalam Hukum Keluarga Islam sangat identik dengan
hadhanah berarti menjaga, memimpin, atau mengatur segala urusan anak yang sekiranya
belum dapat ia lakukan, baik mengenai dirinya sendiri maupun sesuatu yang diluar dirinya.
(Saepullah, 2021). Pelaksanaannya meliputi pendidikan , kesehatan dan kebersihan, makan
dan minumnya, pakaian dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh anak, sampai ia mencapai
usia dewasa. Dalam arti lain yang dimaksud hadhanah adalah memperhatikan semua
kebutuhan hidup anak, baik jasmani maupun rohaninya demi kesejaheraan serta
perkembangan berbagai potensinya. Dalam Hukum Keluarga Islam telah mengatur
ketentuan pemeliharaan anak yang mencangkup beberapa point berikut: Pertama , orang tua
berkewajiban menanamkan nilai-nilai Tauhid kepada anak untuk menjadi orang yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW,
kedua, orang tua berkewajiban memberikan pendidikan yang setinggi-tingginya kepada anak
dengan tujuan agar ia menjadi orang yang berakhlak mulia, dan ketiga, orang tua
berkewajiban memberikan perlindungan kehidupan yang layak sejak anak masih dalam
buaian hingga ia mampu mandiri (dewasa).
Pendidikan bagi anak sangatlah penting, karena secara fitrah setiap anak dilahirkan
dalam keadaan suci. Kata "fitrah" sendiri disebutkan dalam al-Qur'an pada QS al-Rum ayat
30 sebagai berikut: " Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah:
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS Al-Rum 30).
Ayat diatas dipertegas dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Bukhari sebagai berikut: "Telah menceritakan kepada kami Syuaib, Ibnu Syihab telah berkata:
setiap anak yang belum tampak setiap anak yang dilahirkan lalu meninggal dunia,maka harus
dishalati, sekalipun ia belum tampak berperilaku lurus. Karena anak itu sewaktu dilahirkan
atas dasar fitrah Islam. Hal Ini bisa terjadi karena kedua orang tuanya beragama Islam.
Apabila anak yang bdilahirkan dalam keadaan bergerak-gerak dan bersuara (lalu meninggal
dunia), maka ia harus di shalati. Jika tidak tampak geraknya dan tidak terdengar suaranya,
maka tidak perlu didhalati, karena anak itu termasuk gugur. Sesungguhnya Abu Harairah
menceritakan Bahwa Nabi bersabda, " Tidak ada anak yang dilahirkan, kecuali dilahirkan atas
kesucian. Dua orang tuanyalah yang menjadikan yahudi dan, Narani, atau Majusi
sebagaimana binatang itu dilahirkan dengan lengkap. Apakah kamu melihat binatang lahir
dengan terputus ( hidung, telinga, dan sebagainya? " Kemudian Abu Hurairah membaca ayat,
'Fithratallahil-Latii Fatharannaasa 'alaha' Fitrah Allah yang dia menciptakan manusia fitrah
itu (H.R. Bukhari).
Berlandaskan Q.S al-Rum ayat 30 diatas, tampaknya secara berurutan terdapat batasan
tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap anak dalam proses pendidikan..
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
884 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
Tanggungjawab dan kewajiban hadhanah yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama,
membina anak-anak untuk beriman kepada Allah, kekuasaan-Nya dan ciptaan-ciptaanNya Yang
Maha besar, dengan jalan tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. Bimbingan ini diberikan
ketika anak-anak sudah dapat mengenal dan membedakan sesuatu. Dalam membina ini
sebaliknya para pendidik menggunakan metode sosialisasi berjenjang. Yaitu dari hal-hal yang
dapat dicerna hanya dengan menggunakan panca indera, meningkat pada hal-hal yang logis;
Kedua, menanamkan perasaan khusu' dan ubudiyah kepada Allah SWT.
Di dalam jiwa anak-anak dengan jalan membukakan mata mereka agar dapat melihat
suatu kekuasaan yang penuh mukjizat, dan suatu kerjaan besar yang serba mengagumkan;
Ketiga, menanamkan perasaan selalu inget kepada Allah SWT pada diri anak-anak di dalam
setiap tindakan dan keadaan mereka.
Hal ini akan mendorong anak untuk jiwa tauhid, serta tunduk kepada kedua orang tua.
Pendidikan yang tinggi kepada anak hendaknya dapat diaplikasikan mulai dari bagaimana cara
anak berbicara, bersikap, dan berprilaku, karena salah satu aspek yang dianggap paling krusial
dalam proses pendidikan anak adalah melatih mereka tentang bagaimana cara berbicara yang
baik dan benar. Melalui kemampuan berkomunikasi tersebut setiap anak dapat belajar
berkomunikasi secara sopan dan santun. Dengan demikian pembentukan akhlak mulia pada
terletak pada pendidikan yaang dimulai dikeluarg yng didukun oleh pendidikan sekolah dan
lingkungan di masyarakat. Adapun Landasan Hukum Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Para Ulama telah menetapkan bahwa pemeliharaan anak (hadhanah) itu wajib hukumnya
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun landasan
hukumnya mengikuti perintah Allah untuk mebiayai anak dan istri dalam firman Allah:Adalah
kewajiban Ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. (QS. Al-Baqarah:
233). Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan Ibu
masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
(Baidawi & Sunarto, 2020) Sebagai Mana Allah berfirman: " Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api nereka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang yang
diperintahkan".
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api
neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah
dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih
terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah perceraian. Sebagaimana Sabda
Rasulullah SAW; " Telah menceratakan kepada kami Mahmud bin Khalid al-Sulami , telah
menceritakan kepada kami al-Walid dari Abu 'Amr al-Auza'i telah menceritakan kepada kami
al-Amr Bi Syuaib, dari Ayahnya dari Kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita
berkata wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting
susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah
menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Ketika engkau belum menikah. (HR. Abu
Dawud).
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 885
Menurut riwayat Imam Malik bin Anas dalam Kitabnya al-Muwattha, dari Yahya bin
Said berkata Qasim bin Muhammad bahwa Umar bin Khatab mempunyai anak, namanya
Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu Umar Pergi ke Quba dan menemui
anaknya itu sedang bermain-main di Masjid. Umar mengambil anaknya itu dan meletakan
diatas kudanya. Kemudian datanglah Ibu si anak tersebut. Umar berkata "anaku". Wahai itu
berkata pula "anakku". Maka dibawahlah perkara itu kepada khalifah Abu Bakar. Abu Bakar
meberi keputusan bahwa anak Umar itu ikut Ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya: Ibu
lebih cendrung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan
lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya selama ia belum kawin dengan laki-laki lain
(Munawar, 2019).
Menurut Hadist-hadist yang penulis susun diatas, maka dapatlah ditetapkan bahwa sang
Ibu Kandung dari anak-anaknya adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah, baik
masih terikat perkawinan atau ia dalam masa Iddah talak raj'i, talak bain atau telah habis masa
Iddahnya, teteapi ia belum kawin dengan laki-laki lain. Seorang Hadin yang menagani dan
menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan
kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu
saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah Adapun syarat-syaratnya antara
lain:
1) Baligh dan berakal sehat; Hak hadhanah anak diberikan kepada orang-orang yang berakal
sehat dan tidak mengganggu ingatannya, sebab pemeliharaan anak itu merupakan pekerjaan
yang penuh dengan tanggungjawab. Oleh karena itu, seorang ibu mendapatkan gangguan
jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas pemeliharaan anak. Imam Ahmad
bin Hambal menambhakan agar melakukan agar yang melakukan hadhanah tidak
mengindap penyakit menular (Zein & Aripin, 2010).
2) Dewasa; sebab anak kecil sekalipun tergolong Mumayyiz, tetap bergantung pada orang lain
yang mengurus dan mengasuhnya, sehingga tidak layak mengasuh orang lain
3) Mampu mendidik.
4) Amanah dan berakhlak, sebab orang yang curang ini.
5) Beragama Islam, disyariatkan oleh kalangan Madzhab Syafi'iyah dan Hanabilah. Oleh
karena itu, bagi seorang kafir tidak ada hak untuk mengasuh anak yang muslim, karena
akan ditakutkan akan membahayakan aqidah anak tersebut. Selain itu, agama anak
dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena akan ditakutkan akan membahayakan
aqidah anak tersebut. Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh,
karena tentu akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya
berdasarkan agamanya. Akibatnya, dikemudian hari anak akan sulit melepaskan diri
darinya. Inilah bahaya yang menganvam anak.
6) Merdeka.
7) Wanita yang mengasuh itu tidak berasumsikan dengan seorang laki-laki yang bukan
mahram dari anak yang diasuh, dikhawatirkan wanita tersebut sibuk melayani keperluan
suaminya sehingga tidak ada waktu untuk mengasuh anak tersebut.
Jika ditelaah dalam keterangan yang penulis paparkan, bahwa pada dasarnya
persoalan hak asuh anak dibawah umur tetap menjadi tanggung jawab ibunya, namun sang
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
886 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
ibu tetap berkewajiban mengkomunikasikan anaknya terhadap ayahnya. Walaupun
kenyataannya di masyarakat kita sering kali tidak menjalani ketentuan ini, Karena
perceraian dalam aspek sosiologis telah menjelaskan bahwa akibat dari perceraian adalah
permusuhan yang berkelanjutan sehingga semua akses dalam hal pemeliharaan anak tidak
optimal. Namun dalam ketentuan Hukum Islam dapat dipahami hak asuh anak dibawah
umur dapat beralih kepada Bapaknya jika sang Ibu telah menikah lagi.
Menurut Hukum Perdata Pemeliharan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Buku Kesatu hal orang Pada Bab X, XXII dan XIX. Pada pasal 289 Bab
XIV tentang Kekuasaan Orang Tua Bagian I Akibat-akibat kekuasaan Orang Tua Terhadap
Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap
anak, berapapun juga umumnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya.
Dalam tinjauan perdata mengenai siapa yang paling berhak memelihara dan mengasuh
anak yang masih dibawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang
tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah
umur. Kehilangan kekuasaan orang tua dan kekuasan wali tidak membebaskan mereka dari
kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
yang masih dibawah umur (PNH Simanjuntak, 2017).
Kemudian dijelaskan pada Pasal 299 Bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian
Akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib
memelihara dan mengasuh anak yang masih dibawah umur, akibat dari perceraian suami
istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka yang masih dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua dan kekuasaan wali
tidak dibebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya
pendapat mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.
(PNH Simanjuntak, 2017). Kemudian dijelaskan pada Pasal 299 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua bagian 1. Akibat-akibat kekuasaan Orang Tuanya. Dalam tinjauan
perdata menegnai siapa yang paling berhak memelihara dan mengasuh anak yang masih
dibwah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 13 tahun
dengan cara baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku
terus meskipun antara orang tua si anak putus kerena perceraian atau kematian. Kekuasan
orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan diluar Pengdilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan
(menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menamakan kasih
sayang) dan pembelajaran dari arti yang luas yaitu kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi
oraang tua si anak. Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hak memelihara
anak yang masih kecil tetap tanggungjawab orang tua baik ibu maupun ayah.
Kecuali apabila orang tua tersebut melalaikan tugasnya atau berprilaku tidak baik
maka Pengadilan akan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan
perwalian atas tiap-tiap anak. Sebagaimana dijelaskan juga dalam Pasal 231 bab X
Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata: "Bubarnya Perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 887
yang lahir dari perkawinan orang tua mereka,"Menurut pasal tersebut, bahwa hak
mengasuh terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada
dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas
perkwinan yang sah (PNH Simanjuntak, 2017). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang
Hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari Hukum perkawinan
di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah)
ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan
Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalm Kitab-
Kitab fiqh ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah
diberlakukan Undng-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah
menjadi hukum Positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk
mengadili dan menyelsaikannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42-455
dijelakan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum
mencapai umur 13 Tahun dengn cara yng baik smpai anak itu kawin dapat berdiri sendiri.
Kewajiban ini berlaku terus meskipun antara orang tua si anak putus karena perceraian atas
kematian. Kekuasan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan diluar pengdilan. Kewaajiban orang tua memelihra anak
meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan
menamakan kaih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer
dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak.
Ketentuan ini sama dengan konsep Pemeliharaan anak (hadhanah) dalam Hukum Islam,
dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anak, semaksimal
mungkin dengan sebaik-baiknya. Kompilasi Hukum Islam Juga melakukan antisipasi jika
kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 104 yaitu: 1. Semua biaya penyusunan anak
dipertanggungjawab kepada Ayah Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya
penyusunan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada
ayahnya dan wakilnya; 2. Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya. (Gunawan, 2015)
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipu ibu harus menyusui anaknya tetapi dapat
diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya
sendiri.
Ketentuan ini juga relevan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 Qur'an Surat al-
Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan
antara tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia
mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menetukan lain sesuai
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
888 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
dengan keyakinannya (Kharlie, 2013). Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam 105
menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu 1.
Pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz di serahkan kepada anak untuk memilih diantara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; 3 biaya pemeliharaan ditanggung
oleh ayahnya. (Gunawan, 2015). Pada Pasal 45 bab X mengenai hak dan kewajiban antara
Orang Tua dan anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentng Perkawinan
menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-
anak mereka sebaik-baiknya. Pada pasal 45 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara
orang tua dan Anak dan kewajiban orang tua perlindungan anak yakni "setiap anak berhak
mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri". Hakim
menggunakan metode kontruksi. Berdasarkan ketentuan yang telah penulis susun ,
bahwasanya anak merupakan amanat yang Allah amanatkan kepada kedua orang tuanya.
Karena hukum telah mengatur dengan ketentuan-ketentuanya. Agar terciptanya keteraturan
di sautu negara terkait dengan hak dan kewajiban, namun seringkali beberapa orang tua
saat ini sangat acuh dan buta terhadap dampak dari perceraian ini, sehingga anaklah yang
menjadi korban, karena pada dasarnya anak tidak bersalah melainkan kesalahan orang tua
dalam pendidikan terhadap keluarga (Ontolay, 2019).
A. Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Pelimpahan hak asuh anak dibawah umur kepada Ibu oleh Majlis Hakim
dipertimbangkan dari banyak faktor yang melatar belakangi, diantaranya karena faktor
Psikologis, kedekatan antara ibu dan ana sejak dalam kandungan menjadikan mereka
tidak mungkin mudah untuk dipisahkan. Seorang Ibu memiliki kelembutan , sehingga
dapat memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih terhadap anaknya khusunya
yang masih dibawah umur, Ibu juga merupakan sekolah pertama bagi anaknya-anaknya
khususnya yang masih dibawah umur. Ibu juag merupakan sekolah pertama bagi anak-
anaknya sebagaimana dalam pepatah arab mengatakan "al-Umm madrasah al-U'la idza
a'dadtaha sya'ban thayyibal a'raq." Ibu adalah madrasah utama, bila engkau telah
mempersiapkan generasi terbaik". Dan Ibu juga pada umumnya memiliki sifat lebih
pandai, lebih sabar, dan lebih cinta kepada anak-anaknya. Di dalam Kompilasi Hukum
Islam pada Pasal 105 telah jelas mengatur bahwa hak asuh anak di bawah umur 12 Tahun
adalah hak ibunya. Namun bukan berarti meniadakan tau menghapus hak bapak untuk
menghapus anak kandungnya pasca perceraian istrinya. Fakta persidangan ada beberapa
kasus yang telah diputuskan oleh Majlis Hakim memberikan hak asuh anak anak dibawah
umur kepada pasca perceraian sebagai mana contoh kasus yang penulis susun sebagai
berikut:
1. Hak Asuh Anak Kepada Ayah dalam Putusan Nomor 433/Pdt G/ PA Mdn.
Dalam Putusan Nomor 433/Pdt G/ PA Mdn kasus ini berkaitan dengan
sengketa Hak asuh anak pasca perceraian yang disebabkan oleh kematian seorang
istri (Ibu dari anak yang bersangkutan) Majlis Hakim melalui Sidang Pengadilan
Agama Medan telah menjatuhkan suatu putusan kepada kedua belah pihak yang
bersengketa berdasarkan data yang tertulis, ditemukan bahwa pihak Penggugat yang
bernama Syamsiah Binti Ismail (62 Tahun) melawan pihak tergugat yang bernama
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 889
Ismet bin Zainal (36 Tahun). Penggugat sebagai Ibu rumah tangga yang merupakan
nenek kandung dari cucunya yang bernama Muhammad Arkan Faturahman, telah
mendapat ketetapan hak mengasuh cucunya tersebut dari Ayah tersebut.
Kronologisnya, pasca wafatnya sang ibu, anaknya yang masih bayi bernama
Muhammad Arkhan Fathurahman yang lahir tanggal 18 Agustus 2018 dan langsung
oleh ayahnya (dalam hal ini tergugat) yang berprofesi sebagai karyawan. Namun,
berdasarkan sebab-sebab yang akan disebutkan Peneliti menurut keterangan yang
dinyatakan oleh penggugat, sang nenek penggugat ingin mengasuh cucunya tersebut.
Sebab lain yang menjadikan sang nenek sebagai Penguggat dan sang ayah sebagai
tergugat adalah sebagai berikut:
a. Tergugat terlilit hutang yang menyebabkan sang ayah tidak mampu lagi membeli
susu sebagai asupan utama bagi sang bayi.
b. Tergugat mencerminkan i'tikad yang negatif sehingga setiap kali penggugat ingin
melihat cucunya, tergugat selalu menghalang halangi keinginan sang nenek
tersebut. Demikian keterangan pernyataan yang berasal dari nenek (pengguggat)
tentang dan keadaan sang ayah.
Adapun keterangan pernyataan pembelaan diri sekaligus bantahan disampaikan
sang ayah (tergugat) menyatakan bahwa benar statusnya sebagai menantu dari
Penggugat dan merupakan ayah kandung dari anaknya bernama Muhammad Arkan
Fathurahman. Sementara itu setelah tergugat mengetahui status hidup penggugat
sebagai seorang diri akibat diceraikan oleh suaminya dan memiliki kesibukan sebagai
pedagang kebutuhan pokok sehari-hari dirumahnya, maka tergugat khawatir. Jika
melihat kasus diatas, apabila ditinjau menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam,
dinyatakan bahwa :"Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan pemeliharaan
anak (Hadhanah) dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus dari Ibu ayah;
wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; wanita-wanita dalam garis lurus ke
atas dari ayah; saudara perempuan dari ayah; saudara perempuan dari anak yang
bersangkutan; dan wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ayah."
Adapun korelasi Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam diatas dengan penggugat selaku
nenek kandung dari Muhammad Arkhan Fathurahman dapat menguatkan alasan bila
hak asuh anak ditetapkan kepada penggugat bukan kepada tergugat ayah kandung
(Muhammad Arkhan). Penguatan alasan hak asuh anak yang dibebankan kepada
penggugat melalui Pasal 156 Kompilai Hukum Islam diatas, kontradiksi dengan
pertimbangan Majlis Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I alasannya, Pasal yang
tlah disebutkan pada hakikatnya menjelaskan perpisahan yang terjadi antara nenek
penggugat dan ayah tergugat berawal pasca wafatnya ibu kandung telah wafat.
Pertimbangan Hakim dalam putusan tersebut, menurut penulis sejalan dengan
dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini yang berkaitan dengan alasan
pengesahan hak asuh anak dibebankan kepada ayahnya, bukanlah terletak pada
penjelasan tentang Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam oleh Majlis Hakim Pengdilan
Agama Medan kelas 1 di atas, melainkan keterangan keterangan dari para saksi ahli
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
890 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
yang dihadirkan oleh tergugat diterima oleh Majlis Hakim (Tanjung et al., 2022).
Sedangkan para saksi yang berasal dari pihak penggugat mayoritas mendapatkan
penolakan dari Majlis Hakim. Penolakan dan pembatalan keterangan para saksi dari
pihak Penggugat oleh Majlis Hakim Pengdilan Agama Medan kelas 1 A, dikarenakan
lemahnya bukti yang menyatakan tergugat tidak mampu membeli susu karena terlilit
hutang. Sehingga pernataan tersebut tidak bia dibuktikan dan tidak relevan dengan
keterangan para saksi dari pihak tergugat, bahkan menuai fitnah bagi tergugat Ayah.
Al-Hasil, putusan majlis hakim dalam hal ini, sinkron dengan Pasal 98 ayat 3
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: " Pengadilan Agama dapat menunjukan
salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu. Namun Fakta telah menunjukan bahwa sang ayah
tidak terbukti hutang, sebab masih mampu. Dalam kasus sengketa yang tertara diatas
penulis memndang bahwa putusan hakim sangatlah tepat, sebab perpisahan yang
terjadi antara ayah dan ibu kandungnya merupakan perceraian yang dipisahkan
dengan kematian yang secara hakikat Allah lah yang memisahkan. Dalam kasus
hukum ini jika di telaah lebih jauh ayah memiliki kewajiban dengan penuh totalitas
terhadap anaknya, Namun seringkali sang nenek menurut penulis mempunyai rasa
memiliki yang terlalu berlebihan terhadap cucunya, bahkan seringkali awal mula
perceraian bersumber dari ketidak harmonisan antara mertua dan menantu sehingga
perceraian pun terjadi. Dan putusan hakim yang telah ditetapkan itu sesuai dengan
perundangan di Indonesia dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak.
Hak Asuh Anak Kepada Ayah dalam Putusan Nomor : 906/Pdt.G/ 2012/PN.SBY
Dalam Putusan Nomor : 906/Pdt.G/ 2012/PN.SBY menimbang bahwa sering
terjadi percekcokan yang sebenarnya di sebabkan oleh tergugat karenan yang
bersangkutan sering meninggalkan rumah hingga pulang larut malam tanpa seijin
penggugat. Bahwa tergugat lebih mementingkan kepentingan pribadi tanpa peduli
dengan keberadaan anaknya. Bahwa sang tergugat seakan-akan melupakan
kewajibannya sebagai ibu terhadap anaknya 2 hari setelah ulang tahun 1 anaknya
kepada penggugat hingga saat ini. Bahwa tergugat hanya menengok anaknya
sebanyak 2 kali setelah meninggalkan anaknya kepada penggugat dan tidak kembali
lagi. Bahwa selama ini yang membiayai dan mengurus anak adalah penggugat.
Bahwa tergugat tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Bahwa pengguggat sanyang dan
memberikan perhatian penih kepada anaknya. Berdasarkan putusan nomor : 906/
Pdt. g/ 20212/PN. SBY tersebut, pertimbangan hakim telah sesuai dengan peraturan
perundang-Undangan. Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa batasan mumayyiz seorang anak adalah berumur 12 tahun dan pemeliharaan
anak yang belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
Berdasarkan pasal tersebut seharusnya hak asuh anak diberikan kepada Ibu
namun terdapat beberapa keadaan yang mengakibatkan hak asuh anak dapat
diberikan kepada bapak diantaranya dalam perkara ini yaitu karena ibu sering
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 891
meninggalkan rumah pulang hingga larut malam. Dan sang Ibu namun terdapat
beberapa keadaan yang mengakibatkan hak asuh anak dapat diberikan kepada bapak
diantaranya dalam perkara ini yaitu karena ibu sering meninggalkan rumah pulang
hingga larut malam, yang memang jika dilihat sang ibu tersebut lebih mementingkan
pribadi tanpa peduli dengan keberadaan anaknya, juga lupa dengan kewajibannya
sebagai ibu terhadap anak dengan meninggalkan anaknya dua hari setelah ulang
tahun dan sang ibu hanya menengok anaknya sebanyak dua kali setelah
menginggalkan anaknya dan tidak kembali lagi.
Berkaitan dengan hal tersebut maka demi kemaslahatan anak, maka hak asuh
anak juga mengatakan kedua orang tuanya bertanggung jawab untuk menjamin
perlindungan hak anak juga mengatakan kedua orang tua bertanggung jawab untuk
menjamin perlindungan bagi anak dalam pengembangan pertumbuhan bagi anaknya.
Hal ini tercantum dalam pasal 27 ayat 2 yang menyatakan " Orang tua atau mereka
yang bertanggung jawab atas anak memikul tanggung jawab utama untuk menjamin,
dalam batas-batas kemampuan dan keuangan mereka kondisi kehidupan yang
diperlukan bagi pengembangan anak."
Dalam arti lain dapat di pahami apabila kedua orang tua yang telah bercerai
maka pengasuhan dan pemeliharaan anak tetap merupakan kewajiban dan tanggung
jawab bagi orang tua, walaupun dari salah satu kedua orang tuanya memiliki hak
asuh anak. Akan tetapi dalam pengasuhan dan pemeliharaan anak, merupkan hak
anak-anaknyalah yang lebih diutamakan demi untuk kemaslahatan anak kedepannya.
Hal ini tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Maka Hak asuh anak dalam perkara ini sudah tepat diberikan kepada bapak
sebagaimana isi putusan tersebut.
Pengasuhan anak yang jatuh ketangan seorang bapak dalam aturan Hukum
sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan pilihan kedua bagi
Majlis Hakim setelah si Ibu dinilai tidak sanggup atau kurang baik untuk diberikan
hak asuh anak karena pertimbangan kemaslahatan tumbuh kembangnya anak yang
lebih baik untuk kepadanya. Pelimpahan hak asuh anak kepada bapak juga dijadikan
alternatif pilihan setelah ibunya dinyatakan telah meninggal dunia sebagaimana
tertuang dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam pada butir c. Disebutkan bahwa
bapak dapat menjadi pengasuh dari anaknya apabila sang Ibu sudah meninggal dunia
atau tidak ada lagi. Pasal ini dapat menjadi rujukan dan acuan bahwa seorang bapak
juga mempunyai hak dalam pengasuhan dan pemeliharaan anaknya meskipun hak
tersebut sangatlah jauh dibandingkan dengan hak dari seorang ibu.
Adapun dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan juga menjelaskan
bahwa kekuasaan salah satu dari orang tua bagi anak dapat dicabut demi
mengedepankan kepentingan anak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa seorang ibu dan
atau bapak apabila terjadi perceraian diantara keduanya maka salah satu dari mereka
yang memiliki hak hadhanah untuk anaknya (dalam hal ini seorang ibu) dapat
dicopot apabila dirinya sudah tidak memiliki unsur kepentingan bagi sang anak.
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
892 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
Kemudian pada Pasal 14 Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan anak juga menjelaskan, setia anak berhak untuk diasuh oleh orang
taunya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan Hukum yang sah menunjukan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir. Setiap Orang yang memiliki hak asuh anak hendaknya
memiliki rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik
di kemudian hari. Selain itu harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk
melaksanakan tugas itu. Jika dilihat dalam pasal 156 dijelaskan bahwa hak asuh anak
(hadhanah) anak yang belum mumayyiz merupakan hak Ibu, dan tetapi merupakan
hak ibu, dan dapat digantikan oleh ayah apabila si ibu telah meninggal dunia dan
wanita-wanita dalam garis lurus eatas dari ibu udah tidak ada lagi.
Menurut Hukum Romawi yang berpengaruh banyak terhadap hukum Prancis
dan melalui hukum Belanda sampai ke Indonessia dan masuk dalam hukum Prancis
BW, ang telah dijelaskan bahwa anak-anak berada di bawah kekuasan bapaknya.
Semula kekuasaan ini (Patria potesta) tidak terbatas dan dapat dikatakan bahwa hidup
dan matinya seorang anak berada dalam kekuasaan bapaknya. Lambat laun
kekuasaan ini menjadi berkurang, namun tetap saja masih besar dibandingkan dengan
kekuasaan ibunya. (Nuruddin & Tarigan, 2019) Dalam memutus perlimpahan hak
asuh anak dilimpahkan kepada bapak, hakim ssuatu pengdilan memiliki beberpa
pertimbangan hukum agar putusan yang dikeluarkannya tidak menyimpang dari
peraturan perundang-Undangan di Indonesia.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan yang telah penulis uraikan adalah bahwa Pemeliharaan
anak (hadhanah) dalam Hukum Keluarga Islam sangat identik dengan hadhanah berarti
menjaga, memimpin, atau mengatur segala urusan anak yang sekiranya belum dapat ia
lakukan, baik mengenai dirinya sendiri maupun sesuatu yang diluar dirinya. Pelaksanaannya
meliputi pendidikan , kesehatan dan kebersihan, makan dan minumnya, pakaian dan segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh anak, sampai ia mencapai usia dewasa. Dalam arti lain yang
dimaksud hadhanah adalah memperhatikan semua kebutuhan hidup anak, baik jasmani
maupun rohaninya demi kesejaheraan serta perkembangan berbagai potensinya. Dalam
Hukum Keluarga Islam telah mengatur ketentuan pemeliharaan anak yang mencangkup
beberapa point berikut: Pertama , orang tua berkewajiban menanamkan nilai-nilai Tauhid
kepada anak untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta
mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, kedua, orang tua berkewajiban memberikan
pendidikan yang setinggi-tingginya kepada anak dengan tujuan agar ia menjadi orang yang
berakhlak mulia, dan ketiga, orang tua berkewajiban memberikan perlindungan kehidupan
yang layak sejak anak masih dalam buaian hingga ia mampu mandiri (dewasa).
Pelimpahan Pemeliharaan anak dibawah umur pasca perceraian dalam Undang-Undang
tidak di atur secara rinci dan jelas dan jelas menjadi hak bapak atau ibu. Namun dalam
didalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa hak asuh anak dibawah umur
tersebut dapat dilimpahkan kepada Bapak Kandungnya, diantara diantaranya : Pasal 109
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 893
Kompilasi Hukum Islam mengenai pencabutan perwalian ; Pasal 41 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai persamaan permintaan persamaan hak antara
Ibu dan Ibu terkait hak asuh anak oleh salah satu orang tua mupun keluarga dari anak tersebut.
Dan Pasal 49 Undng-Undang Perkawinan mengenai pemisahan hak anatara Ibu dan Bapak
terkait hak asuh anak oleh salah satu ataupun kedua orang tuanya demi kepentingan terbaik
bagi anak.
Putusan Hakim Dalam Penyelsaian Sengketa Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Kepada Ayah
894 Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022
BIBLIOGRAFI
Adlini, M. N., Dinda, A. H., Yulinda, S., Chotimah, O., & Merliyana, S. J. (2022). Metode Penelitian
Kualitatif Studi Pustaka. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 6(1), 974980.Google Scholar
Andri, A. N. (2021). Kewajiban Terhadap Anak Setelah Putusnya Perkawinan (Studi Kasus Perdata
Reg: No. 264/Pdt. G/2013/Pa. Tba). El-Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 2(2), 118. Google
Scholar
Ardani, W. (2013). Pemeriksaan kembali putusan pengadilan agama surakarta yang dibatalkan oleh
putusan pengadilan tinggi agama semarang (studi kasus putusan pengadilan agama surakarta no.
0321/pdt. g/2010/pa. ska jo. putusan pengadilan tinggi agama semarang no. 202/pdt. g/2. Google
Scholar
Baidawi, A., & Sunarto, M. Z. (2020). Hak Asuh Anak Dalam Perspektif Khi Dan Madzhab Syafi’i.
Hakam: Jurnal Kajian Hukum Islam Dan Hukum Ekonomi Islam, 4(1). Google Scholar
Brainer Rukhmana, B. (2021). Pergeseran Pengasuhan Anak Dari Keluarga Inti (Nuclear Family)
Kepada Pengasuhan Oleh Lembaga Penitipan Anak Dalam Perspektif Teori Pilihan Rasional
(Studi Pada Karyawan Perbankan di Kota Malang). Universitas Muhammadiyah Malang. Google
Scholar
Dinata, W. S. W. (2015). Optimalisasi Peran Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4) dalam Rangka Pembentukan Keluarga Sakinah di Kabupaten Jember. Journal
de Jure, 7(1), 7888. Google Scholar
Gunawan, E. (2015). Pembaruan Hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam. HUNAFA: Jurnal
Studia Islamika, 12(2), 281305. Google Scholar
Gunawan, E. (2016). Eksistensi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Ilmiah Al-Syirah, 8(1).
Google Scholar
Kharlie, A. T. (2013). Hukum Keluarga Indonesia. Google Scholar
Mulia, M. (2018). Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Analisis Historis tentang Kompilasi
Hukum Islam). Jurnal Ilmiah Islam Futura, 7(1), 6485. Google Scholar
Munawar, S. (2019). Analisis Putusan Mahkamah Agung tentang hak asuh anak Pascacerai orang tua
murtad: perspektif Islam, Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang perlindungan anak. Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif. Google Scholar
Nuruddin, A., & Tarigan, A. A. (2019). Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai
Kompilasi Hukum Islam. Kencana. Google Scholar
Ontolay, A. B. (2019). Hak Dan Kewajiban Orang Tua Dan Anak Ditinjau Dari Pasal 45 juncto 46
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974. LEX PRIVATUM, 7(3). Google Scholar
PNH Simanjuntak, S. H. (2017). Hukum Perdata Indonesia. Kencana. Google Scholar
Saepullah, U. (2021). Hakikat dan Transformasi Hukum Keluarga Islam tentang Perlindungan Anak.
LP2M UIN Sunan Gunung Djati. Google Scholar
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah
Syntax Admiration, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 895
Tanjung, D., Harahap, M. Y., & Fuadi, F. (2022). Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Melalui
Putusan Pengadilan Agama Medan (Studi Analisis Terhadap Kompilasi Hukum Islam). Al-
Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial, 9(02). Google Scholar
Zein, S. E. M., & Aripin, J. (2010). Problematika hukum keluarga Islam kontemporer: analisis
yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah. Diterbitkan atas kerja sama Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta dan Google Scholar
Copyright holder :
Alex Kusmardani, Siah Khosiyah (2022)
First publication right :
Jurnal Syntax Admiration
This article is licensed under: